Mitos Perkawinan Sumbang Dalam Cerita Rakyat Batak Toba: Analisis Struktur, Makna Dan Fungsi

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
Kajian terhadap mitos khususnya mitos perkawinan sumbang belum banyak
dilakukan. Demikian juga halnya penelitian terhadap cerita rakyat Batak Toba,
khususnya yang meneliti motif sumbang, baik yang dilakukan oleh peneliti dalam
negeri maupun peneliti luar negeri. Yang bisa dicantumkan dalam bab ini adalah
penelitian mitos dalam cerita rakyat suku Bayo oleh Ahimsa Putra, penelitian yang
dilakukan M. Rafiek, yakni penelitian mitos dalam cerita rakyat di Kalimantan,
penelitian Struktur Cerita Rakyat yang dilakukan

Razali Kasim, serta penelitian

Sumbang dalam cerita Rakyat di Indonesia yang dilakukan Will Derk. Sedangkan
untuk pustaka teori adalah kumpulan teori dibawah judul Myth, A Symposium yang
dikumpulkan oleh Thomas Sabeok, A Short History of Myth yang ditulis oleh Karen
Amstrong dan Mythologies yang ditulis oleh Roland Barthes

2.1.1 Pustaka Teori
2.1.1.1 Myth, A Symposium oleh Thomas A. Sabeok

Seperti judulnya buku Myth a Symposium ini merupakan kesimpulan pendapat
beberapa ahli mengenai mitos. Boleh disimpulkan, buku ini seperti sebuah ruangan
seminar di mana beberapa ahli mendiskusikan topik yang spesifik.
Tulisan pertama dengan judul Myth, Symbolism and Truth ditulis oleh David
Bidney. Dalam

bahagian ini digambarkan betapa persoalan mitos sudah menjadi

perhatian ahli filsafat barat sejak zaman Plato yang mencoba menerangkan hubungan

Universitas Sumatera Utara

pikiran, kebenaran filsafat dengan keyakinan tradisional dan agama. Pemikir Yunani
kuno menganggap mitos sebagai allegori yang membuka kebenaran yang alamiah dan
kebenaran moral.
Dalam bagian ini penulis banyak membicarakan pemikir dari beberapa aliran
yang memberikan pendapat tentang apakah mitos itu sebenarnya. Dari mulai penguasa
Julian yang memberikan pendapat bahwa mitos adalah kebenaran yang agung dan
merupakan misteri yang tersembunyi dari orang banyak dan hanya jelas bagi orang
yang bijaksana, sampai dengan filsafat Neokantian yang menganggap mitos merupakan

pikiran dalam bentuk yang bebas dari semangat manusia dan oleh karena itu tidak dapat
direduksi menjadi kekuatan psikologis empiris yang menghasilkan produksi.
Bidney menyimpulkan bahwa ahli filsafat, ahli teologi dan mahasiswa sastra
yang secara umum berbicara tentang posisi mitos yang sangat penting dalam
hubungannya dengan agama dan filsafat, serta antropolog dan sosiolog yang dengan
sinis mengakui mitos karena fungsi sosialnya yang pragmatis, sebenarnya sedang
melemahkan keyakinannya terhadap bidangnya dan memberi kontribusi secara tidak
sengaja terhadap degradasi manusia dan kebudayaan yang sebenarnya sedang mereka
dalami secara serius.
Lebih jauh Bidney menyimpulkan bahwa mitos harus diperlakukan secara
serius dan tepat untuk digunakan dalam mencari kebenaran dan perkembangan
intalijensi manusia. Pemikiran yang normatif, saentifik dan kritis hanya memberikan
alat mengkoreksi sendiri perlawanan terhadap diffusi mitos yang sebenarnya, yang
hanya dapat dilakukan dalam kondisi dimana keyakinan sangat kuat dan tidak
kompromi akan integritas akal dan kebenaran transkultural dari keberanian ilmu
pengetahuan atau sains.

Universitas Sumatera Utara

Bagian kedua buku ini diberi judul The Eclips of Solar Mythology ditulis oleh

Richard H. Dorson. Dalam bahagian ini dibahas mitos di sekitar matahari dan
hubungan matahari dengan benda langit lainnya.
Pokok pembicaraan dalam bahagian ini sebenarnya adalah melemahnya
perhatian terhadap mitos disekitar benda langit dengan menekankan pembicaraan pada
dua figur terkenal yaitu Max Muller dan Andrew Lang.
Max Muller memulai karirnya dengan mempelajari karya-karya agung India
yang membawa dia kearah pendalaman mitos, dimana dia memakai filologi dan ilmu
bahasa seperti metapora dalam meneliti pengertian dibelakang mitos.
Andrew Lang lebih tertarik kepada cerita rakyat dalam menyingkap keyakinan
suku-suku primitif. Andrew Lang di awal karirnya sangat mengagumi Muller namun
arah yang berbeda membuat pertentangan yang besar di antara mereka yang menurut
penulis menjadi awal dari kesuraman penelitian disekitar benda langit, karena
memfokuskan perhatian pada sastra agung Junani kuno.
Bagian ketiga adalah tulisan Reidar TH. Christiansen dengan judul Myth,
Metaphor and Simile. Bahagian

ini dimulai Christiansen dengan membicarakan

kecenderungan orang menggunakan istilah myth dan mythical dengan perasaan raguragu. Menurut penulis alasannya adalah penggunaan secara umum istilah tersebut telah
berkembang dan akhirnya memberikan arti dari dua hal yang berbeda seperti halnya

dengan legenda historis dan legenda yang bersifat mitos.
Mengenai mitos,

Christiansen memberikan dua spesifikasi yang dia sebut

higher mythology dan lower mythology. Menurut penulis pembedaan ini sangat penting
bahkan bila kita menggunakan folk belief atau untuk lebih rinci ancient folk belief.

Universitas Sumatera Utara

Higher mythology menurut penulis lebih kaya dan lebih berwarna. Dengan
menggunakan istilah

lower mythology dan higher mythology kita menekankan

kelangsungan secara

fundamental atau menekankan kebersinambungan keyakinan

manusia sejalan dengan perubahan waktu atau periode.

