Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana Timor – Leste Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana T2 322013901 BAB I

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengakuan atas eksistensi anak sebagai subyek hak asasi manusia

(HAM) yang sui generis (rights holders as sui generis) ditandai manakala

konvensi hak anak ( KHA ) telah diratifikasi oleh 193 Negara1., Republik

Demokartik Timor-Leste meratifikasikan konvensi hak anak melalui

Resolusi Parlamen Nasional nomor 16 tahun 20032, urutan 193 menerima

kewajiban untuk mengambil semua langkah-langkah legislative,

administrative, sosial dan pendidikan secara layak untuk melindung anak-anak dari semua bentuk-bentuk dan manifestasi kekerasan. Namun kendati ratifikasi KHA telah menunjukan universalitas, terhadap perlindungan anak

dari kekerasan, eksplolitasi, dan penyalahgunan kekeraasan (children’s

protection from violence, explotation, and abuse) namun perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana melalui KHA masih sangat lemah. Anak sebagai bagian dari masyarakat paling lemah kemanpuannya untuk melindungi diri mereka sendiri, malah mereka menjadi obyek segala bentuk dan manifestasi kekerasan. Penghukuman secara fisik dan merendahkan

1

http:/id.wikipedia.org/wiki/konvensi-hak – hak Anak

2


(2)

martabat anak masih meluas dilakukan dalam komunitas seperti di Sekolah, di Rumah dan masyarakat setempat.

Republik Demokartik Timor-Leste merupakan suatu Negara yang berdasarkan Hukum, pada dasarnya ada peraturan perundang-undangan yang dapat membatasi seluruh aktifitas masyarakat. Maka dengan demikian segala hal yang berhubungan dengan perbuatan atau aktivitas antara manusia diatur oleh hukum yang jelas. Sesuai dengan yang diatas pemerintah Timor-Leste telah mempunyai suatu peraturan yang jelas dalam hukum pidana.

KUHAP/KÓDIGO PROSESU PENÁL3 yang memberikan landasan

perlindungan terhadap pelaku. Bahkan dalam bentuk-bentuk tindakan perbuatan pelaku sudah tercantum dalam KUHAP dan memberikan suatu rumusan upaya perlindungan terhadap hak-hak pelaku dirumuskan dalam Pasal 60 tentang hak-hak pelaku, sedangkan pada perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana belum ada undang-undang anak di Timor-Leste yang memberikan suatu rumusan upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana., karena peranan pemerintah Timor-Leste sejauh ini belum maksimal dalam pemenuhan hak-hak anak, terutama anak-anak yang bermasalah dengan hukum. Maka masa depan bangsa pada

3


(3)

kejahateraan anak-anak saat ini tidak begitu sebanding lurus dengan realitas yang ada sekarang.

Hak-hak secara mendasar jangan sampai tertindas atas nama kepentingan hukum dan kepastian hukum yang akan memperberatkan pelaku. Dalam hak asasi kebutuhan manusia yang bersifat mendasar dari umat manusia sejak lahir di Dunia, memiliki nilai yang universal.

Nilai-nilai HAM4 yang universal ini walaupun dalam penerapannya tidak

memiliki kesamaan dan keseragaman dalam beberapa Negara, baik Negara berkembang maupun pada Negara maju, yang disebabkan oleh kultur yang berbeda, dalam Deklarasi PBB tahun 1986, HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan.

Telah menjadi kesepakatan berbagai bangsa, persoalan anak

ditangani dalam suatu wadah United International Children Education of

Fund (UNICEF)5. Anak bukanlah objek perhatian, namun sebagai subjek

dari HAM, sebagaimana dijelaskan dalam dokumen HAM yang telah diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk konvensi Hak-Hak anak. Di Timor-Leste anak dikelompokkan sebagai kelompok yang sangat rentan, karena pengaturan anak telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Timor-Leste.

4

Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M. Zen, hal 304. 5


(4)

Maka dengan demikian secara pelaksanaan perdilan pidana anak di

Timor-Leste berpedoman pada Standrad Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice ( The Beijing Rules)6, yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan anak secara maksimal

memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.

2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses

peradilan pidana.

3. Penentuan batas usia pertanggunjawaban kriminal terhadap anak.

4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terkhir.

5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang tua/

wali.

6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak.

7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.

8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan dengan

peraturan ini.

