Patobiologi Aneurisma Intrakranial.

(1)

1

PATOBIOLOGI ANEURISMA INTRAKRANIAL

Dr. Achmad Adam, dr., M.Sc., SpBS

A. Pendahuluan.1

Aneurisma didefinisikan sebagai suatu pelebaran atau dilatasi dari pembuluh darah. Bentuk yang paling sering dari aneurisma intrakranial adalah aneurisma arterial sakuler yang merupakan proses degeneratif progresif yang mengenai dinding arteri. Ruptur aneurisma sakuler merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan sering didapatkan. Berdasarkan hasil otopsi dan pemeriksaan angiografi, sekitar 5% sampai 6% individu memiliki aneurisma intrakranial. Rasio antara aneurisma yang ruptur dengan yang tidak ruptur berkisar antara 5:3 sampai 5:6. Prevalensi aneurisma rendah selama 2 dekade pertama kehidupan dan meningkat setelah dekade ketiga. Hanya 2% aneurisma yang muncul pada masa kanak-kanak. Proses aneurisma pada arteri yang memperdarahi susunan saraf pusat dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuknya (sakuler, fusiform dan dissecting), ukurannya (non-giant atau giant, dengan diameter maksimal > 2,5 cm), tipe pembuluh darah (arteri atau vena), penyebabnya (didapat atau familial/genetik), proses penyakit yang mendasarinya (infeksi traumatik, inflamasi, neoplastik) dan lokasinya (intrakranial, basis kranii, ekstrakranial, spinal dan sistemik). Klasifikasi yang lebih detail dijelaskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Klasifikasi Aneurisma Pada Susunan Saraf Pusat. 1. Acquired (biasanya bentuk sakuler)

A. Tidak berhubungan dengan penyakit sistemik B. Berhubungan dengan penyakit sistemik

(i). Aneurisma intracranial familial (ii). Penyakit ginjal polikistik (iii). Koarktasio aorta

(iv). Displasia fibromuskuler

(v). Penyakit genetik yang jarang: Marfan’s, Ehler-Danlos, teleangiektasia hemoragik herediter, Anderson-Fabry.

2. Aneurisma khusus A. Non sakuler


(2)

2 b. Dissecting

c. Traumatik d. Infektif :

i. Bacterial ii. Fungal iii. Spirochetal iv. Amebic e. Inflamasi

i. Lupus eritematosus ii. Poliarteritis nodosa iii. Aortitis

iv. Arteritis giant-cell v. Arteritis non-spesifik f. Neoplastik

i. Metastatik

ii. Contiguous infiltrative

iii. Berhubungan dengan tumor

g. Mikroaneurisma intraparenkimal (Charcot-Bouchard) h. Aortik

B. Sakuler a. Spinal b. Giant

II. Patogenesis dan Etiologi

Aneurisma sakuler biasanya terbentuk pada bifurkasio arteri. Secara khusus aneurisma mudah terbentuk pada bifurkasio dengan cabang kecil yang hipoplastik dan bifurkasio dengan sudut yang tajam. Sekitar 90% aneurisma terjadi pada arteri-arteri di sirkulasi anterior. Tempat-tempat pada sirkulasi anterior yang sering terkena termasuk perbatasan antara arteri komunikans anterior dan arteri serebri anterior, bifurkasio arteri serebri media dan perbatasan arteri karotis interna dengan arteri oftalmika, arteri komunikans posterior, arteri khoroidalis anterior dan arteri serebri media. Sedangkan pada sirkulasi posterior, apex arteri basilaris dan arteri vertebralis intrakranial merupakan tempat yang sering terkena. Multipel aneurisma terdapat pada sekitar 14%-24% pasien dan lebih sering pada wanita.


