Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB VII

Bab Tujuh

Implikasi Kebijakan Pemerintah
terhadap Peran LKM S di Jawa
Tengah
Secara
konstitusional,
sesungguhnya
yang
paling
bertanggungjawab terhadap kondisi kemiskinan dan ketidakadilan di
dalam masyarakat Indonesia adalah pemerintah sebagai representasi
negara. Hal ini telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa
“Negara melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa...”. Ini berarti bahwa pemerintah harus mengerahkan segala
daya upaya dan dengan segala biaya (all out and at all cost) untuk
menyejahterakan rakyat dalam suasana yang berkeadilan. Jika
kenyataannya pada saat ini angka kemiskinan masih tinggi dan indeks
gini juga terus meningkat yang mencerminkan disparitas pendapatan
(income disparity) dan ketidakadilan distributif (distributive injustice),

maka pemerintah lah yang terutama harus bertanggungjawab untuk
menciptakan keadilan dalam masyarakat.
Seperti diketahui bahwa menurut John Rawls (2011) keadilan
distributif mengandung dua prinsip, yaitu: the greatest equal principle
(prinsip kesamaan yang paling mendasar) dan social and economic
inequalities that should be arranged based on the principles of: (1) the
different principle, dan (2) the principle of fair equality of opportunity.
The greatest equal principle mengacu kepada azas bahwa setiap
orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini berarti bahwa
153

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang
maka keadilan akan terwujud atau yang disebut sebagai Prinsip
Kesamaan Hak. Dalam hubungan ini, sesungguhnya pemerintah lah
yang harus mengambil peran yang penting sebagai regulator.
Pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya harus mengawal

terciptanya regulasi untuk menjamin kebebasan bagi semua orang. Jika
pemerintah absen atau lemah dalam hal ini maka penciptaan regulasi
akan dikuasai oleh kelompok vested interest yang akan lebih
mementingkan diri sendiri daripada mementingkan kepentingan
masyarakat secara umum. Bahaya akan muncul, jika kekuatan vested
interest sangat dominan dan akhirnya dapat mengkooptasi kebijakan
pemerintah melalui kolusi, korupsi, dan nepotisme. Gejala ini disebut
sebagai corporatism.
Selanjutnya, prinsip ke dua menurut John Rawls, yaitu
mengenai pengaturan ketidaksamaan sosial ekonomi yang didasarkan
atas prinsip the different principle (prinsip yang berbeda) dan the
principle of fair equality of opportunity (prinsip kesamaan kesempatan
yang adil) yang dimaksudkan untuk memberikan keuntungan terbesar
bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan
bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama di mana semua
posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang. Dalam hal ini,
pemerintah pun sebetulnya tidak bisa berpangku tangan membiarkan
terjadi persaingan bebas di dalam masyarakat. Pemerintah memiliki
tanggung jawab untuk menciptakan SDM yang berkualitas terhadap
semua warga negara melalui pendidikan dan pelatihan.

Sebagaimana yang diuraikan oleh Rawls bahwa jika terjadi
konflik antara dua prinsip tersebut, maka yang harus lebih
diprioritaskan adalah prinsip pertama. Demikian juga prinsip 2, bagian
b yaitu the principle fair equality of opportunity harus lebih
diprioritaskan dari pada bagian a yaitu the different principle.
M enurutnya, keadilan harus dipahami sebagai fairness di mana tidak
hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik
saja yang berhak menikmati berbagai manfaat sosial lebih banyak,
tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka
154

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

yang kurang beruntung untuk meningkatkan masa depan
kehidupannya. Namun demikian hal ini tidak akan terwujud dengan
mengharapkan kebaikan orang yang beruntung. Dalam hal ini
pemerintah harus menegakkan peraturan agar keadilan itu betul-betul
terjamin. Dalam hal ini prinsip ketegasan hukum harus menjadi
landasan prinsip moral.
Dengan mengingat bahwa kontrak-kontrak dalam dunia bisnis

memiliki dimensi yang sangat kompleks, maka pengaturan terhadap
substansi kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak dalam
pertukaran (prestasi – kontraprestasi) sebagaimana dipahami dalam
konteks keadilan komutatif (commutative justice) maupun konsep
keadilan distributive (distributive justice) sebagai landasan hubungan
kontraktual yang bersifat komprehensif. Dalam hubungan ini sekali
lagi peran kebijakan pemerintah sangat penting untuk mengatur agar
kontrak-kontrak bisnis diupayakan untuk mewujudkan keadilan
distributif di dalam masyarakat. Sangat penting bagi pemerinah untuk
tidak menciptakan ketimpangan dalam kebijakan.
Perlu diingat bahwa upaya untuk mengurangi ketimpangan
atau ketidakadilan lebih kompleks sifatnya daripada mengurangi
kemiskinan. Oleh sebab itu untuk mengurangi ketimpangan atau
meredam tren kenaikan ketimpangan di Indonesia, pemerintah tidak
bisa semata-mata melakukan pengendalian ketimpangan
dalam
outcome (seperti pendapatan atau konsumsi), tetapi harus lebih
fokus pada pengurangan ketimpangan dalam opportunity melalui
equality of opportunity (penyamaan kesempatan) dan melakukan
redistribution (redistribusi).

Equality of opprotunity bisa dilakukan dengan berbagai
kebijakan, misalnya dalam hal pemberian akses kepada kelompok
ekonomi lemah dalam masyarakat dalam hal permodalan yang bisa
dilakukan dalam bentuk pemberian kredit lunak. Dalam hal ini
lembaga keuangan mikro (micro finance) baik yang berupa LKM S
maupun LKMK sebetulnya memiliki peran yang strategis dalam ikut
mengkondisikan terbentuknya equality of opprotunity di kalangan
masyarakat ekonomi lemah semestinya mendapatkan dukungan
155

