Potensi Kehilangan Cadangan Karbon Akibat Perubahan Fungsi Kawasan Hutan di Kabupaten Mandailing Natal Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan

Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi
Sumatera Utara.

3.2.

Gambaran Umum Tempat Penelitian
Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00 10’ – 10

50’ LU dan 980 50’ – 1000 10’ BT dengan luas 6.620,70 km2. Secara administratif
memiliki 22 kecamatan dengan 355 Desa dan 33 Kelurahan. Wilayah
administratif di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, di
sebelah selatan dan sebelah timur dengan Propinsi Sumatera Barat serta di sebelah
barat dengan Samudera Indonesia.

Kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Kabupaten Mandailing Natal
seluas 411.451,78 Ha. Kawasan hutan produksi seluas 182.777 ha yang terdiri
atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 164.572,51 ha dan Hutan Produksi
(HP) seluas 18.204,22 ha. Dari luas tersebut, seluas 71.236 ha hutan produksinya
masih merupakan areal konsesi (IUPHHK-HA dan HT), sehingga selebihnya
yakni seluas 111,541 ha merupakan areal hutan produksi yang belum dibebani
hak. Pada hutan tanah kering masih terdapat + 61% areal yang masih berhutan
(Hutan primer dan hutan sekunder), dan 9% berupa areal belukar, semak dan
alang-alang, sedangkan 30% lainnya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai

17
Universitas Sumatera Utara

lahan pemukiman dan pertanian/perkebunan. Sedangkan pada hutan mangrove
seluruhnya berupa hutan sekunder. Rincian kawasan hutan di Kabupaten
Mandailing Natal berdasarkan fungsinya seperti pada Tabel 3.1. Peta Kawasan
hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor : 44/Menhut-II/2005 disajikan pada Gambar 3.1 dan 3.2.
Tabel 3.1. Kondisi Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal
No


Fungsi Hutan

1
2
3
4

Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Konservasi
Luas Total

Sumber :

Luas (ha)
120.675,05
18.204,22
164.572,51

108.000,00
411.451,78

Peta Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara Skala 1 : 250.000
(Lampiran SK Menhut No. 201/Menhut-II/2007 tgl 5 Juni 2007)

Perijinan pemanfaatan kayu yang dikeluarkan oleh Kabupaten Mandailing
Natal yang masih aktif sampai dengan saat ini sebanyak 4 (empat) ijin dengan luas
ijin sebesar 12.959,00 ha dan potensi kayu sebesar 73.334,98 m3. Data Ijin
Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kabupaten Mandailing Natal seperti pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kabupaten Mandailing Natal
No

Nama Pemegang Ijin

1
2
3
4


PT. Anugerah Langkat Makmur Tahap III
PT. Dinamika Inti Sentosa
Subari
CV. Tirta Tama Jaya
Luas Total

Luas (ha)

Potensi Kayu
(m3)

8.159,00
3.000,00
1.500,00
300,00

44.711,32
22.950,00
2.820,35
2.853,31


12.959,00

73.334,98

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.1. Peta Penunjukan Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal
Sesuai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.2. Peta Penunjukan Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal
Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2005

Universitas Sumatera Utara

3.3.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah pohon/

tegakan berbagai jenis dan tegakan kelapa sawit. Alat yang digunakan dalam
pelaksanaan penelitian adalah Global Positioning System (GPS), spidol, parang,
pita ukur (meteran), tali rafia, phiband, blangko pengamatan, kamera digital dan
unit personal komputer.

3.4.

Batasan Penelitian
Batasan penelitian yang diambil oleh peneliti dalam penelitian sebagai

berikut :
1. Penelitian hanya dilakukan pada Areal Penggunaan Lain (APL).
2. Seluruh areal pada kawasan APL sebelum dialihfungsikan menjadi kawasan
bukan hutan adalah kawasan berhutan.
3. Alih fungsi kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal pada APL menjadi
perkebunan kelapa sawit.

3.5.


Pelaksanaan Penelitian

3.5.1. Pengumpulan data sekunder
Pengumpulan data sekunder dilaksanakan untuk mendapatkan data-data
yang berkaitan langsung dengan penelitian. Data sekunder yang diambil berasal
dari instansi Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Mandailing Natal dan instansi terkait lainnya.
Data sekunder yang dikumpulkan antara lain :
1. Data kawasan hutan.
2. Data penggunaan areal hutan.

Universitas Sumatera Utara

3. Data potensi kawasan hutan.
4. Data alih fungsi dan konversi kawasan hutan.
5. Data berat jenis kayu.

3.5.2.


Pengumpulan data primer

3.5.2.1. Pendugaan potensi cadangan karbon
Potensi cadangan karbon yang akan dihitung adalah cadangan karbon
pohon dan kelapa sawit. Cadangan karbon pohon dihitung pada areal penggunaan
lain yang telah diberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau Ijin Pemanfaatan Kayu
(IPK) tetapi belum dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Cadangan
karbon kelapa sawit dihitung pada areal konversi yang telah ditanami kelapa sawit
dengan umur tanam 1 tahun sampai dengan 5 tahun. Lokasi pendugaan cadangan
karbon pada HGU PT. Anugerah Langkat Makmur, IPK atas nama Subari dan
IPK PT. Dinamika Inti Sentosa di Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten
Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara.
Cadangan karbon pohon dan kelapa sawit dihitung dengan menggunakan
persamaan allometrik yang telah dikembangkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Penelitian pendugaan cadangan karbon pohon dan kelapa sawit dilaksanakan
berdasarkan petunjuk praktis yang telah dikembangkan oleh Hairiah dan Rahayu
(2007) dan Hairiah et al. (2011). Data berat jenis pohon yang digunakan dalam
perhitungan biomassa pohon didapatkan pada Buku Atlas Kayu Jilid I
(Martawijaya et al., 2005a), Buku Atlas Kayu Jilid II (Martawijaya et al., 2005b)
dan Buku Atlas Kayu Jilid III (BPPK, 2004).


