Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara Di Kota Medan

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI

RUMAH NEGARA DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

AMELIA AMANDA PUTRI DAMANIK

087011022/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI

RUMAH NEGARA DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

AMELIA AMANDA PUTRI DAMANIK

087011022/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH NEGARA DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Amelia Amanda Putri Damanik

Nomor Pokok : 087011022 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 20 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Rumah merupakan kebutuhan utama bagi manusia, terutama bagi yang telah berkeluarga. Mahalnya harga rumah menjadi kendala utama yang mempengaruhi daya beli Pegawai Negeri Sipil. Dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dewasa ini, masalah perumahan ini sangat penting untuk diperhatikan. Perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah perumahan sangat berbeda, oleh karena itu harus mendapat perhatian yang sangat penting dari pemerintahan.

Pemerintah telah banyak membangun rumah-rumah yang dikenal dengan Rumah Negara yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri Sipil. Rumah-rumah tersebut digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu, Rumah Negara Golongan I, Golongan II, dan Golongan 3. Dimana menurut Peraturan Pemerintahan Nomor 40 Tahun 1994, Rumah Negara yang dapat di jual kepada penghuninya adalah Rumah Negara Golongan III, dengan cara Sewa Beli yang proses pengalihan haknya atas persetujuan Menteri Keuangan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dengan cara menggabungkan dua metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka/studi dokumen dan wawancara. Kemudian di analisa dengan metodeanalisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara di Kota Medan masih berjalan dan masih ada. Dapat dilihat dari banyaknya permohonan penghuni untuk proses kepemilikan rumah negara tersebut. walaupun dalam prosesnya terkadang mengalami hambatan. Hambatan terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya dokumen pendukung bukti kepemilikan oleh penghuni, proses yang berlangsung memakan waktu yang lama, meninggalnya penghuni selaku pembeli dan adanya suami isteri yang bekerja di instansi yang berbeda sehingga keduanya memperoleh rumah negara.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, sebaiknya penghuni harus melengkapi dokumen dan persyaratan yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku agar proses kepemilikan berjalan dengan lancar. Pemerintah juga harus mewujudkan pengelolaan Barang Milik Negara berupa Rumah Negara yang menjunjung tinggi good governanceuntuk mewujudkan pengelolaan Rumah Negara yang tertib, terarah, dan akuntabel.


(6)

ABSTRACT

Housing is a basic need for human beings, especially for those who have families. High-price housing has been a basic problem which influences the purchasing power of the civil servants. The rapid population growth has become a great concern in the housing problem. The number of people does not meet the number of houses; therefore, the government should pay more attention to the housing problem.

The government has built many houses which are called the Official Residence owned by the government and functioned as a residence or a facility for family building and as a support for the implementation of the government officials’ and/or the civil servants’ jobs. These houses are classified into three types: Official Residence Type I, Type II, and Type III. According to the Government Regulation No. 40/1994, Official Residence which could be sold to its resident was Official Residence Type III by doing hire-purchase system in which the endorsement must be with the approval of the Minister of Finance.

This research was descriptive analytic, using judicial normative approach and combining two methods of collecting the data: literature/documentation study and interviews. The data were analyzed qualitatively.

The result of the research showed that Hire-Purchase agreement of Official Residence in Medan still existed. It could be seen from the great number of petitions from the residents to own the houses, although they usually faced some constraints. These constraints were caused by some factors such as the lack of documents which could be used as the proof of the ownership of the houses, the process would take a long time, the death of the residents who wanted to buy the houses, and the couple worked at different government agencies which made both them have the right to obtain the Official Residence.

In order to solve the problems above, it was recommended that the residents should complete their documents and requirements which were in accordance with the legal provisions in order that the process of owning the houses could go smoothly. It was also recommended that the government, in implementing state-own assets, like Official Residence, should exercise good governance in order to realize an orderly, focused, and accountable Official Residence.


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Adapun tesis ini adalah merupakan salah satu persyaratan akademik yang harus dipenuhi mahasiswa untuk menyelesaikan studi guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian studi sampai pada penyusunan tesis ini penulis telah dibekali ilmu pengetahuan dibidang Ilmu Kenotariatan sejak dari semester I sampai pada semester terakhir, oleh dosen-dosen Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Khususnya dalam penulisan tesis ini penulis telah banyak memperoleh bantuan baik bantuan moril maupun materil dan juga bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

a. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM),. SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

b. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai anggota pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan pada penulis.


(8)

c. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Ketua Pembimbing, yang telah bersusah payah membimbing penulis. d. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program

Magister Kenotariatan, sekaligus sebagai penguji penulis.

e. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Bapak Syafnil Gani, SH, MHum dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn selaku Pembimbing, juga telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis.

f. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum dan Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHumsebagai Penguji Penulis.

g. Bapak dan Ibu Staf Pengajar Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

h. Para karyawan/i pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

i. Bapak Abdurrahman, SH selaku Kepala Sub Bagian Umum, Hukum dan Humas Kantor Wilayah Departemen Perhubungan Profinsi Sumut.

j. Kepada rekan-rekan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum khususnya group A angkatan 2008

k. Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahnda H. M Aman Damanik dan Ibu Hj. Naimah Rusny Siregar dan juga Abang-abangda Ir. Rizal H. Damanik, MM, Zulfanda Parlindungan Damanik, SH, SpN, Ir. Erwin Soganta


(9)

Damanik yang telah memberikan dukungan kepada penulis dan memberikan segala bantuan dan pengertian juga kasih sayang kepada penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik sebagaimana yang diinginkan

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari yang diharapkan, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya kepada penulis. Amin.

Medan, Desember 2010 Penulis,


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Amelia Amanda Putri Damanik

Tempat /Tgl. Lahir : Medan, 22 Januari 1987

Alamat : Jl. STM No. 39 Medan

II. ORANG TUA

Ayah : H. M. Aman Damanik

Ibu : Hj. Naimah Rusny Siregar

Abang : Ir. Rizal H Damanik, MM

Zulfanda Parlindungan Damanik, SH, SpN Ir. Erwin Soganta Damanik

III. PENDIDIKAN

SD Harapan I Medan : Lulus Tahun 1998 SMP Harapan I Medan : Lulus Tahun 2001 SMU Harapan Medan : Lulus Tahun 2004 S1 Univ. Islam Sumatera Utara : Lulus Tahun 2008


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Secara Teoritis... 12

2. Secara Praktis... 13

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian ... 20

BAB II PENGATURAN SEWA BELI RUMAH NEGARA DI KOTA MEDAN ... 23

A. Perjanjian Sewa Beli Pada Umunya ... 23

B. Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara... 36

C. Pengaturan Sewa Beli Rumah Negara Di Kota Medan ... 58

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK PEMBELI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH NEGARA ... 85


(12)

B. Perlindungan Hukum Bagi Pihak Pembeli Pada Sewa Beli Rumah Negara ... 88 BAB IV PERMASALAHAN YANG TERJADI SERTA

UPAYA PENYELESAIAN PERMASALAHAN

TERHADAP SEWA BELI RUMAH NEGARA... 98 A. Permasalahan Yang Terjadi Pada Praktek Sewa Beli Rumah

Negara ... 98 B. Upaya Penyelesaian Permasalahan Terhadap Sewa Beli

Rumah Negara ... 99 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 101 B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA ... 103 LAMPIRAN


(13)

ABSTRAK

Rumah merupakan kebutuhan utama bagi manusia, terutama bagi yang telah berkeluarga. Mahalnya harga rumah menjadi kendala utama yang mempengaruhi daya beli Pegawai Negeri Sipil. Dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dewasa ini, masalah perumahan ini sangat penting untuk diperhatikan. Perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah perumahan sangat berbeda, oleh karena itu harus mendapat perhatian yang sangat penting dari pemerintahan.

Pemerintah telah banyak membangun rumah-rumah yang dikenal dengan Rumah Negara yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri Sipil. Rumah-rumah tersebut digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu, Rumah Negara Golongan I, Golongan II, dan Golongan 3. Dimana menurut Peraturan Pemerintahan Nomor 40 Tahun 1994, Rumah Negara yang dapat di jual kepada penghuninya adalah Rumah Negara Golongan III, dengan cara Sewa Beli yang proses pengalihan haknya atas persetujuan Menteri Keuangan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dengan cara menggabungkan dua metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka/studi dokumen dan wawancara. Kemudian di analisa dengan metodeanalisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara di Kota Medan masih berjalan dan masih ada. Dapat dilihat dari banyaknya permohonan penghuni untuk proses kepemilikan rumah negara tersebut. walaupun dalam prosesnya terkadang mengalami hambatan. Hambatan terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya dokumen pendukung bukti kepemilikan oleh penghuni, proses yang berlangsung memakan waktu yang lama, meninggalnya penghuni selaku pembeli dan adanya suami isteri yang bekerja di instansi yang berbeda sehingga keduanya memperoleh rumah negara.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, sebaiknya penghuni harus melengkapi dokumen dan persyaratan yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku agar proses kepemilikan berjalan dengan lancar. Pemerintah juga harus mewujudkan pengelolaan Barang Milik Negara berupa Rumah Negara yang menjunjung tinggi good governanceuntuk mewujudkan pengelolaan Rumah Negara yang tertib, terarah, dan akuntabel.


