Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

TINJAUAN PUSTAKA Keberadaan Taman Nasional

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hutan dan ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai berikut : Taman Nasional adalah suatu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

  Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Area seluas 1.094.692 hektar (ha) ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980. Nama TNGL diambil dari Gunung Leuser yang membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl). Bersama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Seblat, TNGL ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia, Tropical

  Sumatra

  Rainforest Heritage of pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL juga telah

  ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984 (OIC, 2009).

  Taman nasional dan kawasan konservasi lainnya, memberikan manfaat yang tak ternilai dan sangat penting. Manfaat tersebut meliputi kekayaan hasil hutan, laut, perlindungan ekosistem dan sebagainya. Dengan potensi sumberdaya alam yang ada mengakibatkan terjadinya kegiatan pemanfaatan hasil hutan.

  Adanya aktifitas pemanfaatan ini dinilai sebagai suatu tekanan terhadap taman nasional karena itu, pemanfaatan hasil hutan harus dilakukan dengan cara-cara yang benar, sehingga kelestariannya dapat terjamin (Souhuwat, 2006).

  Soekmadi, 2005 dalam (Souhuwat, 2006) berdasarkan hasil kongres konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Masyarakat tersebut akan termotivasi berperan serta untuk kepentingan pengelolaan kawasan dalam jangka panjang. Hal ini akan berimplikasi terbukanya akses bagi masyarakat terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan secara berkesinambungan.

  Analisis terhadap perkembangan lingkungan eksternal di sekitar Balai TNGL sangat penting untuk memnetukan arah organisasi nanti ke depan.

  Perkembangan yang dimaksud antara lain: perubahan penggunaan lahan (misalnya perluasan perkebunan kelapa sawit, pembangunan jalan); perubahan kebijakan (pembangunan kabupaten, provinsi dan nasional pasca reformasi dan pasca perjanjian damai di NAD, ditetapkannya UU No 11/2006 tentang Pemerintah Aceh); dinamika politik (lahirnya beberapa kabupaten baru dan pilkada); perubahan peta strategis industri perkayuan (meningkatnya permintaan kayu pada tingkat regional dan global, kebijakan soft landing industri perkayuan nasional). Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari proses-proses dinamis langsung dan tidak langsung mempengaruhi arah dan pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser ke depan (TNGL, 2006).

  Aktivitas implementasi kebijakan pada dasarnya besifat kompleks karena sangat ditentukan oleh beberapa faktor. Grindle dalam (Ginidie et al, 2013) menyatakan: Ada dua hal yang mempengaruhi aktivitas implementasi dalam proses politik dan administrasi yaitu contents of policy dan contexs of

  

implementation. Adapun dimaksud contents of policy yaitu kepentingan yang

  yang diharapkan (extent of change envisioned), letak pengambilan keputusan (site

  

of decision making ), pelaksana program (program implementator) dan sumber

  daya yang dilibatkan (resources commited). Sedangkan yang dimaksud contexs of

  

implementation yaitu kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

  (power, interest and strategies of actors), karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristic) dan kepatuhan dan daya tanggap (compliance and responsiveness).

  Masyarakat Sekitar Hutan

  Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan pada umumnya sangat bergantung pada sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan ekonomi dan budayanya. Baik yang memanfaatkan secara langsung ataupun tidak langsung dari hasil hutan tersebut.

  Sebagian dari mereka melakukan kegiatan budidaya pertanian di dalam kawasan hutan. Lainya hanya memetik hasil hutan non kayu seperti rotan, getah, sarang burung, dan tanaman obat-obatan. Sebagain lainya hanya mencari kayu bakar, menyabit rumput, atau menggembalakan ternaknya di dalam kawasan hutan (Susilawati, 2008)

  Von Maydell, 1989 dalam (Tambunan, 2012) mengelompokkan masyarakat lingkungan hutan menjadi dua bagian besar, yaitu: a.

  Masyarakat di dalam kawasan hutan (forest dweller) yang dapat dikatakan sebagai komponen alami dari ekosistem hutan, karena sudah turun-temurun tinggal di dalam hutan, meski tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Secara (gatherers) dan atau pemburu (hunters), walaupun ada yang mulai bercocok tanam dan beternak dengan cara sederhana (cultivators).

  b.

