Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat Di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

(1)

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI SEBAGAI TANAMAN OBAT DI HUTAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUB SEKSI BUKIT LAWANG

THESIS OLEH

ZAINAB NIRWANI NIM : 077030030

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 1 0


(2)

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI SEBAGAI TANAMAN OBAT DI HUTAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUB SEKSI BUKIT LAWANG

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains Dalam Program Studi Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ZAINAB NIRWANI NIM : 077030030

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 1 0


(3)

JUDUL PENELITIAN : KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI SEBAGAI TANAMAN OBAT DI HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUB SEKSI BUKIT LAWANG NAMA MAHASISWA : ZAINAB NIRWANI

NIM : 077030030

PROGRAM STUDI : BIOLOGI

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof.Ir.Zulkifli Nastuion, M.Sc.Ph.D Prof.Dr.Retno Widhiastuti, MS

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof.Dr.Dwi Suryanto, M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 28 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Ir.Zulkifli Nastuion, M.Sc.Ph.D Anggota : Prof.Dr.Retno Widhiastuti, MS

Dr. Suci Rahayu, M.Si Dr. Budi Utomo, SP, MP


(5)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI SEBAGAI TANAMAN OBAT DI HUTAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUB SEKSI BUKIT LAWANG

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, September 2010 Penulis,


(6)

ABSTRACT

Zainab Nirwani, Ground vegetation Diversity The Potential For Forest Medicinal Plants in National Parks Sub-Section of Bukit Lawang. Supervised by Zulkifli Nasution and Retno Widhiastuti.

Communities in the vicinity of Bukit Lawang has decades of use of plants as medicinal plants, use of medicinal plants associated with value-added and increased economy in society, data and information on plants that have the potential as a medicinal plant in Gunung Leuser National Park Sub-Section of Bukit Lawang is still less. This study aimed to ground vegetation diversity and its relation to physical-chemical factors and know the plants used under the communities around Gunung Leuser National Park sub-section of Bukit Lawang. The research uses quantitative and qualitative methods. Data obtained with calculating dominance and diversity indices as well as interviews with common community. Based of study the correlation between diversity with soil temperature and humidity have a correlation in the same direction, while the air temperature, light intensity and soil pH has a correlation in the opposite direction. IVI (Importance Value Index) ground vegetation is about from 0.99% -25.95%. The Highest IVI is Laportea Stimulant, which it’s included in families Urticaceae. The diversity index is about from 3.186 to 3.342, it means that this area has a high diversity. Ground Vegetation which it’s used most by the public is sirih hutan (Piper sp.) with a value of 12,60 and lempuyang (Globba sp) with a value of 12,10. . Most of the used medicinal plants have secondary metabolites flavanoid types. Key words: Ground Vegetation Diversity, medicinal plants, metabolite secondary


(7)

ABSTRAK

Zainab Nirwani, Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang. Dibimbing oleh Zulkifli Nasution dan Retno Widhiastuti.

Masyarakat di sekitar Bukit Lawang sudah berpuluh tahun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai tanaman obat, Penggunaan tanaman obat terkait dengan nilai tambah dan peningkatan perekonomiaan di masyarakat, data dan informasi mengenai tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman obat di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang masih kurang.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan bawah dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia serta mengetahui tumbuhan bawah yang digunakan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data diperoleh dengan menghitung dominansi dan indeks keanekaragaman serta wawancara dengan masyarakat sekitar.Berdasarkan penelitian yang dilakukan korelasi antara keanekaragaman dengan suhu tanah dan kelembaban memiliki korelasi searah, sedangkan suhu udara, intensitas cahaya dan pH tanah memiliki korelasi yang berlawanan arah. INP tumbuhan bawah berkisar antara 0,99%-25,95%. INP tertinggi adalah Laportea stimulans termasuk famili Urticaceae. Indeks keanekaragaman berkisar antara 3,186-3,342 artinya Kawasan ini memiliki keanekaragaman yang tinggi.

Tumbuhan bawah yang digunakan paling banyak oleh masyarakat adalah sirih hutan (Piper sp.) dengan nilai 12,60 diikuti dengan jenis lempuyang (Globba sp) dengan nilai 12,10.. Kebanyakan tanaman obat yang digunakan memiliki kandungan metabolit sekunder jenis flavanoid.

Kata kunci: Keanekaragaman tumbuhan bawah, tanaman obat, metabolit sekunder


(8)

RIWAYAT HIDUP

ZAINAB NIRWANI dilahirkan pda tanggal 29 Juni 1971 di kota Pematang Siantar Propinsi Sumatera Utara. Anak dari pasangan Sofyan Ismail (Alm) dengan Asni (Alm) sebagai anak ke empat dari lima bersaudara.

Tahun 1984 penulis lulus dari SDN 122398 Pematang Siantar. Pada tahun 1987 lulus dari SMPN 4 Pematang Siantar dan tahun 1990 lulus dari SMAN 2 Pematang Siantar. Pada tahun 1990 meneruskan pendidikan ke Universitas Sumatera Utara jurusan pendidikan biologi Program D3 dan tamat pada tahun 1993. Pada tahun meneruskan pendidikan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka UPBJJ Banda Aceh dan tamat pada tahun

Tahun 2007 melanjutkan pendidikan di Program Magister (S2) Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dengan bea siswa dari PEMKO Tebing Tinggi.Tahun 2008 Penulis juga mendapat beasiswa pendidikan profesi guru Biologi di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan selesai dalam tahun 2008.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan YME. Karena berkat Rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini dengan judul “Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc sebagai dosen pembimbing I dan Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan dan penyusunan laporan hasil penelitian ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Budi Utomo, Sp. MP dan Dr. Suci Rahayu, M. Si sebagai penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan penyusunan hasil penelitian ini.

2. Seluruh Dosen dan staf pengajar Program Studi Pasca Sarjana Biologi Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu

3. Pemerintah Kota Tebing Tinggi yang telah memberi izin dan memberi bantuan beasiswa kuliah Pascasarjana saya.

4. Teman-teman dalam tim penelitian, Soimin, Aminata, Maini, Seneng, Kasbi, dan lain-lain yang telah meluangkan waktunya membantu dan mendukung penulis sejak awal survey sampai pada saat penelitian.


(10)

5. Suamiku tercinta Syahlul. W. Siregar yang telah memberi motivasi dan dukungan serta kesabaran. Juga anakku tercinta Faisal Surya Akbar.

Akhir kata semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan karuniaNya dalam seluruh aktivitas kita dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2010 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRACT

ABSTRAK... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1. Keanekaragaman Hayati ... 6

2.2. Tinjauan Ekosistem Hutan ... 7

2.3. Tumbuhan Bawah ... 9

2.4. Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Tropika Indonesia ... 12

2.5. Keanekaragaman Tumbuhan Obat berdasarkan Familinya ... 13

2.6. Kandungan Metabolit Sekunder ... 15

2.6.1. Alkaloid ... 15

2.6.2. Flavanoid ... 16

2.6.3. Steroid ... 18

2.6.4. Terpenoid ... 19

III. METODE PENELITIAN... 20

3.1. Deskripsi Area ... 20

3.1. 1. Letak dan Luas ... 20

3.1.2. Topografi ... 20

3.1.3. Keadaan Iklim ... 21

3.1.4. Vegetasi ... 21

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22


(12)

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.4.1. Di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang ... 23

3.4.2. Pengumpulan Data Tumbuhan Obat di Masyarakat ... 25

3.5. Di Laboratorium ... 28

3.5.1. Identifikasi Jenis ... 28

3.6. Analisis Data ... 29

3.6.1. Struktur Dan Komposisi Tumbuhan Bawah ... 29

3.6.2. Potensi Tanaman Obat ... 30

3.6.3. Analisis Korelasi ... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

4.1. Kekayaan Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang ... 32

4.2.Sebaran Jenis Tumbuhan di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang ... 37

4.3. Dominansi Tumbuhan Bawah di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang ... 47

4.3.1. Nilai Kerapatan Relatif (KR) ... 51

4.3.2.Nilai Frekuensi Relatif (FR) ... 54

4.3.3. Indeks Nilai Penting (INP) ... 57

4.4. Indeks Keanekaragaman (H’) ... 58

4.5. Analisis Korelasi Antara Faktor Fisik dan Keanekaragaman Jenis . 59 4.6. Jenis-Jenis Tumbuhan Bawah Yang Dimanfaatkan Sebagai Tanaman Obat ... 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 66

5.1. Kesimpulan ... 66

5.2. Saran ... 67


(13)

DAFTAR TABEL

NO Judul Halaman

1 Jumlah Spesies Tumbuhan Obat Berdasarkan Kelompok

Familinya ... 14 2 Jenis dan Klasifikasi Tumbuhan Bawah yang Ditemukan Pada

Lokasi Penelitian

...

32 3 Sebaran dan Jumlah Tumbuhan Bawah di Hutan Taman Nasional

Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang ... 37 4 Jumlah famili dan Jenis Tumbuhan Bawah di Taman Nasional

Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

...

43 5 Faktor fisik dan Lingkungan di Taman Nasional Gunung Leuser

Sub Seksi Bukit Lawang ... 45 6 Nilai Kerapatan Mutlak (Km), Kerapatan Relatif (Kr), Frekuensi

(F), Frekuensi Relatif (Fr) dan Indeks Nilai Penting (INP) Jenis Tumbuhan Bawah pada Taman Nasional Gunung Leuser Sub

Seksi Bukit Lawang ... 47

7 Analisis Korelasi Faktor Fisik Kimia dengan Keanekaragaman DenganMetode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00 ...

59

8 Nilai Koefisien Korelasi ... 60

9 Nilai Guna, Nilai Guna Relatif Tumbuhan Bawah yang Berpotensi

Sebagai Tanaman Obat di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi

Bukit Lawang ... 62 10 Jenis-jenis Tumbuhan Bawah yang Dimanfaatkan Sebagai


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Contoh Perhitungan (K, KR, F, FR, INP, H’ dan E) 56

2 Analisis Korelasi Pearson Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver.16.00

58

3 Tabel Pengamatan Tumbuhan Bawah di Lokasi I 59

4 Tabel Pengamatan Tumbuhan Bawah di Lokasi II 62

5 Tabel Pengamatan Tumbuhan Bawah di Lokasi III 66

6 Analisis Vegetasi Lokasi I 69

7 Analisis Vegetasi Lokasi II 70

8 Analisis Vegetasi Lokasi III 71

9 Biodata dan Pernyataan Informan Kunci dan Respoden 73

10 Biodata Dan Wawancara Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Responden 74

11 Penentuan Jumlah Sampel Dari Ppopulasi Tertentu Dengan Taraf Kesalahan 1%, 5%, 10%

79

12 Nilai Guna Tumbuhan 80

13 Deskripsi Tumbuhan Bawah yang digunakan Masyarakat Sekitar Bukit Lawang


(15)

ABSTRACT

Zainab Nirwani, Ground vegetation Diversity The Potential For Forest Medicinal Plants in National Parks Sub-Section of Bukit Lawang. Supervised by Zulkifli Nasution and Retno Widhiastuti.

