Analisis Strategi Bertahan Hidup Penghuni Pemukiman Kumuh Di Sepanjang Bantaran Rel Kereta Api Di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Kota Medan

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

Penelitian Terdahulu
Penelitian yang baik selalu berhubungan dengan penelitian yang sudah

dilakukan. Terdapat penelitian – penelitian terdahulu yang ada hubungannya
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang dapat dijadikan sebagai
pembanding. Adapun penelitian yang menjadi pembanding, yaitu :
Penelitian yang dilakukan Afriani Simanjuntak (2013) berjudul “Strategi
Bertahan Hidup Penghuni Pemukiman Kumuh (Studi Kasus di Bantaran Rel
Kereta Api Kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan). Penelitian ini bertujuan
untuk mengindentifikasi dan menganalisis karakteristik kemiskinan serta strategi
yang dilakukan untuk beretahan hidup di pemukiman kumuh bantaran rel kereta
api kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan kemiskinan yang terjadi karena faktor
individual dan struktural yang kerap menjerat dalam lingkaran kemiskinan.
Hambatan – hambatan stuktural yang menjerat di perkotaan membuat mereka

untuk mengambil pilihan bekerja dalam lingkup strata sosial rendah di perkotaan.
Motif warga di kawasan pemukiman kumuh adalah karena daerah strategis untuk
memelihara hewan ternak yaitu babi. Letak yang strategis tidak terlepas dari letak
kelurahan Tegal Sari Mandala II yang jauh dari pusat kota. Sementara strategi
bertahan hidup yang digunakan adalah meningkatkan asset dengan melibatkan

10
Universitas Sumatera Utara

lebih banyak anggota keluarga untuk bekerja, memulai usaha kecil – kecilan,
memulung barang – barang bekas, menyewakan kamar, menggadaikan barang,
meminjam uang dari bank atau lembaga keuangan lain.
Penelitian lain dilakukan oleh Waston Malau (2014) berjudul “Analisis
Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Penduduk di Daerah Slum (Slum Area) di
Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan”. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta
strategi adaptasi penduduk di daerah slum (slum area) di kelurahan Pulo Brayan
Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi
lapangan dengan menggunakan observasi dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan ciri-ciri pemukiman kumuh di kelurahan
Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan antara lain rumah yang
dibangun secara berdempetan dan tidak teratur ; dinding rumah terbuat dari tepas,
papan/tripleks dan sebagian terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan
setegah papan/tripleks ; atap rumah terbuat dari seng dan rumbia ; lantai rumah
menggunakan semen kasar dan ada sebagian masih menggunakan tanah liat ;
lingkungan pemukiman terlihat jorok ; kurangnya fasilitas penerangan, air bersih
dan MCK. Sementara strategi bertahan hidup yang dilakukan antara lain : mencari
pekerjaan sampingan, menambah jam kerja, meminjam uang, mengutang di
warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau
mengurangi pengeluaran.
Penelitian lain yang dilakukan oleh

Anita stafitri (2013) berjudul

“Kesenjangan Sosial Masyarakat Perkotaan dari Sektor Pemukiman (Studi

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Kota Medan)”. Penelitin ini bertujuan Untuk mengetahui dampak

dari terjadinya kesenjangan sosial di Kota Medan. Jenis penelitian adalah
penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan
studi lapangan dengan menggunakan observasi dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan kesenjangan sosial yang terjadi dikarenakan
pola hidup kehidupan, keadaan bangunan rumah, pola asuh, pendidikan,
pekerjaan,
finansial

penghasilan dan yang paling radikal perbedaannya adalah secara
dalam

pemenuhan

kebutuhan

hidup

sehari-hari;

Munculnya


eksklusivisme secara besar-besaran, karena memiliki uang yang banyak;
Munculnya sifat individualisme yang sangat kuat, dikarenakan kehidupan
masyarakat yang memiliki kesenjangan sosial; Semakin meningkatknya angka
kriminalitas, karena perbedaan yang sangat radikal mengakibatkan terjadinya
kecemburuan sosial.
Penelitian lain yang dilakukan oleh dharma prakasa (2013) berjudul
“Strategi berthan hidup masyarakat nelayan pantai depok di Desa Parangtritis
Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan
penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sumber data
yang diperoleh melalui kata-kata dan tindakan, sumber tertulis serta foto.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi bertahan hidup yang
dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi pekerjaan, baik yang terkait
dengan

kegiatan kenelayanan maupun di luarnya. Melakukan diversifikasi

pekerjaan tergantung pada sumbersumber daya yang tersedia di desa-desa
nelayan tersebut. Ada beragam peluang pekerjaan yang dapat dilakukan
nelayan untuk memperoleh penghasilan tambahan di luar kegiatan mencari


Universitas Sumatera Utara

ikan, di antaranya adalah sebagai petani, penjual jasa, dan bangunan,
Dengan melakukan diversifikasi pekerjaan, bagi nelayan memiliki makna
yang sangat berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah tangganya. Hal ini
terkait dengan ketidakteraturan dan ketidakstabilan penghasilan mereka dari
hasil melaut. Selain deversifikasi di atas, mereka juga melakukan mencari
penghasilan

tambahan,

mendahulukan

kebutuhan

pokok,

dan menekan


pengeluaran
Penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi Fitria Rahmawati (2013)
berjudul “Strategi Survival Petani tambak Di tengah Bencana Industri Lumpur
Lapindo Desa Penatarsewu, Kecamatan tanggulangin Kabupaten Sidoarjo”.
Penelitian ini menggunakan Penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam
penelitian kualitatif, denganmenggunakan Metode Studi Kasus. Penelitian ini
berupaya melihat, mendeskripsikan dan memahami fenomena yang terjadi pada
masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pembuangan limbah bencana
industri lumpur Lapindo dilakukan melaluiSungai Porong, Sungai Ketapang dan
badan-badan air disekitarnya.Kondisi tersebut jelas akan mencemari ekosistem air
atau sungai yang ada,dan menimbulkan dampak lingkungan bagi masyarakat
terutama bagimereka petani tambak; Dengan kondisi tersebut, maka petani
tambak yang ada di DesaPenatarsewu melakukan strategi survival untuk
mempertahankan kehidupannya mereka;