Lebih jauh penulis membicarakan hubungan mitos dan legenda yang menurut
penulis akhirnya hanya meninggalkan nama figur tertentu dan tempat yang menjadi
sumber mitos. Demikian juga halnya dengan cerita rakyat yang kemudian
meninggalkan jejaknya pada penggunaan metafora dan simili yang diikuti teka teki atau
riddle. Hubungan mitos dan metapora dalam teka-teki sudah menjadi objek penelitian
dengan cara-cara yang umum yang kemudian dapat menolong untuk memahami mitos
dan cara- cara berfikir manusia tradisional.
Menurut Christiansen, teka-teki mungkin dianggap tidak
sebenarnya menarik untuk diteliti walaupun

penting

tetapi

di kalangan masyarakat modern dan

primitif teka-teki mempunyai fungsi yang berbeda tetapi sebenarnya mempunya
hubungan satu sama lain. Menjawab pertanyaan posisi metapora dalam mitos dan tekateki, penulis memberi kesimpulan bahwa teka teki tidak berasal dari mitos, melainkan
keduanya muncul dari aktivitas puitis dari kreatifitas imaginasi manusia.
Bahagian keempat dari buku ini adalah bahagian yang paling menarik dan

penting bagi peneliti mitos. Claude Levi-Strauss memberi

judul tulisannya The

Struktural Study of Myth.
Bahagian ini dibuka Levi Strauss dengan mengutip pernyataan Franz Boaz
(1974:81) “It would seem that mythological worlds have been built up to shatter again,
and that new world were built from the fragment“. (Kelihatannya dunia mitologi telah

Universitas Sumatera Utara

dibangun untuk hancur kembali dan sekarang dunia baru dibangun dari puing-puing
tersebut).
Dalam bahagian ini Strauss memberi alasan yang sangat logis mengenai
mitos dengan memberikan graphis dan susunan logis, serta contoh. Contoh mitos
dalam mitologi Yunani yakni mitos disekitar dewa Zeus kemudian dihubungkan
dengan cerita Oedipus Rex. Demikian juga mitos di dalam suku Indian Pueblo. Yang
menarik adalah formula yang dia berikan dihubungkan dengan teori Freud tentang dua
trauma yang selalu terjadi dalam mitos disekitar munculnya neurosis, yakni problema
kejiwaan.

Strauss menyimpulkan pengulangan-pengulangan topik dalam cerita rakyat
adalah cara untuk membuat struktur hubungan lebih jelas. Struktur sinkronis-diakronis
dari mitos memberi peluang untuk menyusunnya menjadi urutan diakronis yang
seharusnya dibaca secara sinkronis.
Lapisan-lapisan mitos tidak sama satu sama lain karena tujuan mitos adalah
menyediakan model yang dapat diterima akal dalam menyelesaikan pertentangan.
Lapisan tersebut berkembang dan berbeda tipis satu sama lain. Mitos berkembang
secara spiral sampai impuls spritual manusia letih.
Mitos berkembang terus menerus tetapi strukturnya tidak berkembang. Menurut
Strauss hal ini dimaksudkan untuk menolong memahami hubungan mitos dalam satu
sisi dengan apa yang disebut lingua dan parole disisi lain. Cara ini merupakan cara
yang umum dalam menerangkan perbedaan-perbedaan yang masuk akal antara apa
yang disebut jiwa primitif (primitive mind) dengan pemikiran-pemikiran saentifik.
Perbedaan ini sering menuju ke arah perbedaan-perbedaan kualitatif antara proses

Universitas Sumatera Utara

bekerja jiwa dari kedua kasus sambil berasumsi bahwa objek terhadap mana cara ini
dipakai tetap sama.
Bagian kelima ditulis oleh satu-satunya peneliti wanita yaitu Dorothy Eggan

dengan judul The Personal Use of Myth in Dreams. Sebenarnya tulisan ini hanya
berbicara di sekitar beberapa ilustrasi yang digunakan untuk menjawab hubungan hasil
peneliti lain dalam membirakan topik ini yaitu penelitian Kluckhohn yang
mengumpulkan mimpi-mimpi masyarakat suku Indian Hopi, dan menghubungkannya
dengan konflik-konflik kejiwaan yang dialami mereka, seperti keinginan menjadi suku
Hopi yang baik atau menjadi bahana yaitu julukan yang digunakan untuk orang kulit
putih. Konflik ini akan muncul dalam mimpi mereka dalam bentuk ketidak mampuan
menjadi pemburu. Hal lain adalah munculnya sosok dalam mimpi mereka yang
mereka anggap sebagai sosok pengawal (guardian) mereka dalam kehidupan.
Hubungan mimpi dan cerita rakyat memang tidak terlalu jelas di kalangan
suku Hopi, tetapi Eggan menyimpulkan bahwa di kalangan suku yang lebih tua dan
sama sekali belum mengalami akulturasi, hubungan ini sangat jelas terlihat.
Lebih jauh penulis menyimpulkan bahwa sering sekali ahli antropologi
menemukan bahwa lebih mudah mempelajari hal-hal yang berbau kebudayaan dan
organisasi sosial dalam kumpulan yang kecil dan homogen daripada dalam komunitas
yang besar dan menyebar. Sehingga, kadang-kadang dimungkinkan meneliti
kedinamisan segmen atau bahagian seperti struktur kekerabatan atau bentuk cerita
rakyat dengan mempelajari secara intensif cara yang membentuk kehidupan individual
atau perseorangan.
Sebagai penutup Eggan mengutip ucapan Heskovict yang menyatakan bahwa

dalam hal fantasi yang tersosialisasi, cerita rakyat menunjukkan dirinya sebagai alat

