Profesionalisme, Komitmen Organisasi, dan Intensitas Moral sebagai Faktor-faktor yang Memengaruhi Tindakan Akuntan untuk Melakukan Whistleblowing.

(1)

PROFESIONALISME, KOMITMEN ORGANISASI, DAN INTENSITAS MORAL SEBAGAI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINDAKAN AKUNTAN UNTUK MELAKUKAN WHISTLEBLOWING

SKRIPSI

Oleh :

LUH PUTU SETIAWATI NIM : 1206305109

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

PROFESIONALISME, KOMITMEN ORGANISASI, DAN INTENSITAS MORAL SEBAGAI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINDAKAN AKUNTAN UNTUK MELAKUKAN WHISTLEBLOWING

SKRIPSI

Oleh :

LUH PUTU SETIAWATI NIM : 1206305109

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi

Universitas Udayana Denpasar


(3)

ii

Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetuji oleh pembimbing, serta diuji pada tanggal: 14 Januari 2016

Tim Penguji : Tanda Tangan

1. Ketua : Dr. Dewa Gede Wirama, SE.,MSBA., Ak ………

2. Sekretaris : Dr. Maria M. Ratna Sari, SE.,M.Si., Ak ………

3. Anggota : Drs. I Wayan Putra, M.Si ………

Mengetahui,

Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing

Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE.,M.Si., Ak Dr. Maria M. Ratna Sari, SE.,M.Si.,Ak


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila ternyata dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 14 Januari 2016 Mahasiswa

Luh Putu Setiawati 1206305109


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Profesionalisme, Komitmen Organisasi, dan Intensitas Moral Sebagai Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tindakan Akuntan Untuk Melakukan Whistleblowing dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1) Bapak Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

2) Ibu Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

3) Ibu Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, SE., M.Si selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

4) Bapak Dr. I Dewa Gde Dharma Suputra, SE., M.Si.,Ak selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

5) Bapak Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

6) Bapak Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

7) Bapak Dr. Made Gede Wirakusuma, SE., M.Si selaku Pembimbing


(6)

8) Ibu Dr. Maria M. Ratna Sari, SE., M.Si., Ak selaku Pembimbing Skripsi atas waktu, bimbingan, arahan, dan dukungan yang sangat besar kepada penulis selama penulisan skripsi.

9) Bapak Dr. Dewa Gede Wirama, SE., MSBA., Ak selaku dosen pembahas dan penguji yang telah memberikan saran dan kritik terhadap skripsi ini. 10) Bapak Drs. I Wayan Putra.,M.Si selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan kritik terhadap skripsi ini.

11) Segenap dosen pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

12) Seluruh pegawai dan staf di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, yang telah memberikan bantuan selama proses pengadministrasian skripsi.

13) Orang tua penulis I Wayan Sedana, Ni Ketut Sukerti (almh), dan Ni Wayan Seni yang telah memberikan amanat kepada penulis sedari dini untuk menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya, dan juga memberikan dukungan berupa materiil, semangat, dan doa yang tiada henti untuk penulis.

14) Sahabat-sahabat terbaik penulis Dewa Ayu, Mayta, Ferdi, Eliana, Ayu, Maul, Chanza, Ina, Uni, Nanas, dan Memey atas dukungannya selama perkuliahan dan penulisan skripsi.

15) Seluruh teman-teman penulis di kampus yang sering membantu penulis terkait perkuliahan ataupun terkait dengan penulisan skripsi ini.


(7)

vi

16) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan, saran dan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih belum sempurna, sehingga segala kritik dan saran yang membangun mengenai skripsi ini sangat penulis butuhkan. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang berkepentingan,

Denpasar, 14 Januari 2016 Penulis


(8)

Judul : Profesionalisme, Komitmen Organisasi, dan Intensitas Moral Sebagai Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tindakan Akuntan Untuk Melakukan Whistleblowing

Nama : Luh Putu Setiawati NIM : 1206305109

ABSTRAK

Fenomena kecurangan dalam beberapa perusahaan terkemuka banyak terjadi belakangan dan menyebabkan reputasi akuntan menjadi sorotan banyak pihak. Menanggapi hal tersebut, pelaporan kecurangan (whistleblowing) dirasa perlu dilakukan untuk meminimalisir kecurangan dalam perusahaan.

Faktor-faktor yang yang memengaruhi tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing yaitu profesionalisme, komitmen organisasi dan intensitas moral. Tujuan penelitian ini yaitu untuk memperoleh bukti empiris mengenai profesionalisme, komitmen organisasi, dan intensitas moral sebagai faktor-faktor yang memengaruhi tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode non probability sampling yaitu purposive sampling. Responden dalam penelitian ini sebanyak 59 orang. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profesionalisme, komitmen organisasi, dan intensitas moral berpengaruh positif terhadap niat akuntan untuk melakukan whistleblowing. Hal tersebut berarti semakin baik profesionalisme, komitmen organisasi dan intensitas moral semakin tinggi niat akuntan untuk melakukan whistleblowing.

Kata kunci: profesionalisme, komitmen organisasi, intensitas moral, akuntan, niat untuk melakukan whistleblowing


(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian... 12

1.5 Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ... 14

2.1.1 Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behavior) ... 14

2.1.2 Whistleblowing ... 17

2.1.3 Profesionalisme ... 19

2.1.4 Komitmen Organisasi... 21

2.1.5 Intensitas Moral ... 23

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian ... 25

2.2.1Pengaruh Profesionalisme terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing ... 25

2.2.2 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing ... 26


(10)

2.2.3 Pengaruh Intensitas Moral terhadap Tindakan Akuntan

Melakukan Whistleblowing ... 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 30

3.2 Lokasi atau Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ... 30

3.3 Obyek Penelitian ... 31

3.4 Identifikasi Variabel ... 31

3.5 Definisi Operasional Variabel ... 32

3.6 Jenis dan Sumber Data ... 34

3.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ... 34

3.7.1 Populasi ... 34

3.7.2 Sampel dan Metode Penentuan Sampel ... 35

3.8 Metode Pengumpulan Data ... 35

3.9 Teknik Analisis Data ... 36

3.9.1 Analisis statistik deskriptif ... 36

3.9.2 Intervalisasi Data ... 36

3.9.3 Pengujian Instrumen Penelitian... 36

3.9.4 Uji Asumsi Klasik ... 38

3.9.5 Pengujian Hipotesis ... 39

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1 Data Penelitian ... 41

4.1.1 Karakter Responden Penelitian ... 42

4.2 Hasil Penelitian ... 43

4.2.1 Hasil Statistik Deskriptif ... 44

4.2.2 Hasil Intervalisasi Data ... 46

4.2.3 Hasil Pengujian Instrumen Penelitian ... 46

4.2.4 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 49

4.2.5 Hasil Uji Hipotesis ... 51

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 56

4.3.1 Pengaruh profesionalisme terhadap niat untuk melakukan whistleblowing ... 56


(11)

x

4.3.2 Pengaruh komitmen organisasi terhadap niat untuk

melakukan whistleblowing ... 57

4.3.3 Pengaruh intensitas moral terhadap niat untuk melakukan whistleblowing ... 58

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 60

5.2 Saran ... 62

DAFTAR RUJUKAN ... 63


(12)