2.2

Strategi Bertahan Hidup (Coping Strategy)


Universitas Sumatera Utara

2.2.1

Definisi Strategi Adaptasi
Pada zaman lampau dalam beradaptasi, manusia-lah yang harus

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti dengan pola curah hujan dan
vegetasi alam, dan sampai taraf tertentu dengan siklus biologis dan kebutuhan
hewan piaraan mereka. Seringkali perubahan alam itu menyebabkan mereka
melakukan migrasi musiman agar mereka tetap dapat bertahan hidup (Roger M
Keesing,1999, hal. 138 – 139).
Dalam bukunya Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing Usman Pelly (1994) menuliskan bahwa strategi
adaptasi adalah cara-cara yang dipakai oleh pendatang baru (perantau) untuk
mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu
kesimbangan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantauan. Lebih
lanjut ia menuliskan bahwa strategi-strategi adaptasi tidak hanya ditentukan oleh
kesediaan atau keengganan dari masyarakat tuan rumah untuk menerima para
perantau dan mengijinkan mereka untuk ikut menikmati sumber daya daerah dan

berperan dalam pemerintahannya.
Strategi tersebut mungkin mereka rencanakan untuk membantu mereka
dalam mencapai suatu tujuan tertentu yang telah terdapat dalam sistem nilai yang
diajarkan oleh tradisi daerahnya masing-masing (misi budaya) dengan tetap
memperhatikan kendala-kendala yang mungkin diberikan oleh masyarakat tuan
rumah.
Strategi adaptasi dimaksud oleh Edi Suharto (2009:29), sebagai Coping
strategies. Secara umum strategi bertahan hidup (coping strategies) dapat
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara

Universitas Sumatera Utara

untuk mengatasi berbagi permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Strategi
penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota
keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya.
2.2.2 Jenis-jenis Strategi Adaptasi dan Tujuan
Menurut Edi Suharto (2009:31) menyatakan strategi bertahan hidup (coping
strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu:

1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga
untuk (misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam
kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya
dan sebagainya) .
2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya, biaya
untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).
3. Strategi jaringan, misalnya menjalin relasi, baik formal maupun informal
dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan ( misalnya:
meminjam uang dengan tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan
program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan
sebagainya).
Petani dan lahan merupakan dua sisi yang saling berhubungan dan tidak
dapat dipisahkan. Lahan merupakan sarana yang dimiliki petani untuk beraktifitas
dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan keluarganya, dengan
terbatasnya lahan yang petani miliki maka mereka harus menyesuaikan diri
dengan kondisi tersebut. Bagi petani, alam dan manusia memiliki keterkaitan

Universitas Sumatera Utara

hubungan yang erat, sebagai aset penting yang dimiliki oleh mereka. Masyarakat

pedesaan merupakan masyarakat yang pekerja keras dan dinamis. Nilai kerja
merupakan perilaku manusia yang dapat terjadi sebagai bagian dari sistem norma
masyarakat. Maka dengan mudah mereka dapat beradaptasi dengan keadaan. Hal
itu terjadi karena individu bebas memilih alternatif tertentu secara rasional untuk
mencapai tujuan.
Dalam kehidupannya, manusia hidup dengan alam secara timbal balik,
yakni bagaimana manusia beradapatasi dengan alam agar dapat bertahan demi
keberlangsungan hidupnya dengan mengalihkan energi dari alam pada dirinya.
Adaptasi merupakan sifat sosial dari setiap manusia yang akan muncul akibat
adanya kebutuhan tujuan, dan hasrat para individu.
Adaptasi

menurut

Soerjono

Soekanto

(dalam


Rabanta,2009:18),

mengemukakan tentang adaptasi dalam beberapa batasan adaptasi sosial:
1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan .
2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
3. Proses perubahan-perubahan menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5. Memanfaatkan

sumber-sumber

yang

terbatas

untuk

kepentingan

lingkungan dan sistem.
6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.
Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses
penyesuaian individu, kelompok terhadap norma-norma, perubahan agar dapat
disesuaikan dengan kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses

Universitas Sumatera Utara

penyesuaian tersebut Aminuddin (dalam Rabanta, 2009:18) menyebutkan bahwa
penyesuaian dilakukan demi tujuan-tujuan tertentu, diantaranya:
1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan
2. Menyalurkan ketegangan sosial
3. Mempertahankan kelangsungan keluarga/unit sosial
4. Bertahan hidup
Sementara itu menurut pendapat Nancy B. Graves (1974) dalam
melakukan adaptasi terhadap apa yang mereka hadapi di wilayah rantau,
masyarakat urban mempunyai beberapa variabel yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan mereka dalam adaptasi, yaitu sebagai berikut:
1. Variabel kognitif yang dapat berupa pengetahuan, kepercayaan terhadap
sesuatu, dan harapan mereka terhadap berbagai kemungkinan dan peluang
yang akan mereka dapatkan di perantauan
2. Variabel motivasi yaitu berupa kebutuhan untuk mencapai sesuatu dan
memberikan masa depan untuk anak-anak mereka di masa yang akan
dating
3. Variabel kepribadian seperti sikap yang fleksibel (lentur) dalam
menghadapi masalah, optimism, kedisiplinan waktu dan sikap berani
mengambil resiko.
Selain itu dalam masyarakat urban terdapat berbagai macam strategi
adaptasi yang mereka lakukan dalam menghadapi dunia barunya. Seorang lakilaki akan mempunyai strategi yang berbeda dengan seorang perempuan. Seorang
laki-laki akan cenderung aktif dan mengambil peranan penting dalam beradaptasi,

