Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Miskin (Studi pada Masyarakat di Pemukiman Kumuh Jalan Tirtosari Ujung, Kecamatan Medan Tembung)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Konsep dan Indikator Kemiskinan
Bila di tinjau dari pihak yang mempersoalkan dan mencoba mencari solusi
atas masalah kemiskinan, kemiskinan merupakan masalah pribadi, keluarga,
masyarakat, Negara, bahkan dunia. Masyarakat melalui berbagai lembaga telah
memberikan perhatian sehubungan dengan penanggulangan masalah kemiskinan.
Terlebih pribadi dan keluarga yang secara langsung merasakan pahitnya
kemiskinan itu, tentu memiliki agenda tertentu dalam upaya mengakhiri
penderitaan sebagai akibat dari kemiskinan. Namun masalah kemiskinan masih
tetap eksis, bahkan dalam periode tertentu justru menunjukkan peningkatan.
Kemiskinan identik dengan suatu penyakit. Oleh karena itu langkah pertama
penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu
masalah. Untuk memahami masalah kemiskinan, kita perlu memandang
kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan
kemiskinan sebagai suatu proses (Siagian, 2012:2).
Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta di mana seseorang
atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak
sebagai manusia disebabkan ketidakmampuannnya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Maksudnya dalam menjelaskannya kita harus terlebih dahulu
menyatakan
fakta
yang
menggambarkan
kondisi
kehidupannya,
bukan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara sebagai suatu
proses, kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup
21
Universitas Sumatera Utara
seseorang atau sekelompok orang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok
tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu
mencapai taraf kehidupan yang di anggap layak sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Bagaimana pun, keadaan yang dijalani manusia
bukan hanya ditentukan oleh diri sendiri, melainkan ditentukan juga oleh banyak
faktor, baik internal maupun eksternal. Dalam konteks ini, ada kalanya faktor
internal seperti pengetahuan, keterampilan, etos kerja dan/atau prinsip hidup
seseorang atau sekelompok orang memiliki daya dukung yang cukup untuk
menjadikannya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak masuk ke
dalam perangkap kemiskinan. Demikian halnya dengan faktor eksternal, seperti
keadaan dan kualitas alam, struktur sosial maupun kebijakan pemerintah yang ada
kalanya memiliki daya dukung yang cukup untuk menjadikan seseorang atau
sekelompok orang itu mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak
masuk ke dalam perangkap kemiskinan (Siagian, 2012:4).
Mencher (dalam Kemiskinan dan Solusi 2012:5) mengemukakan,
kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok
orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau
sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka
tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. Hal yang cukup menarik dari apa
yang di kemukakan Mencher adalah bahwa dalam upaya mencapai taraf hidup
yang layak, seseorang atau sekelompok orang membutuhkan dukungan, baik dari
diri sendiri yang pada uraian sebelumnya diidentifikasikan sebagai faktor internal
maupun wilayah, yang dalam hal ini merupakan faktor eksternal. Sedangkan
Castells (dalam Kemiskinan dan Solusi 2012:10) mengemukakan, kemiskinan
22
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan
hidup minimum agar manusia dapat bertahan hidup. Adapun standar kebutuhan
minimum dimaksud pada umumnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok
pangan. Cara ini ditempuh karena kebutuhan pokok pangan inilah yang
mengakibatkan sekaligus merupakan sumber dari manusia untuk memiliki
kemampuan yang cukup untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas hidup dengan
sehat.
2.1.1. Defenisi Kemiskinan
Secara ilmiah defenisi diartikan sebagai batasan arti. Rumusan defenisi
membantu kesulitan yang dihadapi dalam merumuskan pengertian yang
komprehensif dan sempurna tentang suatu konsep, yang dalam hal ini adalah
kemiskinan (Siagian, 2012:25). Berikut ini disajikan beberapa defenisi
kemiskinan:
1. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kemiskinan adalah situasi
penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan,
pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan
tingkat kehidupan yang minimum. (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
2008)
2. Jika ditinjau dari standar kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan
kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok atau kebutuhan-kebutuhan
dasar yang disebabkan kekurangan barang-barang dan pelayananpelayanan yang dibutuhkan dalam upaya memenuhi standar hidup yang
layak.
23
Universitas Sumatera Utara
3. Jika ditinjau dari pendapatan, maka kemiskinan adalah kondisi kurangnya
pendapatan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
4. Jika ditinjau dari kesempatan, maka kemiskinan merupakan dampak dari
ketidaksamaan kesempatan memperoleh dan mengakumulasikan basisbasis kekuatan sosial seperti keterampilan, informasi dan pengetahuan,
jaringan-jaringan sosial, organisasi-organisasi sosial dan politik, dan
sumber-sumber modal sebagai upaya pengembangan hidup (Matias
Siagian, 2012).
5.
Jika ditinjau dari penguasaan sumber-sumber, kemiskinan merupakan
keterlantaran yang disebabkan oleh penyebaran yang tidak merata dari
sumber-sumber, termasuk didalamnya pendapatan (Sjahrir, 1986).
6. Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi
hak-hak dasar dalam rangka memepertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. (Bappenas, dalam Esmara, 1995)
7. Kemiskinan merupakan kondisi yang dialami manusia saat mana jumlah
rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kurang
dari 2.100 kalori perkapita. (Esmara, 1995)
2.1.2. Aspek-aspek Kemiskinan
Banyak pihak merasa telah memahami kemiskinan itu, namun
sesungguhnya belumlah memahaminya secara holistik. Hal inilah yang
menyebabkan kemiskinan itu merupakan suatu masalah yang sangat sulit dicari
dan diaplikasikan langkah-langkah penyelesaiannya. Langkah pertama yang tepat
dilakukan dalam upaya memahami kemiskinan secara holistik adalah dengan
24
Universitas Sumatera Utara
melakukan kajian tentang aspek-aspek kemiskinan itu sendiri (Supriatna
2000:126), yaitu:
1. Kemiskinan itu multi dimensi.
Sifat kemiskinan sebagai suatu konsep yang multi dimensi berakar
dari kondisi kebutuhan manusia yang beranekaragam. Akibatnya, jika
mengemukakan seseorang atau sekelompok orang itu miskin, masih akan
menimbulkan pertanyaan: apanya yang miskin atau miskin apa? Sebagai
contoh, ditinjau dari segi kebijakan umum, maka kemiskinan itu meliputi
aspek-aspek primer seperti miskin akan asset-asset, organisasi-organisasi
sosial, kelembagaan-kelembagaan sosial, berbagai pengetahuan serta
berbagai keterampilan yang dianggap dapat mendukung kehidupan
manusia. Sedangkan aspek sekundernya antara lain adalah miskinnya
informasi, jaringan sosial dan sumber-sumber keuangan yang kesemuanya
merupakan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai jembatan
memperoleh
suatu
fasilitas
yang
dapat
mendukung
upaya
mempertahankan, bahkan meningkatkan kualitas hidup.
2. Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Sebagai konsekwensi logisnya, kemajuan atau kemunduran pada
salah satu aspek dapat mengakibatkan kemajuan atau kemunduran pada
aspek lainnya. Justru kondisi seperti inilah yang mengakibatkan tidak
mudahnya menganalisis kemiskinan itu menuju pada pemahaman yang
komprehensif.
3. Kemiskinan itu adalah fakta yang terukur.
25
Universitas Sumatera Utara
Fenomena yang sering kita temui adalah, pendapatan yang
diperoleh sekelompok orang yang bermukim ditempat yang sama boleh
sama, namun kualitas individu atau keluarga yang di miliki mungkin saja
berbeda. Keadaan yang demikian sering mengkondisikan kita untuk
mengidentifikasi kemiskinan sebagai sesuatu yang serba abstrak dan tidak
mungkin di ukur. Ada pula yang cenderung menyatakan kemiskinan itu
sebagai abstraksi dari perasaan sehingga mustahil untuk diukur. Cara
berpikir seperti ini harus dicegah karena akan menjauhkan kita dari
pemahaman yang benar dan holistik tentang kemiskinan itu sehingga kita
pun mustahil dapat menemukan solusi. Ada beberapa hal yang
mengindikasikan kepada kita bahwa kemiskinan itu benar-benar fakta
yang terukur. Demikian terukurnya kemiskinan itu sehingga dapat
diklasifikasi ke dalam berbagai tingkatan seperti: miskin, sangat miskin
dan sangat miskin sekali. Demikian halnya dengan BKKBN yang sering
mengklasifikasikan kondisi kehidupan masyarakat ke dalam berbagai
tingkat seperti: prasejahtera, sejahtera 1 dan sejahtera 2.
4. Bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual maupun
kolektif.
Kita sering mendengar istilah kemiskinan perdesaan (rural
poverty), kemiskinan perkotaan (urban poverty), dan sebagainya. Berbagai
istilah tersebut bukanlah berarti bahwa yang mengalami kemiskinan itu
adalah desa atau kota. Kondisi desa dan kota itu merupakan penyebab
kemiskinan bagi manusia. Dengan demikian pihak yang menderita miskin
26
Universitas Sumatera Utara
hanyalah manusia, baik secara individual maupun kelompok, dan bukan
wilayah.
2.1.3. Gejala-Gejala Kemiskinan
Untuk memahami kemiskinan secara akurat dan komprehensif diperlukan
data yang lengkap dan valid. Upaya seperti ini menuntut waktu yang panjang,
bahkan tenaga maupun dana yang besar. Akibatnya jarang dilakukan dan sangat
sedikit pihak yang melakukannya. Upaya memahami kemiskinan lebih sering
dilakukan dengan cara atau pendekatan lain (Suparlan, 1983:84), misalnya
melalui gejala-gejala kemiskinan, seperti:
1. Kondisi Kepemilikan Faktor Produksi.
Kemiskinan tidak datang secara serta merta. Demikian halnya dengan
pendapatan, juga tidak datang secara serta merta. Semuanya melalui
saluran, sumber dan proses tertentu. Dengan demikian, salah satu
pendekatan untuk mengetahui kemiskinan adalah mengetahui pekerjaan
atau mata pencaharian, apa alat atau faktor yang digunakan saat bekerja
dalam upaya mendapatkan pencaharian itu. Pemahaman akan berbagai hal
tersebut merupakan jalan bagi kita untuk mengetahui apakah seseorang
atau sekelompok orang tersebut miskin atau tidak.
2. Angka Ketergantungan Penduduk.
Secara teoritis memang di kenal banyak sumber pendapatan,
seperti hasil usaha atau keuntungan, upah, bunga tabungan dan lain-lain.
Namun bagi mayoritas masyarakat, ada satu kalimat yang berlaku secara
umum: orang hanya akan memiliki pendapatan jika bekerja. Namun pada
kenyataannya, angka ketergantungan dalam masyarakat atau keluarga
27
Universitas Sumatera Utara
sangat tinggi. Dalam sebuah keluarga dengan empat orang anak atau lebih,
misalnya sering hanya satu orang yang bekerja, sedangkan lima orang
menggantungkan hidupnya pada satu orang. Gejala seperti ini sangat
umum dalam Negara yang menawarkan lapangan atau kesempatan kerja
yang kecil seperti Indonesia. Tingginya angka ketergantungan di Indonesia
sangat nyata, dimana bekerja di Negara lain saat ini menjadi alternatif,
termasuk bagi tenaga yang tidak terampil.
3. Kekurangan Gizi.
Pendapatan merupakan unsur yang secara langsung dapat digunakan
sebagai alat memenuhi kebutuhan agar seseorang itu dapat hidup secara
layak. Pemenuhan kebutuhan tentu dilakukan secara hierarkis, mulai dari
kebutuhan fisik, sebagai unsur yang menempati prioritas utama dari
berbagai unsur yang termasuk kebutuhan pokok. Laporan dari berbagai
institusi seperti dinas kesehatan, puskesmas maupun rumah sakit sering
menggambarkan status gizi masyarakat. Berbagai media massa sering
menginformasikan tentang kondisi masyarakat yang kurang gizi. Informasi
ini merupakan gejala sangat miskinnya seseorang atau sekelompok orang.
Masalahnya, berbagai unsur terdapat dalam kebutuhan pokok, dimana
kebutuhan fisik merupakan kebutuhan yang paling utama. Oleh krena itu,
tidak terpenuhinya kebutuhan fisik yang mengakibatkan seseorang atau
sekelompok orang itu teridentifikasi kekurangan gizi menjadi gejala
betapa miskinnya seseorang atau sekelompok orang itu.
4. Pendidikan yang rendah.
28
Universitas Sumatera Utara
Di era modern sekarang ini, pendidikan dianggap sebagai sesuatu
yang penting. Pendidikan bahkan telah dianggap sebagai indikator utama
kedudukan dalam masyarakat. Berbagai kebijakan telah ditetapkan
pemerintah dalam rangka membuka dan mempermudah akses masyarakat
terhadap pendidikan. Namun hingga saat ini pendidikan masih belum
gratis, bahkan masih cukup mahal, terutama pendidikan dengan kualitas
dan tingkat yang tinggi. Di usia kemerdekaan Negara kita yang bagaikan
manusia yang makin dewasa, kesadaran akan pentingnya pendidikan
semakin meningkat. Oleh karena itu, rendahnya pendidikan yang dimiliki
masyarakat bukanlah disebabkan oleh kesadaran atas pendidikan yang
rendah, melainkan disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan. Dengan demikian pendidikan yang rendah juga
merupakan gejala kemiskinan.
