Angka Kejadian dan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Diabetik Di Poliklinik EndokrinRumah Sakit Pirngadi Medan

(1)

ANGKA KEJADIAN DAN TINGKAT KEPARAHAN NEUROPATI PERIFER DIABETIK DI POLIKLINIK ENDOKRIN RUMAH SAKIT

PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI Melva Y S Panjaitan

091101023

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

Judul : Angka Kejadian dan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Diabetik Di Poliklinik EndokrinRumah Sakit Pirngadi Medan

Nama Mahasiswa : Melva YS Panjaitan

NIM : 091101023

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2013

Abstrak

Neuropati Perifer diabetik merupakan salah satu komplikasi jangka panjang diabetes mellitus yang dapat terjadi baik pada penderita diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan sampel penelitian adalah penderita diabetes mellitus di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan sebanyak 67 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 56 orang (83,6%) menderita neuropati perifer diabetik. Pada kaki kanan, neuropati paling banyak terjadi pada titik neuropati 10 yaitu sebanyak 45 orang (80,4%), pada kaki kiri responden neuropati paling banyak terjadi di titik neuropati 10 yaitu sebanyak 44 orang (78,6 %). Pada kaki kanan, mayoritas tingkat keparahan neuropati perifer diabetik responden adalah derajat 1 yaitu sebanyak 28 orang (50,0%) dan mayoritas tingkat keparahan neuropati perifer diabetik responden pada kaki kiri adalah derajat 1 yaitu sebanyak 31 orang (55,4%). Hasil Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi perawat di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan untuk meningkatkan pengendalian kadar glukosa darah dan edukasi perawatan kaki bagi penderita diabetes mellitus sehingga kerusakan saraf perifer akibat diabetes mellitus dapat diturunkan.

Kata kunci: Angka Kejadian, Neuropati Perifer Diabetik, Tingkat Keparahan.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia Nya yang tidak pernah putus dan penyertaanNya hingga skripsi ini dapat diselesaikan..

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes., selaku dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Rosina Tarigan S.kp, M.Kep Sp. KMB, CWCC selaku dosen pembimbing Skripsi yang telah memberikan waktu, bimbingan dan arahan kepada penulis. 3. Ibu Yesi Ariani S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji I yang telah

memberikan saya banyak masukan dalam memenuhi kesempurnaan skripsi ini.

4. Ibu Diah Arruum S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji II yang juga telah membantu memberikan banyak saran dan masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Direktur Utama RSUP. Pirngadi Medan, Direktur SMF Interna RS Pirngadi Medan, Kepala Instalasi Litbang beserta stafnya, ibu Kepala Poliklinik Endokrin RS Pirngadi Medan beserta staf serta penderita diabetes mellitus yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

6. Teristimewa ucapan terima kasih kepada kedua orang tua saya tercinta R Panjaitan dan T Pangaribuan yang telah membantu dalam doa dan


(4)

menyediakan segala sesuatu dalam kelancaran studi saya, Kakakku Yohanda Anggreini Panjaitan, Jesica Valentina Elisabet Panjaitan dan adik-adikku Hendro Purnomo Setiawan Panjaitan, Andri Kurniawan Panjaitan dan Deswita Ade Risky Panjaitan

7. Buat Para donatur Beasiswa Karya Salemba Empat, PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang telah membantu pendanaan dan pengembangan karakter hingga Penulis mnyelesaikan pendidikan di program sarjana Fkep USU. 8. Untuk sahabat- sahabatku Mahasiswa Bisma Batch 4 di seluruh Indonesia,

Lukas Franzona Pangaribuan, Dian Nancy Septalya Pandiangan, Junita Laura Simangunsong, Riska Liani Hutagalung, Friska Manik, Novia Naibaho, Mariana Simangunsong, Siska Riantiarni Tarigan, Maruli Sirait, Aggrey Swanny Sitorus, Erica Ari Uli Purba, Kak Yohana Sagita Sinaga S.Kep, Ns, Kak Mastiur N Girsang, Amk dan teman-teman seperjuangan di Kelas A Fkep 2009 dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Skripsi ini membawa manfaat sesuai dengan tujuan penulisannya

Medan, Juli 2013 Melva Y S Panjaitan


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...i

Daftar Isi ...iii

Daftar Tabel ...v

Daftar Skema ...vi

Daftar Gambar ...vii

Daftar Pustaka………..viii

Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang ...1

2. Pertanyaan Penelitian ... 3

3. Tujuan Penelitian ... 3

4. Manfaat Penelitian ...4

Bab 2 Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Mellitus ... 5

1.1 Defenisi Diabetes Mellitus ... 5

1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus ...7

1.3 Kagawatdaruratan Metabolik Diabetes Mellitus ...9

1.4 Komplikasi Diabetes Mellitus ...11

1.5 Pilar Penanganan Diabetes Mellitus ...12

2. Neuropati Diabetik ...13

2.1 Sistem saraf ...13

2.2 Unit Fungsional Sel Saraf...14

2.3 Organisasi Sel Saraf...21

2.4 Sistem Saraf Perifer……….22

2.5 Neuropati Perifer Diabetik ………29

Bab 3 Kerangka Penelitian 1. Kerangka Konseptual ...35

2. Variabel Penelitian ...35

. Bab 4 Metodologi Penelitian 1. Desain Penelitian...37

2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... ...37

3. Lokasi Penelitian...38

4. Pertimbangan Etik...38

5. Instrumen Penelitian...38

6. Uji Reliabilitas...39

7. Teknik Pengumpulan data...39

8. Analisa Data………... 40

Bab 5 Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian ...42


(6)

1.1 Karakteristik Data Demografi Responden ...………37

1.2 Karakteristik Neuropati Perifer Responden………..44

2. Pembahasan ...46

2.1 Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus ………..46

2.1.1 Jenis kelamin………..46

2.1.2 Suku Bangsa……….47

2.1.3 Kelompok umur dan Lama Menderita DM ……….47

2.1.4 Kadar Glukosa Darah ………..48

2.1.5 Status Merokok ………...48

2.1.6 Status Olahraga, Edukasi, Penggunaan Terapi………..49

2.2 Karakteristik Neuropati dan Tingkat Keparahan Neuropati ……..51

Bab 6 Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan...53

2. Saran...53

2.1 Bagi Praktek Keperawatan ...53

2.2 Bagi Peneliti selanjutnya...53

2.3 Bagi Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan ...54


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Fungsi Saraf Kranial ... ….25

Tabel 2 Defenisi Operasional Angka Kejadian dan Neuropati Perifer... …28

Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Data Demografi ... …..42

Tabel 4 Kejadian Neuropati Perifer Diabetik ... 44

Tabel 5. Tingkat Keparahan Neuropati Pada Plantar Kaki ... 45


(8)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Konseptual Angka Kejadian dan Tingkat Keparahan


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Distribusi Kutaneus Pada Kaki ... 25 Gamba 2 Peta Titik Neuropati di Kaki...……… ... 28


(10)

Judul : Angka Kejadian dan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Diabetik Di Poliklinik EndokrinRumah Sakit Pirngadi Medan

Nama Mahasiswa : Melva YS Panjaitan

NIM : 091101023

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2013

Abstrak

Neuropati Perifer diabetik merupakan salah satu komplikasi jangka panjang diabetes mellitus yang dapat terjadi baik pada penderita diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan sampel penelitian adalah penderita diabetes mellitus di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan sebanyak 67 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 56 orang (83,6%) menderita neuropati perifer diabetik. Pada kaki kanan, neuropati paling banyak terjadi pada titik neuropati 10 yaitu sebanyak 45 orang (80,4%), pada kaki kiri responden neuropati paling banyak terjadi di titik neuropati 10 yaitu sebanyak 44 orang (78,6 %). Pada kaki kanan, mayoritas tingkat keparahan neuropati perifer diabetik responden adalah derajat 1 yaitu sebanyak 28 orang (50,0%) dan mayoritas tingkat keparahan neuropati perifer diabetik responden pada kaki kiri adalah derajat 1 yaitu sebanyak 31 orang (55,4%). Hasil Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi perawat di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan untuk meningkatkan pengendalian kadar glukosa darah dan edukasi perawatan kaki bagi penderita diabetes mellitus sehingga kerusakan saraf perifer akibat diabetes mellitus dapat diturunkan.

Kata kunci: Angka Kejadian, Neuropati Perifer Diabetik, Tingkat Keparahan.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sistem perawatan kesehatan telah bergeser dari orientasi terhadap penyakit menjadi orientasi terhadap kesehatan dan peningkatan kesehatan. Kesehatan dunia (WHO) mendefenisikan kesehatan sebagai suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang lengkap dan semata-mata bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Batasan WHO tentang kesehatan jelas dalam hubungannya dengan penyakit kronik, orang yang sakit kronik tidak dapat memenuhi standar kesehatan kesehatan seperti yang didefenisikan oleh WHO (Smeltzer & Bare, 2002). Salah satu penyakit kronik yang sering di derita oleh masyarakat baik nasional maupun global adalah diabetes mellitus.

Diabetes mellitus merupakan suatu kelainan metabolik akibat meningkatnya kadar glukosa darah dalam tubuh. Diabetes dapat menimbulkan berbagai komplikasi anatara lain gangguan penglihatan, penyakit jantung koroner dan infark miokardium, gagal ginjal, neuropati diabetik, stroke dan lain-lain (Colledge, 2010). Hal ini secara nyata berdampak pada penurunan kemampuan, angka harapan hidup dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Diabetes mellitus diperkirakan menjadi tantangan dalam masalah kesehatan di abad ke 21. Secara global, diestimasikan perkiraan peningkatan penderita diabetes untuk kelompok umur 20-79 tahun meningkat dari 285 juta orang pada tahun 2010 menjadi 439 juta orang pada tahun 2030 dan jumlah penderita toleransi glukosa terganggu akan meningkat dari 344 juta orang pada tahun 2010 menjadi 472 juta


(12)

orang pada tahun 2030 (Sicree, 2010). Di Indonesia sendiri, secara epidemiologi diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat diabetes mellitus pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki rangking ke 2 yaitu 14,7%, dan di daerah pedesaan, diabetes mellitus menduduki peringkat ke 6 yaitu 5,8% (Depkes, 2009). Dalam World Journal Diabetes (2012) disebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan resiko peningkatan prevalensi diabetes yang tinggi bersama dengan Singapura, Korea, Malaysia, Filipina. Hal ini disebabkan oleh tingginya peningkatan populasi urban dan penuaan.

Seperti pada penjelasan sebelumnya, perjalanan penyakit diabetes mellitus menimbulkan banyak komplikasi. Salah satu komplikasi diabetes mellitus jangka panjang yang paling sering terjadi adalah komplikasi pada saraf, khususnya pada saraf-saraf perifer. Komplikasi ini disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik menyerang lebih dari 50% penderita diabetes mellitus (Quattrini, 2007).

