Elemen yang Mampu Memperingatkan Budaya Politik Negara.
ELEMEN YANG MAMPU MEMPERINGATKAN BUDAYA POLITIK NEGARA
Oleh: GPB Suka Arjawa
Sikap, perilaku, dan bahkan budaya politik merupakan bagian dari fakta yang harus
mendapatkan kritik atau di dalam ilmu politik disebut kontrol. Elemen pengontrol itu,
kalau bukan lembaga, bisa saja dilakukan oleh masyarakat dan bahkan individu. Akan
tetapi karena politik mempunyai power dan kekuasaan (juga dijalankan oleh massa dan
individu), maka upaya pengontrolan ini sering kali menemui kesulitan. Secara
kelembagaan, partai politik mempunyai fungsi mengontrol pemerintah, atau legislatif
secara tidak kelihatan bisa juga mengontrol eksekutif (misalnya menolak persetujuan
pemerintah). Namun sekali lagi, karena masing-masing mempunyai kekuasaan dan
power, pengontrolan itu sulit dilakukan. Dari kondisi seperti inilah kemudian seperti
dibenarkan bahwa ”tukang kontrol” itu bisa berwujud individu yang berkharisma dan
individu berpengaruh. Individu yang berpengaruh dan berkharisma ini mempunyai level
benar-benar merakyat, populer, tindak tanduk dan berbagai ucapannya benar-benar
diperhatikan. Itulah yang kini terjadi di Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, ia yang memberikan peringatan kepada perilaku politik
Indonesia itu adalah Diego Armando Maradona, legenda hidup sepakbola asal Argentina.
Dalam sebuah kunjunganya ke Indonesia beberapa waktu lalu, Maradona membatalkan
secara mendadak sejumlah acara kunjungannya di Makassar dan Medan. Disamping
mengatakan ada pihak yang berbohong kepadanya, disebutkan juga bahwa gambarnya
ada yang dipakai sebagai ikon dalam kampanye pemilihan bupati. terhadap Makassar,
oleh pihak kedubes Argentina di Indonesia, Maradona disarankan tidak bepergian ke
daerah itu karena keamanan masih belum terjamin. Kemungkinan yang dimaksudkan
dengan keamanan belum terjamin itu karena adanya beberapa kekerasan sebelumnya di
Makassar. Meskipun misalnya kekerasan itu tidak murni disebabkan oleh unsur politis,
akan tetapi sebuah penafsiran, apalagi oleh mereka yang berasal dari kultur politik yang
bebeda, bisa mengaitkan kekerasan-kekerasan yang terjadi dinilai mempunyai keterkaitan
dengan politik. Itulah yang membuat Maradona tidak jadi melakukan kunjungan ke
Makassar dan Medan.
Persoalan penting yang mesti dilihat dari kunjungan Maradona itu ada dua. Yang pertama
bahwa perilaku politik tersebut ternyata multitafsir. Ini disebabkan karena masingmasing negara mempunyai budaya politik yang berbeda. Kalaupun misalnya gambar
Maradona itu memang benar dipakai sebagai ikon dalam sebuah pemilihan kepala
daerah, di Indonesia bisa jadi fenomena itu dipandang sebagai sebuah kebiasaan karena
budaya hukum kita kurang tertib. Padahal di negara lain, memasang gambar sebagai ikon
itu jelas dipandang mempunyai akibat dan resiko bermacam-macam, baik secara sosial,
ekonomi maupun hukum, moral, etika dan sebagainya. Mereka selalu
mempertimbangkan akibat-akibat ini sebelum melakukan tindakan. Memasang gambar
tokoh ke dalam partai politik, mungkin saja akan mempunyai efek moral besar manakala
partai politik itu ternyata sarang koruptor. Atau memasang gambar bisa saja menarik
pemilih yang banyak. Tetapi di Indonesia sang pemasang gambar tidak mau memberikan
kontribusi terhadap tokoh yang telah memberikan banyak suara itu. Dengan demikian
dalam pandangan pihak Maradona, pemasangan gambar fotonya oleh sebuah kandidat
politik, jelas dipandang sebagai pelanggaran, tidak sesuai dengan etika, dan melanggar
hak pribadi. Bahkan mungkin melanggar etika kepada masyarakat Argentina.
