WAJAH AKUNTANSI PERKOPERASIAN MASA KINI : DISKURSUS KEKELUARGAAN VERSUS KAPITALISME (SEBUAH KAJIAN FENOMENOLOGIS) Ichsan Ibnudin Mohammad Iqbal Bakry

  WAJAH AKUNTANSI PERKOPERASIAN MASA KINI : DISKURSUS KEKELUARGAAN VERSUS KAPITALISME (SEBUAH KAJIAN FENOMENOLOGIS) Ichsan Ibnudin* Mohammad Iqbal Bakry* Sugianto*

  • *Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi Universitas Tadulako

  ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran jelas mengenai sisi kesadaran para pelaku koperasi dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang sesungguhnya diterapkan didalam laporan keuangan koperasi melihat fenomena lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 sebagai landasan baru koperasi Indonesia. Penelitian ini difokuskan pada Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKP-RI) Provinsi Sulawesi Tengah sebagai tempat peneliti dalam menelusuri sisi kesadaran penyusun laporan keuangan koperasi. Penelitian ini merupakan penelitian jenis kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Sumber data berasal dari hasil wawancara, observasi dan analisis dokumen yang dilakukan secara triangulasi atau bersamaan. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis interaktif Milles dan Hubberman, dimana data dikumpul, disajikan, direduksi, dan ditarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan, terdapat empat pasal didalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2012 yang menurut informan tidak sesuai dengan asas berkehidupan berkoperasi. Keempat pasal tersebut antara lain pasal 67 tentang penghimpunan modal terhadap anggota baru, pasal 68 tentang sertifikat modal koperasi, pasal 75 tentang penghimpunan modal dari luar, dan yang terakhir pasal 78 tentang mekanisme pembagian sisa hasil usaha kepada anggota. Menurut informan, Pasal-pasal tersebut membawa praktik- praktik kapitalisme dalam koperasi yang menyebabkan informasi didalam laporan keuangan koperasi tidak menunjukan lagi karakteristik khas dari koperasi Indonesia yang sesungguhnya dibawa oleh Bung Hatta. Saran yang dapat direkomendasikan untuk koperasi adalah, koperasi sebaiknya tidak menerapkan keempat pasal didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tersebut kedalam praktik operasional koperasi dan tetap menggunakan regulasi terdahulu yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 sebagai landasan awal, sehingga nilai-nilai yang terdapat pada asas kekeluargaan dalam kehidupan berkoperasi tetap terjaga, termasuk juga tetap menjaga karakteristik koperasi didalam laporan keuangan.

  Kata Kunci: Koperasi, Permodalan Koperasi, Sisa Hasil Usaha dan Kapitalisme.

  • *Corresponding author :

  

  

A. PENDAHULUAN

A.1 Latar Belakang Penelitian

  Koperasi Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, termasuk perkembangan mengenai standar pelaporan keuangan koperasi. Renovasi regulasi yang berfokus pada standar pelaporan keuangan entitas dianggap sangat perlu bagi koperasi untuk menciptakan suatu informasi yang dapat digunakan oleh anggota koperasi dan pihak internal (pengurus dan dewan pegawas) koperasi untuk menentukan masa depan koperasi itu sendiri. Informasi yang terdapat didalam laporan keuangan koperasi akan sangat bermanfaat apabila didukung oleh sebuah prosedur yang baku dan sesuai dengan asas-asas kehidupan koperasi Indonesia.

  Demi meningkatkan kualitas dari pelaporan keuangan koperasi, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyelaraskan standar pelaporan keuangan yang kini diadopsi oleh Indonesia, yakni International Financial Standard Board (IFRS) dengan standar pelaporan keuangan koperasi yang ditandai dengan dihapusnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 27 dan dialihkan ke Standar Akuntansi Keuangan- Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik pada tahun 2011 (Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 8 Tahun 2011). Selain dari pihak IAI, Kementerian Koperasi & Usaha Kecil dan Menengah pada tahun 2012 juga merivisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 yang mengatur konsep dasar terbaru koperasi yang implikasinya juga berdampak terhadap laporan keuangan koperasi.

  Harapan pemerintah dalam memajukan entitas koperasi dengan merevisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 ternyata mendapat protes yang cukup keras dari kalangan praktisi yang berkecimpung di dunia perkoperasian. Kalangan praktisi menganggap bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 membawa praktik-praktik berbau kapitalisme yang sejatinya tidak sesuai dengan asas kekeluargaan yang menjadi ciri khas koperasi Indonesia selama ini. Banyak kalangan koperasi menilai, peraturan yang memuat menakisme permodalan koperasi dan perhitungan sisa hasil usaha di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 lebih menonjolkan sifat kapitalistiknya, sehingga sudah tidak memiliki “ruh” koperasi lagi didalamnya.

  Ketidakharmonisan pandangan antara pemerintah dan praktisi mengenai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap informasi laporan keuangan entitas koperasi Indonesia mengalami degradasi pandangan akan diarahkan kedalam praktik-praktik yang berlandaskan pada asas kapitalisme didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tersebut.

  A.2 Rumusan Masalah

  Laporan keuangan merupakan proses perekayasaan seluruh kegiatan operasional entitas yang disimbolkan dalam bentuk statemen keuangan, sehingga para pengguna informasi dapat membayangkan operasi entitas secara finansial tanpa harus menyaksikan secara fisis operasi entitas tersebut.