(14)

ABSTRACT

Housing is a basic need for human beings, especially for those who have families. High-price housing has been a basic problem which influences the purchasing power of the civil servants. The rapid population growth has become a great concern in the housing problem. The number of people does not meet the number of houses; therefore, the government should pay more attention to the housing problem.

The government has built many houses which are called the Official Residence owned by the government and functioned as a residence or a facility for family building and as a support for the implementation of the government officials’ and/or the civil servants’ jobs. These houses are classified into three types: Official Residence Type I, Type II, and Type III. According to the Government Regulation No. 40/1994, Official Residence which could be sold to its resident was Official Residence Type III by doing hire-purchase system in which the endorsement must be with the approval of the Minister of Finance.

This research was descriptive analytic, using judicial normative approach and combining two methods of collecting the data: literature/documentation study and interviews. The data were analyzed qualitatively.

The result of the research showed that Hire-Purchase agreement of Official Residence in Medan still existed. It could be seen from the great number of petitions from the residents to own the houses, although they usually faced some constraints. These constraints were caused by some factors such as the lack of documents which could be used as the proof of the ownership of the houses, the process would take a long time, the death of the residents who wanted to buy the houses, and the couple worked at different government agencies which made both them have the right to obtain the Official Residence.

In order to solve the problems above, it was recommended that the residents should complete their documents and requirements which were in accordance with the legal provisions in order that the process of owning the houses could go smoothly. It was also recommended that the government, in implementing state-own assets, like Official Residence, should exercise good governance in order to realize an orderly, focused, and accountable Official Residence.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia perdagangan dan peridustrian di Indonesia saat ini telah berkembang dengan pesat. Berbagai barang industri telah beredar di pasaran bahkan tidak jarang ditemui untuk satu jenis barang yang dihasilkan oleh beberapa perusahaan dengan merk yang berbeda-beda. Semuanya saling berkompetisi untuk dapat menembus pasaran.

Pada kenyataannya dewasa ini, perkembangan masyarakat yang ditunjang oleh kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah menimbulkan lembaga hukum baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal di dalam hukum tertulis Indonesia. Timbulnya lembaga hukum baru itu sebagai suatu perwujudan nyata akibat dari adanya perkembangan tersebut. Diantara berbagai macam lembaga hukum yang erat kaitannya dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi suatu masyarakat dan merupakan perkembangan dari bentuk perjanjian yang cukup banyak digunakan dalam praktek, adalah apa yang dinamakan dengan perjanjian sewa beli atau dalam bahasa Belanda disebut juga dengan huurkoop dan dalam bahasa Inggris disebut denganhire purchase.

Untuk menghindari timbulnya penafsiran yang keliru terhadap judul yang digunakan, maka di bawah ini diberikan pengertian terhadap beberapa istilah yang dipergunakan sebagai berikut :


(16)

Perjanjian menurut Subekti, adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau di mana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Perjanjian menurut Projodikoro, mengartikan perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji akan melakukan sesuatu hal sedang pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.2 Perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad, mengartikan perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.3

Perjanjian atau verbintenis, mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.4Jadi, perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih atas kesepakatan bersama sehingga melahirkan hak dan kewajiban. Di dalam pengertian tentang perjanjian yang telah dikemukakan, ternyata terdapat kesepakatan antara para pihak yang setuju untuk melaksanakan perjanjian yang telah dimaksud, kemudian yang akan dilaksanakan itu terletak dalam lapangan harta kekayaan serta dapat dinilai dengan uang, jadi tidak termasuk bidang moral seperti kewajiban alimentasi (memberi nafkah) itu sendiri bisa berupa sejumlah uang.

1 R. Subekti,Hukum Perjanjian, Cet. 2, PT. Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 1. 2Wiryono Projodikoro,Hukum Perdata Tentang Persetujuan- Persetujuan Tertentu,

Sumur Bandung, Bandung, 1991, hal. 17.

3 Abdulkadir Muhammad,Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal 78. 4M. Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal 6.


(17)

Sewa beli adalah jual beli dimana penjual menyerahkan barang yang dijual secara nyata feitelijk kepada pembeli. Tetapi penyerahan nyata tidak diikuti penyerahan hak milik. Hak milik baru diserahkan pada saat pembayaran termijn terakhir yang dilakukan oleh pembeli.5

Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 pada Pasal 1.a. menyebutkan bahwa, sewa beli (hire purchase) adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.6

Jenis perjanjian Sewa Beli ini, termasuk baru bagi masyarakat, dan timbulnya perjanjian baru seperti ini, dimungkinkan sekali karena adanya sistem terbuka dan adanya asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia, artinya pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur dalam Undang- Undang maupun yang sama sekali belum diatur di dalam Undang-Undang.

5Ibid, hal. 210

6 Departemen Perdagangan dan Koperasi, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi

Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting), nomor: 34/KP/II/80. Ps. 1.a.


(18)

Perjanjian sewa beli ini sebenarnya merupakan bentuk khusus dari koop en verkoop op afbetaling,7 dimana selama pembayaran atas barang itu belum dilunasi, maka selama itu hak atas kekuasaan pemilikan tetap berada pada pihak penjual. Bentuk kekhususan itu terletak pada objek jual beli. Yang mana objek jual beli tersebut ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan objek “harta benda” atau “harta kekayaan”, kedalamnya termasuk perusahaan dagang, porsi warisan, dan sebagainya. Bukan hanya benda yang dapat dilihat wujudnya, tapi semua benda yang dapat bernilai harta kekayaan, baik yang nyata maupun yang tidak berwujud.8

Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dapat berfungsi sebagai sarana produktif keluarga pembangunan manusia seutuhnya. Dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dewasa ini, masalah perumahan ini sangat penting untuk diperhatikan. Perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah perumahan sangat berbeda, oleh karena itu harus mendapat perhatian yang sangat penting dari pemerintahan.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi saat ini dalam hal perumahan terbagi atas dua masalah yaitu :9

1. Permasalahan perumahan yang terjadi oleh sebab adanya defisit penyediaan dibandingkan permintaan (supply and demand).

7Hartono Soerjopratiknyo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Cet. 1, (Yogyakarta : seksi Notariat

Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1982, hal. 67. 8

M. Yahya Harahap,op. cithal. 182

9 Departemen Perumahan Rakyat, Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tentang

Pedoman Perencanaan dan Pengembangan Sektor Perumahan, Kepmen Negara Perumahan Rakyat nomor 06/KPTS/1994, Pasal 1 ayat 1


(19)

2. Permasalahan perumahan yang terjadi oleh sebab sebagian besar masyarakat tinggal di unit-unit sub standar di pemukiman yang tidak layak karena harga-harga rumah yang semakin mahal.

Dalam mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah melaksanakan programnya dengan menempuh dua jalur penyelesaian sebagai berikut:10

1. Jalur daur ulang dimana warga masyarakat yang menerima pelayanan perumahan melalui pola ini harus mampu mengembalikannya dalam bentuk pembayaran atau angsuran. Perumahan dengan pola seperti ini dikenal dengan nama Perumnas.

2. Jalur subsidi silang yaitu dengan membangun perumahan mewah dan bangunan komersial untuk menutup defisit biaya penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Pemerintah dalam hal ini sebagai pihak yang menguasai rumah tidak selalu berhadapan dengan calon pembeli yaitu Pegawai Negeri Sipil yang tidak mampu membeli dengan harga kontan, dikarenakan keterbatasan kemampuan melakukan pembelian. Padahal pegawai negeri sipil sangat menginginkan pemilikan rumah yang sesuai dengan kemampuannya.

Untuk itu pemerintah memberikan fasilitas berupa rumah disamping gaji dan tunjangan lainnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah telah banyak membangun rumah-rumah yang dikenal dengan Rumah Negara.


(20)

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994, Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa:

Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri Sipil.

Rumah-rumah negara tersebut dibangun dan diberikan pemerintah untuk tempat tinggal pegawai negeri sipil maupun militer bersama dengan keluarganya dengan status sewa dan diwajibkan untuk membayar uang sewa setiap bulannya. Sewa menyewa tersebut berlangsung tanpa batas waktu.

