Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Stres Kerja Pada Pengemudi Mobil Grha Trac Medan Tahun 2017

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi Stress
Stress merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang dengan ancaman
finansial, emosional, mental

dan sosial

terhadap

suatu perubahan

di

lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam
(Pandji Anoraga, 2009).
Secara lebih tegas Manuaba (1998) memberikan definisi tentang stress
sebagai berikut “ stress adalah segala rangsangan atau aksi dari tubuh manusia
baik yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh itu sendiri yang dapat
menimbulkan bermacam-macam dampak yang merugikan mulai dari menurunnya
kesehatan sampai kepada dideritanya suatu penyakit”.

Menurut Tarwaka (2013) yang mengutip pendapat Levi mendefinisikan
stress sebagai berikut:
1. Dalam bahasa teknik. Stress dapat diartikan sebagai kekuatan dari
bagian-bagian tubuh.
2. Dalam bahasa biologi dan kedoketran. Stress dapat diartikan sebagai
proses tubuh untuk beradaptasi terhadap pengaruh luar dan perubahan
lingkungan terhadap tubuh.
3. Secara umum. Stress dapat diartikan sebagai tekanan psikologis yang
dapat menimbulkan penyakit baik fisik maupun penyakit jiwa.
Perkembangan penelitian mengenai stress selama beberapa dekade terakhir
telah mendorong munculnya beragam definisi stress baik dari segi psikologi,

8
Universitas Sumatera Utara

9

fisiologi, sosial dan ilmu perilaku. Berikut ini adalah definisi stress menurut para
ahli:
1. Cox mendefinisikan stress sebagai sebuah fenomena persepsi yang

timbul dari adanya perbandingan antara permintaan dan kemampuan
coping.
2. Lazarus dan Foldman mendefinisikan stress sebagai hasil dari
ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang
tersedia.
3. McGrath mendefinisikan stress sebagai hasil dari permintaan
lingkungan yang tidak mampu dipenuhi oleh individu.
4. McEwen menyatakan bahwa stress merupakan sebuah peristiwa yang
mengancam individu sehingga menghasilkan respon secara fisiologi
dan perilaku.
Stress merupakan tanggapan (penilaian) yang menyeluruh dari tubuh
seorang individu terhadap setiap tuntutan yang datang kepadanya. Stress berkaitan
dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau situasi yang menekan.
Kondisi ini mengakibatkan perasaan cemas, marah dan frustasi (Priyoto, 2014).
Stress menunjuk pada keadaan internal individu yang menghadapi
ancaman terhadap kesejahteraan fisik maupun psikisnya. Penekanannya adalah
pada persepsi dan evaluasi individu terhadap stimulus yang memiliki potensi
membahayakan bagi dirinya. Sehingga ada perbandingan antara tuntutan yang
menekan individu dan kemampuannya untuk mengatasi tuntutan tersebut.


Universitas Sumatera Utara

10

Keadaaan yang tidak seimbang dalam mekanisme ini akan meningkatkan respon
stress, bagi fisiologi maupun perilakunya (Nasution, 2002).
Sedangkan menurut Health Safety Executive (2008) yang dikutip oleh
Tarwaka (2013), bahwa stress adalah reaksi negatif manusia akibat adanya
tekanan yang berlebihan atau jenis tuntutan lainnya. Hal tersebut membuat suatu
pemisahan yang penting diantara tekanan yang dihadapi, namun demikian, stress
akan menjadi hal yang positif jika dapat dikendalikan secara benar, dan
sebaliknya bila tidak dapat dikendalikan dengan baik akan dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan
ketidakseimbangan yang terjadi antara permintaan dan kemampuan individu
sehingga menimbulkan respon baik secara fisiologi maupun perilaku.
2.2.