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

pemerintah baik dalam hal permodalan maupun infrastruktur, karena
dengan membantu mereka, berarti pemerintah membantu diri sendiri
dalam melaksanakan kewajibannya untuk “memajukan kesejahteraan
umum” dan menciptakan keadilan yang menjadi tanggungjawabnya.
M enurut Budi W inarno (2012), istilah kebijakan (policy)
digunakan dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk
menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini

sering dipertukarkan dengan tujuan, program, keputusan, standar,
proposal dan grand design. Kebijakan publik terlihat abstrak dan
bahkan dipandang sebagai sesuatu yang terjadi terhadap seseorang.
Istilah kebijakan digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor
atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian
kebijakan seperti ini dapat digunakan dan relatif memadai untuk
keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang
memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang bersifat ilmiah dan
sistematis yang menyangkut analisis kebijakan publik sehingga
diperlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.
Pada dasarnya, terdapat banyak batasan atau definisi tentang
kebijakan publik dalam literatur-literatur ilmu politik. M asing-masing
definisi tersebut memberikan penekanan yang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut timbul karena masing-masing ahli memiliki latar
belakang yang berbeda-beda. Pendekatan dan model yang digunakan
oleh para peneliti akhirnya akan menentukan bagaimana kebijakan
publik. Eyestone (1971) menjabarkan bahwa kebijakan publik secara
luas dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah
dengan lingkungannya. W inarno (2011) mengemukakan bahwa
konsep yang ditawarkan oleh Eyestone tersebut memberikan

pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.
Batasan lain dikemukakan oleh Dye (2002) yang menuliskan bahwa
kebijakan publik merupakan apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan dan tidak dilakukan. W alaupun batasan yang
diberikan oleh Dye ini dianggap agak tepat, namun batasan ini tidak
cukup memberikan pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan
156

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang diputuskan oleh
pemerintah untuk tidak dilakukan. Konsep ini juga bisa mencakup
tindakan-tindakan seperti pengangkatan pegawai baru dan pemberian
lisensi. Suatu tindakan yang sebenarnya berada di luar domain
kebijakan publik.
M enurut Rose (1969), kebijakan hendaknya dipahami sebagai
serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan dengan pihakpihak yang bersangkutan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi
mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri.
W inarno (2011) memahami definisi ini masih terlalu ambigu namun

berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan
bukan sekedar sebagai suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.
Friedrich (1963) memandang kebijakan sebagai arah tindakan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan
peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini
menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami
sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh
kelompok maupun individu. Selain itu, gagasan bahwa kebijakan
mencakup perilaku yang mempunyai maksud yang layak mendapatkan
perhatian dan sekaligus harus dilihat sebagai bagian definisi kebijakan
publik yang penting, sekalipun maksud atau tujuan dari tindakantindakan pemerintah yang dikemukakan dalam definisi itu mungkin
tidak selalu dipahami.
W inarno (2011) memaparkan bahwa pendefinisian kebijakan
harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya
dilakukan daripada apa yang diusulkan dalam tindakan tentang suatu
persoalan tertentu. Hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan
suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi

sehingga definisi kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang
diusulkan menjadi kurang memadai. Definisi tentang kebijakan publik

157

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

akan lebih tepat bila mencakup pula arah tindakan dan tidak sematamata menyangkut usulan tindakan.
Definisi kebijakan publik yang ditawarkan oleh Anderson lebih
tepat jika dibandingkan dengan definisi-definisi yang lain. Konsep
kebijakan tersebut dianggap tepat oleh W inarno karena memusatkan
perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa
yang diusulkan. Konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan
yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.
Pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi menjadi dua
wilayah kategori. Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan
publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam
kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan
pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua

berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus kepada
pelaksana kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi
menjadi dua kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik
sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuantujuan dan maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan
publik memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang
termasuk dalam kubu yang pertama melihat kebijakan publik dalam
tiga lingkup, yakni perumusan, pelaksanaan, dan penilaian kebijakan.
Kebijakan publik secara ringkas menurut pandangan yang pertama
dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan. Hal ini berarti kebijakan publik adalah serangkaian instruksi
dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang
menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut. Kubu kedua lebih melihat kebijakan publik sebagai rangkaian
keputusan dan tindakan. Kubu kedua ini diwakili oleh Presman dan
W ildavsky yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu
hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat
yang bisa diramalkan.
Keterlibatan pihak-pihak dalam perumusan kebijakan
kemudian menjadi ciri khusus kebijakan publik. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang

158

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

dikatakan David Eston sebagai penguasa dalam suatu sistem politik
yaitu para sesepuh tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif,
yudikatif, administrator, penasihat, raja dan semacamnya. Pihak-pihak
tersebut merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah seharihari dalam suatu sistem politik, diakui oleh sebagian besar anggota
sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini,
dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat
dalam waktu yang panjang oleh sebagian besar anggota sistem politik
selama mereka bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan
(W inarno, 2011).
Sedangkan konsep kebijakan menurut Anderson (1969)
mempunyai beberapa implikasi. Pertama, titik perhatian dalam
membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan
dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas
dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja
melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam sistem
politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan
keputusan-keputusan tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak
hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang tentang suatu hal,
tapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga,
kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah
dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh
pemerintah. Jika lembaga legislatif menetapkan undang-undang yang
mengharuskan pengusaha untuk menggaji karyawannya dengan upah
minimum menurut undang-undang, tetapi tidak ada sesuatu pun yang
dilakukan untuk melaksanakan undang-undang tersebut sehingga tidak
ada perubahan yang timbul dalam perilaku ekonomi, maka hal ini
dapat dikatakan bahwa kebijakan publik dalam kasus ini sebenarnya
merupakan salah satu dari nonregulasi upah. Keempat, kebijakan
publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara
positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah
yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif,
kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat
159

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk
melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan
keterlibatan dari pemerintah.
Pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak
melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun
khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin memiliki
konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompokkelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik
didasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif. Kebijakan
publik memiliki sifat paksaan yang secara potensial sah dilakukan. Sifat
memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang diambil oleh
organisasi-organisasi swasta. Hal ini menandakan bahwa kebijakan
publik menghendaki ketaatan yang luas dari masyarakat. Sifat yang
terakhir ini membedakan kebijakan publik dengan kebijakan lainnya
(W inarno, 2011).
Selanjutnya, pembedaan secara jelas antara analisis kebijakan,
kebijaksanaan publik dan anjuran kebijakan penting untuk dilakukan
agar tidak terjebak dalam kerancuan dan kesalahpahaman yang
mungkin timbul. Pembedaan ini tidak dimaksudkan untuk membuat
garis pembatas yang tegas sehingga ketiganya tidak dapat dihubungkan
satu dengan yang lainnya. Tujuan pembedaan ini semata-mata karena
alasan konseptual. Kebijakan publik sebagaimana telah dijelaskan
dalam uraian sebelumnya merupakan arah tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah. Area studi meliputi segala tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah dan mempunyai pengaruh terhadap kepentingan
masyarakat secara luas, misalnya kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan yang menyangkut wajib belajar sembilan tahun (W inarno,
2011).
Kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap
perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi
kebijakan. Sementara itu, analisis kebijakan berhubungan dengan
penyelidikan dan deskripsi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi
kebijakan publik. Analisis pembentukan, substansi dan dampak dari
kebijakan-kebijakan tertentu dapat dianalisis. Analisis ini dilakukan
160