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

4.1 Rincian Penyebaran dan Pengembalian Kuesioner... 41

4.2 Profil Responden ... 42

4.3 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 44

4.4 Hasil Uji Validitas... 48

4.5 Hasil Uji Reliabilitas ... 49

4.6 Hasil Uji Normalitas ... 50

4.7 Hasil Uji Multikoleniaritas ... 50

4.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 51

4.9 Hasil Uji Regresi Linier Berganda ... 52

4.10 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 53

4.11 Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 54


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 67

2 Tabulasi Data Ordinal ... 73

3 Tabulasi Data Interval ... 77

4 Statistik Deskriptif ... 82

5 Uji Validitas ... 88

6 Uji Reliabilitas ... 93

7 Uji Asumsi Klasik ... 97


(15)

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejumlah masalah keuangan beberapa perusahaan terkemuka menyebabkan reputasi akuntan menjadi sorotan banyak pihak. Cukup banyak nya jumlah kasus pelanggaran akuntansi yang terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri mencerminkan bahwa terdapat pergeseran sikap para akuntan. Munculnya pandangan tersebut bukan tanpa alasan, hal tersebut dikarenakan banyak nya kasus-kasus keuangan perusahaan-perusahaan besar yang bahkan melibatkan kantor akuntan publik. Pada kasus-kasus tertentu kantor akuntan publik selaku auditor eksternal memberikan opini wajar tanpa pengecualian pada laporan keuangan perusahaan-perusahaan besar yang pada akhirnya terungkap memiliki skandal keuangan dan mengalami kebangkrutan. Hal-hal seperti itu yang menimbulkan asumsi bahwa terdapat skandal antara manajemen perusahaan, akuntan perusahaan, dan KAP selaku auditor eksternal.

Sebagai contoh, kasus Enron yang menjadi sorotan masyarakat luas pada tahun 2001, ketika terungkap bahwa kondisi keuangan yang dilaporkan didukung oleh adanya penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Kasus ini juga melibatkan kantor akuntan internasional (termasuk Big Five) yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersen. Arthur Andersen bertindak sebagai eksternal auditor dan konsultan manajemen Enron. Enron melakukan manipulasi angka-angka dalam laporan keuangan (window dressing) agar kinerjanya tampak baik. Enron melakukan mark up pendapatan sebesar $600


(17)

2

juta dan menyembunyikan hutangnya dengan teknik off balance sheet senilai $1,2 miliar. Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersen terbukti membantu rekayasa laporan keuangan Enron selama bertahun-tahun.

Hal tersebut membuat salah satu eksekutif Enron yaitu Sherron Watskin tidak tahan melihat kecurangan yang terjadi, sehingga Watskin memutuskan untuk melaporkan kecurangan tersebut. Sherron Watskin merupakan wakil presiden Enron yang menjadi whistleblower dengan menulis surat kepada Direktur Kenneth Lay. Tindakan Watskin tersebut membuat kasus tersebut terungkap. Dalam suratnya dituliskan praktik akuntansi agresif yang dilakukan oleh Enron akan meledak dan memang benar terjadi, sehingga akhirnya Enron kolaps, Kreshastuti (2014).

Di Indonesia kasus penyimpangan terjadi juga pada kelompok usaha Grup Bakrie di PT Bank Capital Indonesia Tbk. Menurut berita online yang dikutip dari (Republika.co.id: 2010) terjadi lonjakan Dana Pihak Ketiga (DPK) Grup Bakrie di Bank Capital secara signifikan. Tahun 2008, jumlah dana pihak ketiga bank tersebut hanya sebesar Rp 1 triliun. Sementara hingga Maret 2010 jumlah dana pihak ketiga melonjak menjadi Rp 2,69 triliun. Jumlah DPK ini sangat tidak sebanding dengan modal perseroan yang hanya sebesar Rp 600 miliar. Setelah dilakukan investigasi oleh Bapepam-LK dan semua pihak yang terkait, seperti Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Bank Indonesia (BI) dan memang terjadi

penyimpangan. Menurut berita online yang dikutip dari

(Bisniskeuangan.kompas.com:2010) Bursa Efek Indonesia (BEI) menghukum empat emiten Grup Bakrie. Sanksi berupa denda masing-masing senilai Rp 500


(18)

juta itu sebagai ganjaran atas pelanggaran akuntansi pada pendapatan dana simpanan Grup Bakrie di Bank Capital Indonesia. Empat emiten itu adalah PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk (UNSP), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), dan PT Benakat Petroleum Energy Tbk (BIPI).

Kasus juga terjadi pada perusahaan konstruksi pelat merah (termasuk BUMN) PT Waskita Karya terkait dengan kelebihan pencatatan (overstate) laba bersih sebesar 500 milyar. Direksi PT Waskita Karya merekayasa keuangan sejak tahun buku 2004-2007 dengan memasukkan proyeksi pendapatan proyek multi tahun ke depan sebagai pendapatan tahun tertentu. Bahkan, pada saat itu Waskita Karya juga berhasil lolos dari DPR untuk penerbitan saham public. Rekayasa tersebut terbuka saat perusahaan mengkaji rencana penawaran saham perdana kepada publik. Direksi-direksi yang terlibat dalam rekayasa tersebut dinonaktifkan. Sama halnya dengan kasus Enron, KAP yang mengaudit Waskita Karya juga akan dicabut ijinnya dan auditor yang mengaudit dikenai sanksi hukum, (kontan.co.id: 2009)

Kasus tersebut terungkap ke publik karena adanya whistleblower dari analisis atau pelaku pasar modal yang melihat adanya kejanggalan. Whistleblower adalah orang yang melakukan tindakan whistleblowing. Whistleblower harus memberikan bukti, informasi ataupun indikasi secara jelas dan memadai atas terjadinya kejanggalan. Hal ini dilakukan demi kelancaran investigasi selanjutnya yang akan dilakukan setelah penerimaan informasi dari whistleblower. Tanpa informasi yang jelas dan memadai maka laporan akan sulit ditelusuri. Pada


(19)

4

prinsipnya seorang whistleblower merupakan prosocial behavior yang menekankan untuk membantu pihak lain dalam menyehatkan sebuah organisasi atau perusahaan (Sagara, 2013). Whistleblower bisa saja dari internal maupun eksternal perusahaan. Biasanya yang menjadi whistleblower adalah orang-orang yang tau persis bahwa di dalam perusahaan tersebut telah dilakukan praktik kecurangan dan whistleblower tidak setuju dengan perlakuan curang tersebut.

Maraknya kasus pelanggaran akuntansi di dalam dan di luar negeri mencerminkan pergeseran profesionalisme dan pelanggaran etis akuntan. Akuntan adalah sebuah profesi atau gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah menempuh dan menyelesaikan pendidikan di fakultas ekonomi jurusan akuntansi pada suatu universitas atau yang sederajat dan telah lulus Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk).

Profesi akuntan sebagai profesi penyedia informasi sudah seharusnya menyediakan informasi yang terpercaya. Kegagalan dalam menyediakan informasi yang terpercaya dapat mengakibatkan kerugian bagi para pengguna laporan keuangan bahkan masyarakat luas. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan bisa saja meningkatkan campur tangan pemerintahan pada waktunya, yang tentu akan berdampak pada runtuhnya profesi akuntan. Fenomena tersebut menunjukan terdapat masalah etika yang melekat pada lingkungan pekerjaan para akuntan.

