MENGULAS ARAH PENDIDIKAN AKUNTANSI di MASA DEPAN TJIPTOHADI SAWARJUWONO

  

MENGULAS ARAH PENDIDIKAN AKUNTANSI di MASA DEPAN

   TJIPTOHADI SAWARJUWONO

   ELIA MUSTIKASARI

Abstract

This study evaluates the future direction of accounting educational systems.

  

It is considered that in the recent decade, the higher institutions which

produce the accountants can reevaluate their curriculum. Indeed, the

curriculum of the accounting educational systems should comply with the

accounting educational standards as well as the users’ needs.

In conducting the research, this study employed an interpretive approach.

The informants come from various institutions, in this case, the accounting

departments of some universities, the users, and also the Indonesian

Accountants Association. Despite, related data regarding accounting

educational programs in overseas are also done. All data are interpreted

using thematic analysis (Braun dan Clarke, 2006). The result shows that

there are four directions of professional accountants. The first is a need to

particular competency. The second is a need to give basic accounting

educational knowledge. The third is a need of the syariah accounting. The

last is a need of practical knowledge.

  Keywords: accounting educational direction, interpretive approach.

  1 Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec, Ph.D, CPA, CA, Ak, Profesor akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas 2 Airlangga, email: tjiptohadi_unair@yahoo.co.uk .

  PENDAHULUAN

  Proses pendidikan akuntansi yang berjalan pada jenjang strata 1, pada semua PTN dan PTS seakan-akan mengarah pada proses penciptaan sarjana akuntan dengan spesialisasi mengarah pada profesi auditor eksternal atau Akuntan Publik (AP). Hal ini masih sangat terasa pada beberapa universitas kenamaan di Indonesia, antara lain, Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada. Padahal, untuk menjadi profesional auditor eksternal atau AP telah ada jenjang pendidikan spesifik, yaitu Pendidikan Profesi Akuntan (PPA). Di Indonesia, mata kuliah Auditing masih mempunyai porsi yang cukup banyak. Dari evaluasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa arah pendidikan sarjana akuntan lebih mengutamaka pada pendidikan yang mencetak AP.

  Penekanan pendidikan sarjana akuntan kearah penciptaan AP sangat bertolak belakang dengan pemikiran Sawarjuwono. Berdasarkan evaluasi intelektualnya, Sawarjuwono (2004a; 2004b; 2008 dan 2012) menyatakan bahwa jurusan atau departemen akuntansi perlu mengembangkan kurikulumnya, sehingga lulusan akuntan bukan hanya menjadi AP, tetapi dapat memenuhi lapangan kerja yang meliputi Akuntan Manajemen, Akuntan Pendidik, Akuntan Intern, Internal Audit, dan Akuntan Sektor Publik, Akuntan Pasar Modal, Akuntan System Designer, dan Konsultan Pajak, bahkan saat ini sangat diperlukan adanya Akuntan Syariah.

  Pemikiran demikian sejalan dengan perkembangan organisasi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Pada awal berdirinya, pada tahun 1957, organisasi IAI hanya satu. Tetapi sejalan dengan perkembangan prakteknya, organisasi ini berkembang mulai dari terbentuknya kompartemen, dalam hal ini dimulai dari terbentuknya Kompartemen Akuntan Publik (IAI- KAP), diikuti Kompartemen Akuntan Pendidik (IAI-KAPd), Kompartemen Akuntan Sektor Publik (IAI-KSAP) dan seterusnya, sehingga saat ini muncul Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) serta Ikatan Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI).

  Selain itu, Sawarjuwono dan Kalanjati (2011), menemukan bahwa jumlah sarjana akuntan se Indonesia yang menjadi AP tidak lebih dari 0,0004% dibandingkan jumlah lulusan sarjana akuntan. Artinya, sangat sedikit sarjana akuntan yang meilih profesinya menjadi AP. Mereka lebih banyak yang memilih berprofesi sebagai akuntan selain AP. Maka sudah saatnya para pengelolan Pendidikan Tinggi yang mempunyai pendidikan serta keharusan PTN-PTS menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi (lihat Kepmendiknas nomor 045/U/2002 perihal Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi dan Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi, Dir Akademik, Dirjen Dikti, 2008), maka semua tenaga pendidikan akuntansi sudah saatnya untuk mempertimbangkan kembali masalah kurikulum dan arah tujuan pendidikan sarjana akuntan (reconsider)

  Rumusan Masalah

  Mencari dan mengevaluasi kembali arah pendidikan sarjana akuntan. Apakah PTN dan PTS masih harus meneruskan kurikulum pendidikan akuntan yang lebih berat kearah memproduksi akuntan publik, ataukah PTN dan PTS akan menyesuaikan kurikulum pendidikannya sehingga lebih dapat memenuhi kebutuhan anak didik serta kebutuhan para pemakai sarjana lulusan akuntan.

  Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini akan dijadikan dasar rujukan untuk memberi masukan kepada seluruh jurusan (departemen) akuntansi pada perguruan tinggi se Indonesia, apakah mereka harus merubah dan menyesuaikan kurikulum sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan nyata masyarakat pemakai sarjana akuntan

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan literature tambahan bagi penelitian berikutnya sehingga bisa memberikan tulisan yang lebih sempurna dan diharapkan dapat memberi masukan kepada seluruh jurusan (departemen) akuntansi pada perguruan tinggi se-Indonesia serta lembaga lain yang juga konsern dengan pendidikan akuntansi.

TINJAUAN PUSTAKA

  Sebagai tenaga pendidik (dosen yang profesional), kita tidak boleh hanya sekedar melakukan proses pembelajaran sedemikian rupa, sehingga PTN-PTS menghasilkan ijasah sarjana. Tetapi, sebagai tenaga dosen yang profesional, kita harus melakukan proses pendidikan yang akan menghasilkan sarjana akuntan yang kompeten dan dapat memenuhi kebutuhan praktis para pelaku bisnis. Seperti dikatakan oleh Halim (2012), kebutuhan pelaku bisnis selalu berubah dan berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi, kompleksitas bisnis, tuntutan persaingan, globalisai, serta berbagai Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi, oleh Direktur Akademik, Dirjen Dikti, 2008. Dalam salah satu penjelasannya dinyatakan bahwa lulusan pendidikan harus diserap dan diakui oleh dunia kerja. Untuk itu maka kurikulum harus selalu diubah, disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat pengguna, sehingga PTN – PTS mampu menghasilkan sarjana akuntan yang kompeten dan relevan dengan perubahan kebutuhan yang sangat cepat. Oleh karena itu, PTN – PTS harus cepat beradaptasi dan kreatif menghadapi tuntutan perubahan.

