Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Agen Dalam Perjanjian Jual Beli Gas Elpiji (Studi Pada Pt.Pertamina Dan Pt.Rasita Mulia)

BAB II
RUANG LINGKUP PERJANJIAN PENGANGKUTAN
A. Pengertian Umum Perjanjian
Suatu perjanjian dikatakan persetujuan karena kedua belah pihak setuju
untuk melakukan sesuatu hal. Persetujuan merupakan kepentingan yang pokok
dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti :
jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, dan pengangkutan barang.
Hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian ataupun hukum disebut
dengan perikatan. Kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu
dapat dipaksakan secara hukum. Suatu perjanjian yang tidak mengikat ataupun
tidak dapat dipaksakan adalah merupakan bukan perikatan, misalnya suatu
perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Prof. R. Wiryono Prodjodikoro, SH. Mengatakan bahwa perjanjian dan
persetujuan
“Persetujuan

adalah
dalam

berbeda.


Dalam

hal

perundang-undangan

ini

beliau

Belanda

mengatakan
dulu

: 14

dinamakan

overeenkomsten yaitu semua kata sepakat antara dua pihak atau lebih ada dua

pihak. Dan dengan adanya perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.
Selanjutnya Prof. Wiryono Prodjodikoro menyimpulkan bahwa kata
perjanjian lebih tepat digunakan untuk pengertian lebih luas dari istilah
14

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Penerbit Sumur, Bandung, 1981, hal. 11.

25
Universitas Sumatera Utara

26

persetujuan. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau leih
mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan untuk mengikat kedua
belah pihak. Sedangkan perjanjian sebagian besar bersumber pada suatu
persetujuan antara kedua belah pihak ditambah dengan sebahagian yang

bersumber pada suatu perbuatan yang tidak melanggar hukum dari salah satu
pihak yaitu perbuatan tertentu yang bersifat sepihak.
Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Jikalau dihubungkan dengan pasal 1233 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang,
maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian melahirkan satu atau beberapa
perikatan.
Buku Ketiga KUHPerdata terdiri dari bab satu mengatur tentang
perikatan-perikatan umumnya. Bab II mengatur tentang perikatan yang dilahirkan
dari kontrak atau perjanjian. Bab III mengatur tentang perikatan yang lahir dari
undang-undang. Bab IV mengatur tentang hapusnya perikatan. Bab V sampai
dengan bab XVIII mengatur tentang perjanjian khususnya atau perjanjian
bernama.
Tentang definisi perikatan hukum / verbentenis / obligatio tidak dijumpai
dalam KUHPdt. Tidak satu pasal pun yang menguraikan apa sebenarnya yang
dimaksud dengan perikatan itu.
Namun definisi perikatan hukum dapat kita jumpai dari pendapat para ahli
hukum.beberapa definisi perikatan hukum dari para ahli:


Universitas Sumatera Utara

27

Menurut Prof. Soebekti, SH. :
“Suatu perikatan adalah hubungan hukum antar dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak lain, dan
pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”. Pihak yang berhak
menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debetur atau di berutang.” 15
Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam buku ketiga KUHPerdata
tidak memberikan suatu rumusan perikatan. Mariam Darus Badrulzaman
berpendapat bahwa :
“Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah hubungan yang
terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta
kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan pihak lainnya
wajib memenuhi prestasi itu”. 16
Menurut Mashudi Moch Chidir Ali:
“Definisi suatu perikatan adalah “Suatu hubungan hukum antara dua atau
lebih pihak, dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu

yang menjadi hak pihak lain (beri dan tuntut prestasi). Pihak yang mempunyai
kewajiban itu dinamakan juga pihak berhutang atau debitur, sedangkan pihak
yang mempunyai hak itu disebut juga pihak penagih atau kreditur (pihak
berpiutang). Definisi persetujuan : suatu persetujuan (overeenkomst) adalah suatu

15
16

Komariah, Op.Cit, hal. 139.
Mariam Darus, Op.Cit, hal. 88.

