Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH:

NIM : 100200231 FEBRINA PERMATASARI

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

100200231

FEBRINA PERMATASARI

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, S.H, M.H

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

NIP. 196104081986011002 Dr. Madiasa Ablisar, S.H, M.S

NIP. 196005201998021001 Alwan, S.H, M.Hum


(3)

ABSTRAK

*) Febrina Permatasari **) Dr.Madiasa Ablisar, S.H, M.S

***) Alwan, SH, M.Hum

Kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur dewasa ini semakin meningkat terjadi. Termasuk salah satunya kejahatan kesusilaan yang pelakunya merupakan anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana persetubuhan yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Untuk itu diperlukannya perlindungan hukum terhadap pelaku anak yang berhadapan dengan hukum karena jiwa anak berbeda dengan pelaku orang dewasa. Sehingga tidak menimbulkan trauma terhadap pelaku anak di masa yang akan datang.

Permasalahannya : Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana persetubuhan, dan Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau peraturan-peraturan yang tertulis. Sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan metode penelitian kepustakaan atau dengan berdasarkan perundang-undangan, buku, dan dokumen lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa perlindungan hukum terhadap pelaku anak diatur didalam peraturan perundang-undangan berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, serta Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana pada dasarnya bentuk perlindungan itu meliputi perlindungan anak yang bermasalah dengan hukum, perlindungan hukum anak pada saat proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan anak.

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP sudah sesuai berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana tersangka anak menjalani masa penahanan sesuai dengan undang-undang. Penanganan terhadap tahanan anak diwajibkan adanya pembimbing kemasyarakatan yang mendampingi seorang anak pada setiap tingkat pemeriksaan, mendapatkan bantuan hukum wajib secara cuma-cuma dari seorang atau lebih penasihat hukum, dan proses peradilan yang sesuai dengan undang-undang.

Kata kunci : Perlindungan Hukum, Perlindungan Anak, Tindak Pidana, Persetubuhan, Anak di bawah umur


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM NOMOR 117/PID.B/P.A/2013/PN.LP”.

Dalam penyusunan skripsi ini banyak kendala dan hambatan yang penulis hadapi, namun berkat bantuan, dorongan serta bimbingan berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Seiring dengan itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

5. Bapak Dr. H. M. Hamdan, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

8. Bapak Alwan, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum pidana.

10.Bapak Nababan, SH selaku Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang mengadili kasus yang Penulis analisis dan membantu Penulis dalam menulis skripsi ini.

11.Ibu Enike Hertika Purba, SH selaku Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dan Seluruh Staf Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Bapak Sunkowo Sunaryo dan Ibu Zulfina, selaku orangtua penulis yang sangat penulis cintai dan banggakan tiada henti-hentinya memberikan dukungan, baik secara moril dan materil kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.


(6)

13.Novitasari Amira, Adik Penulis yang memberikan dukungan dan semangat sehingga terselesaikannya skripsi ini.

14.Dani Rizal, S.T , orang terdekat penulis yang selalu mendukung, menemani, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 15.Maharanni, Ratih Damara Barus, Anissa Nurachmi Harahap, Dessy Saida

Simbolon, Ekpi Yosara Simbolon, Sofian Siregar, dan Antony Jahdin Sihotang yang merupakan teman-teman seperjuangan sejak semester 1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

16.Dini Wahyuni Harahap, Lidya Siburian, Muhammad Thariq, Lyandika Purba, dan teman-teman Departemen Hukum Pidana lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

17.Teman-teman kuliah penulis lainnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

18.Seluruh keluarga penulis yang telah memberikan nasihat dan motivasi serta doa kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Terima kasih dan mohon maaf penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak disebutkan satu-persatu yang turut membantu dalam kehidupan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi pembaca semuanya, khususnya bagi penulis sendiri.

Penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis mohon masukan dan dukungan yang membangun demi kesempurnaan


(7)

skripsi ini. Akhir kata, semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua.

Medan, 4 Desember 2014 Penulis

Febrina Permatasari NIM. 100200231


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian Tindak Pidana ... 10

2. Tindak Pidana Persetubuhan ... 12

3. Pengertian Anak ... 14

4. Perlindungan Hukum ... 17

G. Metode Penelitian ... 20

H. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ... 24

B. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 32

C. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 41

BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM NO. 117/PID.B/P.A/2013/PN.LP A. Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 117/PID.B/P.A/2013/PN.LP ... 57

1. Kronologi Kasus ... 57


(9)

3. Fakta-Fakta Hukum ... 59

4. Tuntutan Penuntut Umum ... 64

5. Putusan Hakim ... 65

B. Analisa Kasus ... 66

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(10)

ABSTRAK

*) Febrina Permatasari **) Dr.Madiasa Ablisar, S.H, M.S

***) Alwan, SH, M.Hum

Kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur dewasa ini semakin meningkat terjadi. Termasuk salah satunya kejahatan kesusilaan yang pelakunya merupakan anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana persetubuhan yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Untuk itu diperlukannya perlindungan hukum terhadap pelaku anak yang berhadapan dengan hukum karena jiwa anak berbeda dengan pelaku orang dewasa. Sehingga tidak menimbulkan trauma terhadap pelaku anak di masa yang akan datang.

Permasalahannya : Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana persetubuhan, dan Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau peraturan-peraturan yang tertulis. Sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan metode penelitian kepustakaan atau dengan berdasarkan perundang-undangan, buku, dan dokumen lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa perlindungan hukum terhadap pelaku anak diatur didalam peraturan perundang-undangan berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, serta Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana pada dasarnya bentuk perlindungan itu meliputi perlindungan anak yang bermasalah dengan hukum, perlindungan hukum anak pada saat proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan anak.

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP sudah sesuai berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana tersangka anak menjalani masa penahanan sesuai dengan undang-undang. Penanganan terhadap tahanan anak diwajibkan adanya pembimbing kemasyarakatan yang mendampingi seorang anak pada setiap tingkat pemeriksaan, mendapatkan bantuan hukum wajib secara cuma-cuma dari seorang atau lebih penasihat hukum, dan proses peradilan yang sesuai dengan undang-undang.

