Proses Komunikasi Kelompok Dalam Mengembangkan Konsep Diri Anak Tunanetra Yang Bersekolah Di Sekolah Umum YAPENTRA Tanjung Morawa, Medan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 KONTEKS MASALAH
Setiap orang pasti akan memandang dirinya sebagai individu yang memiliki tubuh,
otak dan kulit yang berfungsi sebagai batas antara dirinya dengan dunia di luarnya, serta
terlihat unik dari segi fisiknya, dan bahkan jika dua orang yang bersaudara kembar
identik sekalipun tidak memiliki wajah yang 100 persen sama. Oleh karena itu, setiap
individu pasti melakukan komunikasi dalam hidupnya dan ketika seseorang
berkomunikasi maka ada satu hal yang selalu terjadi yaitu ia akan melihat orang lain atau
situasi yang tengah dihadapinya berdasarkan perspektif yang dimilikinya sebagai
penyampai pesan (komunikator).
Dalam berinteraksi, seseorang akan menyadari bahwa sebagai individu dia tidak
tinggal sendirian di bumi ini namun dia menjadi bagian dari suatu masyarakat dan
melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Disinilah terjadi proses komunikasi antara
komunikator dengan komunikan. Komunikasi dapat dilakukan secara tatap muka antara 2
orang atau lebih. Komunikasi kelompok merupakan komunikasi yang berlangsung antara
seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang.
Komunikasi kelompok terbagi atas kelompok kecil ataupun kelompok besar tergantung
pada jumlah orang yang terlibat dan sejauh mana hubungan psikologisnya.
Gangguan dalam komunikasi terkadang bisa saja terjadi. Gangguan atau rintangan

komunikasi pada dasarnya dapat dibedakan atas tujuh macam, yakni : gangguan teknis,
gangguan semantik, gangguan psikologis, rintangan fisik, rintangan status, rintangan
kerangka berpikir, dan rintangan budaya (Cangara, 2006:131). Salah satu gangguan

Universitas Sumatera Utara

komunikasi yang akan dibahas adalah rintangan fisik. Rintangan fisik atau organik adalah
rintangan yang harus dihadapi oleh individu tunanetra dalam melakukan komunikasi
dengan orang lain. Karena pada dasarnya, rintangan fisik adalah karena adanya gangguan
organik, yakni tidak berfungsinya salah satu pancaindera pada penyampai maupun
penerima pesan.
Secara ilmiah, ketunanetraan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan
keadaan bayi selama masih dalam kandungan, kemungkinan karena faktor gen, kondisi
psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang
termasuk faktor eksternal adalah faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi
dilahirkan. Berbagai faktor eksternal tersebut adalah kecelakaan, terkena penyakit syphilis
yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat
melahirkan sehingga merusak sistem saraf, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus
trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit,

bakteri ataupun virus (Somantri, 2006 : 66).
Tunanetra merupakan salah satu dari sekian bentuk kecacatan yang ada. Menurut
Hallahan dan Kauffman (1994), seseorang dapat disebut sebagai tunanetra apabila
ketajaman visualnya tidak lebih dari 20/200 meskipun sudah menggunakan kacamata atau
lensa kontak. Berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatan, tunanetra terbagi atas dua
macam yaitu buta dan low vision. Dikatakan buta jika individu sama sekali tidak mampu
menerima rangsang cahaya dari luar. Sementara individu yang low vision masih mampu
menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21 yang artinya
berdasarkan tes hanya mampu membaca huruf pada jarak 21 meter, atau jika hanya
mampu membaca “headline” surat kabar (Somantri, 2006 : 65).