Salah satu cara mengungkapkan pelanggaran akuntansi sehingga dapat

mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah dengan melakukan


(20)

pelanggaran-pelanggaran akuntansi seperti yang dilakukan Enron, Grup Bakrie dan PT Waskita Karya. Whistleblowing adalah sikap meningkatkan kekhawatiran tentang malapraktik dalam suatu organisasi atau melalui suatu struktur yang independen terkait dengan hal tersebut, UK Committee on Standards in Public Life dalam Huy Dehn (2001). Sejatinya whistleblowing tidak harus diungkapkan kepada publik tapi bisa juga dilaporkan kepada pihak manajemen yang lebih tinggi ataupun kepada pengawas.

Whistleblowing diharapkan menjadi cara awal untuk memperbaiki

kecurangan yang terjadi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Kecurangan dalam bidang akuntansi dapat diambil contoh kecil misalnya penggelapan kas, melebihkan atau mengurangi jumlah pencatatan saldo, penyimpangan asset tetap, dll. Dalam contoh besar misalnya Laporan Keuangan berganda. Hal tersebut tentu saja dapat merugikan perusahaan. Bisa saja dalam waktu dekat tidak ada efek apapun namun dalam waktu panjang bisa saja hal seperti itu menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Ini terkait juga dengan going concern perusahaan. Dalam akuntansi going concern dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan, dimana laporan keuangan harus merefleksikan nilai-nilai perusahaan untuk menentukan operasionalnya dalam waktu kedepan. Profesi akuntan dalam perusahaan seharusnya ikut bertanggung jawab mengenai prinsip going concern perusahaan, karena akuntan memiliki tanggung jawab atas Laporan Keuangan suatu perusahaan.

Kecurangan dalam perusahaan sebenarnya tidak hanya dari sisi laporan keuangan berupa penyimpangan laporan keuangan suatu perusahaan tersebut.


(21)

6

Namun dapat juga berupa; membuang persediaan dalam jumlah besar demi mempertahankan stabilitas harga jual. Kasus pembuangan persediaan dalam jumlah besar dapat terjadi dalam perusahaan susu, minuman kemasan, makanan kemasan, dll. Selain itu pembuangan limbah industri ke sungai tanpa izin dan memanipulasi komposisi produk dalam proses produksi, misalnya menambahkan zat berbahaya ke dalam komposisi juga merupakan kecurangan perusahaan. Kecurangan-kecurangan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan harga jual, meminimalkan biaya produksi dan diharapkan dapat meningkatkan atau menstabilkan laba dari periode sebelumnya. Hal ini tentu termasuk ke dalam tindakan yang tidak etis karena demi membuat laporan keuangan agar terlihat baik, perusahaan melakukan hal-hal seperti diatas yang tentu saja hal tersebut merugikan masyarakat selaku konsumen.

Kasus-kasus kecurangan seperti hal-hal yang telah disebutkan diatas tidak seharusnya terjadi dalam perusahaan. Kasus tersebut bertentangan dengan prinsip

Good Corporate Governance (GCG). Prinsip GCG mengharuskan perusahaan

memiliki kinerja yang baik tanpa adanya korupsi, suap, ataupun kecurangan lainnya dalam bentuk apapun. Oleh karena adanya prinsip tersebut perusahaan diharuskan untuk tidak melakukan kecurangan agar perusahaan memenuhi prinsip GCG dan perusahaan dapat beroperasi dalam jangka waktu kedepan. Dan apabila terdapat kecurangan dalam perusahaan, sangat diharapkan orang-orang yang mengetahui adanya kecurangan untuk melaporkan (melakukan whistleblowing) agar kecurangan dapat ditindak lanjutin dan sistem perusahaan tersebut dapat


(22)

diperbaiki sebelum muncul nya dampak yang akan merugikan perusahaan itu sendiri.

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada 10 November 2008 menerbitkan Pedoman Sistem pelaporan dan Pelanggran (SPP) atau Whistleblowing System (WBS). Peraturan tersebut mewajibkan para karyawan untuk melaporkan kecurangan manajemen kepada pihak pembuat kebijakan yang sesuai. Miceli dan Near (2002) menyatakan bahwa mekanisme yang ada dapat mendukung pelaporan dalam pencegahan dan deteksi perilaku yang tidak etis.

Menurut Miceli dan Near, 1988 dalam Kreshastuti (2014) tipikal yang berkecenderungan melakukan whistleblowing adalah yang menduduki jabatan profesional, mempunyai reaksi positif tehadap pekerjaanya, lebih lama melayani, mempunyai kinerja baik, mempunyai kelompok kerja yang lebih besar dan mendapatkan tanggung jawab dari yang lain untuk menyatakan whistleblowing. Mastracchio (2005) mengatakan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia profesi akuntan. Elias (2007) mengatakan bahwa masih sangat dibutuhkan penelitian mengenai sosialisasi pada mahasiswa akuntansi.

The Accounting Education Change Commission (AECC) dalam Elias (2007)

menjelaskan pentingnya studi tentang komitmen profesional pada mahasiswa akuntansi untuk mempersiapkan mahasiswa tersebut menjadi seorang akuntan yang profesional. Diharapkan dengan komitmen profesional dan sosialisasi antisipatif yang tinggi membuat akuntan lebih mengutamakan profesionalisme


(23)

8

sehingga akuntan akan melaporkan setiap pelanggaran atau kecurangan yang terjadi.

Sejumlah penelitian mengenai whistleblowing telah dilakukan baik diluar maupun di dalam negeri. Diluar negeri penelitian tentang whistleblowing dilakukan oleh Curtis dan Taylor (2009) mengenai whistleblowing pada akuntan publik menggunakan faktor-faktor pengungkapan identitas, konteks situasional, dan karakteristik pribadi sebagai faktor-faktor yang memengaruhi para akuntan publik melakukan whistleblowing.

Shawver (2011) juga melakukan penelitian mengenai intensi melakukan whistleblowing pada orang-orang yang berprofesi sebagai akuntan, manajemen, analis, konsultan dan internal auditor melalui faktor-faktor penentu pengambilan keputusan moral. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah identifikasi masalah etika, alasan untuk membuat pertimbangan moral dan motivasi seseorang untuk memilih melakukan tindakan whistleblowing.

Penelitian mengenai niat untuk melakukan whistleblowing terhadap lingkungan kerja akuntan publik juga telah dilakukan di Amerika oleh Taylor dan Curtis (2010) menjelaskan hubungan identitas profesional, Komitmen Organisasi, dan intensitas moral terhadap intensi melakukan whistleblowing berdasarkan konsep layers of workplace influence theory. Penelitian ini mengaplikasikan theory of planned behavior (TPB) karena pelaporan atau whistleblowing berkorelasi dengan niat dan tindakan.

Di Indonesia Sagara (2013) melakukan penelitian mengenai whistleblowing menggunakan profesionalisme dari 5 dimensi sebagai faktor yang memengaruhi


(24)

tindakan tersebut pada internal auditor dengan hasil penelitian 4 dimensi berpengaruh negative dan 1 dimensi berpengaruh positif. Sari dan Laksito (2014) juga melakukan penelitian menggunakan profesionalisme dari 5 dimensi sebagai fakor yang memengaruhi tindakan melakukan whistleblowing pada internal auditor dengan hasil penelitian seluruh dimensi berpengaruh positif dan signifikan. Avrila (2015) meneliti mengenai pengaruh profesionalisme terhadap intensi akuntan publik melakukan whistleblowing dengan hasil profesionalisme berpengaruh terhadap intensi akuntan publik melakukan whistleblowing.

