BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Self Efficacy (Efikasi Diri) Siswa yang Rendah di Kelas XI IPS SMAN I Kendal Melalui Layanan Konseling Kelompok Behavioral

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Pendidikan

  Manajemen pendidikan merupakan proses pengembangan kegiatan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan (Slameto, 2009:16). Dengan manajemen pendidikan efisiensi dan efektivitas pelayanan pendidikan dapat terlaksanakan karena adanya perencanaan yang matang, pengorganisasian yang tepat, penggerakan segala potensi yang ada, dan pengawasan segala aktivitas yang telah dilakukan. Hal serupa Pidarta (2004:4) menjelaskan pengertian manajemen pendidikan merupakan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Begitu juga Tilar (2006:4) menjelaskan segala usaha bersama mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengevaluasian dalam hal pendayagunaan semua sumber daya yang ada secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan yaitu tujuan pendidikan.

  Manajemen pendidikan pada dasarnya suatu usaha yang direncanakan terlebih dahulu dan dilaksanakan dengan segala sumber daya yang ada guna mencapai tujuan yang diharapkan. Begitu juga manajemen pelayanan bimbingan konseling dengan cara merencanakan, mengorganisasikan, menyusun personalia, mengarahkan, dan mengawasi pelaksanaan tindakannya. Anggota organisasi bimbingan konseling (staf BK) melaksanakan kegiatan sesuai yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan layanan bimbingan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling meniscayakan manajemen agar tercapai efisiensi dan efektivitas serta tercapainya tujuan yang telah ditetapkan (Tohirin, 2013: 256). Pelayanan bimbingan konseling perlu direncanakan agar pelaksanaan berjalan dengan baik dengan menggunakan sumber daya guru bimbingan konseling pada siswa tentang efikasi diri. Efikasi diri merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan prestasi siswa di suatu sekolah. Self Efficacy siswa yang rendah merupakan salah satu tugas manajemen pendidikan.

2.2 Pengertian Efikasi Diri (Self efficacy)

  Efikasi diri atau self efficacy merupakan penilaian keyakinan diri tentang seberapa baik individu dapat melakukan tindakan yang diperlukan yang berhubungan dengan situasi (Bandura dalam Ferridiyanto, 2012). Feist (2013: 211) menjelaskan bahwa refleksi diri manusia yang paling penting adalah self efficacy, yaitu keyakinan mereka mampu untuk melakukan suatu tindakan yang akan menghasilkan dampak yang diharapkan. Self

  

efficacy merupakan bagaimana manusia bertindak

  dalam situasi bergantung pada hubungan timbal balik dari perilaku, lingkungan, dan kondisi kognitif yang berhubungan dengan keyakinan mampu melakukan suatu aktivitas motorik dasar.

  Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk melakukan tindakan yang diharapkan. Individu dengan self efficacy tinggi akan memilih melakukan usaha lebih besar dan lebih pantang menyerah. Self efficacy mempunyai peran penting pada pengaturan motivasi siswa. Siswa percaya akan kemampuannya memiliki motivasi tinggi dan berusaha untuk sukses. Bandura (dalam Humeira, 2014:3) menjelaskan bahwa self efficacy berperan penting terhadap motivasi akademik yang menunjang keberhasilan siswa dalam belajar untuk mencapai prestasi. Minat belajar akan rendah apabila siswa tidak mempunyai self efficacy yang baik dalam diri.

  Bandura dalam Feist (2013:213) menjelaskan bahwa self efficacy yang tinggi dan rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif untuk menghasilkan empat variabel prediktif. (1) Ketika self efficacy tinggi dan lingkungan responsif hasilnya kemungkinan besar akan tercapai. (2) Efikasi diri yang tinggi menemuai situasi yang tidak responsif akan berusaha meningkatkan untuk mengubah lingkungannya. (3) Saat efikasi diri rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif, manusia mungkin akan depresi dikarenakan orang lain berhasil sedangkan dia tidak berhasil. (4) Self efficacy yang rendah berkombinasi dengan lingkungan yang tidak responsif akan merasa apatis, segan, dan tidak berdaya.