Communities in the vicinity of Bukit Lawang has decades of use of plants as medicinal plants, use of medicinal plants associated with value-added and increased economy in society, data and information on plants that have the potential as a medicinal plant in Gunung Leuser National Park Sub-Section of Bukit Lawang is still less. This study aimed to ground vegetation diversity and its relation to physical-chemical factors and know the plants used under the communities around Gunung Leuser National Park sub-section of Bukit Lawang. The research uses quantitative and qualitative methods. Data obtained with calculating dominance and diversity indices as well as interviews with common community. Based of study the correlation between diversity with soil temperature and humidity have a correlation in the same direction, while the air temperature, light intensity and soil pH has a correlation in the opposite direction. IVI (Importance Value Index) ground vegetation is about from 0.99% -25.95%. The Highest IVI is Laportea Stimulant, which it’s included in families Urticaceae. The diversity index is about from 3.186 to 3.342, it means that this area has a high diversity. Ground Vegetation which it’s used most by the public is sirih hutan (Piper sp.) with a value of 12,60 and lempuyang (Globba sp) with a value of 12,10. . Most of the used medicinal plants have secondary metabolites flavanoid types. Key words: Ground Vegetation Diversity, medicinal plants, metabolite secondary


(16)

ABSTRAK

Zainab Nirwani, Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Yang Berpotensi Sebagai Tanaman Obat di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang. Dibimbing oleh Zulkifli Nasution dan Retno Widhiastuti.

Masyarakat di sekitar Bukit Lawang sudah berpuluh tahun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai tanaman obat, Penggunaan tanaman obat terkait dengan nilai tambah dan peningkatan perekonomiaan di masyarakat, data dan informasi mengenai tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman obat di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang masih kurang.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan bawah dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia serta mengetahui tumbuhan bawah yang digunakan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data diperoleh dengan menghitung dominansi dan indeks keanekaragaman serta wawancara dengan masyarakat sekitar.Berdasarkan penelitian yang dilakukan korelasi antara keanekaragaman dengan suhu tanah dan kelembaban memiliki korelasi searah, sedangkan suhu udara, intensitas cahaya dan pH tanah memiliki korelasi yang berlawanan arah. INP tumbuhan bawah berkisar antara 0,99%-25,95%. INP tertinggi adalah Laportea stimulans termasuk famili Urticaceae. Indeks keanekaragaman berkisar antara 3,186-3,342 artinya Kawasan ini memiliki keanekaragaman yang tinggi.

Tumbuhan bawah yang digunakan paling banyak oleh masyarakat adalah sirih hutan (Piper sp.) dengan nilai 12,60 diikuti dengan jenis lempuyang (Globba sp) dengan nilai 12,10.. Kebanyakan tanaman obat yang digunakan memiliki kandungan metabolit sekunder jenis flavanoid.

Kata kunci: Keanekaragaman tumbuhan bawah, tanaman obat, metabolit sekunder


(17)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Biodiversity atau Keanekaragamanan hayati merupakan anugerah terbesar bagi umat manusia. Manfaatnya antara lain adalah (1) merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia, karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain (2) merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi (3) mengembangkan sosial budaya umat manusia (4) membangkitkan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia setelah Brazil, mempunyai manfaat ekologi yang sangat vital dan begitu berharga di mata dunia (Azmy, 2002).

Hutan tropika Indonesia diperkirakan mencapai 143 juta ha, merupakan tempat tumbuh 80 persen dari tanaman obat yang ada di dunia di mana 28.000 spesies tanaman tumbuh dan 1.000 spesies di antaranya telah digunakan sebagai tanaman obat (Pramono, 2002). Survey yang dilakukan oleh PT. Esai pada tahun 1986 menemukan bahwa di Indonesia terdapat 7.000 spesies tanaman obat setara dengan 90 persen tanaman obat yang tumbuh di seluruh Asia (PT. Esai, 1986). Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2006), 283 tanaman telah diregistrasi untuk penggunaan obat tradisional/jamu, 180 jenis di antaranya merupakan tanaman obat yang masih ditambang dari hutan.

Tanaman obat adalah tanaman yang mengandung bahan yang dapat digunakan sebagai pengobatan dan bahan aktifnya dapat digunakan sebagai bahan obat sintetik (WHO dalam Sofowora, 1982). Di Indonesia, tanaman obat dimanfaatkan sebagai


(18)

bahan jamu gendong, obat herbal, makanan penguat daya tahan tubuh, kosmetik dan bahan spa serta bahan baku industri makanan dan minuman. Sumber tanaman obat hasil hutan untuk industri di Pulau Jawa sebagaian besar ditambang dari Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dan KPH Saradan-Madiun (Kemala, et al., 2003). TNMB mempunyai luas areal 58.000 ha, terdiri atas 57.155 Ha daratan dan 845 Ha perairan, terletak di wilayah Kabupaten Jember 37.585 Ha dan di Kabupaten Banyuwangi 20.415 Ha. Potensi tanaman obat yang terdapat di TNMB mencukup 239 jenis tanaman obat yang terbagi dalam 78 famili. Masyarakat di empat desa penyangga menambang 85 jenis tanaman (Dephut, 2002).

Dari hasil penelitian (Setyowati, 2007) pada masyarakat Talang Mamak yang bermukim di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau tercatat tidak kurang dari 78 jenis tanaman obat, diantaranya yaitu akar kuning (Arcangelisia flava), pulai (Alstonia scholaris), pasak bumi (Eurycoma longifolia), gaharu (Aquilaria malaccensis) dan kapung-kapung (Oroxylum indicum), kulim (Scorodocarpus borneensis), pinang (Areca catechu), jernang (Daemonorops draco), kasai (Pometia pinnata), asam gelugur (Garcinia atroviridis), ambeu (Brucea javanica) dan nilam (Pogostemon cablin).

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan kawasan konservasi yang paling luas di Sumatera. Taman Nasional tersebar dikelilingi oleh berbagai tipe penggunaan lahan, mulai dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, kawasan konsesi hutan sampai pemukiman. Beberapa pemukiman terdapat di dalam Taman nasional berupa ‘enclave’ (perkampungan di dalam kawasan Taman Nasional). Penduduk desa yang tinggal disekitar dan tinggal di dalam Taman Nasional ini


(19)

mempunyai aktivitas bertani dan memungut hasil hutan di sekitar atau di dalam Taman Nasional tersebut. Taman Nasional tersebut sebagai salah satu kawasan konservasi juga sangat berkaitan dengan cara masyarakat setempat dalam mengelola pertanian dan memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitarnya (Sutarjadi 1992).

Masyarakat di sekitar Bukit Lawang sudah berpuluh tahun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai tanaman obat, hutan alam tempat tanaman obat terdapat masih banyak yang belum diteliti dan masih belum dapat dimanfaatkan untuk industri farmasi di dalam negeri, sedangkan data dan informasi mengenai tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman obat di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang masih kurang. Terutama informasi tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tanaman obat.

Laju permintaan produk berbasis tanaman obat terkait erat dengan tingkat penggunaan oleh masyarakat. Peningkatan penggunaan obat herbal mempunyai dua dimensi korelatif, yaitu aspek medik terkait dengan penggunaannya yang sangat luas diseluruh dunia, dan aspek ekonomi yang terkait dengan nilai tambah dan peningkatan perekonomian masyarakat (Sampurno, 2007). Tingkat penggunaan tanaman obat oleh masyarakat semakin meningkat, Oleh karena itu sangat diperlukan dalam upaya mendokumentasikan sumber biodiversitas yang ada sekaligus untuk mencari sumber keuntungan dan plasma nutfah di masa mendatang.

1.2. Perumusan Masalah

Informasi keanekaragaman tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tanaman obat di Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang belum diketahui,


(20)

sehingga perlu diadakan penelitian mengenai ‘keanekaragaman tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tanaman obat di Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang’.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan bawah di hutan Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang.

2. Mengetahui hubungan faktor fisik-kimia habitat tumbuhan bawah di hutan Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang.

3. Mengetahui tumbuhan bawah apa saja yang digunakan sebagai tanaman obat oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dalam pemanfaatan tumbuhan bawah untuk masukan dalam pengelolaan potensi tanaman obat di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati (biological diversity) atau sering disebut dengan biodiversity adalah istilah untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumber daya alam hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran dari ekosistem, jenis dan genetik. Dengan demikian keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan, yaitu: (1) keanekaragaman ekosistem, (2) keanekaragaman jenis, dan (3) keanekaragaman genetik. Oleh karena itu, biodiversity meliputi jenis tumbuhan dan hewan, baik yang makro maupun yang mikro termasuk sifat-sifat genetik yang terkandung di dalam individu setiap jenis yang terdapat pada suatu ekosistem tertentu (Brockerhoff et al., 2009).

Keanekaragaman hayati merupakan konsep penting dan mendasar karena menyangkut kelangsungan seluruh kehidupan di muka bumi, baik masa kini, masa depan, maupun evaluasi terhadap masa lalu. Konsep ini memang masih banyak yang bersifat teori dan berhadapan dengan hal-hal yang sulit diukur secara tepat, terutama pada tingkat keanekaragaman genetik serta nilai keanekaragaman belum ada pembakuan (standarisasi). Pengukuran/pemantauan biodiversity dapat dilakukan dengan mengukur langsung terhadap objek/organisme yang bersangkutan atau mengevaluasi berbagai indikator yang terkait (Brockerhoff, et al., 2009).


(22)

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang menempati suatu tempat dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan di luar hutan, sedangkan satuan masyarakat hutan adalah tegakan (Kusmana, 1995). Luas hutan di seluruh dunia sekitar 2.970 juta hektar, sekitar 40 persennya merupakan hutan basah di daerah tropis. Dalam hutan basah tersebut terkandung kekayaan sebesar 10 persen di Zaire, Brazil dan Indonesia (Arief, 1994).

Hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan yang lazimnya dijumpai di daerah tropis, sub tropis, di dataran rendah maupun pegunungan bahkan di daerah kering sekalipun. Indonesia terletak di daerah khatulistiwa yang memiliki luas hutan 144 juta hektar atau 75 persen dari total luas daratan. Sekitar 49 juta hektar merupakan areal hutan lindung, sedangkan 64 juta hektar telah dirancang untuk hutan produksi dan luas selebihnya sebesar 31 juta hektar disediakan untuk keperluan perluasan pertanian (Arief, 1994).

