Analisis Kerusakan Hutan Di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang

(1)

ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN

NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG

TESIS

Oleh

SUBHAN

077004018/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA


(2)

ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN

NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SUBHAN

077004018/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG

Nama Mahasiswa : Subhan

Nomor Pokok : 077004018

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(PSL)

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Ketua

(Prof. Dr. Erman Munir, MSc) (Dr. Delvian, SP, MP)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 25 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Erman Munir, MSc

2. Dr. Delvian, SP, MP


(5)

ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG ABSTRAK

Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang sedang mengalami kerusakan yang cukup parah akibat aktivitas penebangan liar, perambahan hutan, jual beli lahan dan keberadaan pengungsi korban konflik aceh. Manajemen TNGL belum mempunyai data kerusakan hutan terbaru terutama data time series setelah data yang dirilis Yayasan Leuser International tahun 2002 yang lalu, padahal kerusakan hutan terus berlangsung. Data tersebut sangat dibutuhkan manajemen TNGL dalam menentukan arah kebijakan dan strategi penyelesaian masalah yang berkaitan penerapan strategi pengamanan hutan dan dukungan para pihak terutama masyarakat sekitar hutan. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret s/d Mei 2010 di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dan di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL yang secara administrasi terletak di kecamatan Besitang, Sei Lepan dan Batang Serangan. Penelitian ini menggunakan metoda diskriptif dengan jumlah sampel dari masyarakat sekitar hutan sebanyak 198 KK. Pengumpulan data dilakukan dengan metoda ground check, penyebaran kuisioner dan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat. Data yang ada dinalisis dengan menggunakan analisis citra landsat dan analisis swot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga tahun 2009, luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang mencapai 7.435 ha, dengan laju kerusakan hutan sekitar 448,450 ha/tahun. Manajemen TNGL terus melakukan upaya penyelesaian terhadap persoalan yang masih berlangsung di dalam kawasan ini terutama kegiatan penegakan hukum dengan menerapkan strategi pengamanan hutan yang efektif dan efisien yang mengedepankan langkah-langkah pre-emtif, preventif dan represif. Penerapan strategi ini telah berhasil menurunkan laju kerusakan hutan di wilayah kerja resort Trenggulun, Sei Betung, Cinta Raja dan Tangkahan, namun strategi ini kurang berhasil penerapannya untuk wilayah kerja resort Sekoci dan Sei Lepan terkait keberadaan pengungsi korban konflik aceh yang hingga saat ini belum dikeluarkan dari kawasan TNGL. Status TNGL sebagai warisan dunia merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh manajemen TNGL dalam merangkul para pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan secara lebih baik di masa yang akan datang, terutama dukungan masyarakat sekitar hutan melalui lembaga lokalnya.

Kata Kunci : Taman Nasional Gunung Leuser, Kerusakan Hutan, Strategi Pengamanan Hutan, Masyarakat sekitar Hutan


(6)

DEFORESTATION ANALYSIS OF GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK IN BESITANG MANAGEMENT SECTION

IN BESITANG SUB-REGIONAL OFFICE VI ABSTRACT

Tropical low-land forest in Besitang Sub-Regional Office, Gunung Leuser National Park (GLNP) has been seriously damaged and threatened due to several activities such as illegal logging, encroachment, land speculation, and social refugee (internal displace person) from Aceh. Park authority has no series of data on deforestation except what has been released by Leuser International Foundation in 2002. In the meantime, deforestation is remain exist in the park. A series of deforestation data is urgently needed by park authrority to develop policy and strategic action to solve the problems and challanges to secure the park and generate support from stakeholders, especially community around the forest. This research was conducted between March and May 2010 in Besitang Sub-Regional Office of GLNP and villages around the park, within the administration of Sub-District Besitang, Sei Lepan and Batang Serangan. Descriptive method was employed to get data from 198 families who live around the park. Data has been collected by doing ground checks, questionnaire, and interview key persons in the community level. Data was analysed using Landsat Image and SWOT. This research showed that deforestation until 2009 in Besitang Sub-Regional Office of GLNP is 7,435 hectares, with deforestation rate approximately 448.450 hectar/year. Park authority keeps their effort to solve the existing problems in the area, mainly law enforcement through effective and efficient forest security strategy by using pre-emptive, preventive, and represive actions. Those strategy has successfully reduce deforestation rate in the resort Trenggulung, Sei Betung, Cinta Raja, and Tangkahan. However this strategy has more challanges in the resort Sekoci and Sei Lepan because of area where occupied by social refugee has not yet resolved. GLNP status as World Heritage of Tropical Rainforest Heritage of Sumatra is a great opportunity for park authority to engage and generate support from stakeholders to do a better management in the future, especially support from community around the forest through community based-organizations.

Keywords: Gunung Leuser National Park, Deforestation, Forest Security Strategy, Community around the forest.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya lah, penulis telah dapat menyelesaikan sebuah tesis yang berjudul “Analisis Kerusakan Hutan di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasonal Wilayah VI Besitang”.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran tentang kerusakan hutan kawasan TNGL khususnya di SPTN Wilayah VI Besitang yang hingga saat ini terus berlangsung dan belum ada arah penyelesaian yang jelas, konkrit dan tegas. Penelitian ini dibatasi pada aspek efektivitas penerapan strategi pengamanan hutan dan dukungan para pihak terutama masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan TNGL.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Retno Widiastuti, MS selaku Ketua Pembimbing dalam penulisan tesis yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan demi sempurnanya karya ini.

2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc dan Dr. Delvian, SP, MP selaku Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan selama proses penyelesaian karya ini.

3. Dr. Budi Utomo, SP, MP dan Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS selaku penguji yang memberi saran dan masukan pada penyempurnaan tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya.

5. Para staf administrasi Sekolah Pascasarjana dan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis sejak awal perkuliahan hingga penyelesaian studi.

6. Ir. Wiratno, MSc mantan Kepala Balai TNGL yang selalu memberi dorongan dan motivasi untuk selalu belajar dan menyelesaikan studi.


(8)

7. Ir. Nurhadi Utomo mantan Kepala Balai Besar TNGL yang telah memberikan izin untuk melaksanakan studi.

8. Ir. Harijoko S P, MM selaku Kepala Balai Besar TNGL dan Ir. Ari Subiantoro, MP selaku kepala Bidang Pengelolaan TN Wilayah III Stabat yang terus mendorong untuk menyelesaikan studinya.

9. Rekan – rekan dari Balai Besar TNGL terutama Ujang Wisnu Bharata, Isra Imran dan Jokkas Simandalahi yang telah membantu selama melakukan penelitian. 10.Dedy dan Taufik Ramadhan serta rekan-rekan dari KSM sekitar TNGL yang

banyak membantu dalam pengambilan data.

11.OK. Hamzah (Datok Besitang), OK.Abdul Hamid (Datok Lepan), Aiptu Maraganti Pangabean, SH, M.Hum (Polres Langkat), Edy Sunardi (Manajer CRU Tangkahan), Ismail (YOSL-OIC), Syeh Okor Dapari (Ketua LPT), Samsul, Sag (Ketua Gepal), Naswandi Sembiring (Kepala Desa PIR ADB Besitang) yang telah bersedia diwawancarai untuk kelengkapan data tesis.

12.Suer Suryadi (UNESCO) dan Bapak Ratna Hendratmoko (ditjen PHKA) yang selalu mendorong dan memberi masukan serta mengingatkan penulis dalam penyelesaian karya ini.

13.Rina Purwaningsih (GIS UNESCO) yang telah membantu penulis dalam menganalisis data citra landsat.

14.Kepala desa di lingkup wilayah study dan rekan – rekan dari Kelompok Swadaya Masyarakat di sekitar TNGL Besitang yang telah membantu kelancaran pengambilan data.

15.Kepada Istriku tercinta Ika Susanti dan kedua buah hatiku M.Ghatan Hamdi dan Hania Iftinan yang dengan sabar memberi dorongan, semangat dan doa selama pendidikan.

16.Orang tua dan saudara-saudaraku tercinta yang dengan sabar memberikan dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

17.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna membantu penyelesaian karya ini.


(9)

Akhirnya penulis berharap, karya sederhana ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca.

PENULIS,

SUBHAN


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ..……… i

ABSTRACT ..……….. ii

KATA PENGANTAR ...……….. iii

RIWAYAT HIDUP ..………. iv

DAFTAR ISI ..……… vi

DAFTAR TABEL ..……… viii

DAFTAR GAMBAR ..………... ix

DAFTAR LAMPIRAN ..………... x

I. PENDAHULUAN ..……….. 1

1.1. Latar Belakang ...……… 1

1.2. Perumusan Masalah ..………. 4

1.3. Tujuan ...………. 5

1.4. Manfaat Penelitian ..………... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ..……… 6

2.1. Kondisi Hutan Indonesia ..………. 6

2.2. Kerusakan Hutan Indonesia ..……… 7

2.3. Perlindungan Hutan ..………. 8

2.4. Pengelolaan Taman Nasional ..……….. 9

2.5. Sistem Informasi Geografis ..………. 11

2.6. Analisis Swot ..………... 13

III. METODE PENELITIAN ...………... 14

3.1. Tempat dan Waktu ... 14

3.2. Bahan dan Alat ... 14

3.3. Populasi dan Sampel ... 16

3.1.1. Populasi ..………... 16

3.3.2. Sampel ..………. 17


(11)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ..………... 25

4.1. Lokasi dan Status Kawasan ..………. 25

4.2. Topografi ..………. 26

4.3. Geologi ..……… 27

4.4. Iklim ..………. 28

4.5. Hidrologi ..……….. 28

4.6. Kondisi Biotik ..……….. 29

4.7. Flora ..………. 30

4.8. Fauna ..………... 30

4.9. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI ...……... 36

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..……….. 38

5.1. Analisis Citra Landsat ..………. 38

5.2. Analisis Swot ...……….. 50

5.2.1. Analisis Faktor Internal ...……….. 51

5.2.2. Analisis Faktor Eksternal ..……… 58

5.2.3. Analisis Swot ..……….. 69

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..……….. 72

6.1. Kesimpulan ..……….. 72

6.2. Saran ...……….. 73

DAFTAR PUSTAKA ...………. 75


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Kepala Keluarga yang Diambil Menjadi Populasi dalam

