Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB I

Bab Satu

Pendahuluan
Pada saat ini Indonesia masih berada pada posisi yang
mengkhawatirkan terkait dengan ketimpangan distribusi pendapatan
di dalam masyarakat. Di satu sisi, terdapat sejumlah kecil kelompok
masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi namun di sisi lain ada
sejumlah besar kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan
rendah. M enurut BPS (Biro Pusat Statistik) dalam survei sosialekonomi per M aret 2013, Indeks Gini Indonesia sebesar 0,41 atau
dengan kata lain kondisi keadilan ekonomi Indonesia masih jauh dari
titik diagonal pemerataan. Bahkan dalam perkembangannya, Indeks
Gini Indonesia dari tahun ke tahun menjauh dari angka 0 dan
cenderung mendekat ke angka 1. Indeks Gini Indonesia sejak 2009
hingga 2013 secara berturut-turut adalah 0,37; 0,38; 0,39; 0,40 dan 0,41.
Sehingga bisa dikatakan bahwa terdapat kesenjangan antara penduduk
berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi dimana
penduduk berpendapatan rendah dan menengah berada pada kisaran
masing-masing 40%, sedangkan penduduk berpendapatan tinggi
sebesar 20%, dimana pengeluaran dari penduduk berpendapatan
rendah tersebut sebesar 16,87% dari keseluruhan pengeluaran.
M enurut BPS, ketimpangan terjadi dalam distribusi asset.1

Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan
distribusi pendapatan di kalangan masyarakat Indonesia. Hal itu juga
berarti bahwa masyarakat Indonesia masih menghadapi masalah besar
yang oleh John Rawls (2011) disebut sebagai ketidakadilan distributif
(distributive injustice). M enurutnya, keadilan distributif mengandung
dua prinsip, yaitu: the greatest equal principle (prinsip kesamaan yang
paling mendasar) dan social and economic inequalities that should be

1

(http://ekonomi.kompasiana.com/ moneter/2013/10/16/, diunduh pada 19 Juli 2014).

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

arranged based on the principles of: (1) the different principle, dan (2)
the principle of fair equality of opportunity.
The greatest equal principle mengacu kepada azas bahwa
setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini berarti

bahwa hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua
orang maka keadilan akan terwujud atau yang disebut sebagai Prinsip
Kesamaan Hak.
Sementara prinsip kedua, yaitu mengenai pengaturan
ketidaksamaan sosial ekonomi yang didasarkan atas prinsip the
different principle (prinsip yang berbeda) dan the principle of fair
equality of opportunity (prinsip kesamaan kesempatan yang adil)
dimaksudkan untuk memberikan keuntungan terbesar bagi orangorang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa
dengan kondisi dan kesempatan yang sama di mana semua posisi dan
jabatan harus terbuka bagi semua orang. M enurut Rawls, prinsip kedua
ini merupakan “prinsip perbedaan obyektif” yang menjamin
terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para
pihak, sehingga secara wajar (obyektif) diterima adanya perbedaan
pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith (loyalitas/keimanan
yang baik) dan fairness (kejujuran/ keadilan).
Untuk membangun keadilan yang hakiki, prinsip pertama dan
prinsip kedua harus diterapkan secara komprehensif. Rawls tampaknya
mencoba untuk menjembatani perbedaan persepsi antara keadilan
model masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Dengan
penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang

yang sama bagi semua pihak, Rawls tampaknya berusaha agar keadilan
tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme
di lain pihak. Namun demikian Rawls mengatakan bahwa bila terjadi
konflik antara dua prinsip tersebut, maka yang harus lebih
diprioritaskan adalah prinsip pertama. Demikian juga prinsip 2, bagian
b yaitu the principle fair equality of opportunity harus lebih
diprioritaskan daripada bagian a yaitu the different principle.
M enurutnya, keadilan harus dipahami sebagai fairness dimana tidak
hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik
2

Pendahuluan

saja yang berhak menikmati berbagai manfaat sosial lebih banyak,
tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka
yang kurang beruntung untuk meningkatkan masa depan
kehidupannya.
Rawls juga menambahkan bahwa pertanggungjawaban
moralitas ”kelebihan” dari mereka yang beruntung harus ditempatkan
pada ”bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung.

