PENDAHULUAN Profil Kepribadian 16PF Pada Santri Tahfidzul Qur’an.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menjadi seorang penghafal Al-Qur’an (Hafizh Qur ’an) merupakan suatu
kebanggaan tersendiri. Selain karena banyak keutamaan bagi seorang hafidz AlQur’an baik keutamaan di dunia maupun di akhirat, menghafal Al-Qur’an juga
merupakan kebutuhan bagi umat islam sepanjang zaman. Umat tanpa penghafal
Al-Qur’an akan sepi dari suasana Al-Qur’an yang semarak (Kusrinaryanto, 2014).
Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW menghafal Al-Qur’an hukumnya
Fardhu Kifayah. Hal ini agar tidak terjadi pemutusan jumlah kemutawattiran Al-

Qur’an dan pengrusakan atau pemalsuan dari tangan-tangan kotor (Al Itqan dalam
Rauf, 2004). Fardhu kifayah berarti hukum yang merupakan kewajiban yang
dibebankan kepada seluruh umat, namun, apabila kewajiban tersebut sudah
dilakukan oleh sebagian kaum

muslim maka kewajiban untuk yang lainnya

gugur, artinya orang yang tidak melakukan tidak berdosa namun juga tidak
mendapatkan pahala. Selain itu orang yang menghafal Al-Qur’an juga mendapat
kedudukan yang khusus, hal ini karena tanpa menghafal Al-Qur’an umat tak akan

bisa kembali meraih izzahnya.
Dalam menghafal Al-Qur’an juga dibutuhkan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh penghafal qur’an agar lebih dimudahkan dalam menjalani proses
hafalannya. Syarat tersebut seperti niat yang lurus dan ikhlas, tanpa niat yang
lurus dan ikhlas proses menghafal Al-Qur’an menjadi sebuah kesia-siaan belaka.

1

2

Selain itu menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, istiqomah, serta memilih waku
dan tempat yang tenang juga merupakan hal yang harus diperhatikan dalam proses
menghafal Al-Qur’an. Nasokah dan khoiri (2014) mengungkapkan para penghafal
Al-Qur’an bukan hanya bagus bacaan dan hafalannya melainkan juga harus
memiliki akhlak yang terpuji.
Indonesia sebagai Negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia
dewasa ini memiliki penghafal Al-Qur’an yang semakin hari semakin bertambah
pesat. Seperti dilansir dari republika.co.id terdapat sebanyak 30.000 orang
penghafal Al-Qur’an di Indonesia pada tahun 2012. Jumlah tersebut bahkan
melebihi jumlah penghafal Al-Qur’an yang dimiliki Arab Saudi yang hanya

memiliki 6.000 penghafal Al-Qur’an. Namun, jumlah tersebut masih tergolong
sedikit jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan warga Negara Indonesia
yang mencapai 234 juta orang. Oleh sebab itu, para ulama, pemerintah, dan para
cendekiawan Islam berusaha untuk menjadikan Indonesia sebagai pundak
pendidikan Islam di dunia. Salah satu cara yang dilakukan adalah denganprogram
pendidikan berbasis Al-Qur’an. Belakangan ini, banyak bermunculan sekolah atau
pesantren yang menawarkan program unggulan berupa Tahfidzul Quran di
berbagai tingkatan mulai TK hingga tingkat Perguruan Tinggi, baik diiringi
dengan pendidikan formal maupun pendidikan tahfidz murni. Mulai dari tiga
tahun hafal Al-Qur’an. Satu tahun hafal Al-Qur’an, bahkan banyak juga yang
menawarkan program hafalan Al-Qur’an 30 juz selama 3 bulan. Hal ini sejalan
dengan program dari kementrian agama yang mulai menetapkan program 10.000

3

Hafidz dan HafidzahAl-Qur’an (penghafal Quran) pada pondok pesantren

(www.viva.co.id).
Dimata masyarakat, para Tahfidzul qur’an memiliki tanggung jawab moral
yang lebih. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an dapat dijadikan pengontrol tingkah