Universitas Sumatera Utara

3.5.2.2. Pembuatan petak ukur
Biomassa pohon diukur pada petak pengukuran dengan metode jalur.
Penentuan petak pengukuran ditentukan secara simple random sampling. Petak
pengukuran dibuat sebanyak 3 petak dengan ukuran masing-masing petak 20 m x
100 m pada setiap lokasi pendugaan cadangan karbon. Pengukuran dilakukan
dengan metode non destructive. Hanafiah (2006) menyatakan pemilihan
pengambilan sampel dengan model ini dikarenakan populasi berupa kawasan
hutan bersifat homogen dan cenderung sama antara satu kawasan dengan kawasan
lain.

3.5.2.3. Pengukuran biomassa pohon
Data biomassa pohon diperoleh dengan mengukur diameter setinggi
dada (dbh) semua pohon berdiameter di atas 10 cm yang terdapat di dalam petak
pengukuran. Perhitungan biomassa pohon menggunakan persamaan allometrik
yang telah didapatkan oleh Kettering (2001) dalam Hairiah dan Rahayu (2007)
sebagai berikut :
Bp = 0,11ρ x D2,62


dimana, Bp = Biomassa Pohon; ρ = berat jenis; D = Diameter setinggi dada (dbh)

3.5.2.4. Pengukuran potensi cadangan karbon pohon
Estimasi potensi cadangan karbon pohon dihitung dengan mengalikan total
berat biomassa pohon dengan konsentrasi C, sebagai berikut (Hairiah dan Rahayu
2007) :
Potensi Cadangan Karbon Pohon (Ton/Ha) = Bp x 0,46
dimana, Bp = Biomassa Pohon

Universitas Sumatera Utara

3.5.2.5. Pengukuran biomassa kelapa sawit
Pengukuran biomassa dibatasi pada biomassa batang kelapa sawit tanpa
menghitung biomassa pelepah dan daun. Data biomassa kelapa sawit diperoleh
dengan mengukur diameter setinggi dada (dbh) batang kelapa sawit dan tinggi
kelapa sawit. Kelapa sawit yang dijadikan contoh uji sebanyak 3 batang untuk
masing-masing kelas umur kelapa sawit. Perhitungan biomassa kelapa sawit
menggunakan persamaan allometrik yang telah didapatkan oleh Yulianti (2009)
sebagai berikut :

Bks = 2,24exp-3 x D1,85x T0,68
dimana, Bks = Biomassa kelapa sawit; D = Diameter setinggi dada (dbh)
T = Tinggi kelapa sawit.

3.5.2.6. Pengukuran potensi cadangan karbon kelapa sawit
Estimasi potensi cadangan karbon kelapa sawit dihitung dengan
mengalikan total berat biomassa kelapa sawit dengan konsentrasi C. Rata-rata
kandungan C pada batang kelapa sawit disamakan dengan kandungan C pada
pohon yang menurut Hairiah dan Rahayu (2007) sebesar 46%.
Potensi Cadangan Karbon Kelapa Sawit (Ton/Ha) = Bks x 0,46
dimana, Bks = Biomassa kelapa sawit.

3.5.2.7. Perhitungan potensi kehilangan cadangan karbon
Potensi kehilangan cadangan karbon areal per satuan luas didapatkan
dengan mengurangi potensi cadangan karbon pohon dengan potensi cadangan
karbon kelapa sawit. Potensi kehilangan cadangan karbon areal yang telah
dikonversi didapatkan dengan menghitung potensi cadangan karbon per satuan

Universitas Sumatera Utara

luas dikalikan dengan luas kawasan yang telah mengalami perubahan fungsi
kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal.
Potensi kehilangan cadangan karbon areal dihitung berdasarkan data-data
sebagai berikut :
1. Data IPK di Kabupaten Mandailing Natal yang diperuntukkan bagi
pembangunan perkebunan kelapa sawit.
2. Perubahan luas perkebunan dari hasil interpretasi peta penutupan lahan.

3.5.2.8. Interpretasi citra
Interpretasi citra dilakukan untuk mendapatkan bentuk perubahan fungsi
kawasan hutan berdasarkan citra satelit. Peta dasar yang digunakan untuk
menghitung perubahan fungsi kawasan adalah peta Tata Hutan Guna Kesepakatan
(TGHK) dan peta berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 44/MenhutII/2005. Peta dasar akan di overlay sehingga dapat dihitung luas perubahan fungsi
kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal.
Untuk menghitung potensi kehilangan carbon, dilakukan interpretasi peta
pada citra satelit landsat TM. Peta yang digunakan adalah peta penutupan lahan
Tahun 2007, 2009 dan 2011. Dengan menggunakan hasil perhitungan potensi
cadangan karbon, dapat diduga potensi kehilangan cadangan karbon pada tutupan
lahan perkebunan di Kabupaten Mandailing Natal.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Jenis Vegetasi Lokasi Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 13 jenis pohon yang ditemukan pada

