Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik, dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak normal pada umumnya. Menurut Efendi yang dikutip oleh
Abdullah (2013), istilah berkebutuhan khusus secara eksplisit ditujukan kepada
anak yang dianggap mempunyai kelainan atau penyimpangan dari kondisi ratarata anak normal umumnya yaitu dalam hal fisik, mental maupun karakteristik
perilaku sosialnya.
2.1.1 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan khusus
dikelompokkan ke dalam kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan
karakteristik sosial.
1. Kelainan Fisik
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ
tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik
tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya
anggota fisik terjadi pada; alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra
pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan
pada fungsi organ bicara (tunawicara); alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot
dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat
gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat

pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya lahir tanpa tangan atau kaki,

10

amputasi dan lain-lain. Kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam
kelompok tunadaksa.
2. Kelainan Mental
Anak dalam aspek kelainan mental adalah anak yang memiliki
penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia
sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu
kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti
kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut
tingkatannya dikelompokkan menjadi: a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid
learner ), b) anak berbakat (gifted), dan c) anak genius (extremely gifted). Anak

yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang
diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah
normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau
layanan secara khusus.
Kecerdasan yang sedemikian rendah menyebabkan anak tunagrahita

mengalami

kesulitan

dalam

penyesuaian

sosial

pada

setiap

fase

perkembangannya. Anak tunagrahita tidak bisa menentukan bagaimana mereka
harus menjaga kesehatan, mengatur pola makan, dan mencegah mereka dari
penyakit yang mengancam kesehatannya. Anak tunagrahita sedang sampai berat
bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri dan cenderung melakukan sesuatu

tanpa memikirkan akibatnya, sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi.
3. Kelainan Perilaku Sosial
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami

11

kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial,
dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan
perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan
lingkungan, pelanggaran hukum atau norma maupun kesopanan (Amin &
Dwidjosumarto, 1979). Menurut Mackie yang dikutip oleh Abdullah (2013), anak
yang termasuk dalam kategori kelainan perilaku sosial adalah anak yang
mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di
rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya.

2.2 Anak Usia Sekolah
Anak sekolah menurut definisi WHO (World Health Organization) yaitu
golongan anak yang berumur antara 7-15 tahun, sedangkan di Indonesia anak
sekolah adalah anak yang berusia 7-12 tahun, memiliki fisik lebih kuat
mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung dengan orang tua.

Kebutuhan gizi anak sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan
pemeliharaan jaringan. Karakteristik anak usia sekolah meliputi:
1. Pertumbuhan tidak secepat bayi
2. Gigi merupakan gigi susu yang tidak permanen (tanggal)
3. Lebih aktif memilih makanan yang disukai
4. Kebutuhan energi tinggi karena aktivitas meningkat
5. Pertumbuhan lambat
6. Pertumbuhan meningkat lagi pada masa pra remaja.

12

Anak usia sekolah pada umumnya banyak memiliki aktivitas bermain
yang menguras banyak tenaga, dengan terjadi ketidakseimbangan antara energi
yang masuk dan keluar, akibatnya tubuh anak menjadi kurus. Untuk mengatasinya
harus mengontrol waktu bermain anak sehingga anak memiliki waktu istirahat
cukup.
2.2.1 Kebutuhan Gizi pada Anak Usia Sekolah
Awal umur 6-7 tahun anak mulai masuk sekolah, dimana anak mulai
banyak berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, dan mulai
mengenal suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya. Hal ini tentu saja

banyak memengaruhi kebiasaan makan mereka. Pengalaman-pengalaman baru,
kegembiraan di sekolah, rasa takut terlambat tiba di sekolah, menyebabkan anakanak ini sering menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan
kepada mereka (Moehji, 2003).
Zat gizi makro maupun zat gizi mikro sangat dibutuhkan anak usia
sekolah untuk proses pertumbuhan dan perkembangan, mempertahankan tubuh
terhadap serangan infeksi, dan meningkatkan kemampuan belajar serta membantu
konsentrasi. Menurut Ingtyas yang dikutip oleh Rahmawati (2013), anak dengan
disabilitas intelektual (tunagrahita) mengalami defisit asupan gizi yaitu
diantaranya energi, protein, zat besi (fe), vitamin A, vitamin B, dan vitamin C.
Marthur (2007) menambahan anak tunagrahita juga mengalami defisit kalsium.
Menurut Rao yang dikutip oleh Rahmawati (2013), pada anak
tunagrahita,