Universitas Sumatera Utara

28

perbuatan berdasarkan kata sepakat antara dua atau lebih pihak untuk
mengadakan akibat-akibat hukum yang diperkenankan”. 17
“Jadi sebetulnya, suatu persetujuan itu tidak lain daripada suatu perjanjian
(ofspraak) yang mengakibatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban (jual beli;
sewa-menyewa;persetujuan kerja dan lain-lain). Pengertian persetujuan tidak

boleh digaduhkan dengan pengertian perikatan. Perhubungan antara kedua itu
adalah sebagai sebab akibat : suatu persetujuan dapat melahirkan suatu perikatan.
Persetujuan sedemikian disebut persetujuan obligator. 18
Menurut Subekti:
“Hubungan antara perikatan dan perjanjian mengatakan suatu perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dengan
demikian, hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian
itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya
sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perikatan

17

H. Mashudi Mohammad Chaidir Ali, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung Mandar Maju,
1995, hal. 4.

18

Mashudi Moch. Chidir Ali, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata,
CV Mandar Maju, 2001, hal. 16-20.

Universitas Sumatera Utara

29

(perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih
sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 19
M Yahya Harahap memberikan penjelasan mengenai perjanjian:
“Perjanjian (verbintenis) mengandung pengertian : Suatu hubungan
hukum kekayaan/harta antara dua atau lebih, yang memberikan kekuatan hak
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada
pihak lain untuk menunaikan prestasi”. 20
Dalam pengertian singkat di atas dijumpai beberapa unsur yang memberi
wujud pengertian perjanjian (Verbintenis), antara lain: hubungan hukum
(rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (person)
atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi.
M. Yahya Harahap menggunakan kata perjanjian untuk sebagai
terjemahan dari kata Verbintenis. Penggunaan terjemahan kata verbintenis masih
terdapat perbedaan pendapat, sebagaian dari para sarjana masih ada yang
menterjemahkannya menjadi perutangan. Ada yang menterjemahkannya menjadi
menjadi

perjanjian,

sedangkan

overeenkomst

diterjemahkannya

menjadi

persetujuan.
Hilman Hadikusuma memberi penjelasan pengertian perikatan menurut
hukum adat mengatakan:

“Perikatan menurut hukum adat adalah hubungan hukum diantara 2 (dua)
pihak yang terjadi karena adanya perbuatan atau kesepakatan dalam bentuk
19
20

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, 1980, hal. 122.
M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

30

persetujuan atau perjanjian karena adanya sesuatu kepentingan. Jadi adanya
perikatan karena ada kesepakatan. Tetapi dalam hukum adat suatu perikatan dapat
terjadi karena perbuatan sepihak atau karena kepakatan dua pihak. Karena adanya
perbuata atau kesepakatan menyebabkan timbulnya “perhutangan” perorangan
atau sekelompok orang”. 21
J. Satrio berpendapat untuk tidak mempersoalkan perbedaan pendapat
penggunaan istilah tetapi akan menggunakan saja istilah yang sudah lazim dan
banyak dipakai oleh para sarjana, sedangkan perjanjian atau persetujuan untuk

overeenkomst. 22
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa unsur-unsur perikatan ada
4 (empat) yaitu: 23
1. Hubungan

Hukum

Maksudnya yaitu hubungan-hubungan yang terjadi dalam lalu llintas
masyarakat, hukum melekatkan “hak” pada satu pihak, dan melekatkan
“kewajiban” pada pihak lainnya. Untuk menilai suatu hubungan hukum
perikatan atau bukan, maka hukum mempinyai ukuran-ukuran (kriteria)
tertentu.
2. Kekayaan 24
Yang dimaksud dengan kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang
dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehungga hubungan hukum

21

Hilman Hadikusuma, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, PT. Citra aditya Bakti, 2001,


hal. 65.
22

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yanng Lahir Dari Perjanjian buku I, PT Citra
aditya Bakti, 1995, hal.1.
23
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 55.
24

ibid

Universitas Sumatera Utara

31

itu

dapat

disebut

disebutkan

suatu

perikatan.

