Peran Sekretori Imunoglobulin A dan Neutrofil pada Kejadian Early Onset-Ventilator Acquired Pneumonia Berdasarkan Analisis dari Spesimen yang Diambil dengan Kurasan Bronkoalveolar

11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi Ventilator Acquired Pneumonia (VAP)
Ventilator Acquired Pneumonia (VAP) merupakan infeksi nosokomial
tersering ke 2 di IPI dengan insidens
menggunakan

ventilator

mekanik.

11,7 per 1000

Perkiraan

prevalens

perawatan

pneumonia

nosokomial di IPI bervariasi antara 10-50%. VAP akan meningkatkan
angka mortalitas apabila pneumonia yang disebabkan patogen tertentu
seperti kuman Multi Drug Resisten (MDR), contoh kuman patogen A.
baumanii, Pseudomonas aeruginosa dan MRSA atau pada kasus yang
mengalami bakteremia sekunder. Kejadian disfungsi organ multipel atau
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) akan memperpanjang lama
rawat menggunakan ventilator mekanik. Walaupun prosedur rutin dalam
mensterilkan alat-alat sudah sedemikian maju, namun VAP

masih

merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menggunakan
ventilator mekanik dengan insidens 8-28%. Risiko terjadinya VAP pada
pasien yang menggunakan ventilator mekanik meningkat 3-10 kali lipat
dibandingkan pasien tanpa ventilator mekanik dengan angka kematian
yang cukup bermakna yaitu berkisar antara 45-50%, bahkan pada
keadaan


tertentu

dapat

mencapai

70-76%.

Faktor

risiko

yang

berhubungan dengan VAP seperti usia, jenis kelamin, trauma, penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) dan lama pemakaian ventilator telah banyak
diteliti. (Chastre, 2002; Rello, 2002; Hunter, 2006; Augustyn, 2007; Dey,
2007; Rea-Neto, 2008; Song, 2008; Torres, 2008; Tejerina, 2009; Vincent,
2009; Timsit, 2011; Vardakas, 2012).
Rotstein dan kawan-kawan, 2008, mengamati insiden HAP dan VAP, dari

37,5% kasus HAP di IPI, maka 86% adalah kejadian VAP.

11

12

Gambar 2.1. Insidens HAP non IPI, HAP IPI, VAP dan bukan VAP
(Sumber Rotstein, 2008)

Chawla, Chung, Song dan kawan-kawan, 2008, bergabung melakukan
penelitian di 8 negara Asia, Insidens HAP dan VAP tertinggi adalah di
India, 53,9-89,5%, dengan

angka mortalitas 37-47%, sedangkan yang

terendah adalah Taiwan 5,1-8,5% dan korea 6.3% .
Tabel 2.1. Insidens HAP dan VAP di delapan Negara,dikutip Chawla, 2008
India
IR HAP


Pakistan*

53,9%

China

Korea

1

0,63

per

per

Malaysia* Taiwan

Thailand*


Philipines*

1%

0,51

21,8

6 per 1000

per

1000

1000

sampai

1000


hari

pengakuan**

0,85 per

pengakua

1000

n

pengakuan

haripasien
IR VAP

8,95

per


1000

hari

55%

41,2%

3,5

sampai

2%

28,3

28,3

26%


26%

sampai

sampai

28%

28%

7,1 per 1000

ventilator*

hari
ventilator

Mortality


37% sampai

Rates

47,3%

58%

25,8%

42,4%

(Sumber Chawla, 2008)
*Data Lokal
**Dari Kim JM, Park ES, Jeong JS, Kim KM,, Kim JM, Oh HS, dkk.
Multicenter surveillance study for nosocomial infections in major hospitals in Korea.

2.2. Etiologi dan Patogenesis VAP
Ventilator Acquired Pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia
yang didapat di Rumah Sakit, terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan

bantuan ventilasi mekanik, baik itu melalui pipa endotrakea maupun pipa
trakeostomi (Inglis,1989; Horan,2008; Medford, 2009; Mietto,2013).
12

13
Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP
sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat baru dan
menetap pada foto toraks disertai hasil biakan sputum. Faktor risiko untuk
terjadinya VAP adalah salah satunya penggunaan ventilator mekanik
dengan sirkuit, pipa trakea yang terpasang, dan faktor risiko lainnya
seperti penyakit paru kronik, umur, keparahan penyakit, operasi abdomen
atau dada, trauma kepala atau kesadaran yang menurun, dan
penggunaan obat penghambat asam lambung. Aspirasi merupakan
inokulasi utama mikro organisma ke dalam saluran napas paling distal.
Karena itu sangat diperlukan pengamatan yang cermat perbaikan teknik
pengambilan sputum seperti

protected brush (PB) atau bilasan

bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage,BAL) dan perbaikan pemahaman

epidemiologi dan pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat IPI
(George, 1995; Cassetta,1999; Loanas, 2001; Craven, 2005; Rotstein,
2008 ).
Faktor risiko lainnya juga mempengaruhi, terjadinya kolonisasi patogen
pada saluran napas bawah, seperti penurunan kadar albumin, residu
makanan yang tidak diabsorbsi (Cook,1998; Wood, 2005; Klompas, 2009).
Tabel 2.2.

Faktor-faktor risiko berkaitan dengan VAP (dikutip Song,
2008).

Faktor pejamu

Faktor intervensi

Faktor lain

Albumin serum < 2,2 g/dl

Antagonis H2, antacid

Musim

Usia > 60 th

Obat

ARDS

intravena

PPOK dan atau pneumonia (CAP)

transfusi > 4 unit darah

Koma atau penurunan kesadaran

Penilaian

Luka bakar dan trauma

intrakranial

Gagal organ

Ventilasi

Keparahan penyakit

hari,menggunakan PEEP

Aspirasi dari isi lambung

Reintubasi

Kolonisasi dari lambung dan pH

2

tanpa

14
antibiotik

Pada pipa trakea dijumpai pola kuman patogen dan kuman flora normal
dari saluran napas atas, seperti : Candida albicans, gram positif dan gram
negatif. Koener,2004 menjelaskan bahwa hasil negatif bisa terjadi karena
kolonisasi kuman reaksi lambat pada neonatus, antibiotik alami (innate)
dalam sekret saluran napas atas dan aktivitas antibiotika intrinsik pada
sekret saluran napas atas dan bawah. Komponen antimikrobial yaitu IgG
2-4%, secretory IgA 15%, lactoferrin 2-4%, lisozim 30%, dan IgM 96 jam. VAP awitan
dini pada umumnya memiliki prognosis lebih baik karena disebabkan oleh
kuman yang masih sensitif terhadap antibiotika. VAP awitan lambat yang
14

15
terjadi setelah 5 hari atau lebih memiliki prognosis yang lebih buruk
karena disebabkan oleh patogen MDR seperti MRSA, A.Baumanii, P.
Aeroginosa, K. Pneumoniae, E. Coli dengan ESBL(+) (Troullit, 1998; Ruiz,
2000; Erle, 2006; Kollef, 2006; Mai, 2007; Levin, 2008; Cohen, 2008;
Chung, 2011; Restrepo, 2013).