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya setiap anak akan mengalami perkembangan kognitif. Baik pada anak
yang normal maupun yang tidak normal. Cutsforth (dalam tarsidi, 2007) mengatakan
bahwa ketidakmampuan menyesuaikan diri pada seorang tunanetra lebih diakibatkan oleh
cara masyarakat memperlakukan orang tunanetra tersebut. Beberapa kesimpulan yang
dapat ditarik dari hasil penelitian mengenai pandangan orang berpenglihatan normal
terhadap penyandang tunanetra adalah bahwa penyandang tunanetra memiliki beberapa
karakteristik, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Beberapa penilaian yang

teramsuk

negative

memandang

bahwa

penyandang

tunanetra

sebagai

suatu

ketidakberdayaan, suka tergantung pada orang lain (Somantri, 2005) dan mereka
mengidentikkan kehilangan penglihatan itu dengan kehilangan segala-galanya (Tarsidi,
2005).
Dalam perkembangannya, beberapa anak tunanetra mengalami hambatan pada

perkembangan konsep dirinya. Rosenberg (dalam Deaux, Dane, dan Wrightsman, 1993)
mendefinisikan konsep diri sebagai seluruh pikiran dan perasaan yang dimiliki individu
mengenai dirinya sebagai obyek. Menurut Frey dan Carlock (1984) konsep diri diperoleh
dari hasil interaksi sosial antara individu dengan orang lain. Dewasa ini, ada
kecenderungan pada orang tua anak tunanetra untuk menyekolahkan anak mereka di
sekolah umum. Anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum mendapat perlakuan
yang berbeda dari orang-orang normal di lingkungan sekolah, ada orang yang menerima
anak tunanetra apa adanya, ada juga yang tidak. Oleh karena itu, diperkirakan bahwa
konsep diri anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum berbeda dengan konsep diri
anak tunanetra yang bersekolah di sekolah luar biasa.

Sebagai contoh kasus Fauzi, adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara, dan satusatunya anak tunanetra dalam keluarga. Dia Menjadi tunanetra sejak kecil, akibat katarak
dini. Meski telah menjalani operasi baik pada mata kanan dan kiri, namun katarak telah
mempengaruhi struktur syaraf matanya, dan mengakibatkan Fauzi menjadi lemah

Universitas Sumatera Utara

penglihatan atau low vision. Karena orang tua belum tahu bagaimana pendidikan untuk
anak tunanetra seperti dirinya, mereka menitipkan Fauzi di sekolah tempat kakakkakaknya belajar, sambil terus mencari SLB untuk anak tunanetra. Keputusan untuk
melanjutkan ke SMP umum setelah SLB adalah atas dorongan dari kepala sekolah SLB

tempat Fauzi belajar. Meski pernah di sekolah umum sebelumnya, namun, setelah sempat
masuk ke SLB dan kembali bersekolah di sekolah umum, butuh waktu untuknya
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sama sekali berbeda. Waktu penyesuaian diri
ini sempat mempengaruhi prestasi belajarnya. Namun, seiring dengan bertambahnya usia,
bertambah pintar juga dalam menyesuaikan diri, dan bertambah baik pula prestasi
belajarnya.

Walaupun sebenarnya banyak rintangan yang dihadapinya, bermula saat dia ditolak
sekolah atau perguruan tinggi, Fauzi selalu ingin membuktikan bahwa meski dia
tunanetra, dia juga bisa berprestasi dalam belajar. Dengan memiliki prestasi, orang akan
menghargainya, mengingatnya, dan tidak akan meremehkannya. Dalam usahanya
mencapai perubahan, Fauzi sangat percaya pada "Pendidikan". Fauzi menempuhnya
mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Dia
berkesimpulan, pendidikan dasar dan menengah memang penting, wajib ditempuh,
sedangkan "pendidikan tinggi" adalah jalan strategis menuju "Perubahan". Itu semua
dapat ia jalani dengan karena Sejak kecil dia telah diajari dan belajar memiliki prinsip
dalam

hidup,


dan

itu

berawal

dari

hal-hal

sederhana.

(http://www.mitranetra.or.id/default.asp?page=halo&id=1) diakses pada 14 Maret 2012.