Apa yang dipergunakan sebagai kriteria itu tidak tetap, dahulu yang menjadi
kriteria ialah apakah sesuatu hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang
atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang maka
hubungan hukum itu adalah perikatan. Kriteria itu semakin lama semakin sukar
untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan
hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, namun kalau terhadapnya tidak
diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, dan bertentangan
dengan salah satu tujuan daripada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena
itu

sekarang

kriteria

diatas

tidak

lagi

dipertahankan.

Sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu
tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau jasa keadilan
menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun
akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi.
3. Pihak-pihak
yaitu hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang
berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau siberutang dan pihak
yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si
berhutang. Mereka ini yang disebut dengan subyek perikatan.
4. Prestasi
apabila dua orang mengadakan perjanjian ataupun apabila undang-undang
dengan terjadinya suatu peristiwa menciptakan suatu perikatan, jelaslah bahwa
maksud dari kedua orang tersebut maupun dari pembentuk undang-undang

Universitas Sumatera Utara

32

untuk mengikat kedua orang itu memenuhi kewajiban untuk memenuhi sesuatu
disebut dengan prestasi.
Pendapat para sarjana diatas telah memberikan penjelasan bahwa
perjanjian atau persetujuan menerbitkan perikatan. Perikatan adalah abstraknya
sedangkan perjanjian adalah kongkritnya.
`
B.Jenis-Jenis

dan

Syarat

Sahnya

perjanjian

Jenis-jenis Perjanjian: 25
1. Perjanjian Sepihak
Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak
saja. Misalnya: perjanjian hibah. Dalam hibah ini, kewajiban hanya ada pada
orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan,
sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima
hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan, tanpa berkewajiban
apapun kepada orang yang menghibahkan.
2.

Perjanjian

Timbal

Balik:

Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua
pihak yang membuat perjanjian. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan
suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi. 26 Misalnya:
perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa.

25

Diakses dari http://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/jenis-jenis-perjanjian-yanglazim-dipergunakan-dalam-praktek/, pada tanggal 20 Februari 2014 pukul 15.35
26
Komariah, Op.Cit, hal. 170.

Universitas Sumatera Utara

33

3.

Perjanjian

Bernama

Perjanjian

dan

Perjanjian

Bernama

Tidak

atau

Bernama:
Khusus:

Perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku
ke tiga Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya: perjanjian jual beli, sewa
menyewa, hibah dan lain-lain.
Perjanjian

Tidak

Bernama:

Perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya:
perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan Agen, atau perjanjian kredit.
4.

Perjanjian

Obligatoir

dan

Perjanjian

non

Perjanjian

obligatoir
Obligatoir:

Suatu perjanjian dimana mengharuskan atau mewajibkan seseorang membayar
atau

menyerahkan

sesuatu.

Perjanjian non obligatoir 27 yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan seseorang
untuk membayar/menyerahkan sesuatu. Misalnya balik nama hak atas tanah.
5.

Perjanjian

Konsensuil

Perjanjian

dan

Perjanjian

Riil
Konsensuil:

Perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak
yang membuat perjanjian.
Perjanjian

Riil:

Perjanjian yang tidak hanya memerlukan kata sepakat, tetapi barangnya harus
diserahkan. Misalnya: perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata.

27

Ibid

Universitas Sumatera Utara

34

6.

Perjanjian

Cuma-Cuma

dan

Perjanjian

Atas

Perjanjian

Beban 28
Cuma-cuma:

Perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja.
Misalnya: hibah (schenking) dan pinjam pakai (Pasal 1666 dan 1740
KUHPerdata).
Perjanjian

Atas

Beban:

Perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat

sesuatu

atau

tidak

berbuat

sesuatu.

Misalnya: A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B
menyerahlepaskan

suatu

barang

tertentu

kepada

A atauMisalnya:

A

menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda
tertentu pula kepada A
7.