Faktor risiko
intrinsik

Umur > 60 tahun
Penyakit akut/kronik
Imunodefisiensi
Merokok/PPOK
Peminum alkohol

Koloni
aerodigestif

Faktor risiko
ekstrinsik

Pipa napas,
balon pipa

Prosedur invasif
Kontrol infeksi
Pengobatan
Peralatan

Koloni
trakeobronkial

Respon imun
(host)

Emboli
Septik

Inokulasi langsung, aerosol

Patogen,
virulensi

VAP

Bakteremia

Gambar 2.3. Faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik terjadinya VAP. (Sumber:
Craven, 2005)

15

16

Gambar 2.4. Skema pasien yang diintubasi pipa selang napas lewat hidung,
kolonisasi yang terjadi di trakea, sering karena terkontaminasi oleh
sekret di sekitar Subglotis di saat pemasangan pipa selang napas
endotrakea. Dikutip Craven,2005.

Gambar 2.5. Perkiraan Jenis kuman patogen penyebab VAP. Dikutip dari
Rotstein,2008.

16

17
Tabel 2.3. Etiologi HAP dan VAP, di delapan negara Asean,
Patogen

India Pakis

Chi

*

tan*

na

20%

15-18%

18%

A. baumanii

38%

58,5%

MRSA

5%

K. pneumonii

23%

Pseudomonas

Korea

Malaysia Taiwan Thailand* Philipina*
*

*

23%

17,6%

21%

17,8%

42,1%

16%

9%

23%

20%

28,2%

13,1%

18%

16%

23%

11,8%

18%

7,6%

Tidak

14%

11%

5,8%

9%

7,7%

3,6%

2,8%

spp

26,3%

ada
data
E. coli

6,1
%

Enterobacte

8,2

riceae

%

S. maltophilia

8%

3,2%

58%

11,8%

3,4%

42,4%

(Sumber: Chung, Song, Chawla, 2008)

2.3. Diagnosis VAP dan Clinical Pulmonary Infection Score (skor
CPIS)
Diagnosis VAP ditentukan berdasarkan 3 komponen klinis tanda infeksi
sistemik yaitu demam, takikardi, dan leukositosis disertai gambaran infiltrat
baru ataupun perburukan di foto toraks dan penemuan bakteri penyebab
infeksi paru. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemeriksaan foto
toraks berulang memiliki akurasi diagnostik lebih dari 68% yang umumnya
disertai

gambaran

konsolidasi

non

homogen

(air

bronchogram)

(Niederman, 2005; Agustyn, 2007; Muller, 2007; Seyman, 2008). Torres,
2009, menyatakan bahwa diagnosis VAP meliputi tanda-tanda infiltrat
baru maupun progresif pada foto torak disertai gejala demam, leukositosis
maupun leukopeni dan sekret purulen. Gambaran foto toraks disertai dua
dari tiga kriteria gejala tersebut memberikan sensitivitas 69% dan
spesifisitas 75% (Vidaur, 2005; Sachdev, 2011)
Tabel 2.4. Kriteria Diagnosis yang terbanyak didapatkan pada kejadian
VAP, dikutip dari Rotstein 2008

17

18

Kriteria diagnosis

n (%)

Leukositosis

26 (68.4%)

demam

24 (63.1%)

Sekret dahak trakea purulen dan kental

22 (57.8%)

Berkurangnya paling sedikit 10% rasio PaO2/FiO2

16 (42.1%)

Auskultasi : Suara pernapasan melemah, ronkhi

9 (23.6%)

Leukopenia dan Uji biakkan darah positif

4 (10.5%)

Hipotermia

2 (5.2%)

Clinical Pulmonary Infection Score (skor CPIS) merupakan parameter
untuk mengukur atau menilai kondisi klinis pasien, yang dinilai dari suhu
tubuh, foto toraks, jumlah leukosit, kebutuhan oksigen, perubahan bentuk
dahak dan hasil biakkan sputum atau cairan BAL, yang menunjukkan
terjadinya infeksi di paru. Rentang nilai dari 0-10, bila nilai >6, maka
dinyatakan ada pneumonia (Pugin,1991; Fartoukh,2003; ATS,2005;
Tejerina, 2009; Huang,2010; Harde,2013).
Shan 2011, menyatakan bahwa skor CPIS merupakan sistem multifaktor
dalam menegakkan VAP. Metode ini berdasarkan pemeriksaan klinis,
radiologik, dan fisiologik. Ada dua cara penilaian, yaitu pertama adalah
CPIS klasik dengan disertai pemeriksaan biakkan sputum. Sedangkan
modifikasi

tanpa

disertai biakkan sputum.

Keuntungan

dari

CPIS

klasik, dengan adanya biakkan sputum memberikan manfaat, sehingga
dapat dihindari pemberian antibiotik yang tidak perlu (Park, 2012). Untuk
jenis modifikasi CPIS maka komponen yang diperiksa adalah suhu tubuh,
leukosit darah, sekret trakea, oksigenisasi dan foto toraks. Begitu juga
Harde, 2013 dari hasil pengamatannya skor CPIS sangat baik dipakai
untuk evaluasi pengobatan. Sedangkan Lodha 2011, mengatakan skor
CPIS

mempermudah

menegakkan

diagnosis

VAP.

Skor

CPIS

berkembang, berhubung biakkan patogen membutuhkan waktu dan teknik
yang benar untuk pengambilan bahan sputum, sehingga skor CPIS
dimodifikasi. Bila skor CPIS >6, maka dilakukan tindakan BAL untuk
membuat biakan patogen (Tan, 2007).

18

19
Tabel 2.5. Skor CPIS modifikasi, berdasarkan lima variabel, Bila nilai
skor CPIS > 6, maka dipertimbangkan dugaan kuat adanya
pneumonia

Komponen

Nilai

( 0C )

Skor

36,5 dan

38.4

0

38,5 dan

38.9

1

Leukosit per mm3

39,0 dan
36,5
4000 dan 11000

2
0

Sekret Trakea

11000
tidak ada atau sedikit

2
0

ada, tidak purulent purulent

1

< 240, ARDS

2
0

240 dan tidak ada ARDS

2

tidak ada infiltrat

0

infiltrat difus

1

infiltrat terlokalisir

2

Suhu

Oksigenasi PaO2/FiO2
Foto toraks

(Sumber : ATS, 2005)

2.4. Diagnosis dan Penatalaksanaan VAP
Tingginya

morbiditas dan mortalitas VAP membutuhkan

antibiotik yang tepat dan cepat

terapi

sehingga terapi empiris harus segera

diberikan. Dibutuhkan informasi kuman patogen penyebab VAP dan
resistensinya seakurat mungkin agar pengobatan pemberian antibiotika
tidak sia-sia, sehingga dibutuhkan teknik pengambilan sampel yang
tepat. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan metode
dan invasif. Metode non-invasif yang paling sering

non-invasif

dilakukan adalah

aspirasi endotrakeal sedangkan invasif adalah protected specimen brush
(PSB) dan bronchoalveolar lavage (BAL). Standar diagnostik VAP
adalah dengan cara biakkan kuantitatif dari cairan BAL. Shan, 2011 hasil
penelitian meta analisis bahwa skor CPIS
spesifisitas

100%. Spesifisitas

sensitivitas

diagnosis

19

93%

dan

ditingkatkan dengan

20
menjumlahkan nilai skor CPIS > 6

dan biakkan patogen kuantitatif BAL

(Vidaur, 2005; Luna, 2006; Gorman, 2009; Vincent, 2010).
Penatalaksanaan dugaan adanya HAP, VAP dan HCAP, seperti alur
penanganan di bawah ini:

Gambar 2.6. Kesimpulan dari penanganan pasien yang diduga HAP, VAP,atau
HCAP. Keputusan antibiotik tidak dilanjutkan tergantung dari hasil
sampel kuman patogen yang diperoleh dari PSB, BAL atau dari
aspirasi endotrakeal (dikutip dari ATS 2005).