Penelitian ………. 17

2. Jumlah Sampel Penelitian ……….. 18

3. Matriks IFAS (Internal Factor Analysis Summary) …..………. 23

4. Matriks EFAS (External Factor Analysis Summary) .……… 23

5. Matrik SWOT ………. 24

6. Hasil Analisis Citra Landsat di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang … 38

7. Matrik IFAS Hasil Analysis Faktor Internal ……….. 51

8. Matrik EFAS Hasil Analysis Faktor Eksternal ……….. 58

9. Fokus Kegiatan Lembaga Konservasi di Wilayah Kerja SPTN VI … 60

10. Lembaga Lokal yang telah Terbentuk di Wilayah Kerja SPTN VI … 63

11. Perkembangan Jumlah Pengungsi dan Luas Areal Garapan ……….. 69

12. Matrik SWOT Analisis Kerusakan Hutan Kawasan TNGL di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang ………. 70  

         


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Peta Wilayah Kerja SPTN VI Besitang ……… 15 2. Peta Citra Landsat SPTN VI Tahun 1989 dan 2009 ………. 21 3. Peta Formasi Geologi TNGL ……… 28 4. Peta Sebaran Populasi Orangutan Sumatera di Kabupaten Langkat.. 32 5. Pendapat Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Kesalahan Kebijakan

Pemerintah Pusat dalam Mengelola Kawasan TNGL SPTN

Wilayah VI Besitang ……….. 43 6. Peta Hasil Analisis Citra Landsat Kawasan Hutan TNGL Wilayah

Kerja SPTN VI dalam Kurun Waktu Tertentu ……….. 48 7. Pendapat Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Penerapan Strategi

Pengamanan Hutan oleh Manajemen TNGL dalam Menyelesaikan Masalah di Lapangan ……… 53 8. Dukungan terhadap Pelibatan Masyarakat Sekitar Hutan dalam

Pengelolaan Kawasan TNGL melalui Pembentukan Lembaga

Lokal di Desanya Masing-masing ………. 62 9. Persetujuan Masyarakat Sekitar Hutan bahwa Persoalan Pengungsi

Korban Konflik Aceh merupakan Kunci Penyelesaian Persoalan

lainnya di Kawasan SPTN Wilayah VI Besitang ……….. 65 10. Dukungan Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Penyelesaian

Persoalan Pengungsi Korban Konflik Aceh dengan Pola


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuisener untuk Masyarakat Sekitar Hutan ……… 79

2. Kuisener Lingkungan Internal dan Eksternal ……….. 84

3. Form Wawancara untuk Tokoh Masyarakat ……… 88

4. Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian ……… 90

5. Hasil Perhitungan Analisis Swot untuk Faktor Internal ……… 92

6. Hasil Perhitungan Analisis Swot untuk Faktor Eksternal ………. 98

7. SK.Menko.Kesra no 14/Kep/Menko/Kesra/V/2008 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanganan Eks Pengungsi Korban Konflik Aceh di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera ………... 106

8. Hasil Kegiatan Penegakan Hukum di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang Dalam Kurun Waktu 5 (lima) Tahun Terakhir ……… 110

9. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 1989………... 116

10. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2001……….. 117

11. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2003 ………. 118

12. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2006……… 119

13. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2009……… 120


(15)

ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG ABSTRAK

Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang sedang mengalami kerusakan yang cukup parah akibat aktivitas penebangan liar, perambahan hutan, jual beli lahan dan keberadaan pengungsi korban konflik aceh. Manajemen TNGL belum mempunyai data kerusakan hutan terbaru terutama data time series setelah data yang dirilis Yayasan Leuser International tahun 2002 yang lalu, padahal kerusakan hutan terus berlangsung. Data tersebut sangat dibutuhkan manajemen TNGL dalam menentukan arah kebijakan dan strategi penyelesaian masalah yang berkaitan penerapan strategi pengamanan hutan dan dukungan para pihak terutama masyarakat sekitar hutan. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret s/d Mei 2010 di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dan di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL yang secara administrasi terletak di kecamatan Besitang, Sei Lepan dan Batang Serangan. Penelitian ini menggunakan metoda diskriptif dengan jumlah sampel dari masyarakat sekitar hutan sebanyak 198 KK. Pengumpulan data dilakukan dengan metoda ground check, penyebaran kuisioner dan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat. Data yang ada dinalisis dengan menggunakan analisis citra landsat dan analisis swot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga tahun 2009, luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang mencapai 7.435 ha, dengan laju kerusakan hutan sekitar 448,450 ha/tahun. Manajemen TNGL terus melakukan upaya penyelesaian terhadap persoalan yang masih berlangsung di dalam kawasan ini terutama kegiatan penegakan hukum dengan menerapkan strategi pengamanan hutan yang efektif dan efisien yang mengedepankan langkah-langkah pre-emtif, preventif dan represif. Penerapan strategi ini telah berhasil menurunkan laju kerusakan hutan di wilayah kerja resort Trenggulun, Sei Betung, Cinta Raja dan Tangkahan, namun strategi ini kurang berhasil penerapannya untuk wilayah kerja resort Sekoci dan Sei Lepan terkait keberadaan pengungsi korban konflik aceh yang hingga saat ini belum dikeluarkan dari kawasan TNGL. Status TNGL sebagai warisan dunia merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh manajemen TNGL dalam merangkul para pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan secara lebih baik di masa yang akan datang, terutama dukungan masyarakat sekitar hutan melalui lembaga lokalnya.

Kata Kunci : Taman Nasional Gunung Leuser, Kerusakan Hutan, Strategi Pengamanan Hutan, Masyarakat sekitar Hutan


(16)

DEFORESTATION ANALYSIS OF GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK IN BESITANG MANAGEMENT SECTION

IN BESITANG SUB-REGIONAL OFFICE VI ABSTRACT

Tropical low-land forest in Besitang Sub-Regional Office, Gunung Leuser National Park (GLNP) has been seriously damaged and threatened due to several activities such as illegal logging, encroachment, land speculation, and social refugee (internal displace person) from Aceh. Park authority has no series of data on deforestation except what has been released by Leuser International Foundation in 2002. In the meantime, deforestation is remain exist in the park. A series of deforestation data is urgently needed by park authrority to develop policy and strategic action to solve the problems and challanges to secure the park and generate support from stakeholders, especially community around the forest. This research was conducted between March and May 2010 in Besitang Sub-Regional Office of GLNP and villages around the park, within the administration of Sub-District Besitang, Sei Lepan and Batang Serangan. Descriptive method was employed to get data from 198 families who live around the park. Data has been collected by doing ground checks, questionnaire, and interview key persons in the community level. Data was analysed using Landsat Image and SWOT. This research showed that deforestation until 2009 in Besitang Sub-Regional Office of GLNP is 7,435 hectares, with deforestation rate approximately 448.450 hectar/year. Park authority keeps their effort to solve the existing problems in the area, mainly law enforcement through effective and efficient forest security strategy by using pre-emptive, preventive, and represive actions. Those strategy has successfully reduce deforestation rate in the resort Trenggulung, Sei Betung, Cinta Raja, and Tangkahan. However this strategy has more challanges in the resort Sekoci and Sei Lepan because of area where occupied by social refugee has not yet resolved. GLNP status as World Heritage of Tropical Rainforest Heritage of Sumatra is a great opportunity for park authority to engage and generate support from stakeholders to do a better management in the future, especially support from community around the forest through community based-organizations.

Keywords: Gunung Leuser National Park, Deforestation, Forest Security Strategy, Community around the forest.


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki sumberdaya alam berupa hutan nomor 3 (tiga) di dunia setelah Brazil dan Zaire, selain itu kita juga merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi meskipun hanya menempati 1,3% dari luas daratan dunia. Sekitar 17% spesies di bumi terdapat di Indonesia, ditumbuhi 11 % spesies tanaman, dihuni 12% mamalia, 15% reptil dan amfibi serta 17% burung. Tingginya keanekaragaman hayati ini lebih disebabkan karena Indonesia terletak pada garis Wallace di persimpangan dua zona biogeografis utama (Bappenas, 2003).

Kekayaan alam yang berlimpah tersebut akan musnah dari muka bumi ini kalau tidak ada upaya yang konkrit untuk menekan laju kerusakan hutan yang terus meningkat. Hutan rusak sudah tentu ada faktor penyebabnya. Selain itu pihak yang dikategorikan sebagai pengrusak hutan juga beragam. Mulai dari individu, kelompok bahkan negara melalui berbagai oknum aparaturnya. Ideologi pembangunan kehutanan yang keberhasilannya diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan sumber terjadinya kerusakan hutan. Hutan sebagai ekosistem direduksi makna dan fungsinya hanya sebatas sebagai salah satu faktor produksi yang suatu saat akan habis. Hutan hanya dipandang sebagai penghasil kayu untuk kebutuhan industri hasil hutan, padahal masih banyak fungsi lain yang belum dilirik secara maksimal seperti sumber


(18)

obatan, fungsi hidrologi, penyerap karbon, penghasil oksigen, sumber air, ekowisata dan lain-lain (Iskandar dan Nugraha, 2004).

Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu kawasan hutan yang sedang mengalami degradasi yang cukup parah. Berdasarkan kajian sampai dengan tahun 2000, di seluruh TNGL telah terjadi deforestasi (kawasan yang sudah tidak berhutan) seluas 18.089 Ha, sedangkan kawasan TNGL yang mengalami degradasi (kawasan yang mengalami penurunan kualitas akibat berbagai gangguan) seluas 142.087 Ha. Terdapat 65 titik rawan, yaitu lokasi-lokasi yang mengalami berbagai tingkatan gangguan dan kerusakan. Titik-titik rawan tersebut masih akan berkembang terus apabila upaya-upaya preventif dan represif tidak dilakukan secara konsisiten dan berkesinambungan (Balai Besar TNGL, 2007).

Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah VI Besitang merupakan salah satu seksi wilayah di lingkup Balai Besar TNGL yang sedang mengalami kerusakan. Kawasan hutan ini luasnya ± 125.000 Ha, berada di Kabupaten Langkat yang secara administrasi terletak di Kecamatan Besitang, Sei Lepan, dan Batang Serangan. Pengelolaan kawasan TNGL di SPTN VI Besitang menghadapi permasalahan yang sangat komplek bermuara pada terjadinya kerusakan kawasan hutan. Menurut hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2002 luas kerusakan kawasan hutan TNGL di wilayah Kabupaten Langkat seluas 43.623 Ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas 20.688 Ha. Menurut pantauan Yayasan Leuser Internasional (YLI) tahun 2002 menunjukkan kerusakan seluas 22.000 Ha, tanpa menyebutkan luas


(19)

kawasan tak berhutan. Setelah periode itu tidak ada lagi data yang menjelaskan tentang luas kerusakan kawasan hutan TNGL di wilayah Langkat khususnya SPTN VI Besitang, padahal proses kerusakan hutan terus berlanjut, sehingga analisis citra landsat untuk mendapatkan data luas kerusakan hutan terakhir sangat dibutuhkan oleh manajemen TNGL.

Ada empat permasalahan yang sedang dihadapi manajemen TNGL di SPTN Wilayah VI Besitang, yaitu : 1).Illegal logging, 2). perambahan hutan, 3). jual beli lahan dan 4). keberadaan pengungsi Aceh. Balai Besar TNGL dengan segala keterbatasannya tidak akan mampu menyelesaikan sendiri permasalahan tersebut sehingga diharapkan partisipasi dan dukungan semua pihak agar semua permasalahan ini dapat diselesaikan secara tuntas.

Dalam menyelesaikan berbagai persoalan di lapangan, Balai Besar TNGL selalu mengedepankan langkah-langkah preventif dan persuasif, penerapan langkah represif merupakan alternatif terakhir jika dua langkah sebelumnya gagal menyelesaikan persoalan. Sejauh ini dianggap efektif karena telah berhasil menyelesaikan sebagian persoalan yang ada di lapangan, namun strategi ini belum bisa menyelesaikan persoalan lainnya secara menyeluruh dan tuntas, sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang efektivitas penerapan strategi ini untuk kepentingan pengelolaan kawasan dimasa yang akan datang.

Dukungan pihak-pihak terkait terutama masyarakat sekitar hutan dirasakan belum maksimal dalam mendukung pelestarian kawasan hutan TNGL, Sejauh ini telah terjalin komunikasi dan kerja sama antara Balai Besar TNGL dengan para mitra


(20)

termasuk masyarakat sekitar hutan. Pembentukan lembaga lokal di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL diharapkan dapat sejalan dengan itu. Lembaga-lembaga lokal yang telah terbentuk diharapkan dapat berperan lebih besar dalam mendukung pelestarian kawasan TNGL.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi manajemen TNGL dalam menentukan strategi dan kebijakan pengelolaan kawasan ini dimasa yang akan datang.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, ada beberapa masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

a. Berapa luas dan laju kerusakan hutan di kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun terakhir ini.

b. Apakah kerusakan hutan di kawasan TNGL SPTN VI Besitang dipengaruhi oleh strategi pengamanan hutan yang diterapkan oleh manajemen TNGL.

c. Apakah kerusakan hutan di kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang dipengaruhi oleh ada tidaknya dukungan pihak-pihak terkait terutama masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan TNGL.

d. Strategi apa yang dapat diterapkan manajemen TNGL dalam penyelesaian persoalan di wilayah kerja SPTN Wilayah VI Besitang.


(21)

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui luas dan laju kerusakan hutan di kawasan hutan TNGL Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun terakhir ini.

b. Untuk mengetahui sejauhmana efektivitas penerapan strategi pengamanan hutan dalam menyelesaikan berbagai persoalan di kawasan TNGL SPTN wilayah VI Besitang.

c. Untuk mengetahui sejauhmana dukungan pihak-pihak terkait terutama masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan hutanTNGL.

d. Untuk mendapatkan strategi penyelesaian persoalan TNGL di wilayah kerja SPTN VI Besitang.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Sebagai bahan masukan bagi manajemen TNGL dalam menentukan kebijakan terhadap pengelolaan TNGL di wilayah kerja SPTN VI Besitang di masa yang akan datang.

b. Sebagai bahan masukan bagi pemerhati lingkungan tentang kerusakan hutan TNGL agar dilakukan upaya-upaya yang konkrit untuk menyelamatkan kawasan konservasi tersebut. 


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Hutan Indonesia

Berdasarkan paduserasi TGHK – RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia. Menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan Konservasi seluas 20,50 juta ha, hutan Lindung seluas 33,52 juta ha, hutan produksi seluas 58,25 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,08 juta ha (Departemen Kehutanan, 2008).

Luasan kawasan hutan tersebut diyakini mampu menjadi sumber kehidupan langsung bagi sekitar 20 % dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Hutan juga mampu memberi manfaat tak langsung yang seringkali justru tak ternilai harganya, antara lain berperan sebagai pengatur sistem tata air sehingga mampu mencegah banjir di musim hujan dan ancaman kekeringan di musim kemarau (Iskandar dan Nugraha, 2004).

Lebih lanjut Iskandar dan Nugraha (2004) menyebutkan bahwa kondisi sekarang ini, sektor kehutanan sedang mengalami kecaman dari berbagai pihak. Peran dan keberadaannya digugat karena dalam perspektif ekologi hutan sebagai pengatur keseimbangan ekosistem mulai pudar. Fungsi ekologi hutan sebagai penyangga kehidupan telah berkurang drastis bersamaan dengan rusaknya hutan.

Peran sektor kehutanan diakui atau tidak telah mengalami pergeseran. Hal yang menyedihkan, dalam perkembangnnya perlahan-lahan mulai menjelma menjadi sebuah


(23)

sektor yang terpinggirkan. Persepsi terhadap upaya pelestarian hutan melalui berbagai konsep dan skala prioritas program yang tidak diikuti dengan upaya penegakan supremasi hukum terhadap praktek penebangan liar dan penyeludupan kayu, ketidakmampuan menerjemahkan desentralisasi kehutanan serta pembiaran terhadap buruknya kinerja sektor riil kehutanan telah menyebabkan resultan persoalan kehutanan yang bersifat akumulatif.

2.2. Kerusakan Hutan Indonesia

Hutan Indonesia rusak berat, itulah persoalan besar dewasa ini yang harus dihadapi pemerintah. Data-data yang dilansir oleh banyak pihak terkait kerusakan hutan dan laju kerusakan hutan sungguh memprihatinkan. Menurut Wardoyo, Yasman dan Natawirya (2002) dalam Iskandar dan Nugraha (2004) hutan yang rusak telah mencapai angka 43 juta ha atau lebih dari 33 % luas hutan Indonesia dengan laju kerusakan hutan sekitar 1,6 juta ha per tahun. Data Badan Planologi Kehutanan tahun 2003 lebih mengagetkan lagi, total luas kerusakan hutan dan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia dewasa ini mencapai 101,79 juta ha dengan laju kerusakan hutan mendekati angka 3,8 juta hektar

Menurut Iskandar dan Nugraha (2004) kerusakan hutan lebih disebabkan oleh aktivitas penebangan liar (Illegal logging), penyelundupan kayu (Illegal Trade) dan kebakaran hutan (forest fire). Berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan, angka penebangan liar di Indonesia mencapai 50,7 juta m3/tahun dengan kerugian finansial sebesar Rp. 30 trilyun per tahun.


(24)

Kawasan hutan yang mendapat tekanan dari berbagai gangguan keamanan hutan seperti penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan hutan, bukan hanya kawasan hutan produksi saja melainkan kawasan hutan konservasi juga, termasuk Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Meskipun demikian, apabila dibandingkan dengan kawasan hutan lainnya maka kerusakan KSA dan KPA khususnya taman nasional, relatif masih lebih utuh. Data citra Landsat (2002) memperlihatkan luas lahan kritis di dalam kawasan konservasi termasuk taman nasional kurang lebih 899.000 hektar atau 3,9 % dari luas total Kawasan Konservasi (Departemen Kehutanan, 2005).

2.3. Perlindungan Hutan

Perlindungan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari (Departemen Kehutanan, 2007).

Upaya perlindungan sumber daya alam telah muncul sejak zaman penjajahan Belanda dengan ditetapkannya sejumlah kawasan hutan yang dilindungi, namun


(25)

Pemerintah Indonesia secara khusus pada tahun 1982 dengan diundangkannya Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi selanjutnya diatur dalam undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Sembiring, 2001).

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2007).

Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan cara menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan. Guna pengaturannya pemerintah menetapkan pola dasar pembinaan pemanfaatan wilayah tersebut sehingga fungsi perlindungan dan pelestariannya tetap terjamin (Departemen Kehutanan, 2007).

2.4. Pengelolaan Taman Nasional

Taman Nasional adalah kawasan peletarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatannya secara lestari (Sembiring, 2001).

Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya sesuai dengan keperluan. Kegiatan pemanfaatan di dalam taman nasional dilakukan secara terbatas untuk kepentingan, penelitian, ilmu


(26)

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam. Suatu kawasan ditunjuk menjadi taman nasional, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

(a). Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami;

(b). Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; (c). Memiliki satu dan beberapa ekosistem yang masih utuh;

(d). Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;

(e). Merupakan kawasan yang dapat dibagi menjadi zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona lain yang karena pertimbangan rehabilitasi kawasan;

(f). Ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri (WWF, 2006).

Sistem zona merupakan penataan kawasan taman nasional berdasarkan fungsi dan peruntukannya sesuai kondisi, potensi dan perkembangan yang ada. Penataan kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan dan spesifikasi kawasan taman nasional, karena itu penataan pembagian kawasan taman nasional ke dalam zonasi kawasan tidak harus selalu lengkap dan sama di setiap kawasan taman nasional. Namun demikian, secara umum pembagian zona pada setiap taman nasional mencakup zona inti, zona rimba/bahari, zona pemanfaatan,


(27)

dan/atau zona-zona lain yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan kebutuhan pelestarian keanekaragaman hayati (Depatemen Kehutanan, 2007).

Pada saat ini, luas kawasan konservasi di Indonesia mencapai 28.166.580,30 ha, dimana taman nasional menempati wilayah terluas, yaitu 16.384.194,14 ha, meliputi 50 unit taman nasional atau mencapai 66 % dari luas total kawasan konservasi (WWF, 2006).