Dalam hal ini “the different principle” tidak menuntut manfaat yang
sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang
sifatnya timbal balik (reciprocal benefits). Namun demikian menurut
Rawls agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka keadilan
yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice,
artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terrefleksi
melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula.
Di sini aturan main yang dapat diwujudkan dalam bentuk produk
perundang-undangan menjadi sangat penting yang akan mengatur
hubungan-hubungan kontrak antar berbagai elemen dalam kehidupan
masyarakat, termasuk di dalamnya kontrak-kontrak bisnis.
Seperti diketahui bahwa kontrak-kontrak dalam dunia bisnis
memiliki dimensi yang sangat kompleks. Terkait dengan kompleksitas
hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan
keadilan dalam kontrak, maka Rawls berpendapat bahwa analisis
keadilan dalam kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak
dalam pertukaran (prestasi – kontra prestasi) sebagaimana dipahami
dalam konteks keadilan komutatif (commutative justice) maupun
konsep keadilan distributif (distributive justice) sebagai landasan
hubungan kontraktual yang bersifat komprehensif. Keadilan komutatif,

adalah keadilan yang memberikan hak sama kepada setiap orang, tanpa
membeda-bedakan warna kulit, jenis kelamin, umur, dan sebagainya.
Contohnya adalah hak atas sandang, pangan dan papan (perumahan)
yang layak. Sementara itu keadilan distributif adalah keadilan yang
tidak memberikan hak sama kepada setiap orang, tetapi keadilan yang
memberikan hak proporsionalitas atau sebanding, dalam penerapannya
sesuai dengan prestasi yang dilakukan seseorang dalam masyarakat.

3

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

Dalam keadilan komutatif yang menjadi landasan hubungan
antara person, termasuk dalam kontrak, hendaknya tidak dipahami
sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan membawa
ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak
yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif terkandung pula makna
distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang
dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep

distribusi-proporsional yang terkandung di dalamnya dapat ditarik ke
dalam perspektif hubungan kontraktual para pihak. Namun demikian
barangkali persoalan akan muncul ketika penciptaan perundangan
yang mengatur hubungan kontrak bisnis itu dikooptasi oleh
kepentingan kelompok dominan yang menguasai modal sehingga
aturan-aturan mengenai kontrak bisnis itu hanya akan mengesahkan
ketidakadilan.
Sementara itu terkait dengan penyebab terjadinya
ketidakadilan dan ketimpangan atau pun kecenderungan ke arah
ketimpangan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, Roemer (1998)
mengidentifikasikan adanya beberapa faktor, yaitu: 1) ketimpangan
dalam usaha, kerja keras, atau talenta dari individu; 2) ketimpangan
dalam opportunity (kesempatan); dan 3) ketimpangan dalam kebijakan.
Terkait dengan ketimpangan dan kecenderungan ke arah
kondisi yang semakin timpang dalam distribusi pendapatan, maka
Bappenas (2012) berpendapat bahwa pemerintah sebagai pembuat
kebijakan seyogyanya berfokus untuk mengurangi ketimpangan agar
tetap berada dalam koridor fairness, yaitu bukan mengurangi
ketimpangan pada outcome, tetapi mengurangi ketimpangan pada
opportunity. Pemerintah menyadari bahwa upaya untuk mengurangi

ketimpangan lebih kompleks daripada mengurangi kemiskinan.
Dalam kerangka ini, banyak ahli yang menyatakan bahwa upaya
untuk mengurangi ketimpangan atau meredam tren kenaikan
ketimpangan di Indonesia tidak bisa semata-mata dilakukan dengan
melakukan pengendalian ketimpangan dalam outcome (seperti
pendapatan atau konsumsi), tetapi fokus pada pengurangan
ketimpangan dalam opportunity. Dalam hal ini untuk mengurangi
kecenderungan ketimpangan, maka pemerintah dapat melakukan dua
4