20

21
Dugaan klinis VAP
Infiltrasi pada radiografi dada + satu atau lebih dari hal
berikut
 Sekresi trakea purulen
 Demam
 Leukositosis

Pengambilan sekresi pernapasan segera untuk kultur
kuantitatif (baik sampel bronkoskopi atau aspirasi trakea)

Mulai antibiotik spektrum luas empiris
dipandu oleh ahli mikrobiologi

Evaluasi kembali pada 48-72 jam
VAP dikonfirmasi dengan kemungkinan besar secara klinis atau
mikrobiologis
Ya

Tidak

Lanjutkan antibiotik selama 8 hari
Spektrum sempit tergantung pada data
mikrobiologi

Hentikan antibiotik jika tidak ada sumber
sepsis lain yang ditemukan

Gambar 2.7. Strategi yang mudah untuk memulai penatalaksanaan dugaan
adanya VAP. Dikutip dari Hunter 2006
Faktor yang dapat menyebabkan kegagalan respon klinis terhadap

pemberian antibiotik awal secara empiris adalah salah diagnosis, kuman
yang tidak tepat, komplikasi yang terjadi, serta kejadian ARDS, sehingga
dibutuhkan kecermatan, evaluasi perjalanan penyakit, dan teknik yang
benar

dan

tepat

untuk

pembiakkan

Klompas,2008; Wunderink,2008).

21

patogen

(Milbrandt,2005;

22

Gambar 2.8.

Penyebab yang dapat menyebabkan kegagalan respon klinis
terhadap pemberian antibiotik awal secara empiris adalah
kuman yang tidak tepat, salah diagnosis, komplikasi yang
terjadi serta kejadian ARDS (dikutip dari ATS 2005).

22

23
2.6. Rekomendasi IDSA / ATS Untuk Terapi Preventif VAP
Tabel 2.6. Terapi empiris antibiotik untuk HAP dan VAP pada pasien
yang mempunyai faktor risiko terhadap patogen yang sudah
resisten, VAP awitan dini dan keparahan penyakit lainnya,
dikutip dari ATS,2005
Patogen potensial

Antibiotik yang direkomendasi

Streptococcus pneumoniae

Ceftriaxone

Haemophilus influenzae

Atau

Methicillin-sensitive

Levofloxacin, moxifloxacin,

Staphylococcus aureus

atau ciprofloxacin

Antibiotic-sensitive enteric gram-negative bacilli
Escherichia coli

Atau
Ampicillin/sulbactam

Klebsiella pneumoniae

Atau

Enterobacter species

Ertapenem

Proteus species
Serratia marcescens

Terapi empiris atau terapi preventif harus segera diberikan, setelah
biakan patogen diambil untuk mikrobiologi. Pemberian Antibiotika
spektrum luas dan disesuaikan dengan pola patogen setempat.
Selanjutnya akan dilakukan evaluasi pengobatan, skor CPIS dan gejala
klinis lainnya (Rello,1997-1999; Singh, 2000; Dennesen, 2001; Delevaux,
2003; Fagon, 2003-2007; Torres, 2009; Ferrer, 2010; File, 2010; Takesue,
2010).
Tabel 2.7.

Dosis awal antibiotik intravena untuk pasien dewasa, terapi
empiris HAP, VAP dan HCAP pada pasien dengan awitan
lambat atau mempunyai faktor risiko patogen multi resisten
23

24

Antibiotik

Dosis

Antipseudomonal cephalosporin
Cefepime

1–2 g every 8–12 h

Ceftazidime

2 g every 8 h

Carbepenems
Imipenem

500 mg every 6 h or 1 g every 8 h

Meropenem

1 g every 8 h

ß-Lactam/ß-lactamase inhibitor
Piperacillin–tazobactam

4.5 g every 6 h

Aminoglycosides
Gentamicin

7 mg/kg per d

Tobramycin

7 mg/kg per d

Amikacin

20 mg/kg per d

Antipseudomonal quinolones
Levofloxacin

750 mg every d

Ciprofloxacin

400 mg every 8 h

Vancomycin

15 mg/kg every 12 h

Linezolid

600 mg every 12 h

2.6. Pencegahan VAP
Niederman, 2005 melaporkan bahwa silvercoated tube mengurangi
pembentukan biofilm sehingga dapat mengurangi pertumbuhan kuman
dengan

angka

risiko kecil, selain itu juga memperlambat durasi

pertumbuhan internal dari 1,8 ± 0,4 menjadi 3,2 ± 0,8 hari. Penderita di IPI
yang mendapatkan pengaliran subglotik intermiten memiliki insidens VAP
lebih

rendah

secara

bermakna

dibandingkan dengan

kontrol.

Pengurangan penggunaan antibiotik di IPI juga dapat menurunkan
insidens pneumonia nosokomial akibat
intervensi

yang

berkaitan

penggunaan antibiotik

dengan

adalah

resistensi obat.

penurunan

ventilasi

insidens

noninvasif

pada

Salah satu
VAP

dan

penderita

gagal napas akut. Pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi 2 kategori
24

25
yakni

strategi

pertumbuhan

farmakologik
patogen

pada

yang
saluran

bertujuan
napas

untuk
bawah

menurunkan
dan

strategi

nonfarmakologik yang bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi dan
patofisiologik inokulasi patogen lainnya (Koenig, 2006; Luna, 2006; McGowan,
2006; Mara, 2009; Nicasio, 2010).
Tabel 2.8. Intervensi Pencegahan VAP, dikutip dari Mara,2009
A. Intervensi dengan tujuan mencegah pertumbuhan saluran cerna

1. Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu
2. Membatasi profilaksis tukak lambung pada penderita risiko tinggi
3. Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis tukak lambung
4. Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara
selektif

5. Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut
6. Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi
7. Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita
8. Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR
B. Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi

1. Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal
segera mungkin

2. Posisi penderita semirecumbent atau ½ duduk
3. Menghindari distensi lambung berlebihan
4. Intubasi oral atau nonnasal
5. Pengaliran subglotik
6. Pengaliran sirkuit ventilator
7. Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan
8. Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea
9. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan
Pencegahan nonfarmakologik lebih mudah dan lebih murah untuk
dilaksanakan bila dibandingkan pencegahan VAP secara farmakologik,
yang meliputi
mekanik

menghindari intubasi trakea,

penggunaan ventilasi

sesingkat mungkin, pembagian kerja tenaga kesehatan,
25

26
subglottic suctioning, intubasi non-nasal, menghindari manipulasi yang
tidak perlu pada sirkuit ventilator, pemakaian heat
exchangers,

posisi

setengah

duduk,

and

moisture

menghindari lambung penuh,

pencegahan terbentuknya biofilm, dan mencuci tangan dan pemakaian
desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien (Satcher,1997;
Aguald-Ohman, 2007; Mara, 2009; Torres, 2009). Ntoumenopoulos, 2002
melakukan pencegahan tambahan non-farmakologi chest physiotherapy,
fisioterapi dada dengan vibrasi dan ekspektorasi, bermakna dalam
mengurangi insiden VAP.
Sedangkan pencegahan VAP secara non-farmakologik lainnya meliputi
menekan pertumbuhan traktus orodigestif, pencegahan

pembentukan

biofilm kuman, dan menghindari penggunaan

stress

profilaksis

ulcer

yang berlebihan. Meskipun pencegahan VAP secara non farmakologik
sudah menjadi prosedur baku di ICU namun angka kejadian VAP masih
cukup tinggi, sehingga masih perlu ditambahkan pencegahan VAP secara
farmakologi (Kremer, 2004; Munro, 2004; Koenig, 2006; Augustyn, 2007; Mietto,
2013, Safdar, 2005).
Diagnosis banding gambaran konsolidasi, infiltrat paru pasien di IPI
1. Pneumonia
2. Hemoragik alveol
3. Aspirasi
4. Atelektasis
5. Edema paru Kardiogenik dan non-kardiogenik
6. Efusi Pleura