Prinsip-Prinsip Beijing Rules di atas belum sepenuhnya dimasukkan dalam Konstitusi Republika Demokrasi Timor-Leste dalam Pasal 18 tentang perlindungan anak, yang termaut pada alina 7 tentang perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana, karena Timor-Leste belum adanya pengadilan

6


(5)

anak, sehingga pelaksanaan peradilan anak masih terjadi perlakuan yang tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak.

pada Pasal 18 yang telah memberikan perlindungan pada anak sesuai dengan konvesi anak yang telah diratifikasi oleh Timor-Leste, yang berbunyi sebagai berikut :

1. Setiap anak berhak atas perlindungan istimewa dari keluarga,

masyarakat dan Negara, khsusnya terhadap bentuk keterlantaran, diskriminasi, kekerasan, penindasan, pelecehan seksual maupun eskplotasi.

2. Setiap anak memiliki hak dan di akui secara unversal, serta hak-hak

yang termuat dalam perjanjian internasional yang diratifikasi atau disetujui oleh Negara.

3. Semua anak dilahirkan, baik didalam perkawaninan maupun diluar

perkawaninan, anak memiliki hak dan perlindungan sosial yang sama.

Oleh karena itu penulis meninjauh bahwa perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, hanya dibatasi pada konteks kekerasan yang dilakukan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang telah tertuang dalam Pasal 18 Aline 2 di atas.


(6)

Tetapi ada Prinsip-Prinsip Umum yang berkaitan dengan anak, yang diatur

dalam Resolusi Parlamen Nasional Nomor 16/20037, pada Pasal 3 yang

berbunyi sebagai berikut :

1. Larangan diskriminasi, dimana tidak ada anak yang harus mengalami

diskriminasi dalam bentuk apapun, terlepas dari pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau pendapatan dari anak, orang tua, asal etnis atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lainnya.

2. Prinsip kepentingan terbaik anak, yang bertujuan untuk menjaga

fisik, emosional,intelektual, dan psikologi kesejahteran anak-anak dan menjadi pertimbangan utama dalam semua keputusan yang berhubungan dengan anak.

3. Prinsip hak yang melekat untuk hidup dan kelangsungan hidup dan

perkembangan yang harus disediakan oleh negara untuk semaksimal mungkin.

Resolusi Parlamen Nasional No 16/2003, Pasal 3 yang diatas sangat memegan tegu pada kovensi hak anak yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 6 yang berbunyi :

Pasal 2

7

Resolusi Parlamen Nasional Nomor 16/2003 Tentang Perlindungan Anak., www.jornal.gov.tl.


(7)

1. Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.

2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat

untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak.

Pasal 6

1. Negara-negara Pihak mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai

hak yang melekat atas kehidupan.

2. Negara-negara Pihak harus menjamin sampai pada jangkauan

semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak.

Maka yang akan penulis kaji perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, yang sering terjadi pada pelaku karena suatu kejahatan selalu diberat pada kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut,


(8)

tidak melihat pada hak-hak yang dimiliki oleh pelaku, pada kejahatan yang ada pada perlindungan pelaku..

Dalam KUHAP/CODE PROCESSO PENAL Timor – Leste tahun

20068, pada Pasal 58 hanya bicara tentang tingka laku Pelaku, yang

berbunyi sebagai berikut

“ Naran Supeitu ne’ebe indisiu ruma hatudu katak nia halo ona ka prepara -án atu halo krime ruma, ka halo parte ka prepara-an atu halo parte iha krime ruma”. Nama Pelaku setiap orang yang telah melakukan atau sedang mempersiap akan untuk melakukan kejahatan, atau siapa untuk partisipasi dalam suatu kejahatan.

Perkembangan perlindungan hak anak di Timor-Leste secara kelembagaan telah terdapat Kementerian yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk menangani masalah anak yaitu Kementerian Kehakiman. Dengan demikian, Kementerian Kehakiman mengeluarkan Keputusan Nomor 15/A/GMJ/V/2008 tentang Pembentukan Komisi Nasional untuk Hak Anak yang tugasnya melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, sesuai dengan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste Pasal 18 tentang perlindungan anak. Dengan cara mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Pemerintah

8


(9)

dalam rangka perlindungan anak. Akan tetapi pada fakta yang diatas menunjukkan di Timor - Leste sudah ada kebijakan yang dituangkan dalam format Undang-undang tentang perlindungan anak.