Hutan memberikan pengaruh pada alam melalui tiga faktor yang berhubungan yaitu iklim, tanah, dan pengadaan air. Adanya sampah-sampah pohon (serasah) dalam hutan hasil rontokan bagian-bagian pohon yang menutupi lantai hutan akan mencegah rintikan-rintikan air hujan untuk langsung jatuh ke permukaan tanah dengan tekanan yang keras. Tanpa sampah, tanah akan terpadatkan oleh air hujan, sehingga daya serapnya akan berkurang. Hal ini berhubungan dengan fungsi serasah yaitu sebagai penyimpanan air sementara yang secara berangsur akan melepaskannya ke tanah bersama dengan bahan organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan kapasitas peresapan (Arief, 1994)


(23)

Hutan ini biasanya dikelola untuk tujuan penelitian. Hutan suaka alam dipergunakan bagi perlindungan margasatwa agar tidak punah, disamping nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan, disebut suaka margasatwa. Sedangkan suaka alam yang mempunyai perlindungan khas seperti air terjun, gua alam dan lainnya, disamping flora dan fauna sebagai kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, disebut cagar alam (Arief , 1994).

2.3. Tumbuhan Bawah

Tumbuhan bawah adalah komunitas tanaman yang menyusun stratifikasi bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak atau perdu rendah. Jenis-jenis vegetasi ini ada yang bersifat annual, biannual, atau perenial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak menjalar atau memanjat. Secara taksonomi vegetasi bawah umumnya anggota dari suku-suku Poceae, Cyperaceae, araceae, asteraceae, paku-pakuan dan lain-lain. Vegetasi ini banyak terdapat di tempat-tempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan pertanian dan perkebunan (Aththorick, 2005).

Tumbuhan bawah terdiri dari tumbuhan selain permudaan pohon, misal rumput, herba, dan semak belukar (Kusmana, 1995), serta paku-pakuan (Ewusie, 1990). Selanjutnya Philips (1959), menyatakan bahwa tumbuhan yang termasuk tumbuhan penutup tanah terdiri dari herba yang tingginya sampai 0,5 meter sampai 1 meter.


(24)

Menurut Richard (1981), tumbuhan bawah yang sering dijumpai di kawasan hutan tropik terdiri atas famili Araceae, Gesneriaceae, Urticaceae, Achantaceae, Zingiberaceae, Begoniaceae, Rubiaceae, dan tumbuhan menjalar seperti kelompok Graminae (Calamus sp.), Smilaceae, Piperaceae dan beberapa jenis tumbuhan paku seperti Selaginellaceae.

Komposisi dari keanekaragaman jenis tumbuhan bawah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon di sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Pada komunitas hutan hujan, penetrasi cahaya matahari yang sampai pada lantai hutan umumnya sedikit sekali. Hal ini disebabkan terhalang oleh lapisan-lapisan tajuk pohon yang ada pada hutan tersebut, sehingga tumbuhan bawah yang tumbuh dekat permukaan tanah kurang mendapat cahaya, sedangkan cahaya matahari bagi tumbuhan merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses perkembangan, pertumbuhan dan reproduksi (Gusmaylina, 1983). Menurut Barnes, et al., (1997), keanekaragaman tumbuhan bawah memperlihatkan tingkatan keanekaragaman yang tinggi berdasarkan komposisinya. Perbedaan bentang lahan, tanah, faktor iklim serta perbandingan keanekaragaman spesies vegetasi bawah, memperlihatkan banyak perbedaan, baik dalam kekayaan jenisnya maupun pertumbuhannya.

Hutan yang lapisan pohon-pohon tidak begitu lebat, sehingga cukup cahaya yang dapat menembus lantai hutan, kemungkinan perkembangan vegetasi bawah bersifat terna, sedangkan pada tempat-tempat kering berupa tumbuhan berkayu antara lain rumput-rumputan jenis Pennisetum dan Didymocarpus. Pada hutan yang lebat sehingga intensitas cahaya sedikit, tumbuhan bawah beradaptasi melalui permukaan


(25)

daun yang lebar untuk menangkap cahaya matahari sebanyak-banyaknya (Hafild & Aniger, 1984).

Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat, sehingga dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok. Siklus hara akan berlangsung sempurna dan guguran daun yang jatuh sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri (Irwanto, 2007).

2.4. Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Tropika Indonesia

Sudah turun temurun berbagai etnis (suku asli) yang hidup di dalam dan sekitar hutan di seluruh wilayah Nusantara, dari Sabang sampai Merauke memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan dari hutan untuk memelihara kesehatan dan pengobatan berbagai macam penyakit. Berbagai penelitian etnofitomedika-etnobotani yang dilakukan oleh peneliti Indonesia telah diketahui, paling tidak ada 78 spesies tumbuhan obat yang digunakan oleh 34 etnis untuk mengobati penyakit malaria, 133 spesies tumbuhan obat untuk mengobati penyakit demam oleh 30 etnis, 110 spesies tumbuhan obat untuk mengobati penyakit gangguan pencernaan oleh 30 etnis dan 98 spesies tumbuhan obat digunakan untuk mengobati penyakit kulit oleh 27 etnis (Sangat, et al., 1999).

Hutan alam tropika Indonesia dan budaya, pengetahuan tradisional atau kearifan lokal berbagai etnis yang hidup dengan ekosistem hutan merupakan aset bangsa yang tak terhingga nilainya bagi pembangunan kesehatan bangsa. Banyak pengetahuan tradisional tentang penggunaan tumbuhan obat dari berbagai etnis telah


(26)

dikembangkan oleh industri jamu dan farmasi menjadi produk jamu atau produk fitofarmaka yang sangat laku di pasaran, seperti produk merek dagang: fitodiar, prolipid, enkasari, stimuno dan lain-lain (Zuhud, 2008).

Secara umum dapat diketahui bahwa tidak kurang 82 % dari total spesies tumbuhan obat hidup di ekosistem hutan tropika dataran rendah pada ketinggian hingga 1000 meter di atas permukaan laut. Saat ini ekosistem hutan dataran rendah adalah kawasan hutan yang paling banyak rusak dan punah karena berbagai kegiatan manusia baik secara legal maupun tak legal. Ekosistem hutan tropika Indonesia merupakan wujud proses evolusi, interaksi yang kompleks dan teratur dari komponen tanah, iklim (terutama cahaya, curah hujan dan suhu), udara dan organisme termasuk sosio-budaya manusia untuk mendukung kehidupan keanekaragaman hayati, antara lain berbagai spesies tumbuhan obat (Zuhud, 2008).

2.5. Keanekaragaman Tumbuhan Obat Berdasarkan Familinya

Berdasarkan kelompok familinya, spesies-spesies tumbuhan obat yang ada dapat dikelompokkan ke dalam 203 macam famili, di mana jumlah spesies tumbuhan obat yang terbanyak termasuk dalam famili fabaceae, yaitu sebanyak 110 spesies. Secara umum terdapat 22 macam famili yang memiliki spesies tumbuhan obat lebih dari 20, sedangkan 181 famili lainnya memiliki jumlah spesies tumbuhan obat yang kurang dari 20, (Zuhud, 2008). seperti disajikan Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Spesies Tumbuhan Obat Berdasarkan Kelompok Familinya

NO NAMA FAMILI JUMLAH SPESIES

1 Fabaceae 110

2 Euphorbiaceae 94


(27)

4 Rubiaceae 72

5 Poaceae 55

6 Zingiberaceae 49

7 Moraceae 46

8 Myrtaceae 45

9 Annonaceae 43

10 Asteraceae 40

11 Apocynaceae 39

12 Cucurbitaceae 34

13 Piperaceae 30

Lanjutan Tabel 1.

NO NAMA FAMILI JUMLAH SPESIES

14 Menispermaceae 30

15 Melastomataceae 26

16 Arecaceae 25

17 Verbenaceae 23

18 Rutaceae 23

19 Acanthaceae 22

20 Sterculiaceae 21

21 Myristicaceae 21

Sumber : (Zuhud dan Siswoyo. 2001)

2.6. Kandungan Metabolit Sekunder

Tanaman memproduksi berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu, yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya (Fessenden & Fessenden, 1986). Kandungan metabolit sekunder terdiri dari:

2.6.1. Alkaloid

Alkaloid menurut Winterstein dan Trier didefinisikan sebagai senyawa yang bersifat basa, mengandung atom nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jika digunakan secara luas dalam bidang pengobatan.


(28)

Alkaloid biasanya tidak bewarna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal hanya sedikit yang berbentuk cairan (misalnya: nikotina) pada suhu kamar. Secara umum, golongan senyawa alkaloid mempunyai sifat – sifat sebagai berikut : a) biasanya merupakan kristal tak bewarna, tidak mudah menguap, tidak larut dalam air, larut dalam pelarut organik seperti etanol, eter dan kloroform. b) Bersifat basa, pada umumnya beberapa pahit, bersifat racun, mempunyai efek fisiologis secara optis aktif. Senyawa alkaloid banyak terkandung dalam akar, biji, kayu maupun daun dari tumbuh-tumbuhan. Senyawa alkaloid dapat dipandang sebagai hasil metabolisme dari tumbuhan atau dapat berguna sebagai cadangan bagi biosintesis protein (Annaria, 2010).

Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan hama, penguat tumbuh-tumbuhan dan pengatur kerja hormon. Alkaloid sangat penting dalam industri farmasi karena kebanyakan alkaloid mempunyai efek fisiologis. Pada umunya alakaloid tidak ditemukan dalam Gymnospermae, Bryophyta, Pterydophyta dan tumbuhan rendah lainnya (Annaria, 2010).

Hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan memberikan efek fisiologis tertentu pada makhluk hidup sehingga tidaklah mengherankan jika manusia dari dulu sampai sekarang selalu mencari obat-obatan dari berbagai ekstrak tumbuhan. Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur


(29)

tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion (Fessenden & Fessenden, 1986).

2.6.2. Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok yang termasuk ke dalam senyawa fenol yang terbanyak di alam, senyawa-senyawa flavonoid ini bertanggung jawab terhadap zat warna ungu, merah, biru dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan. Berdasarkan strukturnya senyawa flavonoid merupakan turunan senyawa induk “flavon” yakni nama sejenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan lazim ditemukan, yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula. Sebagian besar flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terikat pada molekul gula sebagai glikosida, dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai berupa senyawa tunggal. Disamping itu sering ditemukan campuran yang terdiri dari flavonoid yang berbeda kelas. Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai empat fungsi : a) Sebagai pigmen warna b) Fungsi patologi dan sitologi c) Aktivitas farmakologi Dianggap berasal dari rutin (glikosida flavonol) yang digunakan untuk menguatkan susunan kapiler, menurunkan permeabilitas dan fragilitas pembuluh darah dll (Fessenden, 1986).