Neuropati dapat terjadi dengan atau tanpa gejala awal. Neuropati diabetik yang timbul dengan gejala (simptomatis) dapat muncul dalam simptom negatif dan simptom positif. Simptom positif termanifestasi dengan adanya nyeri dan rasa tertusuk, sedangkan simptom negatif ditandai dengan parasthesia dan kehilangan kekuatan. Hilangnya sensasi akibat neuropati diabetik dapat menjadi faktor pemicu terjadinya kaki diabetik dan pemicu utama terjadinya amputasi kaki (Davies, 2006). Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Daousy (2004) dalam Davies (2006), neuropati kronis dan nyeri merupakan jenis neuropati perifer yang


(13)

paling sering terjadi, umumnya berada dalam tingkat keparahan yang tinggi namun jarang dilaporkan dan diberi penanganan yang tepat. Keparahan neuropati diabetik sejalan dengan usia, lama menderita diabetes mellitus, merokok dan fluktuasi kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus.

Perhatian khusus perlu diberikan pemberi layanan kesehatan pada penderita diabetes mellitus karena neuropati perifer dapat berdampak pada cedera tungkai bawah yang tidak disadari serta luka terbuka yang perlu perhatian khusus. Bahaya akibat kehilangan sensasi pada neuropati perifer ini juga sering diabaikan oleh penderita terutama jika bagian-bagian lainnya masih dapat merasakan sensasi dengan baik, oleh karena itu pengkajian sensori taktil pada penderita diabetes mellitus merupakan tindakan yang penting dalam perawatan penderita diabetes mellitus (Fenderson, 2009).

Data yang diperoleh di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan pada tahun 2012, terdapat sebanyak 176 orang penderita diabetes mellitus yang melakukan kunjungan rawat jalan setiap bulannya. Rata-rata penderita diabetes mellitus di Poliklinik Endokrin Rumah sakit Pirngadi Medan telah menderita diabetes mellitus lebih dari lima tahun, untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti kejadian neuropati dan tingkat keparahan neuropati diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan.

2. Pertanyaan penelitian

Pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah angka kejadian neuropati perifer diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan?


(14)

2. Bagaimanakah tingkat keparahan neuropati diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan angka kejadian neuropati perifer diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan.

2. Mendeskripsikan tingkat keparahan neuropati perifer diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang diabetes melitus dan komplikasi neuropati perifer diabetik.

2. Sebagai informasi bagi pihak Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan khususnya tentang neuropati perifer diabetik

3. Sebagai bagian dalam riset dan perkembangan penelitian keperawatan khususnya tentang neuropati perifer diabetik.

4. Sebagai data dasar selanjutnya bagi peneliti keperawatan dengan topik neuropati perifer diabetik


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Mellitus

1.1 Defenisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan sindrom kronis hiperglikemia akibat defisiensi insulin, resistensi terhadap insulin maupun karena keduanya. Keadaan ini berdampak pada gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta mengganggu homeostasis cairan dan elektrolit. Diabetes mellitus bersifat irreversibel, meskipun penderita diabetes mellitus memiliki gaya hidup normal, perlahan-lahan komplikasi akibat penyakit ini berdampak terhadap penurunan angka harapan hidup dan peningkatan biaya kesehatan . Dekompensasi metabolik akut pada diabetes mellitus dapat menyebabkan kematian (Kumar, 2009; Colledge, 2010).

Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel beta (ß) pulau langerhans (pankreas) yang berfungsi untuk meningkatkan ambilan glukosa dan asam amino oleh organ target. Insulin berikatan dengan reseptornya, mengakibatkan protein spesifik di membran berfosforilasi. Bagian sel berespon terhadap insulin untuk meningkatkan jumlah transport protein-protein di membran sel untuk glukosa dan asam amino. Target utama insulin adalah hati, jaringan adiposa, otot dan rangka,dan satiety center di hipotalamus. Satiety centre adalah sekumpulan neuron di hipotalamus yang mengendalikan selera makan (Tate, 2012).


(16)

Sekresi insulin diatur oleh kadar nutrisi dalam darah, stimulasi neural dan kontrol hormon. Insulin meningkat pada kondisi peningkatan glukosa darah, peningkatan hormon pada saat mencerna makanan seperti gastrin, sekretin, kholeksitokinin, dan peningkatan stimulasi parasimpatis, kadar glukosa darah diturunkan oleh insulin dengan cara merangsang jaringan-jaringan meningkatkan ambilan glukosa, hati dan otot rangka mengubah glukosa menjadi glikogen dan jaringan adiposa mengunakan glukosa untuk membentuk lemak. Insulin menurun saat kadar glukosa darah menurun, konsentrasi epinefrin dan stimulasi simpatis meningkat. Kadar glukosa darah ditingkatkan dengan menurunkan ambilan glukosa, hati memecah glikogen menjadi glukosa dan membentuk glukosa dari asam amino, jaringan adiposa memecahkan lemak dan melepaskan asam amino sebagai sumber energi dan hati mengubah asam lemak menjadi keton sebagai sumber energi diluar glukosa (Seeley, 2008).

Pada penderita diabetes mellitus akan ditemukan keluhan-keluhan akibat gangguan insulin. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2011) membagi keluhan ini menjadi keluhan klasik dan keluhan lainnya. Keluhan klasik diabetes mellitus adalah poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya sedangkan keluhan lainnya terdiri dari lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada priaserta pruritus vulva pada wanita.

Keluhan klasik diakibatkan oleh kerusakan insulin yang mengakibatkan penurunan anabolisme, terjadi hiperglikemia akibatnya tubuh berusaha untuk


(17)

mengeluarkan glukosa melalui urine dan terjadilah diuresis osmotik sehingga penderita akan mengalami poliuria. Pengeluaran cairan dan garam melalui diuresis akan menjadi sinyal bagi tubuh untuk membutuhkan cairan sehingga penderita merasa haus dan akhirnya banyak minum (Polidipsia).Kerusakan insulin juga mengakibatkan glukosa dalam darah tidak dipergunakan sebagai sumber energi, meskipun terjadi hiperglikemia namun tubuh berespon dalam kebutuhan energi sehingga penderita mengalami polifagi. Peningkatan katabolisme melalui proses glukoneogenesis juga terjadi dan mengakibatkan penurunan berat badan pada penderita diabetes mellitus (Colledge, 2010).

Diagnosa diabetes mellitus menurut kriteria diagnostik WHO-1999 dalam Kumar (2009) adalah sebagai berikut : Glukosa plasma puasa > 7.0 mmol/L (126mg/dL), glukosa plasma random > 11.1 mmol/L (200mg/dL), sebuah nilai laboratorium abnormal merupakan diagnosa bagi individu simptomatik dan dua nilai laboratorium dibutuhkan pada individu asimptomatik. Toleransi glukosa dinyatakan jika dua jam setelah makan kadar glukosa plasma 7.8-11.0 mmol/L. Pada orang dewasa diberikan glukosa sebanyak 75 gram dalam 300ml air, pada anak-anak sebanyak 1.75 gram glukosa per kilogram berat badan. Hasil hanya untuk plasma vena.

1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Ada tiga tipe utama diabetes mellitus yaitu diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes mellitus gestasional. Diabetes mellitus tipe 1 disebut juga dengan diabetes tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/


(18)

IDDM) dan diabetes mellitus tipe 2 disebut juga Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM) ( Flaws, 2002)

Pada penderita diabetes mellitus tipe 1 terjadi ketiadaan insulin yang diakibatkan oleh kerusakan sel beta pulau langerhans. Kerusakan ini diakibatkan oleh sistem imun yang menghancurkan sel beta pankreas, beberapa peneliti mempercayai bahwa reaksi imun terhadap pankreas ini juga di akibatkan oleh masuknya benda-benda asing seperti virus. Diabetes mellitus tipe 1 sangat sulit dikontrol dan akhirnya berkembang menjadi masalah vaskular dan neural. Lipidemia dan tingginya kadar kolesterol darah memicu berbagai komplikasi vaskular seperti atherosklerosis, stroke, serangan jantung, gagal ginajal, gangren dan kebutaan. Kerusakan saraf berdampak terhadap kehilangan sensasi , gangguan fungsi kandung kemih dan impotensi. Komplikasi vaskular dan renal di minimalkan dengan penyuntikan insulin secara teratur. Transplantasi pulau langehans membantu penderita diabetes mellitus (Marieb, 2013). Pada Diabetes mellitus tipe 1 biasanya diikuti dengan hiperglikemia atau diabetik ketoacidosis (Flaws, 2002)

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan suatu kondisi resistansi terhadap kerja insulin di hati dan otot bersama dengan gangguan fungsi sel beta yang mengakibatkan defisiensi insulin yang relatif. Diabetes mellitus merupakn tipe yang paling sering ditemukan. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan gangguan toleransi glukosa yang sering diikuti dengan berbagai gangguan seperti kegemukan, hipertensi dan dislipidemia. Penyebab utama diabetes mellitus tipe 2


(19)

belum diketahui dengan jelas. Aktivitas fisik sangat membantu dalam meningkatkan sensitivitas insulin (Colledge, 2010)

Diabetes gestasional merupakan tipe diabetes mellitus yang ditemukan pada wanita yang sedang hamil namun sebelumnya tidak menderita diabetes mellitus. Jika dibiarkan tanpa pengobatan selama kehamilan, akan menimbulkan resiko kematian pada bayi. Diabetes gestasional ini merupakan faktor terjadinya resiko diabetes mellitus tipe 2 di hari mendatang baik pada bayi yang dilahirkan maupun terhadap ibu itu sendiri (Flaws, 2002)

1.3 Kegawatdaruratan Metabolik Diabetes Mellitus.

Kegawatdaruratan dalam diabetes mellitus terdiri dari ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemik hiperosmotik nonketotik dan hipoglikemia (Kumar, 2009; Davidson, 2010). Ketoasidosis diabetik merupakan defisisensi absolut dari insulin yang memicu hiperglikemia, dengan diuresis osmotik dan penurunan volume sehingga terjadi dehidrasi, dan asidosis akibat ketonemia, ketonuria dan kehilangan bikarbonat melalui urine. Ketoasidosis diabetik umumnya terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 1, kondisi ini dapat juga terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Penyebab yang paling paling sering adalah infeksi, berhentinya penggunaan insulin, dehidrasi, stress emosional (Flaws, 2002)

Ketoasidosis diabetik merupakan suatu kegawatdaratan akut dan mengancam hidup. Gambaran klinis ketoasidosis diabetik adalah rasa haus yang berlebihan, urinasi, nyeri abdominal, letargi yang berkembang menjadi koma, dehidrasi yang memicu hipotensi dan syok, kadar glukosa darah 250-800 mg/dL,


(20)

pH< 7,3 dan bikarbonat < 15 mEq/L, pernafasan kussmaul, dan nafas berbau aseton (Hopkins, 2008) Secara umum, penatalaksanaan ketoasidosis diabetik meliputi pemeliharaan jalan nafas, pemberian oksigen, pengobatan terhadap syok, rehidrasi melalui jalur intravena, pengurangan pottasium dan pemberian insulin secara intravena untuk mengatasi hiperglikemia (Flaws, 2002).