Yang menjadi dasar bagi Kementerian Kehakiman untuk mendirikan Komisi Nasional untuk Hak Anak adalah keputusan Perdana Menteri Nomor 018 tahun 2008 tanggal 4 bulan Mei tahun 2008 tentang Pelimpahan Masalah Hak Asasi Manusia kepada Kementerian Kehakiman. Dengan demikian pada tanggal 29 September 2009 terbentuklah Komisi Nasional Hak Anak. Pembentukan Komisi ini merupakan tindak lanjut atas keputusan Perdana Menteri tersebut, dengan tujuan dapat melindungi hak-hak anak melalui pembentukan jaringan kerja dengan lembaga-lembaga pemerintah, pengadilan, kejaksaan, kepolisian, lembaga keagamaan dan organisasi-organisasi pemerintah lainnya, baik ditingkat daerah, nasional maupun internasional terutama yang bergerak dalam bidang hak - hak anak.

Prinsip – Prinsip Diversi Menutur The Bejiing Rules adalah sebagai

berikut:

a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu

penegak hukum, Polisi, Jaksa dan hakim, diberi kewenangan untuk menanganii pelangaran-pelangaran hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal.


(10)

b. Kewenangan untuk menentukan Diversi diberikan kepada aparat penegak hukum, Polisi, jaksa dan hakim yang menangani kasus anak-anak ini, menurut kebijakan mereka, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan Prinsip-Prinsip yang terkandung dalam The Bejjing Rules.

c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak atau orang

tua/walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan Diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan Diversi tersebut.

d. Pelaksanaan Diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat,

sehubungan dengan adanya programa Diversi seperti pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban. Penerapan Diversi dapat diterapkan di semua tingkat pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.

B. PERUMUSAHAN MASALAH

Berdasarkan uruian pada latarbelakang permasalaha diatas, maka dapat ditentukan rumusan permasalahn sebagai berikut :


(11)

1. Bagaimana Sistem Pengadilan Anak di Timor-Leste dikaitkan dengan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana?

2. Bagaimana refleksi hukum terhadap kebijakan hukum pidana

Timor-Leste dalam upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian yang akan diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan kebijakan hukum yang berlaku di Timor –

Leste dalam upaya perlindungan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana.

2. Untuk mendeskripsikan cara atau solusi untuk memperbaiki dari

pemberlakukan kebijakan hukum Pidana Timor-Leste dalam upaya Perlindungan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana.

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penelitian ini antara lain :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermafaat dan memberikan


(12)

hukum, khusunya berkaitan dengan kebijikan hukum pidana dalam upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidan.

2. Secara pratis penelitian ini untuk menambah referensi kepada

pihak-pihak yang membutuhkan hasil karya ilmiah ini khususnya dalam penerapan kebijakan hukum pidana Timor-Leste dalam upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.

E. KERANGKA TEORI 1. Peradilan Anak

Secara yuridis9 peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang

terbentuk badan beradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga negara, dengan demikian dalam peradilan anak bertujuan memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibawa hukum, karena anak sebagai generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional, maka dalam berbagai hal upaya pembinan dan perlindungan dihadapkan pada permasalahan dan tatangan dalam masyarakat, dijumpai penyimpangan perilaku anak, bahkan lebih

9

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan,cek 1, PT Aditama, Bandung 2012, Hal 190.


(13)

dari itu tedapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum tanpa mengenal status sosial dan ekonomi, di samping itu tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian secara fisik, mental, maupun sosial. Akibat dengan keadaan ini, baik sengaja maupun tidak sengaja sering anak juga melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya atau masyarakat, perbuatan melanggar hukum oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, anatara lain :

a) Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang

cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup orang tua, telah membawa perunbahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat atau sangat berpegaruh terhadap nilai dan perilaku anak.

b) Anak yang kurang memperoleh kasih sayang, asuhan,

bimbingan dan pembinan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dan orang tua atau wali, karena orang tua asuhan akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat dapat merugikan perkembagan pribadinya.

Peradilan anak diselengarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan meperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia


(14)

dapat meniggalkan perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan, maka perlindungan terhadap kepentingan anak yang diusahakan dengan memberikan bimbingan atau pendidikan dalam rangka rehabilitasi dan resosilisasi menjadi landasan bagi anak.