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

tanpa mempuanyai pretensi untuk menyetujui atau menolak
kebijakan-kebijakan itu. Di sini seorang ilmuwan lebih memposisikan
dan menempatkan ilmu sebagai sesuatu yang bebas nilai. Sementara itu
anjuran kebaikan secara khusus berhubungan dengan apa yang harus
dilakukan oleh pemerintah dengan menganjurkan kebijakan-kebijakan
melalui diskusi, persuasi atau aktivitas politik (W inarno, 2011).
Ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis
kebijakan publik. Pertama, fokus utama adalah mengenai penjelasan
kebijakan, bukan tentang anjuran kebijakan yang pantas. Kedua, sebabsebab dan konsekuensi dari kebijakan publik diselidiki dengan teliti
dengan menggunakan metode ilmiah. Ketiga, analisis dilakukan dalam
rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat diandalkan
tentang kebijakan publik dan pembentukannya sehingga dapat
diterapkan terhadap lembaga-lembaga dan bidang-bidang kebijakan
yang berbeda-beda (W inarno, 2011).
Kebijakan publik dapat digunakan untuk pembahasan berbagai
masalah yang berhubungan dengan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat. Beberapa contoh aspek yang dapat dibahas adalah tingkat
kemiskinan, tingkat
pengangguran, kependudukan, masalah
lingkungan dan lain-lain yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi
dalam suatu negara. M asing-masing aspek merupakan aspek yang
saling memiliki kaitan satu sama lain sehingga ketimpangan yang
terjadi pada satu atau dua aspek dapat mempengaruhi kondisi aspek
yang lain.
Dye (2002) menggambarkan hubungan antara kebijakan
publik, penyebab dan konsekuensi yang dapat timbul (Gambar 7.1).
Penyebab yang dimaksud adalah tentang berbagai hal yang menjadi
akar permasalahan yang akan dibahas untuk menetapkan dan
menjalankan suatu kebijakan publik, serta konsekuensi yang
berhubungan dengan akibat yang timbul dari penerapan kebijakan
tersebut.

161

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

Gambar 7.1: Hubungan antara Sistem Politik, Kondisi Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Publik
Sosial

Sistem Politik

Kebijakan Publik

Institusi, Proses,
Tingkah Laku

A

B
E

F
C

Kondisi Sosial &
Ekonomi

Kebijakan Publik

D
Sumber : (Dye, 2002)

Hubungan yang terdapat pada arah panah A merupakan
hubungan tentang pengaruh kondisi sosial dan ekonomi pada institusi,
proses dan tingkah laku dalam sistem politik. Hubungan tersebut
dilanjutkan dengan hubungan B, yang merupakan bagaimana pengaruh
institusi, proses dan tingkah laku dalam politik dan pemerintahan
terhadap kebijakan publik. Bagan alir C menunjukkan bagaimana
pengaruh kondisi sosial dan ekonomi terhadap kebijakan politik yang
akan diterapkan. Selanjutnya, kebijakan politik yang diterapkan
apakah memiliki pengaruh kembali terhadap kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat (bagan alir D). Begitu pula dengan bagaimana
umpan balik institusi, proses dan tingkah laku politik dan
pemerintahan terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat (bagan
alir E). Kebijakan publik yang diterapkan dapat diketahui apa pengaruh
umpan balik yang diberikan terhadap institusi, proses dan tingkah laku
sistem politik dan pemerintahan (Dye, 2002).
Pemerintah telah membuat kebijakan untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi yang terkait langsung dengan UKM, yaitu
dicanangkannya tiga butir kebijakan pokok di bidang ekonomi.
Kebijakan pokok pertama yaitu peningkatan layanan jasa keuangan.
Kebijakan pokok kedua adalah peningkatan infrastruktur layanan jasa
keuangan, berupa akses pasar, layanan penagihan dan pembayaran,
162

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

kemudahan investasi dan menabung, serta dukungan umum atas
pelaksanaan transaksi perdagangan. Peningkatan layanan jasa dan
infrastruktur pendukungnya tidak akan berarti banyak tanpa upaya
pembenahan menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan
entrepreneurship bagi pelaku UKM. Kebijakan pokok ketiga adalah
peningkatan kemampuan dan penguasaan aspek-aspek teknis dan
manajemen usaha, pengembangan produk dan penjualan, administrasi
keuangan, dan kewirausahaan secara menyeluruh. Kebijakan
pemerintah dalam pengembangan sektor UKM tersebut bertujuan
untuk meningkatkan potensi dan partisipasi aktif di dalam proses
pembangunan nasional, khususnya dalam kegiatan ekonomi dalam
rangka mewujudkan pemerataan pembangunan melalui perluasan kerja
dan peningkatan pendapatan.
Sasaran dari pembinaan usaha kecil adalah meningkatnya
jumlah usaha kecil dan terwujudnya usaha yang makin tangguh dan
mandiri. Hal ini agar pelaku ekonomi tersebut dapat berperan dalam
perekonomian nasional, meningkatnya daya saing pengusaha nasional
di pasar dunia, serta seimbangnya persebaran investasi antar sektor dan
antar golongan. Ir. Sujarwanto Dwiatmoko, M Si. sebagai Kepala Dinas
Koperasi dan UMKM Jawa Tengah menyatakan:
“Selama ini, Dinkop dan UMKM Jawa Tengah telah
memberikan bantuan berupa hibah kepada koperasi-koperasi
yang berdiri di Jawa Tengah Bu. Bantuan hibah tersebut
diberikan kepada koperasi. Hal ini didukung dengan data dari
Kemenkop dan UMKM bahwa jumlah koperasi yang ada di
Jawa Tengah, hingga bulan Desember 2012 mencapai 26.735
unit (21.146 aktif, 5.589 tidak aktif) dari sejumlah 194.295 unit
total keseluruhan koperasi di Indonesia. Jumlah tersebut
merupakan jumlah tertinggi se-Indonesia dibandingkan dengan
jumlah koperasi di provinsi-provinsi lain”.57

