Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

  

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Penyakit

  Menurut Alexopoulos and Mims (1979) penyakit gugur daun (Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.) dapat di klasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Myceteae Divisio : Amastigomycota Sub Divisio : Deuteromycotina Class : Deuteromycetes Ordo : Melanconiales Famili : Melanconiaceae Genus : Colletotrichum Species : C. gloeosporioides Penz. Sacc Penyakit daun Colletotrichum disebabkan oleh jamur C. gloeosporioides.

  Jamur ini umumnya mempunyai konidium hialin, berbentuk silinder dengan ujung- ujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung yang membulat dan pangkal yang sempit terpancung, tidak bersekat, berinti satu, terbentuk pada konidiofor seperti fialid, berbentuk silinder, hialin agak kecokelatan (Semangun, 2008). Dalam cuaca yang lembab spora menjadi lunak dan mudah tersebar oleh percikan air hujan atau oleh aliran udara yang lembab (Yuniarti dan Wibowo, 2013).

  C. gloeosporioides Penz. Sacc. merupakan parasit fakultatif yang termasuk ordo melanconiales. Konidianya berukuran panjang 10-15 µm dan lebar 5-7 µm.

  

Colletotrichum mempunyai stroma yang terdiri dari massa miselium yang

  berbentuk acervulus, bersepta, panjang antara 30-90 µm, umumnya berkembang merupakan perpanjangan dari setiap acervulus (Bailey & Jeger,1992). tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah

  Acervuli

  apabila konidia telah dewasa, konidia keluar sebagai percikan berwarna putih, kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai pigmen yang dikandung konidia.

  Diantara Melanconiales yang konidianya cerah (hyalin) adalah Gloeosporium dan

  

Colletotrichum , keduanya mempunyai konidia yang memanjang dengan penciutan

di tengah (Agrios, 2005).

  Pada medium agar PDA (Potato Dextrose Agar) C. gloeosporioides dapat tumbuh dan bersporulasi dengan baik. Biakan murni pada medium tersebut berwarna kelabu kehitaman atau keputih-putihan (Alexopoulos & Mims, 1979).

  Gejala Serangan

  Serangan C. gloeosporioides terutama menyerang daun. Serangan yang berat pada daun muda yang baru terbentuk setelah tanaman meranggas sehingga menyebabkan banyaknya daun muda yang gugur. Hal ini disebut dengan gugur daun sekunder, ini terutama terjadi jika perkembangan daun muda berlangsung pada cuaca yang basah. Gejala pertama pada daun muda yang agak dewasa dapat di lihat dengan adanya spora (konidium) jamur yang berwarna merah jambu. Pada cuaca yang basah massa spora ini dapat terlihat jelas. Daun muda hanya rentan selama ± 5 hari pada waktu kuncup membuka (bud break) dan selama 10 hari pertama pada waktu daun berkembang. Setelah itu daun membuka penuh, warnanya sudah berubah dari warna perunggu menjadi hijau pucat. Pada waktu itu kutikula sudah terbentuk dan daun cukup tahan. Jika infeksi terjadi pada bagian awal dari masa 15 hari tersebut, daun akan segera layu dan rontok, tetapi jika infeksi terjadi pada tingkat yang lebih maka daun sudah mempunyai ketahanan dalam, yang mencegah terjadinya kerusakan yang meluas. Sehingga meskipun sebagian daun berubah bentuknya dan banyak bercak-bercak daun tidak akan gugur (Semangun, 1991).

  Penyakit ini menyerang pada berbagai tingkat umur tanaman karet. Daun- daun muda yang terserang lemas berwarna hitam, mengeriput, bagian ujung mati dan menggulung. Pada daun dewasa terdapat bercak-bercak berwarna hitam, berlubang dan daun keriput serta bagian ujungnya mati. Tanaman yang terserang tajuknya menjadi gundul. Penyakit ini juga mengakibatkan mati pucuk. Serangan berat bisa terjadi pada kebun yang letaknya diatas 200 m dpl atau daerah beriklim basah (Yardha dkk, 2007).

  Pada cuaca yang basah massa spora ini dapat dilihat jelas dengan mata telanjang. Pada daun yang lebih dewasa menyebabkan tepi dan ujung daun berkeriput dan pada permukaan daun terdapat bercak-bercak bulat berwarna cokelat dengan tepi kuning, bergaris tengah 1-2 mm. Bila daun bertambah umurnya, bercak akan berlubang di tengahnya dan bercak tampak menonjol dari permukaan daun (Yuniarti dan Wibowo, 2013).