Menurut Fessenden (1986) menyatakan bahwa flavonoid dapat digunakan sebagai obat karena mempunyai bermacam – macam bioaktivitas seperti antiinflamasi, antikanker, antifertilitas, antiviral, antidiabetes, antidepresant, diuretik dll. Flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati, silimirin dari Silybum marianum


(30)

digunakan untuk melindungi membran sel hati dan menghambat sintesis prostaglandin, penghambatan reaksi hidroglisis pada mikosom. Dalam makanan flavonoid dapat menurunkan agregasi platelet dan mengurangi pembekuan darah. Pada kulit, flavonoid menghambat pendarahan (Annaria, 2010).

Kegunaan lain dari flavonoid antara lain; pertama terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai antibiotik terhadap kanker dan ginjal, menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik untuk melakukan penyerbukan (Annaria, 2010).

Flavoniod mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam, sebagian besar merupakan pigmen berwarna kuning, dapat larut dalam air dan pelarut organik, mudah terurai pada temperatur tinggi (Hart, 1990). Pada tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Sebagai pigmen bunga, flavonoid berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk bunga (Hart, 1990).

2.6.3. Steroid

Steroid adalah golongan lipid yang mempunyai karakteristik dari struktur penyatuan cincin karbon. Steroid tidak mengandung asam lemak ataupun gliserol, karenanya tidak dapat mengalami penyabunan. Steroid meliputi empat golongan, yaitu kolesterol, hormon, adrenokortoid, hormon seksual, dan asam empedu (Hart, 1990).


(31)

Kolesterol ditemukan dalam semua organisme dan merupakan bahan awal untuk pembentukan asam empedu, hormon stereoid, dan vitamin D. Walaupun kolesterol esensial bagi makhluk hidup, tapi berimplikasi terhadap pembentukan “plek” pada dinding pembuluh nadi (suatu proses yang disebut pengerasan pembuluh), bahkan dapat mengakibatkan penyumbatan. Gejala ini penting terutama dalam pembuluh yang memasok darah ke jantung. Penyumbatan pada pembuluh ini menimbulkan kematian akibat serangan jantung (Hart,1990).

2.6.4. Terpenoid

Senyawa terpenoid adalah senyawa hidrokarbon isometrik yang juga terdapat pada lemak/minyak esensial, yaitu sejenis lemak yang sangat penting bagi tubuh. Zat-zat terpenoid membantu tubuh dalam proses sintesa organik dan pemulihan sel-sel tubuh. Harum atau bau dari tanaman disebabkan oleh fraksi minyak esensial. Minyak tersebut merupakan metabolit sekunder yang kaya akan senyawa dengan struktur isopre disebut terpen dan terdapat dalam bentuk diterpen, triterpen, tetraterpen, hemiterpen dan sesquiterpen. Bila senyawa tersebut mengandung elemen tambahan biasanya oksigen disebut dengan terpenoid. Contoh umum terpenoid adalah metanol dan camphor (monoterpen), famesol dan artemisin (Fessenden &Fessenden, 1986).


(32)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Deskripsi Area

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang adalah Hutan Taman Nasional Gunung Leuser stasiun rehabilitasi Orangutan Kabupaten Langkat. Dari segi pengelolaan hutannya, kawasan hutan Bukit Lawang termasuk dalam kawasan kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah V Bahorok bidang Pengelolaan Taman Nasional wilayah III Stabat Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.

Secara geografis kawasan hutan ini terletak pada 3030’ – 3045’ Lintang Utara dan 9800’ – 98015’ bujur timur, pada ketinggian 100-260 meter di atas permukaan laut (Dephut, 1990). Batas-batasnya adalah sebelah Utara dengan sungai Bahorok dan sebelah Timur dengan sungai Bahorok dan kelurahan Bukit Lawang. Sisi yang lainnya terus berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Kawasan ini berada pada ketinggian 100m -700m dari permukaan laut (dpl), dengan topografi yang berbukit-bukit sampai curam, sedangkan topografi yang datar bisa dikategorikan tidak ada. Jenis tanah adalah kompleks podsolik merah kuning, latosol, litosol dan komplek podsolik coklat (Dephut, 1990).

3.1.1. Keadaan Iklim

Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt dan Fergusson (1953), kawasan ini termasuk kedalam tipe curah hujan A, dengan rata-rata curah hujan 4.673 mm per tahun dengan rata-rata hari hujan 207 hari/tahun dan merata sepanjang tahun. Suhu


(33)

minimum adalah 21 , suhu maksimum 30 suhu rata-rata berkisar 24 , kelembaban nisbi minimum 72 % dan kelembaban nisbi maksimum adalah 92 % (Dephut, 1990).

3.1.2. Vegetasi

Data dari peta vegetasi yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan sekitarnya, di mana sebagian kawasan hutannya memiliki tipe vegetasi hutan sedang yang didominir oleh vegetasi hutan tropis basah. Sepanjang sungai Bahorok dapat dijumpai beberapa jenis pohon Pakam Gunung (Poemetia pinnata), Ngaskas (Dysoxylim sp) dan beberapa vegetasi yang sangat mendominir seperti jenis rambung-rambung (Vernonia arborea), Mayang dan Damar Laut (Shorea materialis), Kayu Kuning (Eugenia sp), Semantok (Shorea multiflora) dan Rotan (Calomus sp). Jenis yang lainnya merupakan hutan sekunder yang ditumbuhi beberapa jenis bambu (Dephut, 1990).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang-Bahorok. Waktu pelaksanaan penelitian selama bulan Maret sampai dengan Mei 2010.


(34)

Gambar 1.Peta lokasi penelitian di Kawasan Bukit Lawang, TNGL. Sumber : Dirjen Perlindungan Pelestarian Alam TNGL.

3.3. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: peta lokasi, tali untuk membuat plot, kompas untuk menentukan arah, meteran, gunting stek, plastik sampel, kalkulator, tally sheet, counter, alat tulis, kamera/handycamp, lux meter, pH mater, GPS (Global Positioning System), hygrometer, termometer udara, termometer tanah, Altimeter, kunci taksonomi, sasak kayu (alat press), koran bekas, label specimen, lakban. Perekam suara, daftar kuisoner. Bahan yang digunakan meliputi vegetasi tumbuhan bawah di wilayah Taman Nasional Sub seksi Bukit Lawang, dan data kuisoner dari masyarakat di sekitar.


(35)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

3.4.1. Di Hutan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang

Penelitian ini tidak mencakup seluruh kawasan, melainkan menggunakan teknik sampling dengan menggunakan petak contoh. Penentuan lokasi penelitian menggunakan Metode Purposive Sampling. Untuk menentukan ukuran/jumlah petak contoh adalah menggunakan kurva species-area (Kusmana,1995)

Luas minimum petak contoh yang ditetapkan mewakili pada kawasan tumbuhan bawah di hutan Taman Nasional Gunung Leuser sub seksi Bukit Lawang. Luasan ini bukanlah harga mutlak bahwa luas petak contoh yang harus kita gunakan, tetapi nilai tersebut adalah nilai minimum, artinya kita bisa menambah ukuran petak contoh atau bahkan memodifikasinya karena yang harus diperhatikan petak contohnya tidak kurang dari kurva species area. Untuk memudahkan di lapangan ukuran tersebut berbentuk persegi.

Pada penelitian ini setiap lokasi dibuat petak contoh 2 x 2 m sebanyak 40. Dilakukan hal yang sama pada 3 lokasi penelitian, dengan luas daerah pengamatan yaitu 0,48 Ha. Dalam setiap petak contoh dibuat pencatatan di antaranya adalah: contoh tumbuhan bawah yang ditemukan dalam petak contoh dihitung kemudian dicatat nama daerahnya.

Cara meletakkan petak contoh agar lebih teliti menggunakan systematic Strip Sampling (penarikan contoh jalur beraturan, karena mudah dalam pelaksanaannya dan data yang dihasilkan lebih bersifat representative. Jalur yang dibuat tegak lurus dengan kontur (memotong garis kontur) atau tegak lurus dengan sungai Bahorok.


(36)

Untuk analisis tanah, masing-masing jalur diambil sampel tanah menggunakan bor tanah dengan kedalaman 0-20 cm dan dilakukan secara zig zag yaitu: disetiap satu jalur diambil sampel tanah. Jalur pertama di awal jalur, jalur kedua di tengah jalur jalur ketiga diakhir jalur, sampel diambil secara zig zag. Total sampel kantung tanah sesuai dengan jumlah jalur yang dibuat. Sampel tanah dibawa ke laboratorium tanah Fakultas Pertanian USU untuk diukur komposisi unsur-unsur hara tanah yang terkandung di dalamnya. Pada lokasi pengamatan, dilakukan pengukuran sifat fisik yang meliputi ketinggian dengan menggunakan altimeter, intensitas cahaya dengan luxmeter, suhu udara dengan termometer, suhu tanah dengan soil termometer, kelembaban udara dan kelembaban tanah dengan hygrometer, pH tanah dengan soil tester.

3.4.2. Pengumpulan Data pemanfaatan tumbuhan Obat di Masyarakat

Secara garis besar metoda penelitian untuk mengetahui jenis tumbuhan obat yang digunakan masyarakat merupakan gabungan metoda penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Metoda Penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survey melalui cara menyebar Kuesioner (Angket) dan dilanjutkan dengan penelitan kualitatif. Pada tahap ini juga dilakukan wawancara terbuka mengenai nama daerah tumbuhan serta manfaat tumbuhan tersebut sebagai tanaman obat, dengan memperlihatkan potongan jenis tumbuhan, serta foto tumbuhan yang diambil dari Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang.

Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam observasi awal ini adalah metoda purposive sampling yaitu teknik pemilihan informan dengan pertimbangan


(37)

tertentu, dalam hal ini orang yang dianggap paling tahu tentang tumbuhan obat (Sugiyono, 2008). Tokoh yang dipilih melalui metoda ini untuk diwawancarai adalah Tabib. Dari observasi awal ini diketahui data-data calon informan untuk tahap selanjutnya yang layak diwawancarai berdasarkan rekomendasi dari Tabib.

Untuk lebih jelas teknik pengumpulan data tentang pemanfaatan tumbuhan obat di lokasi penelitian dilakukan dengan cara :

1. Mencari data tentang informan kunci dan jumlah masyarakat di sekitar Taman Nasional Sub seksi Bukit Lawang sebagai langkah pertama dalam pengambilan sampel di desa sekitar Bukit Lawang, Kabupaten Langkat yaitu desa Sampe Raya dan desa Timbang Lawan.