  Self efficacy merupakan salah satu faktor

  internal yang sangat penting dan memiliki pengaruh yang dominan terhadap tindakan siswa. Self efficacy mempengaruhi pemilihan tugas, usaha seseorang, ketekunan, ketahanan, dan prestasi (Bandura dalam Humeira, 2014: 4). Lemahnya self efficacy membuat seorang siswa lemah dalam melakukan aktivitas belajar dengan baik. Hal tersebut berdampak enggannya siswa bersaing mencapai prestasi yang maksimal. Jadi self efficacy adalah keyakinan seseorang untuk melakukan suatu guna menghasilkan sesuatu yang diharapkan dengan aspek penelitian keyakinan diri (1) memperoleh sumber daya sosial, (2) prestasi akademik, (3) pembelajaran mandiri, (4) ekstrakurikuler, (5) peraturan diri, (6) memenuhi harapan orang lain, (7) diri sosial, (8) diri asertif, dan (9) dukungan orangtua.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Self efficacy

  Faktor yang mempengaruhi self efficacy ada empat sumber 1) pengalaman performansi meliputi meniru individu yang berprestasi, menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu, menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih, dan melatih diri untuk melakukan yang terbaik. 2) Pengalaman

  

vicarious meliputi mengamati model yang nyata,

  mengamati model simbolik, film, komik, cerita. 3)

  Persuasi verbal meliputi mempengaruhi dengan kata

  • kata berdasar kepercayaan, peringatan yang mendesak, memerintah diri sendiri, dan interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah. 4) Pembangkitan emosi meliputi mengubah atribusi, penanggung jawab suatu kejadian emosional, relaksasi, menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik, dan memunculkan emosi secara simbolik (Bandura dalam Ferridiyanto, 2012: 4-5). Bandura dalam Feist (2013: 213-216) menjelaskan ada empat sumber yang dapat mempengaruhi self

  efficacy. (1) Pengalaman menguasi sesuatu, (2)

  modeling sosial, (3) persuasi sosial, serta (4) kondisi fisik dan emosional.

  2.3.1 Pengalaman Menguasai Sesuatu Pengalaman menguasai sesuatu merupakan performa masa lalu dan sumber yang paling berpengaruh dari self efficacy. Performa yang berhasil akan meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan, kegagalan cenderung akan menurunkan dan mempunyai enam dampak. (1) Performa yang berhasil akan meningkatkan self

  efficacy secara proporsional dengan kesulitan dari

  tugas tersebut. (2) Tugas yang dapat diselesaikan dengan baik oleh diri sendiri akan lebih efektif daripada yang diselesaikan dengan bantuan dari orang lain. (3) Kegagalan sangat mungkin menurunkan efikasi saat mereka tahu bahwa mereka telah memberikan usaha terbaik mereka. (4) Kegagalan dalam kondisi rangsangan atau tekanan emosi yang tinggi tidak terlalu merugikan diri dibandingkan kegagalan dalam kondisi maksimal. (5) Kegagalan sebelum mengukuhkan rasa menguasai sesuai sesuatu akan lebih berpengaruh buruk pada rasa self efficacy daripada kegagalan setelahnya. (6) Kegagalan yang terjadi kadang-kadang mempunyai dampak yang sedikit terhadap self efficacy terutama yang mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kesuksesan.

  2.3.2 Modeling Sosial (vicarious)

  Self efficacy meningkat saat mengobservasi

  pencapaian orang lain yang mempunyai kompetensi yang setara tetapi akan berkurang saat melihat rekan sebaya gagal. Ketika orang lain berbeda, modeling sosial akan mempunyai efek yang sedikit dalam self efficacy. Dampak modeling sosial tidak sekuat dampak yang diberikan performa pribadi dalam meningkatkan level self efficacy. Akan tetapi mempunyai dampak yang kuat saat memperhatikan penurunan self efficacy.