  Daun yang terinfeksi dapat menunjukkan gejala setelah berumur 2-53 hari, dan gugur setelah daun berumur antara 12-64 hari. Jadi setelah pengamatan pertama kolonisasi dan invasi akan berkembang (Purwantara & Pawirosoemardjo,1991).

  Epidemiologi Penyakit

  Penularan utama Colletotrichum adalah dengan spora konidia yang disebarkan melalui percikan air hujan dan angin. Konidia merupakan sel tunggal yang transparan, sangat ringan dan terbentuk pada ujung konidiofor (Soepena, 1991).

  Hasil pengamatan morfologi jamur secara mikroskopik spora jamur C. gloesporioides berukuran sangat kecil dan banyak, sehingga pada waktu pengamatan di bawah mikroskop bertumpuk-tumpuk dan dilapangan mudah terbawa angin (Perangin-angin, 2008).

  Suhu udara optimum untuk berkembangnya jamur ini antara 28ºC dengan kelembaban di atas 95%, sedangkan suhu di bawah 5ºC dan di atas 32ºC konidia jamur tidak dapat berkecambah. Sementara pada percobaan di rumah kaca dan laboratorium ternyata bahwa infeksi jamur terjadi pada kelembaban lebih dari 96% pada temperatur 26-31ºC (Bailey & Jeger, 1992).

  Resistensi Klon Tanaman Karet

  Pada umumnya klon karet yang dilepas Pusat Penelitian Karet mempunyai resistensi yang baik terhadap satu atau beberapa penyakit penting karet. Beberapa klon yang cukup handal mengatasi beberapa penyakit penting karet terutama penyakit gugur daun Colletotrichum di berbagai daerah perkebunan Indonesia adalah BPM 1, BPM 24, PR 260, dan RRIC 100. Klon anjuran IRR juga termasuk klon yang mempunyai resistensi yang baik terhadap penyakit karet. Penggunaan klon resisten merupakan metoda pengendalian yang efektif karena kemampuannya memperkecil kerusakan tanaman. Rendahnya kerusakan tanaman resisten adalah sebagai akibat penurunan populasi awal patogen dan laju infeksi patogen. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi jumlah spora patogen atau memperkecil jumlah populasi awal, menghambat perkembangan bercak, memperpanjang waktu dalam pembentukan spora baru dan memperkecil jumlah spora baru. Disamping efektif, penggunaan klon resisten juga dianggap efisien karena sekali penggunaan klon resisten relatif tidak lagi memerlukan biaya, tenaga dan waktu. Tetapi kendala yang dihadapi adalah tidak satu klonpun yang mempunyai resistensi terhadap semua penyakit, demikian juga resistensi suatu klon terhadap penyakit tertentu dapat menjadi patah pada suatu agroklimat atau ras patogen tertentu. Untuk mengoptimalkan penggunaan klon resisten dianjurkan untuk membatasi penggunaan satu klon dalam hamparan luas, menggunakan klon karet secara berimbang dalam suatu hamparan, dan menanam klon campuran dalam satu blok serta penempatan suatu klon dalam suatu agroklimat yang sesuai untuk menghindari kerusakan berat penyakit penting (Situmorang et all., 1998).

  Klon BPM 107 merupakan hasil seleksi dari populasi semaian PBIG dengan pohon induk nomor K 19 8/2. Klon BPM 107 mempunyai ketahanan yang cukup baik (resisten) terhadap penyakit daun Corynespora, dan moderat terhadap

  

Colletotrichum, Oidium . Lateks berwarna putih kekuningan, dan dapat diolah

  menjadi SIR 3CV. Pengembangannya pada lahan beriklim sedang-kering (Daslin,2000).

  Klon BPM 24 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara klon GT 1 x AVROS. Ketahanan terhadap penyakit daun Corynespora cukup baik, sedangkan ketahanan terhadap Colletotrichum kurang. Perioritas pengembangannya dapat di lakukan di daerah beriklim sedang. Lateks berwarna putih kekuningan, dan dapat diolah menjadi SIR 3L (Woelan et all., 1999).