Sejak dini, anak-anak tunanetra yang memiliki latar belakang kurang beruntung dan
berbeda-beda memerlukan pembentukan konsep diri yang positif, baik dari pihak
pembimbing maupun dari lingkungan. Yang dapat berupa motivasi atau bahkan action
dari pihak yang bersangkutan. Hal tersebut tidak terlepas dari peranan/pengaruh

Universitas Sumatera Utara


komunikasi kelompok yang berada di lingkup sosial anak tunanetra terhadap konsep diri
yang ditanamkan kepada anak tunanetra tersebut. Karena setiap orang bertingkah laku
sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Orang-orang yang berpengaruh yaitu,
ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang
yang tinggal satu rumah dengan kita. Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita
membentuk konsep diri kita. Dalam pergaulan bermasyarakat, kita pasti menjadi anggota
berbagai kelompok. Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok
yang secara emosional mengikat kita dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri
kita. Ini disebut kelompok rujukan.

Tunanetra mengalami proses komunikasi yang unik karena di tengah keterbatasan
fisik, mereka dapat menciptakan proses dan cara komunikasi antara sesama tunanetra
maupun dengan manusia yang memiliki penglihatan secara awas. Sebagai contoh kasus,
Mimi Lusli satu-satunya tunanetra yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di Universitas
Atmajaya, Jakarta, serta alumnus Leeds University, Inggris, yang menjadi dosen setelah
menempuh

jalur


pendidikan

di

sekolah

dan

Universitas

umum.

(http://www.jpnn.com/?mib=berita.detail&id=12352) diakses pada 24 Februari 2012.

Manusia sebagai makhluk berkembang, maka manusia dapat mengalami perubahanperubahan sebagai akibat dari perkembangannya tersebut, baik perubahan pada segi
kejasmaniannya maupun perubahan pada segi psikologisnya. Dari proses perubahan
inilah kelompok rujukan yang dipilih merupakan salah satu yang mempengaruhi konsep
diri. Karena konsep diri itu diperoleh dari interaksi sosial yang terjadi antara individu
dengan individu lain.
Proses komunikasi kelompok yang terjalin di antara anak tunanetra untuk

mempertahankan hidup serta membentuk konsep dirinya tentu tidak seperti manusia

Universitas Sumatera Utara

normal lainnya. Pentingnya komunikasi kelompok tersebut dalam kehidupan manusia
membuat keterbatasan tidak menjadi sebuah hambatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti proses komunikasi
kelompok dalam pengembangan konsep diri anak tunanetra yang bersekolah di sekolah
umum, Tanjung Morawa, Medan.

1.2 FOKUS MASALAH
Fokus masalah merupakan permasalahan yang sentral yang menjadi perhatian
penelitian dan dicari jawabannya dalam penelitian. Tujuan dari fokus masalah adalah
untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian. Adapun fokus masalah yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Penelitian ini hanya akan melihat bagaimana proses komunikasi kelompok anak
tunanetra yang bersekolah di sekolah umum dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif berupa studi kasus.
2. Subjek penelitian adalah anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum dan
orang normal di lingkup sosial mereka (sebagai informan utama) yang berlokasi

di Yayasan Pendidikan Tunanetra (YAPENTRA) Tj.morawa Medan.

1.3 TUJUAN PENELITIAN
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui proses komunikasi kelompok dalam pengembangan konsep diri anak
tunanetra yang bersekolah di sekolah umum.

Universitas Sumatera Utara

2. Mengetahui faktor-faktor yang mendukung komunikasi kelompok dalam
pengembangan konsep diri anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum.
3. Mengetahui

faktor-faktor

penghambat

komunikasi

kelompok


dalam

pengembangan konsep diri anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum.

1.4 MANFAAT PENELITIAN
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menguji pengalamn teoritis
penulis selama mengikuti studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara, terutama pada Departemen Ilmu Komunikasi.
2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran
terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan kepada
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian
dan sumber bacaan.

Universitas Sumatera Utara