Masyarakat desa di lingkungan hutan (rural people) yang merupakan masyarakat yang tinggal secara tetap (desa) baik di dalam maupun di sekitar

  hutan. Pada umumnya mereka bermata pencaharian sebagai petani/peladang (farmers), tetapi ada juga pengrajin (craftman) dan pedagang (traders).

  Adanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang mempunyai akses langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan hutan serta memanfaatkan sumberdaya hutan adalah suatu realita yang tidak bisa diabaikan. Kondisi ini tentunya akan berdampak positif maupun negatif terhadap kelestarian hutan.

  Kegagalan pengelolaan hutan yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh faktor teknis semata namun lebih disebabkan oleh faktor sosial. Oleh karena itu, pengelolaan hutan yang baik tidak hanya memperhatikan aspek teknis pengelolaan hutan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial (Nurrochmat, 2005).

  Interaksi Masyarakat

  Interaksi masyarakat dengan lingkungan alam berupa hutan merupakan wujud dari aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya memerlukan keberadaan hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Bentuk-bentuk interaksi masyarakat desa dengan kawasan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat seperti, antara lain: mengumpulkan hasil hutan berupa bahan pangan, kayu bakar, pakan ternak, umbi-umbian serta hasil dari jenis jasa hutan lainnya

  Menurut MacKinnon et al, 1993 dalam (Marliani, 2005) interaksi masyarakat dengan kawasan yang dilindungi dapat diarahkan pada suatu tingkat integrasi dimana keperluan masyarakat akan sumberdaya alam dapat dipenuhi tanpa mengganggu atau merusak potensi kawasan. Salah satu alternatifnya adalah membentuk daerah penyangga sosial yaitu daerah penyangga yang berguna untuk mengalihkan perhatian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mereka tidak merugikan hutan tersebut. Daerah penyangga juga dapat berfungsi sebagai usaha pertanian intensif, tempat untuk mengembangkan dan membina hubungan tradisional antara manusia dengan alam. Keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan itu dari pengembangan yang membahayakan.

  Beberapa penyebab terjadinya interaksi yang cukup penting antara manusia dan sumberdaya hutan Alikodra, 1985 dalam (Marliani, 2005) adalah: a.

  Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar kawasan relatif rendah.

  b.

  Tingkat pendidikannya relatif rendah c. Rata-rata pemilikan lahan yang sempit dan kurang intensif pengelolaannya d.

  Laju pertumbuhan penduduk yang pesat dengan kepadatan cukup tinggi.

  Secara umum interaksi masyarakat dengan hutan, tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Bentuk interaksi dan illegal (kegiatan negatif). Kegiatan legal terdiri dari pengumpulan rencek, pemanfaatan rumput untuk makanan ternak, buah-buahan, tanaman obat, dan hasil-hasil hutan lainnya. Kegiatan illegal terdiri dari pencurian kayu, penggarapan liar (bibrikan), pengembalaan liar dan pendudukan atau penyerobotan lahan untuk berbagai kepentingan (Nurrochmad dan Birgantoro, 2007).

  Hasil Hutan yang Dimanfaakan Masyarakat

  Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya (PP No. 6 tahun 2007).

  Suhendang, 2002 dalam (Girsang, 2006) Keseluruhan manfaat yang dapat diperoleh dari hutan berdasarkan wujudnya dapat dikelompokkan kedalam barang dan jasa. Keluaran hutan yang berbentuk barang menyatakan keluaran yang dapat diperoleh dari hutan yang berbentuk benda nyata yang dapat dilihat, dirasakan, diraba dan, diukur secara langsung, antara lain; kayu, rotan, getah, buah, kayu bakar, satwa liar dan air. Keluaran hutan berupa jasa menyatakan keluaran yang dapat diperoleh dari hutan melalui fungsi hutan yang bersifat maya (abstrak) antara lain; kemampuan hutan untuk memberikan pemandangan alam, menyerap, dan menyimpan karbon, dan lain-lain.

  Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu sumber hutan sehari-hari. Ketergantungan yang sangat tinggi terlihat dari pemanfaat jasa hutan secara langsung misalnya pengambilan kayu bakar, jasa ekowisata, perolehan air bersih dan lain-lain dan manfaat tidak langsung berupa supply udara bersih, pemberi kesejukan dan keindahan masyarakat pinggir hutan (BBTNGL, 2010)

  Alikodra et al, 1986 dalam (Ardiansyah, 2008) Kegiatan memungut hasil hutan dan hasil laut bagi masyarakat desa sekitar kawasan konservasi merupakan pekerjaan tambahan. Pengambilan setiap komoditi hutan biasanya dilakukan secara bersamaan dalam periode yang sama, misalnya pengambilan kayu bakar dilakukan sekaligus pada waktu pengambilan rumput, atau pengambilan kayu bakar dilakukan pada waktu penangkapan nener. Bagi buruh tani pada musim kemarau banyak yang mencari hasil hutan (ules, ramban, asam, rumput, rotan) dan hasil laut (nener, benur) untuk menambah penghasilan.

  Kondisi Umum Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Letak dan luasan

  Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Ha yang terletak di dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara.

  Secara administrasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di 2 (dua) provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, serta berbatasan dengan 9 kabupaten (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Langkat, Dairi dan Karo). Secara geografis kawasan Taman Nasional Gunung Leuser terletak pada kordinat 96° 35”- 98° 30”

   Topografi, iklim dan tanah

  Ditinjau dari segi topografi, kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih lebih dari 3000 mdpl, namun secara rata-rata hampir 80% kawasan memiliki kemiringan di atas 40%.

  Kawasan TNGL dalam pengaruh inter-tropical convergence zone. Oleh karena itu sebagian besar klasifikasi iklimnya masuk ke dalam kategori Klas A, yaitu wet and hot tropical rainforest climate. Dalam tipe iklim ini, temperatur bulanan mencapai 18°C dan curah hujan tahunan lebih besar dari pada evaporasi tahunan aktual.

  Jenis tanah di kawasan TNGL cukup beragam dari jenis aluvial, andosol, komplek podsolik, podsolik coklat, podsolik merah kuning, latosol, litosol, komplek rensing, organosol, regosol, humus, tanah gambut, tanah sedimentasi dan tanah vulkanik (www.gunungleuser.or.id).

   Fauna dan flora

  Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 130 jenis mamalia, di antaranya orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii), sarudung (Hylobates

  lar ), siamang (Hylobates syndactilus), monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis ), beruk (Macaca nemestriana) dan kedih (Presbytis thomasi). Satwa

  karnivora di antaranya: macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu

  (Helarctos malayanus), harimau sumatera (Phantera tigris Sumatraensis). Satwa herbivora yang ada di taman nasional ini adalah gajah sumatera (Elephas

  maximus ), badak sumatera (Dicerorhinus sumatraensis), dan rusa sambar (Cervus

  Ada sekitar 89 spesies langka dan dilindungi yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, di antaranya: orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris

  sumatrae ), gajah sumatera (Elephas maximus), beruang madu (Helarctos

malayanus ), rangkong papan (Buceros bicornis), ajag (Cuon Alpinus), siamang

  (Hylobates syndactylus).

  

Sedikitnya terdapat 8,500 spesies tumbuhan yang berbeda hidup di berbagai

habitat di TNGL. Di pantai dan hutan rawa akan ditemukan pohon-pohon

kasuarina(Casuarina sp.), pala hutan (Myristica sp.), camphor atau kapur barus

(Dryobalanops aromatica), pohon nibung, rotan (Calamus sp.), pohon bakau atau api-api (Avicennia sp.) dan pandan (Pandanus sp.). pohon matoa (Pometi pinnata)

tumbuh di sepanjang tepi sungai. Di hutan dataran rendah, pepohonan seperti

meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), camphor dan damar (Hopea sp.) dan beberapa pohon buah liar, seperti durian hutan (Durio zibethinus),

mangga (Mangifera indica), pisang hutan, buah leci dan buah cempedak hutan

tumbuh melimpah ruah. Di pegunungan dan hutan cemara, tumbuh beberapa

spesies lumut dan bunga-bunga hutan: anggrek gentians, bunga primula, stroberi,

tanaman obat-obatan, dan anggrek-anggrek hutan juga ditemukan. Rafflesia arnoldii juga tumbuh disini (OIC, 2009).