2.1.4. Karakteristik Penduduk Miskin
Sulit memperoleh informasi secara jelas dan akurat berkaitan dengan
indikasi-indikasi seperti apa yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk
menyatakan secara akurat, bahwa orang-orang seperti apa yang dapat
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Emil Salim (dalam Supriatna 2000:124)
mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin, kelima karakteristik
penduduk miskin tersebut adalah:
a. Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri.
b. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan
kekuatan sendiri.
c. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah.
29
Universitas Sumatera Utara
d. Banyak di antara mereka tidak mempunyai fasilitas.
e. Di antara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan
atau pendidikan yang memadai.
Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat perdesaan dan
perkotaan, pada umumnya dapat digolongkan, pada buruh tani, petani gurem,
pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang
asongan, pemulung, gelandangan dan pengemis dan pengangguran. Pada
umumnya penduduk yang tergolong miskin adalah golongan residual yaitu
sebagian masyarakat yang belum disentuh dengan berbagai kebijakan pemerintah
secara terkonsentrasi.
Menurut Siagian (2012:114), secara umum faktor-faktor penyebab
kemiskinan secara kategoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya
terdiri dari dua bagian besar,yaitu:
1. Faktor Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang
mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk
kekurangmampuan, yang meliputi:
a. Fisik, misalnya cacat, kurang gizi dan sakit-sakitan.
b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan dan miskinnya
informasi.
c. Mental Emosional atau Temperamental, seperti: malas, mudah menyerah
dan putus asa.
d. Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.
e. Sosial Psikologis, seperti: kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi,
stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.
30
Universitas Sumatera Utara
f. Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan
tuntutan lapangan kerja.
g. Asset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,
tabungan, kendaraan dan modal kerja.
2. Faktor Eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang
mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu
menjadikannya miskin, meliputi:
a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.
b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat
memenuhi kebutuhan hidup.
c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya
usaha-usaha sektor informal.
d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga
yang tidak mendukung sektor usaha mikro.
e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor
rill masyarakat banyak.
f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang
belum optimal, seperti zakat.
g. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.
h. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.
i. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.
j. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.
k. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.
31
Universitas Sumatera Utara
Sulit memperoleh informasi yang jelas mengenai indikasi-indikasi seperti
apa yang dapat digunakan untuk melihat bahwa seorang individu ataupun
kelompok masyarakat itu miskin atau tidak miskin (Siagian 2012:20). Namun
demikian suatu studi menunjukkan adanya lima ciri-ciri kemiskinan, yakni:
1. Mereka yang hidup di bawah kemiskinan pada umumnya tidak memiliki
faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup luas, modal yang memadai,
ataupun keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu aktivitas
ekonomi sesuai dengan mata pencahariannya.
2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan atau peluang untuk
memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri.
3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, misalnya tidak sampai tamat SD,
atau hanya tamat SD. Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap
wawasan mereka. Beberapa penelitian antara lain menyimpulkan bahwa
waktu mereka pada umumnya habis tersita hanya semata-mata untuk mencari
nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar atau meningkatkan
keterampilan. Demikian juga anak-anak mereka, tidak dapat menyelesaikan
sekolahnya, karena harus membantu orang tua mencari tambahan
pendapatan.
4. Pada umumnya mereka masuk ke dalam kelompok penduduk dengan
kategori setengah menganggur. Pendidikan dan keterampilan yang sangat
rendah mengakibatkan akses masyarakat miskin ke dalam berbagai sektor
formal bagaikan tertutup rapat. Akibatnya mereka terpaksa memasuki sektorsektor informal. Bahkan pada umumya mereka bekerja serabutan maupun
musiman.
32
Universitas Sumatera Utara
5. Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda, tetapi tidak
memiliki keterampilan atau pendidikan yang memadai. Sementara itu kota
tidak siap menampung gerak urbanisasi dari desa yang makin deras. Artinya,
laju investasi diperkotaan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan tenaga
kerja sebagai akibat langsung dari derasnya arus urbanisasi.
Dalam rangka penetapan sasaran pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir
miskin, Departemen Sosial (2006) mencoba merumuskan indikator yang
merefleksikan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya ada pada masyarakat.
Hasilnya adalah dirumuskannya indikator untuk menentukan masyarakat yang
tergolong fakir miskin, meliputi:
1. Penghasilan rendah atau berada dibawah garis sangat miskin yang di ukur
dari tingkat pengeluaran perorangan perbulan berdasarkan standar BPS
perwilayah provinsi dan kabupaten/kota.
2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/
beras untuk miskin/ santunan sosial).
3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun
(hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap perorang pertahun).
4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit.
5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar Sembilan tahun bagi anakanaknya.
6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual
untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan.
33
Universitas Sumatera Utara
7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40
tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.
8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf.
9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
10. Luas rumah kurang dari 4 meter persegi.
11. Kesulitan air bersih.
12. Rumahnya tidak mempunyai sirkulasi udara.
13. Sanitasi lingkungan yang kumuh (tidak sehat) (Departemen Sosial).
2.2.
Konsep Strategi Bertahan Hidup
manusia
seperti
mahluk
lainnya,
mempunyai
naluri
untuk
mempertahankan hidupnya dan hidup lebih lama. Usaha ini dikendalikan oleh
aturan pokok dari hidup yaitu, hidup dalam situasi apapun dengan lebih
berkualitas daripada sebelumnya. Ini adalah ide dasar dari bertahan hidup.
Bagaimanapun, untuk meraih tujuan ini seseorang harus menerapkan banyak
taktik untuk hidup, dimanifestasikan dalam satu kesatuan sistematis. Untuk
memahami apa itu strategi bertahan hidup, seseorang harus memahami dulu
konsep dari strategi. Berdasarkan analisis kebijakan sosial, strategi adalah satu set
pilihan dari alternatif-alternatif yang ada. Sebagai bagian dari teori pilihan
rasional, analisis strategi tidak hanya dapat digunakan dalam medan kehidupan
ekonomi, tetapi juga dalam medan politik, kekuasaan dan pembangunan.
Strategi bertahan hidup sebenarnya dibangun pada level individu, akan
tetapi pada tujuannya adalah untuk memperoleh ketahanan dan stabilitas bertahan
hidup rumah tangga. Bertahan hidup bisa dipandang sebagai pemasukan dalam
34
Universitas Sumatera Utara
bentuk uang atau sumber-sumber kehidupan agar seseorang dapat melanjutkan
eksistensinya. Selain itu bertahan hidup bisa dipandang sebagai perpaduan antara
kegiatan sosial dan ekonomi yang bertujuan menjaga eksistensi manusia.