  Dengan melihat fenomena koperasi yang telah dijabarkan dalam latar belakang sebelumnya, peneliti menfokuskan masalah penelitian kedalam pertanyaan berikut : “Bagaimana nilai-nilai kekeluargaan dimaknai dan diimplementasikan kedalam laporan keuangan koperasi saat ini dengan melihat fenomena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 yang dianggap oleh kalangan koperasi lebih memperlihatkan praktik-praktik yang bersifat kapitalisnya dan seakan-akan mengaburkan makna kekeluargaan yang seharusnya menjadi ciri khas didalam laporan keuangan koperasi?”.

  A.3 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tujuan peneliti yaitu untuk memperoleh gambaran jelas mengenai wajah akuntansi perkoperasian masa kini dengan melihat sisi kesadaran para pelaku koperasi dalam mengimplementasikan nilai-nilai koperasi pada laporan keuangan khususnya laporan keuangan di Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKP-RI) Provinsi Sulawesi Tengah.

B. KAJIAN LITERATUR

  Istilah koperasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu Co-Operation (Co:bersama, dan Operation:usaha). Singkatnya, koperasi berarti usaha bersama. Koperasi di lingkungan badan usaha beranggotakan orang–orang yang melakukan usaha bersama yang didasarkan atas asas kekeluargaan. Kegiatan koperasi dilakukan sekelompok orang yang bekerjasama untuk menggunakan luaran ekonomi dari badan usaha untuk tercapainya tujuan, yaitu meningkatkan kesejahteraan anggota.

  Kelembagaan koperasi lahir sebagai reaksi terhadap sistem ekonomi kapitalistik, yang bersendikan sistem ekonomi pasar. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat 1 menempatkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional dan bagian integral tata perekonomian nasional, sehingga koperasi merupakan suatu bentuk perusahaan yang lahir di dalam ekonomi bersama-sama dengan berbagai bentuk perusahaan lainnya, walaupun disadari bahwa koperasi itu sendiri merupakan buah pikir dari berasal dari negeri benua biru, namun nilai-nilai dalam koperasi itu sendiri sesuai dan berasimilasi dengan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Nilai-nilai luhur yang dimaksud adalah menganut asas kekeluargaan dalam praktik bisnisnya yang mempunyai nilai kebersamaan, kegotong royongan, kesetaraan hak, dan tujuan bersama dalam menjalankan jenis usaha.

  Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP) merupakan pedoman bagi entitas koperasi dalam penyajian laporan keuangannya setelah dihapusnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 27 pada tahun 2011. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK- ETAP) dimaksudkan untuk digunakan entitas yang tidak memiliki akuntabilitas terhadap publik, seperti Usaha Kecil Menengah (UKM) dan koperasi. Selain SAK- ETAP, koperasi juga memiliki pedoman akuntansi perkoperasian yang tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 04/Per./K.UKM/VII/2012, namun pedoman tersebut masih berlandaskan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 walaupun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 sudah diterbitkan, sehingga entitas koperasi harus menyesuaikan kaidah-kaidah akuntansi yang sesuai dengan pedoman dengan regulasi yang terdapat pada UU No. 17 Tahun 2012, mengingat bahwa UU No. 25 Tahun 1992 sudah tidak belaku lagi diterapkan.

  Terdapat banyak perbedaan pandangan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor. 25 Tahun 1992, salah satunya pandangan mengenai makna ekuitas yang diluruskan dan beberapa mekanisme lainnya yang mempunyai pengaruh besar dalam laporan keuangan. Namun perubahan-perubahan ini malah dianggap oleh kalangan koperasi sebagai upaya pelemahan koperasi dan menjerumuskan koperasi kedalam jurang kapitalisme.

  Di Indonesia, terdapat dua asas yang salah satunya digunakan entitas dalam menjalankan bisnis usahanya, yaitu Asas Kekeluargaan dan Asas Kapitalisme. Asas Kekeluargaan merupakan asas yang lahir atas dasar ciri khas Bangsa Indonesia yang direfleksikan kedalam sebuah butir Pancasila, Sila ke-5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang mempunyai makna menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi kekeluargaan itu sendiri berasal dari kata keluarga yang mendapat awalan ke- dan akhiran -an. Keluarga itu sendiri berasal dari Bahasa Sansakerta, Kula artinya satu dan Warga yang artinya orang disekitar. Keluarga memiliki makna orang yang masih sealiran darah. Kekeluargaan memiliki makna sebagai perilaku yang menunjukan sebuah manifestasi yang cenderung didasari rasa kekerabatan yang tinggi dengan wujud responsible yang mempertimbangkan hubungan keakraban sebagai kedekatan keluarga kepada orang lain, sehingga dengan manifestasi tingkah laku seseorang dapat menimbulkan keakraban rasa dekat seperti layaknya keluarga yang memiliki hubungan darah. Nilai-nilai inilah yang menurut Bung Hatta sesuai dengan konsep-konsep koperasi yang awalnya lahir sebagai perlawanan terhadap kaum Kapitalis yang lahir di Inggris Raya pada masa Industrisasi berkembang pesat di negara ratu Elishabet tersebut.