lokasi penelitian. Terdapat perbedaan jenis pohon yang ditemukan pada masingmasing lokasi penelitian. Pada HGU PT. Anugerah Langkat Makmur, ditemukan
11 jenis pohon yang didominasi oleh pohon Kempas (Koompassia malaccensis)
sebesar 34,08%. Pada IPK atas nama Subari hanya ditemukan 2 jenis pohon yang
didominasi oleh pohon Bintangur (Calophyllum inophylum) sebesar 82,99%.
Sedangkan pada IPK PT. Dinamika Inti Sentosa, ditemukan 12 jenis pohon yang
didominasi oleh pohon Kempas (Koompassia malaccensis) sebesar 23,78%. Data
jenis vegetasi pohon pada lokasi penelitian seperti pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Jenis Vegetasi Pohon pada Lokasi Penelitian
Jenis Pohon
No

Persentase Jumlah Pohon

Latin

Lokal

HGU PT.
Anugerah
Langkat
Makmur

IPK
atas
nama
Subari

IPK PT.
Dinami
ka Inti
Sentosa

1

Actinodaphne glomerata

Medang

2,79

-

10,42

2
3

Alstonia scholaris

Pulai

-

4,64
9,27

Artocarpus rigidus

Cempedak
Hutan

0,56

4

Calophyllum inophylum

Bintangur

21,79

82,99

3,48

5

Eugenia pleibrahiata

Jambu Hutan

6,70

-

5,80

6

Gluta renghas

Rengas

3,35

-

8,41

7

Koompassia malaccensis

Kempas

34,08

-

23,78

8

Macaranga hypoleuca

Mahang

0,56

-

4,35

9

Shorea leprosula

Meranti Katuko

5,03

-

-

10

Polyanthia glauca

Tepis

7,26

-

6,38

11

Shorea parvifolia

Meranti Merah

-

17,01

10,71

12

Tetramerista glabra

Punak

15,09

-

9,57

13

Xylopia malayana

Jangkang

2,79

-

3,19

26
Universitas Sumatera Utara

Vegetasi pohon yang ditemukan pada HGU PT. Anugerah Langkat
Makmur dan IPK PT. Dinamika Inti Sentosa secara umum adalah sama.
Perbedaan vegetasi terletak pada tidak ditemukannya jenis Pulai (Alstonia
scholaris) dan Meranti Merah (Shorea parvifolia) di HGU PT. Anugerah Langkat
Makmur sedangkan pada IPK PT. Dinamika Inti Sentosa tidak ditemukan jenis
Meranti Katuko (Shorea leprosula). Jenis yang mendominasi pada kedua lokasi
penelitian ini juga sama yaitu Kempas (Koompassia malaccensis).
Vegetasi pohon yang ditemukan pada IPK atas nama Subari hanya 2 jenis
pohon, yaitu Bintangur (Calophyllum inophylum) dan Meranti Merah (Shorea
parvifolia). Jenis pohon yang ditemukan ini jumlahnya sangat sedikit
dibandingkan dengan yang ditemukan pada dua lokasi penelitian lainnya.
Walaupun masih dalam satu kawasan, perbedaan vegetasi yang ditemukan
disebabkan faktor tempat tumbuh, dimana pada IPK atas nama Subari banyak
ditemukan daerah rawa, sedangkan pada lokasi penelitian lainnya termasuk daerah
kering. Martawijaya et al. (2005) mengemukakan Bintangur tumbuh di dalam
hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B, pada tanah berawa dekat
pantai.

4.2.

Potensi Cadangan Karbon Pohon
Data hasil pengukuran biomassa terhadap pohon yang terdapat di plot

pengukuran, diperoleh nilai biomassa pohon berkisar antara 239,48 – 425,13
ton/ha dengan nilai rata-rata 307,05 ton/ha. Berdasarkan nilai biomassa pohon
tersebut, maka didapatkan nilai cadangan karbon pohon berkisar antara 110,16 –
195,56 ton/ha dengan nilai rata-rata 141,24 ton/ha. Data biomassa dan cadangan
karbon pohon rata-rata hasil penelitian seperti pada Tabel 4.2. Data biomassa dan

Universitas Sumatera Utara

cadangan karbon pohon pada masing-masing plot pengukuran hasil penelitian
seperti pada Lampiran 2. Nilai cadangan karbon yang didapatkan masih sesuai
dengan data yang termuat pada TPIBLK (2010), dimana cadangan karbon pada
berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5 – 264,70 ton/ha.
Tabel 4.2. Biomassa dan Cadangan Karbon Pohon Kawasan Hutan
No
1
2
3

Lokasi Penelitian
HGU PT. Anugerah Langkat Makmur
IPK atas nama Subari
IPK Dinamika Inti Sentosa
Rata-rata

Biomassa
(ton/ha)

Cadangan
Karbon
(ton/ha)

239,48
425,13
256,55

110,16
195,56
118,01

307,05

141,24

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai biomassa pada lokasi HGU PT.
Anugerah Langkat Makmur hampir sama dengan nilai biomassa pada lokasi IPK
Dinamika Inti Sentosa, tetapi nilai pada kedua lokasi tersebut berbeda sangat jauh
nilainya dibandingkan dengan nilai biomassa pada IPK atas nama Subari.
Perbedaan nilai biomassa ini disebabkan oleh vegetasi yang tumbuh pada masingmasing lokasi. Dari hasil pengenalan jenis terhadap pohon-pohon yang diteliti,
vegetasi yang tumbuh pada HGU PT. Anugerah Langkat Makmur dan IPK
Dinamika Inti Sentosa sama, yang terdiri dari beranekaragam jenis pohon, berat
jenis pohon rendah sampai tinggi dan tidak didominasi oleh satu jenis pohon saja,
sedangkan vegetasi pada IPK atas nama Subari hanya ditumbuhi oleh sedikit jenis
pohon dan didominasi oleh jenis pohon Bintangur (Calophyllum inophylum) yang
memiliki berat jenis tinggi. Rahayu et al. (2007) menjelaskan bahwa cadangan
karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya.
Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang

Universitas Sumatera Utara

mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu
rendah.