2.7 Sistem Imunitas Mukosa
Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem imunitas yang penting
dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas
mukosa lebih bersifat menekan imunitas. Karena mukosa berhubungan
langsung dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen
yang terdiri dari patogen komensal, antigen makanan dan virus dalam
26

27
jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen
tersebut sedapat mungkin dicegah agar tidak menempel pada mukosa
dengan pengikatan oleh s-IgA, barier fisik dan kimiawi dengan enzimenzim mukosa. Antigen yang telah menembus mukosa juga dieliminasi
dan reaksi imun yang terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk
mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan yang akhirnya
merugikan oleh karena adanya pajanan antigen yang sangat banyak.
Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons imun oleh
karena adanya paparan antigen. Sistem imunitas mukosa menggunakan
beberapa mekanisme untuk melindungi pejamu dari respons imunitas
yang berlebihan. Semua mekanisme ini ditujukan untuk menekan respon
imunitas (Lusuardi, 2002; Mayer, 2003; Mestecky, 2005; Elgert, 2009).

Gambar 2.9. Sistem Imunitas Mukosa,dikutip dari Mayer, 2003

Jaringan mukosa ditemukan di sistem saluran pernapasan, saluran cerna,
saluran genital dan kelenjar payudara. Mekanisme proteksi terhadap
antigen pada mukosa, terdiri dari membran mukosa yang menutupi
mukosa dan enzim adalah perlindungan mekanik dan kimiawi yang sangat
kuat, sistem imun alamiah

mukosa (innate) berupa eliminasi antigen

dengan cara fagositosis dan lisis, sistem imun mukosa adaptif dimana

27

28
selain melindungi permukaan mukosa juga melindungi bagian dalam
badan dari masuknya antigen lingkungan. Sistem imun lokal ini
merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada orang sehat. Sel-sel ini
terakumulasi di dalam atau berpindah antara berbagai Mucosa-Assosiated
Lymphoid Tisssue (MALT), bersama-sama membentuk sistem organ
limfoid terbesar

(Befus, 1999; Bals, 2004; Martin, 2005; Gottesman,

2009).
Sistem imunitas mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu;
1. Melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi patogen
berbahaya yang mungkin menembus masuk.
2. Melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi
meliputi protein asing dari makanan yang tercerna, material di
udara yang terhirup dan patogen komensal.
3. Melindungi

berkembangnya

respon

imun

yang

berpotensi

merugikan terhadap antigen-antigen tersebut bila antigen tersebut
mencapai

masuk

ke

dalam

tubuh.

Sehingga

disini

MALT

menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan mengatur
intensitasnya untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses
imun berlebih.
Sistem MALT terlihat sebagai suatu sistem imunitas yang berkerja
sama dengan baik dengan fungsi esensialnya berdiri sendiri dari aparatus
sistem imun. Secara fungsional, MALT terdiri dari dua komponen yaitu
jaringan limfoid mukosa terorganisir dan sistem imunitas mukosa yang
menyebar (Bals, 2004; Martin, 2005; Muooz, 2005, Gottesman, 2009).
Respon Imunitas Mukosa, Antigen yang berada didalam lumen di ambil
oleh sel epitelial abortif dan sel epitelial spesifik di mukosa dan di induktif,
dibawa atau langsung ditangkap oleh antigen-presenting cel APC
profesional yang terdiri dari sel dendritik (DC), sel limfosit B dan makrofag
dan dipresentasikan kepada sel-sel T konvensional α CD4+ dan CD8+,
semuanya berada pada tempat induktif. Beberapa antigen juga bisa
langsung diproses dan dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T
intraepitelial tetangga (neighboring intraepithelial T cells) meliputi sel T

28

29
dengan limited resevoire diversity (sel T δ dan sel NKT). Respons imun
mukosa dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang terlibat dan
lingkungan mikro lokal. Kebanyakan adalah antigen non-patogen, jalur
normal untuk sel dendritik mukosa dan APC lain terlihat melibatkan sel T
helper 2 dan respons berbagai sel T regulator, biasanya hasilnya adalah
supresi aktif imunitas sistemik. Antigen dan adjuvant, meliputi kebanyakan
patogen, mempunyai motif disensitisasi oleh APC mukosa sebagai
pertanda bahaya seperti ligan toll-like reseptor (TLR) disatu sisi dan
kondisi proinflamasi pada umumnya, menghasilkan respons imun yang
lebih kuat dan luas, baik sekresi hormonal maupun sisi efektor imunitas
seluler dan tidak menghasilkan toleransi oral. Ini diasumsikan bahwa
pengenalan patogen oleh TLR APC mukosa membedakan dari respon
pada flora komensal. Tetapi terakhir ditemukan bahwa pada kondisi
normal, patogen komensal dapat dikenali oleh TLR, interaksi ini
tampaknya sesuatu yang penting untuk menjaga homeostasis epitel
mukosa (Mayer, 2003; Bals, 2004; Martin, 2005; Mestecky, 2005; Muooz,
2005; Gottesman, 2009).

Gambar 2.10. Respon Imunitas Mukosa, dikutip dari Mayer, 2003

Sel B maupun sel T yang tersensitisasi, meninggalkan tempat asalnya,
yang berhubungan dengan antigen, masuk melewati kelenjar getah
bening, masuk ke sirkulasi, dan kemudian menempatkan diri pada
mukosa terseleksi, umumnya pada mukosa asal dimana mereka
kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma, sel memori dan membentuk
s-IgA. Afinitas sel-sel ini kelihatannya dipengaruhi secara kuat oleh
integritas pada tempat spesifik (homing reseptors) pada permukaannya
29

30
dan reseptor jaringan spesifik komplemen (adressin) pada sel endotel
kapiler. Pada penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sel dendritik
mukosa dapat mempengaruhi properti homing . Meningkatkan ekspresi
reseptor homing mukosa α4 7 dan reseptor CCR9, suatu reseptor untuk
gut-assosiated chemokine sel T memori dan sel T CD8+ memori, untuk
homing di epitel intestinal. Juga, sel dendritik imprinting of gut homing
specifity, terlihat terdiri dari retinoid acid yang diproduksi oleh sel dendritik
intestinal tetapi tidak oleh sel dendritik limfoid lain. Ini mungkin bisa
menjelaskan dugaan sistem imun mukosa umum dimana imunosit
teraktivasi pada suatu tempat menyebarkan imunitas ke jaringan mukosa
lain. Pada saat yang sama, oleh karena kemokin, integrin dan sitokin
terekspresi berbeda di antara jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa
menerangkan sebagian, mengapa didalam sistem imun mukosa, ada
hubungan kompartemenisasi khas dengan tempat mukosa terinduksi,
contohnya usus dengan glandula payudara, hidung dengan saluran napas
dan genital (Mayer, 2003; Lamm, 2006; Ballow, 2007).
Adanya

keterkaitan

ini

menjadi

pertimbangan

untuk diberikannya

imunisasi mukosa dengan adanya efek yang diharapkan. Imunisasi oral
akan menginduksi antibodi di usus halus (paling kuat di proksimal), kolon
asenden, kelenjar payudara dan kelenjar air ludah, tetapi tidak efektif
menginduksi antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil dan genital
perempuan. Sebaliknya imunisasi di rectal , akan menghasilkan respon
antibodi yang kuat di rektum tetapi tidak di usus halus dan colon
proksimal. Imunisasi dalam rongga hidung dan tonsil akan memberikan
respon antibodi di mukosa saluran napas bawah dan regio sekresi (saliva
dan nasal) tanpa respon imun di usus, tetapi juga terjadi respon imun di
mukosa vagina seperti yang terlihat pada usaha imunisasi HIV. Pada tikus
ditemukan bahwa suntikan transkutan bisa menimbulkan efek imunitas di
mukosa vagina (Mayer, 2003; Bals, 004; Martin, 2005; Mestecky, 2005;
Muooz, 2005; Gottesman, 2009).
Selain mekanisme pembersihan antigen mekanik dan kimiawi, imunitas
mukosa terdiri dari sel lain berupa sistem imune innate yang meliputi