Universitas Sumatera Utara

atau bentuk ekspressi diri pada tingkatan sadar dan bawah sadar yang memiliki banyak
wajah atau multifaced.
Bahagian keenam dari buku ini berjudul Myth and Ritual ditulis oleh Lord
Raglan. Menurut Lord Raglan,
membuktikan

suatu anggapan, bahwa sangat mudah untuk

teori-teori lama tentang mitos

yang

menyatakan

bahwa


mitos

hanyalah sejarah yang membingungkan atau ciptaan manusia primitif, adalah tidak
benar. Untuk menjawab pertanyaan apakah mitos itu, cukup dengan menyatakan
bahwa dalam pandangan banyak mahasiswa modern, mitos adalah narasi yang
dihubungkan dengan upacara ritual.
Hanya sedikit mahasiswa yang akan menolak hubungan ritual dan mitos dalam
beberapa kasus. Namun yang mengherankan Raglan adalah keengganan untuk
menerima prinsip-prinsip saentifik yang sederhana, seperti penyebab-penyebab yang
menghasilkan efek yang sama, serta daftar panjang dari sebab-sebab, yaitu dari
mulai spekulasi yang liar sampai perhatian yang serius terhadap kebenaran yang
bersifat sejarah yang akan menghasilkan cerita-cerita yang cukup mirip untuk
diklassifikasikan sebagai mitos.
Bahagian selanjutnya adalah bahagian

ketujuh di bawah judul The Ritual

View of Myth and the Mythic yang ditulis oleh Stanley Edgar. Halyang berbeda dari
penelitian sebelumnya Edgar membicarakan ritual dalam The Origin of Species yang
membuka pintu kepada berbagai jenis studi genetis budaya. Di dalam bukunya yang

berjudul The Descent of Man, menurut Edgar, Darwin sudah menunjukkan bahwa
evolusi manusia disusun secara tidak jelas, namun

secara budaya berkembang

dengan cepat dan luas.

Universitas Sumatera Utara

Yang menarik dalam pembahasan Edgar dalam
pendekatan

Darwin

buku ini adalah betapa

diikuti kemudian oleh ahli–ahli terkenal lainnya seperti

Taylor, Boaz bahkan Malinowski dan pengikutnya .
Menurut Edgar pendekatan ritual terhadap mitologi atau bentuk yang lain yang
didasarkan pada mitos tidak terbatas pada konsiderasi genetik saja. Pendekatan ritual
berhubungan dengan tiga persolan yang saling berhubungan yakni jenis, struktur dan
fungsi.
Menurut Edgar mitos muncul dari ritual bukan sebaliknya. Yang diucapkan
dalam ritual berkorelasi dengan tindakan-tindakan di dalam ritual tersebut. Menolak
teori Darwin, Edgar mengatakan bahwa ritual

yang mendekati mitos atau setiap

bentuk yang didasarkan pada mitos tidak bisa membatasi dirinya pada pengertian
genetik.
Menurut Edgar pendekatan ritual terhadap masyarakat tradisional sangat
berhasil. Sebelum tahun 1912 sudah banyak studi ritual di berbagai area biarpun
pendekatan ini bukanlah pendekatan teoritis, tetapi hanya sebuah metode dalam studi
terhadap hal-hal yang menonjol secara spesifik.
Menurut Edgar ada dua pendekatan ritual yaitu euhemerist yang mengatakan
bahwa mitos adalah didasarkan kepada figur- figur sejarah, sedangkan yang kedua
adalah ide daripada para cognitivist yang mengatakan bahwa mitos berasal dari usaha
pencarian- pencarian dari ilmu pengetahuan.
Bahagian kedelapan ditulis oleh Wheel Wright dengan judul The Semantic
Approach of’ Myth. Bahagian ini menghubungkan mitos dengan bahasa, dilihat dari
fungsi bahasa bukan tata bahasa.

Universitas Sumatera Utara

Dalam bahagian ini Wright banyak memberikan defenisi mitos yang dapat
digunakan untuk menghubungkan mitos dengan bahasa. Misalnya defenisi yang
diberikan Alan W.Watts; ” Myth is to be defined as a complex of stories-some no
doubt fact-and some fantasy-which, for

various

reasons,

human

regards

as

demonstration of the inner meaning of the universe and human life”. (1974:154) “Mitos
dapat dijabarkan sebagai suatu kumpulan cerita, sebahagian fakta-sebahagian adalah
fantasi yang untuk berbagai alasan dianggap sebagai perwajantahan makna dalam jagad
raya dan hidup manusia”.
Wright juga memberi pendapat bahwa pendapat Cassirer dan Langer mengenai
mitos merupakan ‘pre-linguistic tendency of human envisagement’ (kecenderungan
pra-linguistik dari persepsi manusia), dan dalam aspek utamanya mengandung
hubungan khusus dengan bahasa. Eksplorasi hubungan ini merupakan cara yang
paling berguna untuk menemukan bahwa alamiah mitos dan bahasa sebenarnya
adalah sama. Menurut Wright sebelum mengeksplorsi hubungan yang mungkin antara
pembentukan kalimat dikalangan suku primitif dan mitos, harus diteliti dulu
bagaimana sebenarnya asal muasal adanya logika .
Bahagian terahir dari buku ini yakni bahagian kesembilan dengan judul Myth
and Folktales,

ditulis oleh Stith Thompson. Inti pembicaraan dalam bahagian ini

adalah bagaimana membedakan mitos dan cerita rakyat dan hubungan satu sama
lainnya.
Menurut Thompson untuk menjawab pertanyaan ini harus dimulai memberi
jawaban atas pertanyaan apa yang dibicarakan orang ketika mereka mendiskusikan
mitos. Banyak yang menjawab bahwa yang dibicarakan adalah cerita traditional.
Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah yang mana disebut mitos dan yang mana legenda.

Universitas Sumatera Utara

Thompson menyimpulkan bahwa sejauh ini setelah satu abad atau lebih
lamanya
hubungan

diskusi

dan

pembicaraan,

masih sedikit

berbagai jenis cerita rakyat antara

yang

diketahui mengenai

satu dengan yang lainnya. Bahwa

kadang- kadang adanya satu bentuk mengarah ke bentuk yang lain tidak bisa
ditampik, tapi hal ini dianggap manifestasi lokal bukan

sebagai evolusi yang

mendunia. Menurut Thompson, hanya perhatian, minat yang besar serta teori yang
betul-betul

benar

dan

sahih

yang akan memberi penjabaran yang tidak dapat

disepelekan atau dihindari.
Menurut Thompson persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh mitos sudah
pasti tidak dapat diselesaikan oleh generasi sekarang. Tapi dapat dipastikan bahwa
satu abad dari sekarang para mahasiswa akan masih menganalisis dan mencoba
mendapat sintesa dari penemuan-penemuan mereka yang bersifat analitik, dan pada
waktu itu jumlah ahli- ahli akan sudah cukup untuk meneliti bentuk dan gaya
yang terdapat dalam cerita rakyat atau sastra lisan. Pada waktu itu, menurut Thompson
a pertanyaan-pertanyaan

mengenai

apakah

kita

setuju mengenai adanya suatu

periode tertentu penulisan mitosakan terjawab serta pertanyaan tentang apakah kita
setuju bahwa kekuatan yang mendorong penciptaan mitos masih aktif bilamana
kondisinya tepat. Teori dapat dipastikan akan berkembang dan apa yang kita lakukan
kelihatannya ketinggalan jaman, tetapi menarik melihat hal ini dari sudut pandang
mereka dan melihat bagaimana teori dan ide yang kita buat muncul setelah satu
abad.
Thompson berusaha

memberikan satu defenisi setelah pembahasan yang

panjang mengenai cerita rakyat dari berbagai belahan dunia dan berusaha memberikan
spesifikasi dari masing- masing cerita rakyat tersebut. Thompson mengatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

