Potensi Kehilangan Cadangan Karbon Akibat Perubahan Fungsi Kawasan Hutan di Kabupaten Mandailing Natal

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Cadangan Karbon
Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua

arah, yaitu pengikatan CO2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan
CO2 ke atmosfir melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan
sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap
tahunnya, dan sebesar 0,7 ± 1,0 Pg karbon diserap oleh ekosistem daratan. Alih
guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO2 dengan
jumlah sebesar 1,7 ± 0,6 Pg karbon per tahun. Apabila laju konsumsi bahan bakar
dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini,
maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan
meningkat sekitar 1,7 - 4,50 oC (Rahayu et al., 2007).
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di
kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan
C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh
karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan

serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas
maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan
dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap,
tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah
yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau
perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot.

6
Universitas Sumatera Utara

Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di
udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh
tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara
serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam
pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat
penting untuk mengurangi jumlah CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah C
tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya
disebut juga sebagai cadangan C (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Karbon hutan tersimpan dalam bentuk biomassa, sehingga untuk
mengetahui kandungan karbon yang tersimpan dalam hutan dapat diperoleh

dengan memperkirakan kandungan biomassa hutan. Biomassa hutan didefinisikan
sebagai jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk
seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi atau komunitas dan dinyatakan
dalam berat kering oven per satuan area (ton/unit area) (Krisnawati, 2010).
Hairiah

dan

Rahayu

(2007)

mengemukakan

bahwa

peningkatan

penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan:
a. Meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami,

b. Menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon
atau mengurangi pemanenan kayu, dan
c. Mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh.
Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu,
sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah
dengan menanam dan memelihara pohon.

Universitas Sumatera Utara

Sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai sumber emisi dan penyerap
karbon jika dilihat dari konteks perubahan iklim di mana hutan berperan dalam
mencegah dan mengurangi emisi dari gas rumah kaca. Untuk ikut berpartisipasi
aktif dalam kegiatan perdagangan karbon di masa yang akan datang, diperlukan
pengelolaan hutan yang baik, kegiatan konservasi dan peningkatan kapasitas stok
karbon dengan jumlah karbon yang dihasilkan dan diserap (Butarbutar, 2009).
Karbondioksida dianggap sebagai gas rumah kaca utama karena memiliki
laju pertambahan emisi yang tinggi, waktu tinggal di atmosfer yang lama dan
tingginya emisi yang berasal dari sektor industri. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan pada beberapa jenis hutan, hutan berperan
menyerap CO2 dalam jumlah yang besar. Dengan peran tersebut, adanya kondisi

hutan yang terjaga akan mampu menjaga konsentrasi CO2 di atmosfer tetap stabil.
Hal ini berarti pula beberapa bencana alam yang sering dihubungkan dengan
fenomena gas rumah kaca dan perubahan iklim global akan dapat dicegah
(Junaedi, 2008).
Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam
berkisar antara 7,5 – 264,70 ton C/ha. Secara umum pada hutan lahan kering
primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan
hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan
terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk
bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang
menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap
kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa
primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif

Universitas Sumatera Utara

memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada
hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan
yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon (TPIBLK,
2010).

Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh
jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan
spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomassanya akan lebih
tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai
kerapatan kayu rendah (Lusiana et al., 2007).

2.2.

Konversi Hutan
Perubahan peruntukan hutan masih dimungkinkan misalnya dari hutan

dikonversi menjadi non-hutan untuk perkebunan, pertambangan, pemekaran kota
dan

lain-lain.

Dalam

perkembangannya,


kepentingan

daerah

biasanya

mengedepankan adanya perubahan karena selalu dikaitkan dengan peningkatan
pendapatan asli daerah, pemekaran kota dan desakan penduduk. Konversi hutan
yang demikian inilah yang jelas-jelas dinyatakan sebagai deforestasi. Tindakan
deforestasi ini menyebabkan tingkat emisi karbon sangat besar karena hilangnya
stok karbon yang diakibatkan oleh proses pembukaan hutan, lahan, pembakaran
pohon dan tumbuhan lainnya (Nugroho et al., 2012).
Sejak dilaksanakannya padu serasi antara TGHK dan RTRWP, kawasan
hutan negara mengalami perubahan. Perbandingan data luas kawasan hutan
negara tahun 1984 dan 1997 menunjukkan bahwa secara nasional kawasan hutan
lindung bertambah luasnya dari 29,3 juta ha menjadi 34,6 juta ha. Kawasan hutan
konservasi tetap luasnya, sedangkan kawasan hutan produksi menurun luasnya

