Studi Korelasional Antara Derajat Stress Dengan Coping Stress Pada Karyawan Bagian Operator Tenun Perusahaan X Bandung.

(1)

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui hubungan antara stress dengan coping stress pada karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode purpose sampling, dan sampel dalam penelitian ini berjumlah 70 orang. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian korelasional.

Alat ukur yang digunakan merupakan modifikasi dari teori cognitive transactional Lazarus (1984) yang terdiri dari 23 item. Sedangkan alat ukur yang digunakan untuk mengukur coping stress adalah modifikasi dari kuesioner ways of coping dari Lazarus (1984) yang terdiri dari 24 item. Data yang diperoleh diolah menggunakan uji korelasi Spearman dengan program SPSS 14.0.

Berdasarkan pengolahan data secara statistic, maka didapat koefisien korelasi untuk derajat stress dan problem focused coping adalah - 0,241, untuk derajat stress dan emotional focused coping adalah - 0,129. Koefisien korelasi untuk derajat stress rendah dan problem focused coping adalah - 0,210, untuk derajat stress rendah dan emotional focused coping adalah - 0,119. Koefisien korelasi untuk derajat stress tinggi dan problem focused coping adalah - 0,925, untuk derajat stress tinggi dan emotional focused coping adalah - 0,571.

Kesimpulan yang diperoleh dari uji korelasi adalah terdapat hubungan negatif yang signifikan antara derajat stress tinggi dengan problem focused coping. Derajat stress tinggi yang dialami karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” Bandung, maka lebih tidak menggunakan coping stress yang berpusat pada masalah ( problem focused coping).

Faktor yang mempengaruhi derajat stress pada karyawan operator tenun adalah faktor kesehatan yang baik dan keadaan keuangan yang mencukupi kebutuhan sehingga derajat stress yang dialami karyawan bagian operator rendah. Karyawan bagian operator tenun lebih memilih menggunakan stategi coping stress yang berpusat pada emosi karena tidak adanya faktor keyakinan positif, keterampilan dalam memecahkan masalah, dan lebih banyak yang mendapatkan dukungan sosial.

Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian lanjutan mengenai faktor yang mempengaruhi stress dan coping stress pada karyawan bagian operator tenun dalam menghadapi tuntutan pekerjaan dan permasalahan yang terjadi di perusahaan.


(2)

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR SKEMA xii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 1.2 Identifikasi Masalah 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 10 1.3.1 Maksud Penelitian 10 1.3.2 Tujuan Penelitian 10 1.4 Kegunaan Penelitian 10

1.4.1. Kegunaan Ilmiah 10 1.4.2. Kegunaan Praktis 11 1.5 Kerangka Pemikiran 11

1.6 Hipotesis Penelitian 24

1.7 Hipotesis Turunan 24 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stress 26

2.1.1 Definisi Stress 26

2.1.2 Pengertian Stress Kerja 27

2.1.3 Sumber Stress 27


(3)

2.3.1 Pengertian Coping Stress 35

2.3.2 Fungsi Coping Stress 36

2.3.3 Bentuk Coping Stress 38

2.3.4 Hubungan Problem Focused Coping dan

Emotional Focused Coping 39

2.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan

Coping Stress 41

2.4 Hubungan Antara Stress, Penilaian Kognitif, dan Coping Stress 43

2.5 Pengertian Organisasi 44

2.6 Karyawan bagian Operator Tenun 45

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian 46

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 47

3.3.1. Variabel Penelitian 48

3.3.2 Definisi Operasional 48

3.4 Populasi Sasaran dan Sampel Penelitian 49

3.4.1 Populasi Sasaran 49

3.4.2 Teknik Populasi 50

3.5 Alat Ukur 50

3.5.1 Alat Ukur Stress Kerja 50

3.5.2 Alat ukur Coping Stress 53

3.5.3 Data Pribadi 55

3.5.4 Data Penunjang 55


(4)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian 66

4.1.1 Gambaran responden berdasarkan derajat stress yang dialami 66 4.1.2 Gambaran responden berdasarkan coping stress 67 4.1.3 Gambaran korelasi antara derajat stress dan coping stresss 67 4.1.4 Gambaran faktor yang mempengaruhi keberhasilan coping stress 69

4.2 Pembahasan 71

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 76

5.2 Saran 78

5.2.1 Teori 78

5.2.2 Guna Laksana 79

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RUJUKAN


(5)

Lampiran B Kuesioner Data Penunjang Lampiran C Kuesioner Stress

Lampiran D Kuesioner Coping Stress

Lampiran E Reliabilitas Kuesioner derajat stress Lampiran F Reliabilitas Kuesioner coping stress Lampiran G Kaitan antara lamanya bekerja

dan derajat stress yang dialami

Lampiran H Gambaran mengenai reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh stress


(6)

Tabel 3.2 Skor setiap pilihan jawaban 52

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Alat Ukur Coping Stress 53

Tabel 3.2 Skor setiap pilihan jawaban 54

Tabel 4.1 Gambaran responden mengenai derajat stress 66 Tabel 4.2 Gambaran responden mengenai coping stress 67 Tabel 4.3 Hubungan korelasi antara derajat stress dan coping stress 67 Tabel 4.4 Hubungan korelasi antara derajat stress tinggi dan coping stress 68 Tabel 4.5 Hubungan korelasi antara derajat stress rendah dan coping stress 69 Tabel 4.6 Faktor kesehatan yang dirasakan responden 69 Tabel 4.7 Faktor keterampilan dalam memecahkan masalah 70 Tabel 4.8 Faktor keyakinan dalam menyelesaikan masalah 70

Tabel 4.9 Faktor dukungan sosial 71


(7)

Skema 1.1 Skema Kerangka Pemikiran 23

Skema 3.2 Skema Rancangan Penelitian 47


(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Organisasi berjalan melalui suatu siklus. Siklus dalam organisasi dimulai dengan tahap berdiri, tumbuh, menjadi dewasa, dan akhirnya merosot. Keempat tahap ini dapat menciptakan masalah dan tekanan yang berbeda pada karyawan. Tahap dimana organisasi berdiri dan mulai mengalami kemerosotan adalah tahap yang penuh stress. Hal ini disebabkan pendirian organisasi dicirikan oleh besarnya kegairahan dan ketidakpastian, sedangkan tahap kemerosotan biasanya terjadi pengurangan, pemberhentian, dan suatu ketidakpastian. (Robbins, Stephen P. 1996)