Beberapa penelitian juga dilakukan dengan menggunakan variabel komitmen organisasi sebagai salah satu faktor yang memengaruhi tindakan akuntan melakukan whistleblowing. Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblowing. Selain itu Septiyanti (2013) menggunakan komitmen organisasi sebagai faktor yang memengaruhi niat melakukan whistleblowing internal dengan hasil penelitian komitmen organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing internal. Sofia, dkk (2013) juga melakukan penelitian demikian namun pegawai pajak yang menjadi objek penelitian dengan hasil penelitian komitmen organisasi berpengaruh terhadap niat whistleblowing.

Penelitian lainnya yang juga dilakukan dengan menggunakan intensitas moral sebagai perilaku yaitu Sulistomo (2012) penelitian mengenai persepsi mahasiswa akuntansi di Semarang dan Yogyakarta yang menunjukkan fakor-faktor yang memengaruhi seseorang memiliki intensi melakukan whistleblowing


(25)

10

berdasarkan konsep theory of planned behavior. Faktor-faktor tersebut adalah persepsi norma subyektif, sikap terhadap perilaku dan kontrol perilaku. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Dewi dan Gudono (2007) yang menyatakan bahwa adanya pengaruh tidak langsung Intensitas Moral terhadap intensi keperilakuan dalam pengambilan keputusan.

Selain penelitian-penelitian yang telah disebutkan diatas mengenai faktor-faktor yang memengaruhi internal maupun eksternal auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing, berikut juga terdapat penelitian yang dilakukan dengan objek penelitian adalah mahasiswa. Beberapa penelitian mengenai intensi melakukan whistleblowing dilakukan di kalangan mahasiswa akuntansi juga telah dilakukan. Beberapa diantaranya dilakukan oleh Ghani (2010) yang melakukan penelitian mengenai whistleblowing antara mahasiswa akuntansi S1, S2 dan PPA Universitas Diponegoro sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sugiyanto, dkk (2011) menggunakan mahasiswa akuntansi di kota Makasar sebagai responden. Merdikawati (2012) juga melakukan penelitian mengenai niat whistleblowing antara mahasiswa akuntansi S1 di tiga universitas negeri di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Di Indonesia penelitian mengenai whistleblowing memang sudah pernah dilakukan, namun masih terdapat ketidak konsistenan hasil penelitian. Oleh karena itu saya berminat untuk meneliti kembali topik whistleblowing ini. Selain karena terdapat ketidak konsistenan hasil, Fenomena mengenai kecurangan dalam perusahaan memang masih terjadi di dalam perusahaan berdasarkan kasus yang telah terungkap ke public dan telah dijabarkan di atas. Penelitian ini juga


(26)

diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai profesionalisme, komitmen organisasi, dan intensitas moral sebagai faktor-faktor yang memengaruhi tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing.

Penelitian ini menggunakan responden alumni mahasiswa PPAk karena alumni PPAk cocok digunakan sebagai responden karena telah lulus dari S1 Jurusan akuntansi dan juga telah lulus Pendidikan Profesi Akuntan, jadi responden sudah memiliki profesi akuntan. Penelitian ini akan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Curtis (2010) dan Curtis dan Taylor (2009).

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah jabarkan diatas, maka dapat dirumuskan masalah bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1) Apakah profesionalisme berpengaruh terhadap tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing?

2) Apakah komitmen organisasi berpengaruh terhadap tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing?

3) Apakah intensitas moral berpengaruh terhadap tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.


(27)

12

1) Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh profesionalisme terhadap keinginan akuntan untuk melakukan tindakan whistleblowing. 2) Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh komitmen organisasi

terhadap keinginan akuntan untuk melakukan tindakan whistleblowing. 3) Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh intensitas moral

terhadap keinginan akuntan untuk melakukan tindakan whistleblowing.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan untuk beberapa hal seperti yang akan dijabarkan di bawah ini :

1) Kegunaan Teoritis

Untuk pengembangan teori dan pengetahuan di bidang akuntansi terutama bidang akuntansi prilaku yang berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan whistleblowing serta untuk memperoleh bukti empiris mengenai profesionalisme, komitmen organisasi, dan intensitas moral sebagai faktor-faktor yang memengaruhi tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing.

2) Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dan pemikiran serta bahan pertimbangan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing. Supaya di masa yang akan datang kecurangan yang terjadi pada perusahaan dapat berkurang. Serta para akuntan memiliki profesionalisme, komitmen organisasi yang semakin baik dan intensitas moral yang tinggi.


(28)

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini diuraikan ke dalam lima bab yaitu bab I, pendahuluan; bab II, kajian pustaka dan hipotesis; bab III, metode penelitian; bab IV, data dan pembahasan; bab V, simpulan dan saran.

Bab I yang merupakan pendahuluan menjabarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II adalah kajian pustaka dan hipotesis yang menjelaskan teori-teori yang melandasi penelitian ini, dan kerangka pemikiran. Dan juga dipaparkan mengenai hipotesis penelitian serta penjelasan hubungan antara variabel terikat dan variabel tidak terikat yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab III merupakan metode penelitian menjabarkan mengenai desain penelitian, lokasi dan ruang lingkup wilayah penelitian, obyek penelitian, indentifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi dan sampel beserta metode penentuan sampel, metode pengumpulan data dan teknik analisis data.

Bab IV data dan pembahasan hasil penelitian menguraikan mengenai gambaran umum daerah atau wilayah penelitian, deskripsi data hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian.

Bab V merupakan simpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan keterbatasan penelitian serta saran untuk penelitian selanjutnya berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang diperoleh.


(29)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behavior)

Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Icek Ajzen (1985). Menurut Ajzen niat untuk melakukan berbagai jenis perilaku dapat diprediksi dengan tingkat keakuratan yang tinggi dari sikap seseorang terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. TPB digunakan untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku, memprediksi dan memahami dampak niat berperilaku, serta mengidentifikasi strategi untuk merubah perilaku. Dalam TPB diasumsikan bahwa manusia yang bersifat rasional akan menggunakan informasi yang ada secara sistematik kemudian memahami dampak perilakunya sebelum memutuskan untuk mewujudkan perilaku tersebut.

Ajzen memperkenalkan theory of planned behavior dengan menambahkan komponen baru yaitu kontrol perilaku (perceived behavioral control). Dengan ini, ia memperluas theory of reasoned action untuk menutupi perilaku non-kehendak. Dalam TPB, perilaku yang ditampilkan individu timbul karena adanya intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif. Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku,


(30)

evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh.

Theory of planned behavior dijelaskan bahwa niat individu untuk

melakukan suatu tindakan atau berperilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

1) Sikap Terhadap Perilaku (Attitude Toward The Behavior)

Individu akan bertindak atau berprilaku sesuai dengan sikap yang melekat dalam dirinya terhadap suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku yang dianggap positif, nantinya akan dijadikan pilihan individu untuk membimbingnya dalam berperilaku di kehidupannya.

2) Norma Subyektif (Subjective Norm)

Persepsi individu tentang perilaku tertentu, yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang signifikan.

3) Persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control)

Kontrol perilaku mengacu pada persepsi-persepsi individu akan kemampuannya untuk mewujudkan suatu perilaku tertentu.