  Bentuk adaptasi dan kreativitas pendidikan akan nampak dalam bentuk perubahan kurikulumnya. Kurikulum, seperti didefinisikan dalam Kepmendiknas No. 232/U/2000 adalah sebagai berikut :

  ”Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar- mengajar di perguruan tinggi.” Dengan demikian kurikulum adalah sebuah program yang disusun dan dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Jadi kurikulum bisa diartikan sebuah program yang berupa rincian mata kuliah, silabus, rancangan pembelajaran, serta sistem evaluasi keberhasilan proses belajar mengajar. Dengan demikian kurikulum harus dapat memenuhi perkembangan kebutuhan para penggunanya (lihat Brand, 2012). Lulusan sarjana akuntan harus memiliki kompetensi khusus.

  Bila kita mengkaji peraturan yang ada, maka ide perubahan kurikulum itu sangat tidak bertentangan, bahkan merupakan sebuah keharusan. Peraturan yang relevan dengan perubahan kurikulum di antaranya tertuang pada Pasal 2 ayat 2 kepmendinas 232/U/2000 berbunyi:

  “Pendidikan profesional bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan profesional dalam menerapkan, mengembangkan, dan menyebarluaskan teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional”.

  Dalam pasal berikutnya, yaitu pasal 3 ayat 2 b disebutkan bahwa pendidikan sarjana “… mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama”;

  Semua ide yang terkait dengan penciptaan sarjana haruslah memenuhi kaidah yang tersirat dalam peraturan tersebut di atas. Agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pengguna sarjana akuntan, peraturan yang ada juga mewadahinya. Artinya pengelola PTN dan PTS tidak dilarang melakukan perubahan dan penyesuaian kurikulum.

  Dengan mempertimbangkan penjelasan tersebut di atas, maka kurikulum dapat dipahami sebagai sebuah kebijakan manajemen PTN dan PTS untuk menentukan arah pendidikannya dalam upaya membentuk hasil luaran pendidikannya. Selain itu, agar hasil lulusan selalu dapat memenuhi kebutuhan para pengguna, tuntutan perkembangan bisnis yang kompleks dan teknologi, serta mampu mengikuti perubahan arah global, maka kurikulum harus selalu disesuaikan secara periodik

METODE PENELITIAN

  Penelitian ini akan berupaya mengungkap berbagai kebutuhan sarjana akuntan yang sesuai dengan perkembangan kemajuan bisnis. Untuk itu maka salah satu cara yang tepat adalah menerapkan metode (pendekatan) interpretive (Ahrens, 2008; Ahrens dkk 2008; Bantz, 2008; Gubrium dan Holstein, 2000; Prasad, 2002; Kasper dkk 2010; Sundin and Katleen. 2008; dan Scapens, 2008).

  Mengikuti cara berpikir mereka, maka metode interpretive mengacu kepada pengertian bahwa peneliti akan mencoba mamahami dan memaknai setiap penjelasan dari para informan, serta suasana dan sifat (nature of) pendidikan, bisnis dan perubahan perkembangan yang terjadi, serta proses pendidikan yang sedang berjalan. Dengan metode interpretive, akan dapat menghasilkan teori, yang semuanya ini akan berujung pada kebutuhan pembahasan kurikulum.

  Pemilihan pendekatan ini karena pertimbangan kesesuaian antara rumusan masalah yang diajukan dengan cara memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut (lihat pendidik, meliputi beberapa PTN dan PTS, baik yang berada di Surabaya maupun Semarang. Selain itu, adalah para pemakai sarjana akuntan, terdiri dari industri manufaktur, industri jasa rumah sakit maupun jasa keuangan, pasar modal syariah, kelompok akuntan Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang tergabung pada Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

  Pengumpulan data dilakukan dengan cara indepth interview (Boyce dan Neale, 2006) dan focus group discussion (FGD) (Bungin, 2008). Hal ini dilakukan karena peneliti perlu mendengarkan berbagai pendapat yang terjadi pada sekelompok informan, meski mereka berasal dari satu instansi. Selain itu, juga dilakukan browsing dan dokumentasi data terkait dengan perkembangan pendidikan akuntansi di berbagai negara maju serta berbagai peraturan terkait dengan pendidikan akuntan di Indonesia.

  Kemudian data berupa dokumen, hasil wawancara dan FGD interpretasi dilakukan dengan cara interpretive, khususnya dengan menerapkan thematic analysis Braun dan Clarke (2006) (lihat pula Thomas, 2000; Beck, 2003; Namey dkk, 2007, dan Gieseking, 2013), serta dikaitkan dengan mempertimbangkan teori yang ada serta pengetahuan peneliti yang relevan dengan proses pembelajaran. Proses interprestasi dilakukan secara content analysis (lihat Mayring, 2000; Zhang Yan dan Wildemuth, 2006 ; Namey dkk, 2007; Elo dan Kynga, 2008) yaitu dengan cara mempelajari inti penjelasan argumen yang diberikan oleh setiap informan, dikaitkan dengan kurikulum dan silabi yang seharusnya bagi setiap konsentrasi program akuntansi.

HASIL PENELITIAN

  Pada prinsipnya, terdapat dua pendapat tentang arah pendidikan akuntan, yaitu di satu pihak ada yang menghendaki bahwa pendidikan akuntan harus dilakukan spesialisasi atau konsentrasi sesuai dengan perubahan kebutuhan pelaku bisnis. Di lain sisi ada yang berpendapat bahwa pendidikan akuntan, pada tataran S 1, cukup diberikan penguasaan kompetensi dasar saja. Pembentukan spesialisasi dapat diberikan pada jenjang pendidikan lanjutan, termasuk pendidikan profesi, pemberian gelar Chartered

  

Accountant (CA), ataupun Certified Public Accountant (CPA). Pendapat kelompok

pertama dapat diikuti dari beberapa cuplikan wawancara seperti di bawah ini.