30

31
neutrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel NK (natural killer), dan sel
mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan inisisasi respon
imun adaptif. Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan
mukosa adalah suatu sistem yang diperantarai antibodi s-IgA, kelas
imunoglobulin

predominan

dalam

sekresi

eksternal

manusia.

Imunoglobulin ini tahan terhadap protease sehingga cocok berfungsi pada
sekresi mukosa. Induksi s-IgA melawan patogen mukosa dan antigen
protein terlarut tergantung pada sel T helper. Perubahan sel B menjadi sel
B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-

dan iterleukin (IL)10 bersama-

sama dengan IL-4. Diketahui bahwa, sel T mukosa menghasilkan dalam
jumlah yang banyak TGF- , IL-10 dan IL-4, dan sel epitelial mukosa
menghasilkan TGF- dan IL-10. Hal ini menjadi petunjuk bahwa maturasi
sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro mukosa yaitu sel epitel
dan limfosit T. Walaupun s-IgA predominan sebagai mekanisme
pertahanan humoral, IgM dan IgG juga diproduksi secara lokal dan
berperan secara bermakna dalam mekanisme pertahanan imunitas . Sel T
limfosit sitolitik mukosa (CTL) mempunyai peran penting dalam imunitas
pembersihan patogen virus dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan
terlihat setelah pemberian imunisasi oral, nasal, rektal ataupun vaginal
dan yang terbaru dengan prosedur perkutaneus (Danielle, 1999; Bals,
2004; Martin, 2005; Mestecky, 2005; Muooz, 2005; Medzhitov, 2008;
Gottesman, 2009; Sim, 2009).

31

32

Sistem
imun
mukosa
telah
mengembangkan
berbagai
cara untuk
Gambar
2.11.
Interaksi
sel-sel
imunitas
IgA, adanya antigen
yang melekat
pada Tmenjaga
helper
sehingga IgM
berkembang
IgA.
toleransi terhadap
antigen
yaitu menjadi
antigenimunitas
lingkungan
pada mikroflora,
Dikutip dari Danielle, 1999
antigen makanan dan antigen material udara terhirup. Tolerasi tersebut

melalui mekanisme aktivasi sel penginduksi kematian (induce-cell death),
anergi dan yang paling penting induksi sel T regulatori. Anergi terhadap
sel T antigen spesifik terjadi bila inhalasi atau menelan sejumlah besar
protein terlarut, dan penghilangan (deleting) sel T spesifik terjadi setelah
pemberian antigen dosis nonfisiologis, secara masif. Mayer, 2003 pada
percobaan tikus sudah diketahui ada 4 sel T regulator, yaitu;
1. Antigen-induced CD4+ T helper 2 like cells yang memproduksi IL-4
dan IL-10, dan antagonis sel efektor T helper 1,
2. Sel CD4+CD45RBlow yang memproduksi IL-10,
3. Sel CD4+ dan CD8+ yang memproduksi TGF- (T helper 3),
4. Sel Treg (CD4+CD25+) yang mensupresi proliferasi melalui suatu
sel contact-dependent mechanism.

Gambar 2.12. Mekanisme Regulator pada Imunitas Mukosa,
dikutip dari Mayer, 2003.

Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat dikembangkan menjadi suatu
bentuk sel antigen spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa juga
mengubah aktivitas supresor pada sel CD4+ lain dengan cara
menginduksi ekspresi dari transkripsi faktor Foxp3 dan atau ikatan MHC

32

33
klas II dengan molekul LAG-3 pada sel seperti infectious tolerance.
Mereka juga mempunyai hubungan langsung antara sel T inhibitor oleh
Sel Treg , T helper 3, sel Tr 1. Selanjutnya natural human CD4+CD25+ Treg
mengekspresikan integrin α4 7 mukosa, ketika bersama sel T CD4+
konvensional menginduksi sel T sekresi Tr 1 like IL 10 dengan aktifitas
supresor kuat terhadap sel T efektor, dimana α4 1 Treg –positif lain
memperlihatkan cara yang sama dengan cara menginduksi Thelper 3-like
TGF-β-secreting

supressor

T

cells.

Data

dari

studi

terakhir

mengindikasikan bahwa kesemua sel regulator yang berbeda tipenya dan
mekanismenya dapat diinduksi atau ditambah (expand) oleh adanya
antigen mukosa mengawali terjadinya toleransi perifer. Sel T CD8+

δ

intraepitelial mukosa respirasi dan usus juga dicurigai berperan dalam
toleransi

mukosa.

Jadi,

mekanisme

pertahanan

mukosa

dari

autoagressive dan penyakit alergi melibatkan berbagai tahap regulasi.
Sedangkan aktivasi, survival dan ekspansi sel regulator ini tampaknya
dikontrol oleh jenis terspesialisasi APC, khususnya sel dendritik jaringan
spesifik meliputi sel dendritik di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan
sistem respirasi paru (Danielle, 1999; Mayer, 2003).

2.8. Imunitas Mukosa Sistem Pernapasan
Folikel limfoid yang terisolir ditemukan tersebar di seluruh mukosa saluran
napas. Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri dari nose-associated
lymphoid tissue (NALT), larynx-associated lymphoid tissue (LALT), dan
the bronchus-associated lymphoid tissue (BALT). BALT terdiri dari folikel
limfoid dengan atau tanpa germinal center terletak pada dinding bronkus.
Sistem limfoid ini terdapat pada 100% kasus fetus dengan infeksi amnion
dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit pada fetus yang tidak
terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid intrauterin ini merupakan
fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis (Daniele, 1999;
Lusuardi, 2002; Mayer, 2003; Bals, 2004; Martin, 2005; Mestecky, 2005;
Muooz, 2005; Gottesman, 2009)

33

34

Gambar 2.13. Lokasi pada mukosa trakeobronkial dimana sel epitel tempat antigen dibawa (a)
BALT, (b) agregasi limpoid. Dikutip dari Danielle, 1999

Respons imun diawali oleh sel M (microfold cells) yang berlokasi di epitel
yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang
dibutuhkan dalam pembentukan respons imun. Sel M bertugas untuk
uptake

dan

transport

antigen

dari

lumen

dan

kemudian

dapat

mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel dendritik
submukosa dan intersisial dan makrofag alveol. Makrofag alveol
merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%.
Makrofag alveol ini merupakan APC didalam alveol, sel ini berperan
melindungi saluran napas dari proses inflamasi pada keadaan normal.
Saat antigen masuk, makrofag alveol akan mempengaruhi derajat
aktivitas atau maturasi sel dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel
dendritik akan menangkap antigen, memindahkannya ke organ limfoid
lokal dan setelah melalui proses maturasi, akan memilih limfosit spesifik
antigen yang dapat memulai proses imun selanjutnya (Daniele 1999;
Mayer, 2003; Gottesman, 2009).
Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT dan
kelenjar limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat melakukan
ekstravasasi ke efektor mukosa. Proses ini diperantarai oleh molekul
adesi vaskular dan kemokin lokal, khususnya mucosal addressin cell
34