Pengertian Stres Kerja
Stress kerja adalah respon emosional dan fisik yang dialami oleh pekerja


sehubungan dengan pekerjaan yang diukur berdasarkan indikator stress (Tarwaka,
2004). Selanjutnya menurut Mendelson (1990) yang dikutip oleh Tarwaka (2013)
mendefinisikan stress akibat kerja secara lebih sederhana, dimana stress kerja
merupakan suatu ketidakmampuan pekerja untuk menghadapi tuntutan tugas
dengan akibat suatu ketidaknyamanan dalam kerja.
Stress kerja dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara pemintaan dan
tekanan tetapi dapat juga diartikan sebagai ketisesuaian dengan pengetahuan dan
kemampuan. Situasi seperti ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan individu
untuk menghadapi tekanan pekerjaan tetapi juga pengetahuan dan kemampuan

Universitas Sumatera Utara

11

individu yang tidak digunakan dengan baik sehingga memicu timbulnya masalah
bagi diri mereka (WHO, 2013).
Menurut OSHA, individu akan merasakan stress ketika terjadi
ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang dimilikinya.
Secara umum, kondisi stress merupakan gangguan yang bersifat psikologis tetapi

juga dapat berdampak pada fisiologi individu. Faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya stress kerja, antara lain kurangnya kontrol terhadap pekerjaan,
ketidasesuaian permintaan terhadap pekerjan, dan kurangnya dukungan dari rekan
kerja dan manajemen. Reaksi setiap individu dalam mengatasi stress berbedabeda. Bagi beberapa individu merupakan sebuah hal yang mungkin untuk
mengatasi permintaan pekerjaan yang tinggi tetapi hal ini belum tentu dapat
terjadi pada individu lainnya. Sehingga kemampuan untuk menghadapi keadaan
stress tergantung pada evaluasi yang bersifat subjektif (OSHA, 2014).
Berdasarkan konsep yang dikemukakan Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales
(2000) bahwa stress kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian masalah
kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara bahaya fisik dan
psikososial yang menghasilkan gangguan kesehatan baik pada individu maupun
level organisasi. Pada individu, bahaya fisik dan psikososial dapat berdampak
pada fisik, mental, dan kesehatan sosial. Sedangkan pada level organisasi dapat
berdampak pada tingginya angka absenteisme, menurunnya produktivitas,
rendahnya kepuasan kerja dan turnover pekerja. Selain itu bahaya paparan fisik
dan psikososial juga dapat berdampak pada kondisi psikologis individu baik
secara langsung maupun tidak langsung (WHO,2010).

Universitas Sumatera Utara


12

Efek negatif yang ditimbulkan oleh pekerjaan sering menyebabkan stress
kejiwaan yang biasa disebut stress okupasional atau stress kerja (Hanida, 2002).
Tabel 2.1 Tingkat risiko stres akibat kerja berdasarkan total skor individu.
Total Skor Tingkat
stres
risiko stres
individu

Kategori
Stres

140-175

0

rendah

Belum diperlukan kontrol untuk

perbaikan

105-139

1

sedang

Diperlukan kontrol teradap gejala
stres dikmudian hari

70-104

2

tinggi

Diperlukan tindakan
tempat kerja


35-69

3

Sangat tinggi

Tindakan sesegera mungkin dan
menyeluruh

Tindakan perbaikan

segera

di

Tarwaka,2013
2.3.

Mekanisme Stress
Dalam peristiwa stress sekurang-kurangnya ada tiga hal yang saling


berkaitan, yaitu:
1. Hal, peristiwa, orang, keadaan, yang menjadi sumber stress (stressor).
2. Individu yang mengalami stress (The stressed).
Dari segi individu yang mengalami stress, kita dapat memusatkan perhatian
pada tanggapan (response) dari individu tersebut terhadap hal-hal yang dinilai
mendatangkan stress. Tanggapan terhadap sumber stress dapat menggejala pada
psikologis dan fisiologisnya. Tanggapan tersebut disebut strain, yaitu tekanan atau
ketegangan, yang dapat membuat pola berpikir, emosi, dan perilaku individu
tersebut menjadi kacau, malah sampai menyebabkan gangguan fisiologis.