  1)

Arah Pendidikan Akuntansi yang Menggambarkan Perlunya Spesialisasi yang dalam prakteknya sudah memerlukan keahlian spesifik, misalnya organisasi pemeriksa (auditor internal), bagian akuntansi organisasi bisnis, BPKP, perbankan, dan para praktisi pasar modal. Di antaranya mempunyai argumen sebagai berikut:

  Salah seorang pimpinan Rumah Sakit Port Health Center, Surabaya, mengatakan:

  “Dengan sedikit tapi banyak, atau banyak tapi sedikit?. Kalau saya lebih baik sedikit tapi banyak, daripada banyak tapi mung kulitane thok. Saya lebih baik ya sudah …, disuruh milih saja. Bahwa keluar nanti dia bekerja di luar pendidikannya dia, itu risikonya dia karena di awal dia sudah memilih”.

  Senada dengan pernyataan di atas, wawancara dengan Manajer Operasional Bank Syariah Mandiri (BSM), KCP Jemur Handayani, menyiratkan makna yang sama. Dia mengatakan sebagai berikut:

  “… Jadi begini …. Sekarang di kita begitu lulus dari background apa saja nanti kita didik semua tetapi itu nggak efisien karena kita mendidik dari 0 lagi. … Jadi kita seragamkan. Jadi sangat basic sekali. Otomatis ilmu-ilmu yang dari kampus diabaikan semua dan itu nggak efisien. Tapi kalau nggak seperti itu, mengerjakan hal yang basic pun nggak bisa meskipun pendidikannya ekonomi. Mungkin ada yang perlu diperbaiki dari sistem pendidikan kita...”. “Jadi begini Pak titik temunya. Kalau tadi kata Pak Tjip kalau mahasiswa dididik terlalu spesifik apa iya nanti dia kerjanya in line. Kalau saya melihat raw materialnya. Kalau pinter –pinter nanti kita didik hasilnya akan bagus. Sebenarnya itu tidak efisien. Kalau sudah ada yang bagus dan in line, ya kita ambil itu saja.”

  Penjelasan yang identik diperoleh pula dari Kaprodi S1 Akuntansi UPN. Di antara penjelasannya adalah sebagai berikut: “... Kalau menurut saya, saya lebih condong pada permintaan end user yaitu

  lulusan akuntansi dalam treatment harus mumpuni. Maka lebih baik difokuskan sekarang. Hal-hal yang bersifat mendukung tapi tidak relevan sebaiknya dihilangkan.”

  Demikian pula diungkapkan oleh seorang dosen S1 Akuntansi UPN. Dia mengungkapkan seperti di bawah ini.

  “... Karena kita akan bertanggung jawab terhadap lulusannya nanti apakah mau seperti permen nano-nano rasanya rame. Ataukah kita mau bertanggung jawab terhadap visi-misi kita. Harus kita petakan kemarin kompetensi-kompetensinya.

Saya rasa kita harus jujur bahwa kita masih membutuhkan pembenahan”

“Kalau memang KKNI itu nanti akan berlaku. Seharusnya kita sudah melangkah meskipun sedikit tapi perlu bidang yang lebih luas. Seperti dulu di kedokteran itu tegas, dulu THT itu sekarang dipecah lagi. Ahli telinga saja, hidung saja, tenggorokan saja. kalau kita ingin menghasilkan seorang yang punya kompetensi di bidang tangan, maka bukan bagian tentang kaki yang kita pelajari...Akan sangat ironis jika sebuah prodi menghasilkan lulusan yang tidak sesuai dengan bidangnya lagi. Dimanakah moril kita.”

  Maknanya, yaitu andaikan seorang sarjana akuntan sudah diberikan pendidikan akuntansi yang lebih terarah pada pengetahuan atau kompetensi tertentu (spesialis), maka dalam prakteknya, dia tidak perlu belajar lagi dari mulai awal.

2) Arah Pendidikan Akuntansi Bersifat Kompetensi Dasar

  Sebaliknya, dari pengalaman para pemakai sarjana akuntan, diantaranya ada yang mengatakan pendidikan spesifik sangat membantu. Namun demikian pengetahuan dasar yang menekankan kepada kemampuan analitis seorang sarjana akan membuatnya mampu beradaptasi. Dengan lain perkataan, pendidikan apapun, harus menekankan pada penciptaan seseorang sarjana akuntan agar mempunyai kemampuan menganalisa yang bagus. Dengan kemampuan demikian, seorang sarjana akuntan akan mampu menyesuaikan kebutuhan kerja dan akan selalu belajar untuk memenuhi kebutuhan praktis. Andai diberikan pelatihan khusus di tempat kerja, dia akan mampu menyerap dengan cepat. Dengan demikian, pendidikan spesialis tidak terlalu diperlukan.

  Hal demikian dikemukakan, diantaranya oleh Branch Manager Bank Muamalat, Surabaya. Pemikiran di atas disarikan dari pernyataannya sebagai berikut:

  “Kelemahan teman-teman lulusan S1 ekonomi … itu pemahaman teori disisi

  kita begitu masuk sudah siap pakai. Masih butuh training, masih butuh proses lagi. Kemudian yang kedua begitu mengarah ke finance, itu lebih blank. Masih kurang jauh. Kalau kita bicara makro ekonomi di Studi pembangunan, kita kan juga butuh analis … “.

  “Mata pelajaran akuntansi itu hanya 1,5 bulan. Itu orang teknik, orang pertanian, disiplin apa pun harus sudah clear. Kemudian kita menginjak ke materi yang lain. Tapi basic akuntansi itu 1,5 bulan harus menguasai karena ini adalah basic sebelum kita ke finance. Yang menarik waktu itu 1,5 bulan kan pendek waktunya. Itu belum termasuk magang sama ujian. Itu orang teknik, pertanian dan disiplin lain harus mengerti akuntansi. Nah, cara mengajarnya dibalik. Kalau dulu kita kuliah kita belajar mulai transaksi, jurnal sampai ke laporan keuangan. Tapi pada saat pendidikan itu dibalik. Munculnya neraca itu dari mana. Ditelusuri sampai ke jurnal. Itu sangat efektif, 1 bulan selesai. Yang kita butuhkan itu dua-duanya. Finance dan accounting tidak bisa dipisahkan”.