2. Sistem Peradilan Anak Dalam Konstitusi Republik Demokratik Timor – Leste

Timor-Leste memproklamasikan diri sebagai Negara Republik Demokratik yang berasaskan Prinsip Hak Asasi Manusia telah melakukan perubahan yang dramatis setelah kemerdekaannya diakui

secara Internasional pada Tanggal 20 Mei 200210. Mengelurkan diri dari

post konflik menuju ke post pembangunan, terutama membangun sumber daya manusia melalui pemenuhan hak-hak anak dengan tujuan untuk menciptakan generasi yang memiliki daya saing serta berwawasan global untuk mengisi kemerdekaan tersebut.Walaupun kini ada beberapa perubahan namun masih ada kendala-kedala, terutama dalam perlindungan hak-hak anak yang bermasalah dengan hukum. Dalam sistem peradilan anak di Timor-Leste, belum adanya pengadilan anak sehingga pelaksanaan peradilan anak masih terjadi

10


(15)

perilaku yang tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak, karena pengadilan anak di Timor-Leste ada pada peradilan umum yaitu pengadilan tinggi yang akan memberikan perlindungan pada anak sesuai dengan Konstitusi Republik Demokrasi Timor-Leste Tahun 2002, pada pasal 18 yang telah memerikan perlindungan pada anak sesuai dengan konvensi anak yang telah diratifikasi oleh Timor-Leste, yang berbunyi sebagai berikut :

1. Setiap anak berhak atas perlindungan istimewa dari keluarga,

masyarakat dan Negara, khsusnya terhadap bentuk keterlantaran, diskriminasi, kekerasan, penindasan, pelecehan seksual maupun eskplotasi.

2. Setiap anak memiliki hak dan di akui secara unversal, serta

hak-hak yang termuat dalam perjanjian internasional yang diratifikasi atau disetujui oleh Negara.

3. Semua anak dilahirkan, baik didalam perkawaninan maupun

diluar perkawanian, anak memiliki hak dan perlindungan sosial yang sama.

Maka Timor - Leste menjadi Negara pihak Konvensi Hak Anak pada tahun 2003 setelah Parlemen Nasional mengeluarkan Resolusi Nomor

16 tahun 2003 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak11. Dengan

11


(16)

demikian, Timor-Leste mempunyai kewajiban sebagai Negara pihak untuk memenuhi,melaksanakan dan melindungi hak-hak anak yang termuat di dalam Konvensi Hak Anak tersebut. Kewajiban yang harus dipenuhi adalah menyediakan berbagai regulasi tentang perlindungan hakhak anak tanpa terkecuali hak anak bermasalah atau berhadapan dengan hukum sebagai bentuk komitmen Negara peserta Konvensi Hak Anak.

Perkembangan perlindungan hak anak di Timor-Leste secara kelembagaan telah terdapat kementerian yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk menangani masalah anak yaitu Kementerian Kehakiman. Dengan demikian, Kementerian Kehakiman mengeluarkan Keputusan Nomor 15/A/GMJ/V/2008 tentang Pembentukan Komisi Nasional untuk Hak Anak yang tugasnya melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Dengan cara mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat,melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perlindungan anak. Akan tetapi fakta menunjukkan di Timor-Leste belum ada kebijakan yang dituangkan dalam format Undang-Undang tentang perlindungan hak-hak anak yang


(17)

bermasalah dengan hukum. Yang menjadi dasar bagi Kementerian Kehakiman untuk mendirikan Komisi Nasional untuk Hak Anak adalah keputusan Perdana Menteri Nomor 018 tahun 2008 tanggal 4 bulan Mei tahun 2008 tentang Pelimpahan Masalah Hak Asasi Manusia kepada Kementerian Kehakiman. Dengan demikian pada tanggal 29 September 2009 terbentuklah Komisi Nasional Hak Anak. Pembentukan Komisi ini merupakan tindak lanjut atas keputusan Perdana Menteri tersebut, dengan tujuan dapat melindungi hak-hak anak melalui pembentukan jaringan kerja dengan lembaga-lembaga pemerintah, pengadilan, kejaksaan, kepolisian, lembaga keagamaan dan organisasi-organisasi non pemerintah lainnya, baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional terutama yang bergerak dalam bidang hak-hak anak.

3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana

Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara untuk melindungi tunas bangsa di masa depan, karena perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku sehingga perlindungan ini perlu ada pada anak, karna anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan


(18)

mentalnya12. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dan perawatan khusus. Maka ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak yaitu :

a) Secara internasional pelaksanaan peradilan pidana anak

berpedoman pada Standrad Minimun Rules For the

Administration of Juvenile Justice ( The Beijing Rules)13, yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan remaja secara

maksimal memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.

2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam

proses peradilan pidana.

3. Penentuan batas usia pertanggunjawaban kriminal terhadap

anak.

4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terkhir.