(3)

3 Arteri intrakranial lebih rentan daripada arteri ekstrakranial untuk mengalami aneurisma karena dindingnya lebih tipis, mengandung lebih sedikit elastin pada tunika media dan adventisia, tunika media memiliki sel otot lebih sedikit dan tidak didapatkan lamina elastika eksterna. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa pembuluh darah otak besar yang berjalan di ruang subarakhnoid memiliki jaringan penyokong eksternal yang lebih kecil. Ferguson menyatakan bahwa aneurisma serebral terjadi akibat degenerasi arteri yang diinduksi proses mekanik. Stres hemodinamik maksimal terjadi pada apex dan bifurkasio arteri. Ketidakseimbangan antara kekuatan arteri pada bifurkasio utama dan stress hemodinamik yang terjadi padanya menyebabkan degenerasi lamina elastika interna dan pembentukan aneurisma.Turbulensi aliran pada aneurisma dan daerah di sekitarnya menghasilkan getaran pada dinding pembuluh darah yang selanjutnya mengakibatkan kelemahan integritas struktur pembuluh darah dan akhirnya menyebabkan perkembangan aneurisma. Pembentukan atheroma pada pembuluh darah juga berkontribusi menyebabkan kelemahan dinding pembuluh darah dan akselerasi pembentukan aneurisma. Stres pada dinding pembuluh darah meningkat seiring makin tipisnya aneurisma, radius aneurisma yang semakin besar dan tekanan pada aneurisma yang semakin besar karena peningkatan tekanan darah. Ketika stres pada dinding pembuluh darah melebihi kekuatannya maka terjadilah ruptur aneurisma.

Etiologi aneurisma dapat karena adanya predisposisi kongenital (seperti defek pada tunika muskularis dari dinding arteri), proses aterosklerosis (karena hipertensi), emboli (seperti pada miksoma atrial), infeksi (mycotic aneurysms), traumatik dan kondisi lainnya.

Aneurisma dapat ruptur kapan saja tetapi terutama pada saat tekanan darah atau aliran darah meningkat. Ruptur sering terjadi saat melakukan aktivitas berat seperti mengangkat beban, latihan, berhubungan badan, defekasi dan melakukan pekerjaan berat. Walaupun begitu aneurisma juga dapat ruptur pada saat sedang beristirahat atau tidur. Semakin besar ukuran aneurisma maka semakin besar kemungkinannya untuk ruptur. Aneurisma yang berdiameter lebih dari 10 mm lebih besar kemungkinannya untuk ruptur daripada aneurisma yang berdiameter lebih kecil. Titik pada aneurisma yang paling sering mengalami ruptur adalah pada apex. Sebelum ruptur, aneurisma jarang menimbukan gejala klinis kecuali bila terdapat tekanan pada struktur susunan saraf pusat, iritasi pada otak atau duramater dan hambatan aliran darah.

Aneurisma yang berukuran lebih dari 2,5 cm biasanya disebut giant aneurysm. Giant

aneurysm sering mengandung trombus pada lumen arterinya. Faktor-faktor yang


(4)

4 mempercepat pembentukan trombus intraaneurisma. Embolisasi dari trombus intraaneurisma juga dapat terjadi. Telah dilaporkan 20 kasus transient ischemic attack akibat emboli aneurisma dimana lokasi yang paling sering untuk mengalami embolisasi ini adalah arteri serebri media (2/3 kasus) dan arteri karotis interna (1/3 kasus).

III. Gambaran Histologis.

Dinding arteri intrakranial yang normal terdiri atas satu lapisan endotel, lamina elastika interna, tunika media yang mengandung beberapa lapisan muskularis dan tunika adventisia. Sebaliknya aneurisma mengandung satu lapisan endotel dan sebagian besar dindingnya dibentuk oleh jaringan fibrohialin yang dibungkus oleh lapisan adventisia. Pada umumnya deposit fibrin dan infiltrasi leukosit ditemukan pada dinding aneurisma.

IV. Gejala Kinis.

Aneurisma dapat menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak di dekatnya atau kompresi saraf kranial. Giant aneurysm terutama paling sering menimbulkan gejala dan tanda defisit neurologis fokal sehubungan dengan efek massa. Giant aneurysm pada arteri serebri media dapat menimbulkan bangkitan, hemiparesis atau disfasia. Aneurisma pada perbatasan antara arteri karotis interna dan arteri komunikans posterior atau pada arteri serebelaris superior dapat menyebabkan penekanan pada nervus ketiga. Giant aneurysm pada arteri serebelaris superior dapat menyebabkan penekanan pada traktus piramidalis di mesencephalon sehingga terjadi hemiplegia kontralateral (sindrom Weber).

