Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana Timor – Leste Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana T2 322013901 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Bab ini akan dibahas mengenai kebijakan hukum pidana
sebagai suatu cara bagi negara untuk menentukan peraturan-peraturan yang
berlaku

dalam

negara

tersebut

melalui

badan

pemerintah

yang


berwewenang.
Selain itu dalam bab ini juga akan dibahas mengenai teori-teori
tentang perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan
ketentuan konvesi hak anak yang diratifikasi oleh Timor-Leste. Selain itu,
dalam bab ini juga akan dibahas mengenai perbandingan perlindungan
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dengan negara lain sebagai
suatu referensia dalam memberikan solusi upaya perlindungan terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana di Timor-Leste.

A. Kebijakan Hukum Pidana
Pengertian kebijakan Hukum Pidana Beberapa tulisan menterjemahkan
istilah kebijakan dengan “Politik”,”Policy”,”Politick”, “beleid” khususnya
dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid” atau “ Kebijakasanaan”.

Maka

kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum

pidana, penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.1 Dengan
demikian istilah-istilah yang diberikan untuk kebijakan hukum pidana

adalah “politik hukum pidana”, penal policy”, “criminal law policy” atau
starfrechts politiek”. Politik hukum terdiri atas rangkaian katak politik 2.
Ditambahkan pula oleh pakar hukum Mahfud yang dikutip Teguh P. Dan
Abdul H.B., bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang
sebagai dependent variable (variable terpengaruh). Dengan asumsi demikian
itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai, kebijakan hukum akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah ; mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara
melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan
penegakan hukum itu.3 Disini hukun tidak dapat hanya dipandang sebagai
pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan
harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak
mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan
pasal-pasalnya maupuan dalam implementasi dan penegakannya. 4 Sudarto
memberikan arti politik hukum sebagai berikut;
1

Barda Nawawi Areif, Bunga Rampai.,Opcit,.Halaman 24.

2


William N.Dunn, Muhadjir Darwin(Penyadur), Analisa Kebijakan Publik, ( Yogyakarta :

PT Hadindita Graha Wdi, 2000), Halaman 10.
3

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, ( Bandung : Penerbit SinarBaru,

1983), Halaman 16.
4

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatuliah, Opcit,. Halaman 12.

1.

Usaha untuk menwujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.

2.


Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menentukan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat

dan

untuk

mencapai

apa

yang

dicita-citakan.5

Melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha

mewujudkan peraturan perundang-udangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi6 pada waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.
Defenisi politik pidana dari Sudarto di atas sesuai dengan defenisi yang
diberikan oleh Marc Ancel yang dikutip oleh Barda Bawawi Arief yang
menyatakan bahwa “ penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga

5

Sudarto, Hukum Pidana dan Opcit,. Halaman 20. Lihat juga Barda Nawawi Areif, Bunga

Rampai,... Op. Cit, Halaman 25.
6

Sudarto, Hukum dan ...., Opcit,.. Halaman 161.

kepada para penyelenggaran atau pelaksana putusan pengadilan. Marc

Ancel mengemukkan bahwa
“ between the study of criminological factor on the one hand, and the legal
technique on the other, there is room for a science which observes
legislative phenomenon and for a rational art within scholar and
practitioners, criminologist and awsers can together, not as antagonists or
in fratricidal strike, but as fellow-workers engaged or in a common task,
which is firt and foremost to bring into effect a realistic, humane, and
healthy progressive penal policy.7
(Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di suatu pihak
dan studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat
bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena
legislasif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan
praktisi, para ahli kriminologis dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak
sebagai pihak yang saling berlwana atau saling berselisih, tetapi sebagai
kawan sekerja yang berkaitan di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk
menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, dan berpikiran maju
(progresif) lagi sehat).
Kebijikan hukum pidana atau politik hukum pidana menurut Marc
Ancel merupakan salah satu dari modern criminal science. Modern criminal
science menurut Beliau teridiri dari tiga komponen yaitu criminology,


7

Sudarto, Hukum dan .... Opcit,.. Halaman 159. Lihat juga Barda Nawawi Areif, Bunga

Rampai ...., Op., Halaman 24 – 25.