4.3.

Cadangan Karbon Kelapa Sawit
Data hasil pengukuran biomassa kelapa sawit pada contoh uji, diperoleh

nilai biomassa berkisar antara 5,25 – 20,73 ton/ha. Berdasarkan nilai biomassa
tersebut, maka didapatkan nilai cadangan karbon kelapa sawit berkisar antara 2,42
– 9,54 ton/ha. Nilai cadangan karbon terbesar pada tanaman kelapa sawit kelas
umur 5 tahun dengan nilai 9,54 ton/ha dan yang terkecil pada kelas umur 1 tahun
dengan nilai rata-rata 2,42 ton/ha. Data cadangan karbon kelapa sawit rata-rata
hasil penelitian seperti pada Tabel 4.3. Data biomassa dan cadangan karbon
kelapa sawit pada masing-masing contoh uji hasil penelitian seperti pada
Lampiran 3.
Tabel 4.3. Cadangan Karbon Kelapa Sawit
Kelas Umur
1 tahun
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun

Biomassa (ton/ha)
5,25
8,48
10,58
15,72
20,73

Cadangan Karbon (ton/ha)
2,42
3,90
4,87
7,23
9,54

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa semakin besar umur tanaman kelapa
sawit semakin besar pula cadangan karbonnya. Hal ini berkaitan dengan semakin
besar diameter dan tinggi tanaman kelapa sawit dengan bertambahnya umur,
sehingga semakin banyak pula bagian tanaman yang dapat menyerap karbon.
Yulianti (2009) mengemukakan akumulasi karbon biomassa terbesar terdapat

Universitas Sumatera Utara

pada batang kecuali pada tanaman kelapa sawit muda karbon biomassa
terakumulasi pada pelepah. Sementara itu hubungan antara umur tanam kelapa
sawit dengan karbon biomassanya menunjukkan pola sigmoid yaitu terjadi
peningkatan secara perlahan pada awal pertumbuhan kemudian akan terus
meningkat dan pada umur tertentu cenderung tidak mengalami perubahan lagi.
Cadangan karbon kelapa sawit hasil penelitian yang diperoleh berbeda
dengan hasil yang didapatkan oleh Yulianti (2009). Cadangan karbon kelapa sawit
hasil penelitian untuk kelas umur 1 tahun, 2 tahun dan 5 tahun berturut-turut
sebesar 2,42 ton/ha, 3,90 ton/ha dan 9,54 ton/ha. Sedangkan menurut Yulianti
(2009), cadangan karbon kelapa sawit untuk kelas umur 1 tahun, 2 tahun dan 9
tahun berturut-turut sebesar 0,70 ton/ha, 1,00 ton/ha dan 11,88 ton/ha. Dengan
perbandingan ini berarti cadangan karbon kelapa sawit di Kabupaten Mandailing
Natal yang menjadi lokasi penelitian lebih tinggi daripada cadangan karbon
kelapa sawit di Kabupaten Labuhanbatu. Perbedaan ini disebabkan karena tipe
lahan tempat tumbuh. Pada lokasi penelitian, lahan yang menjadi tempat tumbuh
kelapa sawit adalah kering sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yulianti
(2009) berlokasi di lahan gambut. Menurut Handayani (2009), tipe penggunaan
lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya cadangan
karbon. Maswar et al. (2011) menambahkan karbon tersimpan pada perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut bervariasi berdasarkan ketebalan gambut dan umur
tanaman. Jarak lokasi dari saluran drainase berpengaruh terhadap dalam muka air
tanah, subsidence, dan kehilangan karbon, yang mana semakin jauh dari saluran
drainase subsidence semakin kecil, dan kehilangan karbon semakin kecil.

Universitas Sumatera Utara

Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman
kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman
yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Pola
hubungan peningkatan biomassa tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman
mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomassa akan meningkat sejalan dengan
bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan (Handayani,
2009).

4.4.