Koma Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan metabolik akibat hiperglikemia yang tidak terkontrol yang di tandai dengan terjadinya hiperosmolaritas tanpa disertai ketosis yang signifikan (Kumar, 2009). Gambaran klinisnya dapat berupa hiperglikemia (> 600mg/dL), poliuria, haus yang berlebihan dan penurunan berat badan, dehidrasi, kekeringan pada kulit dan selaput mukosa,konfusi, delitium hingga koma, penrubahan visual, hipotensi dan takikardi. Etiologi yang mungkin adalah adanya penyakit yang mengakibatkan dehidrasi, infeksi saluran kemih, stress yang mengakibatkan pada peningkatan kadar glukosa darah dan enghambatan insulin serta penggunaan obat-obatan yang meningkatkan kadar glukosa darah. (Hopkins, 2008)

Hipoglikemia adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa dalam darah , 3.5mmol/L (63mg/dL). Kondisi ini terjadi pada orang-orang yang menggunakan pengobatan diabetes mellitus, yang paling sering terjadi adalah akibat penggunaan insulin (Colledge, 2010). Gambaran klinis hipoglikemia adalah pucat, diaforesis dan kulit terasa dingin, agitasi, disorientasi, sakit kepala, palpitasi, lapar, penurunan tingkat kesadaran dan koma. Penanganan dalam hipoglikemik adalah pengecekan kadar glukosa darah dan pemberian sumber-sumber glukosa untuk meningkatkan kadar glukosa darah (Hopkins, 2008).


(21)

1. 4 Komplikasi Diabetes Mellitus

Penggunaan insulin dalam penanganan diabetes mellitus masih tetap menurunkan berkurangnya angka harapan hidup pada penderita diabetes mellitus. Penyakit kardiovaskular menjadi 70% penyebab kematian yang diikuti oleh gagal ginjal (10%) dan infeksi (6%). Lama menderita diabetes mellitus dan fluktuasi hiperglikemia tidak diragukan lagi menjadi penyebab dalam berbagai komplikasi diabetes mellitus. Secara umum komplikasi diabetes mellitus terdiri dari komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular meliputi infark miokardial yang merusak sirkulasi koroner, stroke akibat kerusakan sirkulasi serebral, Iskemia karena kerusakan sirkulasi perifer. Komplikasi mikrovaskular terdiri dari retinopati, katarak, nefropati (gagal ginjal), neuropati perifer, neuropati otonom dan penyakit kaki (Colledge, 2010).

Patofisiologi komplikasi pada diabetes mellitus ini terbagi atas 4 bagian besar yaitu glikosilasi non enzimatik berbagai protein, jalur poliol, aliran darah pembuluh darah kecil yang terganggu, perubahan hemodinamik, dan faktor lainnya. Glikosilasi non enzimatik berbagai protein seperti seperti hemoglobin, kolagen, Lemak densitas rendah/ Low density lipid (LDL) memicu akumulasi produk akhir glikosilasi yang menyebabkan cedera dan inflamasi melalui stimulasi faktor proinflamasi seperti komplemen dan sitokin. Jalur poliol dijelaskan melalui metabolisme glukosa dengan peningkatan aldose reduktase intaeluler yang mengakibatkan akumulasi sorbitol dan fruktosa. Hal ini dapat menyebabkan perubahan permeabilitas vaskuler, proliferasi sel dan struktur kapiler melalui stimulasi protein kinase C dan TGF-ß. Gngguan dalam aliran


(22)

darah mikrovaskular adalah dalam hal suplai nutrisi dan oksigen. Oklusi mikrovaskuler berkaitan dengan vasokonstiktor seperti endotelin dan trombogenesis yang mengakibatkan kerusakan endotelial. Faktor lain seperti oksigen reaktif, stimulasi faktor pertumbuhan dan pertumbuhan faktor endotelial vaskular. Munculnya berbagai faktor ini adalah pelepasan jaringan iskemik (Kumar, 2009).

1.5 Pilar Penanganan Diabetes Mellitus

Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi komplikasi vaskuler dan neuropati. Ada empat pilar penanganan diabetes mellitus yaitu diet, latihan, terapi dan eduasi. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal. Penanganan di sepanjang perjalanan penyakit diabetes akan bervariasi karena terjadinya perubahan pada gaya hidup, keadaan fisik dan mental penderita diabetes mellitus. Penatalaksanaan diabetes mellitus memerlukan pengkajian dan modifikasi penanganan dari tim kesehatan profesionl disamping penyesuaian terapi itu sendiri. Meskipun tim kesehatan akan mengarahkan penanganan tersebut, namun pasien sendirilah yang harus bertanggung jawab dalam pelaksanaan terapi yang kompleks itu setiap harinya, karena itu edukasi menjadi komponen yang penting dalam penatalaksanaan diabetes mellitus seperti komponen-komponen lainnya (Smeltzer&Bare, 2002; PERKENI, 2011).


(23)

2. Neuropati Perifer Diabetik 2.1 Sistem Saraf

Berjuta-juta sel tubuh manusia dikoordinasikan oleh dua sistem pengatur yaitu sistem endokrin dan sistem saraf. Sistem endokrin merupakan sekumpulan pengantar pesan melalui darah yang bekerja secara lambat, sedangkan sistem saraf bekerja secara cepat. Kedua sistem ini mengatur fungsi dalam tubuh manusia, mengatur dan mengorganisasikan berbagai aktivitas yang kita lihat sebagai tingkah laku (Vander, 2001). Pembahasan ini akan difokuskan pada sistem saraf. Fungsi utama dari sistem saraf adalah mendeteksi, menganalisa dan menghantarkan informasi. Setiap aksi ini dikendalikan oleh neuron yang saling berhubungan dan membentuk sistem sensorik dan motorik (McPhee, 2006).

Sistem saraf terbagi atas dua bagian utama yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan korda spinalis. Otak dan korda spinalis merupakan organ utama tempat informasi dari saraf-saraf terhubung dan terintegrasi. Baik otak maupun korda spinalis, dibungkus oleh sistem membran yang disebut meninges, tersuspensi dalam cairan serebrospinal dan dilindungi oleh tulang tengkorak dan kolumna vertebralis (Snell, 2010). Sistem saraf perifer terdiri dari reseptor sensori dan saraf-saraf. Reseptor sensori terdapat di kulit, otot, sendi-sendi, organ dalam dan panca indera, sedangkan saraf-sarafnya terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf spinal. Saraf perifer terbagi lagi menjadi dua divisi yaitu divisi sensorik (afferent division) dan divisi motorik (motorik division). Masing-masing divisi sistem saraf perifer memiliki kerja tertentu (Tate, 2012).


(24)

Divisi sensorik sistem saraf perifer menghantarkan potensial aksi ke sistem saraf pusat, sedangkan divisi motorik menghantarkan potensial aksi dari sistem saraf pusat ke organ efektor seperti otot dan kelenjar. Divisi motorik dibagi dua menjadi somatik dan otonom. Somatik menghantarkan potensial aksi dari sistem saraf pusat ke otot rangka sedangkan otonom menghantarkan potensial aksi dari sistem saraf pusat ke otot jantung, otot polos dan kelenjar. Bagian otonom dibagi atas saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki kerja yang berlawanan. (Netter, 2002)

Tortora (2009) menyatakan bahwa terdapat subdivisi sistem saraf perifer selain subdivisi otonom dan somatik yaitu subdivisi enterik. Sistem saraf enterik berisi sekitar juta neuron di sepanjang traktus gastrointestinal. Fungsi neuron-neuron dari pleksus enterik bekerja bebas dari sistem saraf otonom dan sistem saraf pusat ke beberapa tingkat, meskipun berkomunikasi dengan sistem saraf pusat melalui neuron saraf simpatis dan parasimpatis. neuron sensorik sistem saraf ini mengatur perubahan kimia yang terjadi didalam saluran pencernaan dan dinding yang membatasinya, sedangkan neuron motornya mensekresikan zat-zat seperti asam dari lambung dan sel endokrin yan gmenghasilkan hormon serta memerintahkan kontraksi otot polos untuk mendorong makan di sepanjang saluran pencernaan.

2.2 Unit Fungsional Sistem Saraf.

Jaringan saraf yang sangat kompleks tersusun atas dua komponen utama yaitu neuron-neuron dan sel pendukung neuron. Neuron merupakan unit dasar struktural dan fungsional sistem saraf, sedangkan sel pendukung sistem saraf


(25)

berfungsi untuk menolong kerja dari neuron dan jumlahnya lima kali lebih banyak dari neuron (Fox, 2011)

Neuron dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan bentuknya, namun setiap neuron terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan sel serta dua unit proses yakni dendrit dan akson. Pada badan sel saraf (soma) terdapat nukleus dan organel-organel sel lainnya seperti retikulum endoplasmik kasar (RE), apparatus golgi dan sejumlah mitokondria. Dalam badan sel juga terdapat substansi nissl yang merupakan kumpulan dari retikulum endoplasmik kasar dan ribosom-ribosom bebas. Substansi ini berada dalam badan sel dan dendrit, namun bukan merupakan akson. Organel-organel dalam badan berperan dalam informasi genetik dan berfungsi secara mekanis untuk sintesis protein (Vander, 2001; Mader 2004; Tate, 2012).

Unit proses dari sel saraf adalah dendrit dan akson. Dendrit adalah unit proses pendek yang merupakan perpanjangan dari badan sel. Diameternya meruncing dan dapat bercabang sebanyak-banyaknya. peran terpenting dari dendrit adalah menyalurkan impuls ke badan sel. Akson adalah unit prosesor panjang yang muncul dari elevasi berbentuk kerucut pada badan sel. Diameter akson ada yang sangat pendek (0,1 mm) seperti yang sering terdapat pada neuron di sistem saraf pusat dan dapat pula sangat panjang (3,0 m) seperti yang banyak terdapat pada sistem saraf perifer mulai dari reseptor sensori ke kulit dan dilanjutkan ke kaki, ke saraf perifer dan ke otak. Akson dengan diameter yang sangat panjang mengkonduksi impuls dengan cepat, sedangkan yang berdiameter


(26)

pendek mengkonduksi impuls saraf dengan lambat. Akson sering disebut sebagai serabut saraf (Snell, 2011).

Akson menghubungkan antara neuron yang satu dengan neuron yang lainnya, sel otot-otot dan sel-sel kelenjar. Jembatan antara sebuah neuron dengan sel lainnya disebut sinaps dan akhir dari akson pada sinaps disebut ujung presinaptik yang memiliki sejumlah vesikel yang berisi neurotransmitter. Neurotransmitter merupakan sebuah pembawa pesan (messenger) yang berupa substansi kimia yang melewati sinaps untuk merangsang atau menghambat sel postsinaptik (Seeley, 2008).

Akson yang panjang dapat memfasilitasi pengangkutan organel-organel sel, protein-protein, nutrisi, ion dan neurotransmitter yang dihasilkan di badan sel ke ujung akson yang disebut transport akson (axonal transport). Transport akson ini membutuhkan energi dan sering dibagi menjadi komponen cepat dan komponen lambat. Komponen cepat sekitar 200-400 mm/ hari dan sangat penting dalam transmisi sinaptik sedangkan komponen lambat berkisar 2 hingga 8 mm/ hari dan menghantar 200 jenis protein yang berbeda yang penting untuk fungsi sinaptik. Transport aksonal dapat terjadi dari badan sel ke akson dan dendrit yang arahnya disebut transport anterograde dan dapat berbalik dari dendrit dan akson ke badan sel yang disebut transport retrograde (Shier, 2010; Fox, 2011;)

Berdasarkan kecepatan konduksi saraf, diameter dan karakteristik fisiologisnya, serabut saraf terbagi atas serabut A-α yang berfungsi untuk propioseptif dan motor somatik dengan diameter 12-20µm dan kecepatan konduksi saraf 30-70m/s, serabut tipe A-βdengan fungsi sentuhan dan tekanan, diameter 5-12µm dengan


(27)

kecepatan konduksi 70-120m/s, serabut A-γuntuk pergerakan otot dengan diameter 2-6µm dengan kecepatan konduksi saraf 15-30m/s. Serabut B berfungsi otonom preganglionik dengan diameter < 3µm dengan kecepatan konduksi 12-30 m/s. Serabut C berfungsi untuk sensasi nyeri dengan respon refleks dengan diameter 0,4-1,2µm dengan kecepatan konduksi 0,5-2 m/s dengan serabut simpatetikyang berfungsi simpatetik postganglionik dengan diameter 0,3 serta kecepatan konduksi 0,7-2,3 m/s (Waxman, 2007).