criminal law dan penal policy, Pendapat Marc Ancel mengenai hal tersebut
sebagai berikut :
“Modern criminal science lies in fact three essential components ;
criminology, which studies the phenomenon of crime in all its aspects ;
criminal law which is the explanation and appication of the positive rules
where by society reacts againts the phenomenon fo crime; finally, penal
policy., both a science and an art, of which the practical purposes,
ultimately, ( are to enable the positive rules to be better formulated and to
guide not only the legislator who has to draft criminal statutes, but the court
by which they are applied and the prison administration which gives
prcatical effect to the court’s dicision)8
(ilmu hukum pidana modern terletak pada tiga komponen penting:
Krimonologi yang mempelajari fenomena kejahatan dalam segala aspeknya;

hukum pidana yang merupakan penjelasaan dan penerapan aturan positif
dimana masyarakat beraksi terhadap fenomena kejahatan, akhirnya penal
policy baik ilmu pengatuhan dan seni, dimana tujuan praktis, pada akhirnya,
yang mengaktifkan aturan positif untuk menjadi lebih baik dirumuskan dan
untuk membimbing tidak hanya legislator yang harus menyusun undang –
undang pidana, tapi pengadilan dimana mereka terapkan adiministrasi
penjara yang memberikan efek yang praktis keputusan pengadilan.)
Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga
terkait dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan
8

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan Kedua, (

Bandung : Penerbit Alumni, 1998), Halaman 6.

criminal policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi
arti sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu :
a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. 9
b. Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur

penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan
dan polisi.
c. Dalam arti paling lebih luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan
melalui perundang-undang dan badan-badan resmi yang bertujuan
untuk menegakkan norma-norma sentra dari masyarakat.10
Secara singkat Sudarto memberikan defenis politik kriminal sebagai
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan tindak
pidana. 11 Defenisi serupa juga dikemukakan oleh Marc Ancel yang di kutip
Muladi sebagai “ the rational organization of the control of crime by socity”
atau dikutip oleh
Peter Hoefnagles sebagai “the rasional organization of the social
reactions to crime. Selajutnya Peter Hoefnagles memberikan beberapa
rumusan politik kriminal sebagai ;

9

Sudarto, Kapita selekta ........ Opcit. Halaman 113 – 114.

10


Sudarto, Hukum ...., Opcit, Halaman 38.

11

Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, ( Holland kluwer – Deventer Holland,

1986), Halaman 57.

“ the science of responses”, The science of crime prevention”, “ a policy of
detingnating human behavior as crime” dan “ a rational total of the
respond to crime.
Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari
sekian alternatif, dimana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan
tindak pidana tersebut.12
Dengan demikian politik hukum pidana dilihat dari bagian politik
hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan suatu perundang – undang pidana yang baik., sedangkan
dilihat dari sudut politik hukum pidana identik dengan pengertian “
kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan hukum pidana 13”
sehubungan dengan keterkaitan dengan hukum pidana dengan politik

hukum, politik hukum itu sendiri berkaitan dengan pembaruhan hukum,
sampai berapa jauh pembaruhan itu dilaksanakan dan bagaimana bentuk
pembaruhan tersebut.14 Demikian pula dengan politik hukum pidana terkait
dengan pembaruhan hukum pidana sebagaimana yang dinyatakan oleh
Sudarto bahwa dalam politik hukum pidana akan muncul pertanyaanpertanyaan misalnya apakah perlu ada pembaruhan hukum pidana. Kalau
perlu, bidang-bidang apakah yang perlu diperbaharui atau direvisi. 15
12

Barda Nawawi Areif, Bunga Rampai ....., Op. Cit., Halaman 1.

13

Muladi Kapita Selekta ....., Opcit., Halaman 7.

14

Sudarto Kapita Selekta .... Opcit., Halaman 114.

15

Barda Nawawi Areif, Bunga Rampai ...... Opcit., Halaman 25 – 26.

Menurut Barda Nawawi Arief, upaya melakukan pembaruhan hukum
pidana (penal refrom) pada hakekatnya termasuk bidang “penal policy”
yang merupakan bagaian terkait erat dengan “ law enforcement policy/
“criminal policy” dan “ sosial policy”. Hal ini berarti pembaruhan hukum
pidana merupakan :
a. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaruhi substansi
hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum;
b. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperantas atau
menanggulangi

tindak

pidana

dalam

rangka

perlindungan

masryarakat;
c. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah
sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangkan mencapai atau
menunjang tujuan nasional ( yaitu” social defence”dan “ social
welfare”);
d. Upaya peninjauan dan pemelaian kembali (“reorentansi dan
reevaluasi’) pokok-pokok pemikiran, ide- ide dasar atau nilai-nilai
sosial-filosofik, sosial-politik dan sosial-kultural yang melandasi
kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama
ini.