laku seseorang, bagaimana seseorang bersikap, bertutur kata serta berkepribadian.
Para Tahfidzul qur’an selain menghafalkan Al-Qur’an juga berkewajiban untuk
mengamalkan ilmu-ilmu yang dimiliki ke masyarakat. Seorang penghafal AlQur’an dikenal masyarakat sebagai orang yang cerdas, sholeh/sholehah, serta
memiliki kepribadian yang terpuji. Bahkan jika ada seorang penghafal Al-Qur’an
tetapi memiliki kepribadian yang negative, ia akan dinilai lebih negative oleh
masyarakat daripada seseorang yang memiliki kepribadian kurang baik pula
namun tidak dilatar belakangi oleh hafalan Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan
bahwa orang yang menghafal Al-Qur’an memiliki keistimewaan tersendiri di mata
masyarakat umum.
Para santri tingkat akhir di Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an Ibnu Abbas
Klaten memiliki heterogenitas yang tinggi. Hal ini dilihat dari latar belakang
keluarga yang berbeda, daerah asal, serta bahasa yng berbeda tentunya dengan
watak dan karakter yang berbeda pula. Namun, setelah memasuki Pondok
Pesantren, para santri mendapatkan pengondisian yang relatif sama dalam jangka
waktu yang cukup lama. Pengondisian yang dilakukan adalah selama menjadi
santri, mereka diwajibkan untuk menaati semua peraturan yang diberlakukan oleh
pesantren dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di dalam
pesantren. Kegiatan sehari-hari para santri di Pondok Pesantren Ibnu Abbas

4


dimulai dari pukul 04.30 sampai dengan pukul 22.00 WIB. Kegiatan yang
dilakukan mulai dari sholat subuh berjama’ah, tilawah Al-Qur’an, menghafal AlQur’an, piket pagi, sekolah, sholat Dhuhur, Istirahat, Sholat Ashar, kegiatan
ekstrakulikuler, menyetor hafalan Al-Qur’an, Sholat Maghrib, majelis ilmu, dan
belajar malam. Hal tersebut terjadi secara berulang-ulang dalam jangka waktu
yang lama, sehingga menjadi sebuah kebiasaan (habit) dan perlahan-lahan
membentuk kepribadian para santri.
Namun demikian, tidak semua santri mampu bertahan dalam kondisi dan
tuntutan yang diberikan oleh pondok pesantren. Banyak juga santri yang tidak
mampu menyesuaikan diri dengan system dan aturan yang diberlakukan pondok
pesantren hingga memilih untuk keluar dari pondok. Penelitian yang dilakukan
oleh Yuniar dkk pada tahun 2005 di PPMI Assalam menunjukkan bahwa setiap
tahunnya 5-10% dari santri mengalami masalah dalam proses penyesuaian diri,
seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena tidak
bisa hidup terpisah dengan orang tua, melakukan tindakan-tindakan yang
melanggar pondok dan sebagainya (Pritaningrum & Hendriani 2013). Oleh sebab
itu, kepribadian pada santri Tahfidzul Qur’an merupakan hal yang menarik untuk
diteliti, terutama santri yang telah menjalani pendidikan dari tingkat SMP hingga
SMA di pondok pesantren. Hal ini karena para santri tersebut mampu
menyesuaikan diri dengan kegiatan-kegiatan yang padat yang diterapkan di dalam

pondok pesantren beserta peraturan-peraturan yang ketat ditambah pula dengan
tuntutan hafalan Al-Qur’an dan Hadist yang harus mereka selesaikan. Dengan
tuntutan dan berbagai macam kegiatan yang padat, para santri tingkat akhir bisa

5

bertahan dalam pondok pesantren selama 6 tahun lamanya, ini berarti para santri
tingkat akhir di PPTQ Ibnu Abbas Klaten memiliki kepribadian yang tangguh dan
tidak mudah menyerah pada keadaan.

Allport (dalam Sobur, 2003)

mengungkapkan bahwa kepribadian memiliki beberapa unsur, salah satu
diantaranya adalah kepribadian merupakan organisasi yang dinamis. Dengan kata
lain ia tidak statis tetapi senantiasa berubah setiap saat. Organisasi itu menentukan
corak penyesuaian diri yang unik dari tiap individu terhadap lingkungannya.
Selain menekankan pada Tahfidz Quran, pondok pesantren Ibnu Abbas
juga menekankan pada pengajaran Akhlak yang mulia. Tiap tahunnya, para santri
akan menerima tiga buah raport, yang mana raport tersebut adalah raport prestasi
akademik, prestasi tahfidz, dan raport akhlak. Berdasarkan wawancara yang

dilakukan dengan salah satu pengurus pondok, para santri yang tidak dapat
memenuhi target hafalan Al-Qur’an wajib yang ditetapkan tidak akan bisa naik
kelas meskipun prestasi akademiknya memuaskan. Hal tersebut berlaku juga
apabila santri tersebut mendapatkan raport akhlak yang buruk. Meskipun
mendapat prestasi akademik dan memenuhi target hafalan wajib namun memiliki
akhlak yang buruk, santri dapat dipastikan tidak akan naik kelas. Hal ini
menunjukkan adanya system punishment yang diberlakukan di Pondok Pesantren
agar para santri sejalan dengan visi misi pondok pesantren yakni berakhlakul
karimah sesuai dengan syariat islam.
Adanya pengondisian berupa lingkungan yang kondusif, perilaku yang
dikontrol dan dilakukan secara berulang-ulang, teman-teman yang mendukung,
serta punishment yang diterapkan, secara perlahan membentuk kepribadian para