Kata kunci : Perlindungan Hukum, Perlindungan Anak, Tindak Pidana, Persetubuhan, Anak di bawah umur


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga setiap kegiatan manusia atau masyarakat yang menjalankan aktivitas kehidupannya harus berdasarkan pada peraturan yang ada dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Prilaku yang tidak sesuai dengan norma/penyelewengan terhadap norma inilah yang dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. Penyelewengan demikian biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran, bahkan sebagai suatu kejahatan.1

Secara umum, kejahatan adalah perbuatan atau tindakan yang jahat yang dilakukan oleh manusia yang dinilai tidak baik, tercela, dan tidak patut dilakukan. Siapapun dapat menjadi pelaku dari kejahatan, apakah pelakunya masih anak-anak, anak remaja, orang dewasa, atau orang yang berusia lanjut, baik laki-laki maupun perempuan.

Menurut Van Bemmelen, kejahatan adalah “tiap kelakuan yang bersifat tindak susila yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu. Sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan

1


(12)

menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.”2

Kejahatan telah terjadi hampir merata baik di lingkungan kehidupan pedesaan, maupun di lingkungan kawasan kumuh dan elit di perkotaan. Hal ini dapat dijumpai berdasarkan informasi di berbagai media massa, baik media cetak maupun media elektronik, yang menunjukkan adanya peningkatan tingkat kriminalitas di Indonesia.

Salah satu persoalan kejahatan yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat adalah tentang kejahatan kesusilaan atau tindak pidana kesusilaan, seperti persetubuhan, pemerkosaan, pencabulan, dan lain-lain yang sangat meresahkan serta merugikan bagi masyarakat terutama bagi kaum perempuan dan orang tua. Menurut Bonger, “Setiap kejahatan bertentangan dengan kesusilaan, kesusilaan berakar, dalam rasa sosial dan lebih dalam tertanam daripada agama, kesusilaan merupakan salah satu kaidah pergaulan3

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu, anak sebagai bagian dari keluarga, merupakan buah hati, penerus, dan harapan Ironisnya kejahatan kesusilaan ini tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tetapi juga menimpa anak-anak di bawah umur dan dilakukan juga oleh anak yang juga sama-sama membutuhkan perlindungan hukum hak-hak atas anak.

2

B.Simandjuntak mengutip kutipan Van Bemmelen dalam buku Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. 1981. Bandung: Tarsito, hlm. 71

3


(13)

keluarga.4

Kenakalan remaja juga semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Yang memprihatinkan lagi kenakalan yang dilakukan oleh remaja tersebut bukanlah kenakalan biasa, tetapi cenderung mengarah pada tindakan kriminal yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan mata rantai awal yang penting dan menentukan dalam upaya menyiapkan dan mewujudkan masa depan bangsa dan negara. Namun apabila anak kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma hukum yang berlaku di masyarakat.

Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 Ayat (2) butir (a) dan (b) anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.5

Banyak faktor yang membuat sikap dan prilaku anak, khususnya remaja menjadi salah asuhan sehingga menyebabkan anak menjadi nakal. Antara lain teknologi yang berkembang pesat di sekitar kita, baik media massa maupun media sosial yang mengubah prilaku remaja menjadi bebas dan tidak terkontrol yang menjurus amoral.

4

Waluyo, Bambang. Op.Cit , hlm. 103

5

undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2007. Trinity, Hlm. 53


(14)

Kondisi globalisasi informasi dan komunikasi yang semakin canggih ini dapat membawa dampak negatif dalam perkembangan fisik dan mental anak remaja, sehingga anak dapat saja meniru apa yang dilihatnya untuk melakukan tindak pidana, khususnya persetubuhan, pemerkosaan, dan pencabulan.

Kurangnya perhatian keluarga, tekanan ekonomi keluarga, pendidikan budi pekerti yang minim dalam kurikulum sekolah, pendidikan agama yang kurang, mudahnya mengakses blue film yang tidak layak ditonton oleh anak via handphone, televisi, dan internet, merebaknya pergaulan bebas di kos-kosan pelajar dan mahasiswa, hingga prostitusi yang terdapat di perkotaan maupun daerah pinggir kota merupakan penyebab terjadinya banyak kasus tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak remaja yang terdapat di dalam masyarakat dewasa ini. Sikap yang mudah terpengaruh ini tidak terlepas dari perkembangan pribadi remaja.6

Proses peradilan pidana anak dan pidana dewasa sangatlah berbeda, mengingat ciri dan sifat anak-anak yang khas. Anak yang terlibat tindak pidana yang sedang menghadapi dan menjalani proses peradilan haruslah diingat bahwa seorang anak memiliki sifat dan ciri-cirinya yang khusus sehingga penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, Hal tersebut banyak dijumpai dalam pergaulan anak remaja yang tidak lagi berbeda di kawasan perkotaan bahkan telah merambah hingga di pedesaan saat ini. Perbuatan sebatas kenakalan remaja hingga akhirnya menjurus pada perbuatan kriminal ini membutuhkan penanganan hukum secara serius yang memberikan perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana.

6


(15)

perawatan serta perlindungan yang khusus. Dengan demikian konsep perlindungan hukum terhadap anak akan berpijak pada konsep kesejaahteraan anak dan kepentingan anak tersebut.

Perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus lebih mengedepankan pembinaan dan pemulihan hak-hak mereka tanpa harus dikenai hukuman yang berlebihan, sehingga anak masih memiliki harapan untuk menatap masa depan mereka tanpa harus terhambat dengan penderitaan trauma masa lalunya yang pernah mengalami tindakan hukum berlebihan di pengadilan. Menjadi persoalan yang rumit dari sisi keadilan apabila konflik hukum terjadi bukan karena sekedar anak dengan negara atau masyarakat, akan tetapi konflik hukum itu terjadi juga dalam relasi antar anak yang sama-sama punya hak mendapat perlindungan.

Berdasarkan Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka Pasal 45, 46, dan 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Agar terdapat pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak sehingga dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak saat ini telah mengalami perubahan menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 dirasa kurang memadai untuk memberikan solusi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.


(16)

Para pelaku persetubuhan, perkosaan dan pencabulan anak pada umumnya melanggar pasal 81 Ayat (1) dan (2), serta pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diancam pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun, atau minimal 3 (tiga) tahun, serta denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).

Salah satu kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur (17 tahun) dalam kasus tindak pidana persetubuhan adalah merupakan pelajar SMA di Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, dimana korbannya adalah anak perempuan berusia 15 (lima belas) tahun. Perbuatan pidana yang dilakukan adalah membujuk anak untuk melakukan tindak pidana persetubuhan dengannya.