  2.3.3 Persuasi Verbal

  Self efficacy dapat diperoleh atau dilemahkan

  melalui persuasi verbal. Dampak dari sumber ini cukup terbatas di bawah kondisi yang tepat, persuatif dari orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan self efficacy. Kondisi pertama bahwa orang tersebut harus mempercayai pihak yang melakukan persuasi. Kata-kata atau kritik dari sumber yang terpercaya mempunyai daya yang lebih efektif dibandingkan dengan hal sama dari sumber yang tidak dipercaya. Meningkatkan self efficacy melalui persuasi sosial dapat menjadi efektif hanya bila kegiatan yang ingin didukung untuk dicoba berada dalam jangkauan perilaku seseorang. Daya yang lebih efektif dari sugesti berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi. Persuasi sosial paling efektif saat dikombinasikan dengan performa yang sukses. Persuasi dapat menyakinkan seseorang untuk berusaha dalam suatu kegiatan dan apabila performa yang dilakukan sukses akan meningkatkan efikasi di masa depan.

  2.3.4 Kondisi Fisik dan Emosional Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa. Ketika seseorang mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut atau tingkat stres yang tinggi kemungkinan akan mempunyai ekpektasi yang rendah. Dalam beberapa kondisi, jika rangsangan emosional tidak terlalu intens maka dapat diasosiasikan dengan peningkatan performa sehingga kecemasan normal. Penurunan atau peningkatan rileksasi fisik dapat meningkatkan performa. Informasi rangsangan berhubungan dengan beberapa variabel (1) tingkat rangsangan, biasanya semakin tinggi rangsangan semakin rendah self efficacy. (2) Realisme yang dipersepsikan dari rangsangan tersebut, apabila rasa takut yang dirasakan bersifat realitis efikasi personal akan meningkat. Rangsangan emosional dapat memfasilitasi penyelesaian yang sukses dari tugas yang mudah dan sederhana, mungkin akan mengganggu performa dalam melakukan kegiatan yang kompleks.

2.4 Indikator Self Efficacy

  Indikator pengukuran self efficacy menggunakan inventori bernama

  Children’s Self-Efficacy Skala yang diadaptasi dari inventori milik Albert Bandura.

  Indikator self efficacy meliputi (1) keyakinan diri dalam memperoleh sumber daya sosial, (2) keyakinan diri untuk prestasi akademik, (3) keyakinan diri untuk pembelajaran mandiri, (4) keyakinan diri untuk keterampilan waktu luang dan kegiatan ekstrakurikuler, (5) keyakinan peraturan diri, (6) keyakinan diri untuk memenuhi harapan orang lain, (7) keyakinan diri sosial, keyakinan diri asertif, (8) keyakinan diri untuk meminta dukungan orangtua dan masyarakat.

  

2.5 Pengertian Konseling Kelompok

Behavioral

  Konseling kelompok merupakan satu kelompok konseling yang mempunyai fokus yang khusus, mungkin berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan, sosial atau pribadi (Corey dalam Loekmono, 2003: 10). Konseling kelompok mempunyai tujuan tertentu guna menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi suatu kelompok.

  Sedangkan hakikat konseling kelompok behavioral merupakan tingkah laku manusia diperoleh dari belajar dan proses terbentuknya kepribadian melalui proses kematangan dan belajar. Menurut Corey dalam (Tohirin, 2013: 195) bahwa behaviorisme merupakan suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia memiliki kecenderungan positif maupun negatif dibentuk dan ditentukan lingkungan sosial budayanya. Perilaku manusia dibentuk melalui hukum belajar, maka tujuan konseling behavior menciptakan kondisi- kondisi baru bagi pelajar dengan dasar pemikiran bahwa semua tingkah laku dapat dipelajari guna membantu dalam upaya menolong diri sendiri meningkatkan keterampilan sosial dan memperbaiki tingkah laku yang menyimpang. Selain itu tujuan konseling behavior mengembalikan suatu sistem pengaturan diri sehingga orang tersebut dapat mengontrol nasibnya sendiri baik dalam konseling maupun di luar konseling.

  Berdasarkan teori belajar bahwa modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku merupakan pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku (Corey, 2013: 193). Peningkatan pengaruh terapi tingkah laku dimanifestasikan dalam sejumlah besar lembaga psikologi yang melaksanakan pendidikan psikologi klinis dan konseling dalam metode behavioral. Banyak program yang menitikberatkan orientasi behavioral merupakan salah satu aspek yang paling penting dari gerakan-gerakan modifikasi tingkah laku adalah menekankan tingkah laku yang dapat didefinisikan secara operasional, dapat diamati, dan dapat diukur.