Bp Sujarwoto menambahkan:
“Ya, pemerintah dalam eksistensi LKM terutama koperasi
berperan sebagai inisiator pembentukan koperasi itu sendiri.
Berbagai jenis LKM dapat mengalami perubahan badan hukum
menjadi koperasi dan Perseroan Terbatas (PT) atau swasta.
57

W awancara dengan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah, Bapak
I r. Sujarwanto Dwiatmoko, M.Si. pada tanggal 25 April 2013

163

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

Badan hukum yang paling sesuai dengan tujuan pembangunan
nasional adalah koperasi. Hal ini berdasarkan alasan bahwa
koperasi merupakan usaha bersama yang didirikan oleh para
anggotanya untuk menyejahterakan anggota pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya, sehingga seluruh anggota
memiliki kedudukan yang sama. Sedangkan untuk PT, terdapat
ketentuan bahwa sebesar 60% dana yang dimiliki oleh LKM
tersebut, sebesar 60% dimiliki PT, sisanya pemerintah. Dalam
hal ini, masih belum terdapat peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang hal tersebut. Hal ini menimbulkan
pertimbangan bahwa tidak semua dana yang dimiliki oleh LKM
berasal dari pemerintah. Dana dalam LKM bisa berasal dari
LKM, anggota maupun pihak ketiga, sedangkan untuk
perubahan menjadi koperasi, merupakan pilihan migrasi
bentuk hukum lembaga yang tepat karena dana yang dimiliki
dari sumber manapun kemudian menjadi hak milik anggotaanggotanya. Migrasi bentuk hukum pada LKM menjadi
koperasi sebagai bentuk hukum yang formal harus memiliki
ijin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (mengacu pada UU No.
21 tahun 2011). Sampai saat ini, mekanisme ijin usaha oleh
OJK sedang disusun oleh pemerintah”.58

Sehubungan dengan amanat UU No. 17 tahun 2012 tentang
Perkoperasian, maka tujuan pendirian koperasi adalah untuk
kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya.
UM KM yang menjadi anggota KSU BM T Rizky Prima maupun KSU
Cari M akmur dapat memanfaatkan dana yang berasal dari KSU
tersebut. Pengertian kesejahteraan masyarakat pada umumnya
didefinisikan sebagai kesejahteraan yang dapat dinikmati oleh
masyarakat akibat usaha yang dijalankan oleh anggota. M asyarakat
yang bukan anggota dapat menerima manfaat dari pendirian KSU
dengan mudahnya akses pembayaran listrik, telpon, air PDAM dan
sebagainya, dan terdapatnya penyediaan lapangan pekerjaan dari para
anggota. Kesejahteraan juga dapat didefinisikan sebagai manfaat yang
diperoleh masyarakat terhadap kemudahan penyediaan barang dan jasa
dari koperasi, maupun anggota koperasi yang menjalankan usaha
penyediaan kebutuhan barang sehari-hari.
Pemerintah Jawa Tengah melalui Badan Perencana
Pembangunan Daerah Jawa Tengah telah menetapkan prioritas
58

W awancara dengan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah, Bpk.
I r. Sujarwanto Dwiatmoko, M.Si.pada tanggal 25 April 2013

164

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

pembangunan Jawa Tengah dalam Rencana Pembangunan Jangka
M enengah Daerah II tahun 2010 hingga 2014 yang diarahkan pada
peningkatan kualitas pelayanan dasar, peningkatan daya saing ekonomi
rakyat, peningkatan tata kelola pemerintahan yang lebih efektif serta
kualitas dan pengelolaan SDA. Salah satu aspek yang terdapat dalam
rumusan prioritas tersebut adalah terwujudnya perekonomian daerah
yang berbasis pada potensi unggulan daerah dengan dukungan
rekayasa teknologi dan berorientasi pada ekonomi kerakyatan.
Fokusisasi tujuan ini, salah satunya adalah pengembangan peran
UM KM yang berorientasi ekspor melalui pengembangan infrastruktur
pendukung dan penguatan kelembagaan dalam mendorong daya saing
UKM. Pengembangan peran UM KM tersebut dilakukan oleh
Pemerintah Jawa Tengah dengan usaha pemberian modal, pendidikan
dan pelatihan untuk LKM
yang menjadi lembaga keuangan
pendukung program pembangunan daerah Jawa Tengah tersebut.
Hal tersebut merupakan penjabaran dari visi pembangunan
daerah Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2025 yaitu mewujudkan Jawa
Tengah yang M andiri, M aju, Sejahtera dan Lestari. Konsep sejahtera
yang juga merupakan tujuan akhir dari pelaksanaan LKM bukan bank,
merupakan konsep visi dua puluh tahunan Provinsi Jawa Tengah itu
sendiri. Bappeda Provinsi Jawa Tengah merumuskan bahwa konsep
sejahtera menunjukkan kondisi kemakmuran suatu masyarakat, yaitu
masyarakat yang terpenuhi kebutuhan ekonomi (materil) maupun
sosial (spiritual).
Pemerintah melalui berbagai elemen seperti Departemen
Koperasi, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Bappenas,
BUM N juga institusi keuangan baik bank maupun non bank,
melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan UKM agar dapat
menjadi tangguh dan mandiri serta dapat berkembang untuk
mewujudkan perekonomian nasional yang kokoh. Dukungan tersebut
diwujudkan melalui kebijakan maupun pengadaan fasilitas dan
stimulus lain. Selain itu, banyak dukungan atau bantuan yang
diperlukan berkaitan dengan upaya tersebut, misalnya bantuan berupa
pengadaan alat produksi, pengadaan barang fisik lainnya juga
165

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

diperlukan adanya sebuah metode, mekanisme dan prosedur yang
memadai, tepat guna, dan aplikatif serta mengarah pada kesesuaian
pelaksanaan usaha dan upaya pengembangan dengan kemampuan
masyarakat sebagai elemen pelaku usaha dalam suatu sistem
perekonomian yang berbasis masyarakat.