Perjanjian
Perjanjian

yang

memerlukan

kata

Formil:
sepakat

tetapi

Undang-undang

mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara
tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT.
Misalnya: jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus
dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
8.

Campuran: 29

Perjanjian
Perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian didalamnya.
a) Perjanjian Penanggungan:

28

Ibid

29

Ibid

Universitas Sumatera Utara

35

Suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si
berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si
berutang

(debitur)

manakala

orang

itu

sendiri

(debitur)

tidak

memenuhinya (wanprestasi).
b) Perjanjian

Standar/Klausula

Baku:

Perjanjian yang mencantumkan klausul di dalam perjanjiannyadimana satu
pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan
membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar
janji atau perbuatan melawan hukum.
c) Perjanjian

standar/baku

dapat

dibedakan

dalam

tiga

jenis:

1. Perjanjian baku sepihak
Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya
di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak
kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak
debitur. Misalnya: pada perjanjian buruh kolektif.
2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
Perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Misalnya:
Dalam bidang agraria dapat formulir pengajuan akta hipotek.
3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat
Terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah
disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang
meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam

Universitas Sumatera Utara

36

kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”. Misal:
Surat Kuasa, Akte Pendirian.
d)

Perjanjian Garansi:
Diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga,
dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan
tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang
telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk
menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini
menolak memenuhi perikatannya

Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Menurut pasal 1320 KUH Pdt, untuk sahnya perjanjian diperlukan 4
(empat) syarat, yaitu: 30
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Komariah, SH, M.si menjelaskan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagai
berikut: 31
Ad.1) Dengan Sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan itu. A yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga

30

R. Soebekti dan R. Tjitronudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan XXV,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta 1992, hal. 201.
31
Komariah, Op.Cit, hal. 44.

Universitas Sumatera Utara

37

dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu
perjanjian itu harus diberikan secara bebas.
Ad.2) kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Dalam pasal 1330 KUH Pdt
disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu:
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c) Orang perempuan yang telah kawin (dengan adanya UU No.1 Tahun
1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi). Menurut pasal 330 KUH Pdt
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun,
dan tidak lebih dahulu telah kawin. (Komariah175)
Ad.3)

Suatu

hal

tertentu

sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian, menurut pasal 1320 KUHPerdata ialah
suatu hal tertentu. Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau
mengenai bendanya.
Ad.4)

suatu

sebab

yang

halal.

syarat keempat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer adalah adanya
sebab (causa)yang halal.
Syarat no. 1 dan 2 yakni sepakat mereka yang mengikat dirinya dan
kecakapan membuat suatu perjanjian disebut “syarat subyektif”, karena syarat
tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orangnya (subyek huum
dalam perjanjian).
Syarat 3 dan 4 disebut syarat obyektif karena syarat tersebut merupakan
syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian.

Universitas Sumatera Utara

38

C. Pengertian Pengangkutan dan hukum pengangkutan
Suatu pejanjian pengangkutan pada dasarnya merupakan suatu perjanjian
biasa, yang dengan sendirinya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku
untuk suatu perjanjian pada umumnya, yaitu tunduk pada ketentuan yang terdapat
dalam Buku ke III KUHPerdata tentang perikatan, selama tidak ada pengaturan
khusus tentang perjanjian pengangkutan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang angkutan.
HMN Purwosutjipto mendefinisikan pengangkutan sebagai berikut:
“Perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim. Dimana pengangkut
mengikatkan diri untukmenyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang
dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban
pengirim ialah membayar ongkos angkut”. 32
Sedangkan yang dimaksud dengan angkutan adalah suatu keadaan
pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan suatu
tujuan tertentu, baik untuk memperoleh nilai tambah untuk barang/komersial
maupun untuk tujuan non komersial.
Pengangkutan didefinisikan sebagai perpindahan tempat, baik mengenai
benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak dibutuhkan dalam
rangka mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi. 33