Ini adalah pesan besar bagi para pelaku politik di Indonesia. Kecenderungan yang terjadi
di ruang publik, adalah bahwa perilaku politik itu tidak etis, dan kurang memperhatikan
hak khalayak umum. Tidak etisnya terletak pada kebiasaan melanggar aturan. Ketika
saatnya belum kampanye, dengan berbagai dalih masing-masing pihak telah memasang
spanduk lalu seenaknya mengatakan bahwa pemasangan spanduk itu tidak masuk dalam
katagori kampanye. Memperkenalkan nama calon anggota legislatif misalnya kini telah
mulai marak di berbagai jalan, dengan baliho besar-besaran. Juga pemasangan bendera
partai. Cara ini sangat tidak etis. Politisi juga sangat tidak memperhatikan hak masyarakat
umum. Pemasangan baliho atau apapun namanya sering dilakukan di tikungan jalan,
yang mengganggu pandangan pengendara. Atau pemasangan hal demikian, terjadi di
daerah lapang yang mempunyai pandangan alam indah. Atau justru mengganggu acara
televisi yang favorit.
Dari konteks demikian, betapapun kecewanya para pendukung Maradona di tanah air,
tetapi peringatan yang diberikannya, secara politis harus direspon dan harus memberikan
pelajaran besar kepada pada politisi Indonesia. Peristiwa ini tidak hanya berhenti sampai
di Indonesia saja tetapi juga akan menjadi diskusi ringan Maradona kepada rekanrekannya di Argentina, Italia, Inggris atau dimanapun juga.
Persoalan kedua yang harus dicermati dari ”peristiwa” Maradona ini adalah soal konflik
sosial. Di Indonesia konflik sosial itu sering dipandang terpisah dari masalah politik.
Dalam khasanah Indonesia mungkin benar karena konflik sosial bisa disebabkan oleh
hubungan kekerabatan, suku, agama atau struktur ekonomi. Konflik pecah karena
perbedaan paham keyakinan, juga konflik karena perbedaan pendapat antara kampung,
atau antar pemuda. Di Bali malah konflik terjadi di dalam satu banjar semata-mata
karena tidak memahami apa itu Khayangan Tiga, apa makna ngaben, bahkan tidak
mengetahui makna banten dan mantra yang sebenarnya. Akan tetapi, bagaimana kalau
fenomena itu terjadi berbarengan dengan perhelatan-perhelatan politik? Barangkali
konflik sosial yang terjadi di Makassar dipicu oleh persaingan anak-anak muda yang
kebetulan menjadi mahasiswa. Namun karena persaingan politik antar kandidat di
Indonesia itu sering kali berakhir dengan bentrokan di jalanan, atau unjuk rasa itu sering
kali berakhir dengan kerusuhan, maka berbagai penafsiran soal konflik itupun akhirnya
bermuara ke politik. Ujung-ujungnya perilaku dan politik di Indonesia itu ditafsirkan
sebagai pengejawantatah konflik.
Penafsiran ini sangat celaka sebab budaya politik itu merupakan dasar dan titik pandang
dari perkembangan kemajuan negara. Jika budaya politik suatu negara itu konflik, pasti
tidak akan mampu memberikan sumbangan visioner kepada negara yang bersangkutan.
Sebab, konflik tidak akan mampu memberikan formulasi jelas terhadap pembangunan
masa depan. Jika budaya politik negara itu demokratis, maka sumbangan visioner itu
pasti positif. Sebab, di negara yang demokrasi akan menumbuhkan iklim dialektika yang
memungkinkan negara itu terus memperbaiki dirinya tanpa takut dengan perdebatan dan
perbedaan pendapat.
Jelas negaranya Maradona bukan negara sempurna. Tahun 1978 Johan Cruyff menolak
ikut bergabung dengan tim nasional Belanda di Piala Dunia Argentina. Ini adalah protes
kapten dan legenda sepakbola Belanda itu karena pemerintahan yang berkuasa di
Argentina saat itu sangat represif. Konon pemerintah berlaku brutal, tidak manusiawi
terhadap kaum oposisi. Bahkan tim nasional Argentina pun brutal di final saat
menghadapi Belanda tahun 1978 (silahkan putar ulang rekamannya, dan saksikan
pertandingan paruh kedua perpanjangan waktu). Boikot Cruyff ini pun peringatan bagi
Argentinan yang disebarkan ke seluruh dunia oleh kapten tim nasional Belanda itu.
Tetapi kini Argentina berubah menjadi demokratis yang kembali melahirkan legenda,
Leonel Messi! ****
Penulis adalah Sosiolog dari FISIP Universitas Udayana.