Pendahuluan

hal besar, yaitu: meningkatkan equality of opportunity (penyamaan
kesempatan) dan melakukan redistribution (redistribusi).
Equality of opportunity bisa dilakukan dengan berbagai
kebijakan, misalnya pemberian akses kepada kelompok masyarakat
ekonomi lemah dalam hal permodalan yang bisa dilakukan dalam
bentuk pemberian kredit lunak. Dalam hal inilah lembaga keuangan
mikro (micro finance) seperti LKM S maupun LKM K sebetulnya
memiliki peluang atau peran yang strategis dalam ikut mengondisikan

terbentuknya equality of opportunity di kalangan masyarakat ekonomi
lemah.
Lembaga keuangan mikro sesungguhnya telah dikenal di
Indonesia sejak akhir abad ke-19 dengan perintisan berdirinya
beberapa “De Purwokertosche Hulp en Spaarbank der Irlansdche”
(Bank Bantuan dan Simpanan Purwokerto) pada 16 Desember 1895
oleh Raden Aria W iraatmadja, Patih Purwokerto. Pendirian bank
tersebut telah menggerakkan hati Asisten Residen De W olff Van
W esterrode untuk mengembangkan koperasi-koperasi kredit di
kalangan petani di seluruh Karesidenan Banyumas. De W olff Van
W esterrode kemudian melakukan reorganisasi dengan mengubah
nama bank yang didirikan Raden Arya W iraatmadja itu menjadi
“Purwokertosche Hulp Spaar en Landbouwercredit Bank” (Bank
Bantuan dan Simpanan serta Kredit Petani Purwokerto). Bersamaan
dengan perluasan bank, di seluruh Karesidenan Banyumas didirikan
250 lumbung desa yang bertugas memberikan kredit dalam bentuk
padi. Upaya kaum pribumi ini dalam perjalanan waktu selanjutnya
menggugah pemerintah kolonial untuk mendirikan lembaga keuangan
dalam skala yang lebih besar. Pada 1905 lembaga kuangan makro
tersebut ditingkatkan menjadi Bank Desa yang cakupan pelayanannya

diperluas meliputi kegiatan usaha di luar bidang pertanian. Pada tahun
1929, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Staatblad 1929 No. 137
tentang pendirian Badan Kredit Desa (BKD) untuk menangani kredit
pedesaan di Jawa dan M adura ( Bank Indonesia, 2). Selanjutnya pada
tahun 1934, semua Volkscredit Bank disatukan menjadi Algemeene
Volkscredit Bank yang memiliki cabang di seluruh Indonesia. Lembaga

5

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

keuangan ini kemudian yang menjadi cikal bakal Bank Rakyat
Indonesia (BRI).
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mendorong
berdirinya bank-bank pasar (bank yang khusus memberi pinjaman
kecil dengan bunga rendah kepada pedagang pasar), serta lembagalembaga keuangan mikro oleh pemerintah daerah, seperti Lembaga
Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) di Jawa Barat, Badan Kredit
Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK)
di Jawa Timur, Lumbung Putih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, dan

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali (Bank Indonesia, 2).
Pada saat itu lembaga-lembaga tersebut belum disebut sebagai
Lembaga Keuangan M ikro (LKM ), tetapi lebih sebagai bank pasar, atau
lembaga kredit desa atau kecamatan. Keadaan ini berubah setelah
keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
menetapkan bahwa hanya ada dua jenis bank di Indonesia, yaitu Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Lembaga keuangan yang
tidak memenuhi syarat sebagai BPR kemudian dikenal sebagai lembaga
keuangan nonformal atau bank gelap. Tercatat ada 2.272 LDKP dan
5.345 BKD yang tidak memenuhi syarat sebagai BPR (Ibrahim, 2003).
Besarnya keyakinan bahwa keuangan mikro merupakan salah
satu strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan dan
mengurangi ketimpangan pendapatan telah mendorong banyak pihak
berusaha membuka pelayanan pembiayaan mikro. Apalagi pemerintah
baik pusat maupun daerah menyalurkan berbagai program dana
bergulir kepada kelompok masyarakat atau mendirikan semacam LKM .
Demikian pula lembaga donor dan LSM (Lembaga Swadaya
M asyarakat) juga membentuk LKM. Pada saat ini usaha mikro
merupakan usaha yang memiliki porsi tertinggi dibandingkan dengan
jenis usaha masyarakat yang lain, yaitu sebesar 98, 9% dari jumlah

keseluruhan.
Undang Undang No.1 tahun 2013, tentang Lembaga Keuangan
M ikro mendefinisikan Lembaga Keuangan M ikro sebagai lembaga
keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui
pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota
6