Berhubungan dengan tahap kemerosotan, salah satunya dikarenakan adanya krisis keuangan dunia. Krisis keuangan ini telah melanda Indonesia, sehingga banyak industri yang mengalami kemerosotan. Industri yang pertumbuhan produksinya kontraksi atau turun terbesar adalah industri alat angkutan selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih (-14,89%), industri logam dasar ( -13,04 %), dan industri tekstil (-10,61 %). Dampak krisis keuangan ini, pada tahun 2008-2009 terdapat 426 industri UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang terpaksa gulung tikar dan sebanyak 79.000 atau lebih tenaga kerja, yang terpaksa diberhentikan dari pekerjaannya. http://www.seputar indonesia.com/edisicetak/content/view/307421/ (diakses tanggal 30 September 2010)


(9)

Berdasarkan data API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), dari 2.700 perusahaan yang terdaftar terdapat 2.400 perusahaan adalah UMKM yang rentan terhadap ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement). Hal ini mengakibatkan industri nasional mati secara perlahan-lahan akibat pengurangan produksi industri di dalam negeri. Adanya ACFTA juga menyebabkan penurunan penjualan, keuntungan, hingga pengurangan tenaga kerja sehingga banyak perusahaan Indonesia merasa dirugikan. Kerugian yang dirasakan oleh perusahaan Indonesia adalah bisnis akan terganggu. Jika perusahaan tidak dapat mengatasi gangguan maka perusahaan akan tergoncang secara keseluruhan dan kemudian merusak nama baik perusahaan di masyarakat.

Perusahaan yang bergerak dalam industri tekstil di Indonesia menjadi salah satu usaha yang terkena dampak krisis dan berjuang untuk mengatasi gangguan. Salah satu kawasan tekstil terbesar di Indonesia tepatnya di wilayah Majalaya, juga terkena dampak krisis. Industri tekstil di Majalaya yang semula berjumahlah sekitar 250 pabrik, setelah mengalami krisis berkurang jumlahnya menjadi 130 pabrik pada tahun 2000. Pada saat ini kemungkinan jumlah industri tekstil yang masih bertahan tidak lebih dari 100 pabrik. Krisis juga memberikan dampak pada karyawan. Beberapa karyawan terpaksa diberhentikan karena pabrik tidak mampu lagi bertahan. Sekitar 5.000 orang karyawan di daerah Majalaya harus mencari pekerjaan lain untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup.

Perusahaan tekstil yang masih bertahan harus mengalami peningkatan biaya produksi hingga mencapai 25% dari biaya semula. Kenaikan biaya akan


(10)

mempengaruhi harga jual produksi di pasaran. Daya beli masyarakat terhadap produksi tekstil menjadi berkurang. Bila dihitung penurunan permintaan berkisar antara 30 -37 %. Perusahaan tekstil mengalami penurunan pendapatan (omzet) sekitar 50 %. Penurunan pendapatan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya permintaan dalam negeri tetapi juga luar negeri http://sport.vivanews.com /news/read/17852hipmi__omzet_tekstil_di_bandung_anjlok_50 (diakses tanggal 30 September 2010)

Perusahaan tekstil yang masih bertahan dari krisis ekonomi mengalami masalah di mana perusahaan berusaha mengatasi masalah peningkatan biaya produksi dan menurunnya permintaan masyarakat. Masalah peningkatan biaya produksi dan menurunnya permintaan di masyarakat berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan. Bila tidak dikendalikan dengan baik maka pendapatan perusahaan lama kelamaan tidak akan dapat menutupi biaya produksi. Biaya produksi ini meliputi bahan baku, listrik dan tenaga kerja. Saat perusahaan tidak bisa mengendalikan pendapatan perusahaan maka kemungkinan besar akan mengurangi biaya produksi baik itu dari bahan baku, listrik atau tenaga kerja. Banyak perusahaan dalam keadaan seperti ini kemudian memilih untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Berkurangnya biaya tenaga kerja berarti mengeluarkan sejumlah karyawan hingga mencapai batas minimal untuk tetap dapat mengawasi jalannya produksi.

Dalam proses produksi karyawan yang dibutuhkan meliputi karyawan bidang operator tenun, operator benang, operator mesin (montir), pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja. Perusahaan tekstil


(11)

memperkerjakan karyawan terbanyak di bagian operator tenun, kemudian operator benang, operator mesin (montir), pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja. Banyak perusahaan memilih mengurangi jumlah tenaga kerja di bagian operator tenun karena selain jumlahnya dapat ditekan juga perannya dapat digandakan.

Perusahaan „X‟ merupakan salah satu dari perusahaan yang bergerak di bidang tekstil yang juga merupakan salah satu perusahaan yang terkena dampak krisis dan berada dalam kondisi kemerosotan. Perusahaan mengalami penurunan produksi sekitar 25-50 % dan penurunan keuntungan sebesar 10-25 %. Penurunan jumlah produksi dan keuntungan memberikan ancaman bagi perusahaan. Perusahaan tidak ingin ancaman ini mengakibatkan produksi yang telah berjalan kurang lebih 25 tahun harus berhenti. Pimpinan terpaksa mengurangi jumlah karyawan di bagian operator tenun sebesar 30% untuk mengurangi biaya produksi. Pimpinan memilih untuk menekan biaya dengan mengurangi jumlah karyawan bagian operator tenun karena dengan jumlah karyawan operator tenun yang cukup, produksi masih dapat berjalan. Pada awalnya jumlah karyawan bagian operator tenun berjumlah 112 orang menjadi 81 orang. Karyawan bagian operator mesin (montir), pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja tidak mengalami pengurangan karena jumlahnya sudah terbatas bila mengalami pengurangan maka proses produksi akan mengalami kesulitan.

Pengurangan karyawan bagian operator tenun memberikan dampak bagi semua karyawan. Namun dampak yang paling dirasakan adalah adanya perubahan cara kerja pada karyawan operator tenun dibandingkan dengan karyawan bagian


(12)

operator mesin (montir), pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja. Bagi karyawan operator tenun, pengurangan jumlah tenaga kerja membuat tuntutan tugas menjadi lebih berat karena tugas mereka menjadi bertambah. Karyawan operator tenun yang sebelumnya mengawasi hanya pada satu mesin tenun sekarang menjadi dua mesin tenun. Pimpinan memberikan tuntutan kepada karyawan bagian operator tenun yang telah bekerja di atas dua tahun untuk tidak membuat kesalahan, mengawasi mesin tenun dalam suatu kurun waktu bersamaan, beban kerja lebih berat tapi tidak diimbangi dengan kenaikan upah yang memadai. Hal ini lama kelamaan dapat memicu stress pada karyawan bagian operator tenun (Robbins, 1996).