6

santri. Cervone dan Pervin (2011) mengemukakan bahwa terdapat dua factor
pembentuk kepribadian seseorang yakni faktor genetis dan lingkungan. Para
psikolog

meyakini


bahwa

lingkungan

memiliki

peran

penting

dalam

perkembangan kepribadian seseorang. Penentu-penentu dari lingkungan yang
telah terbukti penting dalam perkembangan kepribadian antara lain adalah budaya,
kelas sosial, keluarga, dan teman sebaya. Sebagaimana dikemukakan olehSkinner
(dalam

Jaenudin,


2012)

bahwa

kepribadian

dapat

dipahami

dengan

mempertimbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungannya yang terus
menerus dengan lingkungannya. Cara yang mudah untuk mengontrol tingkah laku
adalah dengan melakukan penguatan (reinforcement).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mills dan Rosiana
(2014) terhadap para santri Tahfidzul qur’an di sebuah pondok pesantren di kota
Bandung, ditemukan bahwa terdapat sebanyak 73% santri memiliki behavioral
control yang tinggi. Artinya, para santri Tahfidzul qur’an mampu mengontrol


perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai yang didapat di pesantren. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2015) dimana para
santri Tahfidzul qur’an memanajemen kepribadian mereka yang ditinjau dari lisan
dengan berusaha berkata jujur, dapat dipercaya, tidak melukai perasaan, berbahasa
yang sopan terhadap sesama ataupun terhadap yang lebih tua, menyayangi yang
muda, berusaha untuk tidak menggunjing orang lain, tolong menolong,
menghindari diri dari perbuatan keji, tidak sombong dan iri hati.Penelitian lain
yang dilakukan oleh Asyhari Abta di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
menunjukkan bahwa siswa yang tergabung dalam program Tahfidzul Qur’an

7

dapat melakukan pembelajaran dan melakukan kegiatan terus menerus yang
berkaitan dengan tuntutan dan kebutuhan, memiliki jiwa yang produktif dan dapat
mengembangkan diri di situasi kerja (Arifin, 2015).
Mengetahui tipe kepribadian para Tahfidzul qur’an merupakan hal yang
menarik

untuk


diteliti.

Karyani

dan

Lestari

(dalam

Hertinjung,2014)

mengemukakan dalam ilmu psikologi sendiri, salah satu metode untuk
mengungkapkan kepribadian adalah dengan menggunakan suatu alat tes
kepribadian. Salah satunya adalah inventori kepribadian 16 PF yang diciptakan
oleh R.B.Cattel.Keenambelas factor tersebut adalah : A (Intimacy), B (Thinking),
C (Emotional stability), D (Dominance), F (Highly Spirited), G (Awarness of
Regulation), H (Social Courage), I (Sensitivity), L (Awarness), M (Preoccupied
Thinking), N (Secrecy), O (Concerned), Q1 (Open to Changes), Q2 (Self belief),


Q3 (Orderliness), dan Q4 (Tension). (Ismail dkk, 2013).
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka pertanyaan penelitian yang
muncul adalah “Bagaimana profil kepribadian santri Tahfidzul Qur’an melalui
inventory kepribadian 16 PF ?”.

B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil kepribadian pada
santri Tahfidzul Qur’an melalui tes 16 PF.

8

C. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan ada manfaat yang dapat diambil, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Penelian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat bagi
ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi islam dan pendidikan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi santri, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
kepribadian yang rata-rata dimiliki para santri sehingga bisa mengevaluasi
diri untuk terus menjadi lebih baik.
b. Bagi lembaga pendidikan terkait, penelitian ini dapat memberikan
informasi dan masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan.
c. Bagi disiplin ilmu psikologi dan bagi ilmuwan psikologi khususnya,
penelitian ini dapat memberikan sumbangan teoritik khususnya dalam
studi tentang profil kepribadian santri tahfidzul qur’an.