Pendahuluan

dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari
keuntungan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa LKM di samping
merupakan sebuah institusi profit motive juga bersifat social motive,
yang kegiatannya lebih bersifat community development dengan tanpa
mengesampingkan perannya sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai lembaga
intermediasi, LKM juga melaksanakan kegiatan simpan-pinjam, yang
aktifitasnya di samping memberikan pinjaman juga membangkitkan
kesadaran menabung kepada masyarakat, terutama masyarakat
berpenghasilan rendah.
Namun sistem keuangan konvensional yang menggunakan
sistem bunga seringkali dinilai sebagai sistem yang tidak
menguntungkan masyarakat yang berada dalam tingkat miskin. Konsep
operasional lembaga keuangan yang dinilai menghormati hak-hak
manusia untuk mendapatkan kehidupan sejahtera adalah sistem bukan
riba yang mendasarkan transaksi penyediaan modal keuangan pada
konsep bagi hasil. Dalam hal in secara teoritik BM T (Baitul M aal wat
Tamwil) merupakan salah satu lembaga penyedia jasa keuangan bukan
bank tanpa bunga yang memiliki potensi akses lebih besar kepada
masyarakat miskin, begitu pula dengan LKM bukan bank seperti
bentuk KSP (Koperasi Simpan Pinjam).
M elihat sistem keuangan konvensional yang mengarah ke riba
dan belum teraplikasi dengan perannya untuk kesejahteraan rakyat,
maka banyak orang berpandangan perlu adanya sistem Keuangan
M ikro Syariah yang memberikan jasa keuangan secara syariah bagi
pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal,
semi formal, maupun informal yang tidak terlayani oleh lembaga
keuangan formal yang lebih berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.
Keuangan mikro sendiri adalah kegiatan sektor keuangan berupa
penghimpunan dana dan pemberian pinjaman atau pembiayaan dalam
skala mikro dengan suatu prosedur yang sederhana kepada masyarakat
miskin dan berpenghasilan rendah.
Lembaga keuangan syariah secara esensial berbeda dengan
lembaga keuangan konvensional baik dalam tujuan, mekanisme,
7

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

kekuasaan, ruang lingkup maupun tanggung jawabnya. Setiap institusi
dalam lembaga keuangan syariah menjadi bagian integral dari sistem
syariah. Dalam hal ini Lembaga Keuangan Syariah bertujuan
membantu mencapai tujuan sosial ekonomi masyarakat Islam.
LKM S mengalami perkembangan yang pesat di Jawa Tengah.
Hal ini didukung oleh ajaran agama yang melarang riba dan
menganjurkan sedekah. Contoh riil dari LKM S adalah BM T yang
merupakan leading sector untuk pembiayaan usaha mikro. Ini
dikarenakan BM T merupakan salah satu multiplier effect dari
pertumbuhan dan perkembangan lembaga ekonomi dan keuangan
syariah. LKM S ini dekat dengan kalangan masyarakat bawah (grass
root). Namun demikian perkembangan BMT belum diikuti dengan
pengaturan atau landasan hukum yang memadai. Kekosongan hukum
ini menyebabkan banyak penunggang liar (free riders) yang
memanfaatkan keberadaan BM T untuk tujuan pragmatis dan
kepentingan pribadi bahkan label syariah hanya sebagai slogan.
Bila syariah hanya sebagai slogan, tentu akan mengarah pada
perwujudan dari ketidakadilan ekonomi yang
bisa menambah
penderitaan, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan sebagainya.
Dengan begitu LKM S tidak akan mampu memberikan dukungan bagi
terciptanya keadilan dalam masyarakat. Sama seperti teori keadilan
yang dibahas oleh John Rawls, terdapat pokok-pokok pikiran tentang
keadilan yang merupakan salah satu nilai moral, meskipun dalam
penerapannya pun sering kali juga menimbulkan polemik. M enurut
John Rawls, dalam menyikapi hal tersebut diperlukan adanya
kesamaan pandangan dan kesepakatan dari berbagai unsur masyarakat
yang terlibat, demi terwujudnya kehidupan sosial yang adil dan
makmur. Di sisi lain, kesamaan pandangan tentang keadilan saja juga
tidak dapat menjamin terwujudnya keadilan sosial, tanpa dilandasi oleh
itikad baik untuk melaksanakan prinsip keadilan sosial tersebut.
Atas dasar inilah akan dicoba untuk merefleksikan salah satu
konsep “keadilan sebagai fairness” menurut John Rawls yang pokokpokok pikirannya lebih dekat dengan konsep tentang keadilan sosial
sebagaimana tecermin dalam sila kelima dari Pancasila. Refleksi
tentang makna keadilan sosial dalam kerangka teori keadilan John
8