2. Wawancara dan Kuesioner (Angket). Wawancara ditujukan kepada penduduk setempat antara lain: Tabib, masyarakat/keluarga yang mengetahui dan menggunakan tumbuhan untuk berbagai kebutuhan sehari hari dan penjaja ramuan tumbuhan obat di pasar-pasar tradisional di lokasi penelitian, dan sampel sebagai responden dari jumlah populasi masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Leuser dengan taraf kesalahan 5%. Untuk Desa Sampe Raya jumlah populasi 2064 jiwa dan desa Timbang Lawan 2160 jiwa. Jadi jumlah responden dengan taraf kesalahan 5% adalah 320 jiwa (Lampiran 11). Wawancara dilakukan pada masyarakat dengan menggunakan kuesioner. Wawancara pertama untuk mendapatkan data tumbuhan sebagai tumbuhan obat dan kegunaannya berasal dari informan kunci, selanjutnya wawancara dilakukan terhadap masyarakat sekitar Taman Nasional Bukit Lawang (dapat dilihat pada lampiran 10) yang dibagi dalam 3 kelompok umur dengan


(38)

pembagian sebagai berikut, Kelompok A dengan rentangan umur 19 sampai 39, kelompok B dengan rentangan umur 40-59, dan terakhir Kelompok C dengan rentangan umur > 60 tahun, hal ini dilakukan untuk menggali pengetahuan mereka tentang tumbuhan obat (kuisoner pada lampiran10). 3. Studi Kepustakaan, dengan membaca dan mencatat karya tulis berbagai

penelitian khususnya yang ada hubungan dengan tumbuhan obat serta referensi mengenai kandungan metabolit sekunder tumbuhan yaitu: alkalod, flavanoid, terpenoid dan steroid.

3.5. Di Laboratorium 3.5.1. Identifikasi Jenis

Semua tumbuhan bawah dengan tinggi kurang dari 1,5 m yang berada di setiap petak dicatat jenis. Pengumpulan spesimen tumbuhan dilakukan untuk keperluan identifikasi. Pengamatan secara morfologis dilakukan di lapangan, dan untuk spesimen yang belum diketahui jenisnya dikumpulkan dan diatur pada kertas koran bekas serta dimasukkan ke dalam kantung plastik. Selanjutnya spesimen tersebut diberi alkohol 70% hingga cukup basah supaya tidak membusuk .

Koleksi dari lapangan dibuka kembali, koran diganti dengan yang baru disusun sedemikian rupa untuk dikeringkan dalam oven pengering. Spesimen yang telah kering diidentifikasi di laboratorium Herbarium FMIPA Universitas Sumatera Utara (USU) dengan buku acuan:

a. Flora (Steenis, C. G. J. 1987)


(39)

c. Malaya Wild Flower Dycotyledon (Henderson, 1956) d. Plication Classification (Benson L. 1957)

e. Plant Resource Of South East Asia 12 (Vankenberg.,dan Banyapraphatsara, 2002).

f. Tumbuhan Monokotil (Sudarnadi, 1996)

g. Collection of Illustrated Tropical Plant (Watanabe and Corner, 1969) h. Orchids of Sumatera (Comber J. B, 2001).

3.6. Analisis Data

3.6.1. Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan Bawah

Dari data yang diperoleh, dihitung nilai dominansinya yang ditentukan dari: kerapatan mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, frekuensi relatif, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, dengan menggunakan rumus pada buku acuan Metode Survey Vegetasi (Kusmana, 1997) sebagai berikut:

a. Kerapatan Mutlak (Km) Km suatu jenis

b. Kerapatan Relatif (Kr) Kr suatu jenis

c. Frekuensi Mutlak (Fm) Fm suatu jenis


(40)

Fr suatu jenis

e. Indeks Nilai Penting

INP

f. Indeks Keanekaragaman (H’)

Keterangan:

−Wienner pi Ni/n

Ni Jumlah individu suatu jenis n Jumlah seluruh jenis

S Jumlah jenis

3.6.2. Potensi Tanaman Obat

Data hasil wawancara dikumpulkan, dianalisis untuk mendapatkan indeks nilai guna setiap tumbuhan (UVis), jumlah penggunaan setiap jenis tumbuhan (UVs),

(Martin, 1995) dengan analisis data sebagai berikut: a. Indeks Nilai Guna Setiap Tumbuhan (UV)

s is s

i UV

UV =

Keterangan:

UVs = jumlah nilai total dari suatu jenis s

UVis= jumlah nilai guna jenis s yang diberikan oleh informan i

is = jumlah total informan yang diwawancarai untuk nilai guna jenis s


(41)

b. Nilai Guna Relatif (RUV)

n s is

i

S UV UV RUV

⎜⎜⎝⎟⎟⎠⎞ =

Keterangan:

i

RUV = nilai guna relatif informan i is

UV = nilai guna setiap jenis lokal s oleh informan i s

UV = nilai guna total setiap jenis lokal s dalam penelitian ini

n

S = jumlah jenis lokal menurut informan i, untuk data ini c. Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Obat

Kandungan metabolit sekunder tanaman obat yang dicari dari referensi adalah: alkaloid, flavanoid,terpenoid dan steroid.

3.6.3. Korelasi

Analisis korelasi faktor fisik kimia yaitu: suhu udara, suhu tanah, pH tanah, kelembaban, intensitas cahaya, ketinggian tempat, dengan keanekaragaman tumbuhan bawah dianalisis menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver 16.00.


(42)

4.1. Kekayaan Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Taman Nasional GunungLeuser Sub Seksi Bukit Lawang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang, diperoleh 110 jenis tumbuhan bawah yang terdiri dari dua Divisi yaitu Pteridophyta dan Spermatophyta, yang termasuk ke dalam 4 kelas, 28 ordo dan 47 famili seperti yang tercantum pada Tabel 2. berikut ini. Tabel 2. Jenis dan Klasifikasi Tumbuhan Bawah yang Ditemukan Pada

LokasiPenelitian

No Divisi Kelas Ordo Famili Jenis

1. Pterydophyta Lycopodinae Selaginellales Selaginellaceae Selaginella doedeleini * 2. Filicinae Filicales Aspidiaceae Arachniodes haniffii

3. Tectaria barben

4. Aspleniaceae Asplenium bahiense

5. Athyriaceae Diplazium malaccense

6. Diplazium tomentosum *

7. Diplazium velutinum

8. Blechnaceae Blechnum finlaysonianum.*

9. Blechnum sp.

10. Cyatheaceae Cyathea sp.

11. Dennstaedtiaceae Orthiopteris kingie

12. Gleicheniaceae Gleichenia linearis

13. Hypolepidaceae Paesia sp.

14. Lindsaeaceae Lindsaea doryphora Kramer. 15. Polypodiaceae Crypsionopsis platyphyllus

16. Drynaria rigidula

17. Drynaria sparsisora

18. Microsorum sp.

19. Pyrrosia lanceolata

20. Pteridaceae Pteris sp.

21. Pteris longipinulla Wall

22. Syingramma wallichii

23. Thelypteridaceae Pronephrium triphyllum * 24. Taetidaceae Taenitis blechnoides

25. Taenitis dimorpha Holtt.

26. Spermatophyta Monocotyledon Asparagales Hypoxydaceae Curculigo latifolia * 27. Arales Araceae Aridarum sp.

28. Colacasia esculenta .

29. Homalomena humilis

30. Photos sp.

31. Phymatarum sp.

32. Schindapsus sp.

33. Schismatoglottis ferruginea


(43)

No Divisi Kelas Ordo Famili Jenis

35. Synandrium sp.

36. Arecales Arecaceae Calamus sp.

37. Tysmannia sp.

38. Korthalsia sp.*

39. Cyperales Cyperaceae Centotheca sp.

40. Centotheca lappacea

41. Dioscoreales Dioscoreaceae Dioscorea sp.*

42. Taccaceae Tacca chantieri *

43. Liliales Smilacaceae Smilax sp.* 44. Orchidales Orchidaceae Chrysoglossum sp.

45. Cryptostylis sp.

46. Pandanales Pandanaceae Pandanus sp.

47. Poales Poaceae Chloris gayana KUNTH.

48. Panicum repens L.

49. Zingiberales Costaceae Costus sp.*

50. Marantaceae Maranta sp.

51. Zingeberaceae Globa pendula

52. Globa sp.

53. Amomum sp.*

54. Boehsenbergia sp.*

55. Curcuma sp.*

56. Dycotyledon Asterales Asteraceae Ageratum conyzoides L.*

57. Gynura sp.*

58. Micania sp.

59. Michrania michrant*

60. Campanulaceae Lobelia sp. 61. Bromeliales Commelinaceae Commelina sp. 62. caryophyllales Amaranthaceae Cyathula prostata BL. 63. Cucurbitales Cucurbitaceae Cucumis sp.

64. Gymnopetalum sp.

65. Euphorbiales Euphorbiaceae Antidesma sp.

66. Claoxylon sp.

67. Fabales Caesalpiniaceae Bauhinia scendens *

68. Lamiales Acanthaceae Pseuderanthemum

graciliflorum *

69. Ruellia sp.

70. Staurognyne sp.

71. Lamiaceae Hyptis capitata JACQ. 72. Malvales Malvaceae Sida rombifolia*

73. Urena lobata*

74. Myrtaceae Melastomataceae Pternandra sp.*

75. Allomorphia exigua BL.*

76. Clidermia hirta DON.

77. Macrolenes nemorosa BL.

78. Medinella sp.*

79. Melastoma malabathricum *

80. Miconia hookeriana TR.

81. Parietales Begoniaceae Begonia isoptera Dryand* 82. Piperales Piperacaeae Piper caninum*


(44)

No Divisi Kelas Ordo Famili Jenis

84. Peperomia pellucida HB. *

85. Piper acre BL.*

86. Piper sp.1*

87. Piper sp.2*

88. Piper sp.3*

89. Rhamnales Violaceae Rinorea hirtella MILD BR.*

90. Rinorea lanceolata WALL*.

91. Vitaceae Vitis hastate MIQ*

92. Vitis lanceolaria WALL.

93. Vitis sp.

94. Rhanunculales Menispermaceae Coscinium sp.

95. Fibraurea sp.

96. Limacia sp.

97. Tiliocora sp.*

98. Tinospora crispa (L.)

MIERS*

99. Rubiales Rubiaceae Hedyotis congesta WALL.*

100. Ixora finlaysoniana WALL.*

101. Psychotria sarmentosa BL.*

102. Solanales Gesneriaceae Achimenes grandiflora DC.*

103. Didymocarpus crinite Jack.*

104. Didymocarpus sp.*

105. Saintpaulia sp.

106. Urticales Urticaceae Droguetia sp.

107. Elatostemma strigosum

Hassk.*

108. Laportea stimulans MIQ*

109. Pilea melastomoides WEED.

110. Pilea sp.*

Ket: (*): Memiliki potensi sebagai tanaman obat

Dari Tabel 2. diperoleh Divisi Pteridophyta terdiri dari 2 Kelas yaitu Lycopodinae dan Filicinae. Kelas Lycopodinae diperoleh 1 ordo yaitu Selaginellales dengan 1 famili Selaginellaceae. Kelas Filicinae diperoleh 1 ordo yaitu Filicales dengan 14 famili yaitu Aspidiaceae, Aspleniaceae, Cyatheaceae, Dennstaedtiaceae, Gleicheniaceae, Hypolepidaceae, Lindsaeaceae, Polypodiaceae, Hemionitidaceae, Pteridaceae, Thelypteridaceae dan Taetidaceae. Famili yang mendominasi adalah Polypodiaceae dengan 5 jenis yaitu Crypsionopsis platyphyllus, Drynaria rigidula, Drynaria sparsisora, Microsorum sp. dan Pyrrosia lanceolata.