Potensi Kehilangan Cadangan Karbon
Dari data cadangan karbon pohon dan kelapa sawit, maka potensi

kehilangan cadangan karbon pada kawasan yang dikonversi dari kawasan hutan
menjadi tanaman kelapa sawit pada tahun ke 0 sampai dengan tanaman kelapa
sawit berumur 5 tahun berkisar antara 100,62 – 110,16 ton/ha untuk perhitungan
cadangan karbon pohon yang terkecil. Potensi kehilangan cadangan karbon untuk
perhitungan cadangan karbon pohon yang terbesar berkisar antara 186,02 –
195,56 ton/ha. Data potensi kehilangan cadangan karbon seperti pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Potensi Kehilangan Cadangan Karbon
Cadangan Karbon
Pohon (ton/ha)

Kelas Umur
Kelapa Sawit

Cadangan
Karbon Kelapa
Sawit (ton/ha)

Terkecil

Terbesar

110,16

195,56

0 tahun

110,16

195,56

110,16

Kehilangan Cadangan
Karbon (ton/ha)
Terkecil

Terbesar

-

110,16

195,56

1 tahun

2,42

107,74

193,14

195,56

2 tahun

3,90

106,26

191,66

110,16

195,56

3 tahun

4,87

105,29

190,69

110,16

195,56

4 tahun

7,23

102,93

188,33

110,16

195,56

5 tahun

9,54

100,62

186,02

Universitas Sumatera Utara

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa potensi kehilangan cadangan karbon
terbesar adalah pada saat umur kelapa sawit 0 tahun. Pada saat ini, kawasan hutan
mulai untuk di konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Terjadi pembukaan
kawasan dengan menebang pohon-pohon yang terdapat di kawasan tersebut,
sehingga cadangan karbon yang tersimpan dalam pohon-pohon tersebut menjadi
hilang. Kegiatan selanjutnya adalah pembersihan dan penyiapan lahan, dimana
bibit-bibit kelapa sawit masih dalam proses persiapan hingga ke penanaman bibit.
Potensi kehilangan cadangan karbon menjadi besar karena belum ada penyerapan
karbon dari kelapa sawit yang baru di tanam.
Potensi kehilangan cadangan karbon pada kawasan yang telah dikonversi
akan semakin berkurang dengan bertambahnya umur kelapa sawit karena sudah
adanya cadangan karbon yang tersimpan dalam kelapa sawit. Walaupun terdapat
cadangan karbon dalam kelapa sawit, tetapi nilainya tidak akan dapat
menggantikan cadangan karbon yang hilang jika kawasan hutan dikonversi
menjadi perkebunan kelapa sawit. Rahayu et al. (2007) menjelaskan bahwa
kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan melepaskan
cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Dampak konversi
hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya
vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis. Meskipun laju fotosistesis pada
lahan pertanian atau perkebunan dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan,
namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian atau perkebunan
jauh lebih kecil.

Universitas Sumatera Utara

IFCA (2007) dalam Wibowo (2011) menyebutkan bahwa sekitar 70% dari
tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia telah menggantikan hutan, dan telah
menghasilkan emisi dari biomassa di atas tanah sebesar 588 juta ton karbon atau
(~2117 Juta tC0 ) selama periode 1982-2005. Maswar et al. (2011) menambahkan
berdasarkan hasil pengukuran selama periode waktu 14 bulan, apabila dikonversi
menjadi data kehilangan karbon dalam periode satu tahun, diperoleh nilai rata-rata
kehilangan karbon adalah berkisar antara 1,183 – 13,106 ton C/ha/th atau setara
dengan emisi gas CO2 sebesar 4,341 – 48,098 ton CO2/ha/th.

4.5.

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
Telah terjadi perubahan luas pada masing-masing fungsi kawasan hutan

pada penunjukan kawasan hutan Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan
perbandingan sesuai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1982 dan
Keputusan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2005. Dari hasil overlay peta
penunjukan kawasan tersebut seperti pada Gambar 4.1. didapatkan data perubahan
fungsi kawasan seperti pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Perubahan Fungsi Kawasan

Fungsi Kawasan

Penunjukan Kawasan
Hutan
TGHK

Areal Penggunaan Lain (APL)

Hutan Lindung (HL)
Hutan Produksi (HP)
Hutan Produksi Konversi (HPK)

Hutan Produksi Terbatas (HPT)

99.687,03
171.531,27
139.595,02
82.870,47
169.958,87

SK.44/ MenhutII/2005

252.190,88
120.675,05
18.204,22
108.000,00
164.572,51

Perubahan Fungsi
Kawasan
Luas (Ha)

%

152.503,85
-50.856,22
-121.390,80
25.129,54
-5.386,36

152,98
-29,65
-86,96
30,32
-3,17

Ket : + = penambahan
- = pengurangan

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.1. Peta Overlay Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal

Universitas Sumatera Utara

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa perubahan fungsi kawasan yang
terbesar terjadi dari kawasan hutan menjadi kawasan non hutan, yaitu Areal
Penggunaan Lain (APL). Telah terjadi penambahan luas pada APL dengan
keluarnya

Keputusan

Menteri

Kehutanan

No.44/Menhut-II/2005

sebesar

152.503,85 ha atau 152,98% dari luas TGHK. Pengurangan luas terbesar pada
hutan produksi sebesar 121.390,80 ha atau sebesar 86,96%. Bahkan hutan lindung
sebagai pusat keanekaragaman hayati dan sumber cadangan karbon berkurang
luasnya sebesar 50.856,22 ha atau sebesar 29,65%. Kawasan hutan yang
berkurang luasnya banyak di alihfungsikan menjadi APL.
Perubahan luas fungsi kawasan ini disebabkan karena kebijakan dari tiaptiap daerah yang ingin memanfaatkan wilayahnya masing-masing untuk
kesejahteraan masyarakat dengan mengusahakan areal-areal kawasan di
wilayahnya, sehingga harus mengkonversi kawasan hutan menjadi kawasan non
hutan. Irianto (2009) mengemukakan bahwa ditinjau luas wilayah hutannya,
secara kuantitas penurunan luas hutan relatif sangat rendah selama lima tahun
terakhir. Namun apabila dikaji secara kualitas dengan parameter indeks vegetasi
dan indeks kebasahan lahan, kondisinya berubah sangat drastis baik nilainya
maupun sebarannya. Penurunan kualitas tutupan lahan yang tinggi ini tidak
dieksplorasi pengambil kebijakan karena mereka berlindung dari luas tutupan
lahan yang relatif tetap.
Hasil analisa kegiatan interpretasi citra satelit landsat TM berdasarkan
tutupan lahan pada areal kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal untuk
Tahun 2007, 2009 dan 2011 dari luas kawasan hutan menurut Keputusan Menteri
Kehutanan No.44/Menhut-II/2005 menunjukkan telah terdapat perubahan-