Termasuk didalamnya segala usaha yang dipersiapkan untuk menghadapi situasisituasi penting dan bertahan dalam keadaan sulit. Kegiatan strategi individu tidak
benar-benar terpisahkan dari pengaruh aturan-aturan yang kuat dan organisasiorganisasi dimana anggota masyarakat harus menurutinya. Suatu kegiatan dapat
dikatakan strategi bertahan hidup ketika kegiatan diarahkan pada kebutuhankebutuhan penting yang diperlukan sekali untuk mempertahankan dan
melanjutkan eksistensi
Berdasarkan sudut pandang tingkah laku manusia, seseorang selalu perlu
untuk menyesuaikan diri atau mengadaptasikan perilakunya sesuai perubahan
situasi agar dapat bertahan hidup. Dengan kata lain, seseorang tidak akan pernah
bisa mempertahankan hidupnya apabila tidak bisa mengubah tingkah lakunya.
Pada saat perubahan berjalan sangat cepat, seseorang tidak dapat bertahan hidup
apabila terlalu lama memegang struktur lama serta menolak nilai-nilai dalam
struktur
baru.
Kelanjutan
hidup
seseorang
hanya
akan
tercapai
jika
pengadaptasian tindakan bertahan hidup dilakukan (Tina Suhartini, 2008: 20-23).
Snel dan Staring (dalam Resmi Setia 2005:6) mengemukakan bahwa
strategi bertahan hidup adalah sebagai rangkaian tindakan yang dipilih secara
standar oleh individu dan rumah tangga yang miskin secara sosial ekonomi.
Melalui strategi ini seseorang bisa berusaha untuk menambah penghasilan lewat
pemanfaatan sumber-sumber lain ataupun mengurangi pengeluaran lewat
pengurangan kuantitas dan kualitas barang dan jasa. Cara-cara individu menyusun
35
Universitas Sumatera Utara
strategi dipengaruhi oleh posisi individu atau kelompok dalam struktur
masyarakat, sistem kepercayaan dan jaringan sosial yang dipilih, termasuk
keahlian dalam memobilisasi sumber daya yang ada, tingkat keterampilan,
kepemilikan asset, jenis pekerjaan, status gender dan motivasi pribadi. Nampak
bahwa jaringan sosial dan kemampuan memobilisasi sumber daya yang ada
termasuk didalamnya mendapatkan kepercayaan dari orang lain membantu
individu dalam menyusun strategi bertahan hidup.
Dalam menyusun strategi, individu tidak hanya menjalankan satu jenis
strategi saja, sehingga kemudian muncul istilah multiple survival strategies atau
strategi bertahan jamak. Selanjutnya Snel dan Staring mengartikan hal ini sebagai
kecenderungan pelaku-pelaku atau rumah tangga untuk memiliki pemasukan dari
berbagai sumber daya yang berbeda, karena pemasukan tunggal terbukti tidak
memadai untuk menyokong kebutuhan hidupnya. Strategi yang berbeda-beda ini
dijalankan secara bersamaan dan akan saling membantu ketika ada strategi yang
tidak bisa berjalan dengan baik. (dalam jurnal Nur Hidayah, halaman 3-4).
2.3.
Strategi Adaptasi (Coping Strategies)
Dodds
(dalam
Herlin
Widiani
2011:22)
mengemukakan
bahwa
pada esensinya, strategi coping adalah strategi yang digunakan individu untuk
melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan tuntutan
yang dibebankan
lingkungan
kepadanya.
Secara spesifik,
sumber-sumber
yang memfasilitasi coping itu mencakup sumber-sumber personal (yaitu
karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-esteem atau keterampilan
sosial) dan sumber-sumber lingkungan seperti dukungan sosial dan keluarga atau
36
Universitas Sumatera Utara
sumber financial (Harrington & Mcdermott, 1993). Friedman (dalam A Amelia
2011) mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk
adaptasi dalam menghadapi tekanan dan ancaman. (http://repository.usu.ac.id/bitst
ream/123456789/22179/3/ChapterII.pdf)
Suparlan (dalam Dhini 2009:35) mengatakan adaptasi pada hakikatnya
adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk dapat
melangsungkan hidup. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup:
a. Syarat dasar alamiah, biologi (manusia harus makan dan minum untuk
menjaga kestabilan temperature tubuhnya untuk tetap berfungsi dalam
hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh
lainnya).
b. Syarat dasar kejiwaan, manusia memerlukan perasaan tenang yang jauh
dari perasaan-perasaan takut, keterpencilan, gelisah dan lain-lain.
c. Syarat dasar sosial, manusia membutuhkan hubungan untuk dapat
melangsungkan keturunan untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar
mengenai kebudayaannya.
Vembrianto (dalam Dhini 2009:36) menambahkan adaptasi yang
dilakukan manusia lewat tingkah lakunya dapat menerangkan reaksi-reaksi
terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungannya. Karena manusia hidup dalam
masyarakat, maka tingkah lakunya
tentu saja merupakan adaptasi terhadap
tuntutan masyarakat sosial sekitarnya. Soekanto (dalam Dhini 2009:36)
memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial yakni:
1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
37
Universitas Sumatera Utara
3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4. Mengubah agar kondisi sesuai dengan kondisi yang ciptakan.
5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan
lingkungan dan sistem.
6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi
merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun
unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang
diciptakan.
Konsep mata pencaharian sangat penting dalam memahami coping
strategies karena merupakan bagian dari strategi mata pencaharian (livelihood
strategies). Coping strategies (dalam jurnal Harmoni Sosial 2007:88) dalam
mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori, yaitu:
1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi untuk
melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan
sumber atau tanaman liar dan lingkungan sekitar dan sebagainya.
2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga. Misalnya,
pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan dan sebagainya.
3. Strategi jaringan pengaman, yaitu strategi yang mencakup menjalin relasi,
baik secara formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya dan
lingkungan kelembagaan. Misalnya, meminjam uang tetangga, mengutang
38
Universitas Sumatera Utara
ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke
rentenir atau bank dan sebagainya.
Strategi ekonomi keluarga miskin disini juga dapat dilihat sebagai gejala
sosiologi. Dalam anlisis sosiologi tentang strategi ekonomi mencakup dua hal
(Dhini 2009:39), yaitu:
1. Upaya keluarga miskin untuk mengatasi kondisi kemiskinan tidak terbatas
pada upaya-upaya di sektor produksi melainkan juga melalui keterlibatan
di sektor non produksi.
2. Wanita/keluarga memainkan peranan penting dalam keseluruhan upaya
mengatasi kondisi kemiskinan tersebut.
Selanjutnya J.Piaget (dalam Dhini 2009:36) menambahkan beberapa
proses adaptasi, yaitu:
1. Dalam rangka adaptasi, individu mengubah atau menahan impuls-impuls
dalam dirinya, misalnya dalam keadaan lapar individu menahan rasa
laparnya apabila individu tersebut tidak dapat memenuhinya.
2. Dalam rangka adaptasi, individu mengubah tuntutan-tuntutan ataupun
kondisi-kondisi lingkungannya, misalnya mencari kerja untuk makan.
Dengan demikian keluarga atau masyarakat miskin yang secara langsung
merasakan pahitnya kemiskinan itu harus memiliki agenda dan strategi tertentu
guna mengakhiri penderitaan mereka sebagai akibat dari kemiskinan.