Status rumah tersebut juga dapat disebut sebagai rumah dinas atau rumah instansi. Oleh karena itu segala biaya yang berkaitan dengan pemeliharaan rumah tersebut ditanggung oleh pemerintah.

Pegawai negeri sipil dapat memiliki rumah negara tersebut dengan proses jual beli yang dilakukan dengan cara angsuran dimana jangka waktunya ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara pemerintah dengan pegawai negeri sipil, melalui suatu lembaga yang tidak merugikan pemerintah. Suatu sarana yang tepat apabila lembaga sewa beli yang diterapkan dalam hal ini.

Selama pegawai negeri sipil sebagai pembeli masih membayar angsuran dan belum melunasi maka selama itu pula pemiliknya masih tetap dipihak pemerintah. Bagi pemerintah juga untuk mengurangi anggaran negara terutama untuk memelihara rumah negara tersebut. Lembaga sewa beli ini merupakan salah satu dari hasil perkembangan sosial dalam masyarakat yang memerlukan saluran hukum dalam


(21)

pelaksanaannya dan saluran yang tepat adalah hukum perjanjian yang mempunyai asas kebebasan berkontrak.

Pada prinsipnya, dalam perjanjian pada umumnya, para subyek sewa beli diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

1. Pihak kreditor, yaitu pihak yang berhak atas prestasi

2. Pihak debitor, yaitu pihak yang berkewajiban memberikan prestasi

Pihak pembeli selama belum melunasi pembayarannya, belum berstatus sebagai pemilik, dan selama belum ada pelunasan, pembeli tidak berhak untuk menjadikan barang itu sebagai miliknya atau mengalihkan haknya kepada orang lain. Bila diamati lebih lanjut, dapatlah dikatakan bahwa perjanjian sewa beli ini merupakan perjanjian yang mengandung ciri-ciri khusus yang dapat dilihat dari cara pembayarannya. Sebagaimana diketahui bahwa dalam perkembangannya sampai saat ini, belum juga ada suatu ketentuan undang-undang khusus yang mengatur secara terperinci mengenai sewa beli. Di dalam kondisi belum ada ketentuan hukum yang mengatur, sudah tentu dalam praktik sering timbul ketidakpastian hukum, dan keadaan semacam ini pula yang akan menimbulkan suatu ketidakpastian menyangkut hubungan hukum serta kewajiban antara pihak penjual dan pihak pembeli.

R. Subekti, menyebutkan bahwa “sewa beli sebenarnya adalah suatu macam jual beli setidak-tidaknya ia lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa.11

Jadi, sewa beli adalah bentuk khusus dari perjanjian jual beli, di mana dijanjikan bahwa uang dapat diangsur dan barangnya dapat diserahkan kepada


(22)

pembeli namun, hak milik atas barang itu baru berpindah kepada pembeli apabila angsuran terakhir telah dilunasi. Perlu juga dijelaskan di sini bahwa pada kenyataannya penggunaan istilah sewa beli ini dalam berbagai literatur masih belum ada keseragaman, karena masih ada juga sarjana yang memakai istilah beli sewa.

Penggunaan kedua istilah pada hakikatnya tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil, tetapi ada sebagai akibat menerjemahkan bahasa asing yaitu, hire purchase (bahasa Inggris) atauhuurkoop(bahasa Belanda).

Indonesia berdasarkan asas korkondansi termasuk negara yang menganut sistem “civil law”, sistem “common law” berasal dari Inggris dengan ciri utama menekankan putusan pengadilan(case law)sebagai sumber hukum utama. Sistem ini dianut oleh negara-negara bekas jajahan Inggris seperti Amerika, Australia, Singapura, India dan Sri Lanka.

Terdapat perbedaan yang mendasar mengenai perjanjian sewa beli dalam kedua sistem hukum tersebut. Dalam sistem common law, sewa beli tampaknya lebih berat menekankan kepada perjanjian sewa menyewa dengan hak opsi bagi penyewa untuk membeli barang tersebut setelah jangka waktu sewa berakhir. Sebaliknya negara-negara yang menganut sistem civil law, menganggap bahwa perjanjian sewa beli tersebut lebih berat menekankan pada perjanjian jual beli. Perbedaan konsep ini membawa perbedaan dalam melihat masalah-masalah yang timbul dari perjanjian sewa beli seperti masalah saat hak milik atau resiko beralih atas barang yang menjadi objek perjanjian.12

Sewa beli sebagai perjanjian jual beli, erat kaitannya dengan kredit. Istilah kredit sering pula dihubungkan dengan sewa beli. Kredit merupakan hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu

12

Sri Gambir Melati Hatta,Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama, Alumni, Bandung, 1999hal. 33


(23)

diminta, atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan barang-barang sekarang.

Awal berkembangnya pranata sewa beli di Belanda dimulai sebelum tahun 1930 an. Transaksi ini adalah sebagai perjanjian sewa menyewa, dimana dalam syarat atau salah satu klausul perjanjiannya ditentukan bahwa apabila sudah terjadi pembayaran sewa menyewa yang terakhir maka secara serta merta atau otomatis penyewa menjadi milik dari barang yang disewanya.

Dalam sistem common law, menganggap sewa beli (hire purchase, lease purchase atau rent to buy)adalah merupakan perjanjian sewa menyewa. Berdasarkan hukum Inggris yaitu Hire Purchase Act 1965 perjanjian sewa beli adalah perjanjian sewa menyewa. Dengan demikian, perjanjian ini tunduk kepada Sale of Goods Act of 1893. sampai penyewa menyatakan pilihannya untuk membeli barang yang bersangkutan, perjanjian sewa beli bukanlah perjanjian jual beli atau perjanjian akan perjanjian akan meng-adakan jual beli.

Istilah sewa beli sering juga dikaitkan dengan istilah “Leasing”. Pasal 1 Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian No. KEP. 122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974, menyebutkan bahwaleasingadalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai hak pilih atau optie bagi perusahaan tersebut


(24)

untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.

Perjanjian sewa beli juga erat kaitannya dengan jual beli dengan angsuran. Jual beli dengan angsuran menurut Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 merupakan jual beli dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli.

Adapun persamaan antara perjanjianleasing dengan perjanjian sewa beli dan jual beli dengan angsuran adalah sebagai berikut:13

No. Perjanjian Leasing Perjanjian Sewa Beli & Jual Beli dengan Angsuran

1. Lessee membayar imbalan jasa kepada lessor dalam waktu tertentu.

Pembeli membayar angsuran kepada penjual dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian. Di samping itu, terdapat juga perbedaan antara perjanjian leasing dengan perjanjian sewa beli dan jual beli dengan angsuran adalah sebagai berikut:14

No. Perjanjian Leasing Perjanjian Sewa Beli & Jual Beli dengan Angsuran

1.

2.

Lessor adalah pihak yang menyediakan dana dan membiayai seluruh pembelian barang tersebut.

Masa leasing biasanya ditetapkan sesuai dengan perkiraan umur kegunaan barang.

Harga pembelian barang sebagian kadang-kadang dibayar oleh pembeli. Jadi penjual tidak membiayai seluruh harga beli barang yang bersangkutan.

Jangka waktu dalam perjanjian sewa beli & jual beli dengan angsuran. Tidak memperhatikan baik pada perkiraan umur kegunaan barang maupun kemampuan pembeli mengangsur harga barang. 13Drs. Achmad Anwari,Leasing Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987 hal. 18 14Ibid, hal. 19


(25)

3. Pada akhir masa leasing, lessee dapat menggunakan hak opsinya (hak pilih) untuk membeli barang yang bersangkutan, sehingga hak milik atas barang beralih pada lessee.

Pada akhir masa perjanjian sewa beli dan jual beli dengan angsuran, hak milik atas barang dengan sendirinya beralih kepada pembeli. Hak milik atas barang beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli.

Selain itu, terdapat juga suatu keterkaitan antara sewa beli dengan rental, dimana keterkaitan tersebut terdapat juga suatu perbedaan antara sewa beli dengan rental yaitu rental merupakan sewa, dimana sewa ini adalah kegiatan dagang di bidang sewa menyewa atas barang, dimana hak milik atas barang yang disewakan tetap berada pada pemilik barang, salah satu contohnya yaitu rental kendaraan bermotor, sedangkan dalam sewa beli, hak terhadap suatu objek yang di dagangkan tersebut dapat beralih kepada pembeli.

Dalam hubungan dengan kenyataan itu maka penelitian ini akan menyoroti salah satu aspek hukum sehubungan dengan terjadinya praktik sewa beli.

Untuk itulah maka judul yang dipilih adalah “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH NEGARA DI KOTA MEDAN”.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan sewa beli rumah negara di kota Medan?

2. Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak pembeli dalam perjanjian sewa beli rumah negara?


(26)

3. Bagaimanakah bentuk kendala atau permasalahan serta upaya penyelesaian dalam permasalahan yang terjadi pada sewa beli rumah negara di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan uraian rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan sewa beli rumah negara di kota Medan. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak pembeli dalam

perjanjian sewa beli rumah negara.

3. Untuk mengetahui kendala atau permasalahan serta upaya penyelesaian terhadap permasalahan pada sewa beli rumah negara.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai bentuk sewa beli rumah negara yang ada pada masyarakat khususnya pegawai negeri sipil dan militer dapat membantu untuk mengetahui bagaimana prosedur kepemilikan rumah negara tersebut. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai sumbang saran dalam khasanah guna mengetahui kepentingan serta hak-hak dari pembeli sehingga dapat dilindungi secara hukum dalam ilmu hukum perjanjian sewa beli pada khususnya di kota Medan.


(27)

2. Secara Praktis

Pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kalangan praktisi penegak hukum dimuka dan diluar pengadilan, dan anggota masyarakat yang terkait dalam melaksanakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan perjanjian sewa beli rumah negara.

E. Keaslian Penelitian

Penulisan tesis ini berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara Di Kota Medan” yang di ajukan ini adalah dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan.

Penulisan tesis ini mengenai “Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Sewa Beli Di Kota Medan” belum pernah di angkat dan di bahas dalam tesis. Akan tetapi, apabila ada persamaan dengan milik orang lain, bukanlah suatu kesengajaan dan pastilah memiliki isi, permasalahan, data riset yang berbeda pula. Dengan demikian, penulisan tesis ini, tidak sama dengan penulisan tesis yang sudah pernah ada, karena tesis ini dibuat sendiri dengan menggunakan literatur-literatur. Sehingga tesis ini masih asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan akademik.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

M. Solly Lubis mengemukakan:15


(28)

“Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan tertulis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak. Ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.”

Bagi Popper, teori hukum(hukum universal)bukan intisari pengamatan, tetapi merupakan penemuan akal manusia, suatu konjektual (doxa) yang diajukan unutk dicoba.16Bahwa teori tidak sebagai intisari pengamatan, dimaksudkan untuk menolak sistem induksi yang tidak diperlukan dalam teori. Bahkan diungkapkan oleh Popper, bahwa teori (penjelasan) merupakan dan akan tetap merupakan hipotesis.

Pada hakikatnya teori merupakan serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas sesuatu gejala.

Bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.

Untuk memecahkan permasalahan terhadap perjanjian sewa beli tersebut yang merupakan suatu perjanjian campuran, maka dikenal 3 teori, yaitu: teori akumulasi, teori absorbsi, dan teori sui generis.17

Menurut teori akumulasi, unsur-unsur perjanjian campuran, dipilah-pilah. Untuk unsur perjanjian jual beli, diberlakukan ketentuan perjanjian jual beli dan 16Popper, Karl R., Alfons Taryadi, Epistimologi pemecahan masalah. Jakarta: Penerbit PT.

Gramedia, 1989. dalam buku Sri Gambir Melati Hatta, Beli SewaSebagai Perjanjian Tak Bernama, Alumni, Bandung, 1999, Hal. 16

17


(29)

untuk unsur sewa menyewa diberlakukan ketentuan tentang perjanjian sewa menyewa. Kritik dalam teori ini adalah ada ketentuan yang saling bertentangan antara perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. Dalam perjanjian jual beli, resiko ditanggung oleh pembeli, walaupun hak milik atas barang belum diserahkan kepada pembeli. Sedangkan resiko dalam perjanjian sewa menyewa, tetap pada pemiliknya, sehingga jika terjadi force majeure, maka perjanjian sewa menyewa gugur.18

Menurut teori absorbsi, perjanjian campuran diterapkan unsur perjanjian yang paling dominan. Kritik terhadap teori ini tidak mudah untuk menentukan perjanjian mana yang paling dominan, apakah perjanjian jual beli atau perjanjian sewa menyewa.19

Sedangkan menurut teori sui generis, perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang memiliki ciri tersendiri. Karena itu ketentuan tentang perjanjian khusus yang di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diberlakukan secara analogis bagi perjanjian campuran.20

Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.21

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan

18Suharnoko, SH, MLI, Hukum Perjanjian : Teori Dan Analisa Kasus, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, 2004, hal. 66

19ibid 20Ibid


(30)

secara khas ilmu hukum, maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami perjanjian sewa beli rumah negara.

Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum.

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh di bebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.22

Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan, hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya.

Di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. “Pengertian ini mengandung kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan

22

Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum,Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 158


(31)

penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing.23

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.24

Maka konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.25 Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, serta agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Analisis Yuridis

Analisis Yuridis adalah mengkaji secara hukum b. Perjanjian

23

R. Setiawan,Pokok-pokok Hukum Perikatan, cet.4,Bina Cipta, Bandung, 1987

24M. Solly Lubis,Op.cit, hal.80

25Koentjoroningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama , 1997,


(32)

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk menunaikan prestasi26

c. Sewa beli

Sewa Beli adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.27

d. Jual Beli

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.28

e. Sewa Menyewa

Sewa menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang

26Yahya Harahap, Op.cit, hal 6

27 Salim SH, MS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominatdi Indonesia, sinar grafika,

jakarta, 2008, hal.


(33)

yang hendak di sewa kepada pihak penyewa untuk “dinikmati” sepenuhnya (volledigegenot).29

f. Rumah Negara

Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri.30

g. Rumah Negara Golongan I

Rumah Negara Golongan I adalah Rumah Negara yang dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut, serta hak penghuniannya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan tertentu tersebut.31

h. Rumah Negara Golongan II

Rumah Negara Golongan II adalah Rumah Negara yang mempunyai hubungan dengan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negeri dan apabila telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada Negara.32

i. Rumah Negara Golongan III

29M. Yahya Harahap,Op.cithal 220

30Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 40 Tahun 1994, Pasal 1 ayat 1 31Ibid, Pasal 1 ayat 5


(34)

Rumah Negara Golongan III adalah Rumah Negara yang tidak termasuk Golongan I dan Golongan II yang dapat dijual kepada penghuninya.33

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dan wawancara. Tujuan penulisan ini untuk mengungkapkan suatu kenyataan hukum yang ada memang belum bisa menjawab semua kebutuhan masyarakat. Dengan demikian diperlukan suatu peraturan yang serasi baik secara vertikal maupun horizontal. Implementasinya adalah penelitian akan dapat memberikan suatu pengetahuan dan informasi hukum yang lebih transparan. Dengan pengetahuan tersebut lebih mudah dapat mengadakan unifikasi hukum, penyederhanaan hukum dan kepastian hukum. Penelitian ini besifat eksplanatoris, yang menerangkan dan menguji apakah ada atau tidak hubungan diantara berbagai variabel yang diteliti dengan tujuan untuk mencari dan menemukan pemecahan dari permasalahan yang dihadapi.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan di dalam penelitian ini meliputi :

1. Bahan hukum primer yaitu aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan perjanjian sewa beli yaitu :


(35)

- Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perijinan Perjanjian Sewa Beli (Hire Purchase), jual beli dengan angsuran dan sewa (Renting).

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara.

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994.

2. Bahan hukum sekunder yaitu terdiri berbagai bahan yang diambil dari kepustakaan atau buku – buku karangan para sarjana.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum maupun berupa majalah atau tulisan – tulisan yang berkaitan dengan hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini merupakan landasan utama penyusunan tesis, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan penulis membaca literatur berupa buku – buku ilmiah, peraturan Perundang – undangan dan sumber lain yang berhubungan dengan perjanjian sewa beli.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara studi dokumen. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun sosiologis), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.


(36)

Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus diperiksa ulang validitas dan reliabilitasnya, sebab, hal ini sangat menetukan hasil suatu penelitian.34

5. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini adalah analisis kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan narasumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Kemudian ditarik kesimpulannya dengan menggunakan metode deduktif. Penarikan kesimpulan inilah yang diharapkan agar dapat menjawab masalah yang di tuangkan. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta di evaluasi, kemudian data di kelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis.

34 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengntar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo


(37)

BAB II

PENGATURAN SEWA BELI RUMAH NEGARA DI KOTA MEDAN

A. Perjanjian Sewa Beli Pada Umumnya

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan Hukum kekayaan / harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.35

Dari pengertian singkat diatas kita jumpai didalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pendidikan perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut Hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Kalau demikian, perjanjian / verbintenis adalah hubungan hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan / person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.36

Seperti telah diketahui bahwa perikatan lahir dari perjanjian yang sesungguhnya merupakan sumber perikatan yang terbanyak, di samping Undang-undang. Hal ini dapat dijumpai pada pasal 1233 BW (Burgerlijk Wetbook).