  Pernyataan demikian dapat dimaknai seperti uraian pada paragraf sebelumnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Divisi Internal Audit, PT Ajinomoto. Dia mengatakan bahwa pengetahuan akuntansi yang sempit itu hanya diperlukan pada level pekerjaan tertentu, tetapi semakin tinggi posisi seseorang di organisasi pekerjaan, maka yang diperlukan adalah pengetahuan yang lebih luas.

  “ … kalau sekarang kamu berada di bagian operasional suatu saat kamu akan berada di jabatan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Mau nggak mau kamu harus menguasai semuanya tidak hanya bidang akuntansi. Kesempatan masuk kamu sekarang pada bidang lain. Tetapi ketika nanti kamu harus membawahi bidang akuntansi kamu sudah mempunyai nilai tambah”. “ … Jadi kita selain mendalami materi akuntansi, kita juga harus mendalami materi umum. Karena mau nggak mau itu juga diperlukan”.

  Senada dengan pernyataan di atas, salah seorang dosen dari Ubaya menyatakan secara lebih lugas. Dia berpendapat bahwa pendidikan akuntansi harus memberikan Akuntansi Keuangan, dan Sistem. Namun demikian, pendidikan di Ubaya tidak mengarahkan lulusannya menjadi seorang akuntan publik. Hal demikian tersirat, baik dari pendapat dosen tersebut maupun dari evaluasi dokumen. Dosen yang bersangkutan tadi menambahkan:

  “ …. Setelah melalui pertimbangan yang matang, maka kami memilih akhirnya untuk level S1 karena S1 ini dia arahnya masih bisa kemana-mana. Artinya kadang-kadang kalau menjadi anak S1 itu nanti mau menjadi apa atau kerja dimana masih ngglambyar makanya untuk S1 kita buat general dulu. Tapi dengan konsep yang kuat baik dari sisi AK, AM, sistem. Baru nanti kalau mau lanjut bisa ke profesi atau mungkin bisa ke level S2. Itu sudah mulai terspesialisasi karena sesuai dengan harapan kalau sudah di level profesi atau S2 akan lebih terbentuk. Karena dia sudah punya pengalaman kerja dsb. Jadi dia lebih tahu mau spesialisasi dimana”.

  Sejalan dengan pemikiran demikian, dosen Ubaya lainnya, menambahkan:

  “ … Kalau menurut saya secara dasar yang diperoleh dari S1 akuntansi itu ada 5 Pak. Akuntansi keuangan, akuntansi manajemen, sistem, audit dan pajak. Menurut saya ada 5 dan tidak ada yang lebih besar. Dan itu juga sudah sesuai dengan pandangan kalau kita terjun ke pasar. Kalau kita ke bisnis, maka orang akan melihat akuntansi itu harus bisa pajak, ngaudit, juga harus bisa memperbaiki sistem. Itu ada 5. Sedangkan kalau ada yang harus ditambahkan itu pengetahuan bisnis seperti manajemen keuangan, manajemen pemasaran, manajemen sumber daya manusia kalau di sebuah perusahaan. Tujuannya supaya informasi yang kita sediakan bisa terpakai oleh user. …”.

  Pemikiran bahwa pendidikan yang bersifat khusus atau spesialisasi sebaiknya diberikan pada program pendidikan tingkat lanjutan juga diungkapkan oleh Kepala Departemen Akuntansi, Universitas Airlangga. Menurutnya, pendidikan spesialisasi dapat dilakukan setelah seseorang lulus dari pendidikan yang bersifat dasar, yaitu sarjana akuntan. Maka pada tataran pendidikan pascasarjana, seseorang dapat mengambil spesialisasi akuntan atau mendalami pendidikan profesi, baik menjadi

  Chartered Accountant (CA) atau menjadi Certified Public Accountant (CPA).

  Dalam hal ini, dia mengatakan:

  “ … Kalau kebutuhan pasar masih timpang seperti ini. Mungkin kita belum perlu konsentrasi”.

  “ … Nah, kalau kita taat azas bahwa program studi akuntansi itu adalah program studi profesi maka untuk jenjang S1 itu general saja Pak. Seperti fakultas kedokteran. Kalau lulus ya sarjana kedokteran. Seperti kita kalau lulus ya sarjana akuntansi. Kemudian nanti kalau kita ke profesi ya ambil gelar profesi. Bisa CA, bisa akuntan… “. “ … Setelah itu Pak, seharusnya lhoo, karena ini banyak regulator. Setelah dapat gelar akuntan seperti dulu, kita ujian CPA. Berarti jalurnya ke akuntan publik. Gelarnya CMA, ke akuntan manajemen. Kemudian mengambil SAS, sertifikasi akuntan syariah. Monggo.. artinya spesialisasi itu setelah lulus S1. Kalau menurut saya. Artinya bahwa pada jenjang S1 itu tidak perlu untuk program studi profesi itu sudah kita arahkan ke spesialis-spesialis”.

  Berbagai pendapat di atas, dapat dimaknai sebagai berikut. Pendidikan sarjana akuntansi cukup memberikan pendidikan dasar yang memenuhi persyaratan seseorang mempunyai pengetahuan yang terkait dengan persayaratan seorang sarjana akuntan.

3) Arah Pendidikan yang Menggambarkan Kebutuhan Akuntan Syariah

  Dari wawancara dan FGD yang dilakukan, dapat diserap adanya kebutuhan penyiapan mendesak guna menciptakan tenaga akuntan khusus di bidang syariah. Perkembangan bisnis syariah menuntut tersedianya tenaga ahli dengan beragam kompetensi, diantaranya akuntan syariah.

  Penjelasan pertama diperoleh dari salah seorang praktisi pasar modal syariah. Informan tersebut menegaskan bahwa akuntan syariah itu sangat diperlukan. Oleh karena itu, program pendidikan akuntansi harus segera menyiapkan pendidikan yang menciptakan akuntan syariah. Pemikiran demikian diperoleh dari pernyataan salah seorang praktisi pasar modal syariah. Dia mengatakan:

   “ … karena perkembangan dari sebuah ilmu itu tidak bisa dibatasi dari apa

  aplikasi-aplikasi bisnis dan aplikasi-aplikasi keuangan yang praktis di dalamnya juga ada aplikasi akuntansi Pak. Nah karena ada aplikasi inilah maka dibutuhkan akuntansi syariah.