: ”....myth is to do with the god ”. Selanjutnya dia mengatakan bahwa mitos
mempunyai sejarahnya seperti halnya setiap cerita rakyat mempunyai sejarahnya.
Asal muasal mitos dan cerita rakyat akan tetap menjadi misteri seperti halnya asal
muasal bahasa yang tetap menjadi misteri.
Namun kemudian Thompson memberi argumentasi bahwa lebih mudah
meminjam cerita atau legenda serta mitos daripada membentuk atau menciptakan. Dan
kalau diperhatikan bahwa narrasi dari cerita suku primitif tidak terdapat dalam jumlah
yang besar dan dari jumlah yang ada sebagian besar mempunyai persamaan dengan
milik suku yang menjadi tetangganya. Dengan argumentasi ini Thomson sampai pada
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antaran cerita rakyat dan mitos.
Dalam tulisan nya Thomson memberi catatan bahwa sangat disayangkan dia
belum membaca tulisan dari Levi-Strauss namun dia berpendapat dalam meneliti mitos,
motif merupakan elemen yang harus diberi perhatian yang lebih.

2.1.1.2 A Short History of Myth oleh Karen Amstrong
Buku ini mengundang pujian dan komentar yang positif dari berbagai pihak.
David Mitchel dari Sunday Herald mengatakan:” Visionary....a crisp and lucid
exploration of myth-making” , sedangkan Dvid Flusteder dari Daily Telegraph
mengatakan : “ Elegantly argued and consistently though-provoking”
Amstrong membagi buku ini dalam tujuh bahagian. Bahagian pertama adalah
uraian tentang apa sebenarnya mitos itu. Bahagian ke dua sampai ke tujuh adalah
uraian mitos dalam beberapa era, dimulai dari periode Palaeolithic, yakni jaman batu
yang merupakan era mitologi pemburu, diikuti uraian mitos pada priode Neolithic
yakni jaman batu terahir yang merupakan era mitologi petani. Mitos pada

periode

Universitas Sumatera Utara

peradaban yang pertama yakni Early Civilisation terdapat pada bahagian ke empat
buku tersebut yang diikuti uraian mitologi dari periode Axial. Kemudian bahagian ke
enam mengenai mitos pada periode setelah periode Axial, dan bahagian terahir yakni
bahagian ke tujuh mengenai mitos pada era transformasi Barat atau The Great Western
Transformation.
Bahagian pertama dari buku ini mempunyai nilai yang lebih karena berisikan
uraian yang membantu untuk memahami mitos yang di terangkan pada periode-periode
seperti disinggung di atas karena Amstrong berusaha lebih dulu mengambarkan ciriciri manusia sebelum dia memberi kesimpulan apa mitos itu sebenarnya.
Bahagian pertama ini yang diberi judul What is a myth?, dibuka dengan
pernyataan bahwa manusia itu dari dahulu kala adalah pencipta mitos. Peninggalanpeninggalan manusia purbakala menunjukkan keyakinan mereka akan dunia masa
depan. Manusia purbakala sudah menyadari ke tidak abadian manusia itu sendiri dan
kemudian menciptakan narasi yang memampukan mereka untuk menghadapinya.
Amstrong mengatakan bahwa manusia itu adalah makluk pencari makna atau
arti. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh makluk lain seperti binatang. Manusia dengan
mudah merasa sedih, karena itu mereka

menciptakan tulisan-tulisan

yang

memungkinkan manusia menempatkan hidupnya di dalam setting yang lebih besar,
yang memberikan makna yang bertentangan dengan keadaan-keadaan yang menekan,
dimana hidup mempunyai makna dan nilai.
Satu karakteristik manusia yang menurut Amstrong merupakan karakteristik
yang aneh, yaitu kemampuan untuk memiliki ide dan pengalaman yang tidak dapat
diterangkan secara rasional. Manusia mempunya imajinasi, suatu kemampuan yang