35
adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik antigen adalah efektor
penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang lisis atau sekresi
sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi sitokin ini akan
meningkatkan respons imun dan akan membantu sel B untuk berkembang
menjadi sel plasma IgA (Daniele,1999; Lusuardi, 2002; Mayer, 2003; Bals,
2004; Martin, 2005; Mestecky, 2005; Muooz, 2005; Gottesman, 2009;
Elgert, 2009).
Manfaat Klinis dari pengetahuan dan memahami Imunitas Mukosa adalah
pemberian imunisasi melalui mukosa. Fakta, kebanyakan infeksi masuk
melalui permukaan mukosa dan pada infeksi ini, jarang diberikan vaksin
topikal untuk menginduksi respons imun protektif. Vaksinasi mukosa
diharapkan akan memberikan perlindungan dengan cara mencegah
penempelan dan kolonisasi patogen pada epitel mukosa dan mencegah
penetrasi dan replikasi di mukosa serta menangkal ikatan toksin mikrobial
pada epitel mukosa dan sel lain yang terkena. Beberapa patogen
merangsang pembentukan produksi s-IgA dan sangat berhubungkan
dengan memori imunitas. Selanjutnya memberikan imunitas protektif
dengan diperantarai oleh sel T helper CD4 dan mungkin juga sel sitolitik
CD8 dan sel NK. Pada sistim respirasi dan genital yang lebih permeabel
dan mudah dipenetrasi oleh antibodi daripada mukosa intestinal, juga bisa
mendapatkan imunitas protektif dengan pemberian imunisasi parenteral.
Walaupun demikian masih ada kesulitan dalam mengembangkan vaksin
mukosa untuk mendapatkan kadar antibodi s-IgA yang memadai. Baru
beberapa vaksin mukosa yang ditemukan (Mayer, 2003; Aghamohamidi,
2004; Renegar, 2004; Mestecky, 2005; Bitonti, 2006; Ballow, 2007).
Pada vaksin oral polio, akan menghasilkan antibodi di dalam
darah yang menimbulkan efek proteksi mencegah terjadinya mielitis akibat
sebaran virus polio yang menempel di sistem saraf. Vaksin ini juga
mempoduksi s-IgA yang memberikan respons imun lokal di mukosa
intestinal, tempat primer virus polio untuk replikasi dan multiplikasi. Hal ini
bisa mencegah penularan orang kepada orang lain. Vaksin untuk infeksi
saluran napas antara lain vaksin influensa dan pneumokok yang
35

36
disuntikkan. Diharapkan akan terbentuk s-IgA dan IgG yang melindungi
penyebaran sistemik patogen tersebut. Dimana mungkin juga secara
transudasi memberikan proteksi lokal mukosa saluran napas bawah. Saat
ini telah ada vaksin influensa yang diberikan topikal lewat nasal. Dengan
cara ini tejadi respons imun seperti alamiahnya, bisa terjadi imunitas lokal
dengan

membentuk

s-IgA

yang

menempel

di

permukaan

virus

hemaglutinin dan neuroamidase dan sistemik dengan cara membentuk
IgG yang mencegah penyebaran virus sistemik, viremia. Kedua vaksin
tersebut memberikan proteksi sebesar 60-90%. Vaksin mukosa untuk
imunoterapi saat ini mulai dipikirkan. Adanya toleransi imunitas di mukosa
menjadikan pilihan strategi untuk mengembangkannya (Steffen,1992;
Dave,2004; Renegar, 2004; wright,2004;

Mestecky, 2005; Judarwanto

2009).

2.9. Sekretori Immunogobulin A ( s-IgA )
IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA dalam
serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, 80% terdapat di
mukosa terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan
berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang
dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai
tunggal J. Polimer tersebut mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15S.
IgA yang berada dalam sekret internal seperti cairan sinovial, amnion,
pleura, atau serebrospinal adalah tipe IgA serum sedangkan sekretori
Immunogobulin A (s-IgA) adalah imunoglobulin sekresi pada colostrum, air
ludah, telinga, sistem respirasi, saluran cerna dan sekresi mukosa
reproduksi. Melindungi serangan patogen seperti bakteri dan virus pada
membran mukosa. Molekul sIgA mempunyai 2 H2L2 dan satu molekul
rantai J menjadi 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.
Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada
bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan
melewati sel epitel mukosa. S-IgA merupakan pertahanan pertama pada
daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal,
36

37
dan telah dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa
(Steffen, 1992; Brandtzaeg, 1994; Schmekel, 1995; Danielle, 1999; Mayer,
2003, Elgert, 2009).

Gambar 2.14.

IgA monomer dalam serum (20%), S-IgA dimer didalam

alveolus (70-80%). Dikutip dari Elgert, 2009.
Gambar 2.15. Sintesis dan transportasi s-IgA dari IgA monomer menjadi dimmer
melalui reseptor pada epitel masuk kedalam rongga alveol.
Dikutip dari Elgert, 2009

37

38
Schmekel dkk,1995 melakukan penelitian dengan orang sehat, tidak
merokok dengan melakukan BAL, mendapatkan hasil bahwa s-IgA
didalam Alveol adalah rata rata 2800 ug/L. S-IgA, merupakan prinsip
imunitas pertahanan tubuh pada sistem mukosa pernapasan dan juga
mukosa lain didalam tubuh. Beberapa patogen penyebab nosokomial
pneumonia mempunyai aktifitas IgA protease yang menghancurkan s-IgA
yang memberikan kontribusi berkembangnya infeksi. Pada penelitian
sebelumnya patogen gram negatif pada pasien pneumonia nosokomial
mempunyai aktifitas IgA protease yang menyebabkan berkembangnya
infeksi saluran napas. Pada penelitian in vitro

mendapat kesimpulan

bahwa rusaknya s-IgA oleh bakteri juga mempengaruhi fungsi antiinflamasi IgA. Patogen gram negatif
Acinetobacter baumanii

Pseudomonas aeruginosa dan

dapat merusak fungsi efektor selular s-IgA,

sehingga berkembang menjadi pneumonia dan keparahan penyakit
bertambah karena tidak terkontrolnya respon inflamasi oleh host (Danielle,
1999; Wolf, 1994, Schmekel, 1995, Dave, 2004; Diebel, 2004-2009;
Lamm, 2006).