  Klon BPM 109 merupakan hasil seleksi dari persilangan BPM 107 x BPM 13, direkomendasikan sebagai klon karet anjuran sejak tahun 1996. Ketahanan terhadap Corynespora moderat, sedangkan terhadap Colletotrichum baik dan agak tahan terhadap Oidium. Lateks berwarna putih dan dapat diolah menjadi SIR 3 WF. Pengembangannya pada lahan beriklim sedang-kering. Klon PB 217 merupakan hasil seleksi persilangan antara PB 5/51 x PB 6/9, di Indonesia direkomendasikan sebagai klon anjuran sejak tahun 1991 (Daslin, 2000).

  Ketahanan terhadap Oidium kurang dan moderat terhadap Colletotrichum. Lateks berwarna putih kekuningan dan dapat diolah menjadi SIR 3L, perkembangannya lahan beriklim sedang. Klon PB 260 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara PB 5/51 x PB 49, tergolong memiliki ketahanan moderat sampai tahan terhadap penyakit daun utama (Corynespora, Colletotrichum dan Oidium), tetapi kurang tahan terhadap angin. Lateks berwarna putih kekuningan dan dapat diolah menjadi SIR 3L, pengembangannya pada daerah beriklim sedang sampai basah (Daslin, 2000).

  Masing-masing klon baik yang tergolong dalam anjuran maupun komersial mempunyai sifat ketahanan yang berbeda-beda terhadap jamur C.

  gloeosporioides . Klon RRIC 100 ketahanannya terhadap beberapa penyakit daun

  (Colletotrichum, Corynespora, dan Oidium) cukup baik. Potensi produksi awal rendah dengan rata-rata produksi aktual 1567 kg/ha/thn selama 8 tahun penyadapan, lateks berwarna putih. Pengembangannya dapat dilakukan pada daerah beriklim sedang sampai basah (Woelan et all., 1999).

  Hubungan antara C. gloeosporioides dan toksin yang dihasilkannya dengan kerentanan klon karet dapat digolongkan menjadi : 1) rentan terhadap serangan jamur dan toksin yang dihasilkannya; 2) rentan terhadap serangan jamur tetapi resisten terhadap toksin; 3) resisten terhadap serangan jamur dan rentan terhadap toksin; 4) resisten terhadap serangan jamur dan toksin. Klon apa saja yang termasuk kelompok tersebut sampai sekarang belum banyak diketahui, tetapi klon-klon yang termasuk dalam kelompok pertama dan ketiga adalah klon yang berisiko mengalami serangan berat (Situmorang et all., 1998).

  Kajian tentang sifat resistensi klon terhadap penyakit utama pada karet khususnya klon yang akan dianjurkan diperlukan untuk dapat merumuskan rekomendasi klon unggul. Dari hasil uji resistensi klon terhadap penyakit

  

Colletotrichum dalam kondisi laboratorium menunjukkan IRR 106, IRR 118, IRR

  130 (Tergolong Resisten). BPM 1, IRR 111, IRR 120, IRR 129 (Tergolong Agak Resisten). IRR 100, IRR 104, IRR 105, IRR 107, IRR 110, IRR 112, IRR 117, IRR 124, IRR 125, IRR, 126, IRR 128 (Tergolong Moderat). IRR 101, IRR 102, IRR 103, IRR 108, IRR 109, IRR 113, IRR 114, IRR 115, IRR 127 (Tergolong Agak Rentan) dan (Tergolong yang rentan) GT 1, IRR 116, IRR 119, IRR 123, RRIM 600 (Sujatno dkk, 1998).

  Genotipe Tanaman Karet

  Setiap genotipe karet memiliki karakter yang bervariasi untuk dijadikan sebagai batang bawah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam identifikasi ciri morfologi klon batang bawah yang digunakan dalam microcutting (Pratama, 2008)

  Hasil penelitian Purnamasari (2014) menunjukkan bahwa perlakuan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap periode inkubasi. perlakuan genotipe 222 memiliki periode inkubasi yang lebih lama dibandingkan dengan genotipe lainnya terhadap serangan penyakit C.gloeosporioides. Periode inkubasi paling cepat terdapat pada perlakuan genotipe 930 dan genotipe 223. Perbedaan periode inkubasi ini terjadi dikarenakan perbedaan kemampuan patogen dalam menginfeksi tanaman. Selain itu dapat juga disebabkan oleh keadaan cuaca pada saat percobaan dilakukan. Pada perlakuan genotipe 222 mengalami periode inkubasi lebih lama dapat disebabkan karena tanaman memiliki ketahanan lebih tinggi yang menyebabkan patogen lebih lama menimbulkan gejala pada tanaman (Purnamasari, 2014)