rendahnya

asupan

karbohidrat

dapat


berpengaruh

pada

neurotransmiter (pengantar saraf) otak, produksi serotonin dan triptofan. Asam

13

amino yang terdapat dalam makanan berprotein tinggi dapat memengaruhi fungsi
otak dan kesehatan mental. Hal ini berkaitan dengan dengan neurotransmiter otak.
Asam amino merupakan bahan pembentuk dari beberapa neurotransmiter
dopamin yang tebentuk dari asam amino tirosin. Asupan asam amino yang kurang
dapat menyebabkan terganggunya sintesis dari masing-masing neurotransmiter,
yang mana berhubungan dengan suasana hati (mood) dan sifat agresif anak. Akan
tetapi, penambahan asam amino yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan otak
dan disabilitas intelektual.
Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam
tubuh. Kekurangan zat besi dapat mengakibatkan penurunan kemampuan belajar
karena fungsi neurotransmiter tidak bekerja dengan optimal, anemia gizi besi, dan

menurunkan appetite. Vitamin B6 (piridoksin) berfungsi mencerna protein,
sintesis antibodi, dan berperan pembentukan sel darah merah. Kekurangan
vitamin B6 dapat menyebabkan gangguan protein seperti lemah, mudah tersinggu,
perubahan hati (mood), dan sukar tidur. Kekurangan vitamin C akan
menyebabkan perbaikan jaringan menjadi lambat. Dampak lainnya adalah
gangguan saraf yang diikuti oleh gangguan psikomotor. Kalsium merupakan
mineral yang paling banyak di dalam tubuh dan jumlah paling banyak tersimpan
pada tulang dan gigi. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan.
Aktivitas yang tinggi mulai waktu untuk sekolah, mengerjakan
pekerjaan rumah (PR), dan bermain membuat stamina anak cepat menurun jika
tidak ditunjang dengan intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas.

14

Kebutuhan energi golongan umur 10-15 tahun relatif lebih besar dari pada
golongan umur 7-9 tahun, karena aktivitas dan pertumbuhan yang meningkat,
terutama penambahan tinggi badan. Mulai umur 10-15 tahun, kebutuhan gizi anak
laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Adapun jumlah energi dan protein
yang dianjurkan bagi anak umur 7-15 tahun tertera pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan (Per Orang
Per Hari) Anak Umur 7 –15 Tahun
Golongan
Berat
Tinggi
Energi
Protein
Lemak
Karbohidrat
Umur
(kg)
(cm)
(kkal)
(g)
(g)
(g)
7-9 tahun
27
130
1850

49
72
254
10 –12 tahun 34
142
2100
56
70
289
(laki-laki)
10 –12 tahun 36
145
2000
60
67
275
(perempuan)
13 -15 tahun
46
158

2475
72
88
340
(laki-laki)
13-15 tahun
46
155
2125
69
71
292
(perempuan)
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.75 Tahun 2013

Konsumsi zat gizi seseorang dapat dibandingkan dengan angka kecukupan gizi
rata - rata dengan mencari tingkat konsumsi setiap kategori. Tingkat konsumsi
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Konsumsi zat gizi
Tingkat konsumsi =


x 100%
Angka kecukupan gizi (AKG)

Klasifikasi tingkat konsumsi energi dan protein (TKE dan TKP) adalah sebagai
berikut (WNPG, 2004):
1. Lebih

: > 110% AKG

2. Baik

: 80 – 110 % AKG

3. Kurang : < 80% AKG

15

2.3 Pola Makan
Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan mengonsumsi
bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat memberi gambaran
mengenai kualitas makanan masyarakat. Menurut Lie Goan Hong dalam Sri
Kardjati (2009) yang dikutip oleh Aidina (2015), pola makan adalah berbagai
informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan
makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk
suatu kelompok masyarakat tertentu.
Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, lauk-pauk, buahbuahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan
kebutuhan. Pola makan yang baik dan jenis hidangan makanan yang beraneka
ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun
dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang. Asupan gizi diperoleh dari
mengonsumsi berbagai makanan yang mengandung zat gizi berupa karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, dan mineral. Beberapa zat gizi tersebut akan diubah
menjadi energi dalam tubuh yang nantinya akan digunakan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari.
Menurut Hanum yang dikutip oleh Pohan (2015), permulaaan growth
spurt (pertumbuhan yang cepat) pada anak tidak selalu sama pada umur yang

sama melainkan terdapat perbedaan secara individual. Pertumbuhan yang cepat
biasanya diiringi oleh bertumbuhnya aktivitas fisik sehingga kebutuhan zat gizi
akan naik pula. Pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut kalau
terlambat sekolah menyebabkan anak menyimpang dari kebiasaan makan yang