  Pengetahuan yang spesifik terkait dengan bisnis syariah memang sangat diperlukan. Kepala Cabang BMI, Surabaya menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

  “Kalau menurut saya perlu pak. Secara spesifik perlu. Finance kembali lagi pada keterkaitannya dengan syariah. Itu harus matching ... Karena structuringnya syariah beda”. “Khususnya kalau bankir itu ke finance. Finance itu bisa dipelajari siapa pun, orang teknik, orang pertanian dan sebagainya. Nah itu membutuhkan proses …” “ … yang paling pokok itu dua, finance dan acounting. Kemudian kita masuk kepada structuring. Pemahaman mengenai itu pak mudharabah, musyarakah dsb. Structuringnya masuk disitu. Sehingga setiap transaksi kita harus otomatis structuringnya seperti ini”.

  Ungkapan lain yang menyiratkan diperlukannya pendidikan terkait akuntan syariah di masa depan juga tercermin dari diskusi bersama para pemimpin Bank Syariah Mandiri (BSM). Di antaranya disampaikan oleh Kakanwil BSM Jawa Timur. Dia mengatakan:

  “Kalau saya pribadi ilmu yang kita dapat di dalam kampus theoriticalnya sih ada Pak. Seperti manajemen keuangan dll. Tapi pada saat implementasi pasti ada faktor X yang mempengaruhi. Nah itu yang harus di combain mulai sekarang …”.

  Terkait hal ini, Manajer Operasional KCP Jemursari, menambahkan, yaitu:

  “… Mungkin ada yang perlu diperbaiki dari sistem pendidikan kita. Jadi kita ada 2 hal. Operasional itu mengenai akuntansi syariah mulai dari ijaroh, mudarabah dan lain-lain itu harus dikuatin, Pak untuk akuntansinya seperti apa

  “… Jadi harapannya ketika masuk pertama ekonomi syariah. Itu levelnya sudah berbeda dengan lulusan pertanian, peternakan, teknik. Dia sudah berbeda, sudah di atasnya. Jadi waktu belajar bareng-bareng di awal dia sudah pinter duluan …”.

  Dari cuplikan beberapa pendapat di atas, dapat dimaknai dan disimpulkan sebagai berikut. Pada masa yang akan dating, pendidikan akuntan syariah akan menjadi kebutuhan. Oleh karenanya, terlepas apakah pendidikan ini dianggap spesialis atau bukan, PTN dan PTS harus sudah mengantisipasi kurikulum dan silabinya ke arah ini.

4) Arah Pendidikan yang Mengharapkan Kelengkapan Materi

  Usul terkait dengan proses pembelajaran atau teknik pengajaran juga banyak didiskusikan. Diantaranya ada yang menghendaki bahwa proses pembelajaran dengan studi kasus lebih diperbanyak. Dengan cara ini diharapkan mahasiswa akan lebih mengenal contoh praktek nyata. Selain itu juga muncul usul agar dalam pengajaran PT perlu menjadikan para praktisi menjadi dosen atau dosen tamu. Dengan cara ini mahasiswa akan mendapat pengetahuan praktis. Di samping itu juga muncul berbagai pemberian mata kuliah pilihan, agar proses pendidikan akuntan dapat menyiapkan alternatif pembelajaran. Semua itu esensinya adalah pengetahuan yang perlu diajarkan dan cara pembelajaran guna melengkapi kompetensi seorang sarjana akuntan.

  Terkait dengan hal di atas, beberapa informan mengusulkan adanya mata kuliah tambahan atau pilihan, yaitu yaitu mata kuliah yang terkait dengan akuntansi forensik, sistem informasi akuntansi, etika profesi, pemeriksaan manajemen, pemeriksaan internal, pengambilan keputusan, ilmu komunikasi, baik yang bersifat verbal maupun lesan, pengetahuan tentang perbankan, pengetahuan tentang pasar uang dan modal, pengetahuan yang luas tentang perpajakan, pengetahuan tentang enterpreneurship, manajemen risiko, dan pengembangan karakter. Bahkan ada yang menyatakan bahwa penjelasan terkait PSAK, IFRS, Standar Akuntansi Syariah, ataupun standar akuntansi lainnya sebaiknya dibahas secara khusus.

  Sebaliknya ada pula yang mengusulkan agar mata kuliah yang tidak relevan sebaiknya dihilangkan, antara lain MKDU (Ilmu Alamiah Dasar, PPKn, Filsafat dan lain-lain), bahasa Indonesia dan atau bahasa Inggris. Dasar pertimbangannya adalah,

  Terkait dengan mata kuliah tambahan atau pilihan, di antaranya terdapat pendapat pelaku hukum, seorang Konsultan Hukum. Dia berharap agar sarjana akuntan memahami keterkaitannya antara profesi akuntan dengan masalah hukum. Untuk itu, mata kuliah yang berkaitan dengan pengetahuan hukum yang relevan harus diberikan.

  Pemikiran demikian tidak melihat perlunya spesialisasi atau konsentrasi akuntan, atau andaikan ada, yang lebih diperlukan adalah mata kuliahnya. Mata kuliah yang terkait dengan hukum yang kemungkinan besar akan terjadi atau terkait dengan praktek akuntansi seharusnya diberikan.

  Berikut ini adalah beberapa hasil diskusi dan wawancara dengan para informan. Di antaranya ada yang menyatakan:

  “Saya yang paling anu.. itu pak.. sekarang dengan maraknya kasus-kasus korupsi. Itu terbongkarnya kan ketika sudah terjadi… Di perusahaan- perusahaan itu kan sebenarnya sudah ada akuntannya, laporannya juga sudah diperiksa, tetapi masih juga ada. Itu bukan menjadi kecil malah semakin besar. Tidak hanya di perusahaan tetapi juga merambah ke sektor pemerintah. Padahal sektor pemerintah sudah menggiatkan diri dengan pengawasan. Ini ketahuannya sudah terakhir-terakhir. Kecenderungannya sudah kemana-mana. Itu salahnya dimana? Di sektor pengawasannya atau di BPK nya atau karena perusahaan semakin lihai”.

  “Kalau menurut saya, masalah etika yang harus ditekankan lagi. Negara kita dikatakan sudah maju juga belum, nyatanya seperti ini”.