Universitas Sumatera Utara

sedangkan perempuan akan lebih bersifat pasif, termasuk dalam membantu
sesamanya. Strategi adaptasi yang mereka gunakan terdiri dari dua bagian, yaitu:
1. Strategi internal yang terdiri dari reframing (mengubah pendangan bahwa
mereka mampu mengatasi permasalahannya) dan pengharapan pasif
(pasrah atau tawakkal).
2. Strategi eksternal yang terdiri dari dukungan spiritual, dukungan sosial dan
pencarian bantuan.
Dalam suatu penelitian terhadap masyarakat pedesaan dan perkotaan,
dapat diketahui bahwa masyarakat pedesaan banyak menggunakan lima strategi
tersebut di atas dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Namun demikian
kedua masyarakat tersebut sama-sama sering menggunakan reframing, dukungan
spiritual dan sosial dalam melakukan strategi adaptasinya. Masyarakat perkotaan
kurang banyak menggunakan strategi pengharapan pasif dan lebih sering
menggunakan pencarian bantuan, baik kepada teman atau keluarga, dalam strategi
adaptasinya (Ramona Marotz Baden, 1986).
Strategi yang diterapkan masyarakat miskin tidak lepas dari masalah
kebutuhan hidup atau berkisar tentang masalah perut:
“Dalam tesis Karl Marx menulis bahwa “soal kedamaian dunia itu terletak
pada masalah perut. Setiap perut manusia kenyang dan senang, maka dunia
dengan sendirinya akan damai” (Suara Hidayatullah, 2007).
Jika menunggu kedamaian sampai perut manusia kenyang, suatu hal yang
mustahil untuk diwujudkan. Perut manusia tidak akan kenyang sekalipun seluruh
harta di dunia dihabiskan. Tesis Marx menjadi sebuah renungan bahwa
kelangsungan hidup berkisar pada masalah perut atau pemenuhan kebutuhan
hidup. Kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan memenfaatkan kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

ekonomi yang serba terbatas akan memaksa manusia untuk melakukan strategi
untuk bertahan hidup (life survive).
Kemiskinan dalam kehidupan manusia pada belahan duniapun senantiasa
tidak terlepas dari kebutuhan hidup dan strategi bertahan hidup, baik masyarakat
perkotaan maupun masyarakat yang tinggal dipedesaan. Masyarakat akan bereaksi
dengan rangsangan-rangsangan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Segala upaya dengan menggunakan cara, metode, dan pengalaman manusia
merupakan salah satu usaha demi kelangsungan hidup.
“Menurut Partini dkk (1988) strategi sering dilakukan untuk menyisati
kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup, terutama dalam keadaan
mendesak atau mendadak. Strategi dengan melakukan pinjaman, menjual
barang-barang simpanan seperti perhiasan, menggadaikan barang,
dengan usaha lembur. Starategi ini sering dilakukan untuk kebutuhan
mendadak seperti dalam keadaan sakit, membayar sewa rumah,
kekurangan dalam kebutuhan hidup sehari-hari dan lain-lain”.
(Juwanita,2004:29).
Pemenuhan kebutuhan hidup tidak akan lepas bagaimana stategi yang
diterapakan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sehubungan dengan ini, George
Corner (1980) mengemukakan bahwa:
“Strategi-strategi kelangsungan hidup berputar sekitar akses sumber daya
dan pekerjaan. Dalam perebutan ini kelompok-kelompok miskin bersaing;
bukan hanya dengan yang kaya, akan tetapi diantara mereka sendiri”.
(DC Contes dan Sharir, 1980: 87.
Segala usaha, daya dan potensi yang dimiliki oleh setiap orang, tentunya
bersaing dalam memenuhi kebutuhan hidup agar tetap survive. Strategi
kelangsungan hidup yang digunakanpun berbeda sesuai dengan daya dan juga
kesempatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dapat
dikatakan bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup manusia. Oleh karena itu untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari,

Universitas Sumatera Utara

selain itu faktor lingkungan tidak dapat dilepaskan. Masyarakat harus
menggunakan, berpartisipasi, dan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat tetap hidup.

2.3

Pemukiman Kumuh
Pemukiman kumuh adalah suatu pemukiman yang kondisi fisik dan

hunian dan tata ruangnya mengungkapkan kondisi kurang mampu atau miskin
dari para penghuninya. Penataan ruang hunian dan pemukiman yang semrawut
yang disebabkan oleh penggunaan ruang yang tinggi tingkat kepadatan volume
maupun frekuensinya, dan serba kotor atau tidak terawat dengan baik. Disamping
itu, pemukiman kumuh juga kurang memadai dalam hal fasilitas-fasilitas umum,
seperti air bersih , pembuangan air limbah, sampah, jalan, dan berbagai fasilitas
untuk kegiatan sosial orang dewasa dan tempat bermain bagi anak-anak.
Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya pemukiman
berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan
dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan
kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana
lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses
dan land settlement. Pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau
kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga
pemukiman menitik beratkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda
mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya,
pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Pemukiman kumuh merupakan sebuah satuan kehidupan atau komoditi
yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas sosial dan budaya yang jelas.
Sedangkan batas-batas fisik pemukiman kumuh dengan pemukiman biasa di kota
terwujud secara :
(1) Jelas batas-batasnya, yaitu sebagai sebuah pemukiman liar, karena
merupakan sebuah pemukiman tersendiri yang terpisah dari pemukiman
biasa.
(2) Samar-samar batas-batas fisiknya, karena kekumuhan tersebut tersebar di
antara rumah-rumah dan wilayah yang tidak kumuh yang merupakan
bagian dari sebuah RT atau RW
(3) Jelas tetapi samar-samar batas-batasnya, karena pemukiman kumuh
tersebut merupakan sebuah komoditi yang terwujuh sebagai sebuah RT
atau RW dari sebuah kelurahan yang ada setempat (Menno, 1994).
Ciri-ciri

pemukiman

kumuh,

seperti

yang

diungkapkan

oleh

(Suparlan;1984:188) adalah:
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangannya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup
secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas,

Universitas Sumatera Utara

yaitu terwujud sebagai: (a) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik
negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar; (b) Satuan
komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RukunTetangga,
atau sebuah Rukun Warga; (c) Sebuah satuan komuniti tunggal yang
terwujud sebagai sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan
terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar;
5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam,

begitu

juga

asal

muasalnya.