16

sudah menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan pada
mereka. Sementara kebutuhan energi akan meningkat karena mereka lebih banyak
melakukan aktivitas fisik, misalnya olahraga, bermain dan lain-lain.
2.3.1 Kaitan Pola Makan dengan Status Gizi
Ketidakseimbangan antara asupan makanan dan kebutuhan atau
kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu berupa masalah gizi lebih
maupun gizi kurang. Menurut Istiani (2013), konsumsi makanan seseorang
berpengaruh terhadap status gizi orang tersebut. Status gizi baik terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efesien, sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan
kesehatan secara optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi apabila tubuh
mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah yang berlebihan sehingga
menimbulkan efek toksis atau membahayakan.
2.3.2 Pemberian Makan pada Anak Umur 7-15 Tahun
Anak umur 7-15 tahun sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup.
Tetapi kebutuhan nutrien justru bertambah, karena mereka sering melakukan
berbagai aktivitas, seperti bermain di luar rumah, olahraga, pramuka, dan kegiatan
sekolah lainnya. Kebutuhan energi pada golongan umur 10-15 tahun lebih besar
daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan yang lebih pesat dan
aktivitas yang lebih banyak.
Pemberian makan pada anak bertujuan: 1) memberikan nutrien yang
cukup sesuai dengan kebutuhan, yang dimanfaatkan untuk tumbuh kembang yang

17

optimal, penunjang berbagai aktivitas, dan pemulihan kesehatan setelah sakit; dan
2) mendidik kebiasan makan yang baik, mencakup penjadwalan makan, belajar
menyukai, memilih, dan menentukan jenis makanan yang bermutu (Markum, dkk,
2002).
2.3.3 Pengaturan Makan pada Anak Umur 7-15 Tahun
Jadwal pemberian makan merupakan kelanjutan dari jadwal masa bayi
dengan sedikit penyesuaian, menjadi sebagai berikut: 3 kali makan utama (pagi,
siang, dan malam/sore), diantaranya diberikan makanan kecil atau jajanan, dan
bila mungkin tambahan susu (Markum, dkk, 2002). Secara lebih terinci jadwal
makan yang dianjurkan adalah sebagai berikut.
Tabel 2.2 Contoh Pola Makanan Anak Umur 7-12 Tahun
Umur

7-9 tahun
BB 23kg (1900
kkal)
g
urt
200
1 gelas
100
¾gelas
50
1 butir
50
1 potong
150
1 gelas
50
1 potong
25
1 potong
50
½ gelas
50
1 potong
200
1 gelas

Jam pemberian makan
06.00 : susu + gula
07.00 : nasi 1)
telur
10.00 : kue
12.00 : nasi 1)
hewani 2)
nabati 3)
sayuran
buah
16.00 : bubur kacang
hijau 4)
18.00 : nasi
150
1 gelas
hewani
50
1 potong
nabati
25
1 potong
sayuran
50
½ gelas
buah
50
1 potong
21.00 : susu + gula
200
1 gelas
biskuit 5)
20
2 buah
Sumber : Subbagian Gizi anak FKUI/RSCM

10-12 tahun
BB 30 kg (2100
kkal)
g
urt
200
1 gelas
150
1 gelas
50
1 butir
50
1 potong
200
1 ½ gelas
50
1 potong
25
1 potong
75
¾ gelas
50
1 potong
200
1 gelas
150
50
25
75
50
200
20

1 gelas
1 potong
1 potong
¾ gelas
1 potong
1 gelas
2 buah

18

Keterangan :
1) Dapat diganti dengan makanan penukarnya seperti roti, jagung, kentang, sagu.
2) Diartikan sumber protein hewani : daging, telur, hati, ikan laut, ikan tawar.
3) Diartikan sumber protein nabati : tahu, tempe, kacang-kacangan.
4) Dapat diganti dengan makanan penukar sebanyak 25 gram.
5) Berat biskuit “Regal” : 8-10 gr/buah
Berat biskuit “ Farley” : 15-16 gr/buah
urt : ukuran rumah tangga
g : gram

2.4 Metode Food Recall 24 jam
Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan
jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam
metode ini responden menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24
jam yang lalu (kemarin). Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan
harinya tidak berturut-turut. Menurut Sanjur yang dikutip oleh Supariasa, dkk
(2001). Langkah-langkah pelaksanaan recall 24 jam adalah sebagai berikut:
1. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan
atau minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT)
selama kurun waktu 24 jam yang lalu, kemudian petugas melakukan konversi
dari URT ke dalam ukuran berat (gram).
2. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM).