Universitas Sumatera Utara

13

3. Hubungan antara orang yang mengalami stress dengan hal yang menjadi
penyebab stress (Transaction).
2.4.

Faktor-faktor penyebab terjadinya stress kerja

Setiap individu dapat terkena stress. Lama, keseringan serta intensitas

stress seorang individu berbeda dengan individu lainnya. Stress ini menyangkut
individu yang terkena, sumber stress dan tawar menawar / transaksi antara
keduanya. Oleh karena itu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stress
secara umum digolongkan menjadi :
1. Dalam diri individu (internal source), seperti; umur, jenis kelamin,
temperamental, genetik, intelegensia, pendidikan, dll.
2. Luar diri individu (eksternal source) ; keluarga dan lingkungan
(lingkungan kerja dan sekitar).
Luthans dalam Widyasari 2007 menyebutkan bahwa penyebab stres kerja
terdiri atas empat hal utama, yakni:
1. Extra

organizational

stressors,

yang


terdiri

dari

perubahan

sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan,
ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi,
struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang
terjadi dalam organisasi.
3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,
kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu,
interpersonal, dan intergrup.

Universitas Sumatera Utara

14

4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan
ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian
Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya
tahan psikologis.
Secara lebih terperinci, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stress
kerja pada seorang individu (tenaga kerja) adalah sebagai berikut:
2.4.1

Faktor Intrinsik
1. Tuntutan Fisik
Kondisi fisik cenderung mempengaruhi kesehatan dan keselamatan

pekerja secara langsung, baik dalam jangka waktu singkat maupun jangka waktu
yang lama. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stress (stressor). Beberapa
kondisi fisik yang merupakan stressor diantaranya adalah penyakit menular,
kebisingan, serangan fisik, zat-zat berbahaya, suhu ekstrim dan perulangan gerak.
Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat
pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stress yang menyebabkan
peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis. Kondisi demikian
memudahkan timbulnya kecelakaan. Misalnya tidak mendengar suara-suara
peringatan sehingga timbul kecelakaan (Sajidi Hadipoetra, 2014).

2. Tuntutan Tugas (Shift Kerja)
Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi,
artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan
sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh

Universitas Sumatera Utara

15

atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan
perannya tanpa menimbulkan masalah.
Penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan sumber
utama dan stres bagi para pekerja. Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh
tentang kelelahan dan gangguan perut dari para pekerja pagi/siang.
Tabel 2.2 Shift kerja dan efektivitas gangguan
Jadwal kerja
Night Shift

Efek
Mengganggu
siklus
tidur
pekerja, yang mengakibatkan
ganguan pada sitem hormon
dan pencernaan.

Long Shift

Merangsang
penggunaa
alkohol, obat perangsang, serta
gangguan pada siklus tidur.

Flexible
Schedule

2.4.2

Jam kerja
Adanya jam malam,
biasanya
pada
perusahaan
yang
menggunakan sistem 2
atau 3 shift kerja.
Umumnya selama 8 jam,
untuk
10-12
jam
membutuhkan
kemampuan fisik dan
mental yang lebih.
Work Jam kerja fleksibel,
diserahkan
kepada
pekerja

Minimnya
absensi
dan
keterlambatan.
Memberikan
kepuasan untuk pekerja bukan
meningkatkan
performansi
kinerja pada sistem

Faktor individu
1. Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Merupakan sala satu faktor yang dapat menimbulkan stress

di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress
yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya
keinginan untk meninggalkan pekerjaannya.
Perempuan dan laki-laki memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi
stress. Berdasarkan hasil penelitian Wichert (2002) menemukan bahwa laki-laki