Pada kawasan hutan konservasi kerusakan dan gangguan hutan lebih memiliki resiko tinggi karena ada persoalan hilangnya plasma nutfah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan generasi manusia pada masa kini dan masa yang akan datang. Masalah mendasar di kawasan konservasi adalah sebagian masyarakat kurang menyadari manfaat tersebut karena memang yang diperlukan oleh masyarakat adalah pemenuhan kebutuhan hidup secara langsung dan sesaat. Kawasan hutan konservasi sudah memiliki konsep pemanfaatan oleh masyarakat, tetapi pelaksanaannya di Indonesia sangat terbatas dan cendrung belum ada bukti signifikan (Awang, 2003).

2.5. Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknik berbasis komputer yang dapat mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, mengolah dan mengelola berbagai informasi geografis (disebut data keruangan atau data spasial) dari fenomena geografis agar kemudian dapat dianalisa dan hasilnya digunakan dalam penentuan berbagai kebijakan oleh para pengguna (pengambil keputusan). GIS dengan sistemnya tersebut berperan dalam proses mengolah informasi baik yang diperoleh dari lapangan


(28)

(dengan pengukuran lapangan) atau bentuk yang lainnya (data sekunder) menjadi sebuah peta (sajian informasi baru) dan hasilnya bisa dipakai (Rusyana, 2007).

Penggunaan SIG untuk kehutanan tropis di negara berkembang belum lama dimulai, dan cukup bervariasi antar Negara, yaitu dalam hal tujuan, aplikasi, skala operasional, kesinambungan, dan pembiayaan. Dalam aspek konservasi hutan dan keragaman hayati, menentukan area prioritas dan hotspot dari keragaman hayati adalah hal paling mendasar. Aplikasi SIG untuk ini, baik di negara maju maupun di negara berkembang sudah cukup banyak. Basis data spasial akan semakin penting dalam hal mendukung pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan. Beberapa basis data global yang mencakup area hutan tropis sudah tersedia yaitu meliputi basis data topografi, hutan tropis basah, iklim global, perubahan iklim global, citra satelit, konservasi dan tanah (Tarigan et al, 2003).

Software ArcView GIS adalah salah satu software terdepan dalam dunia GIS. Software ini dibuat oleh ESRI atau Environmental System Research Institute dari Amerika Serikat. Lembaga ini dengan software-software-nya adalah salah satu yang mengembangkan GIS dari periode pertama. Antara lain yang terkenal selain ArcView adalah PC Arc Info dan Arc Info. Sekarang ini ESRI sudah dengan produk terbarunya yaitu Arc GIS 9.2. Arcview memiliki kemampuan menampilkan, mendesain format cetak peta (layout), melakukan Query atau seleksi data, dan menganalisa data spasial yang diolah di ArcView GIS ataupun software lainnya. Software ArcView GIS terbaru dibuat tidak semata-mata hanya untuk menggantikan beberapa model dan proses di Arcinfo yang sulit dikerjakan, tetapi juga sekaran ArcView GIS 3,3 dibuat


(29)

sebagai software GIS yang dapat mendigitasi, menganalisis, sampai kepada keperluan pencetakan peta (Rusyana, 2007).

2.6. Analisis Swot

Analisis Swot adalah analisis kondisi internal maupun eksternal eksternal suatu organisasi yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi dan program kerja. Analisis internal meliputi penilaian terhadap faktor kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness). Sementara, analisis eksternal mencakup faktor peluang (opportunity) dan ancaman (threaths). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan Peluang (Opportunity) , namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (Threats) (Rangkuti, 2008).

Analisis Swot ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu 1). menganalisis faktor Strategis internal dan eksternal. 2). membuat matrik faktor strategi internal (IFAS = Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan matriks faktor strategi eksternal (EFAS = Eksternal Strategic Factors Analysis Summary). 3). Membuat matrik ruang (space matriks), 4). Menyusun keputusan strategis. Rangkuti,(2008) menambahkan bahwa analisis Swot merupakan perbandingan antara faktor eksternal peluang (Opportunity) dan ancaman (threaths) dengan faktor internal kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness).


(30)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada dua lokasi yang berbeda, yaitu di dalam kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dan di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret s/d Mei 2010.

Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa kawasan ini merupakan salah satu wilayah di kawasan Hutan TNGL yang sedang mengalami kerusakan yang cukup parah. Lokasi ini dinilai sangat cocok dengan judul penelitian karena didukung oleh informasi atau data awal tentang wilayah studi yang cukup sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000 lembar 0620-21, 0619-44, 0619-53, 0619-42, dan 0619-51, Peta Hasil Rekontruksi Batas Kawasan Hutan TNGL lembar 1 s/d 4 tahun 2002, skala 1 : 25.000, Peta Wilayah kerja SPTN VI Taman Nasional Gunung Leuser, Citra Landsat tahun 1989, 2001, 2003, 2006 dan 2009.


(31)

(32)

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: GPS (Global Positioning System) untuk menentukan lokasi/posisi geografis secara tepat dengan

bantuan satelit, Kamera, Seperangkat computer, Software Arcview 3.3 dan ArcGis 9.2 untuk mengolah dan menganalisis data geografis Software ERDAS 9.3 untuk mengolah dan menganalisis citra satelit.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini diambil dari masyarakat yang berdomisili di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang. Ada 6 (enam) desa yang dipilih dalam penelitian ini mewakili 3 (tiga) kecamatan yang terdapat di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Desa-desa tersebut adalah Desa Haleban dan PIR ADB Kecamatan Besitang, Desa Harapan Maju dan Mekar Makmur Kecamatan Sei Lepan serta Desa Namo Sialang dan Sei Serdang Kecamatan Batang Serangan. Jumlah populasi yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 6.866 kepala keluarga, seperti yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.


(33)

Tabel 1. Jumlah Kepala Keluarga yang Diambil Menjadi Populasi dalam Penelitian

No Nama Desa Jml Penduduk

(Jiwa)

Jml KK /Populasi 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Haleban – Besitang PIR ADB – Besitang Harapan Maju-Sei Lepan Mekar Makmur-Sei Lepan Namo Sialang-Btg Serangan Sei Serdang-Btg Serangan

9.017 4.314 4.916 3.914 5.253 3.565 1.805 840 1.227 982 1.174 838

Jumlah 30.979 6.866

Sumber: BPS Kabupaten Langkat Dalam Angka

4.3.2. Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda purposive sampling, pengambilan sampel dipilih pada lokasi-lokasi yang rawan aktivitas ilegal sesuai dengan data hasil analisis citra landsat yang diambil sebelumnya. Desa yang dipilih dalam penelitian ini adalah desa-desa yang ada kaitan dengan tujuan penelitian, ada lembaga lokal dan ada upaya-upaya yang dilakukan secara kolaboratif dengan manajemen TNGL. Masyarakat yang dijadikan sampel dalam penelitian ini diutamakan yang berdomisili di dusun-dusun yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Sedangkan untuk jumlah sampel masyarakat sekitar hutan ditentukan dengan rumus Sarwono, (2006) pada tingkat kesalahan 7% dengan formula sebagai berikut:


(34)

N n =

N(d)² + 1 Dimana:

n = sampel N = Populasi

d = derajat kebebasan (7 % = 0,07)

Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak : 6.866

n =

6.866 (0,07)² + 1 n = 198 kepala keluarga

Hasil perhitungan jumlah sampel setiap desa dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Jumlah Sampel Penelitian

No Nama Desa Jumlah Kepala

Keluarga Jumlah Sampel 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Haleban – Besitang PIR ADB-Besitang Harapan Maju-Sei Lepan Mekar Makmur-Sei Lepan Namo Sialang-Btg Serangan Sei Serdang-Btg Serangan

1.805 840 1.227 982 1.174 838 52 24 35 28 34 24


(35)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metoda pengumpulan data disesuaikan dengan sasaran yang akan dicapai. Metoda pengumpulan data yang digunakan meliputi:

a. Ground check

Pengumpulan data dilakukan dengan melihat langsung kondisi hutan di wilayah kerja SPTN VI Besitang berdasarkan data analisis citra landsat. Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan kesesuaian antara hasil analisis citra landsat yang telah diperoleh sebelumnya dengan fakta sebenarnya di lapangan. Hal-hal yang diamati antara lain, tingkat kerusakan, luas kerusakan, penyebab kerusakan,dampak kerusakan dan hal-hal lain yang ada kaitan dengan judul penelitian.

b. Kuisioner

Kuisioner atau angket merupakan salah satu metode yang dilakukan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Penyebaran kuisioner dilakukan secara langsung kepada masyarakat sekitar hutan, hal ini penting untuk mengurangi bias atau kesalahan dalam pengisian. Jawaban dari responden yang menyimpang atau tidak sesuai dengan yang diharapkan tentunya akan berpengaruh kepada kualitas dari penelitian yang sedang dilakukan. Ada 2 (dua) jenis kuisioner yang disebarkan kepada masyarakat sekitar hutan, yaitu :

1). Kuisioner pendapat masyarakat (lampiran 1) disebarkan kepada masyarakat

sekitar hutan secara acak tanpa memperhatikan karakteristik dari masyarakat tersebut. Kuisioner ini diperlukan untuk mendukung hasil analisis.


(36)

2). Kuisioner lingkungan internal dan eksternal (lampiran 2), disebarkan kepada masyarakat dengan memperhatikan karakteristik pendidikan, pekerjaan dan tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Kuisioner ini disebarkan kepada tokoh masyarakat, aparatur desa, kelompok swadaya masyarakat dan masyarakat lainnya. Kuisioner ini diperlukan untuk mendukung analisis swot.

c. Wawancara

Wawancara (lampiran 3) dilakukan terhadap tokoh-tokoh atau orang-orang yang tahu persis dengan kondisi kawasan hutan TNGL Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah VI Besitang terutama berkaitan dengan kerusakan hutan dan upaya-upaya yang telah dilakukan manajemen TNGL dan para pihak dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam penelitian ini, tokoh yang diwawancari mewakili dari beberapa unsur yang ada disekitar lokasi penelitian, yaitu masyarakat adat/kedatukan, tokoh masyarakat, kepala desa, lembaga swadaya masyarakat, dan unsur penegak hukum/kepolisian. Kuisioner ini diperlukan untuk mendukung hasil analisis.