  Kondisi Umum Desa Lokasi Penelitian Desa Bukit Lawang

  Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok memiliki luas ± 21,69 Km², mdpl, suhu rata-rata harian 23-33ºC, curah hujan di desa yaitu 4500-5000 mm/thn, jarak dari desa ke kecamatan sekitar 11 kilometer, jarak desa ke kabupaten sekitar 88 km, jarak dari desa ke ibu kota provinsi sekitar 98 km. Batas-batas wilayah Desa Bukit Lawang yaitu: Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Air Tenang Sebelah Selatan : berbatasan dengan Desa Timbang Lawan Sebelah Barat : berbatasan dengan Desa Bungaran Sebelah Timur : berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser.

  Desa Bukit Lawang memiliki jumlah penduduk 2.606 orang yang terdiri dari 1.296 laki-laki dan 1.310 perempuan dengan jumlah 712 kepala keluarga.

  Tingkat kepadatan penduduk di desa Bukit Lawang adalah 124 jiwa/Km². Jumlah tenaga kerja di Desa Bukit Lawang terdiri dari karyawan 265 orang, petani 155 orang, pedagang 86 orang, peternak 57 orang, gaet 125 orang, pengrajin 2 orang, wiraswasta 41 orang, TNI 8 orang, polisi 4 orang, PNS 19 orang, dokter 2 orang, perawat 6 orang, dan pekerjaan lainya 1.833 orang.

  Jumlah perbandingan penduduk berdasarkan agama yang diyakini terdiri dari 2.467 orang beragama Islam, dan 139 orang beragama Kristen. Perbandingan etnis suku masyarakat Desa Bukit Lawang yaitu 233 orang Batak, 138 orang Melayu, 28 orang Minang, 12 orang Sunda, 2.205 orang Jawa.

  Jumlah sekolah setingkat SD terdapat 1 SD negeri dengan jumlah murid 117 orang dengan 8 orang guru pengajar, 1 Madrasah Ibtidaiyah (swasta) dengan jumlah murid 428 orang dengan 10 orang guru pengajar, sedangkan untuk sekolah

   Desa Sampe Raya

  Desa Sampe Raya, Kecamatan Bahorok memiliki luas ± 168,62 Km², yang terdiri dari 6 dusun. Ketinggian daerah di atas permukaan laut adalah 100 mdpl, suhu rata-rata harian adalah 30 ºC, dengan curah hujan 5000 mm/thn. Jarak dari desa ke kecamatan sekitar 9 km, dan jarak dari desa ke kabupaten sekitar 80 km, jarak dari desa ke ibu kota provinsi sekitar 94 km. Batas-batas wilayah Desa Sampe Raya yaitu: Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Sei Musam Sebelah Selatan : berbatasan dengan Desa Timbang Lawan Sebelah Barat : berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser Sebelah Timur : berbatasan dengan perkebunan Bungara

  Desa Sampe Raya memiliki jumlah penduduk 2.579 orang yang terdiri dari 1.302 orang laki-laki dan 1.277 orang perempuan dengan jumlah 757 orang kepala keluarga. Jumlah tenaga kerja di Desa Sampe Raya terdiri dari 325 orang petani, 282 orang buruh tani, 43 orang PNS, guru 3 orang, pedagang 56 orang, gaet 20 orang, wiraswasta 232 orang, karyawan 20 orang.

  Jumlah perbandingan penduduk berdasarkan agama yang diyakini adalah 1.619 orang beragama Islam, 954 orang beragama Kristen, dan 6 orang beragama Budha. Perbandingan etnis suku masyarakat di Desa Sampe Raya yaitu 1.493 orang Batak, 108 orang Melayu, 33 orang Minang, 921 orang Jawa, 21 orang Mandailing, 3 orang Manado.