32

Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat (Jalan dan Kereta Api), Penerbit Universitas Trisakti,
2009, hal. 14.
33
Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkatan Laut, Angkutan
Darat dan Angkutan Udara, Medan, USU Press, 2006, hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

39

Dalam buku M.N. Nasution pengangkutan didefinisikan sebagai
pemindahan barang dan manusia dari tempat asal menuju tempat tujuannya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa proses pengangkutan tersebut merupakan gerakan
dari tempat asal, dimana kegiatan angkutan itu dimulai, ke tempat tujuan, dan
kemana kegiatan pengangkutan diakhiri. 34
Selanjutnya menurut Penulis pengangkutan adalah kegiatan memindahkan
sesuatu dari suatu tempat ke tempat tujuan yang menimbulkan hubungan hukum.
Menurut Hasyim Purba:
“Hukum pengangkutan merupakan ketentuan yang mengatur tentang
segala aktivitas pengangkutan yang wajib ditaati bagi setiap yang terlibat di dalam
aktivitas itu. Menurut Sution Usman Adji, dkk hukum pengangkutan adalah
sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan yang
dituju, sementara pihak lainnya (pengirim-penerima; pengirim atau penerima;
penumpang) mempunyai kewajiban untuk melakukan pembayaran biaya dalam
rangka pengangkutan tersebut”. 35
Dasar hukum pengaturan mengenai hukum pengangkutan di jalan, diatur
dalam: 36
1. Kitab Undang-undang hukum dagang (KUHD),
buku I bab V. Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90 sampai dengan pasal 98. Dalam
bagian ini diatur sekaligus pengangkutan perairan darat, akan tetapi hanya

34

M.N. Nasution, Jenis-Jenis Hukum Pengangkutan, Surabaya, Cahaya Husana, 2007, hal. 3.

35

Hasim purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2005, hal. 7.
SitiNurbati, Op.Cit, hal. 30.

36

Universitas Sumatera Utara

40

khusus mengenai pengangkutan barang, tidak diatur dalam pengangkutan
orang. Surat angkutan dan perjanjian pengangkutan pasal 90 ayat(1) KUHD
menyebutkan surat angkutan merupakan persetujuan antara si pengirim atau
ekpeditur pada pihak satu dan pengangkut atau juragan perahu pada pihak lain
dan surat ini memuat selain apa yang kiranya telah disetujui oleh kedua belah
pihak, seperti misalnya mengenai waktu dalam mana pengangkutan telah
harus selesai dikerjakan dan mengenai penggantian kerugian dalam hal
kelambatan, memuat juga:
1) Nama dan berat ukuran barang-barang yang diangkut, begitu
juga merek-merek dan bilangannya
2)

Nama orang kepada siapa barang-barang dikirim

3) Nama dan tempat si pengangkut atau juragan perahu
4)

Jumlah upah pengangkutan

5)

Tanggal dan Tanda tangan si pengirim atau ekspeditur.

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
(Lembaran Negara RI Tahun 2009 No.96, Tambahan Lembaran Negara No.
5025) 37
UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya
disingkat UULLAJ) mulai diberlakukan pada tanggal 22 Juni 2009. UULLAJ
adalah undang-undang yang terakhir diundangkan setelah 3 (tiga) undangundang angkutan lainnya terlebih dahulu diundangkan, yaitu, Undang-Undang
No.23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian; Undang-Undang No.17 Tahun 2008