Penelitian ini menggunakan variabel profesionalisme yang

merepresentasikan sikap terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki profesionalisme (dalam dimensi dedikasi terhadap profesi) yang baik akan membentuk keyakinan pada diri sendiri bahwa profesi yang sedang dikerjakan memberikan hal yang baik bagi individu. Seseorang yang memiliki profesionalisme yang kuat cenderung selalu mematuhi kode etik dan norma-norma yang berlaku dengan tujuan untuk menghindari pelanggaran yang mungkin


(31)

16

terjadi di masa depan yang dapat membahayakan profesinya. Dengan demikian profesional dapat termotivasi untuk melindungi profesinya dengan melaporkan pelanggaran etika. Shawver dan Clements (2008) menemukan bahwa akuntan profesional mampu mengenali prilaku tidak etis dan akuntan profesional lebih berkemungkinan untuk meniup peluit pada situasi tertentu. Meniup peluit dalam arti mengambil tindakan yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan.

Variabel komitmen organisasi merepresentasikan komponen norma

subyektif. Dalam hal ini individu akan memikirkan suatu perilaku tertentu dengan sangat benar karena tindakan dan perilaku yang akan dilakukan akan berpengaruh pada penilaian orang lain. Dalam konteks akuntan, orang lain tersebut adalah perusahaan, masyarakat, dan organisasi naungan akuntan itu sendiri yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan juga rekan kerja. Seseorang yang memang berkomitmen tinggi terhadap organisasi kemungkinan akan mengidentifikasi terlebih dahulu dalam menanggulangi situasi yang dapat membahayakan organisasi demi menjaga reputasi dan kelangsungan organisasi. Identifikasi itu bisa saja mendapatkan pengaruh-pengaruh dari penilaian orang lain juga misalnya saja rekan kerja. Jadi hasil identifikasi tersebut bisa saja menjadi subjektif (lebih berpihak kepada organisasi atau rekan kerja) atau mungkin bisa objektif (lebih melihat kasus yang sedang terjadi).

Variabel intensitas moral merepresentasikan persepsi kontrol perilaku. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat mengontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Pengendalian


(32)

seorang individu terhadap perilakunya dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan yang ada di sekeliling individu tersebut. Menurut Jones (1991) intensitas moral merupakan salah satu komponen dari proses pengambilan keputusan yang etis. Karena sebelum diambilnya keputusan, individu memikirkan terlebih dahulu seberapa baik dan seberapa buruk dari suatu perilaku yang akan dilakukan.

2.1.2 Whistleblowing

Whistleblowing adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang untuk mengungkapkan kecurangan, entah yang dilakukan oleh perusahaan atau individu kepada pihak lain. Pihak yang dilaporkan itu bisa saja atasan ataupun masyarakat luas, Keraf (1998). Menurut Taylor dan Curtis (2010) whistleblowing berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh anggota organisasi atau mantan anggota organisasi yang melaporkan kegiatan ilegal, tidak etis, atau tidak sah yang berada di bawah kendali manajemen, kepada orang-orang yang bersedia dan mampu untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ray (2006) mengatakan bahwa whistleblowing adalah pengungkapan informasi diluar organisasi atau dalam arti membawa informasi dari dalam organisasi keluar organisasi.

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) whistleblowing adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh


(33)

18

karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi lain atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential). Pengungkapan harus dilakukan dengan iktikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan perusahaan tertentu ataupun didasari kehendak buruk atau fitnah.

Dapat ditarik kesimpulan dari beberapa penafsiran whistleblowing menurut beberapa ahli dan peneliti sebelumnya diatas, bahwa whistleblowing adalah tindakan melaporkan kegiatan ilegal, tidak etis, atau tidak sah yang dilakukan oleh individual atau kelompok yang merupakan anggota organisasi maupun bukan anggota organisasi. Tindakan pelaporan itu bisa dilakukan kepada atasan dalam suatu organisasi atau bahkan keluar organisasi tersebut. Pelaporan tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian dalam suatu organisasi maupun kerugian diluar organisasi (masyarakat). Pelaporan harus didasarkan bukti nyata dan itikad baik.

Pelanggaran tersebut harus dilaporkan karena bertentangan dengan konsep Good Corporate Governance (GCG). Terkait dengan usaha penerapan good corporate governance dan termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi, suap, dan praktik kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan memerangi praktik yang bertentangan dengan good corporate governance adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing system).


(34)

Oleh karena adanya prinsip tersebut perusahaan diharapkan untuk tidak melakukan kecurangan agar perusahaan memenuhi prinsip GCG. Dan apabila terdapat kecurangan dalam perusahaan, sangat diharapkan orang-orang yang mengetahui adanya kecurangan untuk melaporkan (melakukan whistleblowing) agar kecurangan dapat ditindak lanjutin dan sistem perusahaan tersebut dapat diperbaiki sebelum muncul nya dampak yang akan merugikan perusahaan itu sendiri.

2.1.3 Profesionalisme

Menurut Garman (2006) profesionalisme adalah kemampuan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dan organisasi dengan standar etika dan profesional yang mencakup tanggung jawab kepada klien maupun masyarakat. Menurut Tjiptohadi (1996) dalam Khikmah (2005) profesionalisme jika dilihat dari bahasanya memiliki beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya. Kedua, profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Dan yang ketiga, profesionalisme berarti moral.

Salah satu cara dimana individu menunjukkan identitas profesional nya adalah melalui kepatuhan terhadap standar pekerjaan profesi, lebih lanjut dapat memanifestasikan dirinya melalui keinginan untuk melindungi profesi dari kerusakan reputasi yang berkelanjutan ketika salah satu anggotanya gagal untuk mematuhi standar profesional atau kode etik yang berlaku.


(35)

20

Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan latar belakang dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Dalam hal ini adalah para akuntan, karena para akuntan bekerja sesuai dengan latar belakang akuntan yaitu pendidikan akuntansi dan dinaungi oleh suatu organisasi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

Xiling (2010) mengatakan bahwa penilaian seorang akuntan harus sepenuhnya mempertimbangkan berbagai aspek, dan sesuai dengan penerapan prinsip tertentu, yang tidak hanya moralitas profesional akuntan, tapi perwujudan kemampuan akuntansi profesionalnya. Keputusan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku.

Menurut Hall (1968) dalam Sari (2014) pada buku karangan Kabers dan Forgathy, terdapat 5 dimensi profesionalisme. Sagara (2013) dan Sari dan Laksito (2014) melakukan penelitian menggunakan 5 dimensi tersebut pada internal

auditor dengan menggunakan profesionalisme sebagai variabel yang

memengaruhi tindakan auditor untuk melakukan whistleblowing. Dalam penelitian sebelumnya melihat profesionalisme dari 5 dimensi profesionalisme diantaranya; Profesionalisme (dimensi afiliasi komunitas), Profesionalisme (dimensi kewajiban sosial), Profesionalisme (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan), Profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau komunitas), Profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi).


(36)

Pada penelitian ini peneliti hanya melihat profesionalisme dari dimensi dedikasi terhadap pekerjaan. Dalam penelitian ini konsep profesionalisme yang digunakan adalah konsep untuk mengukur bagaimana para profesional berdedikasi terhadap pekerjaan atau profesinya diukur dari dedikasi profesional dalam menggunakan kecakapan dan pengetahuan yang dimiliki dengan selalu berpegang teguh pada standar pekerjaan, keberlangsungan masa depan profesinya, serta kebanggaan dengan profesinya.