19

3. Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA)
atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia.
Metode recall 24 jam ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan.
Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut:
1. Mudah melaksanakannya serta tidak membebani responden. Biaya relatif
murah karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas.
2. Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden.
3. Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.
4. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu
sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.
Kekurangan metode recall 24 jam antara lain:
1. Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan
recall satu hari.

2. Ketepatan sangat tergantung pada daya ingat responden. The flat slope
syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan

konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk
cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).
4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih atau terampil dalam
menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut
kebiasaan masyarakat.
5. Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian.
Keberhasilan metode recall 24 jam sangat ditentukan oleh daya ingat
responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara, maka untuk dapat

20

meningkatkan mutu data recall 24 jam dilakukan selama beberapa kali pada hari
yang berbeda (tidak berturut-turut). Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali
(1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif menggambarkan
kebiasaan makanan individu (Supariasa, dkk, 2001).

2.5 Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)
Menurut Supriasa, dkk (2001), secara umum survey konsumsi makanan
dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan tingkat kecukupan bahan
makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Metode
frekuensi makan adalah untuk memperoleh data tetang frekuensi konsumsi
sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama waktu periode tertentu setiap
hari, minggu, bulan atau tahun.
Formulir frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau
makanan dan frekuensi pengguanaan makanan tersebut pada periode waktu
tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang
dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden.
Kelebihan metode food frequency :
1. Relatif murah dan sederhana
2. Dapat dilakukan sendiri oleh responden
3. Tidak membutuhkan latihan khusus
4. Dapat untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dengan kebiasaan makan.

21

Kekurangan metode food frequency:
1. Tidak dapat menghitung intake zat gizi sehari-hari
2. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data
3. Cukup menjemukan bagi pewawancara
4. Perlu membuat pencobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan
makanan yang akan masuk ke dalam daftar kuesioner
5. Responden harus jujur dan mempuyai motivasi yang tinggi.

2.6 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh akibat aktivitas otot-otot skelet
yang mengakibatkan pengeluaran energi. Latihan fisik adalah aktivitas fisik yang
terencana, terstruktur dilakukan berulang-ulang dan bertujuan untuk memperbaiki
dan mempertahankan kebugaran. Menurut Fatmah yang dikutip oleh Pohan
(2015), latihan fisik merupakan bagian dari aktivitas fisik, sedangkan olahraga
adalah aktivitas fisik yang mempergunakan otot-otot besar yang bersifat
kompetitif maupun non kompetitif.
Kenaikan aktivitas fisik biasanya akan menaikkan nafsu makan. Latihanlatihan olahraga menambah nafsu makan pada orang-orang yang aktif secara
normal. Keadaan ini merupakan mekanisme perlindungan tubuh, karena jika
tidak, bila kita berjalan satu jam sehari maka dalam waktu 4-5 tahun, berat tubuh
kita akan habis. Jadi, meningkatnya nafsu makan ini memungkinkan kita
menjalankan latihan-latihan olahraga tanpa merusak kesehatan. Dalam hal ini
tidak berlaku hukum kebalikannya, yaitu jika kita mengurangi aktivitas badan,