Pada sinus kavernosus, aneurisma dapat menimbulkan penekanan pada nervus kranialis ketiga, keempat dan keenam yang mengakibatkan oftalmoplegia. Aneurisma pada arteri oftalmika dapat menyebabkan neuropati nervus optikus karena efek kompresifnya sehingga mengakibatkan visual loss. Nyeri pada wajah sesuai distribusi nervus oftalmika dan maksilaris yang menyerupai gejala trigeminal neuralgia dapat terjadi pada aneurisma intrakavernosus atau supraklinoid. Waktu rata-rata dari mulai timbulnya gejala kelumpuhan saraf kranial sampai ke perdarahan subarakhnoid sekitar 110 hari. Aneurisma suprasellar dapat mengakibatkan gangguan endokrin karena kompresi kelenjar hipofisis.

Perdarahan kecil (sentinel/warning hemorrhage) dapat menimbulkan nyeri kepala hebat (yang digambarkan sebagai “the worst headache in my life”) dengan onset mendadak.

Warning headache ini dapat juga terjadi tanpa adanya perdarahan dan disebabkan

pembesaran aneurisma. Waktu rata-rata dari mulai timbulnya nyeri kepala ini sampai perdarahan subarakhnoid sekitar 10 hari. Muntah dan penurunan kesadaran sering menyertai


(5)

5 nyeri kepala ini. Infark kecil (transient ischemia) karena embolisasi di bagian distal pembuluh darah akibat lepasnya trombus intraaneurisma dapat menimbulkan gejala

amaurosis fugax dan hemianopsia homonim. Waktu rata-rata dari saat timbulnya transient ischemia sampai ke perdarahan subarakhnoid sekitar 21 hari.

V. Komplikasi Ruptur Aneurisma. V.1. Perdarahan Subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid terjadi apabila pembuluh darah yang terletak di dekat permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarakhnoid. Arteri yang terdapat di bagian basis otak dan berjalan melewati ruang subarakhnoid merupakan tempat yang paling sering mengalami pembentukan aneurisma sehingga apabila aneurisma tersebut ruptur maka aliran darah yang pertama kali biasanya menuju sistem kavernous yang dibentuk oleh arakhnoid. Jumlah darah yang mengalir ke ruang subarakhnoid ditentukan oleh ukuran awal ruangan tersebut, brain compliance, tekanan darah, tingkat pembekuan darah dan faktor hemodinamik lainnya. Perdarahan subarakhnoid yang masif dapat menghasilkan volume perdarahan hingga 150 ml. Volume perdarahan yang lebih besar dapat mengancam jiwa pasien. Proses perdarahan berhenti ketika tekanan intrakranial melebihi tekanan intraarterial dan terjadi proses pembekuan.

Gejala klinis perdarahan subarakhnoid biasanya sangat berat dengan onset yang sangat mendadak. Untuk menilai derajat klinis pasien dengan perdarahan subarakhnoid digunakan skala Hunt and Hess. Skala ini sangat berguna untuk memperkirakan prognosis jangka pendek dan panjang. Semakin tinggi derajat skala pasien maka prognosisnya semakin buruk.

Tabel 2. Klasifikasi Hunt and Hess.

Grade I Asimpt omat ik at au nyeri kepala minimal

dan kaku kuduk ringan

Grade II Nyeri kepala sedang sampai berat , kaku

kuduk (+), t ak ada defisit neurologis selain kelumpuhan saraf kranial

Grade III Drow siness, confusion at au defisit fokal


(6)

6

Grade IV St upor, hemiparesis sedang sampai berat ,

bisa didapat kan rigidit as deserebrasi aw al dan gangguan veget at if

Grade V Koma dalam , rigidit as deserebrasi

V.2. Reaksi Meningeal.