  Asas kapitalisme lahir dari sebuah pemikiran yang beranggapan bahwa, manusia diciptakan untuk memperoleh keuntungan duniawi. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi dimana individu secara privat melakukan kegiatan produksi, pertukaran barang, dan jasa pelayanan melalui sebuah jaringan pasar dan harga yang kompleks. Kapitalisme memandang manusia kedalam satu paradigma saja, yakni usaha mencari keuntungan, padahal manusia merupakan makhluk sosial yang multiparadigma. Karl Marx dalam Subarkah (2010:3) mendefinisikan istilah kapitalisme merupakan istilah untuk pengejaran keuntungan yang dianggap merupakan hal yang hakiki dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya, sedangkan Bagus (1996) dalam Herianto (2012:01) menjelaskan bahwa Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya pemikiran tersebut jelas-jelas bertentang dengan asas koperasi yang sejatinya merupakan entitas yang dibangun atas dasar sosialisme Indonesia yang menentang praktik kapitalisme dalam bentuk apapun.

C. METODE PENELITIAN

  Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif/non-positivistik/non

  

mainstream. Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986:9) dalam

  Moleong (2013:2) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertengtangkan dengan pengamatan kuantitatif. Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya seperti yang jabarkan didalam pandangan positivistik. Pendekatan yang digunakan peneliti sebagai kacamata dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Menurut Collin

  (1997:111) dalam Basrowi dan Sukidin (2002:31) mendefiniskan fenomenologi mampu mengungkap objek secara meyakinkan, meskipun objek itu berupa objek kognitif, maupun tindakan ataupun ucapan.

  Tempat penelitian difokuskan pada Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKP-RI) Provinsi Sulawesi Tengah dengan sasaran informan adalah pelaku penyusun laporan keuangan di PKP-RI Provinsi Sulawesi Tengah. Sumber data berupa kata-kata & tindakan dan sumber tertulis (Moleong 2013:157). Teknik pengumpulan data menggunakan triangulasi, yakni data dikumpul dengan cara observasi secara mendalam, wawancara kepada informan, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis data interaktif Miles dan Huberman (2000), dimana tahap reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan, dilakukan dengan bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu siklus.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN D.1 Koperasi Sebagai Entitas Bisnis Yang Bersifat Society Di Indonesia

  Entitas koperasi mempunyai aktivitas bisnis yang hampir sama dengan korporasi-korporasi pada umumnya yang menganut asas kapitalis, dimana koperasi tetap mengejar laba dalam menjalankan jenis usahanya. Koperasi dapat dianalogikan sebagai perusahaan yang sekuat tenaga memaksimalkan keuntungan dengan sumber daya yang terbatas, namun yang perlu dipahami adalah walaupun koperasi dalam aktivitas bisnisnya harus memaksimalisasikan jumlah laba yang diperolehnya, ada suatu hal yang membuat koperasi tampak berbeda dengan korporasi pada umumnya, yakni koperasi lebih mengutamakan pelayanan anggota koperasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan anggota koperasi Calvert (1985) dalam Ariffin (2013:41) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi beranggotakan orang-orang yang secara sukarela bergabung kedalam-nya atas dasar kesamaan derajat. Pernyataan Calvert juga didukung oleh Weersman (1975) dalam Suwandi (1981:11) yang juga mendefisinikan koperasi sebagai berikut

  “Koperasi merupakan kumpulan orang-orang atau badan hukum, yang bertujuan untuk perbaikan sosial ekonomi anggotanya dengan memenuhi kebutuhan anggotanya dengan jalan berusaha berusaha bersama saling membantu antara satu dengan yang lainnya dengan cara membatasi keuntungan usaha.”

  Dari definisi tersebut nampak jelas bahwa koperasi merupakan kumpulan orang-orang yang secara sukarela bergabung demi memperbaiki taraf hidup mereka dengan cara menyertakan modal keanggotaan didalam koperasi dan melakukan transaksi bersama koperasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota tersebut. Definisi tersebutlah yang menjadi ciri khas sekaligus pembeda antara koperasi dengan korporasi- korporasi kapitalis dalam hal kegiatan usahanya.

  

Gambar D.1 Koperasi Sebagai Entitas Bisnis Bersifat Society

(Sumber : Data Diolah Peneliti, 2014)

  Koperasi merupakan entitas bisnis yang bersifat kemasyarakatan (society) karena terbentuk dari kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan untuk peningkatan kesejahteraan bersama. Apabila definisi ini dibelah, maka pemaknaan koperasi secara definitif hanya sekedar nama saja. Jika koperasi melepaskan makna anggota dalam definisinya, maka koperasi akan menjadi entitas bisnis murni yang dalam praktiknya berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari kegiatan bisnis yang dijalani, sedangkan apabila koperasi melepaskan makna entitas bisnis, maka koperasi hanyalah sebuah paguyuban masyarakat yang mempunyai cita-cita kesejahteraan bersama namun tidak mempunyai konsep bisnis yang dapat dijalankan.

  Sinergi antara koperasi sebagai entitas bisnis yang bersifat kemasyarakat (society) harus dapat dipadukan secara seimbang dengan konsep entitas bisnis, sehingga jangan sampai koperasi dianggap sebagai lembaga kapitalis yang hanya berusaha meraup keuntungan dari transaksi anggota dan non-anggotanya tanpa ada pembeda antara keduanya dalam menjalankan transaksi, atau koperasi hanya sebagai panguyuban tempat masyarakat mencapai kesejahteraanya namun nihil dalam melakukan usaha yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan bisnis.