Universitas Sumatera Utara

16

cenderung untuk mengatasi stress yang dialami dengan melakukan perubahan
perilaku, seperti merokok, minum alkohol, obat-obatan, dll. Sedangkan
perempuan cenderung mengatasi stress yang dihadapi dengan melakukan
perubahan secara emosinal. Sehingga laki-laki cenderung mengalami penurunan
kualitas kesehatan secara fisik ketika mengalami stress. Adapun perempuan
cenderung mengalami penurunan kualitas kesehatan secara psikologis.
2. Umur
Umur dapat mempengaruhi tingkat stress yang dialami seseorang.
Berdasarkan hasil penelitian Wichert (2002), pekerja pada usia yang lebih tua
cenderung mengalami stress lebih rendah dibandingkan dengan pekerja berumur
muda. Tetapi pengalaman stress pada pekerja yang berumur tua lebih banyak
dibandingkan dengan pekerja muda. Pengaruh umur terhadap stress yang dialami
pekerja biasanya hanya terjadi pada pekerjaan tertentu terutama yang
berhubungan dengan kekuatan fisik dan penggunaan indera (Bickford, 2005).
Individu yang berumur lebih tua cenderung mengalami stress lebih rendah.
Individu yang berumur tua mengalami stress yang lebih rendah dikarenakan
pengalamannya dalam menghadapi stress sudah lebih baik dibandingkan individu
yang berumur muda (Mroczek dan Almeida).
3. Masa Kerja
Masa kerja berhubungan dengan pengalaman pekerja dalam menghadapi
permasalahan di tempat kerja. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih lama
biasanya memiliki permasalahan kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan
pekerja dengan masa kerja yang masih sedikit (Harigopal, 1995). Masa kerja yang

Universitas Sumatera Utara

17

berhubungan dengan stress kerja berkaitan dalam menimbulkan kejenuhan dalam
bekerja. Pekerja yang telah bekerja lebih dari lima tahun biasanya memiliki
tingkat kejenuhan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja baru.
Kejenuhan ini yang kemudian dapat berdampak pada timbulnya stress di tempat
kerja (Munandar, 2001).
2.4.3

Faktor Kondisi Kerja
1. Upah / pendapatan.
Upah atau penghasilan merupakan uang yang dibayar kepada pegawai atau

jasa pelayanannya yang diberikan secara bulanan. Pemberian gaji hendaknya
benar-benar diperhatikan oleh perusahaan karena pemberian gaji yang pantas akan
berdampak positif bagi karyawan, sebab gaji adalah untuk memenuhi berbagai
kebutuhan karyawan (Anwar Prabu Mangkunegara, 2013).
2. Umur kendaraan
Kendaraan yang sudah tua dengan kondisi yang tidak prima lagi dapat
menimbulkan

gangguan

pada

pekerjaan

mereka,

akan

menimbulkan

ketidaknyamanan yang dapat berupa suara bising atau getaran dan lainnya, yang
mana konsekuensinya akan mempengaruhi timbulnya stress bagi pengemudi
tersebut. Ditinjau dari teori overload, suhu lingkungan yang terlalu tinggi
menyebabkan beban psikis (stress) sehingga akhirnya akan menurunkan attention.
Ditinjau dari teori behavioral constraint, suhu lingkungan yang terlalu tinggi akan
menyebabkan menurunnya

kontrol

terhadap lingkungan sehingga

dapat

menurunkan prestasi (Sarwono, 1992).

Universitas Sumatera Utara

18

3. Hubungan interpersonal antar rekan kerja
Hubungan baik antar pekerja ditempat kerja adalah faktor yang potensial
sebagai penyebab terjadinya stress. Kecurigaan antara pekerja, kurangnya
komunikasi, ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan merupakan tandatanda adanya stress akibat kerja (Tarwaka, 2013). Lingkungan sosial yang buruk
dan kurangnya dukungan atau bantuan dari rekan kerja dan supervisor merupakan
salah satu kondisi kerja yang dapat memicu stress.
Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala yaitu
kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, minat yang
rendah dalam pemecahan masalah di organisasi, persaingan politik, kecemburuan
dan kemarahan, dan kurangnya perhatian manajemen terhadap pekerja.
2.4.4. Faktor Organisasional
1. Struktur Organisasi dan Suasana Kerja
Penyebab stres yang berhubungan dengan struktur organisasi dan suasana
kerja biasanya berawal dari budaya organisasi dan model manajemen yang
digunakan. Beberapa faktor penyebabnya antara lain, kurangnya pendekatan
partisipatoris, konsultasi yang tidak efektif, kurangnya komunikasi dan
kebijaksanaan kantor. Selain itu seringkali pemilihan dan penempatan karyawan
pada posisi yang tidak tepat juga dapat menyebabkan stres (Tarwaka, 2011).
2. Partisipasi
Partisipasi merujuk pada sejauh mana pengetahuan, opini, dan ide
seseorang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan. Bagi beberapa
orang, partisipasi merupakan bagian yang penting dari bekerja dalam organisasi.