  Hal senada ditambahkan oleh seorang staf internal auditor dari Bank Jatim. Dia menyatakan:

  “… Yang lagi nge trend itu PSAK terkini. Jadi update terus mengikuti IFRS. Yang kedua , peraturan-peraturan terkini, itu seperti peraturan OJK. Laporan keuangan itu banyak yang komposisinya berubah. Banyak catatan atas laporan keuangan yang perlu ditambahkan. Itupun menyesuaikan dengan PSAK juga. Yang berikutnya, peraturan-peraturan dari Bank Indonesia tentang penyusunan laporan keuangan. Mulai dari laporan keuangannya, lalu rasio keuangan, KPMM, tentang permodalan, lalu tentang ATMR”. menambahkan: “Saya tambah mengenai pengetahuan tentang valas. Tambah nol putul, forex

  

segala macem. Di MM kelihatannya ada kalau perbankan internasional”

  Senada dengan usul kebutuhan akan mata kuliah, kelompok akuntan dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang tergabung pada Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), menyatakan:

  “… Sebenarnya di Indonesia sudah ada indonesia fraud examiner. Di jawa timur sendiri juga sudah berdiri. Para pengurusnya juga berasal dari rekan- rekan kita, anggota IA I…”. “… Terkait pencegahan korupsi tadi. Memungkinkan kita memilih beberapa tema yang dapat dipilih perserta, apakah untuk memberantas korupsi, PP 71 terkait standar akuntansi pemerintahan, yang dari cash basis ke accrual …”. “… Berkaitan dengan PP 71 mengenai akuntansi pemerintahan, mengingat standar keuangan sektor publik harus mengikuti standar keuangan yang ada sekarang, dan tidak kalah pentingnya pak, mengenai lembaga keuangan syariah. Hampir semua bank ada syariahnya. Minimal ada divisinya. … Mengingat lembaga pendanaan syariah sendiri sudah sangat berkembang. Itu sudah terdapat dalam standar akuntansi syariah yaitu di SAK 101-111 kalau tidak salah. Nah alangkah baiknya kalau kita juga mengundang pemateri dari lembaga syariah. Dan ini nanti dampaknya ke kurikulum Pak. Karena sekarang akuntansi syariah baru diajarkan di ekonomi syariah. Di departemen akuntansi belum ada akuntansi syariah …”.

  Intinya, banyak sekali usulan mata kuliah yang perlu ditambahkan agar para sarjana akuntan mempunyai pengetahuan dan dapat menjadi sarjana yang kompeten pada bidangnya.

  PEMBAHASAN dan KESIMPULAN

  Arah pendidikan akuntansi nampaknya akan mengerucut menjadi 3 arah, yaitu akuntansi syariah. Selain ketiga arah tersebut, terdapat sekelompok orang yang berharap agar pada proses pendidikan sarjana akuntan diberikan matakuliah tambahan yang berisi pengetahuan kompetensi. Para pemakai berharap bahwa pendidikan akuntansi harus dikenalkan beberapa pengetahuan praktis.

  Tiga arah pendidikan akuntansi tersebut, yaitu, pertama, arah yang menyatakan bahwa pendidikan akuntan perlu pada penciptaan tenaga spesialis atau adanya konsentrasi pada jurusan akuntansi. Artinya, pendidikan akuntansi diharapkan tidak hanya menciptakan tenaga sarjana yang berpengetahuan umum, tetapi sudah diarahkan dan dibekali dengan pengetahuan khusus, misalnya menjadi akuntan publik, akuntan manajemen, akuntan internal, akuntan pajak, akuntan sistem informasi, akuntan perbankan, dan atau akuntan pasar modal. Para pendukung ide demikian melihat bahwa kebutuhan para pemakai sarjana akuntan sudah berubah sesuai dengan perkembangan bisnis, sehingga kompetensi akuntan sudah berubah. Sarjana akuntan tidak lagi cukup hanya berbekal pengetahuan dasar, tetapi mereka harus mempunyai pengetahuan yang spesifik.

  Bagi yang menyatakan perlu adanya konsentrasi atau spesialisasi, mereka berargumen bahwa sarjana akuntan harus mampu memenuhi kebutuhan para pemakainya. Oleh karena pemakai sangat bervariasi, mulai dari industri manufaktur, industri jasa, dan perdagangan, maka pendidikan akuntansi pada jenjang S1 seharusnya juga bervariasi. Oleh karena itu, pendidikan akuntansipun sebaiknya dapat memenuhi kebutuhan para praktisi pemakainya. Belum lagi, dunia kerja akuntan juga semakin beragam. Masyarakat sudah mulai mengenal adanya akuntan publik, akuntan intern, akuntan manajemen, akuntan perbankan, akuntan sektor publik, akuntan sistem informasi, akuntan pajak, dan atau akuntan pasar modal. Maka sudah selayaknya PT mencetak tenaga akuntan juga sesuai dengan perkembangan kebutuhan tersebut.

  Mengingat bahwa kompetensi setiap PT sangat tergantung dengan kompetensi para dosennya, serta karena setiap PT juga memiliki fasiltas pendidikan yang berbeda, maka masing-masing PT dapat menawarkan konsentrasi yang beragam pula. Dengan demikian, pendidikan akuntansi pada setiap PT akan berbeda antara satu PT dari PT lainnya. Setiap PT akan dikenal oleh masyarakat dengan predikat keahlian tertentu. Dengan cara demikian, maka setiap PT akan mempunyai keunggulan kompetitif tertentu. tertentu, barulah mereka menentukan atau memilih PT yang akan dituju. Keuntungan lain dengan kondisi seperti ini, maka pada saat pendaftaran mahasiswa baru, para calon akan terpecah pada berbagai PT dan kota dimana PT tujuan tersebut berada.

  Arah pendidkan yang kedua yaitu adanya keinginan agar pendidikan akuntansi itu tetap diarahkan pada pendidikan akuntan yang bersifat dasar, yaitu tetap mencetak sarjana akuntan yang memiliki kompetensi umum, sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI nomor 17 tahun 2010, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Pemerintah RI nomor 8 tahun 2012, tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Undang-Undang RI nomor 12 tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi, dan Rencana Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Akuntan Beregister Negara, serta aturan lain yang setara dan relevan.