Universitas Sumatera Utara

perubahan tutupan lahan. Data analisa interpretasi citra satelit landsat TM
berdasarkan tutupan lahan pada areal kawasan hutan di Kabupaten Mandailing
Natal seperti pada Tabel 4.6. Peta perubahan tutupan lahan tahun 2007, 2009 dan
2011 di Kabupaten Mandailing Natal seperti pada Gambar 4.2. Peta penutupan
lahan hasil interpretasi citra satelit landsat TM seperti pada Lampiran 4, 5 dan 6.
Tutupan lahan pada kawasan hutan berdasarkan hasil analisa kegiatan
interpretasi citra satelit landsat TM dapat dibagi atas kawasan hutan dan kawasan
non hutan. Kawasan hutan terdiri atas hutan lahan kering primer, hutan lahan
kering sekunder, hutan mangrove sekunder, hutan rawa sekunder dan hutan
tanaman industri. Kawasan non hutan terdiri atas perkebunan, pertanian lahan
kering, pertanian lahan kering bercampur, sawah, semak/belukar, rawa dan tanah
terbuka. Lo (1996) menyatakan bahwa pemetaan penggunaan lahan dan penutup
lahan sangat berhubungan dengan studi vegetasi. Data ini paling penting untuk
seorang perencana yang harus membuat keputusan yang berhubungan dengan
pengelolaan sumber daya alam. Data ini biasanya dipresentasikan dalam bentuk
peta.
Berdasarkan Tabel 4.6, luas kawasan hutan pada Tahun 2007, 2009 dan
2011 menunjukkan perubahan negatif kecuali pada hutan mangrove sekunder,
yang berarti luas kawasan hutan semakin berkurang. Pengurangan luas terbesar
adalah hutan lahan kering sekunder sebesar 147.807,20 ha. Pada hutan mangrove
sekunder terdapat penambahan luas pada tahun 2011 dari tahun 2007 sebesar
140,00 ha tetapi mengalami pengurangan sebesar 31,60 ha dari tahun 2009.
Pengurangan luas pada kawasan hutan ini disebabkan karena telah terjadinya
konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.6. Analisa Interpretasi Citra Satelit Landsat TM

No

Tutupan Lahan

1

Hutan Lahan Kering Primer

2

Hutan Lahan Kering Sekunder

3

Hutan Mangrove Sekunder

4

Hutan Rawa Sekunder

5

Hutan Tanaman Industri

6

Tahun 2007
Luas (ha)

Tahun 2009
%

Luas (ha)

Tahun 2011
%

Luas (ha)

Perubahan 2007 - 2011

%

Luas (ha)

%

89.983,31

13,56

78.823,21

11,88

68.823,21

10,37

-21.160,10

-23,52

338.181,45

50,96

250.794,76

37,79

190.374,25

28,69

-147.807,20

-43,71

634,81

0,10

806,41

0,12

774,81

0,12

140,00

22,05

35.521,00

5,35

26.522,90

4,00

16.785,04

2,53

-18.735,96

-52,75

2.165,48

0,33

1.302,23

0,20

1.319,61

0,20

-845,87

-39,06

Perkebunan

12.128,65

1,83

40.290,59

6,07

45.314,01

6,83

33.185,36

273,61

7

Pertanian Lahan Kering

42.013,80

6,33

70.337,47

10,60

80.300,30

12,10

38.286,50

91,13

8

Pertanian Lahan Kering Bercampur

17.522,71

2,64

45.154,85

6,80

81.418,74

12,27

63.896,03

364,65

9

Sawah

13.649,47

2,06

15.469,87

2,33

15.909,40

2,40

2.259,93

16,56

10

Semak / Belukar

98.447,74

14,83

109.924,27

16,56

123.355,90

18,59

24.908,16

25,30

11

Rawa

7.101,00

1,07

13.668,48

2,06

18.385,84

2,77

11.284,84

158,92

12

Tanah Terbuka

6.293,24

0,95

10.547,61

1,59

20.881,55

3,15

14.588,31

231,81

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.2. Peta Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2007, 2009 dan 2011 di Kabupaten Mandailing Natal