Universitas Sumatera Utara

19

Kelompok dan organisasi yang tidak mendorong atau memungkinkan partisipasi
akan menjadi sumber frustasi kepada mereka yang menghargai partisipasi.
Demikian pula, orang lain akan merasa frustasi dengan penundaan yang seringkali
dihubungkan dengan pengambilan keputusan partisipatif. Orang lain mungkin
akan memandang pengambilan keputusan bersama sebagai ancaman dari hak
seorang manajer untuk memiliki keputusan akhir. Partisipasi akan menjadi
stressor bagi orang-orang tersebut (Ivancevich et al, 2006).
2.5

Indikator Stress Kerja
Stress dapat berdampak pada individu, gejala yang ditimbulkan berbeda-

beda untuk setiap individu. Robbins (2005), mengelompokkan gejala stress kerja
ke dalam tiga aspek, yaitu:
a. Gejala Fisiologikal
Yang termasuk dalam simptom-simptom ini yaitu:
1.

Sakit perut

2.

Detak jantung meningkat dan sesak nafas

3.

Tekanan darah meningkat

4.

Sakit kepala

5.

Serangan jantung

Gejala-gejala pada fisiologikal memang tidak banyak ditampilkan, karena
menurut Robbin (2005) pada kenyataannya selain hal ini menjadi kontribusi
terhadap kesukaran untuk mengukur stres kerja secara objektif. Hal yang lebih
menarik lagi adalah gejala fisiologikal hanya mempunyai sedikit keterkaitan
untuk mempelajari perilaku organisasi.

Universitas Sumatera Utara

20

b. Gejala Psikologikal
Adapun simptom-simptomnya sebagai berikut:
1.

Kecemasan

2.

Ketegangan

3.

Kebosanan

4.

Ketidakpuasan dalam bekerja

5.

Irritabilitas

6.

Menunda-nunda

Gejala-gejala psikis tersebut merupakan gejala yang paling sering
dijumpai, dan diprediksikan dari terjadinya ketidakpuasan kerja. Pegawai kadangkadang sudah berusaha untuk mengurangi gejala yang timbul, namun menemui
kegagalan sehingga menimbulkan keputusasaan yang seolah-olah terus dipelajari,
yang biasanya disebut dengan learned helplessness yang dapat mengarah pada
gejala depresi Bodner & Mikulineer (dalam Robbin, 2005).
c. Gejala Perilaku
Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku yaitu:
1.

Meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok

2.

Melakukan sabotase dalam pekerjaan

3.

Makan yang berlebihan ataupun mengurangi makan yang tidak wajar
sebagai perilaku menarik diri.

4.

Tingkat absensi meningkat dan performansi kerja menurun

5.

Gelisah dan mengalami gangguan tidur

6.

Berbicara cepat.

Universitas Sumatera Utara

21

Robbins, (2005) mengatakan bahwa gejala psikologikal akibat stres kerja
adalah ketidakpuasan kerja yang lebih ditunjukkan dengan, kecemasan,
ketegangan, kebosanan, irritabilitas dan menunda-nunda.
Gejala stres kerja menurut Terry B dan John N (dalam Rice,1992), dapat
dibagi dalam 3 aspek yaitu:
a.

Gejala Psikologis:
1. Cemas, tegang, kebingungan, dan sensitif
2. Merasa frustasi, marah, dan kebencian
3. Hipersensitif emosi dan hiperaktif
4. Merasa tertindas
5. Berkurangnya efektifitas berkomunikasi
6. Menarik diri dan depresi
7. Merasa terisolasi dan terasing
8. Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
9. Kelelahan mental dan penurunan fungsi intelektual
10. Kehilangan konsentrasi
11. Kehilangan spontanitas dan kreatifitas
12. Menurunnya Self-esteem

b.