Secara umum, neuron diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan bentuknya. Klasifikasi neuron menurut fungsinya didasarkan pada arah potensial aksi dikonduksikan, sedangkan klasifikasi neuron menurut strukturnya didasarkan pada jumlah proses (jumlah akson dan dendrit-dendrit) yang diteruskan dari badan sel. Berdasarkan fungsinya, neuron dibagi menjadi bagian sensori (afferent), bagian motor (efferent), dan bagian asosiasi (interneuron). Neuron berdasarkan strukturnya dibagi atas neuron multipolar, neuron bipolar dan neuron unipolar. (Tate, 2012). Selain dua klasifikasi utama diatas, neuron juga dapat dikelompokkan berdasarkan ukurannya (Snell, 2010).

Neuron afferent mengkonduksi rangsangan-rangsangan dari reseptor sensori ke sistem saraf pusat. Reseptor sensori merupakan akhir dari akson panjang bagian distal dari neuron sensori. (Mader, 2004; Fox, 2011). Pada ujung distalnya, dendrit dari neuron ini atau struktur khusus yang bergabung bersama dendrit berperan sebagai reseptor sensori untuk mendeteksi lingkungan luar (Shier, 2010). Reseptor sensori dapat dapat berupa akhir saraf polos (reseptor nyeri) atau merupakan bagian dari organ yang kompleks seperti pada mata dan


(28)

telinga (Mader, 2004). Stimulus yang sensitif pada neuron sensori merupakan protein khusus yang berikatan dengan substansi kimia pembawa pesan dan dapat ditemukan pada membran plasma semua sel. Neuron afferent terutama terletak pada sistem saraf perifer dan hanya sedikit berada pada korda spinalis untuk meneruskan sinyal-sinyal dari bagian perifer ke sistem saraf pusat. Berdasarkan stimulusnya, reseptor dapat digolongkan menjadi 1) Fotoreseptor (photoreceptors) yang berespon terhadap gelombang cahaya yang dapat dilihat, 2)Mekanoreseptor (mechanoreceptors) yang sensitif pada energi mekanis, 2)Termoreseptor (thermoreceptors) yang sensitif pada panas dan dingin,4) Osmoresptor (osmoreceptors) yang mendeteksi perubahan konsentrasi larutan di cairan ekstraseluler dan hasil dari perubahan aktivitas osmotik, 5)Kemoreseptor (chemoreceptors) yang peka pada zat kimia teretntu dan 6) Reseptor nyeri (nociceptors) yang peka dan mempersepsikan kerusakan jaringan sebagai rasa nyeri. Kerusakan pada jaringan yang dimaksud adalah seperti rasa tertusuk, terbakar atau distorsi jaringan (Sherwood, 2010).

Neuron assosiasi (interneuron) sepenuhnya berada di sistem saraf pusat dan berperan dalam fungsi assosiatif, integratif pada fungsi saraf. Interneuron mentransmisikan impuls dari satu bagian otak atau korda spinalis ke bagian lainnya, mengarahkan rangsangan sensori ke area tertentu pada otak untuk di proses dan di interpretasikan dan impuls yang datang akan di transfer ke neuron efferent (Shier, 2010).

Neuron efferent menghantarkan impuls keluar dari sistem saraf pusat menuju organ effektor seperti otot dan kelenjar. Neuron efferen (motorik) dibagi


(29)

atas sistem saraf otonom dan sistem saraf somatik. Sistem saraf otonom berperan pada otot jantung dan otot polos yang bekerja diluar kesadaran dan sistem saraf somatik bekerja pada otot rangka yang terkontrol debawah pengaruh kesadaran (Shier, 2010; Fox, 2011). Saraf otonom terbagi lagi menjadi dua subdivisi yakni simpatis dan parasimpatis, kerja dari saraf simpatis berlawanan dengan saraf paraimpatis (Marieb, 2006; Fox, 2011)

Klasifikasi neuron berdasarkan strukturnya dibagi menjadi multipolar, bipolar dan unipolar.Neuron multipolar memiliki banyak dendrit dan akson tunggal, neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan neuron unipolar hanya memiliki satu unit proses yang memanjang dari badan sel. Unit prosesini bercabang dua dari badan sel. Salah satu cabang diteruskan ke sistem saraf pusat dan cabang lainnya menuju ke sistem saraf perifer dan memilki reseptor sensori seperti dendrit. Dua cabang ini bertindak sebagai satu akson (Tate, 2012). Neuron motor biasanya merupkan neuron multipolar, neuron sensori biasanya berupa neuron unipolar dan neuron asosiasi merupakan tipe neuron multipolar (Mader, 2004). Neuron unipolar berlokasi di akar ganglion posterior, neuron bipolar berlokasi di retina, koklea sensori dan ganglia vestibular dan neuron multipolar berada di serabut saluran otak dan korda spinalis, saraf perifer dan sel motor dari korda spinalis (Snell, 2010).

Neuron yang diklasifikasikan berdasarkan ukurannya dikelompokkan menjadi neuron tipe golgi I dan tipe golgi II. Neuron tipe golgi I yaitu neuron yang memiliki axon dengan panjang sekitar 1 m atau lebih. Akson dari neuron ini membentuk saluran serabut dari otak dan korda spinalis dan serabut saraf dari


(30)

sistem saraf perifer. Contoh dari neuron ini adalah sel piramidal dari korteks serebri, sel purkinje dari korteks serebelum dan sel motor dari korda spinalis. Neuron tipe golgi II memiliki akson yang pendek dan ujungnya berdampingan pada badan sel atau kadang-kadang tidak ada samasekali. Dendrit yang muncul dari neuron tipe ini terlihat seperti bintang (Snell, 2010).

Sel pendukung sistem saraf ada pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Neuroglia merupakan sebutan bagi sel pendukung pada sistem saraf pusat, sedangkan glia merupakan sel saraf pendukung yang berada pada sistems saraf pusat (Fox, 2011). Sel-sel pendukung ini ada sekitar 90% di sistem saraf pusat. Fungsi dari sel pendukung ini ialah membantu mendukung neuron-neuron baik secara fisik maupun metabolik dengan menjaga komposisi lingkungan ekstraseluler khusus dalam batas tersempit optimal untuk fungsi neuron (Sherwood, 2010). Neuroglia juga menghasilkan faktor pertumbuhan yang menutrisi neuron dan membuang ion-ion beserta neurotransmitter yang menumpuk diantara neuron, sehingga memungkinkan mereka untuk mentransmisikan informasi (Shier, 2010).

Pada sistem saraf pusat ada dua sel glial yaitu sel schwann yang disebut juga dengan neurolema dan sel satelit (ganglionic gliocytes). Sel Schwan membungkus akson dan membentuk selubung myelin (Fox, 2011). Sel schwann dari akson membentuk jarak kecil satu sama lain dan intervalnya disebut dengan nodus ranvier. Kecepatan konduksi saraf bertambah sesuai dengan ketebalan selaput myelin yang membungkus akson (Rohkamm, 2004)


(31)

Sel satelit mengelilingi badan sel pada sistem saraf pusat dan menyediakan nutrisi. Sel-sel ini melindungi neuron dari logam berat dan racun dengan menyerap dan menurunkan kontak ke badan sel neuron (Tate, 2012). Sel-sel pendukung di sistem saraf pusat ada empat yaitu oligodendrocytes yang membentuk selubung myelin di sekeliling akson akson pada sistem saraf pusat, microglia yang bergerak ke sistem saraf pusat dan memfagositosis benda asing, astrocytes yang mengatur lingkungan luar dari neuron-neuron di sistem saraf pusat dan sel ependymal yang membatasi ventrikel otak dan kanalis central dari korda spinalis (Fox, 2011). Sel ependymal dan pembuluh darah membentuk pleksus koroid yang berada didaerah tertentu di dalam ventrikel. Pleksus ini menghasilkan cairan serebrospinalis yang bersirkulasi di ventrikel otak (Tate, 2012)

2.3 Organisasi sel jaringan saraf

Pada sistem saraf pusat, jaringan saraf berkumpul sehingga akson-akson membentuk berkas dan badan sel neuron beserta dendrit ikut berkumpul. Substansi putih merupakan berkas akson paralel dengan kumpulan selubung myelinnya dan substansi abu-abu merupakan kumpulan badan sel, dendrit dan akson yang tidak termyelinisasi. Substansi putih membentuk saluran yang memperbanyak potensial aksi dari area abu-abu pada sistem saraf pusat ke lainnya. Substansi abu-abu pada sistems saraf pusat membentuk fungsi integratif. Bagian luar otak yang berisi substansi abu-abu disebut korteks dan pada bagian dalam disebut nuclei. bagian luar korda spinalis merupakan substansi putih dan bagian tengahnya adalah substansi abu-abu. Di sistem saraf perifer, berkas akson


(32)

membentuk saraf yang mengkonduksikan potensial aksi dari dan ke sistem saraf pusat, banyak saraf terdiri dari akson termyelinisasi dan sebagian kecil merupakan akson yang tidak termyelinisasi. Kumpulan badan sel neuron di sistem saraf perifer disebut ganglia (Seeley, 2008).

2.4 Sistem saraf Perifer

Saraf perifer terdiri dari serabut saraf yang membawa informasi diantara sistem saraf pusat dan bagian-bagian tubuh. Komponen penting dalam saraf perifer adalah 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf spinal. Ada beberapa terminologi yang sering dipakai dalam sistem saraf perifer yaitu stimulus yang berarti perubahan yang terdeteksi seperti panas, cahaya, tekanan dan perubahan kimia; reseptor sensori yang berarti ujung serbut saraf afferent yang peka terhadap respon stimulus lingkungan dalam dan luar tubuh; dan transduksi sensori yang berarti konversi energi menjadi potensial reseptor; potensial reseptor yang berarti besarnya energi yang diubah ke dalam bentuk sinyal listrik.

Serabut saraf dalam sistem saraf perifer baik pada saraf kranial maupun saraf spinal terdiri dari berkas akson berganda yang disebut fasikula. Fasikula dibungkus oleh selaput jaringan pengikat yang dinamakan perineurium. Jaringan pengikat yang berada diantara akson dan fasikula disebut endoneurim dan bila berada diantara fasikula-fasikula disebut epineurim. Fasikula berisi akson termyelinisasi dan tidak termyelinisasi, endoneurium dan dan pembuluh-pembuluh darah (Rohkamm, 2004).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa saraf merupakan berkas akson atau serabut saraf. Saraf yang hanya memiliki neuron sensori disebut saraf


(33)

sensorik, saraf yang hanya memiliki neuron motor disebut saraf motorik dan umumnya saraf terdiri dri keduanya yang disebut saraf campuran. Saraf yang muncul dari otak disebut saraf kranial dan saraf yang keluar dari korda spinalis disebut saraf spinal.