2.1.4 Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi karyawan dengan keterlibatan dalam organisasi tertentu, keyakinan yang kuat dalam tujuan organisasi dan nilai-nilai, dan kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi, Porter et al. (1974). Munir dan Sajid (2010) mengatakan komitmen organisasi merupakan variabel penting yang dapat digunakan untuk menentukan kinerja organisasi. Komitmen organisasi diyakini menjadi pemicu perilaku seseorang yang merupakan hasil dari psikologis, dalam Hung dan Hsu (2011)

Penelitian yang dilakukan oleh Shawver dan Clements (2008) dikatakan bahwa komitmen organisasi berhubungan dengan peningkatan kepuasan dan kinerja. Hal tersebut karena rekan kerja dalam organisasi menunjukkan kepedulian etika dan perilaku etis. Komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau organisasi secara aktif, karena karyawan yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap organisasi memiliki keinginan untuk


(37)

22

memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyangga kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.

Hewstone dan Willis (2002) dalam Taylor dan Curtis (2010) mengemukakan kesetiaan seorang karyawan terhadap organisasi patut untuk dipertanyakan, apakah karyawan lebih berkomitmen terhadap perusahaan atau pada rekan kerjanya di perusahaan. Dalam situasi khusus, misalnya seorang rekan kerja melakukan tindakan yang tidak etis demi kepentingan pribadi dan melanggar peraturan.

Hal tersebut akan menciptakan tekanan bagi individu untuk berpikir dan berperilaku dengan cara yang berbeda. Jika pelanggaran standar tidak dilaporkan, kemungkinan besar organisasi akan menerima dampak negatif dari pelanggaran tersebut. Di sisi lain, jika pelanggaran dilaporkan maka rekan kerja akan menerima dampak negatif dari organisasi secara langsung. Situasi tersebut dapat mendorong seseorang untuk untuk bertindak atas nama rekan kerja, tanpa memikirkan kesejahteraan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu rekan kerja sangat memengaruhi komitmen organisasi seseorang.

Selain itu Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa seseorang harus berkomitmen untuk sesuatu, jika seseorang menjadi kurang berkomitmen untuk organisasi, maka mungkin saja karyawan akan menyalurkan komitmennya dalam arah lain, seperti rekan kerja. Oleh karena itu rekan kerja juga sangat berpengaruh dengan kualitas komitmen seseorang dengan organisasi.

Aranya (1981) menyatakan bahwa akuntan sering dihadapkan dengan tuntutan dan tanggung jawab yang saling bertentangan. Sebuah komitmen


(38)

profesional melibatkan kepercayaan, tujuan dan nilai-nilai profesi. Perlu ada kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama profesi dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam profesi.

2.1.5 Intensitas Moral

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Intensitas adalah keadaan tingkatan atau ukuran intens. Sedangkan Moral adalah baik atau buruk yg diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb. Dapat disimpulkan intensitas moral adalah ukuran atau tingkatan baik atau buruk dari sebuah perbuatan, sikap, kewajiban dll.

Intensitas Moral adalah sebuah konstruk yang mencakup karakteristik-karakteristik yang merupakan perluasan dari isu-isu yang terkait dengan isu moral utama dalam sebuah situasi yang akan memengaruhi persepsi individu mengenai masalah etika dan intensi keperilakuan yang dimilikinya, Novius dan Arifin (2008). Jones (1991) mengungkapkan bahwa isu-isu intensitas moral secara signifikan memengaruhi proses pembuatan keputusan moral.

Jones mengidentifikasi bahwa ada enam elemen intensitas moral yang memengaruhi proses pengambilan keputusan meliputi:

1) Besaran konsekuensi (Magnitude of Consequences) didefinisikan sebagai jumlah kerugian (atau manfaat) yang dihasilkan oleh pengorbanan (atau pemanfaatan) dari sebuah tindakan moral.

2) Konsensus Sosial (Social Consensus) didefinisikan sebagai tingkat kesepakatan sosial bahwa sebuah tindakan dianggap salah atau benar.


(39)

24

3) Probabilitas Efek (Probability of Effect) merupakan sebuah fungsi bersama dari kemungkinan bahwa tindakan tertentu akan secara aktual mengambil tempat dan tindakan tersebut akan secara aktual menyebabkan kerugian (manfaat) yang terprediksi.

4) Kesegeraan Temporal (Temporal Immediacy) adalah jarak atau waktu antara saat terjadi dan awal mula konsekuensi dari sebuah tindakan moral tertentu (waktu yang makin pendek menunjukkan kesiapan yang lebih besar). 5) Konsentrasi Efek (Concentration of Effect) adalah sebuah fungsi infers dari

jumlah orang yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah tindakan yang dilakukan. Orang-orang yang memiliki perasaan kepentingan yang tertinggi akan bertindak secara amoral yang akan menghasilkan konsentrasi efek tinggi.

6) Kedekatan (Proximity) adalah perasaan kedekatan (sosial, budaya, psikologi atau fisik) yang dimiliki oleh pembawa moral (moral agent) untuk si pelaku dari kejahatan (kemanfaatan) dari suatu tindakan tertentu. Konstruk kedekatan ini secara intuitif dan alasan moral menyebabkan seseorang lebih peduli pada orang-orang yang berada didekatnya (secara sosial, budaya, psikologi ataupun fisik) daripada kepada orang-orang yang jauh darinya. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Gudono (2007) menyatakan bahwa adanya pengaruh tidak langsung Intensitas Moral terhadap Intensi Keperilakuan melalui masalah etika persepsian lebih tinggi dibandingkan pengaruh langsungnya. Penelitian yang dilakukan oleh Mapuasari (2014) menyatakan bahwa auditor dengan penalaran moral tinggi akan mengurangi


(40)

perasaan ketidaknyamanan dengan mengambil keputusan audit yang paling tepat. Auditor tersebut akan berhati-hati dalam memutuskan karena tidak ingin melanggar kode etik.

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Profesionalisme terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing

Menurut Tjiptohadi (1996) dalam Khikmah (2005) profesionalisme jika dilihat dari bahasanya memiliki beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya. Kedua, profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Dan yang ketiga, profesionalisme berarti moral.

Dalam theory of planned behavior profesionalisme merepresentasikan sikap terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki profesionalisme (dalam dimensi dedikasi terhadap profesi) yang baik akan membentuk keyakinan pada diri sendiri bahwa profesi yang sedang dikerjakan memberikan hal yang baik bagi individu. Seseorang yang memiliki profesionalisme yang kuat cenderung selalu mematuhi kode etik dan norma-norma yang berlaku dengan tujuan untuk menghindari pelanggaran yang mungkin terjadi di masa depan yang dapat membahayakan profesinya. Dengan demikian profesional dapat termotivasi untuk melindungi profesinya dengan melaporkan pelanggaran etika.

Uraian tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Avrila (2015) meneliti mengenai pengaruh profesionalisme terhadap intensi


(41)

26

akuntan publik melakukan whistleblowing dengan hasil profesionalisme berpengaruh terhadap intensi akuntan publik melakukan whistleblowing. Hasil penelitian Taylor dan Curtis (2010) dengan semakin meningkatnya identitas profesional, niat melaporkan pelanggaran atau ketidak etisan pun akan meningkat. Hasil penelitian Sari dan Laksito (2014) pada aspek dedikasi terhadap pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensitas melakukan whistleblowing. Akuntan dengan dedikasi terhadap pekerjaan yang baik cenderung memiliki intensitas melakukan whistleblowing yang tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis pertama sebagai berikut.