Gejala Fisiologis:
1. Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah,
2. meningkatnya sekresi adrenalin dan nonadrenalin,
3. gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung),
4. mudah terluka,

Universitas Sumatera Utara

22

5. mudah lelah secara fisik,
6. kematian,
7. gangguan kardiovaskuler,
8. gangguan pernafasan,
9. lebih sering berkeringat,
10. gangguan pada kulit,
11. kepala pusing, migrain,
12. kanker,
13. ketegangan otot,
14. problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur).
c.

Gejala Perilaku, meliputi:
1.

Menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas,

2.

penurunan prestasi dan produktivitas,

3.

meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk,

4.

perilaku sabotase,

5.

meningkatnya frekuensi absensi,

6.

perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan),

7.

kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan,

8.

meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti berjudi,

9.

meningkatnya agresifitas, kriminalitas dan mencuri,

10. penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan
teman serta

Universitas Sumatera Utara

23

11. kecenderungan bunuh diri.
Carry cooper dan Alison Straw (1995) membagi gejala-gejala stress menjadi
tiga yaitu:
1. Gejala fisik
Gejala stres menyangkut fisik bisa mencakup: nafas memburu, mulut dan
kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot tegang, pencernaan
terganggu, mencret- mencret, sembelit, letih yang tak beralasan, sakit kepala,
salah urat, gelisah.
2. Gejala-gejala dalam wujud perilaku
Banyak gejala stres yang menjelma dalam wujud perilaku, mencakup:
a.

Perasaan, berupa: bingung, cemas, dan sedih, jengkel, salah paham,
tak berdaya, tak mampu berbuat apa- apa, gelisah, gagal, tak menarik,
kehilangan semangat.

b.

Kesulitan dalam: berkonsentrasi, berfikir jernih, membuat keputusan.

c.

Hilangnya: kreatifitas, gairah dalam penampilan, minat terhadap orang
lain.

3. Gejala-gejala di tempat kerja
Sebagian besar waktu bagi pegawai berada di tempat kerja, dan jika
dalam keadaan stres, gejala- gejala dapat mempengaruhi kita di tempat kerja,
antara lain:
a.

Kepuasan kerja rendah

b.

Kinerja yang menurun

c.

Semangat dan energi hilang

Universitas Sumatera Utara

24

2.6

d.

Komunikasi tidak lancar

e.

Pengambilan keputusan jelek

f.

Kreatifitas dan inovasi berkurang

g.

Bergulat pada tugas- tugas yang tidak produktif.

Pengukuran Stres Kerja
Berdasarkan dalam Karima (2014), teknik pengukuran stress dapat

dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Self Report Measure
Pengukuran dengan metode ini dilakukan dengan menanyakan intensitas
pengalaman baik psikologis, fisiologis, dan perubahan fisik yang dialami
seseorang menggunakan kuesioner. Teknik ini seringkali disebut life event scale.
Teknik ini mengukur stres dengan cara mengobservasi perubahan perilaku
seseorang, seperti kurangnya konsentrasi, cenderung berbuat salah, bekerja
dengan lambat, dll.

2. Physiological Measure
Pengukuran metode ini dilakukan dengan cara melihat perubahan yang
terjadi pada kondisi fisik seseorang, seperti perubahan tekanan darah, ketegangan
otot bahu, leher, dan pundak. Cara ini dianggap memiliki reliabilitas paling tinggi
akan tetapi sebenarnya tergantung pada alat yang digunakan serta pengukur itu
sendiri.