Bagi karyawan yang terbiasa santai dengan mengawasi satu mesin akan mengalami kesulitan dengan tugas yang baru. Dalam proses beradaptasi, karyawan operator tenun merasa kesulitan dalam memperhatikan kualitas produksi, seperti diutarakan oleh Pengawas Kualitas Produksi bahwa sebelum terjadi krisis pada tahun 1999 dari seluruh produksi hanya ditemukan 1-2 kesalahan per kodi, setelah pengurangan karyawan tahun 2000 bisa mencapai 4 kesalahan per kodi dan mengurangi jumlah meteran yang dihasilkan.

Dampak lain yang dirasakan oleh karyawan bagian operator tenun adalah imbalan yang diterima per minggunya tidak mengalami kenaikan yang sebanding. Perusahaan belum dapat memberikan kenaikan upah yang sesuai dikarenakan masih belum stabilnya pengelolaan dana perusahaan. Krisis yang terjadi yang mengakibatkan pengurangan produksi dan keuntungan, berdampak pada pemasukan perusahaan sehingga pengeluaran biaya produksi harus dikurangi.


(13)

Biaya produksi yang mengalami peningkatan harga yaitu bahan baku benang dan listrik harus tetap dibayarkan agar tidak mengalami hambatan produksi.

Sistem pembayaran yang dilakukan pimpinan terhadap karyawan bagian operator tenun dilakukan secara mingguan dan berdasarkan target meteran yang ditentukan. Bila karyawan bagian operator tenun melebihi target meteran maka akan diberikan bonus. Karyawan bagian operator tenun yang melakukan kesalahan produksi maka meteran yang gagal tidak dihitung dan bila tidak sesuai target maka pembayaran akan dihitung berdasarkan bayaran per meter.

Sistem imbalan seperti di atas dirasakan oleh karyawan bagian operator tenun sebagai ancaman karena berhubungan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan yang harus dipenuhi oleh karyawan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan anggota keluarganya. Ancaman seperti ini memengaruhi pikiran karyawan dalam bekerja sehingga menurunkan produktifitas kerja karyawan. Adanya ancaman yang memengaruhi kinerja karyawan adalah salah satu penyebab stress kerja. Dampak lain juga dirasakan oleh karyawan bagian operator tenun yang memiliki relasi dengan sesama karyawan yang meningkatkan semangat dalam bekerja. Pengurangan jumlah karyawan bagian operator tenun memberikan penurunan semangat pada karyawan operator tenun yang masih bekerja. Beberapa karyawan yang harus kehilangan rekannya akan mulai mencari rekan yang lain untuk memenuhi kebutuhan sosialnya dan itu membutuhkan penyesuaian yang baru. Penyesuaian terhadap lingkungan yang baru membawa dampak stress, begitu pula yang akan dirasakan oleh karyawan bagian operator tenun.


(14)

Dampak - dampak tersebut kemudian menekan dan membawa perubahan dalam diri karyawan bagian operator tenun dalam bekerja. Melalui pengamatan yang dilakukan oleh pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja diketahui bahwa karyawan bagian operator tenun mengalami penurunan kualitas kesehatan. Kondisi kesehatan karyawan bagian operator tenun kurang baik ditandai dengan peningkatan jumlah absensi yang sebelumnya 5% ( 6-7 orang per tahun) sekarang mencapai 30% (20 orang pertahun). Hal ini paling besar dikarenakan sakit dan sedikit yang karena alasan keperluan keluarga. Persediaan obat di kantor mengalami peningkatan jumlah dikarenakan keluhan sakit kepala.

Karyawan merasakan adanya suatu kondisi yang tidak nyaman sehingga memberikan tekanan pada diri karyawan dan merasakan sakit di kepala. Perasaan tidak nyaman yang memberikan tekanan kepada diri karyawan sehingga mengganggu kesehatan merupakan indikasi dari stress kerja. Menurut Pengawas Umum, karyawan bagian operator tenun sering mengeluh dengan bersuara apa yang dirasakan sebagai kepusingan dengan istilah “lieur”. Pengawas Umum berusaha mengistilahkan dengan kata stress kepada karyawan, sehingga karyawan sudah ada yang mengatakan keluhannya dengan istilah stress.

Dalam hal kualitas produksi, Pengawas Kualitas Produksi mengatakan adanya penurunan kualitas produksi. Tingkat kesalahan dalam produksi (cacat) lebih meningkat jumlahnya sejak tahun 2000. Karyawan operator tenun sering mengeluhkan peningkatan upah yang tidak sebanding namun tidak mengalami tanggapan yang cukup serius dari pimpinan perusahaan. Untuk mengetahui


(15)

apakah gejala stress yang terlihat pada karyawan bagian operator tenun benar – benar dialami oleh karyawan bagian operator tenun maka peneliti melakukan survei dengan menggunakan kuesioner.

Peneliti melakukan survei dengan menyebarkan kuesioner kepada 10 orang dari 81 orang karyawan bagian operator tenun. Berdasarkan gejala stress yaitu kondisi fisik, psikologis dan tingkah laku maka diperoleh data bahwa 30% karyawan selama bekerja tidak mengalami gangguan kesehatan dan 70% karyawan mengalami gangguan fisik seperti pegal-pegal, dan sakit kepala. Terdapat 60% karyawan selama bekerja seringkali timbul emosi seperti marah, kesal yang ditunjukan kepada rekan sesama karyawan, pengawas sedangkan 40% karyawan tidak memunculkan emosi yang berlebihan tapi dapat mengontrol dengan baik. Terdapat 70% karyawan yang merasa kurang cukup tidur sehingga sering mengantuk sewaktu bekerja sedangkan 30% karyawan merasa waktu tidur sangat cukup dan dapat bekerja dengan kondisi terjaga. Terdapat 80% karyawan yang sering datang atau pulang tidak tepat waktu dan 20% karyawan yang datang dan pulang kerja tepat waktu.

Bila dilihat berdasarkan teori Lazarus (1984), stress yang dihayati oleh karyawan baik pada derajat tinggi, moderat maupun rendah akan memunculkan gejala dalam aspek fisik, psikologis dan tingkah laku. Semakin besar gejala yang muncul maka kecenderungan stress akan semakin terlihat. Stress menurut Lazarus (1984) adalah hubungan yang khas antara individu dengan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai beban atau melebihi kemampuan dan mengancam kesejahteraan. Karyawan operator tenun yang mengalami stress akan melihat


(16)

pekerjaannya sebagai sesuatu yang membebani dan mengancam kesejahteraannya sehingga stress sangat berhubungan dengan ancaman (threat) dan tekanan (pressure). Seseorang melihat suatu masalah atau situasi yang ada dipengaruhi oleh penilaiannya (cognitive appraisal). Setelah melalui proses penilaian maka kemudian karyawan operator tenun akan memilih bentuk strategi untuk mengurangi stress yang dialami.