Gambar 2.16. Sekretori epitel, s-IgA, dikutip dari Elgert, 2009

Immunogobulin lokal memegang peranan penting pada pertahanan host
terhadap infeksi paru, Diebel 2009 meneliti evolusi albumin bronkial, IgA
dan kadar IgG pada pasien dengan ventilator mekanik di IPI yang
dihubungkan dengan pneumonia nosokomial, pemeriksaan darah secara
38

39
serial dan protein bronkial. Hasil penelitian menunjukan albumin dan IgG
BAL tidak menunjukan perbedaan bermakna dari kelompok menjadi
infeksi pneumonia dan yang tidak pneumonia. Namun s-IgA meningkat
selama pasien dalam ventilator, tetapi produksi s-IgA menurun pada
pasien yang berkembang menjadi VAP dan ARDS.
Mekanisme efek proteksi antibodi s-IgA belum jelas, Diebel

2009

melakukan penelitian mengenai efek s-IgA terhadap pelepasan inflamasi
sitokin pada aktifitas monosit dengan stimulus Haemophilus influenza,
lipopolysaccharida (LPS) Escherichia coli. Penelitian ini menunjukkan
bahwa s-IgA mengurangi regulasi produksi tumor necrosis (TNF) dan
interleukin-6 (IL-6), sedangkan IgG secara paralel tidak memberikan efek.
Pembentukan TNF dan IL-6 ditekan bila s-IgA ada selama induksi sitokin
dan IgA juga meng-inhibisi pecah monosit selama fase pembentukan
sitokin. Regulasi TNF dan IL-6 oleh s-IgA bisa sebagai anti-inflamasi,
mekanisme ini mencegah agar tidak terjadinya level inflamasi sitokin tak
terkontrol selama inflamasi akut dan kronik (Hajis-Laengalis, 1992;
Wiggins, 1994; Wolf, 1994; Dave, 2004; Wright, 2004; Furst, 2008; Diebel,
2009; Diebel, 2009).

2.10. Neutrofil
Pada prinsipnya pengambilan neutrofil kedalam alveol merupakan
pertahanan

tubuh

yang

penting

terhadap

infeksi

patogen.

Polimorfonuclaer (PMN) satu-satunya yang bisa melewati arteriol paru dan
mukosa epitel alveol adalah neutrofil, dengan respon inflamasi. Aktifasi
transmigrasi sirkulasi neutrofil (PMN) memegang peranan penting pada
sistem imunitas mukosa alamiah (Innate Immunity) bersama makrofag dan
lainnya. Neutofil merupakan bagian sistem imunitas yang penting dan
berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas
mukosa lebih bersifat menekan imunitas. Karena mukosa berhubungan
langsung dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen
yang terdiri dari patogen komensal, antigen virus dalam jumlah yang lebih
besar dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut
39

40
sedapat mungkin dicegah agar tidak menempel pada mukosa, bersamasama dengan s-IgA mengikat antigen, barier fisik dan kimiawi dengan
enzim-enzim mukosa. Antigen yang telah menembus mukosa juga
dieliminasi dan reaksi imun yang terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal
ini untuk mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan yang
akhirnya merugikan oleh karena adanya pajanan antigen yang sangat
banyak. Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons
imun oleh karena adanya paparan antigen, hal inilah yang terjadi dengan
migrasinya

neutrofil

dalam

jumlah

besar

kedalam

alveol,

dapat

menyebabkan hancurnya lingkungan alveol. Sistem imunitas alveol
menggunakan beberapa mekanisme untuk melindungi pejamu dari
respons imunitas yang berlebihan. Semua mekanisme ini ditujukan untuk
menekan respons imunitas. Jaringan mukosa ditemukan di sistem saluran
napas, saluran cerna, saluran genital dan kelenjar payudara. Mekanisme
proteksi terhadap antigen pada mukosa, terdiri dari membran mukosa
yang menutupi mukosa dan enzim adalah perlindungan mekanik dan
kimiawi yang sangat kuat, sistem imun alamiah mukosa (innate immunity)
berupa eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis, sistem imun
mukosa adaptif

dimana selain melindungi permukaan mukosa juga

melindungi bagian dalam badan dari masuknya antigen lingkungan
(Lusuardi, 2002; Singh, 2002; Mayer, 2003; Bals, 2004; Martin, 2005;
Mestecky, 2005; Linssen, 2007; Elgert, 2009; Sim, 2009).
Morrison, 1998, melakukan penelitian terhadap 12 orang dewasa sehat
tidak merokok, dibandingkan dengan dewasa merokok, didapatkan hasil
jumlah neutrofil pada kelompok dewasa sehat tidak merokok adalah
0,790,29%, sedangkan yang merokok, neutrofil meningkat bermakna.

40

41

Gambar 2.17. Neutrofil dari BAL, alveol, dikutip dari Grigoriu,2006

Tabel 2.9. Persentase hitung jenis sel BAL orang dewasa Normal, tidak
merokok, dikutip dari Meyer, 2012
Tipe sel

Persentase hitung jenis sel

Makrofag Alveol

≥85%

Limposit

≤15%

Neutrofil

≤γ%

Eosinofil

≤1%

Sel Epitel Bronkial

≤5%

Sel Epitel Skuamous

Nonea

Barreiro, 1996 melakukan penelitian neutrofil dari BAL, 90 subjek,
mendapatkan hasil bahwa neutrofil pada kelompok (VAP-) adalah sekitar
60±30%, sedangkan pada kelompok (VAP+) adalah sekitar 73±31%.

41

42
Tabel 2.10. Karakteristik neutrofil BAL pada pasien dengan Ventilator
VAP (n=35)

Non-VAP (n=55)

p-value

Total sel alveolar

2989±2789

1193±1258

0,0003

Makrofag %

17±23

32±29

0,002

Neutrofil %

73±31

57±30

0,01

Eosinofil %

1±6

0,4±3

NS

Limfosit %

2±3

2±3

NS

SEC

0,3±1

0,6±2

NS

%

Sumber dari barreiro, 1996

Acute Lung Injury (ALI) dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
mempunyai karakteristik meningkatnya permeabilitas barier alveolar
kapiler, yang menyebabkan masuknya protein, terjadinya edema paru
dan terjadinya perubahan analisa gas darah. Mortalitas mencapai 30-40%.
Aktifasi transmigrasi sirkulasi neutrofil (PMN) memegang peranan penting
terjadinya

ARDS

secara

cepat.

Pada

penelitian

model

binatang

mengeliminasi neutrofil (PMN) dari alveol mengurangi keparahan ARDS.
Pada sirkulasi mikrosistemik, PMN masuk dari vaskular kedalam jaringan
yang terinflamasi, adhesi mengaktifkan sel endotel, selektin, integrin dan
molekul immunoglobin, sitokin, kemokin dan lainnya terjadi dalam proses
ini. Migrasi PMN kedalam sistem paru (intravaskular, intersisial dan intra
alveol) hal ini menyebabkan kerusakan pada paru yang berkorelasi
bermakna dengan mortalitas. Endotoksin bakteri LPS (lipopolysaccharide)
menginduksi semakin banyaknya PMN yang masuk kedalam rongga
alveol,

bila

eksperimental

ini

diberikan
menemukan

secara

intratrakeal.

mekanisme

Kesimpulan

pengambilan

secara

PMN

dari

mikrovaskular paru, termasuk tahapan migrasi darah kedalam rongga
alveol. Hubungan antara inflamasi paru dan proses koagulasi merupakan
target potensial intervensi pengobatan dimasa depan. Pasien ARDS
masih mempunyai prognosis yang buruk dalam angka harapan hidup dan
morbiditas jangka panjang. Berkurangnya angka kejadian ARDS yang
berhubungan dengan mortalitas adalah hal yang mendasar dalam
42

43
perbaikan terapi penunjang seperti strategi proteksi ventilator. Walaupun
yang terbaik adalah memahami molekular dan mekanisme seluler ARDS,
yang belakangan ini diketahui cikal bakal yang terbaik. Aktifitas yang
berlebihan dan migrasi dari sirkulasi neutrofil dari darah ke rongga alveol
merupakan kunci mempercepatnya terjadinya ARDS. Pada prinsipnya
pengambilan neutrofil kedalam paru merupakan pertahanan tubuh yang
penting terhadap infeksi patogen. Jadi ada dua sisi yang berlawanan dari
neutrofil didalam paru sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi dan
mediator kerusakan sel-sel paru, sulit untuk dipahami, hal ini jadi
pertimbangan untuk evaluasi terapi dan prognostik (Morrison, 1998;
Befus,1999; Lee, 2001; Boyton, 2002; Retuerhan, 2004; Grigoriu, 2005;
Halbertsma, 2005; Noble, 2006; Oeckler, 2007; Diebel, 2009; Gottesman,
2009; Meyer, 2012).