  D.2 Ekuitas Bagian Moral Koperasi Terhadap Anggota

  Koperasi merupakan lembaga bisnis yang bersifat society, dimana sebagai lembaga bisnis yang bersifat society koperasi dituntut untuk memiliki sisi moralitas terhadap anggota yang merupakan inti dasar dalam pergerakan koperasi di Indonesia. Setyobudi (2013) menyatakan bahwa makna moralitas secara filosofi bukan hanya terkait dengan agama, uang, hukum, bahasa, atau media massa, tetapi makna moralitas juga melekat pada sebuah institusi termasuk koperasi. Moral dalam koperasi sangat dijunjung tinggi karena moral koperasi juga merupakan amanat yang diberikan oleh Bung Hatta yang termaktub dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Koperasi sebagai badan usaha harus mampu mengembangkan usaha dan kelembagaan, termasuk menciptakan profit, efisiensi dan yang paling penting yaitu meningkatkan kesejahteraan anggota.

  Ekuitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sebuah kelembagaan bisnis. Dalam koperasi pun, ekuitas merupakan sarana bagi para pengurus koperasi untuk menjalankan roda usahanya. Koperasi sebagai lembaga yang bersifat “kekeluargaan” mempunyai karakteristik tersendiri dalam memahami konsepsi ekuitas itu sendiri. Seperti yang diungkapkan informan dalam penelitian ini

  “Koperasi itu berbeda dengan bahan usaha lainnya, walaupun koperasi juga dituntut untuk dapat meningkatkan profit setiap tahunnya, namun tingkat kesejahteraan anggota juga perlu diperhitungkan termasuk juga dalam hal penghimpunan modal.”

  Koperasi merupakan lembaga yang unik, walaupun dalam tujuan maupun penerapannya sama dengan lembaga bisnis lainnya yakni pencapaian profit, namun kesejahteraan anggota menjadi prioritas utama dalam menjalankan roda koperasi. Menurut informan, konsep ekuitas yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor Tahun 2012 seakan-akan melenceng dari nilai-nilai moral koperasi, seperti yang diungkapkan informan berikut ini

  “Ada beberapa pasal-pasal yang menurut saya kurang sreg apabila mau diterapkan disini (PKP-RI Provinsi Sulawesi Tengah). Untuk permasalahan penghimpunan modal misalnya, ada pasal 66 dan 67 yang mengatur tentang penghimpunan modal awal yang harus disetorkan anggota baru, lalu pasal 68 yang mengatur tentang mekanisme Sertifikat Modal Koperasi (SMK), lalu pasal 75 yang mengatur mengenai penghimpunan modal dari luar”. Pada pasal 66 dan 67, terdapat akun baru menggantikan akun simpanan wajib dan simpanan pokok dalam laporan keuangan koperasi, yakni akun setoran pokok dan sertifikat modal koperasi. Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Setyo Herianto mengungkapkan, adanya perbedaan khususnya untuk bagian permodalan koperasi, antara Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 disebabkan karena adanya upaya pernyataannya beliau mengungkapkan “.....dalam dunia keuangan, simpanan itu bukan ekuitas. Ekuitas tidak boleh dicicil seperti simpanan wajib. Kalau anggota keluar, ekuitas tidak boleh diambil. Dengan undang-undang koperasi baru (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012), jika anggota keluar konsekuensinya yang bersangkutan harus menjual Sertifikat Modal Koperasi (SMK).”

  Secara istilah simpanan dalam komponen ekuitas dalam bahasa akuntansi dianggap agak ganjil karena modal sejatinya tidak dapat dikembalikan walaupun anggota tersebut keluar dari keanggotaan koperasi seperti yang dimaksud dalam akun simpanan pokok dan modal tidak dapat dicicil oleh anggota setiap periodenya seperti yang dimaksud dalam akun simpanan wajib, sehingga itulah yang menjadi alasan mengapa pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM mengalihkanlah akun simpanan pokok ke akun setoran pokok dan akun simpanan wajib ke akun Sertifikat Modal Koperasi (SMK). (Percakapan dikutip pada media massa Warta Koperasi edisi 251, bulan terbit februari 2014).

  Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 menyatakan bahwa setoran pokok yang dibayarkan oleh anggota pada saat mengajukan permohonan sebagai anggota tidak dapat dikembalikan apabila anggota tersebut keluar. Pernyataan ini juga menurut informan akan sangat mengaburkan makna kekeluargaan dalam koperasi mengingat koperasi merupakan entitas bisnis berasaskan kekeluargaan dan mengentalkan nilai-nilai kapitalisme dalam tubuh koperasi. Sesuai dengan pernyataan informan berikut

  “Anggota merupakan keluarga dalam tubuh koperasi, sehingga, apabila anggota tersebut keluar dari koperasi, maka uang yang disetorkan harus dikembalikan kepada anggota karena bukan lagi bagian dari keluarga koperasi. seluruh kewajiban yang dahulu dipenuhi semenjak masih menjadi anggota harus dikembalikan karena koperasi seyogya-nya tidak berhak menerima dan mengelola uang yang sudah tidak menjadi keluarganya"

  Menurut informan, pemakaian akun setoran pokok didalam laporan keuangan koperasi merupakan sebuah upaya penghimpunan modal yang tidak mencerminkan asas-asas kekeluargaan dalam tubuh koperasi. Koperasi seyogyanya hanya sebagai wadah anggota dalam meningkatkan kesejahteraan ekonominya melalui penyertaan modal yang nantinya akan dikelola bersama pengurus untuk mendapatkan profit semaksimal mungkin. Koperasi diberikan mandat kepada anggota untuk mengelola uang yang disetorkan anggota, dan koperasi tidak mempunyai hak untuk memiliki modal tersebut instrumen setoran pokok juga menghilangkan hak anggota untuk memperoleh hak nya kembali apabila anggota tersebut keluar dari keanggotaan koperasi.