35M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 6 36Ibid, hal. 6


(38)

Perjanjian dapat lisan maupun tertulis. Perjanjian dapat diakui sebagai suatu perjanjian yang sah menurut hukum, apabila memenuhi berbagai syarat seperti yang dikehendaki oleh pasal 1320 BW yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Persyaratan 1 dan 2 merupakan syarat subyektif sedangkan 3 dan 4 merupakan syarat obyektif. Syarat subyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan pribadi (persoon) para pihak, apabila syarat ini dilanggar maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya (van vernietigbaan). Sedangkan syarat objektif apabila dilanggar, perjanjian tersebut batal demi hukum (Nietigbaar- Van Rechtswegenietig).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam BW, sebagaimana tercantum di dalam Bab atau Titel V s/d XVIII tentang persetujuan-persetujuan tertentu khususnya pada pranata jual beli dan sewa menyewa merupakan dasar awal timbulnya pranata sewa beli tersebut. Hal ini didasarkan pada konstruksi sui generis. Ajaran tersebut mendasarkan pada prinsip bahwa syarat-syarat yang lebih dominan dari salah satu pranata apakah syarat-syaratnya lebih banyak pada perjanjian jual beli atau lebih banyak mempunyai syarat-syarat sewa menyewa. Maka pranata baru tersebut akan dapat dikelompokkan pada salah satu pranata tersebut diatas. Dalam hal sewa beli dikelompokkan pada jual beli ataukah sewa menyewa. Perjanjian ini merupakan perjanjian campuran, dimana bahwa dalam ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generis).37

37 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III tentang


(39)

Dalam membuat suatu perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak. Asas ini memiliki hubungan yang erat dengan asas konsensualisme. Asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” (will)para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Manusia terhormat apabila memenuhi janjinya, kata Eggens.38

Perkembangan perekonomian Indonesia, diikuti pula oleh perkembangan berbagai bentuk transaksi, misalnya : sewa beli, sewa guna usaha (leasing), dan jual beli angsuran. Hal ini terjadi karena konsumen memiliki dana yang terbatas.

Pembelian barang bergerak, misalnya kendaraan bermotor, dimana pembelian dengan menggunakan sistem sewa beli dipandang sangat membantu pembeli dan sesuai dengan kemampuan keuangan mereka untuk dapat memiliki barang yang diinginkan tersebut. Sistem ini menawarkan cara pembayaran angsuran dalam beberapa kali, dalam jangka waktu yang relatif panjang, yang tidak dijumpai pada sistem pembayaran tunai. Inilah yang menyebabkan pranata sewa beli semakin populer di masyarakat, tanpa terpikirkan persoalan-persoalan hukum yang mungkin timbul.

Adapun kontrak sewa beli yang dapat dilakukan yaitu sewa beli kendaraan bermotor, alat-alat rumah tangga, mesin cetak, printing, offset, alat-alat elektronika, alat-alat mesin berat, sepeda, alat-alat musik dan sebagainya. Sedangkan di dalam masyarakat transaksi dengan cara sewa beli ternyata yang paling banyak adalah kontrak sewa beli kendaraan bermotor.

38Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,


(40)

Perjanjian sewa beli merupakan salah satu bentuk perjanjian dalam hukum kontrak yang memiliki kekhasan secara perdata. Hukum kontrak yang merupakan bagian dari hukum privat, karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan dari pihak-pihak yang menyelenggarakan kontrak. Kontrak dalam bentuk yang klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian, dimana hal tersebut diatur pada pasal 1338 KUHPerdata.

Perkembangan hukum kontrak dewasa ini telah sampai pada paradigma baru yang timbul dari dua dalil antara lain: pertama, setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd) dan kedua, setiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang.

Dengan adanya dimensi baru dalam hukum kontrak ini tentu memiliki dampak positif dan negatif yang patut diperhitungkan. Dampak positifnya adalah sebagai salah satu bentuk pembangunan perekonomian melalui dunia usaha. Sedangkan dampak negatif dari adanya variasi dalam melaksanakan/membuat kontrak (perjanjian) adalah berkaitan dengan klausula-klausula yang mengatur perjanjian. Klausula perjanjian biasanya dibuat secara sepihak oleh pihak penjual sehingga kecenderungan isi dari klausula hanya mengatur hak-hak dari penjual, sedangkan pihak pembeli harus tunduk kepada ketentuan/klausula perjanjian yang dibuat secara sepihak tersebut. Hal ini menimbulkan dilema tersendiri bagi pembeli karena disatu sisi pembeli membutuhkan barang yang menjadi objek perjanjian,


(41)

sedangkan disisi lain pihak pembeli selalu dibebankan dengan syarat-syarat yang merugikannya.

Pranata jual beli angsuran, pranata sewa beli (hire purchase) dan sewa guna usaha (leasing) merupakan pranata hukum perjanjian yang perkembangannya didasarkan pada kebebasan berkontrak sebagai asas pokok dari hukum perjanjian yang diatur dalam pasal 1338 juncto pasal 1320 KUHPerdata. Secara khusus perundang-undangan yang melandasi pranata jual beli tunai dan pranata sewa menyewa adalah sama, keduanya memiliki dasar hukum yang diatur dalam KUHPerdata.

Dalam sistem hukum perdata, pengelompokan kitab undang-undang hukum perdata disebut juga perjanjian bernama (benoemde contracten atau nominaat contracten). Sementara itu, pranata jual beli angsuran dan pranata beli sewa, dimasukkan dalam perjanjian tidak bernama (onbenoemde contracten). Wirjono Prodjodikoro menyatakan sistem Burgerlijk Wetboek (BW) juga memungkinkan para pihak mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW, WVK atau Undang-undang lainnya.39 Untuk persetujuan-persetujuan ini berlakulah B.W Buku III titel I-IV sepenuhnya. Ilmu Pengetahuan Hukum Belanda menamakan persetujuan-persetujuan semacam ini onbenoemde overeenkomsten persetujuan-persetujuan yang tidak disebutkan dalam undang-undang.

J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan perjanjian innominat, atau perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada 39 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,


(42)

pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang. Karena tidak diatur dalam perundang-undangan, baik Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), keduanya didasarkan pada praktek sehari-hari dan putusan pengadilan (Jurisprudensi).40

Sistem yang dipergunakan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek yang untuk selanjutnya disebut BW adalah sistem terbuka, artinya diakui adanya asas kebebasan berkontrak, seperti tercantum dalam Pasal 1338 BW. Berdasarkan asas tersebut, para pihak dapat mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW ataupun KUHD atau Undang-undang lain.

Namun ketentuan-ketentuan umum BW Buku III titel I s/d IV tetap berlaku, misalnya mengenai sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320) dan Pasal 1338 yang berhubungan dengan BW Buku III yaitu sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak tersebut maka lahir pranata sewa beli sebagai terobosan dari pranata jual beli tunai dan merupakan variant dari jual beli angsuran.

Grotius, mengatakan bahwa mencari dasar konsensus itu dalam hukum kodrat. Ia mengatakan bahwa “pacta sunt servanda” (janji itu mengikat). Seterusnya ia menyatakan lagi, “promissorum implenderum oblagatio (kita harus memenuhi janji kita)”.41

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa:

40J. Satrio, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992 41Ibid, hal. 83


(43)

“Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

“Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh Undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan ”siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, kekuatan mengikat.

Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang pada paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman reinaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseu.42

Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Di dalam hukum perjanjian, falsafah ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori “laissez fair” ini menganggap bahwa “the invisible hand”akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas.43

Dalam masyarakat pada umumnya menyebut sewa beli untuk pranata yang di Belanda disebut Huurkoop, di Inggris disebut Hire Purchase. Pranata sewa beli ini dalam masa pembayaran mengangsur hak milik masih di tangan pemilik, sehingga

42Ibid, hal. 84 43Ibid.


(44)

selama masa pembayaran angsuran dianggap sebagai sewa, sampai seluruh harga dipenuhi baru kepemilikan secara otomatis beralih.

Seperti halnya yang berlaku di Jepang yang peninjauan dan pengaturannya lebih ditujukan pada penjualan produk-produk. Oleh karena itu, di Jepang undang-undangnya disebut dengan Undang-undang Penjualan (produk) secara angsuran/cicilan (Kappu Hanbai Ho – Undang-undang No.159 tahun 1961).44

Meskipun berdasar ketentuan undang-undang sewa beli belum diatur baik dalam KUHPerdata maupun KUH Dagang, namun pemerintah ternyata telah memberikan adanya peraturan lewat perangkatnya yang berupa Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi.