5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau

orang tua/ wali.

6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana

anak.

7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.

12

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, PT Refika Aditama, Hal 42

13


(19)

8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan dengan peraturan ini.

b) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2012 tentang sistem peradilan anak pada Pasal 5 menetukan :

1) Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan

pendekatan keadilan restroratif.

2) Sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi :

a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undag ini.

b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan

dilingkungan peradilan umu dan,

c. Pembinan, pembimbingan, pengawasan, dan pendamping

selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

3)Dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud

pada ayat ( 2 ) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.


(20)

Dalam penguraian mengenai kebijikan tindak pidana terhadap pelaku anak belum memberikan uraian secara jelas khususnya di Timor-Leste pada kedudukan dan upaya perlindungan yang harus dilakukan.

Maka tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, menurut

Indriyanto Seno Adji14, setiap tindak pidana adalah perbuatan

seseorang yang diancam pidana, perbuatan bersifat melawan hukum, terdapat kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan

atas perbuatannya, sedangkan menurut Roeslam Saleh15 orang baru

akan pidana apabila mempunyai unsur kesalahan, sebagaimana salah satu asas yang dikenal dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana apabila tidak ada kesalahan. Suatu perbuatan akan menjadi perbuatuan pidana apabila terdapat unsur yang dilarang, atau aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana, tetapi pada sifat dari perbuatan tersebut akan diketahui adanya unsur melawan hukum. Dengan demikian kebijikan hukum pidana sebagai upaya perlindungan terhadap pelaku anak, pengajian perlunya perlindungan terhadap pelaku anak menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati

14

Jantung,jt.blogstop.com, Chairul Anwar, 2005 : 25 – 26 Hal.

15


(21)

Soetodjo16, dilihat dari motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak :

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan

anak-anak adalah;

a. Faktor Usia.

b. Faktor kelamin.

c. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

d. Faktor intelegensia.

2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :

a. Faktor Rumah Tangga.

b. Faktor Pendidikan dan sekolah.

c. Faktor pergaulan anak.

d. Faktor media masa.

Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistim peradilan pidana, dan menurut Marc Ancel masa media dipahami berpengaruh pula terhadap perkembangan anak, keinginan atau kehendak anak untuk melakukan kenakalan, kadangkala timbul karena pengaruh

16

Nashriana, perlindungan hukum pidana anak di Indonesia,cek 3 Jakarta 2014, Hal 36 dan Hal 44


(22)

bacaan, gambar-gambar, dan flim, maka bagi anak yang mengisi waktu sesunguhnya dengan bacaan yang buruk, maka hal itu akan

berbahaya dan dapat menghalangi mereka untuk berbuat hal – hal

yang baik, dengan demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap anak, karena rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Kondisinya yang desrtuktif ini dapat berengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak, dan disinilah dituntu peran orang dewasa, baik orang tua, lingkungan sekolah dan lingkungan sosial agar menjauhkan anak dari segala

sesuatu baik film atau bacaan – bacaan yang berpengaruh terhadap

perkembangan jiwa si anak.

Berdasarkan perlindungan terhadap pelaku anak, ada beberapa alasan-alasan yang memberatkan pelaku anak diperoleh dari

pengamatan watak pelaku anak, menurut Jeremy Bentham17 adalah:

1) Semakin pihak yang dirugikan tidak mampu mempertahankan

diri semakin kuat perasaan iba. Hukum kehormatan yang menunjang naluri iba itu melunakan sifaf yang keras terhadap

17

Teori Perundang – Undang : Prinsip – Prinsip, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Penerbit nuansa cendekia & nusamedia.Hal 293.


(23)

pihak yang lemah dan memperlihatkan belaskasihan kepada mereka yang tidak sanggup melawan.

2) Jika kelemahan saja pasti membangkitkan belaskasihan, melihat

penderitaan seharusnya semakin menguatkan belaskasih itu. Penolakan untuk membantu orang yang tertimpah kemalangan sendiri sudah menyiratkan watak yang kurang menyenangkan.

3) Salah satu bagian utama dari pmeliharaan kebersihan akhlak

bahwa mereka yang sudah mampu membentuk kebiasaan berefleksi yang lebih unggul, mereka yang lebih bijaksana dan berpengalaman, harus dihormati dan dihargai oleh orang-orang yang tidak mampu mmencapai kebiasaan berefleksi dan manfaat pada tingkat pendidikan yang sama.