3.5. Analisis Data

Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif. Secara harafiah dimaksudkan untuk membuat gambaran mengenai situasi, kondisi, atau kejadian, sehingga lebih mengarah menghimpun data dasar. Metode ini secara lebih umum sering disebut sebagai metode survei. Penelitian dilakukan untuk memperoleh fakta dari gejala-gejala yang ada secara faktual (Nasir, 1988).


(37)

Data-data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan 2 (dua) cara, yaitu :

a. Analisis Citra Landsat

Data yang ada dianalisis dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan teknik tumpang susun (overlay) dan analisis time series citra landsat terhadap tutupan hutan. Analisa citra landsat dilakukan secara visual untuk melakukan klasifikasi tutupan hutan. Data tutupan hutan ini akan dipergunakan sebagai dasar perhitungan laju kehilangan hutan (deforestation rate) sehingga menghasilkan peta analisis yang menjelaskan tentang perubahan tutupan lahan pada lokasi yang diteliti.


(38)

b. Analisis Swot

Analisis ini didahului dengan analisis faktor internal dan faktor eksternal. Analisis faktor internal dilakukan dengan model Matrik IFAS sedangkan analisis faktor eksternal dilakukan dengan Matrik EFAS

Analisis matrik IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan matrik EFAS (Eksternal Factor Analysis Summary) dilakukan dengan langkah-langkah berikut :

1. membuat daftar faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman).

2. Memberikan bobot pada masing-masing faktor dengan skala mulai 0,0 (tidak penting) sampai dengan 1,0 (sangat penting).

3. Memberikan nilai rating dengan menggunakan skala Likert mulai dari 1 sampai dengan 4. Pemberian nilai rating kekuatan dan peluang bersifat positif (kekuatan dan peluang yang semakin besar di beri nilai 4) tetapi bila kekuatan dan peluang yang semakin kecil diberi nilai 1. Pemberian nilai rating kelemahan dan ancaman adalah sebaliknya. Jika nilai kelemahan dan ancamannya sangat besar, ratingnya 1, sedangkan jika nilai kelemahan dan ancamannya sedikit ratingnya 4.

4. Menghitung skor dengan cara mengalikan bobot dengan rating. 5. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total.


(39)

Tabel 3. Matriks IFAS (Internal Factor Analysis Summary) Faktor-faktor Strategis

Internal

Bobot Rating Skor

Kekuatan: 1. ... 2. ... 3. ... 4. Dst Kelemahan: 1. ... 2. ... 3. ... 4. Dst

Total 1,0

Sumber: Rangkuti (2008)

Tabel 4. Matriks EFAS (External Factor Analysis Summary) Faktor-faktor Strategis

Eksternal

Bobot Rating Skor

Peluang: 1. ... 2. ... 3. ... 4. Dst

Ancaman: 1. ... 2. ... 3. ... 4. Dst

Total 1,0

Sumber: Rangkuti (2008)

Analisis terhadap faktor internal terkait penerapan strategi pengamanan hutan dan analisis faktor eksternal terkait dukungan para pihak terutama masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan TNGL. Analisis ini selanjutnya akan dikaji dengan analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities dan Threats). Berdasarkan


(40)

pendekatan tersebut, kita dapat membuat berbagai kemungkinan alternatif strategi (SO, ST, WO, dan WT) sebagai berikut:

1. Strategi SO, yaitu menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki organisasi untuk memanfaatkan peluang.

2. Strategi ST, yaitu menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki organisasi dengan cara menghindari ancaman.

3. Strategi WO, yaitu memanfaatkan peluang yang ada, dengan cara mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh organisasi.

4. Strategi WT, yaitu meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Tabel 5. Matrik SWOT IFAS

EFAS

Strengths (S)

Tentukan 5-10

faktor-faktor kekuatan internal

Weaknesses (W)

Tentukan 5-10

faktor-faktor kelemahan internal

OPPORTUNIES (O)

• Tentukan 5-10 faktor-faktor peluang eksternal

STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan utk memanfaatkan peluang

STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan utk memanfaatkan peluang TREATHS (T)

• Tentukan 5-10 faktor-faktor ancaman eksternal

STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan utk mengatasi ancaman

STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman Sumber: Rangkuti (2008)

   


(41)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Status Kawasan

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berada pada posisi 02º 50' - 04º 10' LU dan 96º 35' - 98º 30' BT dengan luas wilayah mencapai 1.094.692 Ha. Wilayah kawasan TNGL mencakup: (1). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Luwes dan Aceh Barat Daya (± 867.789,00 Ha) dan (2) di Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Langkat dan Karo (± 226.903.00 Ha). Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997 Tanggal 23 Mei 1997.

Taman Nasional Gunung Leuser terbentang luas mengikuti gugusan pegunungan Bukit Barisan dan merupakan kawasan konservasi yang memiliki perwakilan ekosistem lengkap, mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan danau yang relatif masih utuh dengan kelimpahan satwa-satwa langka dan endemik. Potensi keanekaragaman hayatinya memiliki nilai konservasi global. UNESCO menetapkan kawasan ini sebagai Cagar Biosfer, dan Cluster Natural World Heritage Site, sedangkan Indonesia-Malaysia menetapkan kawasan Leuser sebagai Sister Parks dengan Taman Negara (National Park) Malaysia.

Kawasan TNGL juga merupakan kawasan tangkapan air dan sumber air bagi banyak sungai-sungai besar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Sistem hidrologi kawasan ini secara keseluruhan merupakan sistem pengairan


(42)

terpenting di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Karo, dan Langkat.

Penetapan kawasan Gunung Leuser sebagai kawasan konservasi memiliki sejarah yang sangat panjang. Pada jaman kolonial Belanda (tahun 1934), Pemerintah Belanda menetapkan kawasan Suaka Margasatwa Gunung Leuser dengan luas 142.800 ha. Tahun 1936, Pemerintah Belanda menetapkan suaka margasatwa baru, yaitu Suaka Margasatwa Kluet Aceh dengan luas 20.000 ha. Tahun 1938, kembali ditetapkan kawasan Suaka Margasatwa Langkat di Sumatera Utara dengan luas 51.000 ha. Tahun 1976, Pemerintah Indonesia menunjuk kawasan Suaka Margasatwa Kappi di Provinsi Aceh dengan luas 142.000 ha. Tahun 1980, Menteri Pertanian mengumumkan keempat suaka margasatwa tersebut di atas dan beberapa hutan wisata untuk dikelola sebagai taman nasional.

4.2. Topografi

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser terletak di kawasan pegunungan yang berbukit dan bergelombang. Sebagian kecil saja areal yang berupa dataran rendah, yaitu di daerah Sekundur-Langkat di pantai Timur dan di daerah Kluet di pantai Barat. Berbagai elemen morfologi terlihat nyata, seperti rangkaian pegunungan dengan berbagai lipatan patahan dan rengkahan, gugusan bukit terjal dan bergelombang, gunung-gunung, kubah-kubah, dataran tinggi, plato, celah, lembah, jurang, lereng, dataran rendah, pantai, kompleks, dan aliran sungai dengan berbagai bentukan dan sistem pola sungai dengan cabang-cabangnya. Di taman nasional


(43)

tercatat. Salah satu puncak tertinggi di sini adalah puncak Gunung Leuser, yaitu 3.404 m dpl.

4.3. Geologi

Dijelaskan oleh C.G.G. van Beek dalam C v.Schaik dan J.Supriatna (Ed), (1996), bahwa TNGL terbagi ke dalam 5 Unit Fisiografi, dan di setiap Unit masih dapat dibagi ke dalam beberapa sub-unit. Unit-unit fisiografi utama tersebut terkait langsung dengan zona fisiografi longitudinal pada zona subduksi sepanjang Sumatra. Kelima unit fisiografi unit tersebut adalah: West Coast Chain (Blangpidie plain, Tapaktuan chain, Kluet-Bakongan plain, dan Singkil Bay); West Barisan (Senaboh chain, Leuser Kluet mountains, dan Bengkung plateau); West Alas Chain (Kemiri block, Ketambe block, Mamas block, dan Sembabala block); Central Graben (Bukit limus block, Gunung Api block, Blangkejeren basin, Palok mountain, dan Alas graben); East Barisan (Gayo mountains, Singgamata mountain, Kapi plateau, Bendaharan block, dan Karo highland); dan East Coast Chain (East coast hiils, dan East coast plain).


(44)

Sumber: Yayasan Leuser Internasional

Gambar 3. Peta Formasi Geologi TNGL

4.4. Iklim

Beradasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson, termasuk tipe iklim A di mana musim kemarau terjadi pada bulan Maret s/d Agustus dan musim hujan pada bulan September s/d Februari. Curah hujan rata-rata berkisar antara 1.000 s/d 3.000 mm pertahun. Suhu rata-rata minimum berkisar antara 23 – 25 º C dan rata-rata maksimum 30 – 33 º C, dan kelembaban udara relatif antara 65% - 75%.

4.5. Hidrologi

Hidrologi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dicirikan oleh sungai panjang, yaitu Sungai Alas dan oleh anak-anak sungai yang berhulu dari banyak


(45)

Parkinson dan lain-lain. Anak-anak sungai ini bermuara ke Samudera Indonesia ataupun ke Selat Malaka. Secara garis besar terdapat beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang airnya berasal dari kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Di samping keberadaan sungai-sungai tersebut di kawasan ini juga terdapat 2 (dua) buah danau kecil, yaitu Danau Laot Bangko yang terdapat di daerah Kluet (10 Ha) dan Danau Marpunga (6 ha) di daerah Marpunga.