Universitas Sumatera Utara


dari 64 juta ha menjadi 58,6 juta ha. Sementara itu hutan konversi yang digunakan
untuk berbagai kepentingan pembangunan perkebunan, transmigrasi dan lain-lain
terus mengalami penurunan dari seluas 30 juta ha pada tahun 1984 menjadi 8,4
juta ha pada tahun 1997 (Kartodihardjo dan Supriono, 2000). Hutan produksi
yang dapat dikonversi (HPK) biasanya adalah hutan primer dan sekunder yang
memiliki tingkat simpanan karbon yang tinggi. Hingga tahun 2011, luas HPK
adalah 10.612.100 ha, yang terdiri dari: (1) Hutan Primer seluas 4.826.700 ha; (2)
Hutan Sekunder seluas 5.650.800 ha; dan (3) Hutan tanaman seluas 134.700 ha.
Konversi kawasan hutan ditujukan untuk kegiatan: (1) pertanian/perkebunan; (2)
pemukiman; dan (3) pinjam pakai kawasan untuk pertambangan dan non tambang.
Dalam hal pinjam pakai kawasan untuk kegiatan pertambangan dan non
pertambangan, meskipun tidak mengalihfungsikan hutan secara tetap, namun
jangka waktu pinjam pakai yang biasanya lama membuat situasi seolah-olah
permanen (Ekawati et al., 2012).
Perubahan fungsi kawasan hutan dari yang sebelumnya memiliki fungsi
produksi menjadi kawasan hutan dengan fungsi lain akan berdampak pada hajat
hidup orang banyakyang sebelumnya telah beraktivitas di dalamnya. Di samping
pertimbangan biofisik dan lingkungan perubahan fungsi tersebut harus melalui
penilaian matang untuk menghindari timbulnya kerugian dan potensi konflik di
masa mendatang. Hingga Januari 2007 telah terjadiperubahan fungsi hutan

produksi menjadi kawasan hutan dengan fungsi lain seluas 884.860,36 hektar di
seluruh Indonesia (Sylviani, 2008).
Pola-pola pemanfaatan lahan cenderung membawa dampak pada degradasi
lingkungan dan itu merupakan ancaman serius bagi kehidupan masa kini dan bagi

Universitas Sumatera Utara

generasi mendatang. Sumberdaya alam terutama lahan yang tersedia sangat
terbatas, sehingga apabila dalam pemanfaatannya tidak disertai dengan upayaupaya

untuk

mempertahankan

fungsi

dan

kemampuannya


akan

dapat

menimbulkan kerusakan dan mengancam kelestarian sumberdaya lahan tersebut.
Pola pemanfaatan lahan pada kawasan perbukitan (upland area) umumnya berupa
kebun campuran; kebun sejenis, permukiman, hutan dan semak belukar;
persawahan dan palawija. Pola-pola pemanfaatan lahan tersebut cenderung
mengalami perubahan dari waktu kewaktu. Pola-pola perubahan pemanfaatan
lahan tersebut dipengaruhi oleh dinamika faktor geobiofisik lahan, sosial budaya,
dan ekonomi. Keterkaitan hubungan di antara faktor-faktor di muka dalam
pemanfaatan lahan akan berdampak pada gradasi ekologis yang bervariasi
(Juhadi, 2007).
Lebih dari setengah emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari konversi
hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan produksi kayu yang terkendali.
Hampir 2 juta ha hutan saat ini ditebang atau dikonversi tiap tahunnya, yang
melepaskan

sejumlah


karbon

ke

atmosfir

dan

menurunkan

kapasitas

penyerapannya. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat berpotensi untuk
membatasi konversi hutan dan mempertahankan hutan sebagai lahan multifungsi,
mempertahankan keragaman hayati, sebagai koridor antara daerah yang
dilindungi, mempertahankan fungsi daerah aliran sungai dan mempertahankan
cadangan karbon (Lusiana et al., 2007).
Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian melepaskan cadangan
karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut
tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu diserap


Universitas Sumatera Utara

oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa
apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya
proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi
bangunan-bangunan dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Meskipun
laju fotosintesis pada lahan pertanian dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan,
namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian jauh lebih kecil.
Selain itu, karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segara dilepaskan kembali
ke atmosfir melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan
hasil panen. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan
jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan
berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C yang terjadi selama penebangan dan
pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon
relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha-1 C. Penurunan emisi karbon dapat
dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan:
mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek
silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki
pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon
melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan
bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung
(angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Rahayu et
al., 2007).
Konsentrasi GRK di atmosfir meningkat sebagai akibat adanya
pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi
hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan

Universitas Sumatera Utara

gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna
lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan
lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil
emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan
China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2
pertahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Hairiah dan
Rahayu, 2007).
Bila lahan hutan primer dikonversi dan dijadikan perkebunan kelapa sawit,
diperkirakan akan terjadi emisi CO2 (selama konversi dan selama 25 tahun siklus
produksi kelapa sawit) rata-rata 41 t CO2/ha/tahun, sementara di lahan gambut 64
t CO2/ha/tahun. Keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO2 pada lahan
mineral dengan pola kemitraan berkisar antara US$1,85
−7,98/t
lahan gambut US$0,93
−4,84/t CO

2.