Dalam

masyarakat

pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas
kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja
di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor
informil (Kurniasih, 2007).
Sementara itu pandangan lain mengenai ciri pemukiman kumuh
disampaikan Sinulingga (2005), menurutnya ciri kampung/pemukiman kumuh
terdiri dari:
a. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para ahli
perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu
kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan
ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki
persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.

Universitas Sumatera Utara

b. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena
sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap
rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.
c. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalanjalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah
akan tergenang oleh air.
d. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya
yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah,
ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat.
e. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur
dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.
f. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada
umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang darurat.
g. Kondisi a sampai f membuat kawasan ini sangat rawan terhadap penularan
penyakit.
h. Pemilikan hak atas lahan sering tidak legal, artinya status tanahnya masih
merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.
Sementara itu dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman, yang menyatakan bahwa:
“.....untuk mendukung terwujudnya lingkungan pemukiman yang
memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan
bangunan, suatu lingkungan pemukiman yang tidak sesuai tata ruang,
kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah,
prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat
membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat
ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai
lingkungan pemukiman kumuh”

Universitas Sumatera Utara

Jadi pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau tempat
tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi sebagai rumah tinggal dan
sebagai sarana pembinaan keluarga, tetapi tidak layak huni ditinjau dari tingkat
kepadatan penduduk, sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan, kesehatan
serta sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat.

2.3.1. Faktor Penyebab Munculnya Kawasan Kumuh
Hariyanto (2007) pemukiman liar atau hunian liar di wilayah perkotaan
muncul di negara-negara sedang berkembang karena serbuan para pendatang dari
wilayah pedesaan yang berada di sekeliling kota yang bersangkutan. Adanya
serbuan ini disebabkan oleh adanya perbedaan yang mencolok antara taraf
kesejahteraan hidup di desa dengan taraf kesejahteraan hidup di kota.
Bermukimnya pendatang-pendatang dari wilayah pedesaan ataupun wilayahwilayah di sekeliling sebuah kota hanya dapat terjadi kalau kehadiran mereka itu
di kota adalah fungsional dalam struktur-struktur kegiatan pemenuhan kebutuhan
–kebutuhan yang ada di kota tersebut. Karena dengan berfungsinya para
pendatang tersebut dalam struktur-struktur pemenuhan perkotaan maka mereka itu
dapat hidup dari imbalan jasa yang mereka terima dan mereka itu dibutuhkan
untuk menghidupi berjalannya sistem-sistem atau sebagian dari sistem-sistem
perkotaan yang bersangkutan.
Salah satu dari struktur-struktur pemenuhan kebutuhan perkotaan yang
dilayani pemenuhan kebutuhan-kebutuhan oleh para pendatang ini adalah
kegiatan pelayanan menggunakan tenaga kasar sebagai buruh bangunan. Sebagai
buruh bangunan para pendatang ini memerlukan berbagai kebutuhan hidup yang

Universitas Sumatera Utara

harus dipenuhi, yang walaupun tersedia dalam sektor-sektor formal, tetapi tidak
terjangkau oleh pendapatan mereka sebagai buruh. Yang terjadi adalah munculnya
berbagai kegiatan pelayanan, yang bersifat informal atau yang tidak secara formal
ada dalam peraturan pemerintahan kota, untuk melayani kebutuhan-kebutuhan
para pendatang dari pedesaan yang bekerja di kota. Sistem-sistem pelayanan
tersebut mencakup kebutuhan-kebutuhan penginapan, makan, minum, kesehatan,
pakaian, hiburan, dan berbagai pelayanan yang terkait dengan itu. Sistem-sistem
pelayanan ini dilakukan oleh para pendatang dari desa, sejenis dengan buruhburuh bangunan tersebut, atau pendatang-pendatang dari desa yang khusus datang
ke kota untuk itu.
Para pendatang dari pedesaan yang melayani kebutuhan-kebutuhan para
buruh bangunan tersebut juga memerlukan fasilitas dan sarana perkotaan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka., sama dengan kaum buruh
bangunan seperti tersebut di atas. Salah satu di antara pemenuhan kebutuhan yang
harus dipenuhi adalah tempat untuk istirahat dan tidur, atau tempat tinggal dan
bermukim. Cara yang paling murah adalah dengan menempati tanah-tanah kosong
yang ada dalam wilayah kota, milik negara atau kota yang bersangkutan.
Penempatan atau pendudukan mereka atas wilayah-wilayah kota secara liar,
sebenarnya hanya mungkin terjadi kalau ada orang atau oknum yang merasa
mempunyai kekuasaaan dan diakui kekuasaannya untuk memberi izin bagi
penempatan secara liar tersebut. Di sinilah sebetulnya titik yang menentukan dari
asal muasalnya tumbuh dan berkembangnya pemukiman liar, seperti digambarkan
oleh Suparlan (1984). Munculnya pemukiman liar, sektor informal, dan juga

Universitas Sumatera Utara

termasuk gelandangan dalam pengertian iini dapat dilihat sebagai konsekwensi
perkembangan kota.
Perkembangan kota yang dihasilkan dari konsekwensi ciri-ciri perkotaan
dari kota, di negara-negara berkembang tidak dibarengi secara sejajar dengan
perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan kota yang mengatur berbagai
bentuk dan corak sistem pelayanan, serta tidak dibarengi dengan secara bersamaan
naiknya tingkat pendapatan dari para warga kota yang bersangkutan secara sama
atau merata. Dampaknya adalah yang terutama munculnya kegiatan-kegiatan
sektor informal, atau kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan yang tidak
terjangkau oleh sistem-sistem pelayanan yang formal dalam bidang jasa, uang,
dan barang, yang dengan demikian sebenarnya sektor informal dan hunian liar
tersebut telah membebani kota degan berbagai limbah yang dihasilkan oleh
hunian liar dan oleh kegiatan-kegiatan sektor informal, sedangkan pemasukan
uang ke pemerintahan kota melalui pajak tidak memadai karena pengaturannya
yang kurang jelas. Pengaturannya yang kurang jelas telah memungkinkan oknum
dari lembaga-lembaga pemerintahan kota untuk bertindak menarik pajak atas
nama pemerintahan kota untuk kepentingan sendiri, baik yang dilakukan secara
langsung ataupun dilakukan melalui orang atau sejumlah orang lainnya.
Dengan kata lain hunian liar ada dan berkembang bersamaan dengan
kegiatan-kegiatan sektor informal dan sektor-sektor kehidupan ekonomi lapisan
bawah dari masyarakat perkotaan. Mereka ini ada dan lestari karena fungsional
dalam berbagai struktur kehidupan ekonomi yang formal maupun yang informal.
Jadi , hunian liar bila dilihat dalam suatu kerangka sistem merupakan unsur yang
terkait dengan unsur-unsur lainnya secara menyeluruh, dan fungsional dalam