Universitas Sumatera Utara

memungkinkan manusia memikirkan sesuatu yang tidak muncul seketika, sehingga
ketika memikirkan sesuatu itu, objeknya tidak hadir.
Menurut Amstrong, adalah imajinasi ini yang memampukan manusia untuk
menghasilkan mitos. Pada masa sekarang, berpikir secara mitos dianggap sesuatu yang
irrasional, pada hal menurut Amstrong, imajinasi itu lah yang memampukan para
ilmuwan membawa pengetahuan kepada pencerahan dan menemukan tehnologi yang
memberikan manusia itu banyak keefektifan. Imaginasi manusia memampukan
manusia terbang ke luar angkasa dan berjalan di atas bulan yang sebelumya hanya
terjadi dalam mitos.
Menurut Amstrong ada lima hal yang harus diketahui mengenai mitos. Yang
pertama adalah, mitos hampir selalu berakar pada kematian, kedua mitos tidak dapat
dipisahkan dari ritual, ketiga mitos selalu mengingatkan keterbatasan hidup manusia.
Mitos yang paling kuat adalah mitos yang memaksa manusia pergi ke suatu suasana di
luar jangkauan pengalaman, pergi ke suatu tempat yang belum pernah dilihat, mitos
adalah mengenai sesuatu yang tidak diketahui, dimana manusia itu tidak mempunyai
ungkapan untuk hal tersebut. Mitos melihat ke kedalaman suatu kesunyian yang sangat.
Hal ke empat yang harus dimengerti tentang mitos ialah, mitos bukanlah cerita yang
diceritakan demi cerita itu sendiri, mitos menunjukkan bagaimana kita seharusnya
bersikap. Yang ke lima menurut Amstrong, mitos adalah keyakinan tentang sesuatu
yang tidak kelihatan yang kadang –kadang merupakan realitas yang lebih kuat.. Karena
itu mitologi dibuat sedemikian rupa untuk menolong manusia itu sendiri menghadap
problem, menolong manusia menemukan tempatnya dan orientasinya di atas jagad
raya.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Amstrong mitos secara sederhana digunakan untuk menerangkan
seuatu yang tidak benar. Sejak abad delapan belas manusia mengembangkan
pandangan ilmuwan mengenai sejarah, memperhatikan kejadian-kejadian yang benarbenar terjadi. Tetapi setelah jaman sebelum modernisasi, ketika menulis tentang masa
lalu, manusia lebih memberi perhatian kepada arti kejadian tersebut. Sebuah mitos
adalah suatu kejadian yang dalam beberapa pengertian telah terjadi tetapi juga yang
terjadi sepanjang waktu.
Menurut Amstrong adalah suatu kesalahan untuk meremehkan mitos sebagai
sesuatu cara berpikir yang rendah. Mitos sebagaimana novel adalah memciptakan
keyakinan . Mitos adalah permainan yang mentranfigurasikan dunia tragis yang sudah
terpecah-pecah dan menolong manusia melihat secercah kemungkinan-kemungkinan
yang baru dengan bertanya;” Bagaimana kalau seandainya?’ suatu pertanyaan yang
mendorong tercapainya penemuan-penemuan yang paling penting dalam filsafat, sains
dan teknologi.
Manusia adalah mahluk yang unik dalam kapasitasnya untuk bermain. Manusia
dewasa menikmati bermain dengan berbagai kemungkinan. Dalam mitologi manusia
memainkan hipotesa, membawanya ke dalam kehidupan dengan ritual dan tindakan,
berkontemplasi dengan efek mitos dalam kehidupan dan menemukan bahwa manusia
telah mencapai suatu pengertian tentang dunia yang penuh dengan teka teki.
Berdasarkan uraian di atas Amstrong sampai pada kesimpulan mitos adalah
benar karena mitos efektif bukan karena mitos memberi manusia informasi yang
faktual. Bila seandainya mitos tidak memberikan pengertian tentang makna yang lebih
dalam tentang hidup, maka mitos tersebut telah gagal. Suatu mitos yang sejati akan
berhasil mendorong manusia merubah pikiran dan perasaan, memberikan harapan yang

Universitas Sumatera Utara

baru dan mendorong manusia untuk benar-benar hidup sepenuhnya. Mitologi akan akan
mentransformasikan manusia bila manusia mengikuti petunjuknya. Mitos adalah
pembimbing yang menyatakan apa yang harus dilakukan manusia itu untuk hidup lebih
kaya. Bila manusia tidak menggunakannya dalam situasi mereka dan membuat mitos
sebagai sesuatu realitas dalam hidup, mitos akan tinggal sebagai sesuatu yang tidak
dapat dimengerti, membingungkan dan membosankan.
Menurut Amstrong mitos adalah bentuk awal dari psikologi, yang membawa
kepada pencerahan tentang cara kerja yang misterius dari kejiwaan, dengan ceriteraceritera tentang pahlawan, dewa-dewa dan monster, tentang bagaimana menyelesaikan
problem dan krisis dari jiwa manusia. Ketika Freud dan Jung mulai menulis pencarian
– pencarian manusia modern tentang jiwa, secara naluri mereka berpaling ke mitologi
klasik untuk menerangkan pengertian mereka dan memberikan interpretasi yang baru
tentang mitos.
Lebih lanjut Amstrong menyimpulkan tidak ada versi tunggal tentang mitos.
Karena keadaan manusia yang berubah, manusia perlu menceritakan kisah mereka
secara berbeda untuk mengekpresikan

kebenaran-kebenaran yang tidak pernah

berubah.

2.1.1.3 Mythologies oleh Roland Barthes
Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama adalah kumpulan dari dua
puluh delapan (28) essai yang diberi judul Mythologies, yang setiap essai diselesaikan
penulis dalam satu bulan dari tahun 1954 sampai 1956. Tulisan – tulisan dalam
bahagian ini berisikan hasil eksplorasi penulis atas sejumlah penomena sosial masa
kini dalam usahanya membuat defenisi mitos kontemporer.

Universitas Sumatera Utara

Bahagian kedua, yang memberi pembahasan tentang bagaimana membaca dan
memahami mitos diberi judul Myth Today. Dalam bahagian ini Roland Barthes
mempertegas pemahamannya tentang apa sebenarnya mitos itu. Dari awal Roland
Barthes menunjukkan keyakinannya yang dicantumkannya dalam pernyataannya pada
pendahuluan buku tersebut: ”....myth is a language”, mitos adalah bahasa. Hal yang
sama dipertegas pada paragrap pembuka bahagian ke dua buku tersebut dimana dengan
tegas dia menyatakan: ”....myth is a type of speech....”
Bahagian ke dua buku yang secara garis besar membicarakan mitos segai alat
komunikasi berisikan beberapa tulisan yang diberi judul seperti Myth is a type of
speech; Myth as a semiological system; The form and tthe concept; The signification;
Myth as stolen language; The bourgeoisie as a joint-stock company; Myth is
depoliticized speech; Myth on the left dan Myth on the Right.
Tulisan pada bahagian ke dua yang sangat membantu penelitiaan mitos adalah
tulisan yang pertama sampai ke empat. Roland Barthes adalah seorang ahli semiotika,
meninggal pada tahun 1980. Pada awal pemikirannya Barthes mencoba melihat bahwa
aspek sosial dan budaya tidak dalam kerangka sifat objek yang tidak bersifat essential
tetapi dalam kerangka penandaan dan semiotika, serta mempelajari bagaimana tanda
melakukan penandaan.
Dalam bahagian tulisan yang diberi judul Myth is a type of speech Roland
Barhes memberikan teori bahwa mitos adalah pesan dan bukan melakukan penandaan,
gagasan atau konsep, dan bukan sebuah objek. Bagaimana kita menguraikan pesan
tersebut adalah dengan mempelajari hasil dari wicara atau parole bukan bahasa.
Membaca sebuah mitos adalah menerima pesannya sebagaimana apa adanya.