  Peralihan ini menurut pemerintah baik bagi koperasi karena koperasi akan memiliki instrumen modal tersendiri yang dipisahkan dengan kepemilikan anggota, sehingga koperasi diharapkan dapat tumbuh mandiri dengan modal yang dimilikinya. Namun dalam pengimplementasian cukup sulit bagi koperasi khususnya Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKP-RI) Provinsi Sulawesi Tengah untuk menerapkan secara menyeluruh dengan alasan bahwa peralihan insturmen modal koperasi dari akun simpanan pokok ke setoran pokok mengaburkan makna kekeluargaan dalam tubuh koperasi dan berpotensi menimbulkan konflik internal dalam tubuh koperasi itu sendiri.

  Pada pasal 68, terdapat akun baru yang merupakan pengganti dari akun simpanan pokok, yakni akun sertifikat modal koperasi yang karakteristik yang hampir sama dengan saham, namun hanya berbeda pada mekanisme hak suara saja dimana Sertifikat Modal Koperasi menggunakan mekanisme hak suara “one man one vote” yang menandakan bahwa jumlah hak suara pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) tidak dipengaruhi oleh jumlah sertifikat modal yang dimiliki anggota tersebut. Anggota koperasi dibolehkan membeli sertifikat modal melebihi jumlah minumum sesuai AD/ART koperasi dan tidak ada jumlah maksimal kepemilikan, artinya anggota diberi kebebasan sesuai dengan kemampuannya untuk membeli sertifikat modal tersebut, selain itu sertifikat modal tersebut juga digunakan sebagai alat penghitung Sisa Hasil Usaha (SHU), jadi semakin besar kepemilikan sertifikat modal yang dimiliki koperasi, maka semakin besar pula kesempatan anggota untuk memperoleh bagian dari SHU.

  Regulasi yang terdapat pada akun Sertifikat Modal Koperasi menurut infoman sangat tidak bermoral dan sangat berbau kapitalis karena berpotensi menciptakan suasana kepemilikan minoritas dan mayoritas, walaupun dalam kenyataannya Sertifikat Modal Koperasi tetap menggunakan mekanisme hak suara “one man one vote”, namun suasana kalangan mayoritas dan minoritas akan tersaji sangat kental dalam strutkurisasi kelembagaan koperasi itu sendiri. Seperti yang ungkapkan informan berikut

  “Jaminan one man one vote dalam Sertifikat Modal Koperasi (SMK) mungkin terlihat sempurna pada konsepnya, namun pada kenyataannya, tidak ada jaminan bahwa konsep one man one vote akan berjalan sesuai dengan konsepnya. Realita yang terjadi sekarang ialah, orang yang mempunyai kekuatan modal akan dapat mempengaruhi orang yang tidak memiliki kekuatan modal. Anggota yang memiliki jumlah Sertifikat Modal Koperasi (SMK) lebih banyak dengan anggota lain akan merasa lebih berkuasa dan lebih berhak mengatur kegiatan

  Sertifikat Modal Koperasi (SMK) dengan jumlah sedikit atau bahkan paling minimum.” Penerapan sertifikat modal koperasi sebagai instrumen baru dalam menghimpun modal koperasi terkesan bahwa koperasi nantinya akan dapat dikuasai oleh anggota yang mempunyai kekuatan modal. Selain itu, koperasi seakan-akan cenderung untuk mengejar laba sebesar-besarnya karena bisa saja adanya sebuah tuntutan atau pressure dari pihak anggota yang mempunyai sertifikat modal lebih banyak dari anggota lain. Koperasi juga terkesan akan lebih mendengarkan suara dan mementingkan kepentingan segelintir anggota, akibatnya nilai-nilai kebersamaan dalam asas kekeluargaan akan pudar digantikan dengan nilai-nilai kepemilikan segelintir orang didalam koperasi seperti yang terdapat dalam asas kapitalisme.

  Pada pasal 75, terdapat akun penyertaan modal dari luar yang dalam ketentuannya koperasi diperbolehkan menghimpun dana dari luar (pemerintah dan masyarakat umum) untuk dapat berkontribusi dalam kegiatan bisnis koperasi dengan cara menyertakan modal ke koperasi tanpa harus menjadi anggota koperasi terlebih dahulu. Menurut informan, penerapan akun tersebut hanya membuat koperasi lemah dan kehilangan kemandiriannya dan koperasi seakan-akan bisa dimasuki siapa saja dan terlibat dalam kegiatan usaha koperasi, sehingga dapat membiaskan makna koperasi itu sendiri yang awalnya dibentuk atas kekuatan anggota.

  Selain mengancam nilai-nilai kemandirian dalam tubuh koperasi, Pasal 75 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 juga menyerang poin mengenai pembagian keuntungan dan konsekuensi kerugian yang harus diterima pihak luar apabila bersedia menyertakan modal dalam koperasi. Pembagian keuntungan yang termaktub dalam

  Pasal 75 ayat 4 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 mengindikasikan bahwa Sisa Hasil Usaha (SHU) yang seharusnya dibagikan kepada anggota dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) harus rela dibagikan juga kepada pihak luar (non-anggota) karena ada kontribusi secara langsung berupa pernyertaan modal kepada koperasi, sehingga perhitungan Sisa Hasil Usaha (SHU) pun harus menyesuaikan dengan regulasi yang tercantum dalam undang-undang koperasi terbaru. Berikut pernyataan informan mengenai Pasal 75 ayat 4 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012

  “Menilik pada Pasal 75 ayat 4 Nomor 17 Tahun 2012, maka secara tidak langsung anggota koperasi juga harus bersedia membagi keuntungan kepada masyarakat atau pemerintah yang ikut turut serta dalam peryertaan modal koperasi, padahal konsep dasar dari koperasi menyatakan bahwa SHU merupakan milik anggota, dan tidak dapat Dengan diperbolehkannya koperasi menghimpun modal dari luar, akan sangat dikhawatirkan menimbulkan stigma di masyarakat bahwa koperasi bisa saja dimasuki oleh orang yang bukan anggota koperasi. Padahal konsep koperasi yang dijabarkan oleh Bung Hatta cukup jelas bahwa koperasi itu milik anggota, masyarakat hanya dapat memanfaatkan jasa-jasa yang diberikan kepada koperasi, bukan ikut turut serta dalam mendukung kegiatan usaha koperasi.