Universitas Sumatera Utara

tingkat-tingkat tertentu dari proses-proses yang berlaku dalam sistem tersebut.
Karena itu, walaupun fungsional, tetapi juga bertentangan dengan fungsi dari
berbagai unsur lainnya yang ada dalam sistem perkotaan; atau bahkan dapat
dikatakan merugikan kalau dilihat secara ekonomi, kesejahteraan hidup warga
kota, dan fungsi kota sebagai pusat perkembangan kebudayaan dan peradaban dari
sebuah negara.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan faktor penyebab munculnya
kawasan kumuh (slum dan squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu faktor
yang bersifat langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung (Hariyanto, 2007).
Faktor – faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Faktor Yang Bersifat Langsung
Faktor-faktor yang bersifat langsung yang menyebabkan munculnya
kawasan kumuh adalah faktor fisik (kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan).
Faktor lingkungan perumahan yang menimbulkan kekumuhan meliputi kondisi
rumah, status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, koefisien Dasar Bangunan
(KDB),

dll,

sedangkan

faktor

sanitasi

lingkungan

yang

menimbulkan

permasalahan meliputi kondisi air bersih, MCK, pengelolaan sampah,
pembuangan air limbah rumah tangga, drainase, dan jalan.
Kondisi lingkungan perumahan yang menyebabkan timbulnya kekumuhan
adalah keadaan rumah yang mencerminkan nilai kesehatan yang rendah,
kepadatan bangunan yang tinggi, koefisien dasar bangunan (KDB) yang tinggi,
serta status lahan yang tidak jelas (keberadaan rumah di daerah marjinal) seperti
rumah yang berada di bantaran sungai, rel KA, dll. Rumah–rumah yang berada di

Universitas Sumatera Utara

daerah marjinal berpotensi terkena banjir pada saat musim hujan. Dengan
demikian nilai kekumuhan tertinggi pada saat musim penghujan.
Sedangkan faktor sanitiasi lingkungan yang menyebabkan kekumuhan
seperti kurangnya sarana air bersih yang terlihat dari banyaknya masyarakat yang
memanfaatkan air dari sumber yang tidak bersih sehingga berpotensi
menimbulkan penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak sehat, rendahnya
penggunaan MCK serta banyaknya masyarakat yang membuang hajat secara tidak
sehat, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran organic dan peningkatan
bakteri coli, yang akan menimbulkan dampak lanjutan berupa gangguan kesehatan
masyarakat.
Belum adanya pengelolaan sampah yang baik menjadi salah satu unsur
penentu timbulnya kekumuhan. Akibat tidak adanya sistem pengelolaan sampah
dan

kurangnya

sarana

pembuangan

sampah

mengakibatkan

terjadinya

penumpukan sampah di pekarangan. Tidak berfungsinya sistem jaringan drainase
juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh. Kondisi ini
menimbulkan tambahan prolematika lingkungan antara lain terjadinya banjir
(genangan) akibat penyumbatan sungai dan saluran air (drainase).
Faktor terakhir yang dinilai memiliki dampak langsung terhadap
timbulnya lingkungan kumuh adalah pembuangan limbah rumah tangga dan
kondisi jaringan jalan. Rendahnya kualitas sistem pembuangan air limbah rumah
tangga dan jaringan jalan juga menyebabkan suatu kawasan menjadi kumuh.

Universitas Sumatera Utara

2. Faktor Yang bersifat Tidak Langsung
Faktor-faktor yang bersifat tidak langsung adalah faktor-faktor yang secara
langsung tidak berhubungan dengan kekumuhan tetapi faktor-faktor ini
berdampak terhadap faktor lain yang terbukti menyebabkan kekumuhan. Faktorfaktor yang dinilai berdampak tidak langsung terhadap kekumuhan adalah faktor
ekonomi masyarakat, sosial dan budaya masyarakat.
Faktor ekonomi yang berkaitan dengan kekumuhan yaitu taraf ekonomi
masyarakat (pendapatan masyarakat), pekerjaan masyarakat. Penghasilan yang
rendah menyebabkan masyarakat tidak memiliki dana untuk membuat kondisi
rumah yang sehat, pengadaan MCK, tempat sampah dan lain-lain yang terkait
dengan sarana lingkungan rumah yang sehat. Pengahasilan yang rendah juga
mengakibatkan sebagian masyarakat membangun rumah tidak permanen di
bantaran sungai, Rel KA, dll. Dengan demikian taraf ekonomi secara tidak
langsung berpengaruh terhadap terjadinya kekumuhan. Demikian juga halnya
dengan pekerjaan masyarakat. Pekerjaan masyarakat yang kurang layak
menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah, sehingga kemampuan untuk
membuat rumah yang layak huni dan sehatpun menjadi rendah.
Faktor kedua yang berpengaruh tidak langsung terhadap kekumuhan
adalah kondisi sosial kependudukan yang meliputi jumlah anggota keluarga,
tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan. Jumlah anggota keluarga yang besar
dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah menyebabkan rendahnya
kemampuan dan pengetahuan masyarakat terhadap permasalahan lingkungan yang
akhirnya mendorong kesadaran yang rendah terhadap upaya menciptakan
lingkungan dan kehidupan yang sehat. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap

Universitas Sumatera Utara

kesehatan lingkungan menyebabkan masyarakat melakukan aktivitas membuang
hajat dan sampah yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan dirinya.
Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi munculnya kawasan kumuh
yaitu faktor budaya yang berhubungan dengan masalah kebiasaan dan adat
istiadat. Selain faktor sosial seperti tingkat pendidikan, faktor kebiasaan juga
menjadi pendorong munculnya kawasan kumuh. Faktor kebiasaan ini juga yang
menyebabkan masyarakat merasa lebih enak membuang hajat di saluran air dan
kebun sekalipun tidak sehat, dibanding membuang hajat di WC umum. Untuk itu
beberapa WC umum yang dibangun oleh pemerintah berada dalam kondisi
terlantar tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selain itu faktor adat istiadat seperti ”makan tidak makan yang penting
kumpul” juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh,
walaupun bersifat tidak langsung. Namun adat istiadat seperti ini mendorong
orang untuk tetap tinggal dalam suatu lingkungan perumahan walaupun tidak
layak huni yang penting dekat dengan saudara, tanpa mau berusaha mencari
2.3.2

Akibat Slum untuk Kota
Menurut Simanjuntak (2004) bagi kota, maka slum itu tentunya dianggap

merusak keindahan kota. karena perkampungan-perkampungan “plastik” itu
kelihatannya akan sangat merusak pandangan, apalagi kalau bertumpuk disekitar
kantor-kantor besar atau toko modern. Kadang-kadang perkampungan miskin ini
bisa menimbulkan bahaya misalnya bisa terjadi kebakaran toko-toko atau
jembatan (seperti jembatan di Jalan Perdana Medan tempo hari). Menurut para
ahli sosiologi, orang-orang kelompok slum itu bisa juga menjadi sarang penjahat
kriminal maupun tempat perlindungan penjahat-penjahat politik misalnya.

Universitas Sumatera Utara

Disamping itu bisa jadi terjadi ketidaksenangan orang-orang kota yang
sedang santai di restoran-restoran, dengan datangnya peminta-minta dalam
kondisi kurang menyedapkan pandangan mata dan penciuman, sehingga bisa saja
suatu restoran jadi tidak banyak pengunjungnya karena anggota banyak slum itu
banyak keluar masuk untuk meminta sisa-sisa makanan.
Beberapa akibat lain ialah terutama bagi kota-kota yang banyak mendapat
kunjungan tamu-tamu luar negeri yang berstatus turis. Keserasian perasaan
mereka akan menjadi terganggu dengan berkeliarannya penguni perkampungan
tersebut untuk mencari nafkah dan banyak akibat lain lagi.
Dalam rangka menuju kota metropolitan, adanya efek lompat katak atau
perpindahan penduduk ke daerah pinggiran sesungguhnya merupakan hal yang
wajar, karena bagaimanapun kota yang mulai besar, daerah pusat kotanya pasti
tidak lagi bisa diharapkan untuk menampung pertumbuhan penduduk yang kian
padat. Yang sekarang menjadi persoalan adalah jika efek lompat katak yang
terjadi melulu hanya di bidang permukiman saja . Benar bahwa di berbagai kota
besar untuk sebagian lahan pinggiran kota telah berubah fungsi menjadi pusat
industri atau perkantoran, tetapi dalam banyak hal sesungguhnya disana lebih
banyak muncul wilayah-wilayah permukiman baru. Menjamurnya berbagai
perumahan di pinggiran kota adalah beberapa contoh yang menunjukkan efek
buruk dari proses perpindahan penduduk yang melulu hanya dalam bentuk
permukiman. Dikatakan efek buruk di sini karena berbagai daerah pinggiran itu
hanya berfungsi sebagai “tempat tidur” saja, sementara untuk semua aktivitas
kerja, belanja, atau mencari hiburan, sebagain besar penduduk di wilayah
pinggiran tetap harus pergi ke pusat kota.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3

Parameter dan Kriteria Penilaian Kawasan Kumuh
Menurut Hariyanto (2007) dalam melakukan penilaian terhadap kawasan

kumuh terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan yang didasarkan pada
beberapa komponen yaitu komponen fisik, komponen sanitasi lingkungan;
komponen sosial kependudukan; komponen sosial budaya, dan komponen
ekonomi. Lebih jelasnya parameter tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini:

1. Komponen Fisik
a. Penggunaan Lahan (Land Use), parameter yang diteliti : tata guna lahan
untuk berbagai peruntukan, mencakup penggunaan untuk fungsi lindung
seperti sempadan pantai, sempadan sungai, dan daerah konservasi;
penggunaan untuk fungsi budidaya seperti

permukiman dan aktivitas

lainnya.
b. Keadaan Permukiman, parameter yang diteliti : jumlah rumah, jenis
rumah, kondisi rumah, jumlah penghuni, kepadatan bangunan, KDB, dan
status kepemilikan lahan. Contoh : tata bangunan yang sangat tidak teratur,
umumnya bangunan-bangunan yang tidak permanen dan bangunan
darurat; tidak adanya suasana ”privacy (pribadi)” bagi pemilik rumah,
karena jumlah ruang di rumah tinggalnya terbatas jika dibandingkan
dengan jumlah penghuninya.
c. Kondisi Fisik Lingkungan, parameter yang diteliti kualitas udara dan
pencahayaan matahari. Kualitas udara yang tidak baik (kualitas udara
menurun) dan pencahayaan matahari yang kurang yang biasanya
disebabkan karena tidak adanya ruang-ruang terbuka (open space). kondisi

Universitas Sumatera Utara

seperti ini akan menyebabkan udara di dalam rumah tak dapat mengalir
dengan baik, akibatnya akan menggangu kesehatan penghuni rumah
tersebut;
2. Komponen Sanitasi Lingkungan
a. Kecukupan sumber air bersih, dasar penentuan nilai adalah persentase
jumlah keluarga yang memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih.
b. Pemanfaatan MCK oleh Warga, dasar penentuan nilainya adalah
persentase penduduk yang telah menanfaatkan jamban sebagai tempat
membuang hajat dalam satuan wilayah tertentu (satuan wilayah desa).
c. Pembuangan air limbah, dasar penentuan nilai dalam kriteria ini adalah
kebiasaan penduduk membuang air limbah yang diukur dalam persen
penduduk yang membuang limbah berupa air kotor rumah tangga
kepekarangan rumahnya dalam satuan wilayah tertentu (satuan wilayah
desa).
d. Kondisi saluran air, kondisi saluran air (drainase) diukur dalam persentase
saluran drainase dalam kondisi mengalir dalam satu satuan wilayah
tertentu.
e. Penumpukan dan Upaya pengelolaan sampah, kondisi persampahan di
hitung dari banyaknya lokasi penumpukkan sampah dalam satu wilayah
tertentu.
f. Frekuensi banjir, frekuensi banjir di ukur dari jumlah terjadinya banjir
dalam satu tahun pada satuan wilayah terntentu (satuan wilayah desa).