Coping stress menurut Lazarus (1984) adalah usaha yang secara terus-menerus untuk mengatasi tuntutan baik secara eksternal maupun internal yang dianggap sebagai beban atau melampaui kemampuan yang dimiliki atau membahayakan kesejahteraannya. Coping stress sendiri terbagi menjadi dua macam strategi yaitu strategi coping stress yang berpusat pada masalah (problem-focused way of coping) dan strategi coping stress yang berpusat pada emosi (emotion-focused way of coping). Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa hubungan antara stress dan coping stress yang efektif akan memberikan dampak yang baik terhadap kondisi fisik, psikologis dan tingkah laku.

Peneliti ingin mengetahui coping stress yang dilakukan oleh karyawan bagian operator tenun. Kuesioner dibagikan kepada 10 orang karyawan yang sama dengan sebelumnya untuk mengetahui bagaimana cara mereka menanggulangi masalah (coping stress) mereka. Terdapat 40% melakukan coping stress dengan berfokus pada masalah atau problem-focused coping yaitu mencari informasi-informasi yang dapat membantu mereka seperti menanyakan pada teman mengenai masalah dalam pekerjaannya, berdiskusi dengan pimpinan mengenai masalah mereka dan jalan keluarnya, berusaha menyelesaikan setiap pekerjaan


(17)

dengan baik. Terdapat 60% yang melakukan coping stress dengan berfokus pada emosi atau emotion-focused coping yaitu mencari teman untuk memberikan dukungan, rekreasi dengan keluarga, berdoa, melakukan kegiatan seperti bersepeda, memancing, berkebun dan membiarkan pikirannya berlalu begitu saja. Melalui gejala dan survei awal yang ada maka peneliti menemukan adanya stress pada karyawan bagian operator tenun yang memengaruhi kesehatan fisik, perilaku dan psikologis karyawan dalam bekerja. Karyawan bagian operator tenun juga melakukan coping stress untuk mengurangi derajat stress yang dirasakan. Hal ini penting untuk karyawan bagian operator tenun maupun perusahaan dalam meningkatkan efektifitas kerja karyawan. Peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana hubungan antara stress dan coping stress pada karyawan bagian operator tenun di Perusahaan ‟X‟ Bandung.

1.2. Identifikasi Masalah

Ingin diketahui bagaimana hubungan antara Stress Kerja dengan Coping Stress pada karyawan bagian operator tenun di Perusahaan “X” di Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeperoleh gambaran mengenai derajat Stress dan Coping Stress karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” di Bandung.


(18)

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan antara derajat Stress dengan Coping Stress karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Ilmiah

Untuk memberikan informasi kepada peneliti lain yang memerlukan bahan acuan untuk mengembangkan dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara stress dan coping stress.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Menjadi informasi tambahan Perusahaan “X” di kota Bandung agar dapat mengurangi derajat stress bagi karyawan bagian operator tenun dan karyawan dapat bekerja dengan produktif.

1.5. Kerangka Pemikiran

Ketika karyawan bagian operator tenun bekerja di Perusahaan „X‟ maka karyawan dihadapkan pada tuntutan tugas yang berhubungan dengan bidang operator tenun. Karyawan akan menilai apakah pekerjaan atau situasi pekerjaan sebagai operator tenun ini memberikan tekanan atau tidak kepada dirinya. Ketika pakerjaan atau situasi pekerjaan memberikan tekanan seperti tuntutan pekerjaan, hubungan relasi dengan rekan kerja, gaji atau imbalan yang kurang memadai,


(19)

pemecatan kerja, maka hal ini dapat memicu terjadinya stress. Stress menurut Lazarus (1984) adalah hubungan yang khas antara individu dengan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai beban atau melebihi kemampuan dan mengancam kesejahteraan.

Saat terjadi stress terdapat tiga hal yang saling berkaitan yaitu sumber stress (stressor), individu yang mengalami stress (the stressed), dan hubungan antara individu yang mengalami stress dengan hal yang menjadi sumber stress (transaction). Potensi sumber stress kerja terbagi ke dalam 3 kategori yaitu lingkungan, organisasi dan individu. Faktor lingkungan mempengaruhi struktur organisasi. Perubahan siklus bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi.

Faktor organisasi dapat menimbulkan stress kerja yang dikelompokan ke dalam tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar – pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi. Tuntutan tugas merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan karyawan. Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada karyawan sebagai tenaga kerja bagian operator tenun yang dikerjakan dalam organisasi. Tuntutan antar – pribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain.

Struktur organisasi merupakan perbedaan kedudukan dan peran dalam organisasi. Kepemimpinan organisasi ada yang menciptakan suatu budaya seperti ketegangan, rasa takut, dan kecemasan yaitu ketika pemimpin memberikan tekanan yang tidak realistis. Faktor individu biasanya berkaitan dengan persoalan keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik kepribadian bawaan. Masalah ekonomi menciptakan stress bagi karyawan dan mengalihkan perhatian


(20)

karyawan dari kerja.

Menurut Lazarus (1984) sumber stress baik dari dalam maupun luar diri akan dinilai seperti adanya frustasi (frustration), konflik (conflict), ancaman (threat) dan tekanan (pressure). Sumber stress (stressor) yang dinilai sebagai ancaman dan tekanan akan memunculkan gejala stress. Dari gejala stress yang muncul dapat diketahui seberapa besar karyawan bagian operator tenun menghayati stress. Gejala stress muncul dari kondisi fisik, psikologis dan tingkah laku. Gejala stress muncul melalui kondisi fisik akan tampak pada diri karyawan bagian operator tenun yaitu karyawan operator tenun mengeluh sakit dan tidak masuk kerja.

Gejala stress muncul melalui kondisi psikologis akan tampak pada diri karyawan bagian operator tenun seperti berkurangnya konsentrasi karyawan operator tenun ketika bekerja sehingga hasil produksi tidak terkontrol dengan baik (cacat produksi). Gejala stress muncul melalui tingkah laku akan tampak pada diri karyawan bagian operator tenun yaitu dalam perilaku mengkonsumsi rokok yang jumlahnya bertambah banyak.