  Jumlah sekolah setingkat SD terdapat 2 SD negeri dengan jumlah murid SMP dan SMA tidak ada. (Kecamatan Bahorok dalam angka, 2013)

   Desa Timbang Jaya

  Desa Timbang Jaya, Kecamatan Bahorok memiliki luas ± 7.098 Ha, desa ini merupakan pemekaran dari Desa Timbang Lawan. Ketinggian daerah di atas permukaan laut adalah 75-120 mdpl, suhu rata-rata 30 ºC, dengan curah hujan 4500-5000 mm/thn. Jarak dari desa ke kecamatan sekitar 7 km, jarak dari desa ke kabupaten sekitar 78 km, dan jarak dari desa ke ibu kota sekitar 90 km. Batas- batas daerah dari Desa Timbang Jaya yaitu: Sebelah Utara : berbatasan dengan Perkebunan Bukit Lawang Sebelah Selatan : berbatasan dengan Desa Timbang Lawan Sebelah Barat : berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser Sebelah Timur : berbatasan dengan Desa Timbang Lawan

  Desa Timbang Lawan memiliki jumlah penduduk 3.789 orang yang terdiri dari 1.905 laki-laki dan 1884 orang perempuan, dengan jumlah 1.021 orang kepala keluarga. Jumlah tenaga kerja yang ada di Desa Timbang Jaya terdiri dari 694 orang petani, 580 orang buruh tani, PNS 25 orang, pengrajin industri rumah tangga 10 orang, TNI/POLRI 2 orang, pengusaha kecil dan menengah 224 orang.

  Jumlah perbandingan penduduk dengan agama yang diyakini adalah 3634 beragama Islam, 155 orang beragama Kristen. (Buku profil desa Timbang Jaya)

   Desa Timbang Lawan

  Desa Timbang Lawan, Kecamatan Bahorok memiliki luas ± 100,85 Km². Ketinggian daerah di atas permukaan laut adalah 70-100 mdpl, suhu rata-rata 30ºC, dengan curah hujan 4500-5000 mm/thn. Jarak dari desa ke kecamatan ibu kota sekitar 88 km. Batas-batas daerah dari Desa Timbang Lawan yaitu: Sebelah Utara : berbatasan dengan Perkebunan Bungara Sebelah Selatan : berbatasan dengan Desa Lau Damak Sebelah Timur : berbatasan dengan pekan Bahorok Sebelah Barat : berbatasan dengan Desa Timbang Jaya

  Desa Timbang Lawan, Kecamatan Bahorok memiliki jumlah penduduk sekitar 4.595 orang, dengan jumlah laki-laki 2.240 orang, perempuan 2.355 orang, dengan jumlah 1.141 kepala keluarga. Jumlah tenaga kerja yang ada di desa Timbang Lawan ini yaitu petani 765 orang, 660 orang buruh tani, PNS 24 orang, TNI/POLRI 5 orang, pengusaha kecil menengah 147 orang, karyawan 107 orang, peternak 3 orang.

  Jumlah perbandingan penduduk dengan agama yang diyakini adalah 4.385 orang beragama Islam, 177 orang beragama Kristen Protestan, 33 orang beragama Khatolik. Perbandingan etnis suku di masyarakat Desa Timbang Lawan yaitu 74 orang etnis Aceh, 294 orang etnis Batak, 998 orang etnis Batak Karo, 290 orang etnis Melayu, 17 orang etnis Minang, 2.864 rang etnis Jawa, 58 orang etnis Banjar.

  Jumlah sekolah setingkat SD di Desa Timbang Lawan adalah terdapat 2 SD Negeri dengan jumlah murid 315 orang dengan 23 tenaga pengajar. Jumlah sekolah setingkat SMP yang terdapat di desa Timbang Lawan yaitu, terdapat 1 SMP negeri dengan jumlah murid 283 orang dengan 22 orang tenaga pengajar. 1 Madrasah Tsanawiyah (swasta) dengan jumlah murid 35 orang, dengan 7 orang tenaga pengajar, sedangkan untuk sekolah setingkat SMA tidak ada. (Kecamatan