  Perlakuan genotipe memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah bercak/satuan luas daun. Jumlah bercak tertinggi terdapat pada perlakuan genotipe 223 dengan jenis penyaki C. Gloeosporioides. Genotipe 223 memiliki ketahanan yang rendah terhadap serangan patogen yang menyebabkan jumlah bercak lebih banyak terdapat pada genotipe 223 dibandingkan dengan genotipe 100 dan genotipe-genotipe lainnya. Hal ini terjadi akibat adanya perbedaan kemampuan patogen dalam merusak jaringan daun karena salah satu dari tanaman yang diinfeksi bersifat tahan, sehingga bercak daun tidak berkembang. Sedangkan pada tanaman yang rentan, bercak daun mudah berkembang pada bagian tanaman yang diserang (Purnamasari, 2014).

  Pengendalian Penyakit

  Pengendalian penyakit gugur daun Colletotrichum dapat diusahakan melalui pemeliharaan tanaman seperti menanam 3 jenis klon anjuran yang resisten dalam satu areal pertanaman seperti : PR 261, RRIC 100, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260, klon seri 00 dan 100 dan klon unggul lainnya (Riyaldi, 2003).

  Klon yang peka diganti tajuknya melalui okulasi tajuk dengan klon tahan sehingga diharapkan bebas dari serangan Colletotrichum. Penginokulasian dilakukan pada ketinggian 2 meter di atas permukaan tanah, pada umur 2-3 tahun di lapangan (Situmorang & Budiman, 1984).

  Melakukan pemupukan teratur seperti pada tanaman terserang ringan diberi pupuk nitrogen dua kali dosis anjuran pada saat daun mulai terbentuk. Pupuk dibenamkan ke dalam tanah agar mudah diserap akar, selain itu dilakukan pemberantasan gulma (Riyaldi, 2003).

  Pinggiran daun lebih awal disemprot dengan penyemprotan asam kakodilik agar tanaman dapat membentuk daun-daun baru lebih awal sebelum musim hujan dengan demikian tanaman akan terhindar serangan penyakit (Situmorang & Budiman, 1984).

  Tanaman yang terserang berat dilakukan penyemprotan dengan fungisida kontak yang disemprotkan pada setiap mulai membentuk daun dengan interval 1 minggu sampai daun berwarna hijau. Fungisida yang efektif untuk penyakit ini adalah mankozeb. Alat penyemprotan juga berbeda sesuai dengan umur tanaman jika di pembibitan digunakan knapsack sprayer sedangkan pada masa TBM menggunakan mist blower (Soepena, 1991).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Berkumur Dengan Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper crocatum) 3% Terhadap Akumulasi Plak Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi USU Angkatan 2014

0 0 13

A. IDENTITAS RESPONDEN - Analisis Faktor yang Memengaruhi Seksio Sesarea Indikasi Non Medis di Rumah Sakit Umum Daerah Teungku Peukan Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2013

0 0 26

Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2015

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR) - Analisis Pemfaatan Dana CSR PTPN III Terhadap Perkembangan UMKM di Kota Medan

0 0 36

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Oral Higiene - Hubungan Oral Higiene dengan Pengalaman Karies anak Usia 12 Tahun Menggunakan Indeks DMFT dan SiC (WHO) di SD Swasta Al-Ulum Medan dan SD Negeri di Kecamatan Medan Kota

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Prevalensi fraktur akar gigi anterior berdasarkan umur dan jenis kelamin yang dicabut di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2010-2012

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Personal Hygiene 2.1.1 Pengertian - Hubungan Personal Hygiene Dengan Keluhan Kulit dan Fasilitas Sanitasi di TPA Terjun Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2014

1 3 28

Pengetahuan Ibu Hamil tentang Asupan Zat Gizi Mikro selama Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan

0 0 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Pengetahuan Ibu Hamil tentang Asupan Zat Gizi Mikro selama Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan

0 1 32

Klasifikasi Tanah di Lereng Selatan Gunung Burni Telong Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh

0 0 15