  Peryertaan modal dari luar dalam Pasal 75 sangat mirip dengan konsep perhimpunan modal dalam asas kapitalisme, bahwa setiap insan manusia bisa saja ikut serta dalam menjalankan kegiatan usaha dengan syarat harus menyertakan modal didalam perusahaan tersebut. Dalam penerapannya, mungkin saja bisa berdampak baik terhadap struktur modal koperasi karena koperasi diperbolehkan menghimpun modal dari pihak luar yang bukan anggota koperasi, tetapi apabila regulasi ini sudah dijalankan, maka akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari, seperti pemerintah dan masyarakat yang menyertakan modal koperasi didalam mengintervensi koperasi itu sendiri untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya, atau koperasi bisa saja dikuasai oleh pihak luar yang menyertakan modalnya lebih banyak daripada anggota koperasi itu sendiri.

  Sejatinya, konsepsi ekuitas dalam laporan keuangan koperasi harus mengimplementasian nilai-nilai yang terkandung pada asas kekeluargaan dibandingkan harus menerapkan nilai-nilai yang terkandung pada asas kapitalisme. Pengimplenetasian ini dapat diwujudkan dengan tetap mempertahankan akun simpanan, baik itu simpanan pokok dan simpanan wajib sebagai komponen utama pembentuk ekuitas dalam koperasi dan mengedepankan kemampuan maupun kompetensi anggota dalam upaya penghimpunan modal koperasi itu sendiri, sehingga cita-cita Bung Hatta untuk menjadikan koperasi sebagai entitas bisnis yang mampu memandirikan masyarakat Indonesia dapat terwujud dalam sebuah institusi bernama koperasi.

  D.3 Sisa Hasil Usaha Sebagai Bentuk Balas Jasa Koperasi Terhadap Anggota

  Konsepsi Sisa Hasil Usaha (SHU) hampir sama dengan konsep laba/rugi yang ada pada perusahaan-perusahaan berbasis profit lainnya. SHU yang dibagikan kepada anggota merupakan kesepakatan seluruh anggota koperasi bersama dengan dewan pengawas serta pengurus koperasi itu sendiri.

  Pembagian SHU sejatinya merupakan bentuk balas jasa koperasi terhadap bisnis koperasi, namun dalam pasal 78 menyebutkan bahwa koperasi dilarang membagikan SHU kepada Anggota yang berasal dari transaksi dengan non-anggota. Regulasi ini tentu akan membuat anggota keberatan karena tidak diperbolehkan menikmati SHU hasil dari transaksi non-anggota, seperti yang diungkapkan informan berikut ini

  “Pasal 78 ayat 2 dan 3 tidak rasional, karena menolak membagikan SHU yang berasal dari aktivitas non anggota. Padahal sebenarnya, margin keuntungan terbesar itu terdapat pada transaksi non anggota.

  Kepada anggota, koperasi harus menekan margin keuntungan serendah-rendahnya karena koperasi lebih dituntut untuk melayani anggota daripada meraup keuntungan dari anggota.”

  Selain pada pasal 78 ayat 2 dan 3, informan juga mengatakan ketidaksetujuannya menerapkan regulasi ini karena SHU dibagi atas besaran sertifikat modal yang dimiliki, sehingga anggota yang hanya memiliki SMK dengan jumlah minimum memiliki peluang yang cukup kecil untuk memperoleh bagian SHU, karena harus rela berbagi kepada anggota yang memiliki sertifikat modal terbanyak, seperti yang diungkapkan informan berikut

  “Masuknya instrumen Sertifikat Modal Koperasi (SMK) didalam perhitungan SHU mengaburkan makna bahwa setiap anggota mempunyai hak yang sama dalam memperoleh keuntungan. Sesuai dengan mekanisme saham, bahwa anggota yang mempunyai SMK lebih banyak dapat memperoleh SHU lebih besar juga. Pembagian SHU bukan lagi atas dasar partisipasi anggota dalam melakukan transaksi bersama koperasi. Bukankah ini sesuatu hal yang rancu apabila disandingkan dengan asas kekeluargaan dalam koperasi itu sendiri?”

  Pengimplementasian pasal 78 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 membuat koperasi terkesan membagikan Sisa Hasil Usaha (SHU) atas dasar penyertaan modal yang diberikan anggota kepada koperasi, sama seperti perusahaan-perusahaan kapitalistik lainnya yang memberikan bagian deviden lebih besar kepada individu yang dianggap mayoritas dalam kepemilikan suatu entitas. Praktik-praktik seperti ini hanya membuat kesempatan anggota yang hanya memiliki Sertifikat Modal Koperasi (SMK) dengan jumlah minimum memiliki peluang yang cukup kecil untuk memperoleh bagian Sisa Hasil Usaha (SHU), karena harus rela berbagi kepada anggota yang memiliki sertifikat modal terbanyak.