Dalam beberapa jam setelah perdarahan subarakhnoid akan terjadi pengeluaran leukosit polimorfonuklear yang diikuti oleh limfosit dan fagosit mononuklear. Respon seluler ini akan bertahan selama sel darah merah dan produk-produk hasil degradasinya masih terkumpul di ruang subarakhnoid. Sehubungan dengan proses pembekuan, eritrosit akan dikelilingi oleh serat-serat fibrin yang kemudian bergabung membentuk gambaran sarang tawon di sekitar eritrosit tersebut.Fagositosis pertama kali terjadi pada 24 jam setelah perdarahan. Bukti dari percobaan menunjukkan bahwa fagosit yang ada dihasilkan oleh sel-sel datar yang melapisi ruang subarakhnoid secara normal. Darah juga akan menyebabkan distensi villi arakhnoidalis. Secara bertahap debris akan dibuang setelah 2-3 minggu. Kemungkinan besar respon meningeal yang terjadi disebabkan oleh oksihemoglobin dan bilirubin.

V.3. Reaksi Serebral Umum.

Dalam keadaan normal 78% volume otak terdiri dari air yang akan meningkat jumlahnya pada perdarahan sehubungan volume darah yang dilepaskan. Kandungan air yang bertambah pada otak dapat diakibatkan oleh proses vasogenik (peningkatan permeabilitas sel endotel kapiler otak) dan sitotoksik (kerusakan seluler langsung akibat iskemia dan anoksia). Selain itu juga akan terjadi peningkatan volume darah serebral yang mungkin diakibatkan paralisis vasomotor yang diinduksi oleh iskemia akut setelah ruptur aneurisma. Sebagai konsekuensi dari edema dan pembengkakan otak maka dapat terjadi pergeseran garis tengah (midline shift).

V.4. Perdarahan Intraserebral.

Perdarahan intraserebral primer terjadi pada 20-40% kasus ruptur aneurisma. Dari semua perdarahan intraserebral yang berukuran > 3 cm, 20% diantaranya disebabkan aneurisma. CT-Scan dapat membantu kita untuk membedakan perdarahan intraserebral yang disebabkan hipertensi dengan ruptur aneurisma. Perdarahan di talamus dan nukleus kaudatus hampir selalu disebabkan hipertensi sedangkan perdarahan kalosal hampir selalu disebabkan oleh ruptur aneurisma. Di sisi lain, ruptur aneurisma juga dapat menghasilkan


(7)

7 gambaran perdarahan seperti yang disebabkan oleh hipertensi. Lebih dari setengah kasus perdarahan akibat ruptur aneurisma terjadi sekunder dari perdarahan subarakhnoid yang masuk ke otak. Tetapi sebagian besar perdarahan intraserebral akibat ruptur aneurisma terjadi pada sistem ventrikel.

Dalam hubungannya dengan pemulihan neurologis, pasien dengan perdarahan di lobus temporal akan mengalami pemulihan lebih baik dibandingkan pasien dengan perdarahan di lobus parietal. Ukuran hematom berhubungan lurus dengan kemungkinan terjadinya vasospasme. Volume perdarahan yang besar berhubungan dengan resiko herniasi yang lebih besar. Lebih dari 40% ruptur aneurisma berlokasi di lobus frontal dan temporal, 10% lainnya berlokasi di lobus parietal dan paling jarang berlokasi di serebelum. Angka mortalitas paling tinggi pada perdarahan di lobus parietal. Pada suatu penelitian besar didapatkan bahwa 54% aneurisma yang menyebabkan perdarahan intraserebral terdapat di arteri serebri media, 25% di arteri serebri anterior, 15% di arteri karotis interna, 5% di perikalosal dan hanya 1% pada sistem vertebrobasiler. Perdarahan di lobus frontal sangat mungkin berasal dari ruptur aneurisma pada arteri serebri anterior dan perikalosal, perdarahan temporal dari arteri serebri media atau arteri karotis interna dan perdarahan parietal dapat berasal dari arteri serebri anterior atau arteri serebri media.

V.5. Perdarahan Intraventrikuler.

Perdarahan intraventrikuler ditemukan pada 13-28% kasus ruptur aneurisma. Prognosis biasanya lebih buruk pada kasus dengan perdarahan intraventrikuler (angka kematian mencapai 64%). Ukuran ventrikel saat datang ke rumah sakit merupakan faktor prognostik yang sangat penting. Semakin besar ukuran ventrikel maka prognosisnya semakin buruk. Aneurisma pada arteri komunikans anterior menyebabkan perdarahan intraventrikuler akibat ruptur lamina terminalis ke bagian anterior ventrikel ketiga atau ventrikel lateralis. Aneurisma pada arteri basilaris distal dapat ruptur ke arah lantai ventrikel ketiga. Aneurisma pada arteri serebelaris inferior posterior dapat ruptur langsung ke ventrikel keempat melalui foramen Luschka. Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan intraventrikuler yaitu arteri serebri anterior (40%), arteri karotis interna (25%), arteri serebri media (21%) dan pada sistem vertebrobasiler (14%).