Berdasarkan struktur saraf perifer yang terdiri dari saraf kranial dan spinal, serabut saraf dapat dibagi menjadi empat yaitu : Serabut saraf efferent somatik umum (general somatic efferent fibers), Serabut efferent visceral umum (general visceral efferent fibers), serabut afferent somatik umum (general somatic afferent fibers) dan serabut afferent visceral umum (general visceral afferent fibers). Serabut efferent somatik umum membawa rangsangan motor dari otak dan korda spinalis ke otot rangka dan merangsangnya untuk berkontraksi, serabut efferent visceral umum membawa rangsangan motor dari otak atau korda spinalis menuju berbagai otot polos dan kelenjar yang berasosiasi dengna organ-organ bagian dalam dan mengakibatkan otot berkontraksi dan kelenjar mengeluarkan sekresinya. Serabut afferent somatik umum membawa rangsangan sensori dari reseptor pada kulit dan otot ke otak atau korda spinalis dan serabut afferent visceral umum membawa sensori dari pembuluh darah dan organ dalam tubuh ke sistem saraf pusat (Shier, 2010).

Istilah umum (general) dalam setiap pengelompokan diatas maksudnya adalah bahwa serabut-serabut bergabung dengan struktur umum seperti kulit, otot rangka, kelenjar dan organ bagian dalam tubuh. Tiga kelompok serabut hanya dijumpai pada struktur khusus yaitu serabut khusus : serabut efferent somatik khusus yang membawa impuls motor dari otak ke otot yang digunakan untuk mengunyah,


(34)

menelan, berbicara dan ekspresi wajah, serabut afferent visceral khusus yang membawa impuls sensori dari reseptor olfaktori dan pengecap ke otak dan serabut somatik khusus yang membawa rangsangan dari reseptor penglihatan, pendengaran dan keseimbangan ke otak (Shier, 2010).

Manusia memiliki 12 pasang saraf kranial, 2 paang berasal dari badan sel neuron yang berada di otak bagian depan dan 10 pasang muncul dari otak bagian tengah dan otak bagian belakang. Penulisan saraf kranial yang umum adalah dengan angka romawi dan nama. Angka romawi merujuk pada posisi saraf dari bagian depan otak ke belakang, sedangkan namanya menunjukkan bagian yang dipersarafi oleh saraf-saraf karanial ini (Fox, 2011). Urutan serta nama-nama keduabelas saraf kranial ini yaitu : saraf olfaktori (olfactory nerve), saraf optikus ( optic nerve), saraf okulomotor (oculomotor nerve), saraf trokhlearis (trochlear nerve), saraf trigeminal (trigeminal nerve), saraf abdusen (abducent nerve), saraf fasialis (facial nerve), saraf vestibulokokhlearis (vestibulocochlear nerve), saraf glossofaringeal (glossopharyngeal nerve), saraf vagus (vagus nerve), saraf assesorius (acessory nerve), saraf hipoglossus (hypoglossal nerve). Saraf olfaktori melewati lamina cribosa dan mempersarafi bagian atas dari membran mukosa nasal, saraf optikus berkaitan dengan mata, saraf okulomotor, troklear dan saraf abduscent mempersarafi otot okuler eksternal, saraf trigeminnal mempersarafi kulit wajah dan otot mastikasi dan saraf fasialis mempersarafi otot untuk mimik wajah, saraf vestibulukoklear berkaitan dengan otot stato-akustik, saraf vagus merupakan saraf kranial terpanjang untuk bagian lateral leher, mencapai dada dan kavum kavitis dan merupakan bagian parasimpatis dari bagian sistem saraf


(35)

otonom. Saraf glosofaringeal, asesorius, dan hypoglossus mempersarafi otot leher, lidah dan faring (Rohen,2011)

Rangkuman jenis serabut saraf dan fungsi masing-masing saraf kranial dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 2.4 Fungsi Saraf Kranial; dikutip dari Hole’s Human Anatomy And Physiology, Hal: 417.

Saraf Jenis Fungsi

I Olfaktori

Sensorik

Serabut saraf sensorik menghantar rangsang yang terhubung dengan indera II Optikus

Sensori

Serabut saraf sensorik menghantar rangsang yang terhubung dengan indra penglihatan

III Okulomotor Terutama motor

Serabut saraf motorik menghantar rangsang untuk mengangkat kelopak mata, pergerakan mata, mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata dan fokus lensa.

Beberapa serabut sensorik menghantarkna rangsang yang terhubung dengan propioseptor IV Trokhlearis Terutama

motor

Serabut motorik menghantar rangsang ke otot untuk perpindahan bola mata Beberapa serabut sensori menghantar rangsang yang terhubung denngan propioseptor V Trigeminal Divisi Opthalmik Divisi Maksillaris Divisi Mandibular Campuran

Serabut saraf sensorik

menghantar rangsang dari dari permukaan mata, kelenjar airmata. kulit kepala, dahi dan bagian kelopak mata bagian atas.

Serabut saraf sensorik

menghantar rangsang dari gigi bagian atas, gusi bagian atas,


(36)

langit-langit mulut, dan kulit wajah

Serabut saraf sensori

menghantar rangsang dari kulit kepala, kulit rahang, gigi bagian bawah, gusi bagian bawah, dan bibir bawah. Serabut saraf motorik

menghantar rangsang dari otot mastikasi dan otot di dasar mulut

VI Abdusen Terutama motor

Serabut motor menghantar rangsang ke otot yang menggerakkan mata

Beberapa serabut saraf sensori menghantar rangsang yang terhubung dengan propioseptor VII Fasialis Campuran Saraf sensori menghantar

rangsang yang terhubung dengan reseptor pengecapan pada bagian anterior lidah Serabut saraf motorik

menghantar rangsang dari otot ekspresi wajah, kelenjar airmata dan kelenjar air liur VIII Vestibulokokhlearis

Cabang Vestibular Cabang Kokhlearis

Sensori

Serabut saraf sensori menghantar rangsang yang terhubung dengan sensasi keseimbangan

Serabut saraf sensorik menghantar rangsang yang terhubung dengan indera pendengaran

IX Glossofaringeal Campuran Serabut saraf sensori menghantar rangsang dari faring, tonsil, lidah bagian posterior dan arteri karotis Serabut saraf motorik menghantar rangsang ke kelenjar air liur dan otot faring yang digunakan untuk


(37)

mengunyah

X Vagus Campuran Serabut saraf motorik somatik menghantarkan rangsang ke otot yang terhubung dengan berbicara dan menelan; motor otonom menghantar rangsang ke organ bagian dalam dada dan abdomen

Serabut saraf sensorik menghantar rangsang dari faring, laring, esofagus dan organ tubuh bagian dalam dari dada dan abdomen

XI Assesorius Cabang Kranial

Cabang Spinal

Terutama motor

Serabut motorik menghantar rangsang ke otot palatum lunak, faring dan laring Serabut motor menghantarkan rangsang dari otot leher dan punggung, beberapa bagian masukan propioseptor XII Hipoglossus

Serabut motorik

menghantarkan rangsang ke otot yang berperan dalam perpindahan lidah, dan beberapa masukan propioseptor

Lesi pada setiap saraf kranial mengakibatkan gangguan pada bagian tubuh yang dipersarafinya sesuai dengan jenis serabut sarafnya masing-masing. Lesi pada saraf I mengakibatkan ketidakmampuan untuk menghidu, pada saraf II mengakibatkan kebutaan afeksi sisi, pada saraf III mengakibatkan pelebaran pupil, deviasi secara inferior dan lateral berkaitan dengan paralisis otot, penglihatan ganda, kekaburan penglihatan kelopak mata yang terasa berat, pada saraf IV mengakibatkan deviasi mata secara superior dan medial, penglihatan ganda, pada saraf V mengakibatkan neuralgia trigeminal, nyeri berat sepanjang


(38)

cabang saraf, kehilangan sensasi taktil di wajah, kelemahan dalam menggigit dan mengatupkan rahang, pada saraf VI akan mengakibatkan deviasi mata secara medial, pada saraf VII akan mengakibatkan kelumpuhan wajah (facial palsy), kehilangan sensasi rasa pada 2/3 bagian lidah dan penurunan salivasi, pada saraf VIII terjadi penurunan atau kehilangan pendengaran (saraf koklear); kehilangan keseimbangan, mual, vertigo dan pusing (saraf vestibular), pada saraf IX mengakibatkan kesulitan dalam menelan, kehilangan sensasi di 1/3 bagian posterior lidah dan penurunan salivsi, pada saraf X mengakibatkan kesulitan menelan dan atau keparauan, penyimpangan uvula pada bagian yang tidak berfungsi, pada saraf XI mengakibatkan kesulitan untuk mengelevasikan scapula atau merotasikan leher, dan pada saraf XII akan mengakibatkan penyimpangan idah ke sisi saraf yang rusak ketika ditonjolkan keluar ( Tate, 2012)

Saraf spinalis merupakan komponen dari sistem saraf perifer yang keluar dari sistem saraf pusat yaitu korda spinalis. Saraf spinal ada 31 pasang dan ditulis dengan huruf serta angka. Huruf menunjukkan daerah pada kolumna vertebra tempat munculnya saraf tersebut, C menunjukkan servikal, T menunjukkan thorakalis, L menunjukkan lumbalis dan S menunjukkan sakrum. Nomor pada penamaan saraf spinalis meunjukkan lokasi di setiap daerah tempat munculnya saraf pada kolumna vertebralis dengan nomor terkecil menunjukkan bagian paling superior. Saraf servikal terdiri dari C1-C8, saraf thorakalis menunjukkan T1-T12, saraf lumbalis terdiri dari L1-L5 dan saraf sakrum terdiri dari S1-S5.

Setiap saraf spinal kecuali C1 memiliki distribusi sensori kutaneus spesifik di seluruh tubuh.. Dermatomal merupakan sebuah istilah daerah pada kulit yang


(39)

disuplai oleh inervasi sensorik oleh saraf- saraf spinal. Kehilangan sensasi pada pola dermatomal memberikan informasi terhadap bagian saraf yang rusak (Seeley, 2008). Reseptor kutaneus berespon terhadap sentuhan, nyeri dan suhu.

2.5 Neuropati Perifer Diabetik

Neuropati perifer merupakan kelainan neurologik yang umum pada saraf perifer. Neuropati perifer memiliki banyak penyebab dengan berbagai manifestasi. Neuropati dapat terjadi akibat kelainan imun, kurang nutrisi, diabetes mellitus, infeksi, kanker, penggunaan alkohol, keracunan metabolik dan kelainan endokrin (Torre, 2009). Topik ini difokuskan pada neuropati perifer akibat diabetes mellitus.

Diabetes mellitus dapat merusak saraf perifer dari berbagai cara. Hiperglikemia memicu peningkatn sorbitol dan fruktosa pada sel schwann, akumulasinya mengakibatkan gangguan pada fungsi dan strukturnya.perubahan histologik awal adalah demyelinisasi segmental karena kerusakan sel schwann, pada tahap awal, akson akan mengalami fase pemulihan yang reversibel namun akhirnya akan berkembang menjadi fase ireversibel (Kumar, 2009).