22

nafsu makan kita akan menurun. Pada kenyataannya, nafsu makan kita juga akan
bertambah jika kita tidak aktif bergerak. Makan bisa merupakan kebiasaan yang
mungkin disebabkan oleh nervous, misalnya ingin ada kesibukan tangan. Pada
orang yang memiliki sifat yang demikian, melihat televisi sambil duduk saja tanpa
makan, akan merasa tidak enak. Atau misalnya jika sedang berkumpul dengan
teman-teman dan tidak mengerjakan sesuatu maka orang cenderung makan dalam
jumlah banyak (Sumosardjuno, 1986).
Aktivitas fisik rutin dapat memberikan dampak positif bagi kebugaran
seseorang, diantaranya yaitu:
1. Peningkatan kemampuan pemakaian oksigen dan curah jantung
2. Penurunan detak jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan efisiensi kerja
otot jantung
3. Mencegah mortalitas dan morbiditas akibat gangguan jantung
4. Peningkatan ketahanan saat melakukan latihan fisik
5. Peningkatan metabolisme tubuh (berkaitan dengan gizi tubuh)
6. Meningkatkan kemampuan otot, dan
7. Mencegah obesitas.
Jenis aktivitas fisik dibagi ke dalam 2 kategori yaitu aktivitas fisik
terstruktur dan aktivitas fisik tidak terstruktur. Jenis aktivitas fisik terstruktur seperti olahraga. Menurut Suryadi yang dikutip oleh Pohan (2015) aktivitas fisik
dapat diukur dengan metode faktorial, yaitu merinci semua jenis dan lamanya
kegiatan yang dilakukan selama 24 jam (dalam menit) pada lembar kuesioner,
selanjutnya dicocokkan dengan Daftar Nilai Perkiraan Keluaran Energi pada

23

kegiatan tertentu. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24
jam dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik.
PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat
badan dalam 24 jam.
PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
(���×�)
PAL =
Keterangan :

24 ���

PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)
PAR : Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis
kegiatan per satuan waktu tertentu)
w

: Alokasi waktu tiap aktivitas (jam)

Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikategorikan sebagai berikut (FAO/WHO/
UNU, 2001) :
1. Ringan dengan nilai PAL 1,40-1,69
2. Sedang dengan nilai PAL 1,70-1,99
3. Berat dengan nilai PAL 2,00-2,40.
Cara menentukan tingkat aktivitas fisik dengan menghitung seluruh kegiatan yang
dilakukan selama satu hari dengan menggunakan nilai pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.3 Menaksir Pengeluaran Energi Untuk Suatu Aktivitas Fisik
No
1
2

Jenis Kegiatan

Tidur
Kegiatan
Ringan
Sedang
Berat
3 Kegiatan Olahraga
4 Saat-saat Santai
Sumber : Suryadi (2013)

Perkiraan Pengeluaran Energi
Laki-laki
Perempuan
1,0
1,0
1,7
2,7
3,8
6,0
1,4

1,7
2,2
2,8
6,0
1,4

24

Kegiatan ringan hanya memerlukan sedikit tenaga dan biasanya tidak
menyebabkan perubahan dalam pernapasan atau ketahanan, contoh : berjalan kaki,
menyapu lantai, mencuci baju/piring, belajar, les di sekolah, les di luar sekolah,
mengasuh adik, menonton TV, main playstation dan komputer. Kegiatan sedang
membutuhkan tenaga intens atau terus menerus, gerakan otot yang berirama atau
kelenturan, contohnya berlari kecil, tenis meja, berenang, bermain dengan hewan
peliharaan, bersepeda, bermain musik, jalan cepat. Kegiatan berat

biasanya

membutuhkan kekuatan (strength), membuat berkeringat, contohnya berlari,
bermain sepak bola, karate, taekwondo, pencak silat dan outbond.
2.6.1 Kaitan Aktifitas Fisik dengan Status Gizi
Berdasarkan hasil penelitian Sorongan (2012) terdapat hubungan antara
aktivitas fisik dengan status gizi, semakin ringan intensitas aktivitas fisik yang
dilakukan maka berpengaruh terhadap status gizi (IMT/U) lebih bahkan obesitas.
Siswa yang aktivitas fisiknya rendah berpeluang 3,043 kali mengalami obesitas
jika dibandingkan dengan siswa yang memiliki aktivitas fisik tinggi (Utami,
2009). Penelitian yang dilakukan oleh Mayer yang dikutip oleh Sumosardjuno
(1986), mengenai hubungan antara jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh,
latihan olahraga, dan berat badan adalah sebagai berikut:
1. Orang yang tidak banyak aktivitas, makan lebih banyak daripada orang-orang
yang aktivitasnya sedang. dan orang seperti ini beratnya selalu bertambah.
2. Orang-orang yang banyak aktivitas, juga makan lebih banyak daripada orang
yang akivitasnya sedang, tetapi berat badannya lebih ringan daripada orang
yang aktivitasnya sedang.