V.6. Perdarahan Subdural.

Hanya 1-2% ruptur aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural. Hampir setengah kasus dengan perdarahan subdural berakhir dengan kematian karena efek massa. Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural menurut studi literatur yaitu arteri karotis interna (36%), arteri serebri media (33%), arteri serebri anterior (25%)


(8)

8 dan pada sistem vertebrobasiler (6%). Pada hampir separuh kasus didapatkan perdarahan subhyaloid. Faktor prognostik yang buruk yaitu midline shift yang besar dan volume perdarahan yang besar. Mayoritas pasien adalah wanita dengan aneurisma di bagian proksimal arteri karotis.

V.7. Vasospasme dan Infark.

Ruptur aneurisma dapat menyebabkan deposit bekuan darah dalam jumlah banyak pada bagian adventisia arteri di bagian basal otak yang sering mengakibatkan konstriksi arteri jangka panjang dengan onset tertunda yang disebut sebagai vasospasme. Penyebabnya kemungkinan adalah pelepasan oksihemoglobin dalam konsentrasi tinggi sebagai hasil degradasi eritrosit. Oksihemoglobin akan mempengaruhi fungsi platelet derived growth factor yang dilepaskan platelet yang menempel pada dinding arteri dan endothelial derived relaxing factor serta komponen kaskade pembekuan terutama trombin, plasmin dan fibrinogen sehingga terjadi kontraksi abnormal atau kegagalan relaksasi sel otot polos arteri. Vasospasme yang berat dapat menimbulkan oklusi pembuluh darah dan iskemia di bagian distalnya. Sekitar 2/3 pasien dengan ruptur aneurisma akan menunjukkan vasospasme derajat sedang sampai berat pada angiografi yang dilakukan 1 minggu atau segera setelah perdarahan awal. Sekitar setengah pasien akan menunjukkan gejala klinis dari iskemia yang tertunda. Waktu terjadinya hal ini akan bergantung pada beberapa faktor seperti usia, tekanan perfusi, anatomi sirkulasi anterior dan faktor lainnya.

Angka kematian akibat fenomena ini telah banyak menurun dengan menghindari dehidrasi dan penggunaan zat anti fibrinolitik. Sebagai tambahan, penggunaan antagonis kalsium dan penerapan metode hipertensi/hipervolemia menghasilkan efek yang menguntungkan. Insidensi infark serebral tercatat sekitar 30% dari kasus ruptur aneurisma. Sebagai catatan, infark serebri dapat disebabkan oleh tindakan bedah, kompresi oleh hematom atau efek angiografi.

Perubahan histologis pada dinding pembuluh darah karena vasospasme adalah penebalan karena interdigitasi progresif dari sel otot. Hal ini dapat mengganggu metabolisme dan nutrisi pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi perubahan nekrotik pada sel otot polos. Selain itu akan terjadi degenerasi pleksus neuralis periadventisial.

V.8. Hidrosefalus.

Dilatasi ventrikel terjadi dalam beberapa hari setelah perdarahan subarakhnoid pada seperlima kasus. Beberapa pasien akan mengalami pelebaran ventrikel kronis. Gambaran CT-Scan yang khas pada keadaan ini adalah dilatasi kornu temporal dan edema


(9)

9 periventrikuler (yang menunjukkan adanya edema interstisial). Biasanya antara 5-15% pasien akan membutuhkan ventriculo-peritoneal shunt kronis.


(10)

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper. AH, Brow n R. Cerebrovascular Disease in: Adams and Vict or's Principles of Neurology; 8t h edit ion; M cGraw -Hill Companies; 2005.