Pendahuluan

Rawls, yang berprinsip pada “keadilan sebagai fairness” dalam konteks
ke-Indonesia-an tersebut kiranya cukup penting. Studi ini akan
mengkaji sejauh mana LKM S yang diharapkan mampu menjadi salah
satu media untuk mewujudkan keadilan distributif benar-benar bisa
dipraktikkan dalam bidang pembiayaan dalam berbagai bisnis skala
kecil di dalam masyarakat.
Dengan menggunakan perspektif yang dikembangkan oleh
John Rawls yang menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama
dalam institusi sosial, maka ada beberapa patokan yang akan digunakan
untuk melihat lebih jauh eksistensi LKM S di Jawa Tengah. Pertama,
setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut
prinsip keadilan yang sama sesuai dengan dasar syariah Islam. Kedua,
lembaga dianggap adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang
antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban sesuai dengan
syariah dan ketika aturan menentukan keseimbangan yang pas antara
klaim-klaim yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan
sosial. Ketiga, adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada
pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini makna
keadilan sebagai fairness bukan merupakan prinsip yang berdiri
sendiri, melainkan melibatkan persoalan tentang bagi hasil atau margin
serta bunga maupun jasa. Untuk melaksanakan prinsip keadilan maka
seharusnya profesionalisme di bidang lembaga keuangan mikro syariah
harus dikembangkan.
Banyak pengakuan yang menuliskan bahwa LKM memiliki
peran strategis sebagai intermediasi dalam aktivitas perekonomian bagi
masyarakat yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga
perbankan umum/bank konvensional (Hendrayana & Bustaman, 2007).
Ketidakmudahan akses masyarakat miskin pada sistem keuangan
merupakan faktor utama yang menyebabkan ketidakmampuan
masyarakat dalam pembangunan. Pembangunan sistem keuangan yang
berpihak pada masyarakat miskin merupakan tujuan utama pembuat
kebijakan dan perencana kebijakan demi menghadapi globalisasi
(Obaidullah, 2008). Sementara itu Hasanah & Yusuf (2013)
menyatakan bahwa LKM menjadi alat yang cukup penting untuk
mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu:
9