Bukankah pembaruhan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi
nilai dari hukum pidana dicita-citakan sama saja dengan orentasi nilai
hukum pidana lama warisan penjajah ( KHUP lama dan atau WVS).
Pembaruhan hukum pidana pada hakekatnya mengadung makna,
suatu upaya untuk melakukan reorentasi dan reformasi hukum 16 pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosiokultur masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan
kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat
Biliau menyatakan bahwa pembaruhan hukum pidana pada hakekatnya
harus ditempuh dengan pendekatan yang berorentasi pada nilai (value oritented approach) dan pendekatan yang berorentansi pada kebijakan
(policy oriented appraoch)., selajutnya Barda Nawawi Arief manyatakan
bahwa pembaruhan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan karena memang pda hakekatnya pembaruhan hukum pidan hanya
merupakan bagian saja dari kebijakan atau politik hukum pada umumnya,
dan khsusnya bagian dari politik hukum pidana (criminal law, penal policy
atau strafrechsolitiek). Lebih luas lagi, politik hukum pidana itu sendiri
pada hakekatnya merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari politik

penegakan hukum, politik kriminal dan politik sosial.17
16
17

Sudarto, Hukum dan ......, Opcit., Halaman 159.
Berda Nawawi Areif, Pembaruhan Hukum Pidana dalam Perspektif kajian perbandingan,

(Bandung : PT Citra Adhya Bakti, 2005)., Halaman 3.

Didalam setiap kebijakan (policy atau politik) dipertimbangkan
berbagai nilai, maka jelas pula pembaharuan hukum pidana harus pula
berorentasi pada pendekatan nilai, didalam bukunya lain, Barda Nawawi
Arief menjelaskan bahwa pembaruhan hukum pidana dilihat dari sudut
pendekatan kebijakan adalah:
a. Sebagaian bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana
pda hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk

mengatasi

masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusian) dalam
rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahataran
masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruhan hukum pidana
pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanggulangan tindak pidana) 18.
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya
mempebaruhi subtasnsi hukum (legal substance) dalam ranagka lebih
mengefektifkan penegakan hukum. Sedangkan pembaharuan hukum
pidana dilihat dari sudut pendekatan nilai merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan
reevaluasi) nilai-nilai sosi-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural
18

Barda Nawawi Areif, Pembaruhan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan

yang melandasi dan memberikan isi terhadap muatan normatif dan
substantif hukum pidana yang dicita – citakan. 19
Dalam menanggulangi masalah tindak pidana, sekiranya hukum
pidana yang dipilih sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka kebijakan
hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan kebijakan yang lebih luas yaitu
politik kriminal20. Dapat dikatakan kebebijakan hukum pidana merupakan
sub sistem dari politik kriminal sehinga wajar kalau tujuan kebijakan hukum
pidana tidak boleh lepas dari politik criminal, sedangkan politik kriminal itu
sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang lebih luas yaitu usaha
penegakan hukum atau dikenal dengan kebijakan penegkan hukum (law
enforcement policy). Demikian pula dengan kebijakan penegakan hukum
khususnya hukum pidana tidak lepas dari kebijakan sosial (social policy)
yaitu segala usahan yang rasional untuk mencapai kesejahateraan
masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social welfare
dan social defence). Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarto yng
menyatakan, apabila hukum pidana hendak digunakan, hendaknya dillihat
dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence, planning
yang inipun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan
nasional.
Dalam : Masalah – Masalah Hukum, FH UNDIP, No. 4 Tahun 1994., Halaman 2.
Ibid., Halaman 3.
20
Peter Hoefnagels,. The other Side of Criminology., ( Holland Kluwer – Deventer Holland,
1986).
19

Hal tersebut ditegaskan oleh, Peter Hoefhagels bahwa
criminal policy as science of policy is part of a larger policy: the law
enforcement policy:... criminal policy is also manifest as science and as
application. The legislative and enforcement policy is in turn part of social
policy. Di tingkat internsional, hal ini nyatakan dalam UN Guiding
Principles for Crime Prevention and Criminal Jusctice in the Context of
Development and a New Internasional Economic Order yang menegaskan
bahwa Crime Prevention as part of Social Policy.
Kebijakan kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan
yang belih besar yaitu kebijakan penegakan hukum dan kebijakan sosial.
Dengan demikian, di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan penegakan
hukum, harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat yang tercakup di
dalam perlindungan masyarakat.
Menurut

Barda

Nawawi

Arief,

sekiranya

dalam

kebijakan

penanggangan tindak pidana atau politik kriminal digunakan upaya atau
sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus
diarahkan padan tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari
kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare
policy) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat
(social defence policy).21