Kasus ini telah divonis oleh hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam melakukan tindak pidana pencabulan, yaitu dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya. Hakim menjatuhkan pidana 4 (empat) tahun 8 (delapan) bulan penjara dikurangi selama ditahan, denda Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) atau pidana 2 (dua) bulan kurungan dan membayar ongkos perkara yang dibebankan kepada pelaku anak.

Hal tersebut cukup menarik minat penulis untuk melakukan penelitian terhadap perlindungan hukum yang diterima oleh pelaku anak atas putusan tersebut sehingga memilih judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai


(17)

Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP)”

B. RUMUSAN MASALAH

Penulis perlu merumuskan masalah yang akan diteliti secara sistematis kedalam suatu rumusan masalah agar dapat memberikan gambaran dan penafsiran yang jelas. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diberikan rumusan masalah dalam penelitian dan pembahasan ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak Pidana Persetubuhan yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.117/Pid/B/P.A/2013/PN.LP?


(18)

C. TUJUAN PENULISAN

Setiap usaha maupun kegiatan sudah dapat dipastikan mempunyai tujuan yang hendak dicapai, karena tujuan akan memberikan manfaat dan penyelesaian dari penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku kasus tindak pidana persetubuhan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP.

D. MANFAAT PENULISAN

Hasil penulisan ide pembahasan ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

1) Penulisan ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan bagi mahasiswa lain di bidang hukum pidana yang ingin melakukan penelitian dan penulisan lebih lanjut terhadap kasus yang sama.

2) Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penulisan yang akan datang apabila sama bidang penulisannya.


(19)

2. Manfaat Praktis

1) Hasil penulisan ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi masyarakat untuk memahami pengaturan perlindungan hukum dalam perundang-undangan terhadap kasus tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak di bawah umur dan korbannya juga adalah anak di bawah umur.

2) Dapat memberikan gambaran secara jelas tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan khususnya dalam putusan perkara Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

E. KEASLIAN PENULISAN

Proses penyusunan skripsi ini pada prinsipnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan dan dari media massa baik cetak maupun elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam penelitian ini serta ditambah lagi dengan riset penulis ke lapangan dan penulis langsung melakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten.

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa pernah ada mahasiswa yang menulis berkaitan tentang perlindungan hukum terhadap pelaku maupun korban dalam kasus tindak pidana melanggar kesusilaan, yaitu:


(20)

Nama : Prinst Rayenda Giovani NIM : 080200112

Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Perkosaan dalam Pemberitaan Media Massa

Judul maupun permasalahan yang penulis bahas dalam penelitian ini berbeda dengan yang telah ada sebelumnya, sehingga penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP)” adalah asli tulisan penulis.

F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Pengertian Tindak Pidana

Kata “Tindak Pidana” yang dipergunakan oleh ahli hukum pidana di Indonesia adalah bermacam-macam antara lain tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan kriminal, dan tindak kriminal. Dari berbagai pengertian tersebut ada beberapa ahli hukum pidana yang merumuskan pengertian yang bervariasi terhadap pengertian tindak pidana tersebut.

Tindak pidana dalam Bahasa Belanda Strafbaarfeit, atau dalam Bahasa Inggris delict, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan subjek tindak pidana.7

7

Prodjodikoro, Wirdjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 59


(21)

Menurut Pompe, tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma terhadap hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan kepentingan umum.8

Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

a) Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana;

b) Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu;

c) Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

Pengertian tindak pidana merupakan suatu dasar hukum dalam ilmu hukum terutama hukum pidana yang dimana ditujukan sebagai suatu istilah

8

P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru, Hlm. 181


(22)

perbuatan yang melangar norma-norma atau aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat seperti:

a) Harus ada perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang;

b) Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkannya;

c) Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar kesatuan hukum;

d) Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.9

2. Tindak Pidana Persetubuhan

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern mengartikan kata “bersetubuh” sebagai berikut :

“berhubungan badan, hubungan intim, kontak badan (hubungan suami istri, hubungan sepasang manusia)”

Kamus Bahasa Indonesia Inggris adalah sebagai berikut :

“copulation, have sexual intercourse, copulate with person, with a body certain characteristics”.

9


(23)

Menurut Yan Pramadya Puspa dalam Kamus Hukum menambahkan arti kata persetubuhan “coitus” atau “coiton” adalah suatu proses bersetubuh antara laki-laki dan perempuan.

Tindak pidana persetubuhan dirumuskan dalam Pasal 81 Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 sebagai berikut :

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Apabila rumusan di atas dirinci, maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur-unsur Objektif :

a) Sengaja melakukan kekerasan atau ancaman; b) Memaksa;

c) Melakukan tipu daya :

d) Serangkaian kebohongan; atau

e) Membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan persetubuhan.


(24)

Unsur Subjektif a) Barangsiapa

Tindak pidana persetubuhan pada Pasal 81 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hampir sama dengan tindak pidana persetubuhan menurut KUH Pidana, hanya dalam Pasal 81 di atas dikhususkan pada anak yang berusia 18 (delapan belas) tahun sebagai korban tindak pidana persetubuhan tersebut.

3. Pengertian Anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.10

Menurut Pasal 1 dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak tahun 1990, pengertian anak yaitu:

Anak juga merupakan potensi bagi kemajuan generasi penerus bangsa yang berperan serta dalam menentukan sejarah bangsa di masa mendatang. Pengertian anak memiliki aspek yang sangat luas dikarenakan adanya sejumlah undang-undang yang mengatur status dan perlakuan terhadap anak sehingga terdapat perbedaan mengenai batasan atau definisi usia yang dikategorikan sebagai anak.

Setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia anak dicapai lebih awal.

Pasal 45 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mengatakan anak sebagai anak apabila belum berusia 16 (enam belas) tahun. Lalu dalam Pasal

10

Koesparmono Irsan. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta : Universitas Pembangunan Nasional, Hlm. 7


(25)

330 KUHPerdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dikatakan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berusia genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.

Hukum Islam menyebutkan anak di bawah umur dengan orang yang belum baliq atau belum berakal karena belum cakap untuk berbuat atau bertindak.

Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengertian anak yaitu :

Anak adalah setiap manusia yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.11

Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengertian anak yaitu :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.12

Pasal tersebut menjelaskan bahwa yang dikategorikan sebagai Anak adalah seseorang yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, sekalipun anak tersebut masih di dalam kandungan.

Menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian tentang anak adalah :

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.13

11

Pasal 1 Ayat (5) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

12

Pasal 1 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

13


(26)

Menurut Pasal 1 Ayat (4) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pengertian tentang anak adalah :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 14

Kategori usia seorang anak dalam undang-undang ini adalah seorang anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Beberapa negara memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat dari umur dan aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara Inggris, pertanggungjawaban pidana diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh) tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan dalam politik. Anak baru dapat ikut atau mempunyai hak politik apabila telah berusia di atas 18 (delapan belas) tahun.15

Negara Inggris mendefinisikan anak dari 0 (nol) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dengan asumsi dalam interval usia tersebut terdapat perbedaan aktifitas dan pola pikir anak-anak (childhood) dan dewasa (adulthood). Interval tertentu terjadi perkembangan fisik, emosional, dan intelektual termasuk kemampuan (skill) dan kompetensi yang menuju pada kemantapan pada saat kedewasaan (childhood).16

Perbedaan pengertian anak pada setiap negara, dikarenakan adanya perbedaan pengaruh sosial perkembangan anak di setiap negara. Aktifitas sosial

14

Pasal 1 Ayat (4) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

15

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice, Bandung: Refki Aditama, Hlm. 34-35

16


(27)

dan budaya serta ekonomi di sebuah negara mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kedewasaan seorang anak.17

Menurut Nicholas McBala dalam Bukunya Juvenile Justice System

mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk untuk membahayakan orang lain.18

Mengenai pengertian anak yang belum dewasa menurut perundang-undangan yang berlaku berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa pengertian anak yang belum dewasa adalah seseorang yang berada di bawah usia 18 (delapan belas) tahun serta termasuk anak yang masih dalam kandungan dan belum pernah menikah.

4. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis, maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.19

17

Ibid, Hlm. 36

18

Ibid

19

Perlindungan Hukum, tanggal 7 Mei 2013


(28)

Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum pada hakekatnya. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian banyak jenis dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya yang cukup populer dan telah akrab di telinga kita, seperti perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana.

Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah melalui perangkat hukumnya seperti peraturan perundang-undangan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana ini telah diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang pengaturannya mencakup segala hal yang menjadi hak dan kewajiban anak yang menjadi pelaku tindak pidana.

Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengertian perlindungan anak adalah :

“Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Anak yang berhadapan dengan hukum haruslah mendapat perlindungan khusus, yang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan khusus adalah :

“Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi


(29)

dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.20

Perlindungan hukum anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Adapun perlindungan anak merupakan cerminan dari adanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam suatu masyarakat.

21

Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah tumbuh secara fisik ataupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

20

Gultom, Maldin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. 2008. Bandung : Refika Aditama, Hlm. 33

21


(30)

G. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif (penelitian hukum doktriner)22

2. Sumber Data

, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian yuridis normatif disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Sumber penelitian ini didapat melalui data sekunder. Sumber data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, maka bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

22


(31)

3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan sekunder yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer diantaranya berasal dari karya para sarjana, jurnal, data yang diperoleh dari instansi atau lembaga, serta buku-buku kepustakaan yang dijadikan refrensi yang dapat menunjang penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, internet, dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel, dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori, atau bahan-bahan yang berkenan dengan perlindungan hukum pelaku anak.

4. Analisis Data

Hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dalam mengolah data yang dipaparkan dari penelusuran kepustakaan, dan studi dokumen. Analisa kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori


(32)

yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dari pembahasan skripsi ini.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut :

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Keaslian Penulisan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan, yang isinya antara lain memuat pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


(33)

BAB III : Bab ini akan membahas tentang bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana persetubuhan yang terdapat di dalam putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP, yang isi di dalamnya antara lain memuat Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP, serta bentuk perlindungan hukum terhadap pelaku anak yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP.

BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(34)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN

A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

Induk peraturan hukum pidana positif di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mempunyai nama asli yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali bersama dengan Konninklijk Berluit (Titah Raja) Nomor 33 tanggal 15 Oktober 1915, dan keduanya diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918.

Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1886. Sehingga walaupun Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie

(WvSNI) merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (persamaan/penyesuaian) bagi pemberlakuan Wetboek van Strafrecht (WvS) di negara jajahannya, termasuk di negara Indonesia. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas Wilayah Indonesia.23

23

Djamali, Abdoel. 2005, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 22

Perbedaan yang paling penting antara Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) adalah adanya hukuman mati yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1918


(35)

Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia, maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) tetap diberlakukan. Pemberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) menjadi hukum pidana ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana di Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan disamping itu undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali Peraturan-peraturan Pidana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang maupun oleh Panglima Tertinggi Balatentara Hindia Belanda.

Perubahan yang penting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ciptaan Hindia Belanda ini telah diadakan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu, maka mulai 1 Januari 1918 berlakukan satu macam Hukum Pidana untuk semua golongan penduduk Indonesia (Unifikasi Hukum Pidana).

Perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) setelah tahun tersebut. Karena setelah tahun tersebut masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni:

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia; dan


(36)

2) Wetboek van Straftrecht voor Indonesia (Staatsblad 1915 No. 732)

Tahun 1958 dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir pada tanggal 1 Januari 1918 masih diberlakukan di Indonesia karena belum diadakannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 Jo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 Jo. Pasal 142 UUDS 1950.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri atas 3 buku yang berjumlah 569 pasal. Buku Kesatu mengenai Ketentuan Umum terdapat 9 bab terdiri dari 103 pasal (Pasal 1 - Pasal 103), Buku Kedua mengenai Kejahatan terdapat 31 bab terdiri dari 385 pasal (Pasal 104 – Pasal 488), dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran terdapat 9 bab yang terdiri dari 81 pasal (Pasal 489 – Pasal 569).

Seluruh 569 Pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut, hanya terdapat 3 (tiga) pasal didalamnya yang terkait dan mengatur tentang Perlindungan Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam bentuk pertanggungjawaban pemidanaan pelaku anak, yaitu :

» Pasal 45 KUHP

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, Hakim dapat menentukan; memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan


(37)

kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497,503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532,536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

» Pasal 46 KUHP

(1) Jika Hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dan pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

(2) Aturan untuk melaksanakan Ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.