Universitas Sumatera Utara

Pada kawasan non hutan, perubahan tutupan lahannya menunjukkan
perubahan positif dimana luasannya semakin bertambah. Pertambahan luas
terbesar adalah lahan pertanian lahan kering bercampur sebesar 63.896,03 ha.
Herold dan Skutsch (2010) menyatakan salah satu proses dan pemicu yang
mempengaruhi cadangan karbon hutan adalah konversi hutan untuk perluasan
pertanian. Dampak karbon di tingkat nasional adalah sejumlah besar kawasan
terpengaruh secara nasional dan emisi karbon yang tinggi per hektar.
Perubahan tutupan lahan pada perkebunan semakin bertambah dengan
bertambahnya tahun. Pada Tahun 2007, luas perkebunan seluas 12.128,65 Ha dan
bertambah masing-masing seluas 28.161,94 ha pada Tahun 2009 dan 33.185.36
Ha pada Tahun 2011. Pertambahan ini seiring dengan semakin banyaknya
pemberian Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang akhirnya diperuntukkan untuk
pembangunan perkebunan. Purnomo (2012) menyatakan deforestasi dan degradasi
lahan kerap kali dihubungkan dengan pengembangan industri hutan dan
perkebunan, misalnya kelapa sawit. Saat ini industri kelapa sawit Indonesia
tengah berkembang dengan pesat, seiring dengan meningkatnya kebutuhan dunia
terhadap pangan, kosmetik serta biofuel. Pada 2011, Indonesia merupakan negara
pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, dengan menyumbang lima puluh
persen kebutuhan minyak sawit dunia.
Kebijakan pemerintah yang mengutamakan pembangunan dengan prinsip
pro-job, pro-poor dan pro-growth memang seringkali bertentangan dengan upaya
pelestarian lingkungan. Perluasan pembangunan sawit pada akhirnya akan
mengkonversi kawasan hutan. Data tahun 2000-2005 menunjukan luas deforestasi
hutan di indonesia yang mencapai 1.1 juta ha per tahun. Selain itu dalam

Universitas Sumatera Utara

penetapan fungsi kawasan hutan masih dialokasikan kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi seluas 22,7 juta ha (Dephut, 2007).
Analisis interpretasi ini tidak sepenuhnya akurat dengan yang sebenarnya
di lapangan. Masih terdapat kemungkinan-kemungkinan terjadi kesalahan dalam
analisis. Irianto (2009) menyatakan bahwa penggunaan citra satelit dengan
resolusi (resolution) dan waktu pengambilan (time coverage) yang proporsional
dan multitemporal untuk zonasi, karakterisasi, adaptasi dan mitigasi alih guna
lahan sangat diperlukan. Penggunaan citra satelit dimaksudkan agar data dan
informasi yang diperoleh lebih akurat (precise), tepat (accurate), cepat (minimum
delay) sampai pengambil kebijakan, murah biayanya serta jelas faktor
penyebabnya .
Pengamatan perubahan temporal diperoleh dengan membandingkan citra
dari dua beda waktu yang bertautan. Data satelit perlu dibatasi sesuai waktu, bila
terdapat perbedaan besar terhadap penampakan spektral liputan vegetasi sehat dan
tidak sehat pada daerah luas. Ini penting tidak hanya untuk menemukan dan
memetakan daerah rusak, tetapi juga mengenali bagian besar tipe hutan, yang
sering sukar pada citra satelit (Howard, 1996).

4.6.

Kehilangan Cadangan Karbon di Kabupaten Mandaling Natal

4.6.1. Ijin pemanfaatan kayu
Kawasan yang diperuntukkan untuk Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Mandailing Natal adalah Areal Penggunaan Lain (APL). Ijin
Pemanfaatan Kayu yang dikeluarkan sejak adanya perubahan fungsi kawasan

Universitas Sumatera Utara

hutan menjadi APL berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
44/Menhut-II/2005 sampai dengan saat penelitian berjumlah 12 (dua belas) ijin
dengan total luas 38.137,73 ha. Pengertian IPK berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.14/Menhut-II/2011 adalah izin untuk memanfaatkan kayu
dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah
dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan,
penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin
pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin
peruntukan. Daftar Pemberian Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) Di Kabupaten
Mandailing Natal sebagaimana pada Lampiran 7.
Potensi kehilangan cadangan karbon pada masing-masing IPK dapat
dihitung berdasarkan potensi kehilangan cadangan karbon per hektar, yang
disajikan pada Lampiran 8. Dari data tersebut, potensi kehilangan carbon yang
terbesar pada IPK PT. Anugerah Langkat Makmur Tahap III yang memiliki luas
areal sebesar 8.159,00 ha dan yang terkecil pada IPK atas nama Wanson Limbong
yang memiliki luas areal sebesar 251,00 ha.
Berdasarkan total luasan pemberian IPK di Kabupaten Mandailing Natal,
maka potensi kehilangan cadangan karbon dari areal IPK yang dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit berkisar antara 3.837.418,39 – 4.201.252,34 ton untuk
perhitungan kehilangan karbon terkecil dan berkisar antara 7.094.380,53 –
7.458.214,48 ton untuk perhitungan kehilangan karbon terbesar. Potensi
Kehilangan Cadangan Karbon pada Areal IPK pada kelas umur kelapa sawit
seperti pada Tabel 4.7.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.7. Potensi Kehilangan Cadangan Karbon pada Areal IPK
Kelas Umur
Kelapa Sawit
0 tahun
1 tahun
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun

Kehilangan Karbon
(ton/ha)

Potensi Kehilangan Karbon
pada IPK (ton)