37

Ibid

Universitas Sumatera Utara

41

tentang Pelayaran dari Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
UULLAJ ini terdiri XXII Bab dan 326 Pasal, menggantikan Undang-Undang
No.14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 325.
Pada saat undang-undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1992 tentang Lalu lintas dan angkutan Jalan (Lembaran negara Republik
Indonesia

nomor

3480)

dicabut

dan

dinyatakan

tidak

berlaku. 38

Akan tetapi, semua peraturan pelaksana dari UU No.14 tentang 1992 masih
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan
yang baru, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 324.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Tahun Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan
undang-undang ini.
Dalam Pejanjian Pengangkutan barang, obyeknya adalah benda atau
hewan, sedangkan dalam perjanjian pengangkutan orang, obyeknya adalah orang.
Dalam perjanjian Pengangkutan barang ada penyerahan barang atau hewan yang
dikuasakan dan diawasi oleh Pengangkut. Pengawasan dan penguasaan itu akan
lebih berat lagi bila yang diangkut adalah hewan dan pengangkut baru dapat
dimintakan tanggung jawabnya apabila benda-benda itu kurang, rusak,musnah,

38

Ibid

Universitas Sumatera Utara

42

atau terlambat sampai di tempat tujuan, sedangkan dalam perjanjian
pengangkutan orang, tidak ada penyerahan kepada pengangkut, yang ada
hanyalah pengangkut berkewajiban untuk mengangkut orang sampai di tujuan
dengan selamat. Begitu juga dengan tanggung jawab pengangkut dengan pihak
ketiga. Tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga terjadi diluar
perjanjian pengangkutan, karena posisi pihak ketiga berada diluar angkutan umum
dan bukan penumpang atau pengirim barang
D. Spesifikasi Pengangkutan Gas Elpiji
Pengangkutan gas elpiji dilakukan oleh agen resmi Elpiji yang telah
diberikan izin oleh Pertamina untuk mengangkut serta mengecerkan gas elpiji
tersebut kepada masyarakat di daerah tertentu yang telah ditentukan oleh PT.
Pertamina.
Sebelum dilakukan pengangkutan, dipastikan tabung-tabung Elpiji sudah
dalam keadaan siap kirim, yaitu memenuhi persyaratan: 39
a. Seluruh Tabung Elpiji yang diangkut ke atas kendaraan pengangkut telah bebas
dari kebocoran.
b. Tabung harus disusun secara rapi dan dalam posisi berdiri
c. Posisi katup tabung harus berada pada posisi mengarah ke udara terbuka/ ke
atas.
d. Lantai kendaraan pengangkut tabung elpiji harus datar.
e. Tabung harus diikat kencang atau dengan metode lain yang aman

untuk

meminimalkan pergerakan, terguling atau kerusakan fisik.
39

Diakses dari, www.migas.esdm.go.id, Pedoman Teknis Transportasi Elpiji dengan moda
angkutan darat, jam 21.00

Universitas Sumatera Utara

43

f. Penumpukan harus dilakukan secara aman. Tabung elpiji pada tumpukan
paling atas tidak boleh menonjol terhadap batas atas bak kendaraan pengangkut
dan penonjolan tidak boleh melebihi 1/4 dari tinggi tabung bagian atas.
g. Tinggi titik tengah bak truk pengangkut tabung elpiji dari permukaan jalan
tidak boleh lebih dari 95% dari lebar telapak ban terluar yang menyentuh
tanah.
h. Penutupan tabung-tabung diatas truk harus dilakukan dengan diameter penutup
yang cukup sehingga penumpukan tabung lebih stabil dari tinggi penutup harus
cukup agar katup tabung tidak rusak.
i. Penumpukan tabung elpiji ukura diatas 6 Kg sampai 15 kg dalam
pengangkutan maksimal dapat dilakukan dalam 2 susun atau berat maksimum
tumpukan adalah 45 Kg, mana yang lebih kecil. 40
j. Jika dalam pengangkutan tabung ditumpuk melebihi ketentuan di atas, maka
truk harus dilengkapi dengan sistem basket/palet atau menggunakan lantai/deck
bersusun.
k. Pengangkutan tabung dari beberapa jenis ukuran, harus mempertimbangkan
aspek keamanan daari resiko guncangan, dan menghindari kerusakan tabung
dan katup.
l. Total beban tabung Elpiji yang diangkut truk tidak boleh melebihi kapasitas
maksimum angkut kendaraan/truk..

40

Ibid

Universitas Sumatera Utara