Neuropati perifer mengakibatkan disfungsi sensori, disfungsi motor dan disfungsi otonom. Gangguan sensori sering kali menjadi tanda dari neuropati akibat diabetes mellitus. Gangguan proses sensori dapat mengakibatkan hiperalgesia (lebih nyeri dari stimulasi berat), hiperesthesia (pengingkatan sensasi taktil dengan penurunan ambang), paresthesia (sensasi spontan atau dirangsang), disthesia (sensasi yang sangat nyeri baik spontan maupun disengaja) atau alloynia (nyeri dari stimulasi ringan), kerusakan yang mengacu pada pertambahan


(40)

kecepatan konduksi. Serabut α dan β yang termyelinisasi menyebabkan parasthesia seperti kesemutan, menusuk-nusuk, rasa tegang, tertekan dan bengkak. Kerusakan yang mengacu pada penurunan kecepatan konduksi, penipisan myelinisasi A-ð dan serabut C mengakibatkan analgesia, sensasi suhu abnormal seperti rasa dingin dan panas, serta nyeri seperti terbakar, terpotong, tertarik dan rasa tumpul (Rohkamm, 2004). Neuropati otonom berdampak pada hipotensi orthostatik, gangguan pengosongan lambung, diare, pengosongan kandung kemih yng tertunda, disfungsi erektil, dan lain-lain.

Klasifikasi neuropati akibat diabetes dapat digolongkan atas distal sensory polyneuropathy, autonomic neuropathy, lumbar polyradiculopathy, thoracic radiculopathy, mononeuropathy, mononeuritis multiplex. Distal sensory polyneuropathy ditandai dengan symptom stocking-glove yakni pada tangan dan kaki, dengan gejala nyeri, rasa kebas di kaki dan merupakan tipe yang paling sering ditemukan pada penderita diabetes, autonomic neuropathy kemunculannya biasanya tersembunyi dan menyerang berbagai organ secara simultan dan merupakan komplikasi yang tidak terdiagnosa, lumbar polyradiculopathy ditandai dengan nyeri unilateral pada paha, kehilangan sensasi yang minimal, terjadi akibat diabetes mellitus jangka panjang, thoracic radiculopathy muncul dengan nyeri pada bagian abdominal yang disertai dengan pembengkakan pada abdomen, penderita umumnya menjalani pemeriksaan gastrointestinal sebelum ditemukan diagnose yang tepat, mononeuropathy merupakan munculnya disfungsi pada akar saraf tunggal, seringkali nyeri, saraf kranial yang terseranh umumnya okulomotor, merupakan factor yang umum menyebabkan carpal tunnel, mononeuritis multiplex


(41)

merupakan onset berkepanjangan dari disfungsi neurologic fokal pada berbagai area, symptom utamanya adalah nyeri, kelemahan dan rasa kebas pada kaki umumnya muncul unilateral (Fink, 2005)

Neuropati perifer diabetik jenis distal sensory polyneuropathy merupakan faktor utama terjadinya kaki diabetik. Pada penderita diabetes mellitus harus dilakukan skrining dengan berbagai pemeriksaan seperti sensasi tusuk, suhu dan persepsi getaran. Perhatian khusus perlu diberikan pemberi layanan kesehatan pada penderita diabetes mellitus karena neuropati perifer dapat berdampak pada cedera tungkai bawah yang tidak disadari serta luka terbuka yang perlu perhatian khusus. Bahaya akibat kehilangan sensasi pada neuropati perifer ini juga sering diabaikan oleh penderita terutama jika bagian-bagian lainnya masih dapat merasakan sensasi dengan baik, oleh karena itu pengkajian sensori taktil pada penderita diabetes mellitus merupakan tindakan yang penting dalam perawatan penderita diabetes mellitus (Fenderson, 2009).

Fink (2005) menyatakan bahwa penanganan neuropati dilakukan dengan memberikan antidepresan, antikonvulsan, mengendalikan kadar glukosa darah, menurunkan faktor resiko kardiovaskular, mengendalikan berat dengan pola makan dan aktivitas serta perawatan kaki untuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi.

Pengkajian sensori pada plantar kaki dapat dilakukan dengan semmes weinstein monofilament 5.07 gaya 10 gr, dilakukan di sepuluh titik pada telapak kaki. Sepuluh titik menggambarkan distribusi kutaneus (cutaneous distribution)


(42)

pleksus saraf sakral dan lumbalis pada pada tungkai bagian bawah (Tate, 2012). Peta distribusi kutaneus dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 2.5.1 Peta Distribusi Kutaneus pada kaki

Dikutip dari : Seeley’s Principles of anatomy and physiology; Hal. 315

Tibial Nerve (L4-S3) Sural nerve (L5-S2)

Femoral Nerve (L3-L4)

Common Fibular Nerve (L4-S2)

Skor keparahan dari pengkajian dengan alat ini menunjukkan derajat neuropati perifer yang diderita, semakin tinggi derajat neuropati yang diderita, maka semakin tinggi resiko terjadinya luka dan kerusakan pada kaki (Fenderson, 2009).


(43)

Gambar 2.5.2 Peta Titik Neuropati di Kaki

Dikutip dari : British Columbia Povincial Nursing Skin and Wound Comitee

Titik 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 10 dipersarafi oleh tibial nerve yag merupakan plexus saraf spinal L4-S3. Insensitivitas pada titik ini menunjukkan cedera pada percabangan kutaneus yang disuplai oleh saraf tibial yaitu kulit pada permukaan posterior kaki dan bagian calcaneus kaki, percabangan motornya terdapat pada bagian otot punggung atas, tungkai dan kaki (kecuali pada bicep femoris), bagian posterior adductor magnus, tibialis posterior, poplitea, flexor digitorum longus, flexor hallucius longus dan otot kaki bagian dalam. Saraf ini merupakan saraf yang melayani hampir sebahagian besar bagian plantar kaki (Marieb, 2013)

Titik 9 dipersarafi oleh sural nerve. Insensitivitas pada titik ini menunjukkan adanya cedera pada percabangan sural nerve yang mempersarafi bagian lateral dan sepertiga posterior kaki dan bagian lateral kaki. Titik 8 dipersarafi oleh femoral nerve. Insensitifitas pada daerah ini menunjukkan cedera percabangan saraf ini pada kaki. Saraf femoral menyuplai otot untuk fleksi paha dan ekstensi kaki dan kulit pada bagian anterior dan lateral paha, bagian medial tungkai dan kaki. Titik 1 dipersarafi oleh common fibular nerve. Insensitivitas


(44)

pada titik ini menunjukkan cedera pada perrcabangan sarafnya. common fibular nerve menyuplai kepala bicep femoris, otot-otot dorsofleksi, fleksi bagian plantar, kulit bagian lateral dan anterior tungkai dan bagian dorsal kaki (Seeley, 2008).


(45)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan angka kejadian dan tingkat keparahan neuropati perifer diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pingadi Medan, dimana keparahan neuropati perifer diabetik dikategorikan menjadi derajat 0, derajat 1, derajat 2, dan derajat 3

Skema 3.1. Kerangka konseptual angka kejadian dan tingkat keparahan neuropati perifer diabetik

2. Variabel penelitian dan Defenisi Operasional

Variabel penelitian dan defenisi operasional dalam penelitian ini dijabarkan pada tabel di bawah ini :

Neuropati Perifer Diabetik

Ya : Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Tidak : Derajat 0


(46)

Tabel 3.1 Tabel Defenisi Operasional Angka Kejadian dan Neuropati Perifer Diabetik

No Variabel Defenisi Operasional

Cara Pengukuran

Hasil Ukur Skala

1. Angka kejadian neuropati perifer diabetik Jumlah responden yang mengalami neuropati pada salah satu maupun kedua kaki.

Monofilamen disentuhkan pada 10 titik neuropati, masing –masing di plantar kiri dan kanan. Responden yang tidak sensitif terhadap minimal 1 titik neuropati pada salah satu atau kedua kaki digolongkan sebagai responden neuropati. Persentasi responden neuropati terhadap seluruh responden penelitian Nominal

2. Tingkat keparahan neuropati perifer dibetik Derajat keparahan neuropati perifer diabetik berdasarkan jumlah titik neuropati yang tidak dirasakan saat pengukuran dengan semmes weinstein monofilamen 5.07 (10 gr) Monofilamen disentuhkan terhadap 10 titik neuropati pada kaki, jika responden sensitif terhadap 10 titik neuropati digolongkan neuropati derajat, tidak sensitif pada 1-3 titik digolongkan neuropati derajat 1, tidak sensitif terhadap 4-6 titik digolongkan derajat 2, tidak sensitif pada 7-10 titik digolongkan derajat 3 Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 Derajat3 Ordinal


(47)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Menurut Polit&Beck (2003) Penelitian deskriptif bertujuan untuk mengobservasi dan mendeskripsikan variabel-variabel penelitian. Sesuai dengan defenisi tersebut tujuan penelitian ini adalah mengobservasi dan mendeskripsikan angka kejadian dan tingkat keparahan neuropati perifer diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan

2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh pasien diabetes mellitus di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi, Medan. Jumlah pasien diabetes mellitus di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan pada bulan April – Mei 2013 adalah sebanyak 82 orang. Besar sampel pada penelitian yang akan dilakukan diambil

menurut rumus Slovin N 82

n = = 68 orang

Nd2+1 82. (0.05)2+1 n = Besar sampel

N= Besar populasi

d = Taraf Signifikansi (α =0.05).

Cara pengambilan sampel adalah purposive (judgmental) sampling. Menurut Polit& Beck (2003), Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang didasarkan oleh keyakinan bahwa pengetahuan peneliti tentang


(48)

populasi dapat digunakan untuk menentukan anggota sampel. Berdasarkan defenisi tersebut, peneliti menentukan kriteria untuk menetapkan sampel. Kriteria inklusi penelitian adalah (1) penderita diabetes mellitus di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan dengan kondisi kedua plantar baik, (2) bersedia menjadi responden, (3) Tidak memiliki riwayat maupun sedang menderita stroke.

3.Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan dengan pertimbangan bahwa di Rumah Sakit Pirngadi Medan terdapat populasi dengan jumlah yang banyak untuk mendapatkan sampel yang representatif pada penelitian ini. Penelitian dilaksanakan pada April-Mei 2013.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Fakultas Keperawatan USU dan ijin dari Rumah Sakit Pirngadi Medan. Setelah mendapat ijin dari Rumah Sakit Pirngadi, peneliti akan menunggu responden di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan dan menyerahkan lembar persetujuan bagi responden yang ditemui. Responden yang menyatakan setuju sebagai partisipan dalam penelitian akan mengisi lembar persetujuan menjadi responden (informed consent). Informasi yang diperoleh dari responden dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dengan tidak mencantumkan nama responden di lembar alat ukur peneliti dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data dan hasil penelitian yang disajikan.


(49)

5. Instrument Penelitian

Instrument penelitian ini adalah Semmes weinstein monofilament tipe 5.07 (10 gr), merupakan alat untuk mengevaluasi sensori taktil pada kaki penderita diabetes mellitus. Alat ini berasal dari Amerika Serikat yang dibuat pada tahun 2008. Kaliberasi alat tidak dilakukan karena tidak menginterpretasikan angka sebagai hasil pengukuran. Oleh karena instrumen penelitian yang digunakan merupakan instrument baku maka tidak dilakukan uji validitas.

6. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas yang dilakukan adalah koefisien reliabilitas cohenn’s kappa terhadap 2 rater dengan kesalahan standar sebesar 0,048. Uji reliabilitas dilakukan oleh peneliti bersama satu orang rater lain terhadap 10 orang responden di Rumah Sakit Pirngadi Medan. Responden untuk uji reliabilitas tidak termasuk responden kedalam penelitian. Hasil uji menunjukkan nilai Kappa = 0.87 (memuaskan) sehingga instrumen penelitian bersifat reliabel

7. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dimulai dengan mengajukan permohonan ijin pelaksanaan penelitian ke bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU. Setelah mendapatkan surat pengantar dari fakultas, peneliti mengirimkan surat tersebut ke Rumah Sakit Pirngadi Medan. Setelah mendapatkan ijin untuk melakukan penelitian dari Rumah Sakit dr. Pirngadi Medan, peneliti menunggu responden di unit rawat jalan Rumah Sakit dr. Pirngadi medan dan mendatangi responden yang memenuhi kriteria penelitian untuk menyerahkan lembar persetujuan menjadi responden, menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian. Data yang


(50)

dikumpulkan berupa data primer. Data dikumpulkan melalui pembagian kuesioner untuk mendapatkan data demografi responden dan akan diisi oleh responden. Setiap responden diberikan waktu ± 5 menit untuk mengisi seluruh data demografi . Setelah responden selesai mengisi semua pernyataan, peneliti memeriksa kembali kelengkapan jawaban responden dan menyesuaikannya dengan jumlah kuesioner yang terkumpul. Setelah kuesioner terkumpul, untuk mendapatkan data kejadian neuropati, dilakukan pengkajian sensori pada sepuluh titik di plantar kaki kanan dan kiri responden dengan menggunakan alat Semmes weinstein monofilament tipe 5.07 (10 gr) dan didokumentasikan dalam lembar observasi. Setiap titik pada plantar kaki responden diukur selama 1 menit, sehingga untuk kedua kaki dibutuhkan waktu 20 menit pada setiap responden.

8. Analisa Data

Untuk mengembangkan rencana penelitian, akan dilakukan analisa data. Proses yang dilakukan untuk menganalisa data antara lain editing, coding, klasifikasi dan tabulasi data sehingga dapat dianalisa. Editing dilakukan dengan cara field editing dimana informasi yang kurang jelas dari kuesioner yang diisi responden akan segera ditanyakan dan ditulis kembali oleh peneliti di tempat penelitian setelah kuesioner selesai diisi. Coding dilakukan dengan memberikan kode sebelum dilakukan kalkulasi statistik sehingga respon yang diperoleh dapat dimasukkan kedalam kategori tertentu. Klasifikasi dilakukan berdasarkan atribut responden. Analisa data variabel penelitian (kejadian neuropati perifer dan tingkat keparahan) dilakukan dengan menggunakan analisa statistik univariat dengan program SPSS versi 16.0.


(51)

9. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah suatu prosedur untuk menganalisa data dari dari satu variabel untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian. Pada penelitian ini analisa data dengan metode statistik univariat digunakan untuk menganalisa data demografi, kejadian neuropati perifer dan tingkat keparahan neuropati perifer diabetik. Data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.


(52)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai angka kejadian dan tingkat keparahan neuropati perifer diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi, Medan sebagai berikut :

1.Hasil Penelitian

Penelitian tentang angka kejadian dan tingkat keparahan neuropati perifer diabetik telah dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2013 di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan terhadap responden penelitian sebanyak 67 orang. Adapun data-data yang diperoleh adalah sebagai berikut :

1.1 Karakteristik Data Demografi Responden

Adapun deskripsi distribusi frekuensi karakteristik responden pada penelitian ini mencakup jenis kelamin, usia, pendidikan, suku, status olahraga, terapi yang digunakan, status pendidikan kesehatan, status merokok, lama menderita diabetes mellitus, KGD terakhir dan terapi yang digunakan. Karakteristik responden disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:


(53)

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Data Demografi Responden di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan April-Mei tahun 2013 (n=67)

Data Demografi Responden Frekuensi (f)

Persentase (%)

1. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan 2. Usia Responden 45-50 tahun 51-60 tahun 61-70 tahun 71-80 tahun 3. Pendidikan SD SMP SMA D3 S1 S2 4. Suku Batak toba Karo Simalungun Mandailing PakPak Jawa Makassar Minang Aceh 5. Status Olahraga

Teratur Tidak teratur 6. Terapi yang Digunakan

Insulin OHO

Insulin + OHO Tidak memakai terapi 7.Status Edukasi

Pernah menerima penkes Tidak pernah menerima penkes 8. Status Merokok

Merokok Tidak Merokok 9. Lama Menderita Diabetes

0-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun > 30 tahun 10. KGD terakhir

< 200mg/dL

≥ 200 mg/dL

21 46 4 15 38 10 9 10 29 5 12 2 42 3 2 6 1 9 1 2 1 28 39 5 46 13 3 52 15 6 61 20 14 16 5 4 7 1 25 42 31,3 68,7 6,0 22,4 56,7 14,9 13,4 14,9 43,3 7,5 17,9 3,0 62,7 4,5 3,0 9,0 1,5 13,4 1,5 3,0 1,5 41,8 58,2 7,5 68,7 19,4 4,5 77,6 22,4 9 90,0 29,9 20,9 23,9 7,5 6,0 10,4 1,5 37,3 62,7


(54)

Berdasarkan data yang diperoleh dari tabel distribusi frekuensi dan persentasi data demografi responden, didapatkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 46 orang (68,7 %), mayoritas kelompok umur berada dalam rentang 61-70 tahun yaitu sebanyak 38 orang (56,7%), mayoritas responden berpendidikan terakhir di jenjang SMA yaitu sebanyak 29 orang (43,3%), suku terbanyak adalah suku batak toba dengan jumlah 42 orang (62,7%), mayoritas responden tidak teratur berolahraga yaitu sebanyak 39 orang (58,2%), mayoritas responden menggunakan terapi obat hiperglikemik oral (OHO) yaitu sebanyak 46 orang (68,7%), mayoritas responden pernah menerima pendidikan kesehatan yaitu sebanyak 52 orang (77,6 %), mayoritas responden tidak merokok yaitu sebanyak 61 (91,0%), mayoritas resoponden telah menderita diabetes mellitus berada pada rentang 0-5 tahun yaitu sebanyak 20 orang (29,9%) dan mayoritas kadar glukosa darah terakhir ≥ 200mg/dL yaitu sebanyak 42 orang (62,7%)

1.2 Karakteristik Klinis Neuropati Perifer Diabetik Responden dan Tingkat

Keparahannya.

Adapun sebaran distribusi dan frekuensi hasil pengukuran titik neuropati pada penelitian tentang angka kejadian dan tingkat keparahan neuropati perifer diabetik dapat dilihat pada tabel dibawah ini sebagai berikut :

Tabel 5.1.2 Kejadian Neuropati Perifer di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan April - Mei 2013 (n=67)

No Kejadian Neuropati Perifer Diabetik

Frekuensi (f)

Persentasi (%)

1. Neuropati 56 83, 6


(55)

Tabel 5.1.3 Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Diabetik Pada Plantar Responden di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan April-Mei

2013 (n=56)

Derajat Neuropati

Kaki Kanan Kaki Kiri

0 1 2 3 Frekuensi (f) 2 28 12 14 Persentasi (%) 3,6 50,0 21,4 25,0 Frekuensi (f) 3 31 10 12 Persentasi (%) 5,4 55,4 17,9 21,4

Tabel 5.1.4 Lokasi Neuropati Responden di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan April-Mei 2013 (n=56)

Lokasi Neuropati

Kaki Kanan Kaki Kiri

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Frekuensi (f) 18 24 18 22 20 28 22 14 22 45 Persentasi (%) 32,1 42,9 32,1 39,3 35,7 50,0 39,3 25,0 39,3 80,4 Frekuensi (f) 17 16 20 19 23 26 24 14 20 44 Persentasi (%) 30,4 28,6 35,7 33,9 41,1 46,4 42,9 25,0 35,7 78,6

Pada penelitian ini mayoritas responden yaitu sebanyak 56 dari 67 orang (83,6%) menderita neuropati perifer diabetik. Mayoritas responden mengalami neuropati derajat 1 pada kaki kanan yaitu sebanyak 28 orang (50% ) dan neuropati derajat 1 pada kaki kiri yaitu sebanyak 31 orang (55,4%). Neuropati paling banyk


(56)

terjadi pada titik 10 plantar kanan responden yaitu 45 orang (80,4) dan pada titik 10 plantar kiri yaitu sebanyak 44 (78,6%)

2. Pembahasan

2.1 Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Pirngadi Medan

2.1.1 Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yaitu 21 orang laki-laki dan 46 orang perempuan dengan perbandingan 1 :2,1. Hal ini sejalan dengan penelitian Eko (2010) pada bulan Agustus-Desember 2001 di RSUP Dokter Kariadi yang menyatakan bahwa jumlah penderita diabetes mellitus perempuan lebih banyak dibanding dengan laki-laki yaitu 17 orang laki-laki dan 24 orang perempuan. Penelitian Priyantono (2005) di poliklinik penyakit dalam RSUP Dokter Kariadi selama Juli 2004-Maret 2005 menyatakan bahwa perbandingan laki-laki dan perempun penderita diabetes mellitus adalah 1: 1,4. Ardiyanto (2006) dalam Eko (2010) menyatakan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan kejadian diabetes mellitus antara laki-laki dan perempuan karena baik laki-laki maupun perempuan secara anatomi dan fisiologis memiliki organ pankreas dan sesuai dengan kebutuhan. Menurut asumsi peneliti, perbedaan kejadian diabetes mellitus antara laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini kemungkinan karena terbatasnya jumlah kasus yang menjadi responden.


(57)

2.1.2 Suku Bangsa

Dalam penelitian ini, mayoritas responden penelitian adalah suku batak toba. Hal ini sejalan dengan penelitian Sari (2006) dalam Junita (2009) di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2002-2004 dengan proporsi penderita diabetes mellitus didominasi suku batak toba yaitu 52%. Dalam hal ini suku batak toba kemungkinan merupakan penduduk mayoritas di kota medan.

2.1.3 Kelompok Umur dan Lama Menderita Diabetes Mellitus.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kelompok umur 61-70 tahun yaitu sebanyak 38 orang (56,7%) diikuti oleh kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 15 orang (22,4%). Hal ini sejalan dengan penelitian Sihombing (2012) pada bulan Mei 2012 di poliklinik DM RSUD Bandung yang menyatakan bahwa frekuensi usia penderita diabetes mellitus memiliki persentasi terbesar pada rentang usia 55 tahun keatas.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa mayoritas responden telah menderita diabetes mellitus dalam rentang 0-5 tahun yaitu sebanyak 20 orang. Hal ini sesuai dengan penelitian Priyantono (2005) yang menyatakan bahwa kasus neuropati diabetik sudah ditemukan pada 65 orang dari 85 penderita diabetes mellitus yang menderita diabetes selama 1-10 tahun. Smeltzer & Bare (2002) dan National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease/ NIDDK (2009) menyatakan bahwa prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan usia penderita dan lamanya menderita penyakit diabetes mellitus. Lama menderita diabetes mellitus dapat menimbulkan neuropati diabetik karena hiperglikemia yang berkepanjangan. Menurut Echeverry (2001) penuaan menjadi faktor resiko


(58)

neuropati karena perubahan anatomi dan fisiologis semua sistem dalam tubuh termasuk pada saraf tepi dimana perubahan umumya dimulai pada umur petengahan. Mihardja (2009) menyatakan bahwa semakin lanjut usia maka pengeluaran insulin oleh pankreas juga semakin berkurang.