  Layanan konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya (Rochman dalam Wibowo, 2005: 32). Kegiatan konseling dalam bentuk kelompok guna mencegah supaya konseli tidak terjerumus hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi konseli yang sudah terkena masalah dapat dibantu penyembuhan secara bersama-sama dengan konseli yang lain. Konseling kelompok memberi penegasan secara implisit bahwa ciri-ciri terapeutik dapat diciptakan dan dibina dalam suatu kelompok kecil melalui saling membagi kepedulian pribadi dengan cara mengemukakan kesulitan dan keprihatinan pribadi kepada sesama anggota kelompok dan kepada pimpinan kelompok.

  Hal tersebut sesuai panduan umum Pelayanan Bimbingan dan Konseling (Abkin, 2013:20) menjelaskan bahwa layanan konseling kelompok merupakan layanan bimbingan konseling yang membantu siswa dalam pembahasan dan pengentasan masalah yang dialami sesuai dengan tuntutan karakter cerdas yang terpuji melalui dinamika kelompok. Penanganganan secara kelompok merupakan aktivitas yang disengaja diciptakan konselor guna membantu konseli yang mengalami masalah.

  Tohirin (2013:172) menjelaskan hal yang sama tentang layanan konseling kelompok dapat dimaknai sebagai suatu usaha pembimbing atau konselor membantu memecahkan masalah-masalah pribadi yang dialami anggota kelompok melalui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan optimal. Aktivitas layanan konseling kelompok diciptakan dalam hubungan antarpribadi yang menekankan pada proses berpikir secara sadar, perasaan- perasaan, dan perilaku anggota kelompok untuk meningkatkan kesadaran akan pertumbuhan dan perkembangan individu yang sehat.

  Konseling kelompok behavioral merupakan satu kelompok konseling yang mempunyai fokus tingkah laku manusia diperoleh dari belajar dan proses terbentuknya kepribadian melalui proses kematangan dan belajar.

2.5.1 Tujuan Konseling Kelompok Behavioral

  Tujuan layanan konseling kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa khususnya kemampuan berkomunikasinya (Tohirin, 2013:173). Melalui konseling kelompok individu menjadi sadar akan kemampuan self efficacy akademik dalam kegiatan belajar sehingga mampu meningkatkan kompetensi pendidikan. Siswa dengan

  self efficacy yang tinggi akan lebih mudah dan

  berhasil dalam aktivitas pembelajaran. Self efficacy juga dapat membuat seseorang lebih mudah dan lebih merasa mampu menghadapi masalah pembelajaran. Melalui layanan konseling kelompok siswa menjadi sadar akan kelemahan dan kelebihannya dalam mengikuti pembelajaran.

  Tujuan umum konseling behavioral menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya dijelaskan bahwa segenap tingkah laku dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, tetapi belum dipelajari.

  Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu suatu terapis yang menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para kliennya. Akan terapi tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur- prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada perilaku yang baru. Tujuan dari terapi ini merupakan hasil diskusi dan diinginkan antara klien dan terapis, tujuan-tujuan yang diinginkan harus dirinci dan spesifik. Secara umum tujuan terapi ini adalah menciptakan proses baru bagi proses belajar, karena segenap tingkah laku adalah dipelajari, serta mengubah atau memodifikasi perilaku klien yang maladaptif (Ajeeng, 2013: 3).

  Perilaku dapat dibentuk guna meningkatkan self

  efficacy siswa melalui kegiatan konseling kelompok

  antara lain dengan cara bermain. Siswa diajak bermain agar senang mengikuti konseling kelompok dan akhirnya sikap positif dapat tertanam pada diri. Permainan konseling kelompok meliputi ini namaku, ini temanku, kata berantai, berdiri bersama, ayo tepuk konsentrasi, duel maut, tangkap tangan, kalung kertas, Davis says, dan balik karpet. Proses afeksi yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi (1) ekspresi emosi, (2) ekspresi tema-tema afeksi, (3) aturan emosi dan modulasi emosi, dan (4) integrasi kognisi dan afeksi (Suwarjo, 2011: 15).