4) Motif-motif yang relatif ringan dan sepele sebagai penyebab

kejahatan membuktikan bahwa perasaan kehormatan dan kebijakan sedikit sekali pengaruhnya.

5) Waktu terutama mendukung perkembangan motif-motif

penuntun serangan pertama nafsu seperti terpaan badai untuk pertama kalinya perasaan kebijakan menyimpang untuk sesaat, namun jika hati tersesat, refleksi pada saat itu juga akan mengembalikan kekuatan kebajikan dan kembali berkuasa atas nafsu.


(24)

6) Pertanda lain keburukan akhlak adalah banyaknya anak buah, gerombolan memerlukan pemikiran, serta perencanaan yang terus menerus berlanjut.

Dengan demikian menurut Anthoy M. Platt18 prinsip dari perlindungan

terhadap anak adalah :

1) Anak harus dipisahkan dari pengaruh kerusakan dari penjahat

dewasa.

2) Anak nakal harus dijauhkan dari lingkungannya yang kurang

baik dan diberi perlindungan yang baik, karena anak harus dijaga dengan panduan cinta dan bimbingan.

3) Perbuatan anak nakal harus diupayakan untuk tidak dihukum,

kalaupun dihukum harus dengan ancaman hukuman yang minimal dan bahkan penyelidikan tidak diperlukan karena terhdap anak harus diperbaiki bukan hukum.

4) Terhadap anak nakal tidak ditentukan hukuman baginya, karena

menjadi narapidana akan menbuat perjalan hidupnya sebagai mantan orang hukuman.

5) Hukuman terhadap anak hanya dijalankan jika tidak ada lagi

cara lain yang lebih baik dijalankan.

18

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia pengembagan konsep Diversi, Cek 1,PT Refika Aditama, Bandung 2009, Hal 59.


(25)

6) Penjara terhadap anak dihindarkan dari bentuk penderitaan fisik yag buruk.

7) Program perbaikan yang dilakukan lebih bersifat keagamaan,

pendidikan, pekerjaan, tidak melebihi pendidikan dasar.

8) Terhadap narapidana anak diberi pengajaran yang lebih baik

menguntungkan dan terarah pada keadaan dunia luar. 1. Perlindungan Anak

Pada perlindungan anak merupakan segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik,mental, dan sosial. Perlindungan anak yaitu perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan

bermasyarakat. Maka Arif Gosita19 mengemukan bahwa kepastian

hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewenan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

19

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, hal 33


(26)

2. Konvensi Hak Anak

Berdasarkan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, maka ada beberapa alasan - alasan yang harus di pengamatankan dari kovensi hak anak yang tercantum dalam pasal 3 dan pasal 12. Pasal 3

1. Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh

lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum , penguasa administratif atau badan legislatif,

kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan

pertimbangan utama.

2. Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan

perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk

kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.

3. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga,

pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam


(27)

jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang.

Pasal 12

1. Negara-negara Pihak harus menjamin bagi anak yang mampu

membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan pendapat-pendapat tersebut dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu, pendapat - pendapat anak itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan si anak.

2. Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi kesempatan

untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur hukum nasional.

3. Tindak Pidana Oleh Anak

Terkaik tindak pidana oleh anak, Olivia Sembiring dalam tulisnya yang berjudul perlindungan hukum terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum, mendefenisikan Juvenile Delinquency


(28)

muda yangmerupakan gejala sakit (patalogis) secara sosial kepada anak-anak danremaja yang disebabkan oleh bentuk tingkah laku yang menyimpang.

Differential Assosiation Theory yang dikemukakan oleh E. Sutherland dan Donald Cressey pada dasarnya melandaskan diri pada proses belajar,kejahatan seperti juga perilaku pada umumnya sesuatu yang dipelajar Teori ini menjelaskan bagaimana proses terjadinya perilaku kejahatan oleh anak dipengaruhi faktor-faktor di luar keinginan anak.

Differential Association diartikan sebagai “the contens of the patterns presented in association”.20 Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yangterpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. Kemudian, pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itudipelajari, perilaku kejahatan bukan merupakan suatu warisan (inheritance) melainkan perilaku yang dipelajari oleh anak secara negatif dari dari oranglain dan lingkungan sekitar.

20


(29)

4. Teori Pemidanaan

Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah menjatuhkan pidana terahadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pidana itu adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan Negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Diantara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana

adalah sebaagi berikut21:

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan

kejahatan,baik secara menakut-nakuti orang banyak maupun orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi.