Universitas Sumatera Utara

25

3. Biochemical Measure
Pengukuran metode ini dilakukan dengan melihat respon biokimia melalui
perubahan kadar hormon katekolamin dan kortikosteroid setelah dilakukan
pemberian stimulus. Reliabilitas pengukuran dengan metode ini tergolong cukup
tinggi tetapi hasil pengukurannya dapat berubah jika subjek penelitiannya
memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol, dan kopi. Hal ini dikarenakan
kandungan dalam rokok, alkohol, dan kopi dapat mempengaruhi kadar hormon
tersebut di dalam tubuh.
Dari ketiga cara di atas, pengukuran life event scale paling sering
digunakan dalam pengukuran stress. Hal ini dikarenakan penggunaannya yang
mudah serta biaya yang relatif murah meskipun tidak dapat dihindari adanya
keterbatasan tertentu.
2.7

Mengatasi Stres Kerja
Dalam menghadapi stres, mencakup tiga macam strategi yang semestinya

dilakukan, diantaranya:
1. Mengubah lingkungan kerja, jika perlu denan memanipulasi sedemikian
rupa sehingga nyaman bagi pekerja.
2. Mengubah lingkungan kerja melalui persepsi tenaga kerja, misalnya
dengan meyakinkan diri bahwa ancaman itu tidak ada
3. Meningkatkan daya tahan mental tenaga kerja terhadap stres, misalnya
dengan latihan-latihan yang dibimbing oleh psikolog, meditasi, relaksasi
progresif, hypnosis dan otosugesti.

Universitas Sumatera Utara

26

Untuk mndapatkan tenaga kerja yang sehat , baik fisik, metal maupun
sosial diperlukan kerja sama dari pimpinan perusahaan dengan berbagai bidang
keahlian, termasuk psikolog. Dalam hal ini psikolog yang menangani psikolog
industri (Anies, 2014).
Pengorganisasian lingkungan yang buruk dapat menjad penyebab stres
yang utama. Apabila lingkungan diorganisir dengan baik dan menyenangkan,
kemudian dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan produktivitas.
Beberapa orang yang mengalami stres memerlukan lingkungan yang tenang
namun beberapa orang memerlukan lingkungan yang ramai untuk menanggulangi
stres. Teknik-teknik manajemenstrs antara lain yaitu dengan Signal Breath,
mendengarkan musik untuk relaksaasi, visualisasi, dan Stretching (Cecep Dani,
2014).
2.8

Akibat Stress Kerja.
Akibat stress terhadap seseorang dapat bermacam-macam dan hal ini

tergantung pada kekuatan konsep dirinya yang akhirnya menentukan besar
kecilnya toleransi orang tersebut terhadap stress. Meskipun demikian fleksibilitas
dan adaptasibilitas juga diperlukan agar seseorang dapat menghadapi stressnya
dengan baik. Orang-orang yang kaku atau fanatic terhadap ambisi-ambisi dan
norma-norma yang dipegangnya cenderung mengalami keadaan yang lebih buruk
apabila tidak berhasil mengatasi stressnya (Pandji Anoraga, 2009). Reaksi-reaksi
stress tidak hanya dihasilkan oleh sebuah aspek tunggal dari lingkungan kerja,
tetapi lebih dihasilkan dari pengaruh gabungan antara tuntutan kerja dan luasnya

Universitas Sumatera Utara

27

taraf kebebasan dalam pengambilan keputusan yang dimiliki pekerja untuk
mengahadapi tuntutan kerja tersebut ( Tulus Winarsunu, 2008).
Menurut Sopiah (2008), dampak atau akibat stress bagi tenaga kerja
(pengemudi) bisa dilihat pada tiga aspek berikut, diantaranya:
1. Fisik, Akibat stress pada fisik mudah untuk dikenali. Ada sejumlah
penyakit yang disinyalir karena orang tersebut mengalami stress yang
cukup tinggi dan berkepanjangan, diantaranya adalah penyakit jantung,
tekanan darah tinggi, sakit kepala, gangguan tidur.
2. Psikologi, dampak stress pada aspek psikologi bisa dkenali, diantaranya
adalah ketidakpuasan kerja, depresi, keletihan, kemurungan, dan kurang
bersemangat.
3. Perilaku, akibat stress bisa dikenali dari perilaku, yaitu kinerja rendah,
naiknya tingkat kecelakaan kerja, salah dalam mengambil keputusan,
tingkat absensi kerja tinggi dan agresif di tempat kerja.
Kerugian akibat stress kerja juga dapat dirasakan perusahaan, antara lain
meningkatnya absenteisme pekerja, menurunnya komitmen terhadap perusahaan,
meningkatnya jumlah turnover pekerja, dan meningkatnya angka kecelakaan
kerja. Bahkan dalam tingkat yang lebih serius, stress kerja juga dapat berdampak
pada meningkatnya komplain dari klien yang berujung pada rusaknya citra
perusahaan.
Pengukuran stress kerja penting dilakukan untuk mengetahui gambaran
tingkat stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Sehingga perusahaan dapat
mengevaluasi penyebab stress kerja yang dialami para pekerja mereka.