Universitas Sumatera Utara

g. Kondisi jalan lingkungan, kondisi jalan lingkungan diukur dalam
persentase jalan lingkungan yang berada pada kondisi sedang dan buruk
dalam satu satuan wilayah tententu (satuan wilayah desa/kelurahan).
h. Kondisi penerangan dan komunikasi, kondisi penerangan dan komunikasi
diukur dalam persentase KK yang mendapatkan pelayanan penerangan dan
komunikasi.
3. Komponen Sosial Kependudukan
a. Jumlah penduduk, diukur dari banyaknya jumlah penduduk yang tinggal
dalam satu kawasan atau wilayah.
b. Komposisi penduduk, melihat jumlah penduduk berdasarkan struktur usia
(belum produktif, produktif, dan tidak produktif) dan mata status
pekerjaan (bekerja, setengah pengangguran atau pengangguran) .
c. Kepadatan penduduk, melihat kepadatan penduduk yang diukur dari
jumlah penduduk dibagi dengan ketersediaan lahan (daya tampung).
d. Pendidikan penduduk, tujuannya untuk melihat sejauh mana tingkat
pendidikan penduduk dalam kawasan tersebut. Sehingga akan diketahui
berapa besar pengetahuan dan pemahaman penduduk terhadap lingkungan
permukiman yang sehat dan layak huni.
e. Kesehatan penduduk, tujuannya untuk melihat sejauh mana kekuatan yang
dimiliki penduduk dari tingkat kesehatannya yang dapat diukur dari jenis
penyakit yang pernah diderita, jumlah penduduk yang terkena penyakit,
dll.

Universitas Sumatera Utara

4. Komponen Sosial Budaya
a. Kebiasaan penduduk, diukur dari banyaknya jumlah penduduk yang
melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dapat mendorong munculnya
kawasan kumuh seperti : kebiasaan membuang sampah disembarang
tempat, kebiasaan membuang hajat di sungai, pekarangan atau tempat
terbuka lainnya, kebiasaan penduduk mengkonsumsi air yang tidak bersih
dan higienis, dll
b. Adat istiadat, yaitu kultur budaya masyarakat yang dapat mendorong
terciptanya kawasan kumuh seperti : makan tidak makan yang penting
kumpul, dll.
5. Komponen Ekonomi
a. Tingkat Pendapatan, diukur dari besarnya pendapatan yang diterima tiap
KK dalam setiap bulannya.
b. Aktivitas ekonomi atau mata pencaharian penduduk, diukur dari besarnya
jumlah penduduk yang bekerja dalam suatu bidang tertentu (PNS, buruh
tani, industri, dll).
c. Sarana atau fasilitas penunjang kegiatan ekonomi, bertujuan untuk
melihat berapa besar fasilitas ekonomi yang dapat melayani masyarakat
dalam kawasan tersebut.
6. Kriteria Penilaian Kawasan Kumuh
Dari penjelasan-penjelasan diatas, kemudian dilakukan penentuan status
kawasan kumuh berdasarkan tingkat kekumuhan. Dalam hal ini, status kawasan
kumuh dibagi dalam 5 kelas, yaitu :
Ko = Tidak kumuh

Universitas Sumatera Utara

K1 = Kurang kumuh
K2 = Cukup Kumuh
K3 = Kumuh
K4 = Sangat kumuh
Untuk jelasnya mengenai penetapan kriteria kawasan kumuh dapat dilihat
pada lampiran 1.
2.3.4

Standart Hidup Layak
Pemukiman kumuh sangat erat kaitannya dengan standart hidup yang

layak. Masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh memiliki standart hidup
layak yang masih rendah. Pemerintah Indonesia mengatur standart hidup layak
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012. Peraturan ini secara
detail mengatur kebutuhan hidup layak warga negara Indonesia seperti: (1)
Makanan dan Minuman: mengkonsumsi setiap hari diantara bahan-bahan Telur
ayam, telur ayam ras, ikan segar baik, daging sedang, beras sedang, kacangkacangan, tempe/tahu baik, susu bubuk sedang, gula pasir sedang, Minyak goreng
curah, sayuran baik, buah-buahan (setara pisang/pepaya), Karbohidrat lain (setara
tepung terigu) sedang, teh atau kopi celup, bumbu-bumbuan;(2) Kebutuhan
Sandang: Celana panjang/ Rok/Pakaian muslimKatun/sedang; Celana pendek
katun/sedang; ikat pinggang kulit sintetis, polos, tidak branded; Kemeja lengan
pendek/blouse setara katun/1potong; Kaos oblong/ bra sedang; celana dalam
sedang; sarung/kain panjang sedang; sepatu kulit sintetis; kaos kaki katun,
Polyester, Polos; Perlengkapan pembersih sepatu (Semir sepatu sedang dan sikat
sepatu sedang; sandal jepit karet; handuk mandi; Perlengkapan ibadah (Sajadah
sedang, mukena sedang, Peci,dll sedang);(3) Sewa kamar dapat menampung jenis