2. Bradley WG, Daroff RB. Neurology In Clinical Practice; 4t h edit ion; Elsevier Inc; 2004.

3. Caplan LR. Subarachnoid Hemorrhage, Aneurysms and Vascular M alformations In:

St roke A Clinical Approach; 4t h edit ion; Saunders Elsevier; USA; 2009.

4. Warlow CP. Stroke A Practical Guide To M anagement; 1996; Blackw ell Science Lt d. 5. Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated; 4t h edit ion; Churchill Livingst one; 2004.

6. Greenberg M S. Cerebral Aneurysms In: Handbook of Neurosurgery; 6t h edit ion; Thieme; New York; 2006.

7. Weir BK, Findlay JM , M ielke BW. Pathology of Aneurysms and Vascular


(1)

5

nyeri kepala ini. Infark kecil (transient ischemia) karena embolisasi di bagian distal pembuluh darah akibat lepasnya trombus intraaneurisma dapat menimbulkan gejala

amaurosis fugax dan hemianopsia homonim. Waktu rata-rata dari saat timbulnya transient ischemia sampai ke perdarahan subarakhnoid sekitar 21 hari.

V. Komplikasi Ruptur Aneurisma. V.1. Perdarahan Subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid terjadi apabila pembuluh darah yang terletak di dekat permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarakhnoid. Arteri yang terdapat di bagian basis otak dan berjalan melewati ruang subarakhnoid merupakan tempat yang paling sering mengalami pembentukan aneurisma sehingga apabila aneurisma tersebut ruptur maka aliran darah yang pertama kali biasanya menuju sistem kavernous yang dibentuk oleh arakhnoid. Jumlah darah yang mengalir ke ruang subarakhnoid ditentukan oleh ukuran awal ruangan tersebut, brain compliance, tekanan darah, tingkat pembekuan darah dan faktor hemodinamik lainnya. Perdarahan subarakhnoid yang masif dapat menghasilkan volume perdarahan hingga 150 ml. Volume perdarahan yang lebih besar dapat mengancam jiwa pasien. Proses perdarahan berhenti ketika tekanan intrakranial melebihi tekanan intraarterial dan terjadi proses pembekuan.

Gejala klinis perdarahan subarakhnoid biasanya sangat berat dengan onset yang sangat mendadak. Untuk menilai derajat klinis pasien dengan perdarahan subarakhnoid digunakan skala Hunt and Hess. Skala ini sangat berguna untuk memperkirakan prognosis jangka pendek dan panjang. Semakin tinggi derajat skala pasien maka prognosisnya semakin buruk.

Tabel 2. Klasifikasi Hunt and Hess.

Grade I Asimpt omat ik at au nyeri kepala minimal

dan kaku kuduk ringan

Grade II Nyeri kepala sedang sampai berat , kaku

kuduk (+), t ak ada defisit neurologis selain kelumpuhan saraf kranial

Grade III Drow siness, confusion at au defisit fokal


(2)

6

Grade IV St upor, hemiparesis sedang sampai berat ,

bisa didapat kan rigidit as deserebrasi aw al dan gangguan veget at if

Grade V Koma dalam , rigidit as deserebrasi

V.2. Reaksi Meningeal.

Dalam beberapa jam setelah perdarahan subarakhnoid akan terjadi pengeluaran leukosit polimorfonuklear yang diikuti oleh limfosit dan fagosit mononuklear. Respon seluler ini akan bertahan selama sel darah merah dan produk-produk hasil degradasinya masih terkumpul di ruang subarakhnoid. Sehubungan dengan proses pembekuan, eritrosit akan dikelilingi oleh serat-serat fibrin yang kemudian bergabung membentuk gambaran sarang tawon di sekitar eritrosit tersebut.Fagositosis pertama kali terjadi pada 24 jam setelah perdarahan. Bukti dari percobaan menunjukkan bahwa fagosit yang ada dihasilkan oleh sel-sel datar yang melapisi ruang subarakhnoid secara normal. Darah juga akan menyebabkan distensi villi arakhnoidalis. Secara bertahap debris akan dibuang setelah 2-3 minggu. Kemungkinan besar respon meningeal yang terjadi disebabkan oleh oksihemoglobin dan bilirubin.

V.3. Reaksi Serebral Umum.