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat,
dan mengentaskan kemiskinan.
Data yang diperoleh dari surat kabar harian Kompas pada
tanggal 8 M aret 2013 menyebutkan bahwa volume usaha atau jumlah
pinjaman yang disalurkan oleh lembaga keuangan seperti Koperasi
Simpan Pinjam (KSP), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan
Usaha Simpan Pinjam (USP) koperasi, serta Usaha Jasa Keuangan
Syariah pada tahun 2012 juga mencapai jumlah yang tidak sedikit,
yaitu Rp. 49,78 miliar. Sumbangsih UM KM khususnya usaha skala
mikro sebagai bagian dari pembangunan perekonomian bangsa dalam
menciptakan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan di
Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini
berdasarkan data dari Kemenkop dan UKM (2011) bahwa usaha mikro
tahun 2011 sebesar 50,70 juta unit (98,90%), usaha kecil sebanyak
520,22 ribu unit (1,01%), usaha menengah sebanyak 39,66 ribu unit
(0,08%) dan usaha besar 4,37 ribu unit (0,01%).
BM T sebagai salah satu lembaga penyedia jasa keuangan bukan
bank memiliki potensi akses lebih besar kepada masyarakat miskin,
begitu pula dengan LKM bukan bank seperti KSP. Selain itu, Provinsi
Jawa Tengah juga menjadi basis perkembangan BM T di Indonesia
karena jumlah BM T yang telah tercatat menduduki posisi tiga besar
dari seluruh provinsi di Indonesia (Sakai & M arijan, 2008). Dalam
hubungan ini penelitian tentang kondisi LKM bukan bank dan pihakpihak yang terkait dengan penyelenggaraan operasional LKM bukan
bank yang berada di Jawa Tengah sangat menarik untuk diteliti lebih
lanjut. Selama ini, penelitian-penelitian yang telah dilakukan belum
ada yang menganalisis kontribusi LKM S dalam menciptakan keadilan
di bidang ekonomi.
M emang beberapa peneliti telah melakukan kajian terhadap
LKM . Seperti persoalan efisiensi LKM telah diteliti oleh Akbar (2010),
yang melakukan kajian tentang analisis efisiensi BM T menggunakan
Data Envelopment Analysis (DEA). Hasil penelitian menunjukkan ada
5 kantor cabang yang efisien secara relatif sedangkan 26 kantor cabang
lain mengalami inefisiensi. Sementara itu analisis penyaluran kredit
mikro telah dilakukan oleh Nuswantara (2012). Pengambilan data pool
10

Pendahuluan

penyaluran kredit mikro dan kecil dilakukan di 29 kabupaten di Jawa
Tengah periode tahun 2000-2005, serta dianalisis dengan menggunakan
analisis regresi berganda. Hasil dari penelitian ini adalah jumlah kantor
koperasi, jumlah anggota koperasi, jumlah aset koperasi, jumlah giro
masyarakat, jumlah pinjaman per nasabah, jumlah nasabah per kantor
bank, jumlah kantor bank, jumlah tabungan masyarakat, dan jumlah
simpanan deposito berpengaruh nyata terhadap penyaluran kredit
mikro dan kecil di wilayah Jawa Tengah.
Sedangkan kajian yang berhubungan dengan metode
perhitungan bagi hasil pada pembiayaan mudharabah di BM T Khonsa
di Cilacap dibandingkan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
telah dilakukan oleh Fausziyah (2006). Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa BMT Khonsa di Cilacap Jawa Tengah telah
menggunakan metode bagi hasil (net revenue sharing) yang sesuai
dengan fatwa dalam DSN No. 15/DSN-M UI/IX/2000. Kesesuaian
metode revenue sharing dengan fatwa DSN tersebut dilihat dari
kemaslahatan bersama karena pembagian hasil usaha (metode revenue
sharing).
Sementara itu Anggadini (2010) melakukan penelitian tentang
penerapan margin pembiayaan murabahah pada BM T As-Salam Pacet
di Cianjur Jawa Barat. Kajian ini memberikan informasi bahwa
prosedur keuangan yang terdapat pada sistem keuangan BM T As-Salam
yang diadopsi dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam panduan
konsep syariah, secara efektif dan efisien dengan visi yang
menggunakan formula dalam perhitungan persentase margin dan
dalam penentuan harga.
Selanjutnya penelitian Hasanah & Yusuf (2013) mengkaji
tentang faktor-faktor yang menentukan pembentukan BM T di
Indonesia, menunjukkan bahwa agama merupakan faktor penentu
terkuat dalam pembentukan dan pendirian BM T. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa awalnya wilayah pedesaan dengan dominasi
agama Islam yang menjadi keyakinan mereka untuk mendirikan lebih
banyak BM T. Ternyata, pengaruh tersebut hanya kuat di wilayah
perkotaan, sedangkan di daerah pedesaan adalah lemah. Sementara itu
penelitian Frederik (2012) mengkaji analisis dari segi hukum tentang
11