2.1.4 Kadar Glukosa Darah

Mayoritas kadar glukosa darah terakhir > 200mg/dL yaitu sebanyak 42 orang (62,7%). Menurut Kumar (2009), kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dL merupakan kondisi hiperglikemia. Subekti (2009) menyatakan bahwa patogenesis neuropati diabetik adalah hiperglikemia berkepanjangan. Kondisi hiperglikemia berakibat terjadi peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C. Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan mengakibatkan neuropati diabetik. Penelitian Subiyantoro (2002) menyatakan bahwa hanya dengan melihat status pengendalian glukosa darah sekali saja tidak dapat memperkirakan tingginya neuropati pada penderita diabetes mellitus.

2.1.5 Status merokok

Dalam penelitian ini, mayoritas responden tidak merokok yaitu sebanyak 61 orang (91%) orang. Menurut teori, merokok merupakan salah satu faktor mayor dalam mengkibatkan aterosklerosis. Marieb (2013) menyatakan bahwa nikotin dalam tembakau merupakan racun kuat yang dapat menyebabkan vasokonstriksi yang dengan merangsang neuron simpatis postganglionik secara langsung dan merusak tunica intima yang berfungsi dalam pengaturan diameter


(59)

arteriolar. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan merusak fungsi saraf, menurunkan terjadinya regenerasi saraf dan kerusakan struktur saraf. Andreassen (2006) menyatakan bahwa merokok, jenis kelamin wanita dan tinggi badan merupakan faktor independen dalam perkembangan neuropati perifer diabetik. Penelitian Priyantono (2005) menyatakan bahwa merokok, tidak menunjukkan peranan sebagai faktor resiko terjadinya neuropati diabetika. Menurut asumsi peneliti, kejadian diabetes mellitus dan neuropati diabetik yang ditemukan dalam penelitian ini tidak hanya dipengaruhi oleh rendahnya kebiasaan merokok saja namun hasil interaksi faktor-faktor lainnya seperti aktivitas dan usia responden.

2.1.6. Status Olahraga, Edukasi dan Penggunaan terapi.

Mayoritas responden tidak teratur berolahraga yaitu sebanyak 39 orang (58,2%). Penelitian Eko (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang kuat antara aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah, artinya gula darah akan menurun jika responden melakukan aktivitas lebih. National Diabetes Service Scheme (2012), latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah, meningkatkan sirkulasi darah, meningkatkan efisiensi insulin, meningkatkan rasa nyaman, penurunan berat badan dan meratanya distribusi lemak. Dengan demikian, kondisi mayoritas responden yang tidak berolahraga dapat meningkatan kadar glukosa darah dan memicu timbulnya neuropati diabetik.

Mayoritas responden pernah menerima pendidikan kesehatan yaitu sebanyak 52 orang (77,6%). Bila dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya,


(60)

mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir SMA yaitu 29 orang (43,3%). Bila ditinjau dari data demografi, sebahagian besar responden berpendidikan menegah kebawah yaitu pada jenjang SD, SMP, dan SMA. Penelitian Mihardja (2009) menyatakan bahwa prevalensi diabetes mellitus di perkotaan di Indonesia pada kategori pendidikan rendah cukup tinggi yaitu 56,3%. Hal ini perlu mendapat perhatian karena karena pengetahuan dan kepatuhan penderita diabetes mellitus terhadap pengendalian glukosa darah harus ditingkatkan. Edukasi tentang pengendalian glukosa darah dan bahaya hiperglikemia dapat diberikan dengan mengikutsertakan keluarga.

Mayoritas responden pada penelitian ini menggunakan terapi obat hiperglikemik oral, yaitu sebanyak 46 orang (68,7%) dilanjutkan dengan kombinasi pemakaian OHO dan insulin sebanyak 13 orang (19,4%) dan insulin sebanyak 5 orang (7,5%). Responden yang tidak menggunakan terapi sebanyak 3 orang (4,5%). Konsensus pengelolaan diabetes mellitus (2011) menyatakan bahwa obat hiperglikemik oral (OHO) merupakan agen farmakologis awal yang digunakan untuk penderita diabetes mellitus khususnya diabetes mellitus tipe 2 yang diikuti dengan kendali glukosa darah dengan diet dan latihan fisik sedangkan penggunaan insulin dipertimbangkan untuk kondisi hiperglikemik berat, penurunan berat badan yang cepat, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar nonketotik, hipergllikemia dengan asidosis laktat, wanita hamil dengan diabetes mellitus, stress berat,maupun alergi terhadap OHO dan adanya kerusakan ginjal dan hati. Bila sasaran glukosa darah belum tercapai diberikan kombinasi OHO dan insulin. Penggunaan terapi farmakologis disesuaikan dengan


(61)

kebutuhan penderita diabetes mellitus. Menurut asumsi peneliti kondisi hiperglikemia yang ditemukan dalam penelitian ini diakibatkan oleh kurangnya aktivitas fisik (olahraga) responden.

2.2 Karakteristik Neuropati dan Tingkat Keparahan Neuropati Diabetik

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 56 dari 67 orang responden (83,6%) menderita neuropati perifer diabetik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boulton (2004), bahwa neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi diabetes mellitus yang umum terjadi dan prevalensinya dapat mencapai hingga 50%. Hal ini didukung oleh Davies (2006) yang menyatakan bahwa neuropati perifer diabetik merupakan komplikasi diabetes mellitus yang paling sering terjadi baik pada penderita diabetes mellitus tipe 1 maupun tipe 2.

Smeltzer&Bare (2008) menyatakan bahwa prevalensi diabetes mellitus meningkat sejalan dengan usia penderita diabetes mellitus, lama menderita diabetes mellitus dan kemungkinan meningkat menjadi 50% pada penderita yang telah mengidap diabetes mellitus > 25 tahun. Etiologi neuropati diabetik meliputi peningkatan kadar glukosa darah selama beberapa tahun. Patogenesis neuropati dapat dihubungkan dengan mekanisme vaskular, metabolik maupun keduanya. Penebalan membran kapiler bagian bawah, dan penutupan kapiler dapat terjadi. Demyelinisasi saraf juga dapat terjadi berhubung dengan hiperglikemia. Konduksi saraf terjadi jika ada gangguan pada selaput myelin. Bila dilihat dari karakteristik responden, mayoritas responden berusia 61-70 tahun, tidak teratur berolahraga dengan kadar glukosa darah > 200mg/dL. Hal ini merupakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan prevalensi neuropati diabetik.


(62)

Mayoritas responden mengalami tingkat keparahan neuropati perifer derajat 1 baik pada kaki kanan maupun pada kaki kiri yaitu 28 orang (50% ) pada kaki kanan dan sebanyak 31 orang (55,4%). Menurut Fenderson (2009), neuropati derajat 1 merupakan neuropati ringan dengan kerusakan sensasi taktil pada 1-2 titik neuropati. Ditinjau dari data demografi, mayoritas responden telah menderita diabetes mellitus pada dalam rentang 0-5 tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fischer W Dkk (1991) dalam Priyantono (2005) bahwa neuropati ditemukan pada pasien dengan lama meenderita diabetes mellitus rata-rata 5 tahun. Penelitian Priyantono (2005) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya menderita DM dengan timbulnya polineuropati diabetik, semakin lama menderita DM maka risiko timbulnya polineuropati 1,15 kali dibanding penderita diabetes mellitus yang belum lama. Janghorbani (2006) bahwa neuropati dapat ditemukan sejak pertama kali terdiagnosa diabetes mellitus dan akan bertambah hingga mencapai 50% pada penderita diabetes mellitus dengan lama menderita 25 tahun.

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease/ NIDDK (2009) menyatakan bahwa penderita diabetes mellitus dapat mengalami perkembangan kerusakan pada saraf setiap waktu, namun resiko bertambah sehubungan dengan lama menderita diabetes mellitus. Kerusakan fungsi saraf akibat diabetes mellitus dapat diturunkan dengan mengontrol glukosa darah, menjaga berat badan dalam rentang ideal, berhenti merokok dan menjalankan olahraga dengan teratur.


(1)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak neuropati 38 67.9 67.9 67.9

Neuropati 18 32.1 32.1 100.0

Total 56 100.0 100.0

kanan 2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak neuropati 32 57.1 57.1 57.1

Neuropati 24 42.9 42.9 100.0

Total 56 100.0 100.0

kanan 3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 38 67.9 67.9 67.9

Neuropati 18 32.1 32.1 100.0

Total 56 100.0 100.0

kanan 4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 34 60.7 60.7 60.7

Neuropati 22 39.3 39.3 100.0


(2)

kanan 5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak neuropati 36 64.3 64.3 64.3

Neuropati 20 35.7 35.7 100.0

Total 56 100.0 100.0

kanan 6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 28 50.0 50.0 50.0

Neuropati 28 50.0 50.0 100.0

Total 56 100.0 100.0

kanan 7

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 34 60.7 60.7 60.7

Neuropati 22 39.3 39.3 100.0

Total 56 100.0 100.0

kanan 8

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 42 75.0 75.0 75.0


(3)

kanan 9

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak neuropati 34 60.7 60.7 60.7

Neuropati 22 39.3 39.3 100.0

Total 56 100.0 100.0

kanan 10

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 11 19.6 19.6 19.6

Neuropati 45 80.4 80.4 100.0

Total 56 100.0 100.0

Kiri 1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak neuropati 39 69.6 69.6 69.6

Neuropati 17 30.4 30.4 100.0

Total 56 100.0 100.0

Kiri 2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak neuropati 40 71.4 71.4 71.4

Neuropati 16 28.6 28.6 100.0


(4)

Kiri 3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 36 64.3 64.3 64.3

Neuropati 20 35.7 35.7 100.0

Total 56 100.0 100.0

Kiri 4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 37 66.1 66.1 66.1

Neuropati 19 33.9 33.9 100.0

Total 56 100.0 100.0

Kiri 5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak neuropati 33 58.9 58.9 58.9

Neuropati 23 41.1 41.1 100.0

Total 56 100.0 100.0

Kiri 6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 30 53.6 53.6 53.6

Neuropati 26 46.4 46.4 100.0


(5)

Kiri 7

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 32 57.1 57.1 57.1

Neuropati 24 42.9 42.9 100.0

Total 56 100.0 100.0

Kiri 8

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 42 75.0 75.0 75.0

Neuropati 14 25.0 25.0 100.0

Total 56 100.0 100.0

Kiri 9

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak neuropati 36 64.3 64.3 64.3

Neuropati 20 35.7 35.7 100.0


(6)

Kiri 10

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Neuropati 12 21.4 21.4 21.4

Neuropati 44 78.6 78.6 100.0