39
Universitas Sumatera Utara
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Konsep dan Indikator Kemiskinan
Bila di tinjau dari pihak yang mempersoalkan dan mencoba mencari solusi
atas masalah kemiskinan, kemiskinan merupakan masalah pribadi, keluarga,
masyarakat, Negara, bahkan dunia. Masyarakat melalui berbagai lembaga telah
memberikan perhatian sehubungan dengan penanggulangan masalah kemiskinan.
Terlebih pribadi dan keluarga yang secara langsung merasakan pahitnya
kemiskinan itu, tentu memiliki agenda tertentu dalam upaya mengakhiri
penderitaan sebagai akibat dari kemiskinan. Namun masalah kemiskinan masih
tetap eksis, bahkan dalam periode tertentu justru menunjukkan peningkatan.
Kemiskinan identik dengan suatu penyakit. Oleh karena itu langkah pertama
penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu
masalah. Untuk memahami masalah kemiskinan, kita perlu memandang
kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan
kemiskinan sebagai suatu proses (Siagian, 2012:2).
Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta di mana seseorang
atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak
sebagai manusia disebabkan ketidakmampuannnya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Maksudnya dalam menjelaskannya kita harus terlebih dahulu
menyatakan
fakta
yang
menggambarkan
kondisi
kehidupannya,
bukan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara sebagai suatu
proses, kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup
21
Universitas Sumatera Utara
seseorang atau sekelompok orang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok
tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu
mencapai taraf kehidupan yang di anggap layak sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Bagaimana pun, keadaan yang dijalani manusia
bukan hanya ditentukan oleh diri sendiri, melainkan ditentukan juga oleh banyak
faktor, baik internal maupun eksternal. Dalam konteks ini, ada kalanya faktor
internal seperti pengetahuan, keterampilan, etos kerja dan/atau prinsip hidup
seseorang atau sekelompok orang memiliki daya dukung yang cukup untuk
menjadikannya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak masuk ke
dalam perangkap kemiskinan. Demikian halnya dengan faktor eksternal, seperti
keadaan dan kualitas alam, struktur sosial maupun kebijakan pemerintah yang ada
kalanya memiliki daya dukung yang cukup untuk menjadikan seseorang atau
sekelompok orang itu mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak
masuk ke dalam perangkap kemiskinan (Siagian, 2012:4).
Mencher (dalam Kemiskinan dan Solusi 2012:5) mengemukakan,
kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok
orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau
sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka
tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. Hal yang cukup menarik dari apa
yang di kemukakan Mencher adalah bahwa dalam upaya mencapai taraf hidup
yang layak, seseorang atau sekelompok orang membutuhkan dukungan, baik dari
diri sendiri yang pada uraian sebelumnya diidentifikasikan sebagai faktor internal
maupun wilayah, yang dalam hal ini merupakan faktor eksternal. Sedangkan
Castells (dalam Kemiskinan dan Solusi 2012:10) mengemukakan, kemiskinan
22
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan
hidup minimum agar manusia dapat bertahan hidup. Adapun standar kebutuhan
minimum dimaksud pada umumnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok
pangan. Cara ini ditempuh karena kebutuhan pokok pangan inilah yang
mengakibatkan sekaligus merupakan sumber dari manusia untuk memiliki
kemampuan yang cukup untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas hidup dengan
sehat.
2.1.1. Defenisi Kemiskinan
Secara ilmiah defenisi diartikan sebagai batasan arti. Rumusan defenisi
membantu kesulitan yang dihadapi dalam merumuskan pengertian yang
komprehensif dan sempurna tentang suatu konsep, yang dalam hal ini adalah
kemiskinan (Siagian, 2012:25). Berikut ini disajikan beberapa defenisi
kemiskinan:
1. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kemiskinan adalah situasi
penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan,
pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan
tingkat kehidupan yang minimum. (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
2008)
2. Jika ditinjau dari standar kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan
kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok atau kebutuhan-kebutuhan
dasar yang disebabkan kekurangan barang-barang dan pelayananpelayanan yang dibutuhkan dalam upaya memenuhi standar hidup yang
layak.
23
Universitas Sumatera Utara
3. Jika ditinjau dari pendapatan, maka kemiskinan adalah kondisi kurangnya
pendapatan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
4. Jika ditinjau dari kesempatan, maka kemiskinan merupakan dampak dari
ketidaksamaan kesempatan memperoleh dan mengakumulasikan basisbasis kekuatan sosial seperti keterampilan, informasi dan pengetahuan,
jaringan-jaringan sosial, organisasi-organisasi sosial dan politik, dan
sumber-sumber modal sebagai upaya pengembangan hidup (Matias
Siagian, 2012).
5.
Jika ditinjau dari penguasaan sumber-sumber, kemiskinan merupakan
keterlantaran yang disebabkan oleh penyebaran yang tidak merata dari
sumber-sumber, termasuk didalamnya pendapatan (Sjahrir, 1986).
6. Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi
hak-hak dasar dalam rangka memepertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. (Bappenas, dalam Esmara, 1995)
7. Kemiskinan merupakan kondisi yang dialami manusia saat mana jumlah
rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kurang
dari 2.100 kalori perkapita. (Esmara, 1995)
2.1.2. Aspek-aspek Kemiskinan
Banyak pihak merasa telah memahami kemiskinan itu, namun
sesungguhnya belumlah memahaminya secara holistik. Hal inilah yang
menyebabkan kemiskinan itu merupakan suatu masalah yang sangat sulit dicari
dan diaplikasikan langkah-langkah penyelesaiannya. Langkah pertama yang tepat
dilakukan dalam upaya memahami kemiskinan secara holistik adalah dengan
24
Universitas Sumatera Utara
melakukan kajian tentang aspek-aspek kemiskinan itu sendiri (Supriatna
2000:126), yaitu:
1. Kemiskinan itu multi dimensi.
Sifat kemiskinan sebagai suatu konsep yang multi dimensi berakar
dari kondisi kebutuhan manusia yang beranekaragam. Akibatnya, jika
mengemukakan seseorang atau sekelompok orang itu miskin, masih akan
menimbulkan pertanyaan: apanya yang miskin atau miskin apa? Sebagai
contoh, ditinjau dari segi kebijakan umum, maka kemiskinan itu meliputi
aspek-aspek primer seperti miskin akan asset-asset, organisasi-organisasi
sosial, kelembagaan-kelembagaan sosial, berbagai pengetahuan serta
berbagai keterampilan yang dianggap dapat mendukung kehidupan
manusia. Sedangkan aspek sekundernya antara lain adalah miskinnya
informasi, jaringan sosial dan sumber-sumber keuangan yang kesemuanya
merupakan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai jembatan
memperoleh
suatu
fasilitas
yang
dapat
mendukung
upaya
mempertahankan, bahkan meningkatkan kualitas hidup.
2. Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Sebagai konsekwensi logisnya, kemajuan atau kemunduran pada
salah satu aspek dapat mengakibatkan kemajuan atau kemunduran pada
aspek lainnya. Justru kondisi seperti inilah yang mengakibatkan tidak
mudahnya menganalisis kemiskinan itu menuju pada pemahaman yang
komprehensif.
3. Kemiskinan itu adalah fakta yang terukur.
25
Universitas Sumatera Utara
Fenomena yang sering kita temui adalah, pendapatan yang
diperoleh sekelompok orang yang bermukim ditempat yang sama boleh
sama, namun kualitas individu atau keluarga yang di miliki mungkin saja
berbeda. Keadaan yang demikian sering mengkondisikan kita untuk
mengidentifikasi kemiskinan sebagai sesuatu yang serba abstrak dan tidak
mungkin di ukur. Ada pula yang cenderung menyatakan kemiskinan itu
sebagai abstraksi dari perasaan sehingga mustahil untuk diukur. Cara
berpikir seperti ini harus dicegah karena akan menjauhkan kita dari
pemahaman yang benar dan holistik tentang kemiskinan itu sehingga kita
pun mustahil dapat menemukan solusi. Ada beberapa hal yang
mengindikasikan kepada kita bahwa kemiskinan itu benar-benar fakta
yang terukur. Demikian terukurnya kemiskinan itu sehingga dapat
diklasifikasi ke dalam berbagai tingkatan seperti: miskin, sangat miskin
dan sangat miskin sekali. Demikian halnya dengan BKKBN yang sering
mengklasifikasikan kondisi kehidupan masyarakat ke dalam berbagai
tingkat seperti: prasejahtera, sejahtera 1 dan sejahtera 2.
4. Bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual maupun
kolektif.
Kita sering mendengar istilah kemiskinan perdesaan (rural
poverty), kemiskinan perkotaan (urban poverty), dan sebagainya. Berbagai
istilah tersebut bukanlah berarti bahwa yang mengalami kemiskinan itu
adalah desa atau kota. Kondisi desa dan kota itu merupakan penyebab
kemiskinan bagi manusia. Dengan demikian pihak yang menderita miskin
26
Universitas Sumatera Utara
hanyalah manusia, baik secara individual maupun kelompok, dan bukan
wilayah.
2.1.3. Gejala-Gejala Kemiskinan
Untuk memahami kemiskinan secara akurat dan komprehensif diperlukan
data yang lengkap dan valid. Upaya seperti ini menuntut waktu yang panjang,
bahkan tenaga maupun dana yang besar. Akibatnya jarang dilakukan dan sangat
sedikit pihak yang melakukannya. Upaya memahami kemiskinan lebih sering
dilakukan dengan cara atau pendekatan lain (Suparlan, 1983:84), misalnya
melalui gejala-gejala kemiskinan, seperti:
1. Kondisi Kepemilikan Faktor Produksi.
Kemiskinan tidak datang secara serta merta. Demikian halnya dengan
pendapatan, juga tidak datang secara serta merta. Semuanya melalui
saluran, sumber dan proses tertentu. Dengan demikian, salah satu
pendekatan untuk mengetahui kemiskinan adalah mengetahui pekerjaan
atau mata pencaharian, apa alat atau faktor yang digunakan saat bekerja
dalam upaya mendapatkan pencaharian itu. Pemahaman akan berbagai hal
tersebut merupakan jalan bagi kita untuk mengetahui apakah seseorang
atau sekelompok orang tersebut miskin atau tidak.
2. Angka Ketergantungan Penduduk.
Secara teoritis memang di kenal banyak sumber pendapatan,
seperti hasil usaha atau keuntungan, upah, bunga tabungan dan lain-lain.
Namun bagi mayoritas masyarakat, ada satu kalimat yang berlaku secara
umum: orang hanya akan memiliki pendapatan jika bekerja. Namun pada
kenyataannya, angka ketergantungan dalam masyarakat atau keluarga
27
Universitas Sumatera Utara
sangat tinggi. Dalam sebuah keluarga dengan empat orang anak atau lebih,
misalnya sering hanya satu orang yang bekerja, sedangkan lima orang
menggantungkan hidupnya pada satu orang. Gejala seperti ini sangat
umum dalam Negara yang menawarkan lapangan atau kesempatan kerja
yang kecil seperti Indonesia. Tingginya angka ketergantungan di Indonesia
sangat nyata, dimana bekerja di Negara lain saat ini menjadi alternatif,
termasuk bagi tenaga yang tidak terampil.
3. Kekurangan Gizi.
Pendapatan merupakan unsur yang secara langsung dapat digunakan
sebagai alat memenuhi kebutuhan agar seseorang itu dapat hidup secara
layak. Pemenuhan kebutuhan tentu dilakukan secara hierarkis, mulai dari
kebutuhan fisik, sebagai unsur yang menempati prioritas utama dari
berbagai unsur yang termasuk kebutuhan pokok. Laporan dari berbagai
institusi seperti dinas kesehatan, puskesmas maupun rumah sakit sering
menggambarkan status gizi masyarakat. Berbagai media massa sering
menginformasikan tentang kondisi masyarakat yang kurang gizi. Informasi
ini merupakan gejala sangat miskinnya seseorang atau sekelompok orang.
Masalahnya, berbagai unsur terdapat dalam kebutuhan pokok, dimana
kebutuhan fisik merupakan kebutuhan yang paling utama. Oleh krena itu,
tidak terpenuhinya kebutuhan fisik yang mengakibatkan seseorang atau
sekelompok orang itu teridentifikasi kekurangan gizi menjadi gejala
betapa miskinnya seseorang atau sekelompok orang itu.
4. Pendidikan yang rendah.
28
Universitas Sumatera Utara
Di era modern sekarang ini, pendidikan dianggap sebagai sesuatu
yang penting. Pendidikan bahkan telah dianggap sebagai indikator utama
kedudukan dalam masyarakat. Berbagai kebijakan telah ditetapkan
pemerintah dalam rangka membuka dan mempermudah akses masyarakat
terhadap pendidikan. Namun hingga saat ini pendidikan masih belum
gratis, bahkan masih cukup mahal, terutama pendidikan dengan kualitas
dan tingkat yang tinggi. Di usia kemerdekaan Negara kita yang bagaikan
manusia yang makin dewasa, kesadaran akan pentingnya pendidikan
semakin meningkat. Oleh karena itu, rendahnya pendidikan yang dimiliki
masyarakat bukanlah disebabkan oleh kesadaran atas pendidikan yang
rendah, melainkan disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan. Dengan demikian pendidikan yang rendah juga
merupakan gejala kemiskinan.
2.1.4. Karakteristik Penduduk Miskin
Sulit memperoleh informasi secara jelas dan akurat berkaitan dengan
indikasi-indikasi seperti apa yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk
menyatakan secara akurat, bahwa orang-orang seperti apa yang dapat
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Emil Salim (dalam Supriatna 2000:124)
mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin, kelima karakteristik
penduduk miskin tersebut adalah:
a. Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri.
b. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan
kekuatan sendiri.
c. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah.