Terkecil

Terbesar

Terkecil

Terbesar

110,16
107,74
106,26
105,29
102,93
100,62

195,56
193,14
191,66
190,69
188,33
186,02

4.201.252,34
4.108.959,03
4.052.515,19
4.015.521,59
3.925.516,55
3.837.418,39

7.458.214,48
7.365.921,17
7.309.477,33
7.272.483,73
7.182.478,69
7.094.380,53

Dari Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa potensi kehilangan cadangan karbon terbesar
pada kelas umur kelapa sawit 0 tahun. Pada kelas umur ini, tanaman yang terdapat pada
areal IPK ditebang habis semua untuk penyiapan lahan penanaman kelapa sawit.
Perubahan fungsi kawasan hutan ini menyebabkan potensi kehilangan cadangan karbon
dari kawasan yang ada menjadi besar. Terbitnya ijin pemanfaatan kayu (IPK) pada
kawasan APL menyebabkan pohon-pohon penghasil kayu yang ada di kawasan tersebut
habis ditebang. Hilangnya pohon berarti hilangnya juga sumber daya penyerap karbon
dari udara. Rahayu et al. (2007) menjelaskan kegiatan konversi hutan menjadi lahan
perkebunan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti.
Jumlah tersebut memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu
diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Masalah utama yang terkait dengan
alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke
atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C yang terjadi selama
penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi
pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg C ha-1 year-1.
Potensi kehilangan cadangan karbon semakin berkurang dengan bertambahnya
kelas umur kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena semakin besar tanaman kelapa sawit

Universitas Sumatera Utara

semakin besar pula cadangan karbon yang tersimpan. Handayani (2009) mengatakan
bahwa jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa
sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih
sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Pola hubungan peningkatan
biomassa tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid,
sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman hingga
pada suatu saat bersifat konstan.
Berdasarkan data pada Tabel 4.7, besarnya cadangan karbon yang hilang dengan
adanya pemberian IPK oleh pemerintah daerah kabupaten, sebaiknya dalam
menjalankan roda pemerintahan, pemerintah daerah tidak hanya mengambil kebijakan
secara ekonomi tetapi juga melihat aspek lingkungan. Butarbutar (2009) menyatakan
bahwa sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai sumber emisi dan penyerap karbon jika
dilihat dari konteks perubahan iklim di mana hutan berperan dalam mencegah dan
mengurangi emisi dari gas rumah kaca. Untuk ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan
perdagangan karbon di masa yang akan datang, diperlukan pengelolaan hutan yang
baik, kegiatan konservasi dan peningkatan kapasitas stok karbon dengan jumlah karbon
yang dihasilkan dan diserap.

4.6.2. Interpretasi Peta
Berdasarkan analisa interpretasi citra satelit landsat TM berdasarkan tutupan
lahan perkebunan di Kabupaten Mandailing Natal, telah terjadi penambahan seluas
33.185,36 ha lahan perkebunan dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Berdasarkan
potensi kehilangan karbon konversi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit,
maka potensi kehilangan karbon berdasarkan analisa interpretasi peta untuk lahan
perkebunan adalah berkisar antara 3.339.110,92 – 3.655.699,26 ton untuk perhitungan

Universitas Sumatera Utara

kehilangan karbon terkecil dan berkisar antara 6.173.140,67 – 6.489.729,00 ton untuk
perhitungan kehilangan karbon terbesar.
Vegetasi dan lahan saling mendukung dalam memberikan informasi tentang
hutan, baik data yang digunakan berasal dari lapangan atau dari analisis citra
penginderaan jauh. Apakah penekanan diarahkan pada bentuk lahan atau vegetasi dalam
pengenalan suatu unit lahan pada daerah tertentu dari bentang lahan, terutama akan
tergantung dari bentang lahan, selain itu juga oleh variasi bentang alam, pengetahuan
dan pengalaman petugas yang melakukan kegiatan tersebut (Howard 1996). Purnomo
(2012) menyatakan sumber emisi karbon paling besar ditemukan pada lahan gambut
yang diubah menjadi lahan pertanian, seperti kebun kelapa sawit. Meskipun biaya dan
tenaga untuk pengembangan kelapa sawit di lahan gambut lebih mahal dan
produktivitas kebunnya juga rendah, tingginya harga minyak kelapa sawit di pasar
internasional membuat sejumlah lahan gambut di areal penggunaan lain (APL)
dimanfaatkan sebagai kebun baru kelapa sawit.

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :
1. Kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan perbandingan antara
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1982 dan Keputusan Menteri
Kehutanan No.44/Menhut-II/2005 telah mengalami perubahan luas fungsi kawasan
hutan dimana terjadi penambahan luas terbesar pada Areal Penggunaan Lain (APL)
sebesar 152.503,85 ha serta pengurangan luas terbesar pada hutan produksi sebesar
121.390,80 ha.
2. Nilai cadangan karbon pohon berkisar antara 110,16 sampai dengan 195,56 ton/ha
dan cadangan karbon kelapa sawit pada umur 1 tahun sampai dengan 5 tahun
berkisar antara 2,42 sampai dengan 9,54 ton/ha.
3. Potensi kehilangan cadangan karbon terbesar akibat perubahan fungsi kawasan
hutan di Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan pemberian Ijin Pemanfaatan
Kayu (IPK) dan interpretasi peta berturut-turut sebesar 7.458.214,48 ton dan
6.489.729,00 ton.

5.2.

Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian adalah dalam rangka menjaga

kawasan hutan dalam pembangunan berkelanjutan, Pemerintah Kabupaten Mandailing
Natal dapat melakukan penatagunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan

45
Universitas Sumatera Utara

menghentikan pengalihfungsian kawasan hutan menjadi kawasan non hutan dan
menunda pemberian izin perkebunan pada Areal Penggunaan Lain (APL) di Kabupaten
Mandailing Natal.

Universitas Sumatera Utara