Dukungan Pemerintah terhadap Kebijakan Operasional
LKM Syari’ah dan Konvensional
Terkait dengan kebijakan pemerintah di
Bendahara KSU Cari M akmur menyatakan:

bidang LKM ,

“Ya Bu, pemerintah telah berperan dalam melakukan
pendampingan bagi LKM dan jaringan selama ini. Bahkan
pemerintah telah memberikan perhatian kepada LKM ,
pendampingan berupa manajemen, modal kerja dan akses
kepada anggota maupun calon anggota” 59.

Sementara itu Sutarman, M anejer KSU Cari M akmur
menyatakan:
“Pemerintah pernah memberikan bantuan hibah sarana dan
prasarana produksi bu, berupa mesin jahit, panci, blender,
kompor gas dll untuk kelompok pelaku usaha mikro (KPUM)
anggota atau calon anggota dari KSU Cari Makmur pada bulan
Juli 2010 lalu, memang ada yang besar bu, Pemerintah lewat
Menteri Perumahan memberikan hibah ke UKM Semarang
Kota, dengan
program kegiatan
bantuan
stimulan
pembangunan
perumahan
swadaya bagi
masyarakat
berpenghasilan rendah pada tahun 2009 s/d 2010 agak besar bu,
bantuan hibahnya ini sebesar Rp 880.000.000 lewat KSU Cari
Makmur , dan bantuan ini sudah diperiksa oleh BPKP bu, juga
KSU Cari Makmur juga dipercaya pemerintah untuk program
pendampingan Kredit Usaha Rakyat (KUR) diberikan hibah
sebesar Rp. 22.000.000, pada bulan Desember 2012”. kemarin
tahun 2013 tepatnya bulan September, pemerintah
memberikan bantuan ke KSU Cari Makmur dengan program

59

W awancara dengan Bpk I mam, Bendahara KSU Cari Makmur, tanggal 25 April 2013

166

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

insentif pendampingan DBS untuk mengakses pinjaman di
LPDB, insentif yang diberikan ini sebesar Rp 20.000.000” 60.

Pelatihan-pelatihan diadakan untuk memperbaiki kinerja para
pengelola LKM Syari’ah maupun Konvensional. Peningkatan kualitas
kinerja LKM di Jawa Tengah dilakukan dengan pertimbangan
efektivitas dan efisiensi hasil dari kegiatan yang dilakukan. Pemerintah
juga bekerja sama dengan LKM Syari’ah dalam pemberian pelatihan
kepada para nasabah dalam menjalankan usaha yang dilakoninya.
Pelatihan tersebut berupa pelatihan tentang strategi bisnis yang dapat
mendukung pengetahuan dan keberlangsungan usaha yang digeluti
oleh para nasabah. Pemerintah juga melakukan pembinaan secara rutin
kepada pengelola LKM S Syari’ah maupun Konvensional. M elalui
pendampingan yang intensif, efisien, dan efektif yang ditujukan kepada
masyarakat dapat menumbuhkan semangat kewirausahaan.
Berkaitan dengan bantuan yang dikucurkan pemerintah ke
LKM Syari’ah maupun Konvensional, diharapkan dapat memecahkan
masalah permodalan, baik bagi masyarakat bawah maupun UKM. KSU
Cari M akmur juga sering mendapat bantuan, sebagaimana dituturkan
oleh sang manajer, Suratman, SE. :
“ KSU Cari Makmur bulan M ei mendapat bantuan pinjaman
lunak dengan bunga menurun dari LPDB Bu, sebesar Rp
500,000,000. Jangka waktu 3 tahun, dengan bunga 0,5% per
bulannya, sehingga KSU Cari Makmur bisa memberi pinjaman
ke anggota atau calon anggota dengan bunga 1-2% dan
tambahan administrasi”.61
Sementara itu Imam Supardi,
M akmur menyatakan:

Bendahara

KSU Cari

“ Betul Bu dalam akses,KSU Cari Makmur juga bekerja sama
dengan Bank-Bank Pemerintah,tujuannya untuk membantu
pinjaman kredit usaha rakyat (KUR) kepada anggota atau calon

60

W awancara dengan Manajer KSU Cari Makmur, Bapak Suratman, SE., tanggal 24
Februari 2014
61
W awancara dengan Manajer KSU Cari Makmur, Bapak Suratman, SE, tanggal 24
Februari 2014

167

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

anggota yang ingin mengajukan pinjaman dalam plafon yang
sangat besar, yang tidak bisa dilayani KSU Cari Makmur”.62

Hal yang agak berbeda disampaikan oleh Budi dan
Fitriyah, M anajer KSU BM T Rizky Prima secara simultan:
“Selama ini untuk KSU BMT Rizky Prima belum ada bantuan
hibah dari pemerintah Bu, tetapi ada penawaran LPDB tapi
belum ambil, dari Dinas Koperasi setiap bulan membimbing ke
KSU BMT Rizky Prima Bu, dan saat ini KSU BMT Rizky Prima
akan mengajukan ke Bank Muamalat untuk dana cadangan
lebaran nanti Bu”.63

Pemerintah memberikan bantuan untuk pengembangan usaha
koperasi dan anggotanya, dalam upaya penanggulangan kemiskinan
dan pengangguran. Adapun sasaran pemberian dana bantuan yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kesempatan lapangan
kerja, kewirausahaan di kalangan koperasi anggota, jumlah dan
partisipasi anggota koperasi, kualitas dan kuantitas produk koperasi,
serta pelayanan koperasi kepada anggota dan masyarakat.
Adanya UU Koperasi no 17 tahun 2012 dan UU No 20 tahun
2008 tentang pelaku UM KM dapat disinkronkan dan saling
mendukung dalam hal: Pertama, penguatan kelembagaan, terutama
manajemennya dapat dilakukan, misalnya melalui pemantapan Rapat
Anggota Tahunan (RAT). Kedua,penguatan permodalan, karena
sebagaian besar UMKM sudah menjadi anggota koperasi. Oleh karena
itu, permodalan koperasi menjadi instrumen yang paling besar bagi
mereka sebagai pelaku usaha mikro, karena terkait dengan simpan
pinjam, baik pada KSU BM T Rizky Prima maupun KSU Cari M akmur.
Ketiga, penguatan penjaminan kredit koperasi dan UM KM , sehingga
kelak anggota yang menyimpan dananya di koperasi ada jaminannya,
tentu dengan persyaratan dan ketentuan tertentu.Keempat, pemasaran
UM KM dengan pendekatan produk pelaku UM KM dengan konsumen.
Pemerintah dan masyarakat merupakan dua subyek yang
berperan dalam pembangunan nasional. Salah satu aspek yang menjadi
62
63