4.6. Kondisi Biotik

Taman Nasional Gunung Leuser memiliki penyebaran vegetasi yang lengkap, mulai dari vegetasi hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan hutan pegunungan. Kawasan ini hampir seluruhnya ditutupi oleh lebatnya hutan Dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun. Vegetasi dominan adalah hutan tropis basah. Van Steenis membagi wilayah tumbuh-tumbuhan taman nasional ini atas 3 (tiga) zona, yaitu (1) Zona Tropika (500-1.000 m dpl); Merupakan daerah berhutan lebat yang ditumbuhi berbagai jenis tegakan yang berdiameter besar yang tingginya bisa mencapai 40 meter, serta berbagai jenis liana dan epifit yang menarik seperti anggrek; (2) Zona Montane (1.000-1.500 m dpl); merupakan hutan montane dengan tegakan kayu yang tidak terlalu tinggi, yaitu berkisar antara 10 – 20 m, banyak dijumpai lumut yang menutupi tegakan kayu atau pohon, dengan kelembaban udara yang tinggi; dan (3) Zona Sub Alpine (2.900 – 4.200 m dpl) yang merupakan zona hutan ercacoid yang tidak berpohon lagi, di mana vegetasinya merupakan campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut.


(46)

4.7. Flora

Kawasan Gunung Leuser diperkirakan memiliki 3.000 s/d 4.000 jenis tumbuhan, terutama di hutan-hutan dataran rendah di bawah 300 m dpl, diantaranya terdiri dari jenis kayu komersial, pohon buah-buahan, rotan (74 jenis), palm, jenis tanaman obat, dan bumbu-bumbuan. Kayu komersial dari famili Dipterocarpaceae terdapat 95 jenis, antara lain meranti (Shorea,Sp, keruing (Dipterocarpus indicus), dan pohon kapur (Dryoballanops aromatica). Pohon buah-buahan antara lain jeruk hutan (Citras macroptera), durian hutan (Durio exeleyanus dan D. zibethinus), menteng (Baccaurea montheyana dan B. racemosa), dukuh (Lansium domesticum), mangga (Mangifera foetida dan M. guadrifolia), rukem (Flacourtia rukem), dan rambutan (Nephelium lappaceum). Jenis lainnya, antara lain rotan (74 jenis dan merupakan plasma nutfah penting bagi kawasan ini), daun sang (Johannesteijsmania altifrons) yang merupakan jenis yang hanya terdapat di daerah Langkat, tanaman obat-obatan seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan kayu manis (Cinnamomun burmanii), beberapa jenis bunga raflesia (Rafflessia cropylosa, R. atjehensis, R. hassetii), dan Rhizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter, serta berbagai tumbuhan pencekik misalnya ara/beringin (Ficus benzamina.).

4.8. Fauna

Fauna di Taman Nasional Gunung Leuser terdapat 34 ordo, 144 famili dan 717 jenis dan 89 jenis di antaranya termasuk jenis satwa langka dan tidak terdapat di taman nasional lain. Beberapa satwa yang hidup di taman nasional ini, yaitu (1) mamalia,


(47)

thomasi), siamang (Hylobates sindactylus), musang congkok (Prionodon linsang), kukang (Nycticebus coucang), kucing emas (Felis temmincki), pulusuan (Arctonyx collaris), bajing terbang (Lariscus insignis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), ajak (Cuon alpinus), harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), gajah sumatera (Elephas maximus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), tapir (Tapirus indicus); (2) burung, antara lain kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul (Egretta sp.), itik liar (Cairina sp.), rajawali kerdil (Microhierax spp.), rangkong (Buceros bicornis), julang ekor abu-abu (Annorhinus gaeleritus), julang emas (Rhiticeros undulatus), kangkareng (Anthracoceros convextus), dan beo nias (Gracula religiosa); dan (3) reptil, antara lain buaya muara (Crocodilus porosus), penyu belimbing (Dermochelys sp.), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan senyulong (Tomistoma sp.).

Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 4 spesies fauna kunci, yaitu:

a. Orangutan

Sebaran orang utan di Sumatera bagian utara, menurut YLI dan SCOCP (2005) terdapat di 7 wilayah, yaitu West-Leuser & West-Middle Aceh Block dengan populasi (2.611); Trumon-Singkil (1.500); East Leuser & East-Middle Aceh Block (1.389); Nort-West Aceh & North-East Aceh (834); West Batang Toru (400); Tripa Swamp (280); East Sarulla (150); dan Sidiangkat (134). Sebaran populasi orangutan tersebut tersaji dalam peta sebagai berikut :


(48)

Sumber: Hasil Survey YEL-Unesco, 2009

Gambar 4. Peta Sebaran Populasi Orangutan Sumatera di Kabupaten Langkat

b. Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis)

Badak sumatera beradaptasi dengan baik untuk hidupnya di kawasan hutan pegunungan yang padat. Catatan sejarah menyatakan bahwa keberadaan Badak sumatera ini terdapat di hampir seluruh wilayah-wilayah terpencil di Sumatera, dan TN.Gunung Leuser merupakan tempat dengan dokumentasi yang baik (Van Strien in Jatna et al., 1996). Dijelaskan bahwa di masa lalu, Badak sumatera dapat dijumpai di


(49)

sepanjang pantai barat, dan daratan rendah di Langkat dan Deli. Perburuan badak merupakan profesi tua di Aceh, dan di beberapa desa dikenal sebagai desa pemburu badak yang terkenal.

Ketika survei pertama kali dilakukan di Gunung Leuser pada tahun 1930an, badak sudah menjadi langka di wilayah utara Gunung Leuser di dekat Blangkejeren, yang dikenal sebagai pusat pemburu badak. Kecenderungan akan penurunan populasi badak ini terus berlanjut, dan ketika proyek penelitian badak dari seorang ahli zoology Swiss-Marcus Borner lalu dilanjutkan oleh Nico van Strein pada awal 1970an, badak telah menghilang dari seluruh batas taman nasional. Hanya terdapat satu wilayah di pusat taman nasional yang dapat dicapai melalui udara atau mengikuti jalur jelajah gajah memotong kawasan bergunung-gunung di Lembah Mamas. Nico van Strein melakukan penelitian badak di wilayah ini pada tahun 1975.

Dalam jangka waktu studi 358 hari di Lembah Mamas, 4.000 km jalan patroli telah dilalui dan lebih dari 600 casts telah dibuat pada 360 jalur jelajah badak. Disimpulkan telah ditemukan tidak kurang dari 39 individu badak, 12 individu diantaranya adalah anak badak yang lahir pada masa studi. Di lembah Mamas juga diprediksi bahwa kepadatan individu diperkirakan 1 badak/800 hektar, dan ini adalah jumlah yang maksimum yang dapat didukung oleh kondisi di Gunung Leuser, dan sangat mungkin merupakan ukuran untuk badak pegunungan di seluruh Sumatera. Sedangkan daerah jelajah badak jantan dapat mencapai areal hutan seluas 2.500-3.000 hektar, sedangkan badak betina pada luasan 1.000-1.500 hektar, yang umumnya berpusat pada tempat mengasin (saltlick area).


(50)

c. Harimau

Harimau dijumpai pada kawasan pantai sampai dengan ketinggian 2.000 m dari permukaan laut, baik di hutan sekunder maupun primer. Mereka lebih suka di perbatasan hutan di mana banyak dijumpai hewan pakannya seperti babi hutan. Harimau adalah spesies paling terancam oleh perburuan illegal dengan menggunakan racun. Perburuan yang berulang-ulang akan menurunkan populasinya, bahkan populasi yang jauh di dalam taman nasional.

Menurut Griffiths (1999) dalam Balai TNGL (2007), populasi harimau di TN.Gunung Leuser pada tahun 1992 diperkirakan mencapai 100 individu. Jumlah ini diduga merupakan separuh dari jumlah populasi 6 tahun sebelumnya. Predator seperti harimau ini merupakan komponen dari ekosistem hutan hujan dataran rendah di TN.Gunung Leuser. Peranannya sebagai pemangsa terhadap hama babi hutan, membantu para petani yang tinggal di sekitar taman nasional, dari kegagalan panennya akibat serangan babi hutan. Harimau juga akan membantu menjaga keseimbangan populasi babi hutan pada tingkat yang stabil. Kerugian akibat serangan hama babi hutan ini besarnya equivalent dengan 30 kambing per tahun, seperti yang pernah terjadi di Desa Jambo Dalim, sebelah selatan TN.Gunung Leuser.

d. Gajah

Tipe gajah di Taman Nationnal Gunung Leuser merupakan sub-species dari gajah Asia, yaitu Elephas maximus sumatranus. Semula jalur jelajahnya meliputi hampir seluruh Sumatera, namun beberapa puluh tahun terakhir jalur jelajahnya


(51)

menyempit, di wilayah-hutan yang terputus-putus yang bisa mendukung populasi yang tersebar. Di TN. Gunung Leuser, tak ada satu jalur jelajah pun yang cukup terlindungi. Gajah sumatera ini menyukai habitat di hutan hujan dataran rendah dengan drainase tanah yang baik tetapi dengan dukungan suplai air yang mencukupi. Kawasan di bawah ketinggian 1.000 meter dpl ini pun juga harus memiliki cadangan makanan yang disukai gajah, yaitu bambu, rumput liar, liana, kulit pohon-pohon tertentu, dan beberapa jenis buah tertentu, seperti durian, mangga, dan cempedak. Suplai yang menurun dari berbagai jenis makanan tersebut akan berdampak pada pola kawin, kerentanan pada penyakit, dan kematian. Oleh karena itu, dengan berkurangnya luas hutan hujan dataran rendah, akan langsung mengancam keberadaan gajah sumatera ini.

Populasi gajah di TN. Gunung Leuser diprediksi sebanyak 160-200 individu, dan populasi ini terpisah dalam beberapa kelompok, dengan harapan terjadinya interbreeding yang kecil, masa depan populasinya tidak begitu menggembirakan. Menurut Griffiths (1999) dalam Balai TNGL (2007), dengan memberikan cukup perlindungan dan koridor yang tepat akan membantu menjaga masa depan gajah sumatera ini lebih baik, antara lain dengan melakukan perlindungan daerah jelajahnya di dalam taman nasional. Khususnya daerah-daerah hutan hujan dataran rendah yang merupakan daerah jelajah kelompok-kelompok gajah tersebut. Daerah jelajah awal dari populasi gajah di TN. Gunung Leuser, meliputi kawasan Sekundur di Langkat, menuju jalur jelajahnya sampai di Kappi dan memotong enclave Gumpang dan Marpunge menuju lembah Alas, Muara Situlen, dan berakhir di sekitar Lawe Bengkung sampai sebelah barat Kluet.