Dari gejala stress yang ditampilkan oleh karyawan bagian operator tenun karena kondisi dalam lingkungan pekerjaan yang dinilai sebagai ancaman dan tekanan inilah kemudian disebut dengan stress kerja. Stress tidak berarti buruk, namun stress kerja lazimnya dibahas dalam konteks yang negatif. Stress dalam konteks yang baik dapat memberikan semangat kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Karyawan operator tenun yang memiliki stress yang positif akan bekerja dengan semangat dan meningkatkan produktifitas kerja. Stress merupakan


(21)

peluang bila stress itu menawarkan potensi perolehan. Karyawan bagian operator tenun akan semakin bersemangat dalam bekerja bila upah yang mereka peroleh sesuai dengan keinginan karyawan bagian operator tenun. Ketika karyawan bagian operator tenun tidak ingin mempertahankan pekerjaannya maka karyawan tidak mempunyai alasan untuk merasa stress dalam pekerjaannya.

Sumber stress menjadi ancaman atau tidaknya sangat dipengaruhi oleh penilaian yang disebut penilaian kognitif (cognitive appraisal). Penilaian kognitif akan menentukan apakah adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan bagian operator tenun, sehingga memberikan tekanan atau stress. Penilaian ini juga akan membedakan karyawan bagian operator tenun terhadap kondisi stress yang dialami (tinggi atau rendah) walaupun situasi atau stressor yang dihadapi adalah sama. Perbedaan itu adalah ada karyawan bagian operator tenun yang merasa terganggu dan yang lain tidak merasa terganggu.

Karyawan bagian operator tenun mengalami stress apabila suatu kondisi yang dinilainya memberikan gangguan dan mengancamnya. Karyawan operator tenun mengalami tingkat stress yang berbeda-beda tergantung pada penilaiannya. Derajat stress terbagi menjadi tinggi, moderat dan rendah. Selanjutnya penilaian ini juga akan mempengaruhi karyawan untuk menanggulangi stressnya, sehingga tindakan yang dilakukan untuk menganggulangi stressnya juga akan berbeda-beda antara satu karyawan dengan karyawan yang lainnya. Penilaian ini memiliki beberapa tahap, yaitu proses penilaian primer (primary appraisal), proses penilaian sekunder (secondary appraisal), dan penilaian kembali ( preappraisal).


(22)

Pada penilaian primer, karyawan bagian operator tenun mengevaluasi apakah pekerjaan di bidang produksi tenun (operator tenun) ini dirasakan sebagai hal yang mengancam dirinya atau tidak. Karyawan bagian operator tenun akan mengalami tekanan emosi apabila situasi yang dirasakan mengancam dirinya atau apabila tuntutan yang dirasakan melebihi kemampuan yang dimilikinya (Lazarus, 1984).

Apabila pada penilaian primer karyawan bagian operator tenun menganggap situasi yang dihadapinya mengancam dan melebihi kemampuan yang dimilikinya maka karyawan bagian operator tenun akan mengalami stress yang ditunjukan dengan gejala-gejala seperti pusing, susah konsentrasi, mudah jenuh, penurunan prestasi atau produktivitas dan mudah lelah secara fisik. Karyawan akan mengganggap bahwa pekerjaan bagian produksi tenun ini memberikan tekanan dan karyawan kesulitan untuk menghilangkan tekanan sehingga menurunkan kualitas kerja karyawan. Kualitas kerja yang menurun karena stress dapat menimbulkan sakit, emosi yang tidak stabil seperti marah-marah. Gejala stress ini dapat tinggi maupun rendah tergantung pada derajat stress yang dialami oleh karyawan operator tenun. Derajat stress pada karyawan dapat digolongkan ke dalam tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah.

Selanjutnya karyawan akan melakukanpenilaian sekunder. Pada penilaian sekunder karyawan bagian operator tenun akan mengevaluasi seberapa besar sumber daya dirinya apakah cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi pekerjaannya dalam bidang produksi tenun. Pada tahap ini karyawan bagian operator tenun mencoba lebih memahami potensi-potensi yang ada dalam dirinya


(23)

baik fisik, psikis, sosial dan material. Karyawan bagian operator tenun akan mencoba untuk bekerja lembur untuk meningkatkan pendapatannya.

Penilaian primer dan penilaian sekunder lebih didasarkan pada penilaian subjektif karyawan bagian operator tenun terhadap dirinya dan terhadap situasi yang dihadapinya. Hasil dari penilaian ini menyebabkan karyawan bagian operator tenun akan mengalami stress dengan derajat yang berbeda-beda, walaupun situasi dan stressor yang dihadapi sama. Setelah melakukan penilaian primer dan sekunder, karyawan bagian operator tenun akan menentukan coping stress yang digunakan, karena pada dasarnya karyawan bagian operator tenun akan berusaha menyesuaikan coping stress yang digunakan dengan situasi yang dihadapinya.

Memilih strategi coping stress menjadi akhir dalam tahap penilaian sekunder (secondary appraisal). Apabila penggunaan coping mengalami kegagalan, maka karyawan bagian operator tenun akan melakukan penilaian kembali (reappraisal) terhadap situasi dan kembali mencari coping yang lebih tepat. Stategi penanggulangan stress oleh Lazarus (1984) diistilahkan sebagai coping stress. Coping stress merujuk pada perubahan cara pikir dan tingkah laku yang terus menerus sebagai usaha karyawan bagian operator tenun untuk mengatasi tuntutan eksternal yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya dirinya. Coping stress merupakan faktor penyeimbang yang membantu karyawan bagian operator tenun untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan yang dialami. Pada dasarnya coping stress ditunjukkan untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dialami, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kali


(24)

karyawan bagian operator tenun mengalami stress maka mereka akan berusaha untuk menghadapi dan mengurangi stress tersebut.

Coping stress sendiri terbagi menjadi dua macam strategi, yaitu strategi coping stress yang berpusat pada masalah (problem focused way of coping) dan strategi coping stress yang berpusat pada emosi (emotional focused way of coping). Problem focus coping adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif untuk penanggulangan stress dan coping yang digunakan oleh karyawan bagian operator tenun untuk mencari penyelesaian dari masalahnya dan menghilangkan kondisi yang menimbulkan stress. Sedangkan emotional focus coping adalah istilah Lazarus untuk strategi penanggulangan stress yang diarahkan untuk mengurangi tekanan emosi yang diakibatkan oleh stress dengan cara menghindari, meminimalkan, membuat jarak, penilaian yang selektif dan penilaian yang positif.