H1 : Profesionalisme memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan

melakukan whistleblowing

2.2.2 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing

Komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi karyawan dengan keterlibatan dalam organisasi tertentu, keyakinan yang kuat dalam tujuan organisasi dan nilai-nilai, dan kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi, Porter et al. (1974).

Namun pada situasi tertentu dikemukanan oleh Hewstone dan Willis (2002) dalam Taylor dan Curtis (2010) kesetiaan seorang karyawan terhadap organisasi patut untuk dipertanyakan, apakah karyawan lebih berkomitmen terhadap perusahaan atau pada rekan kerjanya di perusahaan. Dalam situasi khusus, misalnya seorang rekan kerja melakukan tindakan yang tidak etis demi kepentingan pribadi dan melanggar peraturan. Disaat seperti itulah komitmen organisasi dapat diukur. Individu akan melaporkan tindakan tidak etis rekan


(42)

kerjanya karena merasa perusahaan dirugikan dengan tindakan tersebut, atau malah memilih diam.

Dalam theory of planned behavior Variabel komitmen organisasi merepresentasikan komponen norma subyektif. Norma Subyektif adalah persepsi individu tentang perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang signifikan. Dalam hal ini individu akan memikirkan suatu perilaku tertentu dengan sangat benar karena tindakan dan perilaku yang akan dilakukan akan berpengaruh pada penilaian orang lain. Yang dalam konteks akuntan, orang lain tersebut adalah perusahaan, masyarakat, dan organisasi naungan akuntan itu sendiri yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan termasuk rekan kerja. Seseorang yang memang berkomitmen tinggi terhadap organisasi akan lebih memikirkan penilaian dari organisasi (atasan), apabila lebih berkomitmen terhadap rekan kerja maka akan lebih memikirkan penilaian dari rekan kerja. Oleh karena itu apabila seseorang berkomitmen tinggi terhadap organisasi, maka dia bisa saja menjadi whistleblower dengan tujuan yang baik terhadap organisasinya.

Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Curtis (2010) bahwa komitmen organisasi terhadap organisasi, dapat meningkatkan dedikasi seseorang untuk melakukan pelaporan sampai masalah teratasi. Hasil penelitian Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblowing. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis kedua sebagai berikut.

H2 : Komitmen organisasi memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan


(43)

28

2.2.3 Pengaruh Intensitas Moral terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing

Intensitas moral adalah ukuran atau tingkatan baik atau buruk dari sebuah perbuatan, sikap, kewajiban dll. Dalam theory of planned behavior dijelaskan bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu tindakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunya adalah persepsi kontrol perilaku. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat mengontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Pengendalian seorang individu terhadap perilakunya dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan yang ada di sekeliling individu tersebut. Menurut Jones (1991) intensitas moral merupakan salah satu komponen dari proses pengambilan keputusan yang etis. Karena sebelum diambilnya keputusan, individu memikirkan terlebih dahulu seberapa baik dan seberapa buruk dari suatu perilaku yang akan dilakukan.

Selain hal tersebut Jones (1991) juga mengemukakan beberapan elemen yang dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan, meliputi; Besaran Konsekuensi, Konsensus Sosial, Probabilitas Efek, Kesegeraan Temporan, Konsentrasi Efek, Kedekatan. Elemen-elemen tersebut juga digunakan sebagai pertimbangan sebelum seseorang bertindak. Apabila seorang akuntan memiliki moral yang baik, maka akuntan akan melakukan pertimbangan yang matang sebelum menilai baik atau buruk suatu kasus. Apabila whistleblowing memang perlu dilakukan dengan alasan untuk kebaikan dari suatu organisasi atau


(44)

perusahaan dan juga karena tanggung jawab profesi atas organisasi atau perusahaan tempat ia bekerja maka akuntan akan memutuskan untuk melakukan whistleblowing.

Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Taylor dan Curtis (2010) menunjukan bahwa komitmen seseorang terhadap penilaian moral pribadinya, merupakan penentu yang signifikan dari kedua keputusan awal yaitu identitas profesional dan komitmen organisasi untuk melaporkan perilaku tidak etis dari orang lain di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari intensitas moral terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing. Auditor yang memiliki intensitas moral yang tinggi cenderung memiliki intensitas melakukan whistleblowing yang tinggi pula.Mapuasari (2014) juga melakukan penelitian tentang moral dan memperoleh hasil bahwa seseorang dengan penalaran moral tinggi akan mengurangi perasaan ketidaknyamanan dengan mengambil keputusan audit yang paling tepat. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis ketiga sebagai berikut.

H3 : Intensitas moral memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan


(1)

3) Probabilitas Efek (Probability of Effect) merupakan sebuah fungsi bersama dari kemungkinan bahwa tindakan tertentu akan secara aktual mengambil tempat dan tindakan tersebut akan secara aktual menyebabkan kerugian (manfaat) yang terprediksi.

4) Kesegeraan Temporal (Temporal Immediacy) adalah jarak atau waktu antara saat terjadi dan awal mula konsekuensi dari sebuah tindakan moral tertentu (waktu yang makin pendek menunjukkan kesiapan yang lebih besar). 5) Konsentrasi Efek (Concentration of Effect) adalah sebuah fungsi infers dari

jumlah orang yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah tindakan yang dilakukan. Orang-orang yang memiliki perasaan kepentingan yang tertinggi akan bertindak secara amoral yang akan menghasilkan konsentrasi efek tinggi.

6) Kedekatan (Proximity) adalah perasaan kedekatan (sosial, budaya, psikologi atau fisik) yang dimiliki oleh pembawa moral (moral agent) untuk si pelaku dari kejahatan (kemanfaatan) dari suatu tindakan tertentu. Konstruk kedekatan ini secara intuitif dan alasan moral menyebabkan seseorang lebih peduli pada orang-orang yang berada didekatnya (secara sosial, budaya, psikologi ataupun fisik) daripada kepada orang-orang yang jauh darinya. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Gudono (2007) menyatakan bahwa adanya pengaruh tidak langsung Intensitas Moral terhadap Intensi Keperilakuan melalui masalah etika persepsian lebih tinggi dibandingkan pengaruh langsungnya. Penelitian yang dilakukan oleh Mapuasari (2014) menyatakan bahwa auditor dengan penalaran moral tinggi akan mengurangi


(2)

perasaan ketidaknyamanan dengan mengambil keputusan audit yang paling tepat. Auditor tersebut akan berhati-hati dalam memutuskan karena tidak ingin melanggar kode etik.

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Profesionalisme terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing

Menurut Tjiptohadi (1996) dalam Khikmah (2005) profesionalisme jika dilihat dari bahasanya memiliki beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya. Kedua, profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Dan yang ketiga, profesionalisme berarti moral.

Dalam theory of planned behavior profesionalisme merepresentasikan sikap terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki profesionalisme (dalam dimensi dedikasi terhadap profesi) yang baik akan membentuk keyakinan pada diri sendiri bahwa profesi yang sedang dikerjakan memberikan hal yang baik bagi individu. Seseorang yang memiliki profesionalisme yang kuat cenderung selalu mematuhi kode etik dan norma-norma yang berlaku dengan tujuan untuk menghindari pelanggaran yang mungkin terjadi di masa depan yang dapat membahayakan profesinya. Dengan demikian profesional dapat termotivasi untuk melindungi profesinya dengan melaporkan pelanggaran etika.