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah

menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Leden Marpaung berpendapat pada dasarnya ada tiga pokok dari tujuan pemidanaan yaitu :

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.

2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan.

21

Leden Marpaung, 2005. Asas – Teori – pratik Hukum Pidana., Jakarta : Sinar Grafika Hlm 4.


(30)

3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan lagi.

Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu sebagai golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan kemudian di tambah dengan golongan teori gabungan.

a. Teori Pembalasan ( Teori Absolut )

Teori pembalasan membernarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana,bahkan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya timdak pidana itu. Immauel Kant menyatakan bahwa pemidanaa merupakan tuntuntan mutlak dari kesusilan ( Etika ) terhadap seorang penjahat. Ahli Filsafat ini menyatakan bahwa dasar dari pemidanaan adalah tuntuta mutlak dari hukum kesusilaan dari seorang penjahat yang telah merugikan orang lain., Sehubungan dengan itu, Kant menyatakan “Walupun besok dunia mau kiamat, namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya.”

b. Teori Tujuan ( Teori Relatif )

Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membernarkan pemidanaan berdasarkan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan,


(31)

yaitu : untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Perbedaan dari beberapa teori tujuan, terletak pada caranya untuk mencapai tujuan penilaian terhadap kegunan pidana. Diancamkan suatu pidana dan dijatuhkan pidana dimaksudkan untuk menaku-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, atau prevensi umum.

c. Teori Gabungan

Kemudian munjulah golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan kepada perpanduan teori pembalasan dengan teori tujuan yang disebut

sebagai teori gabungan22. Dikatakan bahwa teori pembalasan dan

teori tujuan masing-masing mempunyai kelemahan – kelemahan,

untuk mana dikemukakan keberatan-keberatannya sebagai berikut : Terhadap Teori Pembalasan :

1. Sukar menentukan berat atau ringannya pidana, atau ukuran

pembalasan tidak jelas.

2. Diragukan adanya hak Negara untuk menjatuhkan pidana

sebagai pembalasan.

22

Kenter dan Sinatur, 2002. Asas – Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Perapannya. Jakarta : Storia Grafika. Hlm 59 – 63.


(32)

3. Hukum pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Terhadap Teori Tujuan :

1. Pidana hanya ditujunkan untuk mencegah kejahatan, sehingga

dijatuhkan pidana yang berat.

2. Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang

berat tidak memenuhi rasa keadilan.

3. Bukan hanya masyarakat yang diberi kepuasan, tetapi juga pada

penjahat itu sendiri.

F. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah yuriditis normatif23 dengan menggunakan

bahan sekunder dan atau bahan pustaka. Penelitian normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan yang dihadapi.

23

Peter Mahmud ( Dalam Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad ) Dualisme Penelitian Hukum, Normafit dan Emprik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010. Hal 34


(33)

2. Metode Penelitian

Metode Penelitian ini adalah menggunakan metode perundang-undangan yaitu suatu penelitian yang dilakukan penelitian khususnya terhadap kebijakan hukum pidana Timor Leste dalam dalam upaya perlindungan terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana.

3. Sumber bahan hukum

a) Bahan Hukum Primer adalah terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan.

b) Bahan hukum sekunder adalah terdiri dari semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumentasi resmi. Publikasi tentang hukum dapat berupa buku teks, kamus hukum dan jurnal hukum.

Dalam penelitian ini, penelitian akan menggunakan sumber data yang diperoleh dari data primer yang berupa peraturan perundang-undangan KUHP dan KUHAP/CCP Timor-Leste, dan data sekunder atau literatur yang dapat menunjang penelitian ini.

4. Analisis bahan hukum

Analisis hukum diperlukan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif. Dengan demikian, penelitian akan melakukan penggambaran


(34)

atau deskripsi pada pokok permasalahan yang terjadi dan diuraikan serta dianalisis secara normatif.

Dengan menggunakan metode ini, maka data-data sekunder akan dilakukan inventarisasi dan disusun secara sistematis untuk menghasilkan analisis deskriptif.


(1)

4. Teori Pemidanaan

Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah menjatuhkan pidana terahadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pidana itu adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan Negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Diantara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana

adalah sebaagi berikut21:

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan

kejahatan,baik secara menakut-nakuti orang banyak maupun orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi.

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah

menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Leden Marpaung berpendapat pada dasarnya ada tiga pokok dari tujuan pemidanaan yaitu :

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.

2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan.

21

Leden Marpaung, 2005. Asas – Teori – pratik Hukum Pidana., Jakarta : Sinar Grafika Hlm 4.