Menurut Lazarus dan Folkman (1986) terdapat dua bentuk coping stress yang berpusat pada masalah (problem focused coping) strategi kognitif dalam penanganan stress yang digunakan oleh karyawan bagian operator tenun untuk mencari penyelesaian dari masalahnya dan menghilangkan kondisi yang menimbulkan stress yaitu confrontative coping dan planful problem solving. Confrontative coping menggambarkan reaksi agresi untuk mengubah keadaan dimana karyawan bagian operator tenun akan berusaha mengubah keadaan atau masalah secara agresif atau secara aktif mencari cara untuk mengatasi keadaan yang menekan dirinya. Karyawan akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan setiap tugas dan tanggung jawabnya sebagai karyawan bagian operator tenun.


(25)

Planful problem solving menggambarkan usaha pemecahan masalah dengan tenang dan berhati-hati disertai dengan pendekatan analitis untuk pemecahan masalah dimana karyawan bagian operator tenun berusaha untuk mengubah keadaan secara berhati-hati, dengan menganalisis masalah, membuat rencana pemecahan masalah kemudian memilih alternatif pemecahan masalah. Karyawan bagian operator tenun mencari tahu penyebab terjadinya gagal produksi dan mencari solusinya secara hati-hati dan terencana.

Coping stress yang berpusat pada emosi diarahkan untuk mengurangi tekanan emosi yang diakibatkan oleh stress, dengan cara menghindar, meminimalkan, membuat jarak, penilaian yang selektif dan penilaian yang positif. Dapat dikatakan bentuk kognitif tertentu dari coping stress yang berpusat pada emosi mengarah pada perubahan cara pemaknaan suatu kejadian tanpa mengubah situasi objektif. Selanjutnya menurut Lazarus dan Folkman (1984) coping stress yang berpusat pada emosi digunakan untuk memelihara harapan dan optimis, menyangkal fakta dan akibat yang mungkin dihadapi, menolak untuk mengakui hal terburuk dan bereaksi seolah-olah apa yang terjadi tidak menimbulkan masalah dan sebagainya.

Terdapat enam bentuk coping stress yang berpusat pada emosi (emotion focused coping) yaitu distancing, self control, seeking social support, accepting responsibility, escape avoidance, positive reappraisal. Distancing, menggambarkan usaha melepaskan diri atau berusaha tidak melibatkan diri dalam permasalahan dan di saat yang lain menciptakan pandangan-pandangan yang positif. Karyawan bagian operator tenun memilih untuk melakukan pekerjaan


(26)

sebagai operator tenun dan berpikir bahwa dengan seringnya melakukan pekerjaan ini akan membuatnya dapat menyelesaikan masalah. Self control, menggambarkan usaha untuk meregulasi perasaan maupun tindakan yang diambil. Karyawan bagian operator tenun sering berkata kasar pada orang di sekitarnya bila sedang menghadapi masalah.

Seeking social support, menggambarkan usaha mencari dukungan dari pihak luar berupa dukungan atau kenyaman emosional. Karyawan bagian operator tenun mendapatkan dukungan dari sesama karyawan yang menguatkan secara emosional terhadap masalah yang dihadapi. Accepting responsibility, menggambarkan usaha untuk mengakui peran dirinya dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba memperjelas masalahnya secara objektif. Karyawan bagian operator tenun menyadari tanggung jawabnya terhadap pekerjaan sehingga menerima masalah yang sedang dihadapi dalam pekerjaan. Escape Avoidance, menggambarkan reaksi berkhayal dan usaha menghindar atau melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapi. Karyawan bagian operator tenun mengalihkan pikiran pada sesuatu yang menyenangkan sehingga dapat melupakan masalah yang sedang dialami dalam pekerjaan.

Positive reappraisal, menggambarkan usaha untuk menciptakan makna positif yang lebih ditunjukan untuk pengembangan pribadi juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius. Karyawan bagian operator tenun rajin melakukan kegiatan keagamaan seperti beribadah dan berdoa. Dari strategi coping stress yang dipilih oleh karyawan operator tenun ini kemudian akan dirasakan efektif atau tidaknya terhadap derajat stress yang dialaminya. Coping stress dapat dikatakan


(27)

efektif bila dapat mengurangi tingkat stress yang dialami karyawan operator tenun Keberhasilan coping stress ini ditentukan oleh faktor-faktor sumber daya dalam diri karyawan bagian operator tenun seperti kesehatan, keterampilan untuk menyelesaikan masalah, keyakinan yang positif, keterampilan sosial, dukungan sosial dan sumber-sumber material. Faktor kondisi kesehatan dalam diri karyawan kemungkinan besar memungkinkan karyawan akan dapat berpikir dengan lebih baik daripada yang memiliki kondisi kesehatan yang buruk. Faktor kondisi kesehatan yang baik cenderung akan memilih menggunakan strategi coping stress yang berpusat pada masalah (problem focused coping).karyawan bagian operator tenun dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehingga derajat stress yang dialaminya menjadi rendah. Adanya keterampilan dalam memecahkan masalah akan mendorong karyawan untuk memilih menggunakan problem focused coping. Faktor dukungan sosial dan keyakinan positif akan mendukung karyawan menggunakan emotional focused coping. Sumber material bisa berupa uang ataupun fasilitas yang dimiliki karyawan operator tenun untuk mendukung coping stress. Adanya pendapatan di luar pekerjaan akan membantu mengurangi tingkat stress yang dirasakan oleh karyawan operator tenun.

Faktor-faktor pendukung keberhasilan coping stress ini ada dalam diri karyawan secara berbeda-beda. Ketika karyawan bagian operator tenun menilai bahwa coping yang digunakan telah mampu mengatasi masalah yang menyebabkan stress, maka dapat dikatakan bahwa karyawan bagian operator tenun telah berhasil dalam mengatasi stressnya dan berada dalam kondisi adaptasi, dimana karyawan bagian operator tenun telah mampu menyelaraskan antara


(28)

kemampuan diri dengan tuntutan pekerjaannya.