  

2.5.2 Langkah-Langkah Konseling Kelompok

Behavioral

  Natawidjaya (1987: 200

  • – 211) membagi prosedur konseling kelompok dalam beberapa tahapan, yaitu tahap permulaan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Sedangkan Corey (1985:

  78

  • – 116) menjelaskan prosedur konseling kelompok berdasarkan pengembangan kelompok dijabarkan dalam beberapa tahapan, yaitu tahap awal, tahap transisi, tahap kerja, dan tahap akhir.

  2.5.2.1 Tahap Awal Tahap awal merupakan tahapan persiapan.

  Kegiatan tersebut meliputi kegiatan sebelum membentuk kelompok dan juga belum melakukan pertemuan pertama konseling kelompok. Peserta sebelum mengikuti kelompok konseling yang sesungguhnya, terlebih dahulu diberi informasi yang cukup memadai mengenai proses kelompok. Kegiatan awal diisi penjajagan sebuah harapan peserta konseling kelompok dan membantu peserta memilih akan ikut konseling kelompok atau tidak. Secara sistematis, pada tahap ini langkah yang dilakukan adalah perkenalan, agenda (tujuan yang ingin dicapai) norma kelompok dan penggalian ide dan perasaan. Tahapan ini anggota memulai menjalin hubungan sesama anggota kelompok, selain itu, klien mulai memperkenalkan satu sama lain, mereka menyusun saling kepercayaan.

  Peserta yang memutuskan untuk mengikuti konseling kelompok akan menerima kontrak kegiatan. Kontrak tertulis itu menjelaskan suatu yang diharapkan konselor kelompok dari para anggota selama kegiatan berlangsung. Peserta konseling kelompok membuat kontrak berdasarkan perundingan antara konselor dengan para anggota konseling kelompok itu dengan memperlihatkan harapan yang timbal balik antara kedua belah pihak.

  Pada tahap awal, peserta konseling kelompok memusatkan perhatian pada pembentukan kelompok, pembiasaan terhadap struktur konseling kelompok, dan penemuan perilaku bermasalah yang akan diperbaiki. Untuk membangun kepaduan kelompok, maka pada tahap ini konselor mempunyai tugas untuk membangun kepercayaan. Konselor harus berusaha agar kelompok menjadi menarik bagi anggotanya, berusaha menciptakan suasana kelompok sedemikian rupa sehingga para anggota memiliki kompetensi sosial yang memadai, dan mempunyai peranan dalam kelompok.

  Kegiatan konseling kelompok berangsur-angsur lebih baik dalam suasana kondusif sehingga konselor mendelegasikan tanggungjawab kepemimpinan kepada salah seorang anggota. Konselor menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga setiap anggota dapat berfungsi sebagai mitra terapeutik bagi anggota yang lainnya, mengendalikan konflik kelompok, dan menemukan cara melibatkan semua anggota dalam interaksi kelompok.

  Asesmen merupakan unsur penting pada tahap permulaan ini, dikarenakan sebelum tindakan bantuan dimulai dalam konseling kelompok, maka permasalahan anggota kelompok harus dijabarkan dalam bentuk perilaku yang khusus. Masalah yang kompleks tidak dihindari, tetapi dipilih dan dirinci menjadi komponen-komponen perilaku yang lebih khusus, sehingga semua masalah itu dapat ditangani dengan memadai dalam kegiatan kelompok.

  Setelah perilaku bermasalah itu dibatasi secara khusus, perilaku itu diobservasi dan diukur oleh para anggota kelompok. Prosedur ini memberikan data dasar atau informasi perilaku sebelum perlakuan bantuan dilakukan, sebagai rujukan membandingkan perilaku sebelum dan sesudah perlakuan bantuan konseling kelompok behavioral. Pemantauan selama proses pengumpulan data dalam kegiatan konseling kelompok dilakukan secara berkesinambungan sepanjang kegiatan kelompok dan berakhir pada waktu wawancara dalam tindak lanjut. Konselor dan klien menggunakan data itu untuk menilai efektivitas dari teknik-teknik yang digunakan, pertemuan kelompok, dan pelaksanaan konseling secara umum.