21

Barda Nawawi Areif., Bunga Rampai ..... Opcit., Halaman 28 – 29.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal-law enforcement
policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formutasi
(kebijakan legislatif); tahap aplikasi (kebijakan yudikatif atau yudicial) dan
tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau adiministratif).
Tahap formulasi adalah tahap penetapan atau perumusan hukum
pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan
hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang.
Tahap aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak
hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan.
Sedangkan tahap eksekusi adalah tahap pelaksanaan pidana oleh
aparat pelaksana atau eksekusi pidana. Dari ketiga tahap tersebut, tahap
formulasi sebagaimana dikatakan oleh Barda Nawawi Areif merupakan
tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan
tindak pidana melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan kelemahan
kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi
penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pada
tahap aplikasi dan eksekusi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : dalam
tahap formulasi ini peraturan perundang-undangan pidana dibuat, dengan
dibuatnya peraturan tersebut maka sudah ditentukan perbuatan apa saja yang
merupakan perbuatan yang dilarang atau diperbolehkan oleh hukum pidana.
Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi yang mengatur baik ruang

lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, perrtanggunjawaban
pidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana maupun
tindakan. Dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan pidana
tersebut maka akan berlanjut pada tahap aplikasi yaitu penerapan peraturan
perundang-undangan pidana tersebut oleh hakim.
Peraturan perundang-undangan pidana yang diterapkan oleh hakim
akan dilaksanakan pada tahap eksekusi. Dengan demikian tahap formulasi
merupakan awal dari upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan
apabila upaya awal ini tidak tepat dalam menetapkan perbuatan pidana,
maka akan mempengaruhi tahap-tahap selanjutnya.
Berkaitan dengan pembentukan undang-undang, Roeslan Saleh
mengatakan bahwa jika undang-undang dijadikan sesuatu yang dapat
digunakan untuk mengadakan perubahan-perubahan

dalam masyarakat,

maka perundang-undangan akan merupakan bagian dari suatu kebijakaan
tertentu. Undang-undang merupakan salah satu serangkaian alat - alat yang
ada pada pemerintah untuk dapat melakukan kebijakaan-kebijakaan.
Berkaitan dengan hukum pidana, Roeslan Saleh memintakan perhatian
bahwa : “Sanksi-sanksi pidana dalam perundang-undangan biasanya
dipandang sebagai bagian penutup dari suatu rangkaian peraturan- peraturan
administratif dan sanksi-sanksi. Tentang ini kelihatan dengan jelas sakali
pada undang-undang yang mengandung stelsel perizinan. Sanksi-sanksi

yang ada di dalamnya sebenarnya bersifat adminitratif, tatip sanksi pidana
itu dipandang perlu sekali untuk melengkapkan. Jadi menempatkan sanksisanksi pidana di dalam undang-undang itu oleh karenanya merupakan suatu
komplemen mutlak dari pemberian wewenang kepada alat pemerintah.
Dengan kemungkinan-kemungkinan seperti dikemukakan di atas, maka
undang-undang akan merupakan dasar juridis di atas mana ditegakkan
pelaksanaan kebijakaan pemerintah.
Dengan demikian penggunan hukum pidana untuk menegakan
peraturan-peraturan dalam hukum administrasi merupakan salah satu sarana
untuk melakasanakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

B. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan terhadap Anak sebagai
Pelaku Tindak Pidana
Perlindungan hukum terhadap anak dalam kedudukannya sebagai
pelaku tindak pidana dapat ketahui jika dapat dipahami tetang anak,
memahami tentang anak yang meliputi beberapa aspek yaitu perkembangan
kepribadian anak, tanggung jawab terhadap anak sebagai generasi muda,
hak – hak dan faktor – faktor anak melakukan pelanggaran hukum22.

22

Novelina M.S. Hutapea., Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak

Pidana.

Menurut Hillard Rodham Clinton, dalam bukunya It Takes a Village :
Anak – anak sama sekali bukan individualis, mereka bergantung pada orang
dewasa yang mereka kenal juga pada ribuan orang lain, yang membuat
keputusan setiap hari dan mempengaruhi kesejateraan mereka. Kita semua
sadar atau tidak bertanggunjawab untuk memutuskan apakah anak-anak kita
dibesarkan dalam sebuah bangsa yang tidak hanya menjujung nilai-nilai
keluarga tetapi juga menghargai keluarga berikut anak-anak didalamnya.
Pendapat tersebut mengingatkan kita untuk menyadari bahwa anak dalam
perkembangannya menjadi individu dewasa,