Dalam keadaan normal 78% volume otak terdiri dari air yang akan meningkat jumlahnya pada perdarahan sehubungan volume darah yang dilepaskan. Kandungan air yang bertambah pada otak dapat diakibatkan oleh proses vasogenik (peningkatan permeabilitas sel endotel kapiler otak) dan sitotoksik (kerusakan seluler langsung akibat iskemia dan anoksia). Selain itu juga akan terjadi peningkatan volume darah serebral yang mungkin diakibatkan paralisis vasomotor yang diinduksi oleh iskemia akut setelah ruptur aneurisma. Sebagai konsekuensi dari edema dan pembengkakan otak maka dapat terjadi pergeseran garis tengah (midline shift).

V.4. Perdarahan Intraserebral.

Perdarahan intraserebral primer terjadi pada 20-40% kasus ruptur aneurisma. Dari semua perdarahan intraserebral yang berukuran > 3 cm, 20% diantaranya disebabkan aneurisma. CT-Scan dapat membantu kita untuk membedakan perdarahan intraserebral yang disebabkan hipertensi dengan ruptur aneurisma. Perdarahan di talamus dan nukleus kaudatus hampir selalu disebabkan hipertensi sedangkan perdarahan kalosal hampir selalu disebabkan oleh ruptur aneurisma. Di sisi lain, ruptur aneurisma juga dapat menghasilkan


(3)

7

gambaran perdarahan seperti yang disebabkan oleh hipertensi. Lebih dari setengah kasus perdarahan akibat ruptur aneurisma terjadi sekunder dari perdarahan subarakhnoid yang masuk ke otak. Tetapi sebagian besar perdarahan intraserebral akibat ruptur aneurisma terjadi pada sistem ventrikel.

Dalam hubungannya dengan pemulihan neurologis, pasien dengan perdarahan di lobus temporal akan mengalami pemulihan lebih baik dibandingkan pasien dengan perdarahan di lobus parietal. Ukuran hematom berhubungan lurus dengan kemungkinan terjadinya vasospasme. Volume perdarahan yang besar berhubungan dengan resiko herniasi yang lebih besar. Lebih dari 40% ruptur aneurisma berlokasi di lobus frontal dan temporal, 10% lainnya berlokasi di lobus parietal dan paling jarang berlokasi di serebelum. Angka mortalitas paling tinggi pada perdarahan di lobus parietal. Pada suatu penelitian besar didapatkan bahwa 54% aneurisma yang menyebabkan perdarahan intraserebral terdapat di arteri serebri media, 25% di arteri serebri anterior, 15% di arteri karotis interna, 5% di perikalosal dan hanya 1% pada sistem vertebrobasiler. Perdarahan di lobus frontal sangat mungkin berasal dari ruptur aneurisma pada arteri serebri anterior dan perikalosal, perdarahan temporal dari arteri serebri media atau arteri karotis interna dan perdarahan parietal dapat berasal dari arteri serebri anterior atau arteri serebri media.

V.5. Perdarahan Intraventrikuler.

Perdarahan intraventrikuler ditemukan pada 13-28% kasus ruptur aneurisma. Prognosis biasanya lebih buruk pada kasus dengan perdarahan intraventrikuler (angka kematian mencapai 64%). Ukuran ventrikel saat datang ke rumah sakit merupakan faktor prognostik yang sangat penting. Semakin besar ukuran ventrikel maka prognosisnya semakin buruk. Aneurisma pada arteri komunikans anterior menyebabkan perdarahan intraventrikuler akibat ruptur lamina terminalis ke bagian anterior ventrikel ketiga atau ventrikel lateralis. Aneurisma pada arteri basilaris distal dapat ruptur ke arah lantai ventrikel ketiga. Aneurisma pada arteri serebelaris inferior posterior dapat ruptur langsung ke ventrikel keempat melalui foramen Luschka. Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan intraventrikuler yaitu arteri serebri anterior (40%), arteri karotis interna (25%), arteri serebri media (21%) dan pada sistem vertebrobasiler (14%).

V.6. Perdarahan Subdural.