  Proses perumusan tujuan dan pengembangan rancangan kegiatan bantuan dimulai apabila data awal telah diperoleh. Peserta diminta untuk merumuskan tujuan kegiatan konseling kelompok sehingga peserta aktif untuk mengetahui proses pengembangan rencana kegiatan konseling kelompok. Konselor mulai memilih strategi terapeutik yang cocok untuk mencapai tujuan konseling secara optimal.

  Pembuatan kontrak tertulis sangat diperlukan karena akan menjadikan proses kegiatan dan bantuan lebih eksplisit yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pembentukan kontrak tertulis itu bermanfaat, yaitu (1) secara etis, klien memahami secara jelas dan berhak untuk mengetahui sebelumnya tentang komitmen dirinya dengan kelompok; (2) kontrak yang tegas akan menimbulkan kepercayaan yang pada akhirnya akan memperlancar proses konseling; (3) kontrak yang dibuat bersama akan lebih menajamkan kesadaran para peserta akan peranan yang harus dilakukan dalam keseluruhan kegiatan konseling; (4) kontrak yang jelas akan mengaitkan prosedur terapeutik khusus dengan tujuan yang ingin dicapai. Tahap awal sesuai dengan pendapat Mahler (dalam Loekmono, 2003: 112) dinamakan tingkat keterlibatan, yaitu konselor harus mengklarifikasi tujuan-tujuan konseli untuk berpartisipasi dalam kelompok. Konseli diharapkan dapat mengidentifikasi tujuan pribadi dan harapan pada pengalaman kelompok.

  2.5.2.2 Tahap Transisi Tahap transisi merupakan pertemuan antar klien yang masih belum percaya terhadap klien lain. Setiap klien masih bertahan belum berani mengungkapkan masalah pada anggota konseling kelompok. Tahapan peralihan dalam konseling kelompok menegaskan tentang kesiapan para peserta untuk memasuki tahap kegiatan selanjutnya, yaitu membahas masalah yang dihadapi anggota, dan dapat dikaitkan dengan karakter masing-masing peserta.

  Masalah yang dihadapi masing-masing klien dirumuskan dan dicari penyebabnya dalam konseling kelompok. Anggota kelompok mulai terbuka, tetapi pada fase ini sering terjadi kecemasan, resistensi, konflik, dan bahkan ambivalensi tentang keanggotaannya dalam kelompok, atau enggan jika harus membuka diri. Tugas pemimpin kelompok adalah mempersiapkan mereka bekerja untuk dapat merasa memiliki kelompoknya. Tahap transisi sesuai dengan pendapat Mahler (dalam Loekmono, 2003: 112) dinamakan tingkat transisi ditandai adanya beberapa ketegangan dan penolakan diantara peserta. Ketegangan karena anggota kelompok belum saling percaya satu dengan lainnya sehingga perlunya kebersamaan dalam satu tujuan melakukan konseling kelompok.

  2.5.2.3 Tahap Kerja Tahap kerja merupakan puncak dan kegiatan utama dalam konseling kelompok. Tujuan tahap pembahasan masalah adalah (1) Membahas masalah yang dihadapi anggota kelompok (2) Membina suasana untuk pengembangan diri secara aktif dan produktif. Penampilan fasilitator/konselor kelompok adalah sebagai pengendali, titik kesatuan, pelurus, dan pengatur jalannya pembahasan masalah.

  Fasilitator perlu melakukan teknik dasar konseling seperti pada konseling individual.

  Kegiatan yang dilakukan fasilitator pada tahap kerja adalah (1) mempersilakan anggota kelompok mengemukakan masalah yang dihadapi. (2) Menentukan masalah yang dibahas berdasarkan pertimbangan dan usul saran dari anggota. (3) Memandu membahas masalah secara tuntas dengan memberi kesempatan kepada semua anggota kelompok untuk berperan aktif bertanya, saling memberi nasehat, dan berbagi pengalaman. (4) Mengaitkan permasalahan yang muncul dengan karakter.