29
Universitas Sumatera Utara
d. Banyak di antara mereka tidak mempunyai fasilitas.
e. Di antara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan
atau pendidikan yang memadai.
Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat perdesaan dan
perkotaan, pada umumnya dapat digolongkan, pada buruh tani, petani gurem,
pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang
asongan, pemulung, gelandangan dan pengemis dan pengangguran. Pada
umumnya penduduk yang tergolong miskin adalah golongan residual yaitu
sebagian masyarakat yang belum disentuh dengan berbagai kebijakan pemerintah
secara terkonsentrasi.
Menurut Siagian (2012:114), secara umum faktor-faktor penyebab
kemiskinan secara kategoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya
terdiri dari dua bagian besar,yaitu:
1. Faktor Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang
mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk
kekurangmampuan, yang meliputi:
a. Fisik, misalnya cacat, kurang gizi dan sakit-sakitan.
b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan dan miskinnya
informasi.
c. Mental Emosional atau Temperamental, seperti: malas, mudah menyerah
dan putus asa.
d. Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.
e. Sosial Psikologis, seperti: kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi,
stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.
30
Universitas Sumatera Utara
f. Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan
tuntutan lapangan kerja.
g. Asset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,
tabungan, kendaraan dan modal kerja.
2. Faktor Eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang
mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu
menjadikannya miskin, meliputi:
a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.
b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat
memenuhi kebutuhan hidup.
c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya
usaha-usaha sektor informal.
d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga
yang tidak mendukung sektor usaha mikro.
e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor
rill masyarakat banyak.
f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang
belum optimal, seperti zakat.
g. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.
h. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.
i. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.
j. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.
k. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.
31
Universitas Sumatera Utara
Sulit memperoleh informasi yang jelas mengenai indikasi-indikasi seperti
apa yang dapat digunakan untuk melihat bahwa seorang individu ataupun
kelompok masyarakat itu miskin atau tidak miskin (Siagian 2012:20). Namun
demikian suatu studi menunjukkan adanya lima ciri-ciri kemiskinan, yakni:
1. Mereka yang hidup di bawah kemiskinan pada umumnya tidak memiliki
faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup luas, modal yang memadai,
ataupun keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu aktivitas
ekonomi sesuai dengan mata pencahariannya.
2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan atau peluang untuk
memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri.
3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, misalnya tidak sampai tamat SD,
atau hanya tamat SD. Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap
wawasan mereka. Beberapa penelitian antara lain menyimpulkan bahwa
waktu mereka pada umumnya habis tersita hanya semata-mata untuk mencari
nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar atau meningkatkan
keterampilan. Demikian juga anak-anak mereka, tidak dapat menyelesaikan
sekolahnya, karena harus membantu orang tua mencari tambahan
pendapatan.
4. Pada umumnya mereka masuk ke dalam kelompok penduduk dengan
kategori setengah menganggur. Pendidikan dan keterampilan yang sangat
rendah mengakibatkan akses masyarakat miskin ke dalam berbagai sektor
formal bagaikan tertutup rapat. Akibatnya mereka terpaksa memasuki sektorsektor informal. Bahkan pada umumya mereka bekerja serabutan maupun
musiman.
32
Universitas Sumatera Utara
5. Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda, tetapi tidak
memiliki keterampilan atau pendidikan yang memadai. Sementara itu kota
tidak siap menampung gerak urbanisasi dari desa yang makin deras. Artinya,
laju investasi diperkotaan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan tenaga
kerja sebagai akibat langsung dari derasnya arus urbanisasi.
Dalam rangka penetapan sasaran pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir
miskin, Departemen Sosial (2006) mencoba merumuskan indikator yang
merefleksikan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya ada pada masyarakat.
Hasilnya adalah dirumuskannya indikator untuk menentukan masyarakat yang
tergolong fakir miskin, meliputi:
1. Penghasilan rendah atau berada dibawah garis sangat miskin yang di ukur
dari tingkat pengeluaran perorangan perbulan berdasarkan standar BPS
perwilayah provinsi dan kabupaten/kota.
2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/
beras untuk miskin/ santunan sosial).
3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun
(hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap perorang pertahun).
4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit.
5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar Sembilan tahun bagi anakanaknya.
6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual
untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan.
33
Universitas Sumatera Utara
7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40
tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.
8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf.
9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
10. Luas rumah kurang dari 4 meter persegi.
11. Kesulitan air bersih.
12. Rumahnya tidak mempunyai sirkulasi udara.
13. Sanitasi lingkungan yang kumuh (tidak sehat) (Departemen Sosial).
2.2.
Konsep Strategi Bertahan Hidup
manusia
seperti
mahluk
lainnya,
mempunyai
naluri
untuk
mempertahankan hidupnya dan hidup lebih lama. Usaha ini dikendalikan oleh
aturan pokok dari hidup yaitu, hidup dalam situasi apapun dengan lebih
berkualitas daripada sebelumnya. Ini adalah ide dasar dari bertahan hidup.
Bagaimanapun, untuk meraih tujuan ini seseorang harus menerapkan banyak
taktik untuk hidup, dimanifestasikan dalam satu kesatuan sistematis. Untuk
memahami apa itu strategi bertahan hidup, seseorang harus memahami dulu
konsep dari strategi. Berdasarkan analisis kebijakan sosial, strategi adalah satu set
pilihan dari alternatif-alternatif yang ada. Sebagai bagian dari teori pilihan
rasional, analisis strategi tidak hanya dapat digunakan dalam medan kehidupan
ekonomi, tetapi juga dalam medan politik, kekuasaan dan pembangunan.
Strategi bertahan hidup sebenarnya dibangun pada level individu, akan
tetapi pada tujuannya adalah untuk memperoleh ketahanan dan stabilitas bertahan
hidup rumah tangga. Bertahan hidup bisa dipandang sebagai pemasukan dalam
34
Universitas Sumatera Utara
bentuk uang atau sumber-sumber kehidupan agar seseorang dapat melanjutkan
eksistensinya. Selain itu bertahan hidup bisa dipandang sebagai perpaduan antara
kegiatan sosial dan ekonomi yang bertujuan menjaga eksistensi manusia.
Termasuk didalamnya segala usaha yang dipersiapkan untuk menghadapi situasisituasi penting dan bertahan dalam keadaan sulit. Kegiatan strategi individu tidak
benar-benar terpisahkan dari pengaruh aturan-aturan yang kuat dan organisasiorganisasi dimana anggota masyarakat harus menurutinya. Suatu kegiatan dapat
dikatakan strategi bertahan hidup ketika kegiatan diarahkan pada kebutuhankebutuhan penting yang diperlukan sekali untuk mempertahankan dan
melanjutkan eksistensi
Berdasarkan sudut pandang tingkah laku manusia, seseorang selalu perlu
untuk menyesuaikan diri atau mengadaptasikan perilakunya sesuai perubahan
situasi agar dapat bertahan hidup. Dengan kata lain, seseorang tidak akan pernah
bisa mempertahankan hidupnya apabila tidak bisa mengubah tingkah lakunya.