  Bagi kelompok ini, mereka menganggap bahwa proses pendidikan akuntansi yang berjalan sudah relatif memenuhi kebutuhan minimal. Oleh karenanya, mereka beranggapan bahwa pendidikan lanjutan, baik berupa pendidikan profesi, atau spesialisasi kompetensi bisa dilakukan oleh seseorang setelah pendidikan tingkat S1-nya selesai, yaitu pada jenjang master atau pendidikan doktoral. Pada jenjang inilah pendidikan master atau doktor harus spesifik, seperti halnya pendidikan profesi akuntansi. Hal ini seperti yang tersirat pada beberapa peraturan, antara lain, Keputusan Menteri Keuangan RI nomor 331/KMK.017/1999, tentang Penyelenggaraan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 179/U/2001, tentang Penyelenggaran Pendidikan Profesi Akuntansi Menteri Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI nomor 5 tahun 2011, tentang Akuntan Publik.

  Sedangkan arah ketiga yang harus diperhatikan oleh seluruh PT yaitu perlunya penyiapan pendidikan pada terciptanya akuntan syariah. Kebutuhan sarjana dengan kompetensi syariah ini akan meningkat. Sementara ini bisnis yang secara explisit menyebut bisnis syariah baru 4, terutama industri keuangan, yaitu perbankan, asuransi, pegadaian, dan pasar modal. Namun tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang akan semakin banyak bisnis yang dilakukan berdasarkan syariah islamiyah akan meningkat. Peningkatan ini disebabkan baik karena kesadaran umat Islam untuk menjalankan praktek bisnis Islami, maupun karena pertimbangan lain. Dampaknya adalah kenaikan kebutuhan tenaga ahli syariah, salah satunya adalah sarjana akuntan syariah, akan meningkat. Oleh karenanya, salah satu arah pendidikan akuntansi adalah Syariah. Padahal di masa depan, yang disebut akuntan syariah itu tidak hanya mempunyai pengetahuan tentang akuntansi syariah, tetapi juga memerlukan sebuah kompetensi yang khusus, antara lain, pengetahuan auditing syariah, dalam hal ini bukan hanya mengaudit masalah keuangan, tetapi juga mengaudit apakah proses bisnis perusahaan telah memenuhi kaidah-kaidah syariah. Selain itu, akuntan syariah juga harus dilandasi tentang beberapa pengatahuan dasar terkaih dengan syariah, misalnya fiqh muamalat dan berbagai fatwa MUI, ekonomi syariah (iqtishaduna), teori akuntansi syariah, lembaga-lembaga keuangan syariah, dan beragam transaksi lain yang telah diatur dalam ajaran syariah.

  Oleh karena penyediaan tenaga dosen yang kompeten dalam mata kuliah di atas relatif langka, maka para PT yang berminat membuka program ini harus menyiapkan tenaga dosennya jauh hari sebelumnya terlebih dahulu, serta kebutuhan sarana pendidikan lainnya yang relevan. Hal ini seirama dengan hasil keputusan Kelompok Kerja Kurikulum Akuntansi Syariah yang beranggotakan, antara lain, dosen Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Indonesia, dan Universitas Padjadjaran.

  Selain penyiapan tenaga dosen, pembukaan program studi akuntan syariah juga akan bertahap, seirama dengan keberadaan tenaga dosennya. Maka arah pendidikan akuntan syariah dapat dimulai dari penyediaan mata kuliah pilihan, sudah menjadi sebuah konsentrasi, dan tahap akhir akan menjadi sebuah program studi akuntansi syariah.

  Kesimpulan keempat, terlepas dari ketiga kesimpulan di atas, yaitu diperlukannya mata kuliah penunjang guna melengkapi kompetensi seorang akuntan. Hampir semua informan sependapat bahwa selain memenuhi syarat utama tentang kompetensi dasar akuntan, seorang sarjana akuntan harus mempunyai kemampuan analitis, pengambilan keputusan, dan softskill berupa kemampuan berkomunikasi yang baik. Kemampuan berkomunikasi ini akan menunjang akuntan dalam berinteraksi dengan partner kerjanya.

  Selanjutnya, beberapa usulan mata kuliah berikut ini adalah pengetahuan yang diharapkan dimiliki oleh seorang penyandang gelar sarjana akuntan. Mata kuliah yang dimaksud adalah pengetahuan dan kemampuan dasar tentang pasar modal dan keuangan serta peraturan-peraturan yang terkait, pengetahuan tentang etika profesi, hukum bisnis yang terkait dengan praktek akuntansi, kemampuan komunikasi, pengetahuan tentang karakter, akuntansi keperilakuan (behavioral accounting), pengetahuan yang luas terkait dengan sistem informasi akuntansi, pengetahuan tentang transaksi keuangan dan pasar modal yang mendalam, dan pengetahuan terkait dengan stadar akuntansi, terutama IFRS dan standar internasional lainnya.

  Suatu hal yang lebih penting, terkait dengan usulan mata kuliah tambahan, yaitu bukan sekedar nama mata kuliahnya, tetapi isi, materi, dan cara pembelajarannya harus diubah sedemikian rupa, sehingga mahasiswa banyak mendapatkan pengetahuan praktisnya. Perkuliahan diharapkan diisi dengan lebih banyak mendiskusikan studi kasus, pemecahan masalah, dan berbagai cara yang memungkinkan mahasiswa memahami penggunaan rumus, bukan sekedar mampu mengingatnya. Cara perkuliahan lain yang termasuk efektif adalah mengundang praktisi sebagai dosen tamu. Sedangkan pada semester berapa, berapa kali pemberiannya, serta apakah mata kuliah tersebut menjadi bagian dari sebuah konsentrasi atau bukan, sepenuhnya adalah diserahkan pada PT yang berminat mengajarkannya.

  Dengan memperhatikan cara-cara di atas, maka diharapkan, pada satu sisi, lembaga-lembaga pendidikan akan lebih siap dalam menyongsong kebutuhan bisnis masa depan dengan melakukan penyempurnaan kurikulum dan penyiapan tenaga dosennya. Di lain sisi, kualitas para sarjana akuntan lulusannya akan lebih siap menghadapi dunia praktek nyata yang sangat beragam.

  DAMPAK dan IMPLIKASI HASIL PENELITIAN

  Hasil penelitian ini akan berdampak pada proses penyelenggaraan pendidikan akuntansi. Para pemakai sarjana akuntan sangat bervariasi. Demikian pula kebutuhannya. Terlepas dari jalur profesi lanjutan yang telah disiapkan, mengingat banyak pemakai sarjana akuntan yang menghendaki bahwa lulusan akuntan harus sudah memiliki kompetensi tertentu, maka arah pendidikan akuntansi harus disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Maka para penyelenggara pendidikan akuntansi harus melakukan reorientasi arah programnya.