25

3. Orang yang aktivitasnya sedang, makannya lebih sedikit daripada orang yang
tidak banyak aktivitas dan juga lebih sedikit dari pada orang yang banyak
aktivitas, tetapi berat badannya berada di antara yang tidak banyak aktivitas
dan yang banyak aktivitas.
Penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak yang sangat gemuk
memperlihatkan bahwa mereka makan lebih sedikit atau sama dengan temantemannya yang lain yang tidak gemuk. Anak-anak yang sangat gemuk ini
gerakannya memang sangat kurang. Aktivitas sehari-harinya biasanya dikerjakan
sambil duduk. Dari penelitian di atas, ternyata anak-anak yang gemuk duduk 4
kali lebih lama daripada teman-temannya yang tidak gemuk. Hal ini berlaku baik
untuk pria maupun wanita. Dari penelitian ini disumpulkan bahwa kegemukan
(obesitas) merupakan problema aktivitas fisik, bukan problema makan. Menurut
para ahli di Inggris, dalam hal kegemukan, kemalasan, atau kelambanan lebih
berperan daraipada kerakusan. Menurut Putra (2014), berdasarkan hasil di
lapangan menunjukkan semakin ke atas umur siswa maka status gizinya
cenderung kurus, begitupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan semakin ke atas umur
maka siswa cenderung melakukan aktivitas lebih banyak.

2.7 Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu
(Supariasa, 2001). Menurut Irianto, status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variable tertentu atau dapat dikatakan bahwa status

26

gizi merupakan indikator baik buruknya penyediaan makanan sehari-hari.
Menurut Arisman yang dikutip oleh Suprasetyo (2015) penelitian status gizi pada
dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara
mengumpulkan data penting baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk
dibandingkan dengan buku yang telah tersedia.
Komponen penilaian status gizi diperoleh melalui asupan pangan,
pemeriksaan biokimiawi, pemeriksaan klinis, dan riwayat mengenai kesehatan,
antropometrik, serta data psikososial. Menurut Istiani (2013), konsumsi makanan
seseorang berpengaruh terhadap status gizi orang tersebut. Status gizi baik terjadi
bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efesien,
sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan
kerja dan kesehatan secara optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi apabila
tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih
terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah yang berlebihan sehingga
menimbulkan efek toksis atau membahayakan.
2.7.1 Status Gizi Kurang (Underweight)
Menurut Supariasa (2001), underweight adalah berat badan yang berada
di bawah batas minimum. Kondisi berat badan di bawah batas minimum
mempunyai risiko tinggi penyakit infeksi. Menurut Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
(2007), kekurangan gizi merupakan penyakit tidak menular yang terjadi pada
sekelompok masyarakat di suatu tempat. Umumnya penyakit kekurangan gizi
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menyangkut multidisiplin dan

27

selalu harus dikontrol terutama masyarakat yang tinggal di Negara-negara baru
berkembang.
Anak-anak yang menderita gizi kurang berpenampilan lebih pendek
dengan bobot badan lebih rendah dibandingkan rekan-rekan sebayanya yang sehat
dan bergizi baik (Khomsan, 2004). Laju pertambahan bobot akan lebih banyak
terpengaruh pada kondisi kurang gizi dibandingkan tinggi badan. Bila defisiensi
berlangsung lama dan parah, maka pertumbuhan tinggi badan akan terpengaruh
pula, bahkan proses pendewasaan akan terganggu. Anak-anak yang berasal dari
keluarga dengan tingkat ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang.
Mereka mengkonsumsi makanan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan
anak-anak dari keluarga berada.
Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2007), berdasarkan penyelidikan
dan pengalaman, ada dua hal penting yang berhubungan dengan malnutrisi dan
hal yang perlu diperhatikan dalam usaha memperbaiki status gizi, yaitu: 1) Faktor
makanan saja, 2) Standar hidup secara nasional tinggi.
2.7.2 Status Gizi Berlebih (Overweight dan Obesitas)
Menurut Adams dalam Sudargo yang dikutip oleh Suprasetyo (2015)
obesitas dapat didefinisikan sebagai akibat dari pola makan yang berlebihan.
Menurut Proverawati (2010), obesitas adalah keadaan dimana seseorang memiliki
berat badan yang lebih berat dibandingkan berat badan idealnya yang disebabkan
terjadinya penumpukkan lemak di tubuh. Sedangkan berat badan berlebih