Universitas Sumatera Utara

“Myth is a type of speech”. Menurut Roland Barthes definisi mitos didasarkan
pada gagasan bahasa yang bertanggung jawab. Oleh karena itu mitos sesuai dengan
jagad raya. Wicaranya adalah meta bahasa yang selalu berada dalam keadaan kabur,
terikat dengan asal muasal etis.
Lebih jauh Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi
karena mitos merupakan sebuah pesan. Mitos yang merupakan modus penandaan
merupakan bentuk wicara. Melalui wacana, mitos tidak dapat digambarkan melalui
objek pesannya, melainkan melalui cara pesan itu disampaikan.
Menurut Roland Barthes, mitos merupakan urutan ke dua dari sistim semiologis
yang mana tanda berada pada urutan pertama dalam sistim tersebut yang merupakan
kombinasi petanda dan penanda, menjadi penanda pada urutan kedua. Dalam
membedakan sistem mitos dari hakekat bahasanya, Barthes menggambarkan penanda
dalam mitos sebagai bentuk dan petanda sebagai konsep.
Roland Barthes mempelopori apa yang disebut aliran semiotik konotatif. Makna
konotasi yaitu arti pada bahasa sebagai model kedua yaitu tanda-tanda tanpa maksud
langsung sebagai simptom yang diperoleh atas dasar ciri-ciri denotasi. Disamping
sastra, paham ini dapat diterapkan dalam berbagai bidang.
Barthes

mengatakan

bahwa

seluruh

tanda

dalam

sistem

denotatif

berfungsisebagai penanda pada sistem konotatif atau sistem mitos. Lebih jauh Barthes
mengatakan bahwa jika dia bermaksud menguraikan mitos, maka terlebih dahulu dia
harus dapat mengidentifikasikan konsep-konsepnya. Menurut Barthes hal ini dilakukan
karena fungsi denotasi dan konotasi yang membentuk tanda-tanda harus dipahami
orang. Barthes memberikan aspek pendekatan struktural atau semiotik terhadap analisis

Universitas Sumatera Utara

gejala sosial dan semiologi yang diilhami oleh De Saussure, dimana selalu ada
kaitannya dengan aspek penanda semua benda.
Semiologi sering dituduh menampilkan bahasa sebagai sebuah bidang lingua,
sehingga Barthes memobilisasi semua sumber daya teori inguistik, kususnya bahasa
sebagai sistem pembedaan untuk bisa mengenali bahasa.
Barthes memberikan model sistematis dalam menganalisi makna tanda-tanda
yang dibagi dalam dua tahap. Indikasi tahap pertama merupakan hubungan antara
penanda dan petanda dalam sebuah tanda terhadap makna eksternal yang disebut
denotasi, yakni makna paling nyata dari tanda. Signifikasi kedua disebut konotasi yang
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan peranan emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif, menurut Barthes paling tidak
intersubjektif. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa denotasi adalah yang
digambarkan tanda terhadap sebuah objek dan konotasi akan membantu bagaimana
menggambarkannya.
Pada tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda berhubungan dengan isi.
Dalam hal ini tanda bekerja melalui mitos dimana kebudayaan menjelaskan

atau

memberi pemahaman mengenai beberapa aspek tentang realitas. Dari sisi ini dapat
dilihat bahwa mitos merupakan produk sosial yang mempunyai mutu dominan seperti
hidup dan mati, manusia dan jagad raya.
Roland Barthes mengatakan bahwa mitos memiliki karakter sadar diri, fungsi
yang kaku dan sederhana sehingga mempengaruhi peristiwa intelektual secara terbuka
dengan fondasi politis. Mitos bermain pada tingkat konotasi bahasa. De Seassura
mengatakan bahwa makna adalah yang didenotasikan oleh tanda tetapi Barthes

Universitas Sumatera Utara

menambahkanpengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Bagi Barthes
konotasi justru mendenotasikan suatu hal yang dinyatakan sebagai mitos, dan mitos
mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Pendapat Barthes memungkinkan mengkaji ide secara sinkronis atau diakronis.
Secara sinkronis makna terpadu rata pada titik sejenis dan seolah berhenti disitu.
Karena itu pola-pola tersambung yang menyertai telaah lebih mungkin dilakukan.
Secara diakronis analisis Barthes memungkinkan melihat kapan, dimana dan dalam
lingkungan sebuah sistem bagaimana mitos digunakan.
Menurut Roland Barthes, mitos didasarkan pada gagasan bahasa yang
bertanggung jawab sehingga mitologi memostulatkan kebebasan bahasa yang artinya
mitologi sesuai dengan aspek universal atau jagad raya.

2.1.1.4 Mitos dan Komunikasi oleh Umar Junus
Buku ini berisikan beberapa bahagian yang membicarakan pengertian mitos
secara umum dan pembahasan mitos yang terdapat dalam beberapa karya sastra
Indonesia.
Dalam bahagian

yang berjudul ‘Berhadapan dengan Mitos’ Umar Junus

mengatakan bahwa mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan melainkan melalui
anggapan atau observasi kasus yang digeneralisasikan, karena itu mitos lebih
banyak hidup dalam masyarakat.
Umar Junus berpendapat bahwa mitos dapat dihidupkan melalui karya sastra
sehingga karya sastra dapat bertugas sebagai

alat yang membentuk

mitos. Lebih

jauh Umar Junus mengatakan bahwa mitos hanya dapat dilawan dengan dua cara yakni

Universitas Sumatera Utara

membentuk

mitos

yang

mendemitifikasikannya

dan mitos yang membuktikan

membuktikan bahwa suatu mitos tidak benar adanya.
Dalam bahagian ini, Umar Junus juga memberi pendapat bahwa kutukan yang
banyak terjadi dalam mitos bukanlah ditujukan untuk kepentingan pengutuk, melainkan
untuk kepentingan suatu pembuktian.
Dalam bahagian ‘Mitos dan Kontra Mitos’ Umar Junus mengatakan bahwa
karya sastra, cerita novel, drama dan cerpen merupakan mitos yang bertugas untuk
mengukuhkan sesuatu, yakni mitos pengukuhan atau myth of concern atau mitos yang
merombak sesuatu yakni mitos pembebasan atau myth of freedom. Dalam menentukan
apakah sebuah mitos adalah mitos pengakuan atau mitos pembebasan dilakukan dengan
memberi perhatian terhdap semua unsur dari karya sastra tersebut, unsur internal dan
eksternalnya seperti lingkungan sosial.
Menurut