(52)

4.9. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI

Kawasan hutan SPTN Wilayah VI luasnya mencapai ± 125.000 Ha, secara administrasi terletak di Kecamatan Trenggulun dan Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Propinsi Aceh serta Kecamatan Besitang, Kecamatan Sei Lepan dan Kecamatan Batang serangan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Untuk efektifitas pengelolaan, kawasan ini dibagi ke dalam 6 (enam) resort, yaitu dari Resort Trenggulun, Resort Sei Betung, Resort Sekoci, Resort Sei Lepan, Resort Cinta Raja dan Resort Tangkahan.

Resort Trenggulun secara administrasi terletak di Desa Trenggulun Kecamatan Trenggulun dan Desa Semadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang. Resort ini luasnya mencapai 7.695 Ha, dengan panjang batas mencapai 26 km. Resort Sei Betung secara administrasi terletak di Desa Bukit Selamat, Desa Haleban dan Desa Bukit Mas Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 9.734 Ha, dengan panjang batas mencapai 26 km. Resort Sekoci secara administrasi terletak di Desa PIR ADB, dan Desa Harapan Maju Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 21.995 Ha, dengan panjang batas mencapai 12 km. Resort Sei Lepan secara administrasi terletak di Desa Harapan Maju Kecamatan Besitang dan Desa Mekar Makmur Kecamatan Sei Lepan Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 23.513 Ha, dengan panjang batas mencapai 15 km. Resort Cinta Raja secara administrasi terletak di Desa Mekar Makmur Kecamatan Sei Lepan dan Desa Sei Serdang Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 25.706 Ha, dengan panjang batas


(53)

mencapai 14 km. Resort Tangkahan secara administrasi terletak di Desa Namo Sialang, Desa Sei Serdang dan Desa Sei Musam Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 37.222 Ha, dengan panjang batas mencapai 20 km

Kawasan Hutan SPTN Wilayah VI termasuk dalam tipe hutan dataran rendah yang didominasi oleh jenis Dipeterocarpacea. Mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan TNGL umumnya perkebunan dengan tanaman unggulan kelapa sawit dan karet. Jenis tanaman tersebut merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Besitang.

 

                       


(54)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Citra Landsat

Hasil analisis citra landsat tentang kondisi kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser di wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6. Hasil Analisis Citra Landsat di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang Tahun (ha)

No Uraian

1989 2001 2003 2006 2009

1 Tutupan Hutan 120.058 115.838 119.498 80.116 104.384

2 Deforestasi 0 1.469 3.134 2.011 3.179

3 Degradasi 0 2.106 2.074 2.553 3.989

4 Sawit 0 397 746 247 267

5 Awan 3.962 4.277 187 29.943 12.803

6 Bayangan Awan 1.715 1.648 96 10.865 1.113

Total 125.735 125.735 125.735 125.735 125.735

Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi luas tutupan hutan di antara tahun-tahun yang dianalisis. Luas tutupan hutan cendrung menurun sejalan dengan meningkatnya kerusakan hutan. Penurunan luas tutupan hutan tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh kerusakan hutan namun dipengaruhi juga oleh kondisi cuaca pada saat pengambilan gambar. Kondisi demikian sangat jelas terlihat pada hasil analisis citra landsat tahun 2006 dengan luas tutupan awan dan bayangan awan mencapai angka ± 40.000 Ha, sehingga kalau angka itu dianggap kondisi hutan yang masih baik maka sebenarnya luas tutupan hutan pada tahun 2006 tidak berbeda jauh dengan data tahun 2003. Kondisi demikian juga terlihat pada data hasil analisis tahun 2009, dimana luas tutupan awan mencapai angka ± 12.000 Ha lebih, sehingga kalau


(55)

dianggap kondisi hutannya masih baik, maka luas tutupan hutan juga tidak terlalu signifikan kenaikannya dibandingkan data tahun 2006.

Kondisi ini tidak jauh beda dengan deforestasi dan degradasi yang cendrung meningkat dari beberapa tahun yang dianalisis, Tahun 1989 tidak ada deforestasi dan degradasi tetapi pada tahun-tahun berikutnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Data ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2009, kerusakan hutan TNGL di kawasan SPTN Wilayah VI seluas 3.179 Ha + 3.989 Ha + 267 Ha = 7.435 Ha. Luas hutan yang telah rusak kalau dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan masih relatif kecil yaitu sebesar 5,95 %, namun bila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menghentikan laju kerusakan hutan ini, maka angka tersebut akan terus mengalami peningkatan.

Tabel 5.1 juga memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 8 tahun terakhir (2001-2009) laju deforestasi hutan TNGL di wilayah kerja SPTN VI Besitang sebesar 213,075 Ha/tahun sedangkan laju degradasi hutan seluas 235,375 Ha/tahun. Total laju kerusakan hutan selama 8 tahun terakhir adalah 213,075 Ha + 235,375 Ha = 448, 450 Ha/ tahun.

Dari data diatas juga diperoleh bahwa ada penurunan data deforestasi yang sangat signifikan pada tahun 2006 seluas 1.128 Ha dibandingkan data tahun 2003, kemudian pada tahun 2009 kembali terjadi kenaikan seluas 1.168 Ha. Penurunan laju deforestasi pada tahun 2006 diperkirakan akibat kurang bagusnya cuaca pada saat pengambilan gambar citra. Kondisi cuaca yang kurang bagus akan menyebabkan banyaknya awan dan bayangan awan yang tampak sehingga lokasi-lokasi yang


(56)

seharusnya memunculkan data-data yang diperlukan jadi tertutup, akibatnya data yang muncul juga kurang akurat. Tarigan et al (2003), mengatakan keterbatasan data juga dipengaruhi oleh citra yang tertutup awan dan ketiadaan peta kontur untuk sebagian area.

Pada tahun 2004 s/d 2006 juga ada upaya dari manajemen TNGL dalam menyelesaikan persoalan perambahan hutan dan penebangan liar. Kemudian karena tidak ada keberlanjutan upaya penanganan persoalan pada tahun-tahun berikutnya terutama keberlanjutan program dan konsisitensi serta komitmen manajemen, maka pada tahun 2009 laju deforestasi kembali meningkat menjadi 3.179 ha. Triono (2008) mengatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pengelola lingkungan hidup dan pengelola hutan, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat adalah tidak konsisten dalam menjalankan pengelolaan lingkungan hidup yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah dibuat sebelumnya.

Pertengahan tahun 2004, manajemen TNGL mulai berbenah diri dan mencoba melakukan sesuatu untuk menghambat aktivitas penebangan liar dan perambahan hutan yang semakin memprihatinkan di wilayah kerja SPTN VI (Seksi Konservasi Wilayah IV pada saat itu). Tindakan manajemen TNGL ini tidak terlepas dari inisiatif Fauna Flora International (FFI) yang membentuk Conservation Response Unit Mobile (CRU-Mobile). CRU-Mobile merupakan salah satu program lembaga konservasi international tersebut untuk mengurangi laju kerusakan hutan di Besitang dengan tindakan represif. Program ini juga merupakan pengembangan dari program CRU yang telah berjalan 2 (dua) tahun sebelumnya di Resort Sekoci dan Tangkahan.


(57)

Program CRU, kegiatannya bersifat prefentif dan persuasif dengan tugas pokok melakukan patroli untuk mengumpulkan data dan informasi terkait aktivitas ilegal di kawasan TNGL Besitang. Kegiatan ini dianggap sudah cukup dan tidak akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap kawasan, makanya FFI menggagas program CRU-Mobile untuk menindaklanjuti hasil temuan tim CRU dengan tindakan represif dan penegakan hukum secara adil di lapangan.

Tim CRU Mobile unit beranggotakan polhut-polhut TNGL terpilih, yang memiliki integritas tinggi sehingga diharapkan dapat menjawab tantangan tugas tersebut. Tim ini telah berhasil menangani 44 kasus dengan tersangka dari berbagai latar belakang pekerjaan termasuk oknum aparat penegak hukum seperti yang tertera pada lampiran 8. Penegakan hukum yang konsisten di wilayah kerja SPTN VI Besitang terjadi antara tahun 2005 s/d 2007, puncaknya disaat pelaksanaan Operasi hutan Lestari (OHL) II poldasu yang berhasil mengeluarkan 33 kk perambah hutan dari resort Sekoci.

Gebrakan yang dilakukan manajemen TNGL saat itu telah membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap kawasan, aktivitas penebangan liar sudah menurun, muncul rasa takut dari orang-orang yang akan melakukan aktivitas illegal, beberapa kawasan hutan terutama di Resort Sei Betung dan Trenggulun sudah mulai pulih kembali hutannya dan kepercayaan para pihak terhadap manajemen TNGL sudah mulai tumbuh kembali.

Selain faktor cuaca yang kurang baik pada saat pengambilan gambar citra landsat dan upaya yang sungguh-sungguh dari manajemen TNGL dalam


(58)

menyelesaikan persoalan antara tahun 2004 – 2006, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (gerhan) yang sudah berjalan sejak tahun 2004 memberikan sedikit harapan bagi pemulihan kawasan hutan di wilayah ini, Iskandar dan Nugraha (2004) menyatakan bahwa rehabilitasi merupakan salah satu solusi terhadap kerusakan hutan, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.

Kerusakan hutan kawasan TNGL Seksi Pengelolaan TN Wilayah VI Besitang telah dimulai sejak tahun 1977 yang lalu (statusnya masih suaka margasatwa) ketika Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian melaksanakan proyek pembinaan habitat pada areal seluas 30.000 Ha, yang mencakup Aras Napal-Sei Betung sampai dengan Sei Lepan. PT. Raja Garuda Mas (RGM) yang melaksanakan proyek ini diberi izin untuk mengeksploitasi jenis pohon tertentu berdiameter di atas 50 cm. Proyek ini dihentikan pada tahun 1978 karena implementasinya sudah tidak sesuai lagi dengan yang direncanakan sebelumnya.

Kebijakan yang kurang tepat ini dampaknya sangat besar, hingga saat ini masyarakat terutama pelaku aktivitas illegal terus mempertanyakannya dan selalu dijadikan alasan untuk merambah kawasan konservasi tersebut. Masyarakat sekitar hutan juga melihat bahwa ada yang tidak benar dengan kebijakan tersebut, hal ini sesuai dengan hasil isian kuisioner masyarakat sekitar hutan yang menyatakan bahwa sekitar 80,3 % responden sepakat kalau kesalahan kebijakan dalam proyek pembinaan habitat merupakan awal kerusakan hutan Besitang. Seperti yang terlihat pada Gambar 5 berikut ini.