Menteri Perdagangan dan Koperasi pada tahun 1980 pernah mengeluarkan Surat Keputusan tentang Sewa Beli yaitu SK. Menperdagkop No.34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli. Namun surat keputusan itu sesungguhnya hanya mengatur masalah perjanjian perusahaan yang bergerak pada usaha Sewa Beli.

Selain itu, Menteri Perdagangan telah mengeluarkan Surat Edaran dan Surat Pengantar sehubungan dengan izin usaha Sewa Beli. Surat Edaran Direktur Bina Usaha Perdagangan No.408/Binus-3/IX/85 tertanggal 27 September 198545 Perihal: Permohonan Izin Usaha Sewa Beli (Hire Purchase). Disusul lagi dengan surat 44Kappu Hanbai Ho No.159 tahun 1961 –Undang-undang Penjualan Dengan Pembayaran

Angsuran, Jepang, dalam buku Sri Gambir Melati Hatta,Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama, Alumni, Bandung, 1999, Hal. 5

45 Surat Edaran Direktur Bina Usaha Perdagangan No.408/Binus-3/IX/85 tertanggal 27


(45)

No.719/Binus-3/VIII/1986, 8 Agustus 198646 yang memeperjelas tentang izin usaha Sewa Beli juga pengertian Sewa Beli (Hire Purchase) dan Jual Beli Angsuran yang didasarkan pada SK No.34/Kp/II/80. Di sini ditegaskan bahwa sewa beli (Hire Purchase) adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang, dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli sebagai pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.

Pada perjanjian jual beli angsuran dengan pembayaran pertama dan diikuti penyerahan barang hak milik langsung beralih kepada pembeli. Sehingga pembeli langsung menjadi pemilik dengan penyerahan barang tersebut meskipun pembayaran belum lunas.

Dalam perjanjian dimana bentuk, dan syarat atau isi yang dituangkan dalam klausul-klausul telah dibuat secara baku (standart contract) maka posisi hukum (Recht positie – kedudukan hukum) pembeli tidak leluasa atau bebas mengutarakan kehendaknya. Hal ini bisa terjadi bahwa pembeli tidak mempunyai kekuatan menawar (barganing power). Dalam standart form contract pembeli disodori perjanjian dengan syarat-syarat yang ditetapkan sendiri oleh penjual, sedangkan pembeli hanya dapat mengajukan perubahan pada hal-hal tertentu, umpamanya

46 Surat Direktur Bina Usaha No.719/Binus-3/VIII/1986, 8 Agustus 1986 hal penjelasan


(46)

tentang harga, tempat penyerahan barang dan cara pembayaran, di mana hal inipun bila dimungkinkan oleh penjual.

Tentang hal-hal esensial dalam perjanjian, umpamanya, mengenai pembatalan perjanjian tidak dapat ditawar lagi. Untuk itu perlu ditengahkan adanya syarat-syarat dalam perjanjian baku. Mariam Darus Badrulzaman, dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa syarat-syarat dalam perjanjian baku yang selalu muncul adalah sebagai berikut :47

1. Cara mengakhiri perjanjian

2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian 3. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase

4. Penyelesaian sengketa melalui keputusan pihak ketiga. 5. Syarat - syarat tentang eksonerasi.

Pada umumnya dalam perjanjian baku hak-hak penjual lebih menonjol dari pada dibandingkan dengan hak-hak pembeli, karena pada umumnya syarat-syarat atau klausul bagi pembeli merupakan kewajiban-kewajiban saja. Sehingga dengan demikian antar hak-hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli tidak seimbang.

Perkembangan dan kemajuan perekonomian di dunia saat ini, tidak dapat menghalangi masuknya pranata-pranata bisnis baru dari luar yang belum pernah kita kenal seperti Manufacturing, franchising, leasing, dan sebagainya. Sejalan dengan itu pihak asing juga membawa serta perjanjian baku yang telah di buat di negara

47 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen, Dilihat Dari Sudut


(47)

asalnya (Common Law), yang mungkin berbeda sistem hukumnya dengan Indonesia. Namun dengan demikian karena kebutuhan perkembangan perekonomian di Indonesia transaksi-transaksi jenis baru mulai di terapkan.

Perjanjian baku yang ditetapkan sepihak tersebut, menunjukkan bahwa pranata sewa beli dalam praktek memiliki ciri tersendiri, yaitu upaya menguatkan hak penjual dari berbagai kemungkinan yang terburuk, selama masa kontrak atau sebelum masa pelunasan angsuran untuk kepentingan penjual sendiri. Hal ini yang membuat perjanjian baku yang dipergunakan dalam pranata sewa beli sering merupakan penyebab utama bagi timbulnya masalah di pihak pembeli dari pada penjual.

Salah satu contoh persoalan yang timbul dalam suatu perjanjian sewa beli adalah tentang klausul hari jatuh tempo yaitu suatu persyaratan mengenai hak penjualan untuk menarik lagi objek perjanjian apabila pembeli lalai atau mengalami kemacetan dalam pembayaran (wanprestasi), tanpa melalui perintah hakim, peraturan tersebut menyimpang dari ketentuan hak reklame yang dimiliki penjual yang pelaksanaannya harus melalui putusan hakim.

Masalah lain dalam perjanjian sewa beli adalah tentang klausul dapat dituntut dan harus dengan pembayaran sekaligus (vervroegde opeisbaarheids) yang merupakan persyaratan dari pihak penjual yang memberatkan pihak pembeli. Persyaratan ini berlaku jika pembeli melakukan wanprestasi, sehingga ia di tuntut untuk segera membayar seluruh sisa pembayaran sekaligus.

Apabila pembeli membayar dengan tertib dan telah membayar lebih dari setengah jumlah harga keseluruhan sewa beli, atau pembeli tinggal membayar


(48)

bebrapa tahapan lagi agar tercapai pelunasan, maka atas kewenangan penjual, objek perjanjian tersebut ditarik begitu saja tanpa memperhitungkan pembayaran sebelumnya yang sudah dilakukan pembeli. Uang angsuran yang sudah diterima dari pihak pembeli dianggap sebagai pengganti kerugian atau sewa atas pemakaian barang sebelumnya.

Asas Konsensualitas dan Asas Kebebasan Berkontrak

Apabila berbicara mengenai kata sepakat pastilah yang tergambar dalam pikiran kita ialah adanya persesuaian pendapat antara para pihak tanpa adanya paksaan. Dengan perkataan lain bahwa kata sepakat tersebut harus diberikan secara bebas. Kata sepakat yang ternyata kemudian adanya kekhilafan atau karena adanya penipuan merupakan sepakat yang cacat (Wilsgebrek). Akibat hukum dari kata sepakat yang cacat itu adalah pembatalan atas perjanjian tersebut.

Soebekti berpendapat bahwa asas konsensualitas mempunyai arti yang terpenting yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut. Perjanjian dan perikatan sudah dilahirkan pada saat dicapainya konsensus. Pada detik tersebut perjanjian sudah sah mengikat. Hal ini penting sekali demi adanya kepastian hukum.48

Menurut Prof. Eggens bahwa asas konsensualisme merupakan puncak peningkatan martabat manusia yang didasarkan pada adanya kepercayaan pada perkataanya, yang dapat meletakkan martabat manusia pada tingkat yang setinggi-tingginya sebagai manusia.49

48Soebekti,Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1976, hal 12 49Soebekti,ibid, hal. 12


(49)

Menyinggung tentang masalah asas konsensualitas dalam hukum perikatan maka eratlah kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak seperti apa yang tercermin dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai Hukum Perikatan yang tercantum dalam buku III BW.

Asas konsensualitas merupakan syarat mutlak bagi hukum perikatan atau verbintenissenrecht, demi tercapainya kepastian hukum. Asas konsensualitas yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata kita memberikan pengertian bahwa hukum perikatan dari Burgerlijk Wetboek kita menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan kata sepakat saja. Sedangkan pernyataan kehendak (Wils Verklaring) dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan atau surat, dan lain-lain.50

Kata sepakat ini dianggap sah apabila kata sepakat yang diberikan tersebut tidak berdasar atas:

1. Kekhilafan (dwaling)atau 2. Paksaan (dwang)

3. Penipuan (bedrog)

Asas konsensualisme itu sendiri bagi hukum tentunya tidak hanya demi untuk tuntutan kesusilaan dan etis saja akan tetapi lebih dari itu yaitu guna tercapainya kepastian hukum. Asas konsensualisme di dalam sistem hukum di Indonesia yaitu dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan suatu asas yang universal


(50)

yang dapat ditemukan dan disimpulkan dari pasal 1320 jo pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Pasal 1338 ayat 1 yang menentukan bahwa semua persetujuan dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya persetujuan mengikat para pihak. Sedangkan dari perkataan semua dalam pasal 1338 ayat 1 ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa yaitu yang ada di dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Asas kebebasan berkontrak berpangkat pada kedudukan dua belah pihak yang sama kuatnya. Sedangkan kenyataannya tidak demikian. Maka Soebekti berpendapat, nanti di dalam Undang-undang Hukum Perikatan Nasional kita perlu adanya ketentuan-ketentuan tentang perlindungan hukum bagi pihak yang lemah (ekonomi lemah).51 Di samping dibagian umum, juga perlu diadakan perlindungan hukum dalam berbagai macam perjanjian yaitu dalam jual beli dengan hak membeli kembali, beli sewa, perjanjian kerja, pengangkutan, pinjam uang dan lain-lain.

B. Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara

Rumah Negara merupakan bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/ atau Pegawai Negeri.


(51)

Rumah adalah bagian dari kebutuhan manusia, apalagi bagi yang telah berkeluarga. Banyaknya kendala yang mempengaruhi daya beli Pegawai Negeri yang berpenghasilan pas-pasan dikarenakan mahalnya harga rumah.

Dengan meningkatnya harga rumah yang melebihi pertambahan penghasilan mereka membuat harapan untuk dapat memiliki tempat tinggal yang layak tidak lebih dari mimpi belaka. Untuk itu, pemerintah pun menerapkan berbagai kebijakan dalam bidang perumahan.

Kebijakan untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi pegawai negeri ini telah berkembang sejak zaman kolonial Belanda, melalui Peraturan Rumah-rumah Pegawai Negeri Sipil atau Burgerlijke Woning Regeling (BWR) staatblad 1934 No. 147 dan beberapa aturan perubahannya. Pemerintah Belanda mengatur pengadaan tempat tinggal untuk pegawai negeri dengan sistem sewa.

Pada masa itu, pemerintah membangun rumah-rumah dinas untuk pegawai dan rumah jabatan untuk pejabat pemerintah dengan anggaran pemerintah sendiri. Namun pada masa pendudukan Jepang, kegiatan ini terhenti karena situasi perang.

Setelah penyerahan kedaulatan kegiatan tersebut kembali dilanjutkan. Pemerintah membangun kawasan perumahan bagi pegawai negeri diberbagai kota, masih dengan sistem sewa. Memasuki era 1970-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang mengizinkan pegawai negeri dengan syarat-syarat tertentu untuk membeli rumah dinas yang mereka tempati. Uang hasil penjualan rumah yang dibayarkan penghuni dengan Surat Setoran Pajak (SSBP) maupun yang dipotong


(52)

langsung dari gaji pegawai bersangkutan, selanjutnya akan digunakan untuk membangun rumah dinas baru bagi pegawai negeri yang lain.

Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1994 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tentang Rumah Negara, yang kemudian di revisi lagi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1994 tentang Rumah Negara.

Rumah negara digolongkan menjadi tiga, yaitu rumah negara golongan I, II, dan III. Rumah negara golongan I adalah rumah negara yang dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal dirumah tersebut. Hak penghunian rumah golongan ini terbatas selama pejabat bersangkutan memangku jabatan. Rumah negara yang mempunyai fungsi secara langsung melayani atau terletak dalam lingkungan suatu instansi, rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, pelabuhan, dan laboratorium secara otomatis ditetapkan sebagai rumah negara golongan I.

Rumah negara golongan II adalah rumah negara yang mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh pegawai negeri, dan apabila pegawai bersangkutan telah berhenti atau pensiun rumah tersebut dikembalikan kepada negara.

Rumah negara golongan III adalah rumah negara yang dapat dialihkan kepemilikannya kepada penghuninya (pegawai negeri), dengan syarat rumah tersebut tidak berada dalam keadaan sengketa. Rumah negara golongan II dapat diturunkan statusnya menjadi golongan III (di golongtigakan), atas izin pimpinan instansi


(53)

bersangkutan. Berdasarkan penjelasan atas PP No. 31 tahun 2005 yang dimaksud dengan pimpinan instansi bersangkutan adalah Menteri, Ketua Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, Ketua Lembaga Departemen/Non Departemen yang setingkat dengan Menteri.

Permasalahan yang timbul ketika pengalihan aset ini terjadi, menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menyebutkan bahwa setiap Kementrian/Lembaga yang ingin melakukan penghapusan Barang Milik Negara (BMN) kepada pihak ketiga atau pemindahan golongan rumah dinas harus meminta izin terlebih dahulu kepada Menteri Keuangan. Hal ini belum pernah terjadi karena menurut Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sejak tahun 2007 hingga kini Departemen Keuangan belum pernah menerbitkan persetujuan rumah dinas golongan III yang di alihkan kepada pihak ketiga.

Pengalihan aset yang tidak dilaporkan menyulitkan upaya penertiban aset-aset negara, untuk mewujudkan pengelolaan BMN yang tertib dan optimal. Hal ini juga menjadi penyebab sulitnya penyusunan laporan keuangan yang accountable. Oleh karena itu Kementerian/Lembaga yang akan melakukan perubahan status rumah dinas menjadi golongan III seyogyanya meminta izin terlebih dahulu kepada Menteri Keuangan.

Beradasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.06/2010 yang diberlakukan mulai tanggal 2 Agustus 2010, Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan dalam rangka mewujudkan akuntabilitas pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) berupa


(54)

rumah negara dengan tetap menjunjung tinggi good governance dan dimaksudkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan BMN berupa rumah negara.52

Tanah dan/ atau bangunan milik negara / daerah yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan wajib diserahkan kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara / daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004. Menteri Keuangan / Gubernur / Bupati / Walikota melakukan pemanfaatan atas tanah dan/ atau bangunan tersebut untuk:

1. Digunakan oleh instansi lain yang memerlukan tanah/bangunan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya melalui pengalihan status penggunaan

2. Dimanfaatkan dalam bentuk sewa, kerja sama pemanfaatan, pinjam pakai, bangun guna serah dan bangun serah guna

3. Dipindahtangankan dalam bentuk penjualan, tukar menukar, hibah, penyertaan modal pemerintah pusat / daerah.

Pengelolaan barang milik negara/daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara ini dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut:

1. Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah di bidang pengelolaan, barang milik negara/daerah yang dilaksanakan oleh kuasa

52


(55)

pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang, dan Gubernur / Bupati / Walikota sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing.

2. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.

3. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik negara/daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar.

4. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah diarahkan agar barang milik negara/daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah secara optimal.

5. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik negara / daerah harus didukung oleh adanya ketetapan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah serta penyusunan Neraca Pemerintah.

Selanjutnya dalam salinan PMK Nomor 138/PMK.06/2010 mengatakan bahwa pengoptimalan penggunaan rumah negara golongan I dan II wajib dilakukan oleh pengguna barang untuk menunjang tugas dan fungsinya. Pemindahtanganan dengan mekanisme tukar menukar, hibah atau penyertaan modal pemerintah pusat dapat dilakukan terhadap rumah negara golongan I dan golongan II.53


(56)

Syarat seseorang memperoleh rumah negara golongan III adalah si pemohon harus pegawai negeri, pensiunan, janda/duda pegawai negeri, janda/duda pahlawan, pejabat negara. Kalau pemohonnya pensiunan pegawai negeri, ia harus bisa membuktikan menerima pensiunan dari negara. Demikian pula jika pemohon adalah janda/duda pegawai negeri.

Setelah memperoleh izin dari pimpinan instansi/ketua lembaga bersangkutan, maka pemohon akan mendapatkan akta sewa beli yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Selain itu pemohon juga akan menerima Surat Penagihan (SPn) dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk pembayaran uang muka sebesar 15% dari nilai sewa beli. Jangka waktu cicilan biasanya ditetapkan selama 240 bulan atau 20 tahun. Bagi pegawai negeri yang telah membayar uang muka dan angsuran selama 60 bulan atau 5 tahun dapat langsung melunasinya.

Untuk memperoleh akta kepemilikan, setelah melunasi seluruh pembayaran maka bawalah kelengkapan berkas perjanjian sewa beli beserta bukti setoran angsuran pembayaran ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) penerbit SPn pada pembayaran uang muka pertama kali. Kemudian KPPN bersangkutan akan menerbitkan Surat Keterangan Telah Lunas (SKTL) sebagai dasar bagi Departemen Pekerjaan Umum/Dinas Kimpraswil dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menerbitkan akta kepemilikan.