Uraian tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Avrila (2015) meneliti mengenai pengaruh profesionalisme terhadap intensi


(3)

akuntan publik melakukan whistleblowing dengan hasil profesionalisme berpengaruh terhadap intensi akuntan publik melakukan whistleblowing. Hasil penelitian Taylor dan Curtis (2010) dengan semakin meningkatnya identitas profesional, niat melaporkan pelanggaran atau ketidak etisan pun akan meningkat. Hasil penelitian Sari dan Laksito (2014) pada aspek dedikasi terhadap pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensitas melakukan whistleblowing. Akuntan dengan dedikasi terhadap pekerjaan yang baik cenderung memiliki intensitas melakukan whistleblowing yang tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis pertama sebagai berikut.

H1 : Profesionalisme memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan

melakukan whistleblowing

2.2.2 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing

Komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi karyawan dengan keterlibatan dalam organisasi tertentu, keyakinan yang kuat dalam tujuan organisasi dan nilai-nilai, dan kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi, Porter et al. (1974).

Namun pada situasi tertentu dikemukanan oleh Hewstone dan Willis (2002) dalam Taylor dan Curtis (2010) kesetiaan seorang karyawan terhadap organisasi patut untuk dipertanyakan, apakah karyawan lebih berkomitmen terhadap perusahaan atau pada rekan kerjanya di perusahaan. Dalam situasi khusus, misalnya seorang rekan kerja melakukan tindakan yang tidak etis demi kepentingan pribadi dan melanggar peraturan. Disaat seperti itulah komitmen organisasi dapat diukur. Individu akan melaporkan tindakan tidak etis rekan


(4)

kerjanya karena merasa perusahaan dirugikan dengan tindakan tersebut, atau malah memilih diam.

Dalam theory of planned behavior Variabel komitmen organisasi merepresentasikan komponen norma subyektif. Norma Subyektif adalah persepsi individu tentang perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang signifikan. Dalam hal ini individu akan memikirkan suatu perilaku tertentu dengan sangat benar karena tindakan dan perilaku yang akan dilakukan akan berpengaruh pada penilaian orang lain. Yang dalam konteks akuntan, orang lain tersebut adalah perusahaan, masyarakat, dan organisasi naungan akuntan itu sendiri yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan termasuk rekan kerja. Seseorang yang memang berkomitmen tinggi terhadap organisasi akan lebih memikirkan penilaian dari organisasi (atasan), apabila lebih berkomitmen terhadap rekan kerja maka akan lebih memikirkan penilaian dari rekan kerja. Oleh karena itu apabila seseorang berkomitmen tinggi terhadap organisasi, maka dia bisa saja menjadi whistleblower dengan tujuan yang baik terhadap organisasinya.

Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Curtis (2010) bahwa komitmen organisasi terhadap organisasi, dapat meningkatkan dedikasi seseorang untuk melakukan pelaporan sampai masalah teratasi. Hasil penelitian Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblowing. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis kedua sebagai berikut.

H2 : Komitmen organisasi memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan


(5)

2.2.3 Pengaruh Intensitas Moral terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing

Intensitas moral adalah ukuran atau tingkatan baik atau buruk dari sebuah perbuatan, sikap, kewajiban dll. Dalam theory of planned behavior dijelaskan bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu tindakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunya adalah persepsi kontrol perilaku. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat mengontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Pengendalian seorang individu terhadap perilakunya dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan yang ada di sekeliling individu tersebut. Menurut Jones (1991) intensitas moral merupakan salah satu komponen dari proses pengambilan keputusan yang etis. Karena sebelum diambilnya keputusan, individu memikirkan terlebih dahulu seberapa baik dan seberapa buruk dari suatu perilaku yang akan dilakukan.

Selain hal tersebut Jones (1991) juga mengemukakan beberapan elemen yang dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan, meliputi; Besaran Konsekuensi, Konsensus Sosial, Probabilitas Efek, Kesegeraan Temporan, Konsentrasi Efek, Kedekatan. Elemen-elemen tersebut juga digunakan sebagai pertimbangan sebelum seseorang bertindak. Apabila seorang akuntan memiliki moral yang baik, maka akuntan akan melakukan pertimbangan yang matang sebelum menilai baik atau buruk suatu kasus. Apabila whistleblowing memang perlu dilakukan dengan alasan untuk kebaikan dari suatu organisasi atau


(6)

perusahaan dan juga karena tanggung jawab profesi atas organisasi atau perusahaan tempat ia bekerja maka akuntan akan memutuskan untuk melakukan whistleblowing.

Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Taylor dan Curtis (2010) menunjukan bahwa komitmen seseorang terhadap penilaian moral pribadinya, merupakan penentu yang signifikan dari kedua keputusan awal yaitu identitas profesional dan komitmen organisasi untuk melaporkan perilaku tidak etis dari orang lain di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari intensitas moral terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing. Auditor yang memiliki intensitas moral yang tinggi cenderung memiliki intensitas melakukan whistleblowing yang tinggi pula.Mapuasari (2014) juga melakukan penelitian tentang moral dan memperoleh hasil bahwa seseorang dengan penalaran moral tinggi akan mengurangi perasaan ketidaknyamanan dengan mengambil keputusan audit yang paling tepat. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis ketiga sebagai berikut.

H3 : Intensitas moral memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan


Dokumen yang terkait

Pengaruh komitmen profesional auditor terhadap intensi melakukan whistleblowing dengan retaliasi sebagai variabel moderating

1 16 158

Pengaruh Profesionalisme Audit, Intensitas Moral Untuk Melakukan Tindakan Whistleblowing (Studi Pada KAP di Indonesia)

0 3 9

NASKAH PUBLIKASI Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Auditor Untuk Melakukan Tindakan Whistleblowing (Studi Pada Kantor Akuntan Publik Di Surakarta Dan Yogyakarta).

1 10 21

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSI AUDITOR UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN WHISTLEBLOWING Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Auditor Untuk Melakukan Tindakan Whistleblowing (Studi Pada Kantor Akuntan Publik Di Surakarta Dan Yogyakart

0 3 14

PENDAHULUAN Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Auditor Untuk Melakukan Tindakan Whistleblowing (Studi Pada Kantor Akuntan Publik Di Surakarta Dan Yogyakarta).

0 3 8

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MINAT MAHASISWA AKUNTANSI UNTUK BERKARIR MENJADI AKUNTAN Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Minat Mahasiswa Akuntansi Untuk Berkarir Menjadi Akuntan Publik (Studi Kasus Pada Universitas Sebelas Maret Surakarta

0 1 15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MINAT MAHASISWA AKUNTANSI UNTUK BERKARIR MENJADI AKUNTAN Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Minat Mahasiswa Akuntansi Untuk Berkarir Menjadi Akuntan Publik (Studi Kasus Pada Universitas Sebelas Maret Surakarta

0 1 16

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pasien Melakukan Bypassing ke PPK Tersier.

0 0 2

Pengaruh Dukungan Organisasi Menjembatani Faktor Internal dalam Individu ke Intensi Tindakan Whistleblowing

0 0 18

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPESNGARUHI KOMITMEN ORGANISASI KARYAWAN

0 0 11