(45)

Banyaknya jenis dari famili Polypodiaceae yang terdapat pada lokasi penelitian disebabkan kondisi faktor abiotik pada lokasi penelitian yang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan jenis Pteridophyta tersebut. Menurut Lawrence (1958), famili Polypodiaceae merupakan famili dari tumbuhan paku yang paling banyak jumlahnya yaitu sekitar 170 genera dan 7000 jenis yang tersebar di seluruh dunia. Holttum (1968) menambahkan bahwa famili Polypodiaceae mempunyai jumlah anggota terbesar di kawasan Malesiana yang sebagian besar terdapat di kepulauan Indonesia.

Divisi Spermatophyta diperoleh 2 kelas yaitu kelas Monocotyledon dan Dicotyledon. Kelas Monocotyledon diperoleh 10 ordo dengan 13 famili, yaitu ordo Asparagales dengan famili Hypoxydaceae, Arales dengan famili yaitu Araceae, Arecales dengan Famili Arecaceae, Cyperales dengan famili Cyperales, Dioscoreales dengan 2 famili yaitu Dioscoreacea dan Taccaceae, Liliaceae dengan famili Smilacaceae, Orchidaceae dengan famili Orchidaceae, Pandanales dengan famili Pandanaceae, Poales dengan famili Poaceae, dan Zingiberales dengan 3 famili Costaceae, Marantaceae dan Zingiberaceae. Kelas Dikotyledon diperoleh 16 Ordo dan 19 famili yaitu Asteraceae, Campanulaceae, Commelinaceae, Amaranthaceae, Cucurbitaceae, Begoniaceae, Euphorbiaceae, Caesalpiniaceae, Acanthaceae, Lamiaceae, Malvaceae, Melastomataceae, Violaceae, Vitaceae, Menispermaceae, Rubiaceae, Gesneriaceae dan Urticaceae.

Sebagian besar jenis-jenis tanaman bawah yang ditemukan tergolong ke dalam herba. Herba merupakan salah satu jenis tumbuhan penyusun hutan yang ukurannya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan semak ataupun pohon yang


(46)

batangnya basah dan tidak berkayu. Menurut Nadakavukaren & McCracken (1985), herba merupakan salah satu jenis tumbuhan penyusun hutan yang ukurannya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan habitat semak. Wilson & Loomis (1962) menambahkan bahwa herba merupakan tumbuhan yang memiliki organ tubuh yang tidak tetap di atas permukaan tanah, siklus hidup yang pendek dengan jaringan yang cukup lunak dan tidak berkayu.

Hasil penelitian yang didapat sesuai dengan Richard (1981) jenis tumbuhan yang sering ditemukan di kawasan hutan tropis terdiri dari famili Araceae, Acanthaceae, Gesneriaceae, Begoniaceae, Zingiberaceae, Orchidaceae, Rubiaceae dan Piperaceae. Mackinnon, et al.,(2000), menambahkan bahwa banyak suku tumbuhan yang memberikan sumbangan bagi lapisan tumbuhan bawah, termasuk Monokotyledon seperti jahe-jahean (Zingiberaceae), pisang liar (Musaceae), dan Dikotyledon seperti Begoniaceae, Gesneriaceae, Rubiaceae, berbagai jenis paku dan anggrek.

4.2. Sebaran Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh jenis-jenis pada vegetasi tumbuhan bawah jumlah jenis yang terdapat pada lokasi penelitian adalah 110 jenis. Keanekaragaman jenis pada penelitian di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang termasuk tinggi bila dibandingkan dengan tumbuhan bawah yang lain, seperti: Penelitian yang hampir sama pernah dilakukan oleh Dinas Kehutanan (2001) di Taman Nasional Rimbo Panti Propinsi Sumatera Barat yang


(47)

hanya menemukan 25 jenis tumbuhan bawah. Handayani (2004) dari hasil penelitiannya menemukan 117 jenis tumbuhan bawah pada hutan Tangkahan Kabupaten Langkat. Penelitian tentang tumbuhan bawah yang lain juga dilakukan oleh Masrayanti (2010), yang menemukan 80 jenis dan 37 famili di Taman Wisata Alam Sicikeh-cikeh. Penelitian Kusuma (2004) Jumlah tanaman bawah yang di jumpai di Taman Nasional Kerinci Seblat sebanyak 113 jenis dan Pitra (2008), juga melaporkan di kawasan hutan gunung Sinabung di temukan 141 jenis tumbuhan bawah yang termasuk kedalam 56 famili.

Dari semua famili yang ada, famili Araceae memiliki jumlah jenis terbanyak, yaitu 9 jenis, Aridarum sp., Colocasia esculenta, Homalomena humilis, Photos sp., Phymatarum sp., Scindapsus sp., Schismatoglottis ferruginea, Schismatoglottis wallichii dan Synandrium sp. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani (2004) di kawasan hutan Tangkahan Kabupaten Langkat, suku Araceae dijumpai dengan jumlah jenis tertinggi sebanyak 37 jenis. Suku ini termasuk herba teresterial tegak atau memanjat, tidak bergetah, batangnya banyak mengandung air dan sangat lunak. Permukaan daun berwarna hijau kilat dan licin dengan akar yang berupa serabut pendek. Tumbuhan ini sering ditemukan di dekat aliran air dengan tanah yang lembab.

Araceae banyak dijumpai di daerah Malaya sebesar 23 marga dengan 120 jenis dan merupakan tumbuhan hutan dataran rendah. Genus-genus Aglonema, Alocasia, Aridarum, Colocasia, Furtadoa, Homalomena, Scindapsus, Schismatoglottis, Thyponium dan Raphidophora banyak ditemukan pada tempat-tempat teduh, lembab dan basah oleh karenanya jenis-jenis ini tidak banyak


(48)

membutuhkan cahaya matahari untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Henderson, 1956).

Famili Araceae banyak ditemukan pada lokasi penelitian dimana rata-rata intensitas cahaya 51 x 10 Lux dan kelembaban yang tinggi yaitu 90%. Rata-rata faktor fisik yang lain juga dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan faktor fisik yang telah diukur dapat dikatakan Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang tergolong lembab. Keadaan seperti ini sangat sesuai untuk pertumbuhan vegetasi bawah yang tidak tahan terhadap intensitas cahaya tinggi dan tempat yang relatif terbuka. Kondisi ini dipengaruhi oleh suhu udara, karena suhu udara menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian, maka kelembaban akan semakin meningkat. Menurut Anwar et al. (1984) persentase kejenuhan suatu massa udara akan bertambah dengan menurunnya suhu. Oleh karena itu, titik embun pada ketinggian yang berbeda tergantung kepada laju perubahan penurunan suhu dan kandungan uap air di dalam udara.

Berdasarkan hasil laboratorium tanah fakultas pertaniaan di Universitas Sumatera Utara, lokasi penelitian di Taman Nasional Sub Seksi Bukit Lawang ini memiliki tekstur lempung berpasir, dimana kandungan liat rata-rata 14,77%, debu 15, 67, pasir 69,56(Lampiran 2). Tersedianya unsur hara dan air dalam tanah salah satunya ditentukan oleh tekstur tanah. Tanah bertekstur lempung berpasir mengandung liat 15%-20%, debu 0%-50%, dan pasir 50%-70%. Kandungan liat dan bahan organik dalam tanah berpengaruh pada kemampuan pertukaran kation tanah (Foth, 1988).


(49)

Tanah lempung berpasir bertekstur halus dan gembur, drainasenya kurang baik sebab pada tanah gembur terdapat ruang pori-pori yang dapat diisi oleh air tanah dan udara, sehingga tanah memiliki daya pegang atau daya simpan air yang tinggi. Tanah yang gembur sangat baik untuk pertumbuhan tanaman sebab air tanah dan udara bergerak lancar, temperatur stabil, yang akhirnya dapat memacu pertumbuhan jasad renik tanah dalam proses pelapukan bahan organik di dalam tanah (Lingga, 1986). Data hasi analisis unsur makro dan tekstur tanah ini (dapat dilihat pada Lampiran 2).

Menurut Hafild & Aninger (1984), tumbuhan bawah sangat bervariasi dalam bentuk dan jenis, seiring dengan berkurangnya pohon pembentuk kanopi di hutan tropis, maka intensitas cahaya yang mencapai lantai hutanpun semakin tinggi. Jenis vegetasi bawah seperti famili Araceae tidak akan dijumpai pada hutan atas yang relatif terbuka terhadap cahaya dan tiupan angin.

Menurut Gusmaylina (1983) bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan bawah terutama jenis-jenis herba sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tekstur tanah, tutupan tajuk dari pohon sekitarnya dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Bagi tumbuhan cahaya matahari merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses perkembangan, pertumbuhan dan reproduksi.


(50)

Tabel 3. Faktor Fisik dan Lingkungan di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

NO Fakto Fisik Lokasi I Lokasi II Lokasi III Rata-rata

1 Suhu udara 22ο C 25ο C 23ο C 23ο C

2 Suhu tanah 23ο C 24ο C 25ο C 24ο C

3 pH tanah 6,5 6,2 6,6 6,4

4 Kelembaban 90% 92% 89% 90%

5 Intensitas cahaya 48 x 10 Lux 53 x 10 Lux 52 x 10 Lux 51 x 10 Lux

6 Ketinggian tempat 344 m dpl 318 m dpl 332 m dpl 331 m dpl

7 Kordinat N: 03ο 32’50,2 ‘’ N: 03ο 32’44,6 ‘’ N: 03ο 32’43,6 ‘’ E : 098ο 06’47,0’’ E :098ο 06’36,7’’ E : 098ο 06’31,9’’

Berdasarkan klasifikasi tanah menurut Soil Survey Manual, USDA (1985) pH tanah 5,6 – 6,0 merupakan tanah asam sedang. Keasaman (pH) tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar di dalam tanah serta terhadap sifat tanah yang lain. Keasaman tanah erat hubungannya dengan ketersediaan unsur hara tanaman. Kondisi tanah terbaik (tidak mengandung bahan beracun) terjadi pada kondisi agak asam sampai netral (pH 5,0 – 7,5), akan tetapi jenis tanaman terkadang menghendaki kondisi tertentu (Foth, 1988).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Perbedaan faktor fisik lingkungan ini akan berpengaruh pada keanekaragaman jenis tumbuhan bawah. Daniel et al. (1992), menyatakan bahwa pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lainnya dan juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban dan sinar matahari.