28

(overweight) adalah kelebihan berat badan termasuk di dalamnya otot, tulang,
lemak, dan air.
2.7.2.1 Penyebab overweight dan obesitas
Pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa obesitas berkembang
masih belum lengkap hingga saat ini. Akan tetapi, kelebihan berat badan dan
obesitas dapat dihubungkan dengan perubahan gaya hidup seperti pola makan dan
aktivitas fisik, termasuk hubungan sosial, kebiasaan, budaya, fisiologikal,
metabolisme, dan faktor genetik. Kelebihan berat badan dan obesitas bukan hanya
akibat pola makan yang buruk saja. Obesitas terjadi karena banyak faktor,
menurut Santoso yang dikutip oleh Suprasetyo (2015), antara lain :
1. Faktor genetik
Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya ke generasi
berikutnya di dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali
menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk
pula. Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam
menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini dimungkinkan karena
pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah
besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada
sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahir
pun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar.
2. Kerusakan pada salah satu bagian otak
Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada suatu
bagian otak yang disebut hipotalamus sebuah kumpulan inti sel dalam otak

29

yang langsung berhubungan dengan bagian-bagian lain otak dan kelenjar otak.
Hipotalamus mengandung lebih banyak pembuluh darah daripada daerah lain
pada otak, sehingga lebih mudah dipengaruhi oleh unsur kimiawi dari darah.
Dua bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu
hipotalamus lateral (HL) yang menggerakan nafsu makan (awal atau pusat

makan), hipotalamus ventromedial (HVM) yang bertugas menitangi nafsu
makan (pemberhentian atau pusat kenyang). Dan hasil penelitian didapatkan
bahwa bila HL rusak atau hancur maka individu menolak untuk makan atau
minum, dan akan mati kecuali dipaksa diberi makan dan minum (diberi infus),
sedangkan bila kerusakan terjadi pada bagian HVM maka seorang akan
menjadi rakus dan kegemukan.
3. Pola makan berlebihan
Orang yang gemuk dan obesitas lebih responsif dibanding dengan orang
berberat badan normal terhadap saraf lapar eksternal, seperti rasa dan bau
makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila
merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia merasa lapar. Pola makan
berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dan kegemukan
jika individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk
mengurangi berat badan. Dengan asupan kalori yang melebihi jumlah kalori
yang keluar, maka kelebihannya disimpan dalam tubuh menjadi timbunan
lemak yang tersebar di bagian-bagian tertentu seperti pinggang, perut, lengan
bagian atas, dan bagian tubuh lainnya.

30

4. Kurang gerak dan olahraga
Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian
berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor: 1) tingkat aktivitas
dan olahraga secara umum, 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi
yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh. Kedua faktor
tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari
pengeluaran energi orang normal. Meski aktivitas fisik hanya memengaruhi
sepertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang
yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memilik peran yang sangat
penting. Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka
semakin banyak kalori

yang hilang. Kalori secara tidak langsung

mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian
akan mengalami penurunan metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas
gerak akan menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan
olahraga menjadi sangat sulit dan kurang dapat diminati, dan kurangnya
olahraga secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme
basal tubuh orang tersebut. Jadi olahraga sangat penting dalam penurunan berat
badan tidak hanya dapat membakar kalori, melainkan juga dapat membantu
mengatur berfungsinya metabolisme secara normal.
5. Pengaruh emosional
Ada pandangan yang menyatakan bahwa obesitas bermula dari masalah
emosional yang tidak teratasi. Orang-orang haus akan cinta kasih, seperti anakanak. Makanan dianggap sebagai simbol kasih sayang ibu. Kelebihan makan

31

dapat juga sebagai subtitusi kepuasan lain yang tidak tercapai dalam
kehidupannya. Walaupun penjelasan demikian cocok pada beberapa kasus,
namun sebagian orang yang kelebihan berat badan tidak lebih terganggu secara
psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan normal.
Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa orang gemuk biasanya tidak
bahagia,

namun

sebenarnya

ketidakbahagiaan/tekanan

batinnya

lebih

diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Sebab, dalam suatu masyarakat
sering kali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga orang gemuk
cenderung malu dengan penampilannya dan kesulitan mengendalikan diri
terutama dalam hal yang berhubungan dengan perilaku makan.
6. Lingkungan
Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi seorang untuk menjadi
gemuk. Jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk
adalah simbol kemakmuran dan keindahan, maka orang tersebut akan
cenderung untuk kegemukan. Selama pandangan tersebut tidak dipengaruhi
oleh faktor eksternal, maka orang yang obesitas tidak akan mengalami
masalah-masalah psikologi sehubungan dengan kegemukan.