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah

peranan bank syariah dalam kegiatan perbankan yang dilakukan di
Indonesia.
Kajian mengenai analisis perbandingan antara Koperasi Simpan
Pinjam (KSP) dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) BM T dari
tinjauan yuridis dilakukan oleh M a’wa (2013), bahwa secara yuridis,
koperasi tersebut menggunakan Keputusan M enteri Koperasi dan
Usaha Kecil dan M enengah Nomor 91/Kep/M .KUKM /IX/2004 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah
sebagai payung hukum dalam melaksanakan kegiatannya, dan belum
memiliki UU yang mengatur khusus terkait BMT. Namun dalam
praktiknya, kegiatan usaha koperasi ini sama dengan Koperasi Simpan
Pinjam dan memiliki kemiripan dengan konsep kegiatan perbankan
syariah.
Berdasarkan mapping
penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya oleh para peneliti yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini mengambil judul: Keadilan Distributif: Studi tentang
Lembaga Keuangan M ikro Syariah (LKM S) di Jawa Tengah. Pemilihan
judul ini didasari atas beberapa pertimbangan utama bahwa LKM S
mengalami perkembangan yang pesat meskipun Jawa Tengah bukan
merupakan basis Islam yang kuat sehingga dapat diangkat sebagai studi
kasus mengenai kontribusi LKM S dalam penciptaan keadilan
khususnya di bidang ekonomi.
Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang digambarkan di
atas, permasalahan yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: (1) Bagaimana gambaran perkembangan LKM S di
Jawa Tengah (2) Bagaimana Perbandingan Sistem Bagi Hasil atau
Bunga antara LKM S dan LKM K di Jawa Tengah?; (3) Apa kontribusi
LKM S terhadap usaha para anggota dalam dimensi keadilan distributif?;
(4) Bagaimana Implikasi kebijakan Pemerintah terhadap peran LKM S
di Jawa Tengah?
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan
gambaran di lapangan yang jelas terhadap: (1) Perkembangan LKM S di
Jawa Tengah; (2) Perbandingan sistem Bagi Hasil dan Bunga antara
LKM S dan LKM K di W ilayah Penelitian; (3) Kontribusi LKM S
12

Pendahuluan

terhadap Usaha para anggota dalam dimensi keadilan distributif; (4)
Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap peran LKM S di Jawa Tengah.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut: (1) Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang berharga dalam bidang Pendidikan dan
Ilmu Ekonomi Pembangunan di masa yang akan datang; (2) Secara
praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pengambil kebijakan untuk melaksanakan mekanisme pengawasan
terhadap LKM K atau LKM S secara umum, sehingga dapat berdampak
pada peningkatan kesejahteraan dan peningkatan keadilan distributif
dalam masyarakat di masa yang akan datang; (3) Secara umum
penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan hubungan yang
sinergi antara masyarakat dan pemerintah sehingga masyarakat tidak
merasa dipinggirkan dan terjadi pemerataan pendapatan sehingga
jurang ekonomi bisa dikurangi serta kemakmuran dan kesejahteraan
dapat tercapai.

Garis Besar Penulisan
Hasil penelitian dalam wujud disertasi ini akan membahas halhal seperti berikut ini: Bab satu merupakan pendahuluan. Selanjutnya
bab dua membahas tinjauan pustaka yang mengkaji literatur yang ada
korelasinya, sedangkan bab tiga membahas metode yang digunakan
dalam penelitian ini. Bab empat mengkaji gambaran perkembangan
LKM S di Jawa Tengah. Sementara Bab lima membahas perbandingan
sistem bagi hasil atau bunga antara LKM S dan LKMK di Jawa Tengah.
Bab enam membahas Kontribusi LKM S terhadap usaha para anggota
dalam dimensi keadilan distributif, sedangkan Bab tujuh membahas
Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKM S di Jawa
Tengah. Akhirnya Bab delapan merupakan penutup yang menyajikan
simpulan, saran, implikasi teoritik dan implikasi kebijakan.

13

Dokumen yang terkait

Peran lembaga keuangan mikro Syariah dalam melakukan pembiayaan di sektor Agribisnis (studi BMT Miftahussalam Ciamis Koppontren Al-ittfaq Bandung)

0 25 107

Respon Masyarakat Non Muslim Terhadap Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Lkms) (Study Kasus Pada Masyarakat Non Muslim Di Depok)

1 6 103

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB III

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB IV

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB V

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB VI

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB VII

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

0 0 22

PAPER MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (1)

0 0 11