Umar Junus

kehidupan

manusia, yang

didalamnya

terdapat

hubungan atas manusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Oleh karena itu, sikap manusia
terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri manusia, dan mitos ini
mempengaruhi manusia, untuk menyakininya atau membencinya. Dengan demikian
mitos akan mempengaruhi manusia sehingga berprasangka terhadap sesuatu hal yang
dinyatakan dalam mitos. Untuk dapat mengetahui kebenaran atau kesalahan mitos
tersebut manusia harus berhubungan dengan hal tersebut.
Hubungan

manusia

terhadap

sesuatu

hal

dapat

memperkuat

atau

meniadakan suatu mitos. Suatu mitos yang bertentangan dengan mitos yang lain
dianggap kontramitos. Hal ini selalu terjadi karena bagaimanapun kokohnya suatu
mitos dia akan selalu didampingi mitos lain yang merupakan kontramitos.

Universitas Sumatera Utara

Dalam bahagian ‘Mitos dan Realitas’ Umar Junus membicarakan kadar
kerealitasan dan kerasionalan karya sastra. Menurut Umar Junus karya sastra dari masa
lampau dianggap sesuatu yang penuh dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Namun bagi Umar Junus hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang realistis dan rasional
bagi masyarakat di mana karya itu tercipta, karena masyarakat tersebut dikuasai
hubungan sebab akibat biarpun berbeda dengan apa yang ada pada masyarakat
modern. Sehingga bagi masyarakatnya suatu mitos adalah realitas dan masyarakat di
masa lampau melihat mitos itu tidak dari segi rasional atau tidak, tetapi dilihat dari
segi yang mengatakan tidak adanya karya sastra yang sepenuhnya realitas atau
sepenuhnya imajinasi.
Semua kajian pustaka yang dibahas diatas menambah pemahaman akan
keberadaan mitos, kedudukannya dalam sastra, teori dan langkah langkah yang akan
digunakan dalam penelitian selanjutnya.

2.1.2 Pustaka Terapan
2.1.2.1 Pitoto’ Si Muhamma’ 0leh Heddy Shri Ahimsa Putra
Cerita Pitoto Si Muhamma’ adalah cerira rakyat suku Bajo. Menurut Ahimsa
Putra cerita ini adalah milik suku Bajo yang mempunyai hubungan dekat dengan
masyrakat Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis Makassar.
Cerita Pitoto Si Muhamma’ berkisah tentang dua orang pemuda yang
memperebutkan seorang gadis. Muhamma’ dari kampung Tengah dan
Manjakari dari kampung Toroh merupakan pemuda jagoan dan
masing adalah

Daeng

mereka masing-

putra juragan. Si gadis yakni Hajira yang sebenarnya adalah sepupu

Universitas Sumatera Utara

dari Muhamma’adalah putri seorang punggawa. Hajira selalu sakit-sakitan sehingga
ibunya bernajar bila putrinya sembuh akan dibawa ke sumur Toraja.
Daeng Manjakari adalah seorang jagoan yang sngat senang mengikuti
pertandingan bola semparaga. Suatu hari dia pamit kepada ibunya untuk mengikuti
pertandingan semparaga. Si Muhamma’ pada waktu yang sama ingin menonton
pertandingan semparaga. Ketika dia sampai di tempat pertandingan, tidak disangkasangka raga atau bolanya terlempar tepat dihadapan Muhamma’ yang langsung
menendangnya. Pemain Bugis Makassar yakni Daeng Manjakari dan teman-temannya
tidak menyukai hal ini karena bagi mereka Muhamma’ adalah orang asing.
Ibu Hajira sangat tertarik dengan Daeng Manjakari karena dia sangat sopan.
Suatu hari dia meminta Daeng Manjakari mengantarkan Hajira ke sumur Toraja. Hal
ini menimbulkan kecemburuan Muhamma’ karena dia merasa lebih berhak untuk
mengantarkan Hajira sehingga timbul perkelahian yang kemudian dimenangkan
Muhamma’ yang berhasil menewaskan Daeng Manjakari. Namun setelah Hajira
menjatuhkan pilihan kepada Muhamma’,justru Muhamma’ meninggalkan dia dan
menghilang dari kampung tersebut.
Ahimsa Putra menngunakan strukturalisme Levi Strauss,yakni opposisi binari
untuk membedah cerita tersebut serta memberi tafsiran setelah membagi dalam
beberapa episode serta memfokuskan penelitian pada miteme dan ceritemenya. Ahimsa
Putra berhasi menarik makna bahwa mitos Pitoto Si Muhamma’ merupakan usaha
simbolisasi dari orang Bajo untuk memahami kontrakdisi empiris sebagai masyarakat
yang hidup di laut dengan mengumpulkan hasil laut namun mereka masih tergantung
dari hasi bumi di daratan. Untuk hidup di laut mereka bukan hanya membutuhkan
bantuan dari kerabat tetapi juga dari mereka yang bukan kerabat yang berada di darat.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian Ahimsa Putra ini sangat membantu penulis dalam memahami teori
Strukturalisme Levi Strauss dan bagaimana mengaplikasikannya juga dalam
menafsirka setiap episode cerita.