  Jika masalah yang dihadapi anggota kelompok konseling sudah diketahui, langkah berikutnya adalah menyusun rencana tindakan atau yang disebut produktivitas (productivity). Kegiatan konseling kelompok terjadi yang ditandai dengan membuka diri lebih besar, menghilangkan defensifnya, terjadinya konfrontasi antar anggota kelompok, modeling, belajar perilaku baru, terjadi transferensi. Kohesivitas mulai terbentuk, mulai belajar bertanggung jawab, tidak lagi mengalami kebingungan. Anggota merasa berada dalam kelompok dan mendengar anggota yang lain dan terpuaskan dengan kegiatan kelompok. Tahap kerja sesuai dengan pendapat Mahler (dalam Loekmono, 2003: 113) dinamakan tingkat bekerja karena anggota kelompok saling menerima, memahami dukungan dan saling menolong anggota kelompok konseling. Anggota mempercayai satu dengan lainnya dengan mencurahkan kepribadian guna mengubah perilaku yang diinginkan.

  2.5.2.4 Tahap Akhir Tahap pengakhiran merupakan tahap akhir kegiatan dengan tujuan untuk melihat kembali sesuatu yang sudah dilakukan dan yang sudah dicapai oleh kelompok, serta merencanakan kegiatan selanjutnya. Kegiatan yang dilakukan antara lain pemimpin kelompok mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan kemudian membahas kegiatan lanjutan, mengemukan pesan dan harapan dari kegiatan tersebut.

  Pada tahap akhir ini pun dilakukan perencanaan untuk tindak lanjut kegiatan kelompok. Tindak lanjut ini penting dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana perilaku-perilaku baru itu dapat diterapkan dengan berhasil dalam kehidupan yang sesungguhnya. Untuk ini, perlu dilakukan pengamatan dan monitoring lanjut terhadap kehidupan klien setelah kegiatan kelompok. Lebih resmi lagi dapat dilakukan wawancara tindak lanjut dengan setiap klien yang telah melaksanakan konseling kelompok. Tahap akhir sesuai dengan pendapat Mahler (dalam Loekmono, 2003: 112) dinamakan tingkat terminasi karena anggota kelompok menyelesaikan perasaan dan reaksi anggota pada pengalaman sebagai satu keseluruhan atau keutuhan.

  Penelitian ini mengunakan penahapan (1) tahap awal pembentukan kelompok dan pengenalan, (2) tahap transisi penemuan masalah, (3) tahap kerja menyelesaian masalah, dan (4) tahap akhir refleksi kegiatan.

2.6 Kajian Yang Relevan

  Penelitian yang berkaitan dengan efikasi diri (Self-Efficacy) dan konseling kelompok.

  1. Hasil penelitian Wahid (2013) judul Keefektifan Konseling Kelompok dengan Teknik Metafora Berbentuk Stories untuk meningkatkan Self efficacy Akademik Siswa SMA Mata Pelajaran Matematika.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan teknik metafora berbentuk healing

  stories efektif meningkatkan self efficacy akademik siswa SMA pada mata pelajaran matematika.

  2. Hasil penelitian Udin (2012) dengan judul Pengaruh Konseling Karir Secara Kelompok Terhadap Self

  efficacy Pengambilan Keputusan Studi Lanjut pada

  Siswa SMA. Ada perbedaan signifikan self efficacy pengambilan keputusan studi lanjut antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (t=5,049; p<0,01).

  3. Humeira (2014) meneliti Keefetifan Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Bermain Peran untuk Meningkatkan Self efficacy dalam Belajar Siswa SMP Negeri 5 Surakarta, menyatakan bahwa layanan bimbingan kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan self efficacy dalam belajar.

  4. Fathiyah (2012) meneliti Konseling Sebaya untuk Meningkatkan Self efficacy Remaja Terhadap Perilaku Beresiko di SMU Gama, menyatakan bahwa adanya kecenderungan peningkatan self efficacy siswa yang diberi konseling sebaya.

  5. Novariandhini (2012) meneliti Harga Diri, Motivasi Belajar, dan Prestasi Akademik Siswa SMA pada Berbagai Model Pembelajaran, menyatakan bahwa hasil penelitian menemukan hubungan yang signifikan positif antara self efficacy dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik.