Penggunaan coping stress dalam diri karyawan bagian operator tenun sebenarnya tergantung pada masalah yang dihadapi yang disesuaikan dengan kemampuan karyawan bagian operator tenun. Semakin tinggi coping stress yang dilakukan akan semakin rendah stress yang dialami. Semakin rendah coping stress yang dilakukan akan semakin tinggi stress yang dialami. Bila karyawan bagian operator tenun merasa tidak mampu mengatasi masalah, maka ia cenderung menggunakan emotion-focused coping, yaitu mengatur respon emosi terhadap stress. Pengaturan ini melalui perilaku karyawan bagian operator tenun untuk menghilangkan fakta-fakta yang tidak menyenangkan. Lazarus (dalam Widahastuti dan Tjahjono, 1999) mengatakan emotion-focused coping yaitu upaya untuk mencari dan memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan. Pada tahap ini masalah yang menjadi sumber stress masih belum hilang.

Karyawan bagian operator tenun yang cenderung berfokus pada masalah (problem focused) atau strategi kognitif dalam penanganan stress yang digunakan oleh karyawan untuk mencari penyelesaian dari masalahnya dan menghilangkan kondisi yang menimbulkan stress. Karyawan bagian operator tenun akan cenderung menggunakan strategi yang berorientasi pada masalah (problem-focused coping) apabila ia menilai masalah tersebut dapat dikendalikannya dengan mengubah atau memodifikasi stressor untuk meringankan efek dari stressor.

Karyawan bagian operator tenun menggunakan kedua bentuk coping (problem focused coping dan emotional focused coping) untuk menanggulangi


(29)

stress. Adapun yang membedakan adalah perbandingan penggunaan kedua jenis coping. Dengan menyusun strategi untuk menghadapi pekerjaannya seperti bekerja dengan optimal. Ada yang berfokus pada emosi (emotion focused) yaitu dengan menenangkan perasaan takutnya terhadap tuntutan pekerjaan dengan melakukan aktivitas lain seperti melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hobi dan berekreasi dengan keluarga.

Pada karyawan bagian operator tenun yang menghayati stress pada derajat stress yang tinggi, didominasi oleh frekuensi coping stress yang berpusat pada emosi yakni berusaha bertahan dan yang terpenting adalah mengatur tekanan emosional. Karyawan yang menghayati stress pada derajat stress yang moderat, didominasi oleh frekuensi coping stress yang berpusat pada masalah, dan karyawan yang menghayati stress pada derajat stress yang rendah, menggunakan coping stress yang berpusat pada emosi dan masalah. Bila karyawan bagian produksi tenun dalam menyelesaikan sumber masalah dengan mengorbankan perasaan yang besar maka dikatakan tidak efektif, demikian juga dengan seseorang yang berhasil meredakan ketegangan emosinya namun tidak menyelesaikan sumber permasalahannya. Hubungan antara stress dan coping stress yang efektif akan memberikan dampak yang baik terhadap kondisi fisik, psikologis dan tingkah laku.

Penjelasan mengenai bagaimana stress memiliki hubungan dengan coping stress pada karyawan bagian produksi tenun Perusahaan „X‟ Bandung digambarkan sebagai berikut:


(30)

Skema 1.1 Skema Kerangka Pemikiran Karyawan bagian Operator tenun Perusahaan “X” Bandung 3.Faktor individu Primary Appraisal Irrelevant

Benign - positive

Stress Appraisal Stress Secondary Appraisal Coping Stress Faktor – faktor yang mempengaruhi coping stress:

- kesehatan

- keterampilan untuk menyelesaikanmasalah - keyakinan yang positif

- keterampilan sosial - dukungan sosial

- sumber-sumber material.

Tinggi Rendah problem focused way of emotional focused way of coping Sedang


(31)

1.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut:

Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan bentuk coping stress pada karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” di Bandung.

1.6.1 Hipotesis Turunan

Terdapat hubungan antara stress kerja dengan coping stress pada karyawan bagian produksi tenun di Perusahaan “X” Bandung, dengan hubungan sebagai berikut:

H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan coping stress berbasis emosi pada para karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” di Bandung.

H2: Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan coping stress berbasis masalah pada karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” di Bandung.


(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah menguraikan hasil penelitian, maka pada bab ini akan disimpulkan beberapa hal penting, serta saran-saran dalam kaitannya dengan stress kerja dengan coping stress pada karyawan bagian produksi tenun di Perusahaan “X” Bandung.

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan bahwa:

1. Derajat stress belum mengalami korelasi yang pasti dengan penggunaan problem focused coping dan emotional focused coping. Hal ini didukung oleh hasil tabulasi silang yaitu baik karyawan bagian operator tenun yang menghayati derajat stress yang dialami tinggi maupun moderat menggunakan emotional focused coping.

2. Derajat stress tinggi memiliki korelasi negatif dengan penggunaan problem focused coping. Ini ditunjukkan dengan seluruh karyawan operator tenun yang mengalami derajat stress tinggi menggunakan emotional focused coping.

3. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dari 40 orang karyawan bagian operator tenun yang menghayati derajat stress moderat berjumlah 37 orang.


(33)

4. Gejala gangguan yang paling banyak ditimbulkan oleh stress adalah gangguan psikologis. Gangguan psikologis ini ditandai dengan adanya kurang konsentrasi, kebosanan, ketidakpuasan kerja dan marah.

5. Karyawan bagian operator tenun lebih menghayati derajat stress yang dialami moderat karena tidak ada gangguan pada kesehatan, keadaan keuangan mencukupi kebutuhan, dan adanya dukungan sosial.

6. Karyawan bagian operator tenun lebih memilih strategi penanggulangan stress yang berpusat pada emosi (emotional focused coping) karena karyawan tidak memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah, dan mendapatkan kenyamanan dukungan lingkungan.

7. Faktor lain yang mendukung karyawan bagian operator tenun lebih menghayati derajat stress yang dialami moderat karena lama kerja karyawan diatas tujuh tahun.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan, beberapa saran yang dapat diberikan peneliti:

5.2.1. Teoritis

Saran bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian sejenis Peneliti dapat melakukan penelitian lebih lanjut menganai faktor – faktor yang mempengaruhi stress pada karyawan bagian operator tenun


(34)

seperti tuntutan dalam pekerjaan dan hal-hal yang mengancam kesejahteraannya sebagai karyawan bagian operator tenun. Dalam penelitian ini, peneliti kurang meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi derajat stress yang dialami karyawan bagian operator tenun sehingga kurang dapat menjelaskan derajat stress yang dialami. Selain itu peneliti juga dapat lebih memahami bagaimana mengkorelasikan antara stress dengan coping stress sehingga pada prosesnya tidak mengalami kesulitan, menghindari kesalahan perhitungan dan hasil yang diperoleh dapat menjawab tujuan penelitian.