Universitas Sumatera Utara

KHL; Dipan/ tempat tidur; Perlengkapan tidur (Kasur busa, bantal, sprei dan
sarung bantal); Meja dan kursi; Lemari pakaian Kayu sedang; Sapu Ijuk sedang;
Perlengkapan makan (Piring makan polos, Gelas minum polos, dan sendok garpu
sedang, Ceret aluminium, Wajan aluminium, Panci aluminium, Sendok
masak Alumunium); Rice Cooker; Kompor dan perlengkapannya (Kompor,
Selang dan regulator, Tabung Gas); Ember plastk; Gayung plastikSedang; Listrik
900 watt; Bola lampu hemat energy; Air Bersih Standar PAM; Sabun cuci
pakaian; Sabun cuci piring; Setrika250 watt; Rak portable plastic; Pisau dapur;
Cermin30 x 50 cm; (4) Pendidikan: Bacaan/radio Tabloid/Ballpoint/pensil; dan
(5) Kesehatan: Sarana Kesehatan (Pasta gigi, Sabun mandi, Sikat gigi Produk
local, Shampo); Pembalut atau alat cukur; Deodoran; Obat anti nyamukBakar;
Potong rambut di tukang cukur; Sisir biasa.
Konsumsi pangan yang diatur dalam peraturan menteri ini berkaitan erat
dengan kecukupan gizi masyarakat Indonesia. Apabila masih terdapat masyarakat
yang tidak mengkonsumsi makanan tersebut dalam waktu yang lama, maka
masyarakat dapat dikategorikan hidup belum layak. Kebutuhan dasar lain seperti
perlengkapan sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan harus bisa dipenuhi
masyarakat agar dapat hidup dengan layak.

2.4

Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di

tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam
konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah
sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Bukan saja

Universitas Sumatera Utara

karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena hingga
kini belum bisa dientaskan dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan
dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia
(Alfian,2000:13). Dengan kekayaan alam yang

melimpah dan potensi

pemanfaatan nyaris tanpa batas, tidak berlebihan kiranya jika mengharapkan
penghidupan yang layak. Sandang, pangan, maupun papan tersedia dalam jumlah
cukup dan harga terjangkau. Penghasilan pun mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan lainnya.
Masyarakat miskin adalah suatu kondisi dimana fisik masyarakat yang
tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai,
dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standart
kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu yang mencakup seluruh
multidimensi, yaitu dimensi politik, dimensi social, dimensi lingkungan, dimensi
ekonomi dan dimensi asset (P2KP, Pedoman Umum, 2004:1).
Definisi kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar seperti
diterapkan oleh Departemen Sosial, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu
dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS, 2013). Yang
dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam definisi ini meliputi kebutuhan akan
makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
Seperti juga apa yang dikatakan oleh Selo Soemardjan (1980), yang
dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh
suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana

Universitas Sumatera Utara

terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka
yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu, walaupun merupakan
mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apaapa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya.
2.4.1

Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-

faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset
produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang
cenderung

menguntungkan

kelompok

masyarakat

tertentu.

Selanjutnya

Sumodiningrat mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan
karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan
bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak
seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama
menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula sehingga
menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita (1996)
hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu
kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Sebab-sebab kemiskinan struktural antara lain:
1. Kurangnya demokrasi, sehingga mengurangi partisipasi.
2. Kurangnya akses dan kontrol terhadap sumber daya.
3. Ketimpangan akumulasi dan distribusi aset produktif baik lahan maupun
modal.
4. Kebijakan berorientasi memenuhi pasar asing daripada pasar domestik.

Universitas Sumatera Utara

5. Pengikisian peran pemerintah dalam meminimalkan ketimpangan sosial
dan swastanisasi yang berlebihan.
6. Eksploitasi sumber daya alam yang berdampak pada orang miskin.
7. Kebijakan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi ekonomi dan
polarisasi masyarakat.
Kemiskinan struktural berkaitan dengan aspek struktur dari suatu lembaga,
yang dimaksud dengan struktur ialah pola-pola organisasi sosial yang mantap,
luas, stabil dan mampu untuk meneruskan diri (self reproducing). Suatu institusi
atau lembaga diartikan sebagai satu rangkaian hubungan antar manusia yang
teratur dan disahkan secara sosial, yang menentukan hak, kewajiban, dan sifat
hubungannya dengan orang lain. Lembaga ini penting dalam menjamin
kelangsungan dan kepastian dalam interaksi sosial dalam masyarakat. Dalam
kaitannya dengan persoalan kemiskinan, pemerintah adalah salah satu pihak
lembaga yang menjadi bagian struktural dalam upaya penanggulangan kemiskinan
dan upaya pembangunan masyarakat secara lokal, nasional dan global.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki hubungan politik dan
admnistrasi dalam berbagai aspek termasuk pada upaya pembangunan dan
penanggulangan kemiskinan di masyarakat Indonesia. Masyarakat sebagai
kumpulan individu dan kelompok memiliki peran dan terlibat dalam struktural
kelembagaan, apakah itu sebagai penikmat program pemberdayaan, dan ikut
dalam upaya perencanaan dan penanggulangan kemiskinan.
Studi penelitian yang dilakukan oleh Sondakh (2009) menyimpulkan
bahwa kemiskinan struktural adalah suatu kondisi yang dialami suatu golongan
masyarakat diakibatkan oleh struktur sosial masyarakat itu sendiri, mereka tidak

Universitas Sumatera Utara

dapat ikut serta menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya
tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struk-tural dapat diartikan
sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab
utamanya bersumber dari struktur sosial yang berlaku di sekitarnya sehingga
mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk
mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya.
Struktur sosial yang berlaku tersebut membuat mereka terkurung pada
suasana kemiskinan secara turun -temurun dalam jangka waktu yang lama.
Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan
melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar. Pada umumnya
kemiskinan struktural terjadi di masyarakat saat kehadiran perbedaan yang
mencolok antara masyarakat yang hidup dalam keterbatasan dengan mereka yang
hidup dalam kemewahan, walaupun jumlah masyarakat miskin itu lebih banyak
jumlahnya dalam kenyataannya mereka tidak mampu memperbaki nasibnya
karena ketidakberdayaan dan tidak memiliki kekuatan sedangkan mereka yang
minoritas yakni masyarakat kaya berhasil memonopoli dan mengontrol hampir
semua aspek kehidupan yang berkaitan