Pada saat perubahan berjalan sangat cepat, seseorang tidak dapat bertahan hidup
apabila terlalu lama memegang struktur lama serta menolak nilai-nilai dalam
struktur
baru.
Kelanjutan
hidup
seseorang
hanya
akan
tercapai
jika
pengadaptasian tindakan bertahan hidup dilakukan (Tina Suhartini, 2008: 20-23).
Snel dan Staring (dalam Resmi Setia 2005:6) mengemukakan bahwa
strategi bertahan hidup adalah sebagai rangkaian tindakan yang dipilih secara
standar oleh individu dan rumah tangga yang miskin secara sosial ekonomi.
Melalui strategi ini seseorang bisa berusaha untuk menambah penghasilan lewat
pemanfaatan sumber-sumber lain ataupun mengurangi pengeluaran lewat
pengurangan kuantitas dan kualitas barang dan jasa. Cara-cara individu menyusun
35
Universitas Sumatera Utara
strategi dipengaruhi oleh posisi individu atau kelompok dalam struktur
masyarakat, sistem kepercayaan dan jaringan sosial yang dipilih, termasuk
keahlian dalam memobilisasi sumber daya yang ada, tingkat keterampilan,
kepemilikan asset, jenis pekerjaan, status gender dan motivasi pribadi. Nampak
bahwa jaringan sosial dan kemampuan memobilisasi sumber daya yang ada
termasuk didalamnya mendapatkan kepercayaan dari orang lain membantu
individu dalam menyusun strategi bertahan hidup.
Dalam menyusun strategi, individu tidak hanya menjalankan satu jenis
strategi saja, sehingga kemudian muncul istilah multiple survival strategies atau
strategi bertahan jamak. Selanjutnya Snel dan Staring mengartikan hal ini sebagai
kecenderungan pelaku-pelaku atau rumah tangga untuk memiliki pemasukan dari
berbagai sumber daya yang berbeda, karena pemasukan tunggal terbukti tidak
memadai untuk menyokong kebutuhan hidupnya. Strategi yang berbeda-beda ini
dijalankan secara bersamaan dan akan saling membantu ketika ada strategi yang
tidak bisa berjalan dengan baik. (dalam jurnal Nur Hidayah, halaman 3-4).
2.3.
Strategi Adaptasi (Coping Strategies)
Dodds
(dalam
Herlin
Widiani
2011:22)
mengemukakan
bahwa
pada esensinya, strategi coping adalah strategi yang digunakan individu untuk
melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan tuntutan
yang dibebankan
lingkungan
kepadanya.
Secara spesifik,
sumber-sumber
yang memfasilitasi coping itu mencakup sumber-sumber personal (yaitu
karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-esteem atau keterampilan
sosial) dan sumber-sumber lingkungan seperti dukungan sosial dan keluarga atau
36
Universitas Sumatera Utara
sumber financial (Harrington & Mcdermott, 1993). Friedman (dalam A Amelia
2011) mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk
adaptasi dalam menghadapi tekanan dan ancaman. (http://repository.usu.ac.id/bitst
ream/123456789/22179/3/ChapterII.pdf)
Suparlan (dalam Dhini 2009:35) mengatakan adaptasi pada hakikatnya
adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk dapat
melangsungkan hidup. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup:
a. Syarat dasar alamiah, biologi (manusia harus makan dan minum untuk
menjaga kestabilan temperature tubuhnya untuk tetap berfungsi dalam
hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh
lainnya).
b. Syarat dasar kejiwaan, manusia memerlukan perasaan tenang yang jauh
dari perasaan-perasaan takut, keterpencilan, gelisah dan lain-lain.
c. Syarat dasar sosial, manusia membutuhkan hubungan untuk dapat
melangsungkan keturunan untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar
mengenai kebudayaannya.
Vembrianto (dalam Dhini 2009:36) menambahkan adaptasi yang
dilakukan manusia lewat tingkah lakunya dapat menerangkan reaksi-reaksi
terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungannya. Karena manusia hidup dalam
masyarakat, maka tingkah lakunya
tentu saja merupakan adaptasi terhadap
tuntutan masyarakat sosial sekitarnya. Soekanto (dalam Dhini 2009:36)
memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial yakni:
1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
37
Universitas Sumatera Utara
3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4. Mengubah agar kondisi sesuai dengan kondisi yang ciptakan.
5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan
lingkungan dan sistem.
6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi
merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun
unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang
diciptakan.
Konsep mata pencaharian sangat penting dalam memahami coping
strategies karena merupakan bagian dari strategi mata pencaharian (livelihood
strategies). Coping strategies (dalam jurnal Harmoni Sosial 2007:88) dalam
mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori, yaitu:
1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi untuk
melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan
sumber atau tanaman liar dan lingkungan sekitar dan sebagainya.
2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga. Misalnya,
pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan dan sebagainya.
3. Strategi jaringan pengaman, yaitu strategi yang mencakup menjalin relasi,
baik secara formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya dan
lingkungan kelembagaan. Misalnya, meminjam uang tetangga, mengutang
38
Universitas Sumatera Utara
ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke
rentenir atau bank dan sebagainya.
Strategi ekonomi keluarga miskin disini juga dapat dilihat sebagai gejala
sosiologi. Dalam anlisis sosiologi tentang strategi ekonomi mencakup dua hal
(Dhini 2009:39), yaitu:
1. Upaya keluarga miskin untuk mengatasi kondisi kemiskinan tidak terbatas
pada upaya-upaya di sektor produksi melainkan juga melalui keterlibatan
di sektor non produksi.
2. Wanita/keluarga memainkan peranan penting dalam keseluruhan upaya
mengatasi kondisi kemiskinan tersebut.
Selanjutnya J.Piaget (dalam Dhini 2009:36) menambahkan beberapa
proses adaptasi, yaitu:
1. Dalam rangka adaptasi, individu mengubah atau menahan impuls-impuls
dalam dirinya, misalnya dalam keadaan lapar individu menahan rasa
laparnya apabila individu tersebut tidak dapat memenuhinya.
2. Dalam rangka adaptasi, individu mengubah tuntutan-tuntutan ataupun
kondisi-kondisi lingkungannya, misalnya mencari kerja untuk makan.
Dengan demikian keluarga atau masyarakat miskin yang secara langsung
merasakan pahitnya kemiskinan itu harus memiliki agenda dan strategi tertentu
guna mengakhiri penderitaan mereka sebagai akibat dari kemiskinan.
39
Universitas Sumatera Utara