1. Pengalihan Status Rumah Negara

Bertolak dari unsur dalam menunjang tugas pegawai negeri, dalam hal ini pemerintah sebagai pemilik bangunan dan pegawai negeri sebagai pengguna, berarti


(57)

adanya keterkaitan hubungan yang saling membutuhkan antara negara dan pegawai tersebut. Oleh karena itu negara wajib memberikan fasilitas kepada pegawai dalam menunjang kinerja dari pegawai tersebut melalui penyediaan rumah tersebut, hal ini jelas bahwa pemiliknya adalah negara, dan yang menempati (penghuni/pemakai) adalah pegawai tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.06/2010 menyebutkan bahwa pemindahtanganan berupa Barang Milik Negara dilakukan dengan mekanisme penjualan, tukar menukar, hibah, atau penyertaan modal pemerintah pusat. Pemindahtanganan dengan mekanisme penjualan hanya dapat dilakukan terhadap Barang Milik Negara berupa Rumah Negara golongan III.54

Sesuai peraturan yang ada bahwa hanya terhadap rumah negara golongan III yang dapat dialihkan haknya kepada penghuninya (Pegawai Negeri Sipil) atas permohonan penghuninya dengan beberapa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 40 Tahun 1994 dan perubahannya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005, adapun pengalihan hak atas rumah negara ini sesuai ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah tersebut dilakukan dengan cara sewa beli.

Dalam rangka penghapusan rumah negara yang disebabkan karena adanya pengalihan hak kepada penghuni, disini terjadi adanya suatu perbuatan hukum yang dilakukan antara pemerintah dengan penghuni. Penghuni yang sejak awal mendapat

54

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.06/2010 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara, Pasal 12


(58)

fasilitas perumahan dari pemerintah yang pada awalnya untuk menunjang tugas penghuni (Pegawai Negeri Sipil) yang dalam kondisi tertentu telah mengajukan permohonan untuk membeli (sesuai persyaratan yang berlaku), maka pemerintah selaku pemilik telah menyetujui permohonan tersebut membuat suatu perjanjian sewa beli, dalam hal ini tidak dilakukan dengan jual beli karena pembayarannya dilakukan dengan cara angsuran, sesuai dengan kemampuan ekonomi pegawai.

Dimana selama penghuni belum dapat melunasi harga pembelian rumah tersebut maka hak kepemilikan masih ada pada pemerintah. Hak kepemilikan akan beralih setelah pelunasan pembayaran harga beli tersebut, dengan suatu surat penyerahan Hak Milik Rumah Negara kepada penghuni/pemohon, sedangkan dalam jual beli terjadi dimana pembeli melunasi barang yang dibeli dan penjual menyerahkan secara langsung barang yang telah dibayar tersebut dan penjual menerima pembayarannya.

Adapun pengalihan status rumah negara ini adalah sebagai berikut:55

1. Rumah negara yang dapat dialihkan statusnya hanya rumah negara golongan II menjadi Golongan III

2. Rumah negara golongan II yang tidak dapat dialihkan statusnya menjadi rumah negara golongan III adalah:

a. rumah negara golongan II yang berfungsi sebagai Mess/Asrama Sipil dan ABRI


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan perjanjian sewa beli rumah negara di kota medan saat ini masih berjalan dan masih ada, hal tersebut dapat terlihat dari adanya proses kepemilikan rumah negara yang konsepnya menggunakan perjanjian sewa beli untuk mengatur hak dan kewajiban baik dari pembeli maupun penjual dalam satu objek yaitu rumah negara.

2. Perlindungan hukum bagi pembeli dalam perjanjian sewa beli rumah negara belum sepenuhnya mencerminkan kepentingan dari pembeli dikarenakan pasal-pasal yang termuat ataupun persyaratan-persyaratan yang mengatur akan kepemilkan rumah negara tersebut lebih banyak menguntungkan pihak penjual dari pada pembeli, hal tersebut dapat dilihat dari pasal yang mengatur mengenai cara pembayaran, dimana apabila pembayaran atas rumah negara tersebut telah lunas maka proses kepemilkannya baru dapat dilakukan setelah melewati 5 (lima) tahun.

3. Dalam perjanjian sewa beli rumah negara, masalah yang timbul dari pihak pembeli yaitu adanya kekurangan suatu informasi dalam hal proses pengalihan kepemilikan sedangkan permasalahan yang timbul pada proses kepemilikan Rumah Negara tersebut pada beberapa tahun belakangan ini terhenti dikarenakan


(2)

mengalami kesulitan dalam proses kepemilikan yang harus berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan.

Saran

1. Penggunaan perjanjian sewa beli tidak hanya diperuntukan terhadap Rumah Negara tetapi juga terhadap objek lain yang sekiranya dapat menggunakan perjanjian tersebut agar kiranya pengaturan atau eksistensi perjanjian sewa beli tersebut dapat lebih baik dan terjaga.

2. Perlu adanya aturan hukum yang lebih tinggi seperti Undang-undang sehingga eksistensi dari perjanjian sewa beli dapat terlaksana dan tercipta dengan baik. Diharapkan agar kedudukan para pihak dalam perjanjian sewa beli rumah negara dapat seimbang agar para pihak tidak ada yang dirugikan khususnya bagi pihak pembeli.

3. Perlu adanya pengaturan-pengaturan yang jelas terhadap penyediaan informasi yang berkaitan dengan kepemilikan objek dalam hal ini terhadap rumah negara dan adanya upaya dari Pemerintah berupa solusi dalam hal persetujuan kepemilikan yang tidak mempersulit proses tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan lancar.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1979

Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004

Anwari, Achmad,Leasing Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986

Andasasmita, Komar,Teori dan Praktek,Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 1983 Atmadja, Asikin Kusuma, Beberapa Jurisprudensi Perdata Yang Penting, Serta

Hubungan Ketentuan-Ketentuan Hukum Acara, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1991.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001

..., KitabUndang-Undang Hukum Perdata, Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,Alumni, Bandung, 1983.

..., Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar),BPHN, Binacipta, Jakarta, 1980.

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994.

Mashudi, H dan Mohammad Chaidir Ali, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian Elementer),Mandar Maju, Bandung, 1995.

Harahap, M. Yahya,Segi-segi Hukum Perjanjian Tak Bernama,Alumni, 1999. ...,Arbitrase,Pustaka Kartini, Jakarta, 1991.

Hatta, Sri Gambil Melati,Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama,Alumni, 1999. Koenjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,


(4)

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999

Muhammad, Abdulkadir,Hukum Perikatan,Alumni, Bandung, 1982 ---,Hukum Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

Nasution, S, dan M. Thomas, Buku Penuntut Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi, Makalah,Bandung, Bumi Aksara, 2004

Ngani, Nico,Sewa Beli Dalam Teori dan Praktek,Liberty, Jogjakarta, 1984

Prakoso, Joko, SH dan Bambang Riyadi Lany,Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia,Bina Aksara, Jakarta, 1987

Prawirohamijojo, R. Soetojo dan Martalena Pohan, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1979

Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, 1964

Salim, SH, MS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

………,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik,Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Satrio, J,Hukum Perjanjian,Alumni, Bandung, 1992.

Setiawan, R,Pokok-pokok Hukum Perikatan,Binacipta, Bandung, 1987

Soeharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, jakarta, 2004.

Soekanto, Soerdjono,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1986.

Soerjopratiknyo, Hartono, Aneka Perjanjian Jual Beli, Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1982.


(5)

---,Aneka Perjanjian,cet. 8. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989. ---,Aspek Perikatan Hukum Nasional,Alumni, Bandung, 1976.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Tunggal Drs. Amin Widjaja dan Drs. Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Dalam Leasing,Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Yamin, Muhammad dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008.

B. Peraturan Perundang-undangan

1. Departemen Perdagangan dan Koperasi, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase) , Jual Beli Dengan Angsuran dan Sewa (Renting), Nomor 34/KP/II/80.

2. Surat Edaran Bina Usaha Perdagangan Nomor 408/Binus-3/IX/85 tertanggal 27 September 1985 Perihal : Permohonan Izin Usaha Sewa Beli (Hire Purchase) Disusul Dengan Surat Nomor 719/Binus-3/VIII/1986, 8 Agustus 1986.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, PP Nomor 40 Tahun 1994 Tentang Rumah Negara

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, PP Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2005

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengadaan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Tanah Atas Rumah Negara

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.06/2010 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara.


(6)

Subject:

Author: Aji

Keywords: Comments:

Creation Date: 8/3/2011 4:13:00 PM Change Number: 18

Last Saved On: 8/11/2011 10:50:00 AM Last Saved By: user

Total Editing Time: 39 Minutes

Last Printed On: 8/11/2011 8:12:00 PM As of Last Complete Printing

Number of Pages: 117

Number of Words: 22,517 (approx.)