W awancara dengan I mam Supardi, Bendahara Cari Makmur, 20 Februari 2014
W awancara dengan Fitri Nurhidayah dan Bpk. Budi, Manejer KSU BMT Rizky
Prima, 16 Maret 2014

168

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

parameter pembangunan nasional adalah pembangunan ekonomi
(Bellu, 2011). Sinkronisasi peran dari kedua subjek pembangunan
nasional tersebut akan mampu mendorong pembangunan ekonomi
menuju arah yang telah dirumuskan dalam kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Lembaga keuangan sebagai salah satu lembaga yang berperan
dalam pembangunan nasional dalam sektor ekonomi, oleh Djumhana
(2000) diartikan secara luas sebagai perantara antara pihak yang
mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang
kekurangan dana (lack of funds) sehingga peranan dari lembaga
keuangan yang sebenarnya adalah sebagai perantara keuangan
masyarakat (financial intermediary). Lembaga-lembaga keuangan
memiliki perbedaan fungsi dan kelembagaan, yang juga memiliki
derivasi-derivasi menurut fungsi dan tujuannya. Lembaga-lembaga
yang menamakan diri sebagai lembaga keuangan memiliki kesamaan
yaitu tentang aspek yang menyertai eksistensinya. Aspek yang
dimaksud adalah kepercayaan masyarakat, kehati-hatian, dan tingkat
resiko yang tinggi. Ketiga hal ini menjadi dasar pentingnya
pengawasan dan pembinaan khusus, serta pengaturan (regulasi) yang
ketat. Sehingga Undang-undang No.21 tahun 2012 tentang otoritas jasa
keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat. Selain itu, OJK berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan.
Berbagai
kebijakan
yang berkaitan
dengan
upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat tidak pernah luput dari perhatian dan
kebijakan terhadap usaha besar (konglomerat). Perhatian dan proteksi
terhadap usaha-usaha besar (UB), secara langsung maupun tidak
langsung mencerminkan adanya diskriminasi. Selain karena adanya
peluang pada usaha-usaha besar dalam mendapatkan lebih banyak
169

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

dana, juga memperlihatkan upaya sistematis untuk terus memproteksi
usaha-usaha besar (UB) dan memarjinalkan ekonomi rakyat.
Usaha besar (UB) diakui telah memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi nasional dan pembentukan produk domestik
bruto (PDB). Namun, dalam napak tilas perjalanannya, semua
keberhasilan tersebut hilang tak berbekas ketika kondisi perekonomian
Indonesia diterpa krisis. Keberhasilan yang dicapai selama ini tidak
lebih baik jika dibandingkan dengan kegagalan-kegagalan atau
dampak-dampak negatif yang ditinggalkan.
Sementara itu, usaha mikro kecil, meskipun tidak memperoleh
perhatian yang optimal, tetapi mampu memperlihatkan perkembangan
usaha yang tangguh dan mandiri, bahkan menjadi pilar penyangga
yang memperkuat struktur perekonomian nasional. Tatkala perusahaan
raksasa satu persatu mengalami die out, usaha mikro kecil justru tampil
sebagai pahlawan yang menyelamatkan ekonomi mikro.
M eskipun berjasa besar sebagai pahlawan, perkembangan
ekonomi mikro tidak mendapat perhatian yang serius. M inimnya
perhatian dari para stakeholders ini menjadi tantangan yang dihadapi
usaha ekonomi mikro kecil. Di sisi lain, ekonomi mikro kecil ini belum
sempat membenahi diri dari kemelut internal yang dihadapinya, ia
dihadapkan pada tantangan yang maha dahsyat berupa arus liberalisasi
(perdagangan bebas) ekonomi dan keuangan.

Dukungan Pemerintah
Konvensional

Terhadap

LKM

Syari’ah

dan

Penjelasan umum UU No. 1 tahun 2013 menjelaskan bahwa
keuangan merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting
dalam
mendorong
peningkatan
perekonomian
masyarakat.
Perkembangan dan kemajuan sektor keuangan, baik bank maupun
lembaga keuangan bukan bank perlu dipertahankan. Lembaga
keuangan bukan bank masih memerlukan peningkatan dan perbaikan
170

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

dalam aspek kelembagaan, organisasi, regulasi (kebijakan), dan Sumber
Daya M anusia (SDM ).
Pemerintah telah berperan dalam melakukan pendampingan
bagi LKM S dalam penyusunan studi kelayakan usaha yang dilanjutkan
dengan pembiayaan bersama lembaga keuangan bagi 325 UM KM ,
memberikan bantuan hibah sarana dan prasarana produksi melalui: 1)
Lembaga Penjaminan Dana Bergulir (LPDB). Penyerapan dana bergulir
di Jawa Tengah yang bersumber dari LPDB per Juni 2014 mencapai
Rp.248,650 milyar, 2) Kredit bagi UM KM . Hingga bulan Oktober 2013,
telah disalurkan kredit bagi UM KM di Jawa Tengah sebesar Rp. 64,350
triliun (data Bank Indonesia).
Untuk
peningkatan kualitas sumber daya manusia dari
pengurus atau pengelola UM KM , Dinas koperasi melalui UPTD balai
latihan koperasi telah menyelenggarakan pelatihan bagi 1.150
pengurus atau pengelola UMKM melalui pelatihan akuntansi, pelatihan
manajemen usaha kecil, pelatihan kewirausahaan, pelatihan
keterampilan usaha produktif, dan pelatihan achievement motivation
training (AM T). Penyediaan landasan hukum bagi operasional lembaga
LKM Syariah maupun Konvensional diatur dalam UU No.1 tahun 2013
pasal 3 tentang lembaga keuangan mikro yang bertujuan: a)
M eningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat b)
M embantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas
masyarakat c) M embantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat terutama masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah.
Sakti (2013) memaparkan bahwa upaya pemberdayaan
ekonomi atau peningkatan akses keuangan bagi usaha mikro kecil
melalui lembaga keuangan mikro, termasuk di dalamnya BMT, mulai
mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, khususnya pemerintah.
Perhatian tersebut misalnya pada penyediaan landasan hukum bagi
operasional lembaga tersebut. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa
ketika koordinasi tidak dilakukan dengan baik dan landasan hukum
berupa undang-undang (UU) disusun secara parsial berdasarkan
kepentingan dan pengetahuan masing-masing pihak,maka alih-alih UU
itu diharapkan dapat melindungi dan mendukung keberadaan lembaga
171