  Konsepsi Sisa Hasil Usaha (SHU) didalam koperasi harus benar-benar dimaknai sebagai balas jasa koperasi terhadap anggota yang sudah ikut serta dalam kegiatan operasional koperasi selama satu periode kepengurusan, bukan sebagai kewajiban dalam perusahaan-perusahaan bersifat kapitalistik. Patokan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada anggota seharusnya didasari atas besarnya jasa anggota yang telah bersedia menjadi pemilik sekaligus pelanggan didalam koperasi tersebut, bukan dilihat dari seberapa besar penyertaan modal anggota didalam koperasi tersebut. Peran aktif anggota sangat dituntut dalam setiap kegiatan operasional koperasi, sehingga terciptalah suatu konsep dimana anggota tidak hanya saja sebagai pemilik (membayar kewajiban berupa penyetoran simpanan ke koperasi), namun juga anggota sebagai pelanggan (melakukan transaksi usaha dalam koperasi) didalam koperasi tersebut.

  D.4 Wajah Akuntansi Perkoperasian : Antara Kekeluargaan Dan Kapitalisme

  Pandangan informan mengenai lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dianggap informan sebagai “pelecehan” nama koperasi secara keseluruhan karena berusaha membawa koperasi kedalam jurang kapitalisme yang sarat akan persaingan kepemilikan dan kekuasaan atas keuntungan antar individu. Berikut peryataan informan mengenai lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012

  “Walaupun sangat jelas dalam pasal 3 UU No. 17 Tahun 2012 menyatakan bahwa koperasi berdasarkan atas asas kekeluargaan, namun praktiknya sangat banyak mengandung nilai-nilai kapitalistik didalamnya.”

  Nilai-nilai kapitalistik yang dimaksud informan adalah adanya peluang yang diberikan kepada anggota koperasi untuk dapat menguasai seluruh kekayaaan koperasi dengan cara penyertaan modal tanpa adanya jumlah maksimum kepemilikan yang ditetapkan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 memutuskan hubungan antara koperasi dan anggota dalam hal ekuitas dengan adanya akun setoran didalam komponen pembentuk ekuitas koperasi. Pengimplementasian akun setoran menyebabkan seluruh simpanan yang berada pada komponen ekuitas menjadi milik koperasi secara utuh (karena tidak dapat dikembalikan kepada anggota walaupun anggota tersebut keluar dari keanggotaan koperasi). Hal ini membuktikan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 menghilangkan makna “anggota sebagai modal” didalam laporan keuangan koperasi itu sendiri. Selain itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 mengizinkan untuk anggota yang mempunyai modal besar untuk memperoleh jumlah Sisa Hasil Usaha (SHU) yang besar juga yang ditandai dengan adanya akun Sertifikat Modal Koperasi (SMK) didalam komponen pembentuk ekuitas yang jumlah kepemilikannya tidak dibatasi, sehingga koperasi terkesan seperti sebuah entitas bisnis yang bersifat sebesar-besarnya.

  Seluruh perubahan-perubahan yang dibawa dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 ini hanya akan membuat laporan keuangan koperasi terkesan sama dengan laporan keuangan perusahaan yang bersifat kapitalistik. Laporan keuangan koperasi yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 ini memberikan celah koperasi untuk masuk kedalam praktik kapitalisme yang sudah jelas hanya membuat rakyat Indonesia menderita bertahun-tahun lamanya karena ketidakberdayaannya menghadapi para segolongan individu yang memiliki kekuatan modal dalam sebuah entitas bisnis.

  Pergeseran perspektif dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 yang membuat laporan keuangan koperasi yang lebih memperlihatkan asas kapitalisme-nya secara berangsung-angsur juga dapat merubah mindset dari kalangan non-koperasi bahwa koperasi sama saja dengan entitas bisnis lain yang memprioritaskan keuntungan dan kepentingan para pemilik modal, padahal dalam koperasi jelas bahwa tujuan utama didirikannya koperasi adalah untuk kesejahteraan anggota secara keseluruhan, bukan kesejahteraan segelintir anggota yang mempunyai kekuatan modal didalam koperasi.

  Sudah menjadi kewajiban koperasi untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam asas kekeluargaan didalam laporan keuangan koperasi, karena nilai- nilai tersebut merupakan representatif dari budaya luhur bangsa Indonesia yang dikembangkan oleh proklamator koperasi Indonesia yakni Bung Hatta dan dituangkan kedalam UUD 1945 Pasal 33. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah nilai tenggang rasa dan kesetaraan hak dalam menerima suprlus hasil usaha, nilai gotong royong dan kebersamaan anggota dalam menghimpun modal, pelayanan sepenuh hati koperasi kepada anggota (Serviced Oriented), dan kepemilikan bersama dalam ekuitas koperasi.

  Pengimplementasian asas kekeluargaan kedalam laporan keuangan mencerminkan bahwa koperasi berorientasi kepada kesetaraan pelayanan kebutuhan anggota, bukan pemenuhan hajat sebagian anggota seperti yang dicita-citakan dalam asas kapitalisme, dan menjadi pembeda yang sangat jelas antara praktik yang dijalankan koperasi dengan praktik yang terjadi di korporasi yang bersifat kapitalistik, sehingga tidak ada lagi stigma yang muncul di tengah masyarakat bahwa koperasi dalam hal kegiatan operasioal dan permodalannya sama saja dengan korporasi yang bersifat kapitalis.