  6. Leufeto (2012) meneliti Self efficacy (self-efficacy) dan Motivasi Belajar Sebagai Prediktor Prestasi Belajar Matematika pada Siswa SMP Negeri 1 So’e Kelas VIII, menyatakan bahwa berdasarkan uji hipotesis dengan analisis regresi berganda diperoleh hasil self efficacy dan motivasi belajar secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar matematika siswa.

  Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, penelitian ini mengkaji peningkatan self efficacy menggunakan konseling kelompok behavioral agar siswa yang self efficacy rendah mampu ditingkatkan menggunakan konseling kelompok behavioral. Hal tersebut karena hasil penelitian konseling kelompok mampu meningkatkan self efficacy siswa dalam hal akademik, dalam mengambil keputusan, berani mengambil resiko, dan ada hubungan secara signifikan positif dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik.

2.7 Kerangka Pikir

  Kerangka pikir merupakan urut-urutan yang logis dari pemikiran peneliti untuk memecahkan suatu masalah penelitian, memuat teori, dalil atau konsep-konsep yang akan dijadikan dasar dalam penelitian yang dituangkan dalam bentuk bagan dengan penjelasannya (Slameto, 2012: 127). Masalah penelitian adanya siswa yang akademik rendah disebabkan self efficacy rendah dengan beberapa ciri antara lain tampak kurang percaya diri, meragukan kemampuan akademiknya, tidak berusaha mencapai nilai tinggi, menghindari tugas- tugas sulit, dan usaha kurang optimal. Akibatnya mereka kurang memiliki aspirasi belajar sehingga prestasi akademik rendah. Pelayanan konseling kelompok behavioral akan membantu siswa dalam menumbuhkan self efficacy yang mengalami masalah rendah akademik. Konseling behavioral merupakan konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan mengubah tingkah laku (Corey, 2013: 193). Terjadi perubahan self efficacy siswa dikarenakan adanya treatmen konseling behavioral kelompok sehingga siswa mempunyai kepercayaan diri. Adapun kerangka pikir penelitian sebagai berikut.

  Siswa self efikasi rendah (pre-tes)

  

Treatment konseling kelompok behavior

  Siswa terjadi Peningkatan Self Efficacy (Post-tes)

Gambar 2.1. Kerangka Pikir

2.8 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis penelitian ini adalah konseling kelompok behavioral dapat meningkatkan secara signifikan self efficacy siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Kendal.

Dokumen yang terkait

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Matematika Menggunakan Model Project Based Learning pada Siswa Kelas 5 SD Negeri Candirejo 01 Kecamatan Tunt

0 0 61

UPAYA MENINGKATKAN PROSES DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL PROJECT BASED LEARNING PADA SISWA KELAS 5 SD NEGERI CANDIREJO 01 KECAMATAN TUNTANG SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 20162017 SKRIPSI

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Matematika Menggunakan Model Project Based Learning pada Siswa Kelas 5 SD Negeri Candirejo 01 Kecamatan Tuntang Semester I Tahun Pelajaran 2016/2017

0 23 107

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa Menggunakan Model Teams-Games-Tournament (TGT) Mata Pelajaran IPA Kelas 5 SDN Jetak 03 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Semester II Tahun Ajara

0 0 19

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI MODEL SNOWBALL THROWING BERBANTUAN MEDIA TEKA-TEKI SILANG PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI PULUTAN 1 KECAMATAN NOGOSARI KABUPATEN BOYOLALI SEMESTER II TAHUN PELAJARAN 20162017

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Layanan Perpustakaan Sekolah Di SMA Negeri 1 Boja

0 0 36

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Layanan Perpustakaan Sekolah Di SMA Negeri 1 Boja

0 0 9

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Layanan Perpustakaan Sekolah Di SMA Negeri 1 Boja

0 0 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Layanan Perpustakaan Sekolah Di SMA Negeri 1 Boja

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Self Efficacy (Efikasi Diri) Siswa yang Rendah di Kelas XI IPS SMAN I Kendal Melalui Layanan Konseling Kelompok Behavioral

0 0 12