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

keuangan mikro, justru terkesan menambah-nambahi aturan yang
harus dipatuhi oleh lembaga keuangan mikro. Beragam UU tersebut
terkesan membatasi ruang gerak BM T sebagai salah satu LKM bukan
bank dalam upaya memberdayakan masyarakat usaha mikro.
Lebih lanjut Sakti (2013) menjelaskan bahwa sebagai lembaga
keuangan mikro yang operasionalnya menjadi intermediary agent bagi
kelompok masyarakat ekonomi kecil, baik sebagai komersial maupun
sosial, ruang gerak BM T terkesan terbatasi dengan munculnya
beberapa UU terkait operasi BM T. Kalaupun tidak ingin dikatakan
dibatasi, industri BM T akan diatur secara ketat dan rentan terjadi
perdebatan mengingat banyak landasan hukum yang harus dirujuk.
Banyaknya landasan hukum membuka ruang penafsiran menjadi
begitu luas, sehingga potensi perdebatan dan perselisihan menjadi
relatif tinggi.
Selama dua tahun terakhir ini, UU yang terkait dengan
keberadaan BM T diantaranya adalah UU no. 23 tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat, UU no. 17 tahun 2012 tentang perkoperasian dan
UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan M ikro (LKM ). Selain
yang berhubungan dengan semua UU tersebut, UU no. 21 tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu diperhatikan oleh
BM T. Hal ini mengingat di dalam UU, LKM mengaitkan LKM
termasuk BM T dengan OJK. Selama ini BMT juga harus dijalankan
berdasarkan Keputusan M enteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
M enengah (KepM en) No. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah (KJKS). Posisi BMT
perlu diketahui dan ditentukan berkaitan dengan UU tersebut,
terhadap pengaturan, kelembagaan dan operasional secara hukum
positif. Analisa pada masing-masing UU dan keterkaitan satu UU
dengan UU lainnya perlu dilakukan.
Analisa oleh Sakti (2013), pertama-tama dilakukan terhadap
BM T dan UU no. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Selain
beroperasi sebagai lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan
berupa penitipan, investasi dan pembiayaan, berdasarkan KepM en No.
91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha KJKS
172

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

(pasal 24), kegiatan BM T dapat pula berupa pengelolaan dana
Zakat,Infak, Sedekah dan W akaf (aktifitas sebagai Baitul M al).
Kegiatan pengelolaan dana ini merujuk pada UU pengelolaan zakat
(pasal 25). BM T harus merujuk kegiatan sosialnya (maal) dengan
ketentuan tersebut pada UU Pengelolaan Zakat. Sementara itu,
berdasarkan UU no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat yang
menggantikan UU 38 tahun 1999, pengelolaan zakat secara nasional
menjadi wewenang BAZNAS (pasal 6-7). Dengan demikian,
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BM T seakan bertentangan
dengan UU ini. Namun, berdasarkan UU ini juga BMT dapat
menempatkan diri sebagai UPZ BAZNAS yang melaksanakan
pengelolaan zakat, membantu peran dan fungsi BAZNAS (pasal 16).
Hal yang menjadi perhatian dari langkah atau strategi ini adalah ruang
lingkup operasi BMT sebagai UPZ BAZNAS harus disesuaikan dengan
UU lain, khususnya UU LKM .
Analisis selanjutnya dilakukan pada BM T dan UU no. 17 tahun
2012 yang mengatur tentang perkoperasian. Ketentuan dalam UU no.
17 tahun 2012 tentang perkoperasian, BM T sebagai lembaga keuangan
mikro berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip
syari’ah, hanya disinggung pada pasal 87 ayat 3 dan 4 yang menyatakan
bahwa koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi
syari’ah, dan ketentuan mengenai koperasi berdasarkan prinsip
ekonomi syari’ah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat ini hanya
menyinggung koperasi berdasarkan prinsip syari’ah tanpa ada
penjelasan lebih spesifik pada teknis operasional
lainnya. UU
Perkoperasian seakan memberikan ruang gerak yang sangat terbuka
bagi koperasi syari’ah (termasuk BMT) dengan meninggalkan batasan
pada sebab akibat Peraturan Pemerintah.
Beberapa penafsiran muncul dari UU ini terhadap posisi
koperasi syari’ah (BMT). Pertama, koperasi berdasarkan prinsip
ekonomi syari’ah akan diatur lebih detail dalam Peraturan Pemerintah.
Hal tersebut akan menimbulkan penafsiran bahwa peraturan
pemerintah akan mengatur pedoman syari’ah pada semua jenis
koperasi; koperasi konsumen, produsen, jasa, dan simpan pinjam.
173

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

Kedua, beberapa ketentuan dalam UU perkoperasian yang
tidak sesuai dengan filosofi dan prinsip-prinsip ekonomi syari’ah akan
diatur lebih detail dalam Peraturan Pemerintah. Ada beberapa hal
tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syari’ah, yaitu jenis Koperasi
Simpan Pinjam, dimana istilah dan kegiatan usaha simpan pinjam tidak
sesuai dengan prinsip ekonomi syari’ah (pasal 83). Jenis koperasi dalam
UU Perkoperasian ini adalah koperasi konsumen, koperasi produsen,
koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam. Jika ingin diklasifikasikan
dalam jenis koperasi, maka kategori dan definisi usaha koperasi syari’ah
yang bergerak pada usaha keuangan (BM T) yang lebih sesuai adalah
koperasi pembiayaan syari’ah. Penggunaan istilah simpan pinjam dan
pengelompokkan koperasi simpan pinjam sebagai identifikasi pada
koperasi yang bergerak di bidang keuangan, akan cenderung
misleading dengan istilah koperasi jasa yang telah dipakai dalam KepM en No. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
KJKS yang diketahui ditujukan untuk BM T. Batasan bahwa kegiatan
simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha Koperasi Simpan Pinjam
telah membatasi koperasi dari jenis kegiatan lain seperti yang
dilakukan oleh Koperasi Syari’ah dengan kegiatan pembiayaan berbasis
jual beli dan investasi (pasal 84 ayat 4). Kecuali ada penjelasan lebih
lanjut bahwa istilah “simpan pinjam” ditafsirkan meliputi semua
kegiatan pendanaan dan pembiayaan yang dilakuakn oleh koperasi
syari’ah. Tetapi untuk koperasi keuangan pada umumnya, baik
konvensional maupun syari’ah, batasan ini membuat layanan jasa-jasa
seperti pembayaran listrik, air bersih, telepon dan lainnya menjadi
tidak boleh lagi dilakukan.
Ketiga, jika hal ini ditetapkan dalam peraturan pemerintah,
maka hal-hal terkait koperasi simpan pinjam yang diatur oleh UU
perkoperasian akan detail dijelaskan dalam peraturan pemerintah. Hal
ini tentu berlaku pada aspek-aspek yang lain. Konsekuensi yang timbul
adalah akan mempengaruhi ruang lingkup pembahasan peraturan
pemerintah yang menjadi semakin luas.
Analisis selanjutnya dilakukan terhadap BM T dan UU no. 1
tahun 2013 tentang lembaga keuangan mikro (LKM ). Secara eksplisit,
174

Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah

UU no.1 tahun 2013 tentang LKM menyebutkan BMT sebagai lembaga
keuangan mikro yang akan diatur dan diawasi oleh OJK. Oleh sebab
itu, tentu sepenuhnya isi UU LKM ditujukan bagi BM T. Poin penting
yang menjadi perhatian dari UU LKM ini terkait BM T, adalah
pengaturan cakupan wilayah usaha BM T yang dibatasi pada wilayah
kabupaten/kota saja (pasal 16). Apabila BM T sebagai LKM melakukan
kegiatan usaha melebihi satu wilayah kabupaten/kota tempat kedudukannya, maka BM T tersebut harus berubah menjadi bank (pasal 27).
UU No.1 tahun 2013 tentang lembaga keuangan mikro
mengatur bahwa LKM bukan bank, yang merupakan salah satu jenis
lembaga keuangan mikro harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan. Pasal 9 tentang perizinan LKM dalam UU tersebut
menyebutkan bahwa beberapa persyaratan pemberian izin usaha LKM
meliputi adanya susunan organisasi dan kepengurusan, permodalan,
kepemilikan, dan kelayakan rencana kerja.
Pasal 12 (2) UU No. 1 tahun 2013 tersebut juga menjabarkan
bahwa pelaksanaan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip syari’ah
(LKM bukan bank informal, contoh BMT) wajib dilaksanakan sesuai
dengan fatwa syari’ah yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional,
M ajelis Ulama Indonesia. Pasal selanjutnya menyatakan bahwa LKM
bukan bank informal tersebut juga wajib membentuk dewan pengawas
syari’ah untuk kelancaran operasional. Dewan Pengawas Syari’ah
bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi atau pengurus
serta mengawasi LKM agar sesuai dengan prinsip syari’ah. Selanjutnya
pada pasal 28, pembinaan, pengaturan dan pengawasan LKM dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasal 28 (2 hingga 4) menuliskan bahwa OJK melakukan
koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan
koperasi dan Kementerian Dalam Negeri dalam melakukan pembinaan.
Pembinaan dan pengawasan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Pihak OJK dapat mendelegasikan pembinaan dan
pengawasan kepada pihak yang ditunjuk jika Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota belum siap. LKM bukan bank yang disebutkan dalam
Ketentuan Peralihan Pasal 39 UU No. 1 tahun 2013 yang meliputi
175

Keadilan Distributif : Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

badan kredit kecamatan (BKK) dan Baitul M aal W at Tamwil (BM T)
wajib memperoleh izin usaha dari OJK paling lama satu tahun
terhitung sejak UU tersebut berlaku (UU tersebut diundangkan pada
tanggal 8 Januari 2013, dan pada pasal 42, menyebutkan bahwa UU
No.1 tahun 2013 mulai berlaku setelah dua tahun terhitung sejak
diundangkan, yaitu tanggal 8 Januari 2015).
Jangka waktu dua tahun tersebut dimaksudkan untuk
menyiapkan infrastruktur yang diperlukan seperti SDM OJK selaku
pembina dan pengawas LKM dan SDM Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota selaku pihak yang menerima pendelegasian wewenang pembinaan dan pengawasan LKM . Peraturan pelaksanaan UU ini dan pedoman
teknis pembinaan, pengawasan LKM dan teknologi informasi.
Selanjutnya, LKM yang belum berbadan hukum tetap dapat beroperasi
sampai dengan satu tahun sejak UU ini berlaku dan wajib memperoleh
izin usaha dari OJK paling lama satu tahun sejak UU ini berlaku.
Analisis terhadap BMT dan UU no. 21 tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dilakukan. UU no. 21 tahun 2011
mengatur tentang keberadaan dan ruang lingkup wewenang OJK. Pasal
ketentuan peralihan UU no. 1 tahun 2013 tentang LKM menyebutkan
secara eksplisit bahwa BM T akan berada dalam pengawasan OJK. M aka
sepatutnya BM T memahami pula kelembagaan, wewenang, dan ruang
lingkup pengawasan OJK secara keseluruhan. Di dalam UU OJK
memang tidak disebutkan secara eksplisit lembaga keuangan mikro
termasuk BMT, namun bukan berarti UU ini tidak perlu diperhatikan
oleh komunitas BMT. M eski UU ini tidak terkait langsung dan
memiliki konsekuensi langsung, namun tetap saja keberadaan UU ini
akan menjadi batasan bagi BM T pada tingkat interaksi tertentu.
Seberapa jauh cakupan batasannya tentu perlu ditelaah lebih dalam.
Analisis terhadap dua UU di atas yaitu UU Per

Dokumen yang terkait

Peran lembaga keuangan mikro Syariah dalam melakukan pembiayaan di sektor Agribisnis (studi BMT Miftahussalam Ciamis Koppontren Al-ittfaq Bandung)

0 25 107

Respon Masyarakat Non Muslim Terhadap Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Lkms) (Study Kasus Pada Masyarakat Non Muslim Di Depok)

1 6 103

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB III

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB IV

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB V

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB VI

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

0 0 22

PAPER MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (1)

0 0 11