» Pasal 47 KUHP

(1) Jika Hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap pidananya dikurangi 1/3 (satu pertiga).

(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur batas usia seseorang dapat dikategorikan sebagai anak dan juga batas usia minimum seorang anak dapat dihukum akibat perbuatan pidana yang dilakukannya. Namun dalam


(38)

Pasal 45 KUHP tersebut diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa yang dikatakan orang yang belum dewasa dan dapat dihukum adalah seseorang yang berusia belum 16 (enam belas) tahun. Namun batas usia anak sebagai korban kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah seseorang yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.

Pasal-pasal tersebut di atas bukanlah aturan alasan penghapusan pemidanaan terhadap pelaku anak di bawah umur 16 (enam belas) tahun, melainkan hanya mengatur mengenai aturan pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun sebagai alasan yang dapat meringankan hukuman pidana anak. Anak yang belum berusia 16 (enam belas) tahun, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, apabila terbukti melakukan suatu perbuatan pidana, baik berupa kejahatan maupun pelanggaran, maka hakim yang mengadili perkara tersebut diberikan 3 (tiga) alternatif dalam memutuskan suatu perkara, yaitu sebagai berikut :

a. Mengembalikan anak kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya, tanpa dikenakan pidana apapun;

b. Menyerahkan anak kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu; dan

c. Menjatuhkan pidana kepada anak.

Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan kewenangan kepada hakim untuk menimbang tentang kecakapan rohani pelaku anak sebelum memberikan hukuman yang pantas sesuai dengan jiwa pelaku anak tersebut. Apabila hakim menganggap anak memiliki akal dan telah mampu membeda-bedakan mana


(39)

perbuatan baik dan perbuatan buruk, hakim dapat menjatuhkan pidana kepada anak yang telah bersalah melakukan kejahatan atau pelanggaran. Pidana yang dapat diberikan oleh hakim kepada pelaku anak haruslah tidak boleh lebih dari 2/3

(dua per tiga) dari maksimum hukuman yang diancamkan.

Hakim dapat memutuskan agar anak dihukum dengan cara diserahkan kepada negara. Anak dapat diserahkan kepada pemerintah dengan masuk ke dalam rumah pendidikan anak-anak nakal, departemen sosial, lembaga amal, yayasan, atau badan hukum yang berdomisili di wilayah Indonesia untuk menerima pendidikan, pembinaan atau latihan kerja. Tujuannya adalah untuk memberikan bekal kepada anak dengan memberikan keterampilan dengan harapan anak mampu hidup mandiri. Hakim dalam penetapannya menentukan dimana anak ditempatkan dalam lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu dilaksanakan. Pendidikan dan latihan kerja yang diberikan tersebut hanya berlangsung sampai anak mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Anak juga dapat dijatuhi ancaman hukuman pidana oleh hakim. Pidana pokok yang diberikan kepada anak terdapat di dalam Pasal 10 KUHP, kecuali butir b nomor 1 dan 3, yaitu :

- Pasal 10 KUHP Pidana terdiri atas :

a. Pidana pokok : 1. Pidana mati. 2. Pidana penjara. 3. Pidana kurungan. 4. Pidana denda. 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan :


(40)

Pidana pokok yang dapat diberikan kepada anak di atas harus dikurangi sepertiga dari maksimum ancaman pidana pokok yang diberikan kepada orang dewasa. Apabila hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup ataupun hukuman mati terhadap anak, maka ancaman hukuman yang dapat diberikan kepada anak menjadi hukuman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Bentuk perlindungan hukum terhadap pelaku anak yang diatur di dalam ketiga pasal di KUHP tersebut hanya terdapat pada pemberian sanksi pidana terhadap anak yang berbeda dengan pemidanaan terhadap orang dewasa. Namun pemidanaan terhadap anak dan pemidanaan terhadap orang dewasa tersebut sama-sama berorientasi kepada ukuran kuantitatif, sehingga sanksi yang diberikan kepada pelaku anak didasarkan kepada lama atau pendeknya waktu. Padahal secara psikologis terdapat perbedaan motif terhadap anak-anak dan orang dewasa dalam melakukan tindak pidana, sehingga sangat tidak mencerminkan perlindungan yang baik bagi anak.

Ketiga pasal tersebut hanya mengatur sanksi pemidanaan terhadap anak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran, namun proses penyidikan terhadap anak tidak diatur sama sekali. Proses peradilan anak sama dengan proses peradilan orang dewasa yang diatur di dalam Hukum Acara Pidana. Berarti anak dituntut dan diadili sama seperti dengan orang dewasa. Padahal untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak seharusnya diselesaikan dengan proses peradilan pidana yang disesuaikan dengan kondisi


(41)

psikologis anak. Dengan demikian hal ini menunjukkan adanya perkembangan dalam perlindungan anak. Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan anak perlu penjabaran dan pengaturan lebih lanjut dalam suatu undang-undang khusus tentang anak.

Tahun 1959 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1959 yang mengatur tentang pemeriksaan perkara anak dengan pintu tertutup. Kemudian pada tahun 1971 Mahkamah Agung mengeluarkan instruksi dengan Nomor M.A/Pem./048/1971 tanggal 4 Januari yang menginstruksikan bahwa “Masalah anak wajib disalurkan melalui peradilan yang menjamin bahwa pemeriksaan dan putusan dilakukan demi kesejahteraan anak dan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksanakannya keadilan, sehingga disarankan ditunjuk Hakim Khusus yang mempunyai pengetahuan, perhatian, dan dedikasi terhadap anak.”

Tahun 1981 dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 153 Ayat (3) dan (4) yang pada pokoknya menyatakan bahwa sidang anak dilakukan dengan pintu tertutup dan bila tidak demikian maka putusan akan batal demi hukum.

Tahun 1997 Menteri Kehakiman mengeluarkan peraturan tentang Tata Tertib Persidangan. Dan Pada tahun 1997 akhirnya disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Pengadilan Anak menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Bagian Penutup Bab VIII Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 berisikan :


(42)

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal tersebut secara eksplisit membatalkan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP sehingga mengakhiri polemik tentang peradilan anak di Indonesia. Hal ini dalam ilmu hukum dikenal sebagai lex specialis derogat legi generalis yang berarti aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum, sehingga pengaturan hukum tentang anak sebagai pelaku pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak berlaku dan yang berlaku hanya yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak saja.

B. UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN

ANAK

Tanggal 20 November 1989 lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak. Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud adalah hak asasi manusia untuk anak.

Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Konvensi itu memuat kewajiban negara-negara yang meratifikasinya dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional untuk menjamin terlaksana hak-hak anak. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 Konvensi Hak Anak yaitu :


(43)

1) Negara peserta akan mengambil semua langkah-langkah legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada dalam asuhan orang tua, wali, atau orang lain yang memelihara anak.

2) Langkah-langkah perlindungan seperti itu termasuk prosedur-prosedur yang efektif dari diadakannya program-program sosial untuk memberi dukungan yang diperlukan kepada anak dan kepada mereka yang memelihara anak, dan bentuk-bentuk lain dari pencegahan dan tidak lanjut dari kejadian perlakuan salah terhadap anak-anak yang diuraikan terdahulu, dan untuk keterlibatan pengadilan.

Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut, lalu menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, terakhir adalah dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua instrumen hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak anak secara lebih kuat ketika berhadapan dengan hukum dan dalam menjalani proses peradilan.

Sejarah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berawal dari keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Rancangan Undang-undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun, ketika itu kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak dibahas Pemerintah


(44)

dan DPR pertengahan tahun 2001 dan pada tanggal 22 Oktober 2002 disahkannya RUU Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Indonesia yang mana pasal-pasal serta ayat yang memenuhi undang-undang ini terbaca bahwa bangsa ini bertekad untuk melindungi anak-anak Indonesia.

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah dengan tegas dan jelas mengatur hak-hak anak. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Sedangkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.24

Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 terdiri dari 93 Pasal dan 14 Bab yang berisikan tentang :

1. Bagian 1 tentang Pengertian Anak;

2. Bagian 2 tentang Perlindungan Anak (Definisis Anak; Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah; Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua; Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga);

3. Bagian 3 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Asas Perlindungan, Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama;

24

Ningsih, Suria. Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, Medan : USU Press 2013, Hlm. 106


(45)

Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Kesehatan; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Pendidikan; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Sosial; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Perlindungan Khusus);

4. Bagian 4 tentang Hak dan Kewajiban Anak (Hak Anak dan Kewajiban Anak);

5. Bagian 5 tentang Kedudukan Anak (Definisi Kedudukan Anak; Identitas Anak Dalam Akta Kelahiran; Kedudukan Anak dari Perkawinan Campuran);

6. Bagian 6 tentang Bentuk Alternatif Orangtua Pengganti (Orangtua Asuh dan Pengasuhan, Pengangkatan Anak);

7. Bagian 7 tentang Peran masyarakat dalam Perlindungan Anak;

8. Bagian 8 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Definisi KPAI; Keanggotaan KPAI; Tugas KPAI); dan

9. Bagian 9 tentang Ketentuan Pidana di dalam Undang-undang Perlindungan Anak.

Pasal-pasal serta ayat-ayat yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 melarang sanksi hukuman fisik bagi anak-anak. Hal ini jelas di atur dalam Artikel 37 Konvensi Hak Anak PBB yang mengharuskan negara menjamin bahwa :

a) Tak seorang anakpun akan mengalami siksaan, atau kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang menurunkan martabat. Baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan dibebaskan tidak akan dikenakan untuk


(46)

kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia di bawah delapan belas tahun;

b) Tidak seorang anakpun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang-undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak;

c) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan diperlakuan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat seorang manusia, dan dengan cara yang memberi perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kebebasannya akan dipisahkan dari orang dewasa kecuali bila tidak melakukannya dianggap sebagai kepentingan yang terbaik dari anak yang bersangkutan dan anak akan mempunyai hak untuk terus mengadakan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan, kecuali dalam keadaan luar biasa;

d) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan mempunyai hak untuk segera mendapat bantuan hukum dan bantuan-bantuan lain yang layak, dan mempunyai hak untuk menantang keabsahan perampasan kebebasan itu di depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, bebas dan tidak memihak, dan berhak atas keputusan yang cepat mengenai tindakan tersebut.

Hukuman fisik bagi anak merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digarisbawahi agama. Selain itu perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian. Disamping itu akan mengganggu sikap emosional anak yang beresiko membuat anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan.

Tujuan dari Perlindungan Anak yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi


(47)

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Anak yang terlibat dalam suatu permasalahan yang berhak diajukan ke Pengadilan Anak haruslah berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan anak yang berhadapan dengan hukum ini memiliki hak-hak yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak-hak tersebut adalah :

1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25

2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.26

3. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.27

4. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.28

5. Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.29

25

Pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

26

Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

27

Pasal 10 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak

28


(48)

6. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.30

7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.31

8. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.32

9. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.33

10.Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya

29

Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

30

Pasal 16 Ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

31

Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

32

Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

33


(49)

(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.34

11.Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.35

12.Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b. Penyediaan petugas pembimbing khusus pendamping khusus anak sejak dini;

c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;

e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadap dengan hukum;

f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

34

Pasal 59 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

35


(50)

g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.36

Undang-undang Perlindungan Anak lebih menjelaskan pada Perlindungan Hak Anak dari pada Perlindungan Anak itu sendiri, dimana hal ini terdapat di Bagian 3 Undang-undang Perlindungan Anak yaitu Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama, Kesehatan, Pendidikan, Sosial, dan Perlindungan Khusus. Selain itu, isi Undang-undang Perlindungan Anak lebih menekankan pada pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman sehingga tidak mengacu pada pencegahan dan tanggapan atau respon, seperti yang sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga yang fokus pada anak.

Anak yang berhadapan dengan hukum hendaklah mendapat perlindungan dalam menjalankan setiap proses hukum. Hal ini dikarenakan anak memiliki sifat dan ciri khusus dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga membutuhkan pembinaan, perlindungan, dan perlakuan khusus demi menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.

Pelaksanaan pembinaan dan pemberian perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan dukungan dari kelembagaan dan perangkat hukum yang lebih memadai yang dilakukan secara khusus terhadap anak tersebut.

36


(51)

C. UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.

Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 memiliki beberapa kelemahan dan disfungsi normatif yang rawan mencederai hak anak dan dianggap sudah tidak memadai lagi dalam memberikan solusi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka DPR RI bersama Pemerintah Republik Indonesia telah membahas Rancangan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012.