(59)

Gambar 5. Pendapat Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Kesalahan Kebijakan Pemerintah Pusat dalam Mengelola Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang

Kebijakan tersebut tidak berlangsung lama sehingga tidak menimbulkan banyak kerusakan terhadap kawasan hutan. Hal demikian juga terjadi pada tahun 1990-an, aktivitas penebangan liar dalam skala kecil sudah mulai berlangsung di kawasan konservasi ini, penanganan yang cepat oleh manajemen TNGL saat itu menyebabkan aktivitas ilegal ini dapat dihentikan sehingga tidak menimbulkan kerusakan hutan yang signifikan.

Kerusakan kawasan hutan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang mulai meningkat tajam pada awal tahun 2000-an ketika pengungsi korban konflik Aceh mulai mendiami kawasan konservasi ini. Keberadaan pengungsi ini diperkirakan sebagai awal peningkatan kerusakan hutan di kawasan ini, keberadaan pengungsi dijadikan tameng bagi oknum perambah untuk melakukan aktivitas illegal di dalam kawasan TNGL sehingga laju kerusakan hutan semakin tidak terbendung. Pada tahun 2005 dan 2006


(60)

memang ada upaya yang siginifikan oleh Balai TNGL dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di lapangan, mulai dari operasi kecil sampai dengan Operasi Hutan Lestari (OHL) II Polda Sumatera Utara yang berhasil menangkap puluhan tersangka dan mengamankan ratusan Ha kawasan hutan yang telah dikuasai oleh perambah sebelumnya. Kondisi kawasan hutan TNGL selama kurun waktu pengambilan data dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Detailnya gambar untuk setiap periode pengambilan gambar dapat dilihat pada Lampiran 9-13.


(61)

Gambar 6. Peta Hasil Analisis Citra Landsat Kawasan Hutan TNGL Wilayah Kerja SPTN VI dalam Kurun Waktu Tertentu


(62)

(63)

terus mengalami peningkatan terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk. Hal ini seiring dengan kebutuhan akan lahan dan semakin menipisnya kawasan hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT) atau areal penggunaan lain (APL) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Kawasan hutan produksi atau hutan produksi terbatas di Kabupaten Langkat hanya ada di atas peta, di lapangan sudah berubah menjadi lahan perkebunan sawit/karet. Kondisi demikian hampir terjadi di seluruh wilayah Republik Indonesia bahwa kawasan hutan yang tersaji di atas peta tidak semua masih berhutan, sebagian sudah berubah menjadi lahan perkebunan atau peruntukan lainnya. Forest Watch Indonesia (2001) menyebutkan bahwa tutupan hutan sesungguhnya ternyata hanya 86 % dari lahan yang didefinisikan sebagai hutan di Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi perhatian para rimbawan dan pemerhati lingkungan di Indonesia bahwa sudah saatnya kita tertib dan terbuka dengan data yang ada, bukan luasan hutan yang ditonjolkan tetapi kualitas pengelolaan yang perlu diperbaiki agar kelestarian hutan dapat terjamin selamanya.

5.2. Analisis Swot

Dalam analisis swot akan ada analisis pendahuluan berupa analisis faktor internal dan faktor eksternal yang akan diuraikan sebagai berikut:


(64)

Hasil analisis faktor internal dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 7. Matrik IFAS Hasil Analisis Faktor Internal

Faktor‐faktor Strategis Internal  Bobot  Rating  Skor 

Kekuatan       

1. Komitmen petugas lapangan  0,101  3,43  0,35 

2. Dukungan manajemen TNGL  0,100  3,44  0,34 

3. Keberadaan Pal Batas di lapangan  0,101  3,39  0,34 

4. Peraturan perundang‐undangan   0,100  3,43  0,34 

5. Penerapan strategi pengamanan hutan  0,102  3,53  0,36 

       

Kelemahan          

1. Kuantitas dan kualitas tenaga polhut  0,100  3,14  0,31 

2. Koordinasi dengan pihak terkait belum maksimal  0,100  3,04  0,30  3. Penyelesaian masalah tidak fokus dan tuntas  0,099  3,07  0,30  4. Inventasi dana untuk persoalan  strategis  0,099  2,93  0,29 

5. Sarana dan prasarana belum memadai  0,100  3,08  0,31 

Total  1,002    3,24 

Hasil analisis matrik IFAS (kekuatan) memperlihatkan bahwa penerapan strategi pengamanan hutan memiliki skor yang paling tinggi (0,36), hal ini menunjukkan bahwa strategi pengamanan hutan yang diterapkan manajemen TNGL sudah cukup baik dalam menurunkan aktivitas ilegal di wilayah kerja SPTN VI Besitang, walaupun masih terdapat aktivitas ilegal di beberapa lokasi tertentu seperti di blok hutan Sei Minyak dan Barak Induk Resort Sekoci serta blok hutan Damar Hitam Resort Sei Lepan.

Secara umum kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan dapat dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu Pre-emtif (penyadaran), Preventif (patroli) dan Represif (penindakan). Hal inipun yang dilakukan manajemen TNGL dalam


(65)

lokasi tertentu, strategi ini dianggap berhasil karena berhasil menurunkan frekuensi aktivitas illegal yang secara tidak langsung menurunkan laju kerusakan hutan di lokasi tersebut. Resort Trenggulun, Sei Betung, Cinta Raja dan Tangkahan merupakan lokasi-lokasi yang dimaksud sedangkan Resort Sekoci dan Sei Lepan dianggap gagal sehingga perlu dipikirkan strategi lain yang lebih tepat.

Polisi kehutanan dalam menyelesaikan persoalan illegal yang berlangsung di wilayah kerjanya lebih memprioritaskan penanganan dengan pola pre-emtif dan

preventif. Bila menemui pelaku penebangan liar atau perambah hutan, mereka akan memberikan pengarahan dan pembinaan kepada pelaku bahwa kegiatan yang sedang dilakukan ini salah, beresiko dan bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan akhir dari tindakan ini hanya membuat surat pernyataan agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Bila dalam perjalanannya, pelaku yang sama mengulangi lagi perbuatannya maka petugas sudah mempunyai dasar yang kuat untuk menangkap pelaku dan memprosesnya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Tindakan polisi kehutanan tersebut mendapat apresiasi dari masyarakat sekitar hutan, sekitar 94,4 % dari mereka sependapat dengan pola itu seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 7.


(66)

Gambar 7. Pendapat Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Penerapan Strategi Pengamanan Hutan oleh Manajemen TNGL dalam Menyelesaikan Masalah di Lapangan

Terhadap para aktor, strategi di atas tidak berlaku karena mereka sudah sangat paham dengan aturan dan sudah berpengalaman dalam aktivitas illegal, sehingga petugas tidak memberi toleransi sedikit pun dan akan mengambil langkah tegas bila petugas berhasil menangkapnya. Namun dalam implementasinya, petugas mengalami banyak tantangan dan hambatan sehingga sangat sulit menangkap para aktor ini. Ada beberapa hal yang menyebabkan sulitnya petugas melaksanakan pekerjaan ini, antara lain :

1. Pelaku lapangan sangat sulit mengaku siapa yang menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan illegal itu, padahal pengakuan mereka sangat dibutuhkan untuk menangkap pelaku di atasnya terutama aktor intelektual.


(67)

transaksi jual beli tersebut, hal inipun yang mengakibatkan pelaku di atasnya sangat sulit ditangkap termasuk aktor intelektualnya.

3. Aktor intelektual biasanya punya jaringan yang kuat dengan penentu kebijakan terutama oknum aparat penegak hukum, sehingga kalaupun ada pelaku lapangan yang menyebutkan keterlibatannya selalu ada celah baginya untuk tidak diproses hukum.

Kegagalan penerapan strategi pengamanan hutan di Resort Sekoci dan Sei Lepan dikarenakan belum tuntasnya penyelesaian persoalan pengungsi korban konflik Aceh yang hingga saat ini masih berada di dalam kawasan TNGL. Permasalahan ini sudah menjadi perhatian nasional sehingga penyelesaiannya pun diharapkan berada pada level nasional. Upaya-upaya yang dilakukan oleh manajemen TNGL di lokasi ini sifatnya hanya menghambat dan mengurangi ruang gerak pelaku aktivitas illegal agar tidak terjadi perluasan areal yang dirambah atau dirusak.

Manajemen TNGL sudah berkomitmen bahwa persoalan pengungsi Aceh harus diselesaikan dengan pola-pola yang lebih manusiawi dan bermartabat, penerapan langkah represif merupakan alternatif terakhir bila upaya persuasif gagal. Keluarnya SK Menko Kesra tentang pembentukan tim koordinasi penanganan pengungsi korban konflik Aceh di dalam kawasan TNGL Sumatera merupakan wujud dari strategi tersebut. Pemerintah menginginkan agar pengungsi korban konflik aceh tersebut dapat di relokasi ke tempat lain yang lebih aman dan nyaman dengan pola transmigrasi (artinya semua kebutuhan hidup terpenuhi). Tim bentukan Menko Kesra ini bertugas


(1)

  121

Lampiran 12. Peta Hasil Analisis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2006


(2)

(3)

  123

Lampiran 14. Foto Kegiatan Pengambilan Data di lapangan  

 

 Penulis sedang Menjelaskan tentang Cara Pengisian Kuisioner

kepada Salah Satu Masyarakat Desa Haleban  

 

   

Penulis Ketika Membimbing Seorang Masyarakat Tangkahan dalam Pengisian Kuisioner


(4)

   

Penulis Ketika Mewawancarai Bapak OK. Abdul Hamid (Datok Sei Lepan)

   

   

Penulis Ketika Mewawancarai Bapak Edi Sunardi (Manager CRU Tangkahan-FFI)            


(5)

  125

   

  Lokasi Pengungsi Barak Induk di dalam Kawasan TNGL  

 

   


(6)

Kondisi Hutan TNGL di Blok Hutan Sei Minyak

Pemukiman Liar di lokasi Pengungsian Barak Induk Kawasan Hutan TNGL