  Implikasinya yaitu bahwa para pendidik harus mempertimbangkan perlunya memikirkan kembali kurikulum dan penyediaan program akuntansi. Para pendidik harus selalu tanggap atas perkembangan kebutuhan praktis, agar kurikulum pendidikan akuntansi setiap saat selalu disesuaikannya. Para pendidik harus lebih kreatif untuk kurikulum yang telah berjalan saat ini.

  Demikian pula dengan keberadaan asosiasi profesi. Asosiasi profesi harus semakin inten memberikan masukan kepada PT tentang perubahan dan perkembangan kebutuhan komptensi profesi. Hal ini sesuai dengan harapan berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan pendidikan dan profesi akuntan.

  Untuk itu semua, maka perlu dilakukan networking yang positif dan koordinasi yang melibatkan para pendidik, organisasi profesi terkait, alumni, dan beragam organisasi bisnis, sektor publik, dan organisasi lainnya, guna saling memberikan informasi tentang kebutuhan dan harapan kompetensi bagi calon sarjana akuntan.

KETERBATASAN PENELITIAN

  Masalah waktu dan kebutuhan dana untuk melaksanakan penelitian yang komprehensif menjadi salah satu kendala. Masalah waktu menjadi kendala dalam upaya mencari informan yang cukup. Hal ini disebabkan karena untuk menemui informan harus dilakukan melalui perjanjian. Semakin luas penyebaran informan dalam arti keberagaman sumber informasi yang akan diperoleh akan menjadi hasil penelitian semakin komprehensif. Untuk melakukannya, maka diperlukan pembiayaan yang memadai. Maka keterbatasan dana menjadi kendala.

  Terkait dengan hal di atas, mencari dan menemui informan juga merupakan salah satu kendala lain. Semakin bervariasi informan, dilihat dari bidang bisnis, beragam fokus pendidikan akuntansi, atau tempat kerja, maka akan semakin komprehensif hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

  Ahrens, J. 2008. Overcoming the subyective-objective devide in interpretive management accounting research. Accounting, Organizations, and Society. Vol 33, hal 292-297. Ahrens, T; Albrecht Becker; John Burns; Christopher S. Chapman; Markus Granlund;

  Michael Habersam; Allan Hansen; Rihab Khalifa; Teemu Malmi; Andrea Mennicken; Martin Piber; Anette Mikes; Paolo Quattrone; Fabrizio Panozzo; and Tobias Scheytt. 2008. The future of interpretive accounting research: A polyphonic debate. Critical Perspective on Accounting. Vol. 19. Hal. 840-666. Bantz, C. B. 2008. Ethnographic Analysis of Organisazational Cultures. In Sandra L.

  Herndon & Gary L. Kreps. Qualitative Research Applications in Organizational Life . Gresskill, NJ. Hampton Press. Hal. 171-182. Beck, Cheryl Tatano. 2003. Initiation Into Qualitative Data Analysis. Research Brief. 42 (5): 231-233. Boyce, Carolyn and Neale, Palena. 2006. Conducting In-Depth Interviewconducting In-

  Depth Interviews: A Guide for Designing and Conducting In-Depth Interviews for Evaluation Input . USA: Pathfinder

  Brand, Helen. 2012. The Changing Professions: Opportunities and Challenges. The role . Joint Conference ACCA, IAI, PPAJP, AFA. Jakarta,Hotel Indonesia

  of IAI Kempinski. May, 16, 2012.

  Braun, V. dan Clarke, V. 2006. Using Thematic Analysis in Pcychology. Qualitative Research in Psychology . 3(2): 77-101. Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Direktur Akademik. 2008. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi . Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Elo S. and Kynga¨ S H. 2008.The qualitative content analysis process. Journal of Advanced Nursing. 62(1): 107–115. Gieseking, Jack Jen. 2013. Where We Go From Here: The Mental Sketch Mapping . Sage Publishing. 19(9) : 712–724.

  Method and Its Analytic Components

  Gubrium, J. F. and Holstein, J. A. 2000. "Analyzing Interpretive." In Handbook of

  Qualitative Research. , by N. K. and Lincoln, Y. S. Denzin, 487-508. Thousand Oaks.: Sage Publisher., 2000.

  Halim, Jusuf. 2012. The Changing Professions: Opportunities and Challenges. The role

  of IAI . Joint Conference ACCA, IAI, PPAJP, AFA, Jakarta, Hotel Indonesia Kempinski. May, 16, 2012.

  Kasper, H; Mark Lehrer, Jürgen Mühlbacher and Barbara Müller. 2010. Thinning Knowledge: An Interpretive Field Study of Knowledge-Sharing Practices of Firms in Three multynational contexts. Journal of Management Inquiry. Vol.19: 367 July.

  Kepmendiknas. Nomor 045/U/2002. Perihal Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Kepmendiknas. Nomor 232/U/2002. Perihal Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi. Lye, J; Perera, H. dan Rahman, A. 2006. Grounded Theory: A Discovery Method for

  Accounting Research. In Houqe, Z. (Editor) Methodological Issues in Accounting Research: Theories and Methods . Spiramus. London hal.129-159. Mayring, Philipp. 2000. Qualitative Content Analysis. Forum Qualitative Sozialforschung 2(1) :1-8. Prasad, Anshuman. 2002. The contest over meaning: Hermeneutics as an interpretive methodology for understanding texts. Organizational Research Methods; Jan 2002; vol. 5, 1

  Sawarjuwono, T. dan Kalanjati, D. 2011. Antisipasi Masuknya KAP Asing;

  menumbuhkan Cinta Profesi Akuntan Publik Bagi Generasi Penerus. Laporan Penelitian Research Grant I-HERE.

  Sawarjuwono, Tjiptohadi. 2004a. Sektor Publik dan Sinkronisasi Paradigma Pendidikan . Seminar Sehari. Surabaya, Universitas Bhayangkara, 29 Mei 2004. Sawarjuwono, Tjiptohadi. 2004b. Sinkronisasi Pendidikan Akuntansi dengan Kebutuhan

  Praktik dan Paradigma Baru . Diskusi Penyusunan Kurikulum. Malang, Universitas Negeri Malang. 17 Juni 2004.