RUU Sistem Peradilan Pidana disampaikan Presiden kepada Pimpinan DPR-RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal 16 Februari 2011. Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut. Sementara itu, DPR RI menunjuk Komisi III untuk melakukan pembahasan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut lebih lanjut melalui Surat Wakil Ketua DPR RI No. TU.04/1895/DPR-RI/2011.


(52)

RUU Sistem Peradilan Pidana Anak ini sendiri secara langsung diterima dalam Rapat Pleno Komisi III DPR RI pada tanggal 28 Maret 2011, untuk kemudian dibahas dalam di tingkat panja (Panitia Kerja) sejak tanggal 3 Oktober 2011. Rancangan Undang-undang ini mulai diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan akan diberlakukan setelah 2 (dua) tahun sejak diundangkan.

RUU Sistem Peradilan Pidana Anak ini merupakan penggantian terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum.37

Lahirnya Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini diharapkan mampu memberikan perlindungan dan rasa keadilan terhadap anak sehingga mereka masih memiliki harapan untuk menatap masa depan mereka, tanpa harus terhambat dengan penderitaan trauma masa lalunya yang pernah mengalami tindakan hukum berlebihan di peradilan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diharapkan dapat mengisi ruang keadilan sebagaimana konsep keadilan restoratif (Restorative Justice), sehingga keadaan anak tetap bermartabat sebagaimana hak asasinya. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.38

Restorative Justice atau keadilan restoratif merupakan bentuk penyelesaian konflik yang tidak hanya mengadili dan menghukum pelaku dengan

37

Djamil, M.Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum. 2013. Jakarta : PT. Sinar Grafika, Hlm. 51

38

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


(53)

suatu pembalasan, tetapi lebih mengedepankan pada terpulihkannya keadaan semula atau kondisi normal dari korban, pelaku, keluarga pelaku/korban ataupun

stakeholder lainnya yang berkepentingan. Keadilan ini di satu sisi dapat menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku tidak dapat dibenarkan secara hukum, namun di sisi lain juga melindungi dan menghormati hak-hak individu yang lebih mendasar.

Restorative Justice dari Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini merupakan upaya korektif terhadap konsep keadilan yang pernah ada dalam sistem peradilan pidana sebelumnya dengan melibatkan partisipasi stakeholder

yang lebih luas yang selama ini belum terjangkau dari rasa keadilan, guna secara bersama-sama mencari penyelesaian yang lebih adil dan lebih dapat diterima oleh semua pihak. Dengan kata lain, lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini menandai diawalinya pembaharuan hukum pidana anak dengan semangat Restorative Justice.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengangkat dua hal besar dalam penyelesaian peradilan, yaitu keadilan restorative dan diversi. Dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, selama ini penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi pengaturannya belum memadai, hanya diatur pada tahap penyidikan saja. Sejak diterbitkannya Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012, maka pada semua tingkatan proses peradilan pidana anak, terbuka bagi peluang aparat penegak hukum untuk melakukan diversi, termasuk oleh hakim anak di pengadilan negeri.


(54)

Diversi ini dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap perkembangan psikologis anak atas diberlakukannya sistem peradilan pidana dengan segala konsekuensinya penjatuhan pidana.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses pengadilan dibawa ke arah penyelesaian melalui musyawarah melibatkan korban, pelaku, keluarganya dan masyarakat di luar proses peradilan. Diversi merupakan bagian penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan keadilan restoratif. Hal ini adalah suatu mekanisme yang dimaksudkan untuk mengkonkritkan keadilan yang restoratif, agar hak-hak anak baik korban maupun pelaku terlindungi demi masa depan mereka, sekaligus memulihkan kembali keadaan tertib sosial di masyarakat.

Tujuan dari diversi ini adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.39

Proses Diversi di Pengadilan Negeri mewajibkan hakim anak melakukan diversi sebelum melakukan pemeriksaan terhadap perkara tindak perkara anak. Diversi ini diselenggarakannya seperti halnya proses mediasi dalam perkara perdata. Hakim anak diberi kesempatan selama 7 (tujuh) hari, wajib melibatkan pihak-pihak terkait dalam suatu musyawarah sesuai syarat dan ketentuan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri secara tertutup untuk umum di ruang khusus, dengan memperhatikan asas-asas penyelesaian perkara

39


(55)

pidana anak. Jika tidak terdapat ruangan khusus, selayaknya menggunakan ruangan mediasi yang sudah ada di setiap Pengadilan Negeri. Artinya, dibutuhkan suatu ruangan dan perlakuan eksklusif menghormati hak-hak anak.

Hasil kesepakatan dalam proses diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa kerugian, atau penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LKPS paling lama 3 (tiga) bulan, atau dalam bentuk pelayanan masyarakat.40

Acara peradilan anak yang diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak di dalam Bab III mulai dari Pasal 16 sampai Pasal 62. Artinya ada 47 pasal yang mengatur hukum acara pidana anak. Hukum acara pidana anak ini merupakan lex specialis dari hukum acara pidana umum (KUHAP), maka ketentuan beracara dalam hukum acara pidana (KUHAP) berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Anak yang melakukan tindak pidana yang berusia belum genap 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui usia 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke Sidang Anak.41

Bentuk pemberian jaminan perlindungan hak-hak anak maka penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat serta

40

Pasal 11 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

41


(56)

perlindungan khusus dan dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan. 42

Jaminan perlindungan hak-hak anak juga terdapat dalam Pasal 18 yang menyebutkan bahwa dalam menangani perkara anak, anak korban, dan/anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Untuk itu Pasal 19 juga menyebutkan bahwa segala yang berhubungan dengan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik bahkan identitas sebagaimana dimaksud di atas meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal-hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.

Hak-hak anak dalam proses penangkapan adalah meliputi penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak. Dalam hal ruang pelayanan khusus anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, anak dititipkan di LPKS. Penangkapan terhadap anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai umurnya.43

Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan

42

Pasal 17 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

43


(57)

melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Syarat penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap terpenuhi. Untuk melindungi keamanan anak dapat dilakukan penempatan anak di LKPS.44

Ketentuan ini menjadi hal baru sebagai bentuk pemberian batas usia anak yang dapat ditahan, mengingat usia di bawah 14 (empat belas) tahun yang masih rentan untuk bisa ditahan. Jaminan hak anak juga masih harus diberikan selama anak ditahan, berupa kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

Pejabat yang melakukan penangkapan dan penahanan wajib memberitahukan kepada anak dan orang tua/wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum. Apabila pejabat tersebut tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, penangkapan atau penahanan anak dapat batal demi hukum.