  

E. PENUTUP

E.1 Kesimpulan

  Terdapat tiga akun baru dalam UU No. 17 Tahun 2012 yang menurut informan apabila di implementasikan sepenuhnya kedalam laporan keuangan koperasi, maka akan memicu tumbuhnya praktik-praktik kapitalisme didalamnya.

  Tiga akun terbebut yaitu pertama, akun setoran pokok yang dalam definisinya memisahkan hubungan antara anggota dan koperasi dalam strukturisasi ekuitas, sehingga adanya suatu pengklasifikasian bahwa ekuitas dalam koperasi terdiri atas dua, yakni ekuitas yang dimiliki koperasi secara sepenuhnya dan ekuitas yang dimiliki oleh anggota. Kedua akun Sertifikat Modal Koperasi (SMK) yang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tidak diatur batas maksimalnya dalam hal kepemilikan dan dijadikan sebagai dasar pehitungan SHU, dan ketiga, akun modal pernyertaan dari luar yang membuat siapa saja dapat ikut kedalam kegiatan bisnis koperasi tanpa harus menjadi anggota koperasi terlebih dahulu.

  Sebagai entitas bisnis yang mempunyai sifat society, sudah menjadi keharusan bahwa koperasi harus menerapkan nilai-nilai luhur dalam asas kekeluargaan disegala lini koperasi, termasuk dalam penyusunan laporan keuangan koperasi itu sendiri. Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dalam laporan keuangan akan mencerminkan bahwa koperasi merupakan entitas bisnis yang membuang sifat

  

society -nya dan memperjelas praktik kapitalisme didalamnya, padahal unsur society

  merupakan ciri khas dan sekaligus pembeda yang jelas antara koperasi dengan entitas bisnis yang bersifat kapitalistik.

  E.2 Saran-saran

  Untuk mengubah paradigma kapitalis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012, diperlukan suatu usaha pelurusan makna dari tiap akun-akun tersebut. Berikut saran- saran yang ditawarkan peneliti, pertama, sebaiknya koperasi tetap mempertahankan akun simpanan pokok dan wajib sebagai instrumen pembentuk ekuitas, kedua, akun Sertifikat Modal Koperasi (SMK) sebaiknya tidak jadikan sebagai alat koperasi untuk membagikan SHU-nya kepada anggota, ketiga, penerapan akun modal pernyertaan dari pihak luar sebaiknya tidak diterapkan kedalam sebuah laporan keuangan koperasi, sebaiknya modal yang disertakan pihak luar ke koperasi dianggap sebagai koperasi sebagai akun dana hibah atau donasi, sehingga koperasi tidak mempunyai kewajiban

  Pada akhirnya, dengan dilakukan pelurusan makna dari per tiap akun yang dianggap penuh dengan praktik kapitalis tersebut, laporan keuangan koperasi dapat mencerminkan bahwa koperasi bukan hanya saja berperan sebagai entitas bisnis, melainkan juga berperan sebagai entitas yang bersifat kemasyarakatan (society) dan tetap mempertahankan asas kekeluargaan dalam setiap kegiatan operasionalnya.

F. Daftar Pustaka Ariffin, Ramudi, 2013. Koperasi Sebagai Perusahaan. Institut Koperasi Indonesia Press.

  Bandung Basrowi dan Sudikin, 2002. Metode Penelitian Kualitattif Perspektfif Mikro. Penerbit Insan

  Cendekia: Surabaya Herianto, Husain, 2012. Kapitalisme : Sebuah Modus Eksistensi. Sebuah Artikel Ilmiah Ikatan Akuntansi Indonesia, 2009, Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik , Per 1 Oktober, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan.

  Ikatan Akuntansi Indonesia, 2011, Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) Nomor 8, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan. Laporan Pertanggungjawaban Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKP-RI) Provinsi

  Sulawesi Tengah Tahun Buku 2012 Laporan Pertanggungjawaban Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKP-RI) Provinsi

  Sulawesi Tengah Tahun Buku 2013 Miles & Huberman, 2000, Qualitative Data Analysis – An Expanded Source Book, Sage

  Publications, Inc, Thousands Oaks, 2nd Ed. http://books.google.com/books?id=U4lU_- wJ5QEC&dq=Miles,+M+and+A.+Huberman+2000,+Qualitative+Data+AnalysisE2%8 0%93+An+Expanded+Source+Book&printsec=frontcover&source=bn&hl=en&ei=9SQ gS8GPF9GGkAWrhs3kCg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=4&ved=0CBcQ

  6AEwAw#v=on epage&q=&f=false , akses 27 November 2013 Moleong, Lexy J, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

  Pedoman Akuntansi Perkoperasian Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah 04/Per./K.UKM/VII/2012.

  Setyobudi, Agustitin, 2013. Moral Koperasi Sebagai Good Corporate Governance (GCG).

  Sebuah Artikel Ilmiah. Subarkah, Ade, 2010. Kapitalisme, Sosialisme, dan Kemiskinan (Perspektif Materialisme Karl Marx dan Idealisme Max Weber) . Artikel Ilmiah.

  Suwandi, Ima, 1981. “Koperasi (Organisasi Ekonomi Berwatak Sosial)” Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012.

  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Warta Koperasi edisi 251, pada rubrik wawancara “Koperasi Sebagai Badan Hukum, Bukan

  Izin Usaha” dengan narasumber bapak Setyo Herianto (Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM), bulan terbit februari 2014.