2.8 Penilaian Status Gizi Anak Usia Sekolah
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan pelaksanaan
perbaikan gizi adalah dengan menentukan atau melihat. Ukuran fisik seseorang
sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar itu, ukuran-ukuran yang
baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi dengan melakukan

32

pengukuran antropometri. Hal ini karena lebih mudah dilakukan dibandingkan
cara penilaian status gizi lain, terutama untuk daerah pedesaan (Supariasa, dkk.,
2001).
Pengukuran status gizi pada anak sekolah dapat dilakukan dengan cara
antropometri. Saat ini pengukuran antropometri (ukuran-ukuran tubuh) digunakan
secara luas dalam penilaian status gizi, terutama jika terjadi ketidakseimbangan
kronik antara intake energi dan protein. Menurut Riyadi yang dikutip oleh
Damanik (2011), pengukuran antropometri terdiri atas dua dimensi, yaitu
pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Komposisi tubuh mencakup
komponen lemak tubuh (fat mass) dan bukan lemak tubuh (non-fat mass).
Menurut Supariasa, dkk (2002), antropometri adalah ukuran tubuh
manusia. Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk
menilai status gizi anak adalah indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U),
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), Indeks Massa Tubuh menurut Umur
(IMT/U) (Depkes RI, 1995)
1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat

badan merupakan salah satu

ukuran antropometri

yang

memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh
sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak misalnya karena penyakit
infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunya makanan yang dikonsumsi
maka berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Dalam

33

keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake
dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan
umur. Sebaliknya keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan
berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau berkembang lebih lambat dari
keadaan normal. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U
lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini (current nutritional
status).

2. Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan
pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan
dangan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat
yang cukup lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau,
dan dapat juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi
masyarakat. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah, menggambarkan status
gizi masa lamapau atau pada masa balitanya. Masalah penggunaan indeks TB/U
pada masa balita, baik yang berkaitan dengan kesahlian pengukuran tinggi badan
maupun ketelitian data umur. Kategori dan ambang batas status gizi berdasarkan
TB/U adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2011):
1. Sangat pendek : < -3 SD
2. Pendek : - 3 SD s/d < -2 SD

34

3. Normal : - 2 SD s/d 2 SD
4. Tinggi

: > 2SD

3. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011),
pengukuran status gizi anak sekolah dapat dilakukan dengan indeks antropometri
dan menggunakan Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U) yaitu untuk anak
umur 5-18 tahun. Kategori dan ambang batas status gizi anak sekolah berdasarkan
IMT/U adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2011):
1. Sangat kurus

: < -3 SD

2. Kurus

: -3 SD s/d < -2 SD

3. Normal : -2 SD s/d 1 SD
4. Gemuk : > 1 SD s/d 2 SD
5. Obesitas : > 2 SD

2.9 Kerangka Konsep

Pola makan
- Susunan makanan
- Jumlah makanan
- Frekuensi makanan
Status gizi
> - IMT/U
- TB/U
Aktivitas fisik

Gambar 2.1 Kerangka konsep pola makan, aktivitas fisik, dan status gizi

Dokumen yang terkait

Hubungan Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Anak Kelas V Dan VI Di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amalyyah

12 125 193

Pola Makan dan Status Gizi Anak Sekolah Dasar di Desa Perbukitan dan di Desa Tepi Danau Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2010

2 58 78

Gambaran Ketahanan Pangan Keluarga Dan Status Gizi Anak Balita di Desa Tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2010

1 44 90

Hubungan Pengetahuan, Sikap, Tindakan Sarapan Dengan Status Gizi Dan Indeks Prestasi Anak Sekolah Dasar Di SD Negeri NO.101835 Bingkawan Kecamatan Sibolangit Tahun 2009

1 55 69

Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik, dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat Tahun 2016

2 30 120

Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik, dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat Tahun 2016

0 0 17

Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik, dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat Tahun 2016

0 0 2

Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik, dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat Tahun 2016

0 0 8

Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik, dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat Tahun 2016

0 2 3

Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik, dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat Tahun 2016

0 0 24