Oleh: GPB Suka Arjawa
Sikap, perilaku, dan bahkan budaya politik merupakan bagian dari fakta yang harus
mendapatkan kritik atau di dalam ilmu politik disebut kontrol. Elemen pengontrol itu,
kalau bukan lembaga, bisa saja dilakukan oleh masyarakat dan bahkan individu. Akan
tetapi karena politik mempunyai power dan kekuasaan (juga dijalankan oleh massa dan
individu), maka upaya pengontrolan ini sering kali menemui kesulitan. Secara
kelembagaan, partai politik mempunyai fungsi mengontrol pemerintah, atau legislatif
secara tidak kelihatan bisa juga mengontrol eksekutif (misalnya menolak persetujuan
pemerintah). Namun sekali lagi, karena masing-masing mempunyai kekuasaan dan
power, pengontrolan itu sulit dilakukan. Dari kondisi seperti inilah kemudian seperti
dibenarkan bahwa ”tukang kontrol” itu bisa berwujud individu yang berkharisma dan
individu berpengaruh. Individu yang berpengaruh dan berkharisma ini mempunyai level
benar-benar merakyat, populer, tindak tanduk dan berbagai ucapannya benar-benar
diperhatikan. Itulah yang kini terjadi di Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, ia yang memberikan peringatan kepada perilaku politik
Indonesia itu adalah Diego Armando Maradona, legenda hidup sepakbola asal Argentina.
Dalam sebuah kunjunganya ke Indonesia beberapa waktu lalu, Maradona membatalkan
secara mendadak sejumlah acara kunjungannya di Makassar dan Medan. Disamping
mengatakan ada pihak yang berbohong kepadanya, disebutkan juga bahwa gambarnya
ada yang dipakai sebagai ikon dalam kampanye pemilihan bupati. terhadap Makassar,
oleh pihak kedubes Argentina di Indonesia, Maradona disarankan tidak bepergian ke
daerah itu karena keamanan masih belum terjamin. Kemungkinan yang dimaksudkan
dengan keamanan belum terjamin itu karena adanya beberapa kekerasan sebelumnya di
Makassar. Meskipun misalnya kekerasan itu tidak murni disebabkan oleh unsur politis,
akan tetapi sebuah penafsiran, apalagi oleh mereka yang berasal dari kultur politik yang
bebeda, bisa mengaitkan kekerasan-kekerasan yang terjadi dinilai mempunyai keterkaitan
dengan politik. Itulah yang membuat Maradona tidak jadi melakukan kunjungan ke
Makassar dan Medan.
Persoalan penting yang mesti dilihat dari kunjungan Maradona itu ada dua. Yang pertama
bahwa perilaku politik tersebut ternyata multitafsir. Ini disebabkan karena masingmasing negara mempunyai budaya politik yang berbeda. Kalaupun misalnya gambar
Maradona itu memang benar dipakai sebagai ikon dalam sebuah pemilihan kepala
daerah, di Indonesia bisa jadi fenomena itu dipandang sebagai sebuah kebiasaan karena
budaya hukum kita kurang tertib. Padahal di negara lain, memasang gambar sebagai ikon
itu jelas dipandang mempunyai akibat dan resiko bermacam-macam, baik secara sosial,
ekonomi maupun hukum, moral, etika dan sebagainya. Mereka selalu
mempertimbangkan akibat-akibat ini sebelum melakukan tindakan. Memasang gambar
tokoh ke dalam partai politik, mungkin saja akan mempunyai efek moral besar manakala
partai politik itu ternyata sarang koruptor. Atau memasang gambar bisa saja menarik
pemilih yang banyak. Tetapi di Indonesia sang pemasang gambar tidak mau memberikan
kontribusi terhadap tokoh yang telah memberikan banyak suara itu. Dengan demikian
dalam pandangan pihak Maradona, pemasangan gambar fotonya oleh sebuah kandidat
politik, jelas dipandang sebagai pelanggaran, tidak sesuai dengan etika, dan melanggar
hak pribadi. Bahkan mungkin melanggar etika kepada masyarakat Argentina.