Hak-hak anak dalam proses penyidikan adalah meliputi penahanan guna kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari yang mana penahanan terhadap anak dilakukan di LPAS ataupun dapat dilakukan di LKPS

44


(58)

setempat.45

Proses penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.

Apabila jangka waktu telah berakhir dan hakim belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum.

46

Setiap tingkat-tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi, atau pekerja sosial. Dalam hal orang tua sebagai tersangka dan/atau terdakwa perkara perkara yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi orang tua.

Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga ahli lainnya.

47

Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.48

45

Pasal 33 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Proses diversi sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk

46

Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

47

Pasal 23 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

48


(59)

dibuat penetapan. Apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

Hal ini dapat dilihat pada skema impelementasi diversi dalam tahap penyidikan berikut ini :

Penuntutan dalam acara pidana anak mengandung pengertian tindakan penuntut umum anak untuk melimpahkan perkara anak ke Pengadilan Anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim Anak dalam Persidangan Anak.

Penuntut umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan diversi yang dimaksud dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.49

49

Pasal 42 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak BAPAS, Tenaga Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Pembimbing Kemasyarakatan Laporan aduan diketahui sendiri kenakalan anak oleh Penyidik/Penyelidik.

Penyidik Anak

Proses Musyawarah Penyidik, pelaku (anak) dan Ortu/wali,

Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional Menerima dan disetujui diversi Menolak atau ditolak diversi Masuk program diversi Limpahkan ke Penuntut Umum


(60)

Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. Apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

Implementasi diversi dalam tahap penuntutan dapat dilihat dalam skema berikut ini :

Proses persidangan dalam Persidangan Anak masih menggunakan model yang ada di dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, berupa larangan menggunakan toga atau atribut kedinasan bagi petugas, hal ini terdapat dalam Pasal 22 yang berbunyi:

Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara anak, anak korban, dan/atau anak saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.

BAPAS Pelimpahan dari Penyidik Anak Analisis Rentut Anak Proses Musyawarah Penyidik, pelaku (anak) dan Ortu/wali,

Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional Menerima dan disetujui diversi Program diversi Menolak atau ditolak diversi Limpahkan ke Pengadilan Anak


(1)

kepentingan terbaik anak (the best interest of the child), sebagaimana yang diamanatkan dalam Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak.


(2)

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penulis dapat menarik kesimpulan berdasarkan hasil seluruh rangkaian penelitian dan pembahasan yang terdapat pada bab terdahulu sebagai berikut :

1. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam Putusan No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN Lubuk Pakam terhadap kasus tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak telah sesuai dengan ketentuan pemidanaan anak yang berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak yaitu penjatuhan sanksi berupa pidana penjara yang lebih ringan dari hukuman orang dewasa yaitu seperdua dari maksimal hukuman orang dewasa, serta pasal yang didakwakan penuntut umum telah sesuai dan perbuatan terdakwa yang terbukti melanggar pasal yang terbukti melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena antara perbuatan dan unsur-unsur pasal saling mencocoki.

2. Penerapan perlindungan hukum hak-hak terdakwa dalam proses penahanan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam kasus tindak pidana persetubuhan dengan Putusan Nomor 117/Pid.B/P.A/2013/PN-LP telah sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun


(3)

tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak karena belum diberlakukannya Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak setelah 2 (dua) tahun sejak diundangkan yaitu pada tanggal 30 Juli 2012. Maka Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak diberlakukan pada kasus-kasus yang terjadi setelah tanggal 30 Juli 2014.

B. SARAN

Penulis dapat mengemukakan beberapa saran setelah mempelajari berkas perkara pidana anak dan mengetahui pelaksanaan serta penerapan perlindungan hak-hak anak sebagai terdakwa berdasarkan keseluruhan penulisan tersebut di atas, adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan agar ke depannya sistem peradilan lebih mengefektifkan diversi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum .

2. Agar pelaksanaan perlindungan hak-hak anak sebagai terdakwa dalam proses pemeriksaan perkara pidana anak dapat sepenuhnya terpenuhi, maka para pihak yang terlibat harus dapat mendukung dan menciptakan suasana yang kondusif demi kelancaran sidang anak.

Saran yang penulis dapat berikan sehubungan terdakwa pada kasus ini adalah anak, maka sebaiknya dalam penanganannya tidak hanya dibebankan pada


(4)

aparat penegak hukum, tetapi juga perlu mendapat perhatian dari lingkungan sekitarnya dalam hal ini :

1. Pihak keluarga seharusnya menjadi benteng pencegahan pertama bagi anak agar tidak melakukan tindak pidana, karena kedudukan keluarga sangat fundamental dan mempunyai peranan penting dalam mendidik anak.

2. Penulis berharap agar pihak masyarakat dan pemerintah setempat bersedia menerima dan membantu mengawasi terdakwa ditengah-tengah kehidupan mereka setelah proses hukumnya selesai, dengan tujuan mencegah terdakwa yang telah dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan sesuai dengan tujuan penjatuhan pidana yaitu bersifat memperbaiki diri (reclasering).


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep

Diversi Dan Restorative Justice. Bandung: Refki Aditama.

Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika.

Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Gultom, Maldin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung : PT. Refika Aditama.

Gultom, Maldin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung : PT. Refika Aditama Dirjosisworo, Soedjono. 1973. Doktrin-Doktrin Kriminologi. Bandung : Armiko. R. Soesilo. 1976. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta

Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor : Politeia.

Anwar, H.A.K. Moch. 1989. Hukum Pidana Bagian Khusus. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.


(6)

________________. 1998/1999. Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang

Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru. Jakarta : Badan Pembinaan

Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

Ningsih, Suria. 2013. Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, Medan : USU Press. Djamali, Abdoel. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada.

J.B Daliyo. ______. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Prenhallind.

Djamil, M.Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : PT. Sinar Grafika.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

7 146 111

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

4 89 158

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan (Studi Kasus Proses Peradilan Pidana Terhadap Anak di Kabupaten Klaten).

0 3 12

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 0 23

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DAN PERSETUBUHAN DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLRESTABES SEMARANG

0 0 15