(2)

3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan lagi.

Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu sebagai golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan kemudian di tambah dengan golongan teori gabungan.

a. Teori Pembalasan ( Teori Absolut )

Teori pembalasan membernarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana,bahkan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya timdak pidana itu. Immauel Kant menyatakan bahwa pemidanaa merupakan tuntuntan mutlak dari kesusilan ( Etika ) terhadap seorang penjahat. Ahli Filsafat ini menyatakan bahwa dasar dari pemidanaan adalah tuntuta mutlak dari hukum kesusilaan dari seorang penjahat yang telah merugikan orang lain., Sehubungan dengan itu, Kant menyatakan “Walupun besok dunia mau kiamat, namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya.”

b. Teori Tujuan ( Teori Relatif )

Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membernarkan pemidanaan berdasarkan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan,


(3)

yaitu : untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Perbedaan dari beberapa teori tujuan, terletak pada caranya untuk mencapai tujuan penilaian terhadap kegunan pidana. Diancamkan suatu pidana dan dijatuhkan pidana dimaksudkan untuk menaku-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, atau prevensi umum.

c. Teori Gabungan

Kemudian munjulah golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan kepada perpanduan teori pembalasan dengan teori tujuan yang disebut

sebagai teori gabungan22. Dikatakan bahwa teori pembalasan dan

teori tujuan masing-masing mempunyai kelemahan – kelemahan,

untuk mana dikemukakan keberatan-keberatannya sebagai berikut : Terhadap Teori Pembalasan :

1. Sukar menentukan berat atau ringannya pidana, atau ukuran

pembalasan tidak jelas.

2. Diragukan adanya hak Negara untuk menjatuhkan pidana

sebagai pembalasan.

22

Kenter dan Sinatur, 2002. Asas – Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Perapannya. Jakarta : Storia Grafika. Hlm 59 – 63.


(4)

3. Hukum pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Terhadap Teori Tujuan :

1. Pidana hanya ditujunkan untuk mencegah kejahatan, sehingga

dijatuhkan pidana yang berat.

2. Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang

berat tidak memenuhi rasa keadilan.

3. Bukan hanya masyarakat yang diberi kepuasan, tetapi juga pada

penjahat itu sendiri.

F. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah yuriditis normatif23 dengan menggunakan

bahan sekunder dan atau bahan pustaka. Penelitian normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan yang dihadapi.

23

Peter Mahmud ( Dalam Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad ) Dualisme Penelitian Hukum, Normafit dan Emprik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010. Hal 34


(5)

2. Metode Penelitian

Metode Penelitian ini adalah menggunakan metode perundang-undangan yaitu suatu penelitian yang dilakukan penelitian khususnya terhadap kebijakan hukum pidana Timor Leste dalam dalam upaya perlindungan terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana.

3. Sumber bahan hukum

a) Bahan Hukum Primer adalah terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan.

b) Bahan hukum sekunder adalah terdiri dari semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumentasi resmi. Publikasi tentang hukum dapat berupa buku teks, kamus hukum dan jurnal hukum.

Dalam penelitian ini, penelitian akan menggunakan sumber data yang diperoleh dari data primer yang berupa peraturan perundang-undangan KUHP dan KUHAP/CCP Timor-Leste, dan data sekunder atau literatur yang dapat menunjang penelitian ini.

4. Analisis bahan hukum

Analisis hukum diperlukan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif. Dengan demikian, penelitian akan melakukan penggambaran


(6)

atau deskripsi pada pokok permasalahan yang terjadi dan diuraikan serta dianalisis secara normatif.

Dengan menggunakan metode ini, maka data-data sekunder akan dilakukan inventarisasi dan disusun secara sistematis untuk menghasilkan analisis deskriptif.


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

20 276 107

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana Timor – Leste Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana T2 322013901 BAB II

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana Timor – Leste Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana T2 322013901 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana Timor – Leste Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Kebijakan Hukum Pidana Timor Leste dalam Upaya Perlindungan terhadap Korban

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Kebijakan Hukum Pidana Timor Leste dalam Upaya Perlindungan terhadap Korban T2 322011901 BAB I

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Kebijakan Hukum Pidana Timor Leste dalam Upaya Perlindungan terhadap Korban T2 322011901 BAB II

0 0 63

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Kebijakan Hukum Pidana Timor Leste dalam Upaya Perlindungan terhadap Korban T2 322011901 BAB IV

0 0 2

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33