Ini adalah pesan besar bagi para pelaku politik di Indonesia. Kecenderungan yang terjadi
di ruang publik, adalah bahwa perilaku politik itu tidak etis, dan kurang memperhatikan
hak khalayak umum. Tidak etisnya terletak pada kebiasaan melanggar aturan. Ketika
saatnya belum kampanye, dengan berbagai dalih masing-masing pihak telah memasang
spanduk lalu seenaknya mengatakan bahwa pemasangan spanduk itu tidak masuk dalam
katagori kampanye. Memperkenalkan nama calon anggota legislatif misalnya kini telah
mulai marak di berbagai jalan, dengan baliho besar-besaran. Juga pemasangan bendera
partai. Cara ini sangat tidak etis. Politisi juga sangat tidak memperhatikan hak masyarakat
umum. Pemasangan baliho atau apapun namanya sering dilakukan di tikungan jalan,
yang mengganggu pandangan pengendara. Atau pemasangan hal demikian, terjadi di
daerah lapang yang mempunyai pandangan alam indah. Atau justru mengganggu acara
televisi yang favorit.
Dari konteks demikian, betapapun kecewanya para pendukung Maradona di tanah air,
tetapi peringatan yang diberikannya, secara politis harus direspon dan harus memberikan
pelajaran besar kepada pada politisi Indonesia. Peristiwa ini tidak hanya berhenti sampai
di Indonesia saja tetapi juga akan menjadi diskusi ringan Maradona kepada rekanrekannya di Argentina, Italia, Inggris atau dimanapun juga.
Persoalan kedua yang harus dicermati dari ”peristiwa” Maradona ini adalah soal konflik
sosial. Di Indonesia konflik sosial itu sering dipandang terpisah dari masalah politik.
Dalam khasanah Indonesia mungkin benar karena konflik sosial bisa disebabkan oleh
hubungan kekerabatan, suku, agama atau struktur ekonomi. Konflik pecah karena
perbedaan paham keyakinan, juga konflik karena perbedaan pendapat antara kampung,
atau antar pemuda. Di Bali malah konflik terjadi di dalam satu banjar semata-mata
karena tidak memahami apa itu Khayangan Tiga, apa makna ngaben, bahkan tidak
mengetahui makna banten dan mantra yang sebenarnya. Akan tetapi, bagaimana kalau
fenomena itu terjadi berbarengan dengan perhelatan-perhelatan politik? Barangkali
konflik sosial yang terjadi di Makassar dipicu oleh persaingan anak-anak muda yang
kebetulan menjadi mahasiswa. Namun karena persaingan politik antar kandidat di
Indonesia itu sering kali berakhir dengan bentrokan di jalanan, atau unjuk rasa itu sering
kali berakhir dengan kerusuhan, maka berbagai penafsiran soal konflik itupun akhirnya
bermuara ke politik. Ujung-ujungnya perilaku dan politik di Indonesia itu ditafsirkan
sebagai pengejawantatah konflik.
Penafsiran ini sangat celaka sebab budaya politik itu merupakan dasar dan titik pandang
dari perkembangan kemajuan negara. Jika budaya politik suatu negara itu konflik, pasti
tidak akan mampu memberikan sumbangan visioner kepada negara yang bersangkutan.
Sebab, konflik tidak akan mampu memberikan formulasi jelas terhadap pembangunan
masa depan. Jika budaya politik negara itu demokratis, maka sumbangan visioner itu
pasti positif. Sebab, di negara yang demokrasi akan menumbuhkan iklim dialektika yang
memungkinkan negara itu terus memperbaiki dirinya tanpa takut dengan perdebatan dan
perbedaan pendapat.
Jelas negaranya Maradona bukan negara sempurna. Tahun 1978 Johan Cruyff menolak
ikut bergabung dengan tim nasional Belanda di Piala Dunia Argentina. Ini adalah protes
kapten dan legenda sepakbola Belanda itu karena pemerintahan yang berkuasa di
Argentina saat itu sangat represif. Konon pemerintah berlaku brutal, tidak manusiawi
terhadap kaum oposisi. Bahkan tim nasional Argentina pun brutal di final saat
menghadapi Belanda tahun 1978 (silahkan putar ulang rekamannya, dan saksikan
pertandingan paruh kedua perpanjangan waktu). Boikot Cruyff ini pun peringatan bagi
Argentinan yang disebarkan ke seluruh dunia oleh kapten tim nasional Belanda itu.
Tetapi kini Argentina berubah menjadi demokratis yang kembali melahirkan legenda,
Leonel Messi! ****
Penulis adalah Sosiolog dari FISIP Universitas Udayana.