memerlukan orang lain

sebagai teman yang terdekat dengan dirinya untuk membimbingnya atau
pun mendidiknya. Ia belum mampu melindungi dirinya sendiri dari
tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian baik fisik, mental maupun
sosial dalam berbagai segi kehidupannya.
Dengan latar belakang pemikiran yang demikian maka di dalam hukum,
seorang

anak tela diberikan hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak ini

diatur secara

tersebar

dalam berbagai bentuk peraturan perundang -

undangan. Tidak hanya di dalam Hukum Nasional anak-anak mempunyai
hak dan kewajiban, tetapi juga dalam Hukum Internasional.
Dengan demikian dapat kita pahami adalah merupakan hal yang
penting

pula

untuk menyelidiki faktor-faktor penyebab ataupun latar

belakang seorang anak melakukan tindak pidana dan

selanjutnya

menentukan langkah yang terbaik bagi anak tersebut sehubungan dengan
perbuatan yang telah dilakukannya.
Setelah memahami tentang perkembangan anak dan faktor-faktor
penyebab anak melakukan tindak pidana, maka dengan demikian bahwa
terdapat suatu juran antara anak-anak dan orang dewasa, sehingga seorang
anak tidak dapat dipandang atau diperlakukan sama dengan orang dewasa.
Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu mengatakan : Pada anak-anak
unsur pendidikanlah yang harus diutamakan dan bukanlah pidana
sebagaimana umumnya

pada

orang

dewasa. Pidana

yang

diancam

terhadap orang dewasa yang melakukan suatu perbuatan pidana tidaklah
dapat dilaksanakan terhadap anak-anak yang melakukan suatu perbuatan
pidana,

Pendapat

tersebut

menunjukkan

adanya

keinginan

untuk

memperlakukan anak baik selama peradilan, muapun pidana yang di
ancamkan terhadap anak harus berbeda dengan ketentuan yang berlaku
terhadap orang dewasa, hal ini dimaksudkan agar anak terlindungi hakhaknya selama proses peradilan berlangsung, demikian juga penjatuhan dan
pelaksanaan hukuman benar-benar memperhatikan kepentingan ternbaik
bagi anak dari segi, fisik, mental maupun masa depan anak.

C. Ketentuan Konvensi Hak Anak
Republik Demokratika Timor-Leste menjadi Negara pihak Konvensi
Hak Anak pada tahun 2003 setelah Parlemen Nasional mengeluarkan
Resolusi Nomor 16 tahun 2003 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
Dengan demikian, Timor-Leste mempunyai kewajiban sebagai Negara
pihak untuk memenuhi,melaksanakan dan melindungi hak - hak anak yang
termuat di dalam Konvensi Hak Anak tersebut 23. Kewajiban yang harus
dipenuhi adalah menyediakan berbagai regulasi tentang perlindungan hakhak anak tanpa terkecuali hak anak bermasalah atau berhadapan dengan
hukum sebagai bentuk komitmen Negara peserta Konvensi Hak Anak.
Pengakuan atas eksistensi anak sebagai subyek hak asasi manusia
(HAM) ditandai manakala Konvensi Hak Anak (KHA) telah diratifikasi
oleh 193 Negara.
menerima

Dengan demikian sebanyak 193 pemerintah telah

kewajibannya

untuk

mengambil

semua

langkah-langkah

legislative, administrative, sosial, dan pendidikan secara layak untuk
melindungi

anak-anak

dari

semua

bentuk-bentuk

dan

manifestasi

kekerasan. Kendati ratifikasi Konvensi Hak Anak telah menunjukkan
universalitas, namun perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan
penyalahgunaan kekuasaan masih sangat lemah.

23

Resolusi Parlamen Nasional Nomor 16/2003 Tentang Perlindungan Anak.,
www.jornal.gov.tl.

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

20 276 107

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK

0 2 68

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana Timor – Leste Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana T2 322013901 BAB I

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana Timor – Leste Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana T2 322013901 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana Timor – Leste Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Kebijakan Hukum Pidana Timor Leste dalam Upaya Perlindungan terhadap Korban

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Kebijakan Hukum Pidana Timor Leste dalam Upaya Perlindungan terhadap Korban T2 322011901 BAB I

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Kebijakan Hukum Pidana Timor Leste dalam Upaya Perlindungan terhadap Korban T2 322011901 BAB II

0 0 63

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Kebijakan Hukum Pidana Timor Leste dalam Upaya Perlindungan terhadap Korban T2 322011901 BAB IV

0 0 2

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33