4.3. Dominasi Tumbuhan bawah di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

Dari data yang diperoleh selama penelitian maka diperoleh nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP). INP menyatakan


(51)

kepentingan suatu jenis tumbuhan serta memperlihatkan peranannya dalam komunitas, dimana nilai penting itu didapat dari hasil penjumlahan FR dan KR. KR merupakan gambaran persentase penyebaran suatu jenis tumbuhan pada suatu area, sedangkan FR menunjukkan banyaknya jumlah jenis tersebut pada masing-masing area, seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Dominasi Tumbuhan bawah di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang

No Nama Jenis Famili INP Total

(%)

1. Achimenes grandiflora Gesneriaceae 0,89

2. Ageratum conyzoides Asteraceae 1,03

3. Allomorphia exigua Melastomataceae 2,34

4. Amomum sp. Zingiberaceae 3,23

5. Antidesma sp. Euphorbiaceae 1,05

6. Arachniodes haniffii Aspidiaceae 1,66

7. Aridarum sp. Araceae 1,85

8. Asplenium bahiense Aspleniaceae 3,02

9. Bauhinia scendens Caesalpiniaceae 5,48

10. Begonia isoptera Begoniaceae 1,24

11. Blechnum finlaysoniatum Blechnaceae 5,89

12. Blechnum sp. Blechnaceae 0,84

13. Boehsenbergia sp. Zingiberaceae 1,22

14. Calamus sp. Arecaceae 2,66

15. Centotheca lappacea Poaceae 1,10

16. Chloris gayana Poaceae 1,75

17. Chrysoglossum sp. Orchidaceae 1,92

18. Claoxylon sp. Euphorbiaceae 0,96

19. Clidermia hirta Melastomataceae 3,51

20. Colacasia esculenta Araceae 2,48

21. Commelina sp. Commelinaceae 0,98

22. Coscinium sp. Menispermaceae 0,96

23. Costus sp. Costaceae 1,17

24. Crypsionopsis platyphyllus Polypodiaceae 6,42


(52)

26. Cucumis sp. Cucurbitaceae 1,68

27. Curculigo latifolia Hypoxydaceae 2,08

28. Curcuma sp. Zingiberaceae 1,40

29. Cyathea sp. Cyatheaceae 1,52

30. Cyathula prostata Amaranthaceae 1,19

31. Didymocarpus crinite Gesneriaceae 1,33

32. Didymocarpus sp. Gesneriaceae 1,33

33. Dioscorea sp. Dioscoreaceae 1,03

34. Diplazium malaccense Athryaceae 1,50

35. Diplazium tomentosum Athryriacaceae 2,01

36. Diplazium velutinum Athyriaceae 1,54

37. Droguetia sp. Urticaceae 1,91

38. Drynaria rigidula Polypodiaceae 1,26

39. Drynaria sparsisora Polypodiaceae 1,12

40. Centotheca sp. Cyperaceae 1,24

41. Elatostemma strigosum Urticaceae 1,19

42. Fibraurea sp. Menispermaceae 1,14

43. Gleichenia linearis Gleicheniaceae 0,91

44. Globa pendula Zingiberaceae 1,36

45. Globa sp. Zingiberaceae 1,07

46. Gymnopetalum sp. Cucurbitaceae 1,07

47. Gynura sp. Asteraceae 1,14

48. Heckeria sp. Piperaceae 1,54

49. Hedyotis congesta Rubiaceae 1,43

50. Homalomena humilis Araceae 1,12

51. Hyptis capitata Asteraceae 3,02

52. Ixora finlaysoniana Rubiaceae 1,38

53. Korthalsia sp. Arecaceae 1,00

54. Laportea stimulans Urticaceae 11,93

55. Limacia sp. Menispermaceae 0,93

56. Lindsaea deryphora Lindsaeaceae 0,96

57. Lobelia sp. Campanulaceae 0,86

58. Macrolenes nemorosa Melastomataceae 2,27

59. Maranta sp. Marantaceae 1,19

60. Medinella sp. Melastomataceae 1,17

61. Melastoma malabathricum Melastomataceae 0,82

62. Micania sp. Asteraceae 0,96

63. Michrania michranta Asteraceae 3,79


(53)

65. Microsorum sp. Polypodiaceae 0,96

66. Orthiopteris kingie Dennstaedtiaceae 1,87

67. Paesia sp. Hypolepidaceae 2,55

68. Pandanus sp. Pandanaceae 1,22

69. Panicum repens Poaceae 1,29

70. Peperomia pellucida Piperaceae 1,97

71. Photos sp. Araceae 1,33

72. Phymatarum sp. Araceae 0,93

73. Pilea melastomoides Urticaceae 2,11

74. Pilea sp. Urticaceae 2,83

75. Piper acre Piperaceae 1,59

76. Piper caninum Piperaceae 0,89

77. Piper sp1. Piperaceae 1,78

78. Piper sp2. Piperaceae 1,17

79. Piper sp3. Piperaceae 0,98

80. Pronephrium triphyllum Thelypteridaceae 1,50

81. Pseuderanthemum graciliflorum Achantaceae 0,86

82. Psychotria sarmentosa Rubiaceae 0,89

83. Pteris longipinulla Pteridaceae 2,92

84. Pteris sp. Pteridaceae 1,03

85. Pternandra sp. Melastomataceae 2,17

86. Pyrrosia lanceolata Polypodiaceae 1,54

87. Rinorea hirtella Violaceae 0,91

88. Rinorea lanceolata Violaceae 1,54

89. Ruellia sp. Achantaceae 0,89

90. Saintpaulia sp. Gesneriaceae 0,96

91. Schindapsus sp. Araceae 2,11

92. Schismatoglottis ferruginea Araceae 2,98

93. Schismatoglottis wallichii Araceae 1,17

94. Selaginella doedeleinii Selaginellaceae 1,50

95. Sida rombifolia Malvaceae 1,05

96. Smilax sp. Smilacaceae 1,29

97. Staurognyne sp. Achantaceae 2,17

98. Synandrium sp. Araceae 1,43

99. Syngramma wallichii Hemionitidaceae 1,12

100. Tacca chantieri Taccaceae 4,78

101. Taenitis blechnoides Taetidaceae 1,05

102. Taenitis dimorpha Taetidaceae 2,32


(54)

104. Tiliocora sp. Menispermaceae 1,24

105. Tinospora crispa Menispermaceae 4,55

106. Tysmannia sp. Arecaceae 1,10

107. Urena lobata Malvaceae 5,56

108. Vitis hastate Vitaceae 0,93

109. Vitis lanceolaria Vitaceae 0,89

110. Vitis sp. Vitaceae 1,14

Jumlah 110

Dari Tabel 4. dapat kita lihat bahwa jenis yang memiliki nilai INP tertinggi adalah Laportea stimulans dengan 25,95%. Tingginya nilai INP dari Laportea stimulans dikarenakan kerapatannya yang tinggi, menyebabkan jenis ini lebih mendominasi jika dibandingkan dengan jenis yang lainnya. Menurut Sofyan (1991), kerapatan tumbuhan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta tersedianya biji. Jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi diantara jenis yang lain disebut jenis yang dominan. Hal ini mencerminkan tingginya kemampuan jenis tersebut dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan dapat bersaing terhadap jenis lainnya.

Laportea stimulans stimulans termasuk ke dalam famili Urticaceae. Jenis ini berupa semak dan herba, memiliki daun yang asimetri dengan pinggiran yang bergerigi. Memiliki bunga majemuk dan buah yang banyak. Biasanya terdapat di lantai hutan yang terkena cahaya matahari langsung (Tjitrosoepomo, 2001). Hal ini sesuai dengan pendapat Benson (1957) yang menyatakan bahwa famili ini memiliki penyebaran yang sangat luas bahkan jumlah melimpah di daerah tropis. Budiwarman (1988) menambahkan bahwa jenis dari suku Urticaceae sering dijumpai sebagai tumbuhan bawah pengisi lantai hutan.


(55)

Melastoma malabatricum merupakan jenis yang memiliki nilai INP terendah dari semua jenis di lokasi penelitian yaitu dengan nilai 0,82%. Menurut Tjitrosoepomo (2001), Melastoma malabatricum merupakan semak, tangkai daun berbulu rapat, daun tebal dan kaku, permukaan bawah daun berbulu, batang muda persegi empat dan berbulu rapat.. Bunga mejemuk, 2-6 bunga, warna ungu muda, 3,5-4 cm, kelopak 5, mahkota 5, benang sari 5, putik 1. Buah buni, bulat, berbulu rapat, berwarna coklat saat muda dan coklat keunguan saat buah masak

Tinggi rendahnya nilai INP tersebut dipengaruhi juga oleh keadaan lingkungan disekitarnya. Resosoedarmo et al.,(1989), menyatakan dalam suatu komunitas pengendali kehadiran jenis-jenis dapat berupa suhu atau beberapa jenis tertentu atau dapat pula sifat-sifat fisik habitat atau juga disebabkan oleh aktifitas para pendaki gunung.

4.4. Indeks keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman jenis berfungsi untuk menandai jumlah jenis dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah jenis di antara jumlah total individu seluruh jenis yang ada. Michael (1994), mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis juga sangat penting dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam oleh campur tangan manusia atau alam itu sendiri.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, indeks keanekaragaman tumbuhan bawah di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang berkisar antara 3,186 sampai 3,342 (Tabel 5.). Nilai tersebut menunjukkan bahwa kawasan tersebut


(56)

memiliki keanekaragaman yang tinggi. Menurut Manson (1980), jika nilai indeks keanekaragaman lebih kecil dari 1 berarti keanekaragaman jenis rendah, jika diantara 1-3 berarti keanekaragaman jenis sedang, jika lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman jenis tinggi.

Nilai keanekaragaman yang tinggi juga dipengaruhi oleh kemerataan penyebaran dari jenis-jenis tumbuhan bawah yang terdapat di lokasi penelitian. Odum (1996) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah spesies, maka semakin tinggi keanekaragamannya. Sebaliknya, bila nilainya kecil maka komunitas tersebut didominasi oleh satu atau sedikit jenis. Keanekaragaman jenis juga dipengaruhi oleh pembagian penyebaran individu dalam tiap jenisnya, tetapi bila penyebaran individu tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah.