CO2 dan pada

Nilai ini menunjukkan bahwa dari sisi

ekonomi, peluang pengurangan emisi CO2 melalui perdagangan karbon lebih
besar pada lahan gambut dibandingkan pada lahan mineral. Dengan kata lain,
biaya penurunan emisi melalui konservasi hutan primer lebih murah pada lahan
gambut dibandingkan pada lahan mineral (Herman et al., 2009).
Pembukaan hutan menjadi tanaman perkebunan dengan tanaman tahunan
mengandung lebih banyak resiko dibandingkan dengan hutan tanaman.
Pengelolaan yang baik pada tanah-tanah permeable menunjukkan bahwa
pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan mengakibatkan penurunan debit
sungai total 10 %. Kondisi ini akan terjadi jika pengelolaan perkebunan dilakukan
tidak baik. Demikian juga limpasan permukaan, erosi dan debit sungai akan lebih
besar dibandingkan hutan alam. Pembukaan hutan menjadi lahan pertanian pada

Universitas Sumatera Utara

umumya mengakibatkan degradasi siklus hidrologi dan meningkatkan laju erosi,
terutama jika budidaya pertanian dilakukan di lahan miring. Pada tahun pertama
setelah penebangan hutan, gangguan hidrologi umumnya masih belum parah
karena tanah masih mempunyai karakteristik yang baik (Arief, 2005).

2.3.

Ijin Pemanfaatan Kayu
Izin Pemanfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK adalah izin untuk

memanfaatkan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat
dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar
kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan
lindung dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah
diberikan izin peruntukan (Menteri Kehutanan, 2011).
Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah
terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya
suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan
penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan (aboveground carbon stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan
karbon bawahpermukaan (below-ground carbon stocks) (Murdiyarso et al., 2004).
Pembangunan perkebunan telah mengkonversi hutan alam yang luasnya
sama dengan luas perkebunan yang sudah dan akan dibangun yaitu seluas 6,7 juta
ha. Keadaan demikian telah memberikan keuntungan tambahan bagi perusahaan
perkebunan yang berupa kayu dari pembukaan lahan. Kesempatan yang demikian
ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan perkebunan untuk melakukan mark up
atas luas kebun yang diperlukan. Dalam kenyataanya di beberapa propinsi
ditemukan perusahaan perkebunan yang hanya mencari lokasi, melakukan

Universitas Sumatera Utara

pembukaan lahan untuk mendapatkan kayu, dan kemudian meninggalkannya
tanpa melakukan pembangunan perkebunan (Kartodihardjo dan Supriono, 2000).
2.4.

Kelapa Sawit
Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) adalah jenis tanaman dari famili

palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati.
Berdasarkan warna buah kelapa sawit dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu (i) nigrrescent dengan buah berwarna ungu tua pada buah mentah dan
memiliki “topi” coklat atau hitam pada buah masak, (ii) virescens dengan warna
hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah masak, dan (iii) albenscens
yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit
dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8 mm), Tenera (tebal 0.5-4 mm) dan
Pisifera (tidak bercangkang). Buah sawit bergerombol dalam tandan dan muncul
dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp
adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin, mesokarp adalah
serabut buah, dan endoskarp yang menjadi cangkang pelindung inti. Inti sawit
sering disebut kernel merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan
minyak inti yang berkualitas tinggi (Ditjenbun, 2006).
Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO2 dari udara dan
akan melepas O2 ke udara. Proses ini akan terus berlangsung selama pertumbuhan
dan perkembangannya masih berjalan. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mampu menyerap CO2 sebanyak 430 juta ton dengan fiksasi CO2 sebesar 25,71
ton/ha/tahun (Htut, 2004).
Pada tahun 2011, total areal kelapa sawit di Indonesia mencapai delapan
juta hektar, yang seluruhnya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL),

Universitas Sumatera Utara

yang berarti berada di luar kawasan hutan. Sebagian kebun sawit dibangun di atas
lahan yang sebelumnya berstatus kawasan hutan dan sudah rusak karena
pengelolaan konsesi HPH yang buruk atau karena konflik penguasaan lahan yang
berkepanjangan. Kawasan hutan yang rusak tersebut kemudian diubah statusnya
menjadi lahan APL dan dikeluarkan dari kawasan hutan, sehingga dimungkinkan
penerbitan izin untuk pembuatan kebun kelapa sawit (Purnomo, 2012).
Alih fungsi kawasan hutan termasuk pada lahan gambut untuk
pengembangan tanaman kelapa sawit masih akan terjadi. Besarnya kandungan
karbon pada lahan gambut yang akan terlepas menjadi emisi apabila lahan gambut
tersebut dikonversi, didrainase dan mudah terbakar memerlukan perhatian khusus
dan kebijakan untuk menanganinya. Meskipun berbagai aturan dan kebijakan
telah dikeluarkan untuk mendukung pemanfaatan lahan gambut yang lestari,
upaya ini masih belum cukup untuk mencegah terjadinya konversi dan emisi.
Untuk

itu

diperlukan

kebijakan

dan

pengawasan

yang

lebih

intensif

(Wibowo, 2011).

Universitas Sumatera Utara