Hanya 1-2% ruptur aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural. Hampir setengah kasus dengan perdarahan subdural berakhir dengan kematian karena efek massa. Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural menurut studi literatur yaitu arteri karotis interna (36%), arteri serebri media (33%), arteri serebri anterior (25%)


(4)

8

dan pada sistem vertebrobasiler (6%). Pada hampir separuh kasus didapatkan perdarahan subhyaloid. Faktor prognostik yang buruk yaitu midline shift yang besar dan volume perdarahan yang besar. Mayoritas pasien adalah wanita dengan aneurisma di bagian proksimal arteri karotis.

V.7. Vasospasme dan Infark.

Ruptur aneurisma dapat menyebabkan deposit bekuan darah dalam jumlah banyak pada bagian adventisia arteri di bagian basal otak yang sering mengakibatkan konstriksi arteri jangka panjang dengan onset tertunda yang disebut sebagai vasospasme. Penyebabnya kemungkinan adalah pelepasan oksihemoglobin dalam konsentrasi tinggi sebagai hasil degradasi eritrosit. Oksihemoglobin akan mempengaruhi fungsi platelet derived growth factor yang dilepaskan platelet yang menempel pada dinding arteri dan endothelial derived relaxing factor serta komponen kaskade pembekuan terutama trombin, plasmin dan fibrinogen sehingga terjadi kontraksi abnormal atau kegagalan relaksasi sel otot polos arteri. Vasospasme yang berat dapat menimbulkan oklusi pembuluh darah dan iskemia di bagian distalnya. Sekitar 2/3 pasien dengan ruptur aneurisma akan menunjukkan vasospasme derajat sedang sampai berat pada angiografi yang dilakukan 1 minggu atau segera setelah perdarahan awal. Sekitar setengah pasien akan menunjukkan gejala klinis dari iskemia yang tertunda. Waktu terjadinya hal ini akan bergantung pada beberapa faktor seperti usia, tekanan perfusi, anatomi sirkulasi anterior dan faktor lainnya.

Angka kematian akibat fenomena ini telah banyak menurun dengan menghindari dehidrasi dan penggunaan zat anti fibrinolitik. Sebagai tambahan, penggunaan antagonis kalsium dan penerapan metode hipertensi/hipervolemia menghasilkan efek yang menguntungkan. Insidensi infark serebral tercatat sekitar 30% dari kasus ruptur aneurisma. Sebagai catatan, infark serebri dapat disebabkan oleh tindakan bedah, kompresi oleh hematom atau efek angiografi.

Perubahan histologis pada dinding pembuluh darah karena vasospasme adalah penebalan karena interdigitasi progresif dari sel otot. Hal ini dapat mengganggu metabolisme dan nutrisi pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi perubahan nekrotik pada sel otot polos. Selain itu akan terjadi degenerasi pleksus neuralis periadventisial.

V.8. Hidrosefalus.

Dilatasi ventrikel terjadi dalam beberapa hari setelah perdarahan subarakhnoid pada seperlima kasus. Beberapa pasien akan mengalami pelebaran ventrikel kronis. Gambaran CT-Scan yang khas pada keadaan ini adalah dilatasi kornu temporal dan edema


(5)

9

periventrikuler (yang menunjukkan adanya edema interstisial). Biasanya antara 5-15% pasien akan membutuhkan ventriculo-peritoneal shunt kronis.


(6)

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper. AH, Brow n R. Cerebrovascular Disease in: Adams and Vict or's Principles of

Neurology; 8t h edit ion; M cGraw -Hill Companies; 2005.

2. Bradley WG, Daroff RB. Neurology In Clinical Practice; 4t h edit ion; Elsevier Inc; 2004.

3. Caplan LR. Subarachnoid Hemorrhage, Aneurysms and Vascular M alformations In:

St roke A Clinical Approach; 4t h edit ion; Saunders Elsevier; USA; 2009.

4. Warlow CP. Stroke A Practical Guide To M anagement; 1996; Blackw ell Science Lt d.

5. Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated; 4t h edit ion; Churchill

Livingst one; 2004.

6. Greenberg M S. Cerebral Aneurysms In: Handbook of Neurosurgery; 6t h edit ion;

Thieme; New York; 2006.

7. Weir BK, Findlay JM , M ielke BW. Pathology of Aneurysms and Vascular