Universitas Sumatera Utara

28

Pengukuran ini juga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah
dan mengendalikan stress kerja yang terjadi.
2.9

Pengemudi
Dalam Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan dijelaskan bahwa Pengemudi adalah orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
Mengemudi merupakan pekerjaan yang memerlukan konsentrasi dan perhatian
penuh. Setiap saat pengemudi bisa menghadapi keadaan yang berbahaya ketika
mengemudikan kendaraan dengan cara yang tidak tepat dan benar. Jenis pekerjaan
ini merupakan jenis pekerjaan tunggal, artinya pekerjaan ini dikerjakan, dianalisis,
dipertimbangkan dan diputuskan sendiri, serta bukan merupakan kerja kelompok
atau tim (Evayanti, 2003)
Pengemudi GRHA TRAC Medan yang bekerja di Permata Bank bekerja
selama 5 hari dalam tujuh hari kerja. Jam kerja pengemudi setiap harinya tidak
tetap, hal ini dikarenakan pengemudi melakukan perjalanan yang berbeda-beda
setiap harinya baik itu dalam kota (Medan) maupun luar kota. Jarak tempuh yang
jauh akan mempengaruhi kondisi fisik dan mental pengemudi yang dapat memicu
terjadinya stress kerja.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan
Pengemudi, dalam BAB I pasal 1 disebutkan bahwa pengemudi adalah orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor atau orang yang secara langsungg
mengawasi calon pengemudi yang sedang belajar mengemudikan kendaraan

Universitas Sumatera Utara

29

bermotor. Pada bagian Kedua pasal 240 dijelaskan waktu kerja, waktu istirahat,
sebagai berikut:
i. Ayat (2): Waktu kerja bagi pengemudi kendaraan umum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah 8 (delapan) jam sehari.
ii. Ayat (3):pengemudi kendaraan umum setelah mengemudikan kendaraan
selama 4 (empat) jam berturut-turut harus diberikan istirahat sekurangkurangnya setengah jam.
iii. Ayat (4): dalam hal-hal tertentu pengemudi sebagaimana dimaksud dalam
ayat 2 dapat dipekerjakan melebihi dari waktu kerja 8 jam sehari, tetapi
tidak boleh lebih dari 12 jam sehari termasuk istirahat 1 jam.
Kondisi lalu lintas padat dan banyaknya perilaku pengguna jalan yang
menyimpang atau melanggar aturan serta kondisi dan kualitas jalan yang kurang
memadai menuntut kemampuan pengemudi yang baik dalam hal keterampilan,
pengetahuan dan pengambilan keputusan. Kelancaran dan keselamatan lalu lintass
tergantung pada kesiapan dan keterampilan pengemudi dalam menjalankan
kendaraannya (Hobbs, 1995).

Universitas Sumatera Utara

30

2.10

Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan antara konsep satu

terhadap konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Soekidjo Notoatmodjo,
2010:43).
Variabel independen
Karakteristik Individu:
1. Umur Pengemudi
2. Masa kerja
Variabel Dependen:
Kondisi Pekerjaan:
STRESS KERJA
1. Lama kerja (jumlah
jam kerja dalam
sehari)
2. Hubungan
Intepersonal
pengemudi

Universitas Sumatera Utara