4.5. Analisis Korelasi Antara Faktor Fisik dan Keanekaragaman Jenis

Berdasarkan pengukuran faktor fisik lingkungan yang telah dilakukan pada setiap lokasi penelitian, dan dikorelasikan dengan Indeks Keaneka-ragaman (H’), maka diperoleh nilai Indeks Korelasi seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis Korelasi Faktor Fisik Kimia dengan Keanekaragaman dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00

Korelasi Kelembaban

Udara Suhu Udara Suhu Tanah

Intensitas

Cahaya pH

H’ 0,826 - 0,676 0,522 - 0,400 -0,576

Keterangan:

Nilai + = Arah Korelasi Searah Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan Tanda ** = Berpengarauh sangat nyata

Dari Tabel 5. dapat dilihat bahwa hasil uji analisa korelasi Pearson antara beberapa faktor fisik kimia lingkungan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya


(57)

dengan indeks Keanekaragaman (H’). Nilai positif (+) menunjukkan semakin besar nilai faktor fisik kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula, begitu juga sebaliknya, sedangkan nilai negatif (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik lingkungan dengan nilai H’, artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia lingkungan maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H’ akan semakin besar.

Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson pada Tabel 6, korelasi antara keanekaragaman, suhu tanah dan kelembaban memiliki korelasi yang searah, sedangkan korelasi dengan suhu udara, intensitas cahaya dan pH memiliki korelasi yang berlawanan arah. Menurut Huaturuk (2009), koefisien korelasi dapat dibagi menjadi:

Tabel 6. Nilai Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat Rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1,00 Sangat Kuat

Berdasarkan tabel nilai koefisien korelasi di atas hubungan keanekaragaman dengan suhu tanah dengan nilai 0,522 memiliki tingkat hubungan sedang, untuk kelembaban udara dengan nilai 0,826 memiliki tingkat hubungan sangat kuat. Kelembaban udara berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik tumbuhan.


(58)

4.6. Jenis-jenis Tumbuhan Bawah yang Dimanfaatkan Sebagai Tanaman Obat Hasil penelitian ini menemukan 110 jenis dan 47 famili tumbuhan bawah pada 3 lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang. Dari jenis-jenis tersebut ada beberapa jenis yang digunakan sebagai tanaman obat oleh masyarakat di sekitar lokasi Penelitian terdiri dari 24 jenis dan 17 famili . Jenis-jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

TABEL 7: NILAI GUNA, NILAI GUNA RELATIF TUMBUHAN BAWAH YANG BERPOTENSI  

       SEBAGAI TANAMAN OBAT DI BUKIT LAWANG 

Total Nilai Guna

No. Nama Jenis Nama Lokal

(UVis) UVs

1. Piper sp 2. Sirih hutan 4062 12.60

2. Globba sp. Lempuyang 3917 12.00

3. Urena lobata Sicapa gunung 3723 12.00

4. Didymocarpus sp. Penerangan 3382 10.47

5. Melastoma melabthricum Nungkey 1089 6.72

6. Korthalsia sp. Rotan 780 4.82

7. Amomum sp. Tepus 1342 4.15

8. Blechnum finlaysoniatum Pakis batu 715 4.14

9. Elatostema strigosum Keladi-keladian 1169 3.62

10. Selaginella doedeleini Cakar ayam 1123 3.48

11. Rinorea hirtella MILD BR Gagatan nipe 525 3.31

12. Pternandra sp. Serungkas 527 3.29

13. Hedyotis congesta WALL Banggur 997 3.09

14. Rinorea lanceolata WALL Pesel 986 3.05

15. Bauhinia scendens Daun kupu-kupu 964 2.98

16. Didymocarpus crinita JACK Bazar-bazar 960 2.97

17. Diplazium tomentosum Pakis kapur 960 2.97

18. Begonia isoptera Bunga asam 961 2.88


(59)

20. Piper sp2. kerto 873 2.70

21. Michrania michranta Jala 848 2.63

22. Costus sp. Cekuram 775 2.40

23. Laptortea srimulans MIQ Sempil pilen 661 2.05

24. Pilea sp. Sampo bergeh 92 0.28

Dari Tabel 7. tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tanaman obat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang nilai guna tertinggi yaitu jenis sirih hutan (Piper sp.) dengan nilai 12,60 diikuti dengan jenis lempuyang (Globba sp) dengan nilai 12,10. Dari data ini disimpulkan sirih hutan (Piper sp.) dan lempuyang (Globba sp.) masih dianggap penting dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Bukit Lawang untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, misalnya: membersihkan mata, anti septik, memperkuat gigi, dan lain-lain. Sedangkan lempuyang sering dipakai untuk bahan campuran untuk membuat jamu yang digunakan untuk obat masuk angin, pusing, menambah nafsu makan, dan lain-lain.

Data nilai guna terendah pada jenis Pilea sp. (Sampo bergeh) dengan nilai 0.28 dan Laptortea srimulans MIQ (Sempil pilen) dengan nilai 2,05. Dari data ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk jenis Sampo bergeh dan Sempil pien sangat jarang digunakan oleh masyarakat. Menurut hasil wawancara hal ini disebabkan masyarakat sekitar Bukit Lawang sudah kurang mengenal khasiat kedua tanaman tersebut.


(1)

20.Apakah serungkas (keladi kecil yang merambat) digunakan sebagai bahan obat untuk menyembuhkan penyakit?

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

21.Apakah banggur digunakan sebagai bahan obat untuk menyembuhkan penyakit?

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

22.Apakah tanaman sempil pilen digunakan untuk obat perkasa atau kejantanan?

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

23.Apakah pesel digunakan dalam pengobatan suatu penyakit ?

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

24.Apakah jala digunakan sebagai bahan obat untuk menyembuhkan penyakit?

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

25.Apakah daun kerto digunakan dalam pengobatan suatu penyakit?

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

26.Apakah penerangan digunakan dalam pengobatan penyakit ?

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

1. Penyakit apa saja yang menggunakan sirih sebagai bahan obat?

... ... ...

2. Penyakit apa saja yang menggunakan singkot sebagai bahan obat?

... ... ...

3. Penyakit apa saja yang menggunakan keladi-keladian sebagai bahan obat? ... ... ...

4. Penyakit apa saja yang menggunakan tepus ( jahe berdaun lebar) sebagai bahan obat?

... ... ... ...

5. Penyakit apa saja yang menggunakan cakar ayam sebagai bahan obat?

... ...


(2)

... ...

6. Penyakit apa saja yang menggunakan rotan muda sebagai bahan obat?

... ... ... ...

7. Penyakit apa saja yang menggunakan asam-asaman (begonia) sebagai bahan

obat?

... ... ...

8. Penyakit apa saja yang menggunakan pakis kapur sebagai bahan obat?

... ... ... ...

9. Penyakit apa saja yang menggunakan daun kupu-kupu sebagai bahan obat? ... ... ... ...

10.Penyakit apa saja yang menggunakan sembung sebagai bahan obat?

... ... ... ...

11.Penyakit apa saja yang menggunakan lempuyang sebagai bahan obat?

... ... ... ...

12.Penyakit apa saja yang menggunakan sicapa gunung sebagai bahan obat? ... ... ...


(3)

... ... ... ...

14.Penyakit apa saja yang menggunakan gagatan nipe sebagai bahan obat?

... ... ... ...

15.Penyakit apa saja yang menggunakan cekuram sebagai bahan obat?

... ... ... ...

16.Penyakit apa saja yang menggunakan sampo bergeh (pendingin) sebagai bahan obat?

... ... ... ...

17.Penyakit apa saja yang menggunakan bakung hutan sebagai bahan obat? ... ... ... ...

18.Penyakit apa saja yang menggunakan nungkey sebagai bahan obat?

... ... ... ...

19.Penyakit apa saja yang menggunakan bazar-bazar sebagai bahan obat?

... ... ... ...

20.Penyakit apa saja yang menggunakan serungkas sebagai bahan obat?

... ... ... ...


(4)

21.Penyakit apa saja yang menggunakan banggur sebagai bahan obat?

... ... ...

22.Penyakit apa saja yang menggunakan sempil pilen sebagai bahan obat?

... ... ... ...

23.Penyakit apa saja yang menggunakan tanaman pesel sebagai bahan obat? ... ... ... ... Penyakit apa saja yang menggunakan jala sebagai bahan obat?

... ... ... ...

24.Penyakit apa saja yang menggunakan kerto sebagai bahan obat?

... ... ... ...

25.Penyakit apa saja yang menggunakan penerangan sebagai bahan obat?

... ... ... ...

Bukit Lawang, April 2010 Responden


(5)

Lampiran 11. PENENTUAN JUMLAH SAMPEL DARI POPULASI TERTENTU DENGAN TARAF KESALAHAN 1%, 5%, 10%

s s

N 1% 5% 10% N 1% 5% 10%

280 197 155 138 2800 537 310 247

290 202 158 140 3000 543 312 248

300 207 161 143 3500 558 317 251

320 216 167 147 4000 569 320 254

340 225 172 151 4500 578 323 255

360 234 177 155 5000 586 326 257

380 242 182 158 6000 598 329 259

400 250 186 162 7000 606 332 261

420 257 191 165 8000 613 334 263

440 265 195 168 9000 618 335 263

460 272 198 171 10000 622 336 263

480 279 202 173 15000 635 340 266

500 285 205 176 20000 642 342 267

550 301 213 182 30000 649 344 268

600 315 221 187 40000 563 345 269

650 329 227 191 50000 655 346 269

700 341 233 195 75000 658 346 270

750 352 238 199 100000 659 347 270

800 363 243 202 150000 661 347 270

850 373 247 205 200000 661 347 270

900 382 251 208 250000 662 348 270


(6)

1000 399 258 213 350000 662 348 270

1100 414 265 217 400000 662 348 270

1200 427 270 221 450000 663 348 270

1300 440 275 224 500000 663 348 270

1400 450 279 227 550000 663 348 270

1500 460 283 229 600000 663 348 270

1600 469 286 232 650000 663 348 270

1700 477 289 234 700000 663 348 270

1800 485 292 235 750000 663 348 270

1900 492 294 237 800000 663 348 271

2000 498 297 238 850000 663 348 271

2200 510 301 241 900000 663 348 271

2400 520 304 243 950000 663 348 271


Dokumen yang terkait

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 65 94

Komposisi Dan Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan Di Hutan Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

0 58 82

Analisis Kerusakan Hutan Di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang

8 83 139

Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Di Desa Harapan Jaya, Kecamatan Sei Lepan Kabupaten Langkat Sumatera Utara

1 35 133

Keanekaragaman tumbuhan obat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan di hutan terfragmentasi Kebun Raya Cibodas serta pemanfaatannya oleh masyarakat lokal

3 9 106

Keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan taman nasional gunung gede pangrango

1 4 4

Tumbuhan Bawah Liar yang Berperanan sebagai Tumbuhan Obat di Daerah Gunung Andam Taman Nasional Gunung Halimun

0 11 5

Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Pasca Erupsi Merapi di Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta

1 4 23

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 2 14

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 1 11