5.2.2. Guna Laksana

Bagi Perusahaan ”X” Bandung

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pimpinan

Perusahaan ”X” Bandung dalam memahami stress yang dialami oleh

karyawan bagian operator tenun dalam pekerjaan. Pimpinan dapat memahami emosi, menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dengan sumber daya yang dimiliki oleh karyawan operator tenun dan bersikap tenang ketika menghadapi permasalahan, kemudian mengatasi permasalahan yang ada secara bertahap sehingga tidak memberikan dampak mengancam pada karyawan.


(35)

79

DAFTAR PUSTAKA

Cox, Tom. 1978. Stress. London: The Macmillan Press LTD Gulo, W. (2002). Metodologi Penelitian. Grasindo: Jakarta

Lazarus, Richard S. 1976. Patterns of Adjustment. Third edition. McGraw-Hill Kogakusha,LTD

Lazarus, Richard S., & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company.

Monat, Alan, & Lazarus, Richard S. 1991. Stress and Coping. Third . New York: Columbia University Press.

Munnandar, Ashar Sunyoto. Psikologi Industri dan Organisasi. 2001, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Robbins, Stephen P. 2003. Organizational Behavior, tenth edition. New Jersey : Pearson Education, Prentice-Hall

Santrock, John W. 1995. Life Span Development. Jakarta:Erlangga.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.

Sitepu, Nirwana S.K., 1995. Analisis Korelasi, Bandung: Unit Pelayanan Statistika FMIPA, Universitas Padjajaran.


(36)

80

DAFTAR RUJUKAN

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. 2007. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/ content/view/307421(diakses 2April 2011)

http://sport.vivanews.com/news/read/17852hipmi__omzet_tekstil_di_bandung_an jlok_50 (diakses 2 april 2011)


(1)

1.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut:

Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan bentuk coping stress pada karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” di Bandung.

1.6.1 Hipotesis Turunan

Terdapat hubungan antara stress kerja dengan coping stress pada

karyawan bagian produksi tenun di Perusahaan “X” Bandung, dengan hubungan

sebagai berikut:

H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan coping stress berbasis emosi pada para karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” di Bandung.

H2: Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan coping stress berbasis masalah pada karyawan bagian operator tenun Perusahaan “X” di Bandung.


(2)

76

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah menguraikan hasil penelitian, maka pada bab ini akan disimpulkan beberapa hal penting, serta saran-saran dalam kaitannya dengan stress kerja dengan coping stress pada karyawan bagian produksi tenun di Perusahaan “X” Bandung.

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan bahwa:

1. Derajat stress belum mengalami korelasi yang pasti dengan penggunaan problem focused coping dan emotional focused coping. Hal ini didukung oleh hasil tabulasi silang yaitu baik karyawan bagian operator tenun yang menghayati derajat stress yang dialami tinggi maupun moderat menggunakan emotional focused coping.

2. Derajat stress tinggi memiliki korelasi negatif dengan penggunaan problem focused coping. Ini ditunjukkan dengan seluruh karyawan operator tenun yang mengalami derajat stress tinggi menggunakan emotional focused coping.

3. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dari 40 orang karyawan bagian operator tenun yang menghayati derajat stress moderat berjumlah 37 orang.


(3)

4. Gejala gangguan yang paling banyak ditimbulkan oleh stress adalah gangguan psikologis. Gangguan psikologis ini ditandai dengan adanya kurang konsentrasi, kebosanan, ketidakpuasan kerja dan marah.

5. Karyawan bagian operator tenun lebih menghayati derajat stress yang dialami moderat karena tidak ada gangguan pada kesehatan, keadaan keuangan mencukupi kebutuhan, dan adanya dukungan sosial.

6. Karyawan bagian operator tenun lebih memilih strategi penanggulangan stress yang berpusat pada emosi (emotional focused coping) karena karyawan tidak memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah, dan mendapatkan kenyamanan dukungan lingkungan.

7. Faktor lain yang mendukung karyawan bagian operator tenun lebih menghayati derajat stress yang dialami moderat karena lama kerja karyawan diatas tujuh tahun.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan, beberapa saran yang dapat diberikan peneliti:

5.2.1. Teoritis

Saran bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian sejenis Peneliti dapat melakukan penelitian lebih lanjut menganai faktor – faktor yang mempengaruhi stress pada karyawan bagian operator tenun


(4)

78

seperti tuntutan dalam pekerjaan dan hal-hal yang mengancam kesejahteraannya sebagai karyawan bagian operator tenun. Dalam penelitian ini, peneliti kurang meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi derajat stress yang dialami karyawan bagian operator tenun sehingga kurang dapat menjelaskan derajat stress yang dialami. Selain itu peneliti juga dapat lebih memahami bagaimana mengkorelasikan antara stress dengan coping stress sehingga pada prosesnya tidak mengalami kesulitan, menghindari kesalahan perhitungan dan hasil yang diperoleh dapat menjawab tujuan penelitian.

5.2.2. Guna Laksana

Bagi Perusahaan ”X” Bandung

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pimpinan Perusahaan ”X” Bandung dalam memahami stress yang dialami oleh karyawan bagian operator tenun dalam pekerjaan. Pimpinan dapat memahami emosi, menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dengan sumber daya yang dimiliki oleh karyawan operator tenun dan bersikap tenang ketika menghadapi permasalahan, kemudian mengatasi permasalahan yang ada secara bertahap sehingga tidak memberikan dampak mengancam pada karyawan.


(5)

79

DAFTAR PUSTAKA

Cox, Tom. 1978. Stress. London: The Macmillan Press LTD Gulo, W. (2002). Metodologi Penelitian. Grasindo: Jakarta

Lazarus, Richard S. 1976. Patterns of Adjustment. Third edition. McGraw-Hill Kogakusha,LTD

Lazarus, Richard S., & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company.

Monat, Alan, & Lazarus, Richard S. 1991. Stress and Coping. Third . New York: Columbia University Press.

Munnandar, Ashar Sunyoto. Psikologi Industri dan Organisasi. 2001, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Robbins, Stephen P. 2003. Organizational Behavior, tenth edition. New Jersey : Pearson Education, Prentice-Hall

Santrock, John W. 1995. Life Span Development. Jakarta:Erlangga.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.

Sitepu, Nirwana S.K., 1995. Analisis Korelasi, Bandung: Unit Pelayanan Statistika FMIPA, Universitas Padjajaran.


(6)

80

DAFTAR RUJUKAN

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. 2007. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/ content/view/307421(diakses 2April 2011)

http://sport.vivanews.com/news/read/17852hipmi__omzet_tekstil_di_bandung_an jlok_50 (diakses 2 april 2011)