Gambar 2.18. Pengambilan Neutrofil kedalam jaringan paru
Keterangan Gambar :
Neutrofil (polymorphonuclear leukocytes [PMNs]), yang berwarna biru) masuk
kedalam pembuluh darah perifer sistem pernapasan (kanan). Dikarenakan
diameter kapiler sangat kecil, neutrofil harus merubah bentuk, dan terjadi

43

44
peningkatan waktu bermigrasi (‘margination’)

(inset A: margination). Didalam

pembuluh vena kecil, adhesion molecule (AM)-tergantung dengan siklus proses
ini. Respon dari stimulus inflamasi (panah merah), neutrofil melekat di endotel
kapiler (inset B: sequestration). AM dan kemokin (tidak dilihatkan) bisa masuk
bersama-sama dalam proses ini. Makrofag alveolar dan type II pneumocytes
menghasilkan kemokin, dengan cara ini neutrofil bermigrasi melalui endotel (inset
C1: transendothelial migration), masuk ke intersisial, dan epitel (inset C2:
transepithelial migration) dan berkumpul sangat banyak dalam rongga alveol.
(dikutip Reutershan, 2004)

2.11.

Bronchoalveolar Lavage (BAL)

Bronkoskop serat lentur pertama kali dikembangkan oleh Dr. Shigeto
Ikeda pada tahun 1960-an. Walaupun telah banyak studi mengenai
penggunaan

BAL untuk aplikasi klinis pada beberapa penyakit paru

namun belum ada konsensus baku mengenai penggunaan BAL, sehingga
terdapat perbedaan antara berbagai pusat studi mengenai teknik
pemeriksaan BAL. BAL

adalah

suatu

teknik

pemeriksaan

dengan

menggunakan bronkoskop serat lentur untuk mendapatkan sampel sel-sel
dan komponen non-selular dari permukaan epitel saluran napas bawah
atau unit bronkoalveolar. BAL dilakukan terutama dengan anestesi lokal
dan premedikasi. Penggunaan atropin sebagai premedikasi untuk
meminimalkan terjadinya bradikardi yang diinduksi oleh refleks vasovagal
dan mengurangi sekresi saluran napas (Pugin,1991; Haslam,1999; ATS,
2005; Afessa, 2006; Cardeiro, 2008; Meyer; 2012; Rasmin, 2012).
Efek samping dari pemeriksaan BAL hampir sama dengan pemeriksaan
bronkoskopi yaitu hipoksemia, batuk, demam, menggigil, infiltrasi alveolar,
dan penurunan fungsi paru yang bersifat sementara. Efek samping
terutama berhubungan dengan teknik endoskopi, lokasi dan luas area
yang dikumbah, volume dan temperatur cairan yang diinstilasikan (VanHooser, 2006; Fagon, 2007; Ramirez, 2007; Rasmin, 2012).
BAL sebaiknya dilakukan pada lobus tengah atau lingula kecuali lesi paru
tidak meliputi seluruh paru melainkan terlokalisasi pada lobus tertentu.
44

45
Penggunaan tempat BAL pada lokasi lobus tengah paru kanan atau
lingula karena secara anatomis, volume cairan BAL dan sel-sel yang
didapat kembali akan lebih besar (Zaccard, 2009). Cairan yang digunakan
untuk BAL adalah NaCl 0,9% dengan suhu 37 0C sehingga mengurangi
terjadinya

batuk, bronkospasme dan kurang menyebabkan penurunan

fungsi paru, oleh karena itu akan meningkatkan jumlah cairan yang
didapat kembali dan jumlah sel yang didapat. Cairan NaCl 0,9%
dimasukkan bolus dengan spit dengan kecepatan 5 ml/dt atau dibiarkan
mengalir dengan gaya hidrostatik dari reservoir. Cairan diaspirasi kembali
dengan suction menggunakan tekanan negatif 25 – 100 mmHg atau
dibiarkan mengalir dengan gaya gravitasi. Penggunaan suction mekanik
harus

berhati-hati

karena

dapat

mengakibatkan

trauma

yang

menyebabkan perdarahan sehingga terdapat eritrosit dalam cairan BAL.
Umumnya cairan yang diperoleh kembali berkisar 40–60% dari jumlah
volume yang diinstilasikan. Jumlah cairan yang digunakan berbeda-beda
antara berbagai pusat studi. Sebagian besar menggunakan cairan
sebanyak 100–300 ml pada masing-masing subsegmen dengan cairan 20
ml setiap kali bilasan. Volume cairan bilasan berpengaruh pada jumlah sel
cairan BAL serta komponen non-selular lainnya. Semakin sedikit jumlah
cairan maka sel yang didapat akan lebih menggambarkan
bronkial

daripada

alveolar

yaitu pada

volume kurang

sel-sel

dari 100 ml

(Elattrous, 2004; Jimenez,1993; Van-Hooser, 2006; Baugman, 2007;
Fagon, 2007; Ramirez, 2007; Meyer, 2012; Rasmin, 2012).
Penghitungan komponen nonselular lebih sulit lagi karena konsentrasi
komponen non

Dokumen yang terkait

Perbandingan Kadar Serum Seruloplasmin pada Preeklamsia Berat Early Onset dan Late Onset

0 77 72

Perbandingan Kadar Serum Seruloplasmin Pada Preeklamsia Berat Early Onset Dan Late Onset

0 78 13

Gambaran Kejadian Ventilator Associated Pneumonia pada Pasien yang Menggunakan Ventilator ≥ 48 Jam di ICU RSUP H. Adam Malik pada Bulan Agustus 2014 – Juni 2015

5 51 65

Peran Sekretori Imunoglobulin A dan Neutrofil pada Kejadian Early Onset-Ventilator Acquired Pneumonia Berdasarkan Analisis dari Spesimen yang Diambil dengan Kurasan Bronkoalveolar

0 0 30

Peran Sekretori Imunoglobulin A dan Neutrofil pada Kejadian Early Onset-Ventilator Acquired Pneumonia Berdasarkan Analisis dari Spesimen yang Diambil dengan Kurasan Bronkoalveolar

0 0 5

Peran Sekretori Imunoglobulin A dan Neutrofil pada Kejadian Early Onset-Ventilator Acquired Pneumonia Berdasarkan Analisis dari Spesimen yang Diambil dengan Kurasan Bronkoalveolar

0 0 10

Peran Sekretori Imunoglobulin A dan Neutrofil pada Kejadian Early Onset-Ventilator Acquired Pneumonia Berdasarkan Analisis dari Spesimen yang Diambil dengan Kurasan Bronkoalveolar Chapter III VI

0 1 51

Peran Sekretori Imunoglobulin A dan Neutrofil pada Kejadian Early Onset-Ventilator Acquired Pneumonia Berdasarkan Analisis dari Spesimen yang Diambil dengan Kurasan Bronkoalveolar

0 0 17

Peran Sekretori Imunoglobulin A dan Neutrofil pada Kejadian Early Onset-Ventilator Acquired Pneumonia Berdasarkan Analisis dari Spesimen yang Diambil dengan Kurasan Bronkoalveolar

0 0 16

Kadar imunoglobulin A sekretori pada penderita tonsilitis kronik sebelum dan setelah tonsilektomi

0 0 5