2.1.2.2 Hikayat Raja Banjar oleh M.Rafiek
M. Rafiek (2010:71) meneliti mitos dibawah judul Hikayat Raja Bnjar: Kajian
Jenis, Makna dan Fungsi Mitos Raja. Penelitian dilakukan dengan menitikberatkan
pada telaah sastra dengan pendekatan struktural-hermeneutika. Menurut Rafiek, konsep
strukturalisme Levi-Strauss membantu memudahkan memahami dan menganalisis
cerytheme (tindakan) dalam naskah yang memuat mytheme (peristiwa) tertentu.
Kesulitan yang didapati

ada

dalam

pengkotak-kotakan cerytheme berdasarkan

mytheme sehingga dianjurkan untuk membaca teks berulang-ulang.
Dalam penelitian ini Rafiek menyimpulkan bahwa mitos raja dalam Hikayat
Raja Banjar mendapat pengaruh dari kisah Nabi dan Rasul dalam agama Islam, kisah
Sunan Giri dan mitologi Junani. Rafiek menemukan dua jenis, empat fungsi dan tiga
makna mitos yang terdapat pada Hikayat Raja Banjar. Dua jenis mitos yang ditemukan
adalah mitos yang sesuai dengan fakta sejarah dan yang tidak sesuai dengan fakta
sejarah. Empat makna yang ditemukan adalah makna religious, makna filosofis makna
estetis makna magis dan makna etis. Sedangkan fungsi mitos yang ditemukan adalah
fungsi integratif mitos raja, fungsi politis mitos raja, fungsi ideologis mitos raja, fungsi
legitimasi, fungsi mistis dan fungsi yudikasi.
Penelitian ini menjadi sangat bermanfaat karena memberikan gambaran tentang
penelitian mitos di Indonesia secara umum sebagai reprensentasi budaya. Penelitian

Universitas Sumatera Utara

ini juga sangat membantu dalam penerapan teori dan langkah langkah yang harus
dilakukan terutama dalam menemukan jenis mitos.

2.1.2.3

Struktur Satra Lisan Batak Toba oleh Drs Razali Kasim M.A
Razali Kasim meneliti struktur Sastra Lisan Batak Toba (2000:66) dengan

memusatkan perhatian pada empat cerita yaitu Suhutan Nan Jomba Ilik, Datu Dalu dan
Tao Sipinggan, Sombaon Sipitung dan Ratu Jolma. Salah satu dari keempat cerita
rakyat di atas mempunyai motif sumbang yakni Suhutan Nan Jomba Ilik.
Dalam menganalisis keempat cerita di atas, Razali Kasim menerapkan teori
Strukturalisme yang dikemukakan oleh Roland Barthes yang memberi pandangan
bahwa karya sastra terbentuk dari berbagai tanda, karena itu karya sastra dapat dipilih
berdasarkan kode (codes) yang tidak bersifat mutlak (arbitrary) dan bergantung pada
pemahaman dan

sudut kepentingan. Lima kode yang diberikan Barthes adalah (1)

kode teka-teki (code of puzzles); (2) kode tindakan (code of action); (3) kode kultural
(cultural code); (4) kode konotatif (conotative code); dan (5) kode simbolis (symbolic
code).
Sebagai kesimpulan dari analisis hasil penelitian adalah, bahwa tidak semua
cerita rakyat di atas mengandung semua kode yang diberikan oleh Barthes, tapi semua
cerita rakyat di atas memiliki kode kebudayaan dan kode perlambangan Penelitian ini
sangat membantu dalam proses memberi makna pada setiap tanda berdasarkan prinsipprinsip yang diberikan Roland Barthes.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.4 Sumbang, Incest in de Indonesische Mythologie oleh Well Derk
Buku ini merupakan hasi penelitian untuk tesis. Dari judul dapat kita lihat
bahwa buku ini ditulis dalam bahasa Belanda. Derk mengambil duapuluh (20) cerita
rakyat dari Indonesia untuk menjadi objek penelitian. Keduapuluh cerita rakyat itu
diambil dari Aceh, Sumatera, dalam hal ini Cerita rakyat Batak Toba dan Nias, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi dan Kalimantan. Umumnya teks yang dicantumkan
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan yang lain seperti cerita rakyat Batak
Toba diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Dalam melakukan penelitian, penulis menerapkan teori Strukturalisme LeviStraus yaitu opposisi binari dan teori Psikoanalis dari Freud. Well Derk memusatkan
perhatian pada motif, mediator dan ada tidaknya sikap mendua terhadap hubungan
sumbang yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut.
Kesimpulan yang diambil penulis antara lain adalah, bahwa ada sikap yang
mendua terhadap hubungan sumbang, terutama dalam cerita rakyat Batak. Perkawinan
sepupu menurut penulis adalah usaha kompromi antara perkawinan sumbang dan
perkawinan luar (luar klan).
Seperti halnya dalam beberapa cerita rakyat di tempat lain seperti cerita rakyat
Junani kuno dan Mesir, anjing mendapat peran dalam beberapa cerita rakyat di
Indonesia yang mempunyai motif sumbang seperti mitologi terciptanya gunung
Tangkuban Perahu. Dalam mitos sumbang yang terdapat dalam cerita rakyat Batak
Toba seperti Tongkat Panaluan anjing juga mendapat peran.
Kesimpulan yang lain adalah hubungan anak kembar dengan sumbang. Dalam
beberapa suku di Indonesia ada anggapan bahwa

kembar sepasang

laki-laki

Universitas Sumatera Utara

perempuan sudah melakukan hubungan sumbang atau incest sejak dalam kandungan.
Oleh karena itu kembar seperti ini tidak dihargai.
Terdapat juga penemuan mengenai sikap masyarakat di Jawa terhadap gerhana
matahari, yang merupakan sesuatu yang memalukan karena gerhana

merupakan

hubungan sumbang antara matahari dan bulan sehingga ketika ada gerhana, masyarakat
bersembunyi karena malu.

2.1.2.5 Calling A Rainy Day; A Rain Ritual and Incest Myth oleh Rita Smith Kipp
Tulisan

ini

merupakan

paper yang dipresentasikan

dalam

pertemuan

masyarakat antropologi yaitu Central States Anthropological Society di Milwaukee,
Wisconsin dan sedang dalam penulisan menjadi buku ketika paper ini ditulis.
Dalam paper ini Ritha Smith membahas satu cerita rakyat dari Tanah Karo
yaitu yang berjudul Tole Mama.Menurut penulis kata sumbang tidak hanya digunakan
untuk perkawinan sedarah, tetapi digunakan juga untuk jenis hubungan lain antara
pribadi-pribadi yang dianggap tidal layak dan harus dilarang, seperti berbicara dengan
mertua.
Cerita Tole Mama adalah cerita seorang anak gadis yang melakukan hubungan
terlarang dengan pamannya yaitu saudara ibunya. Akhirnya pasangan ini melarikan
diri dengan terbang ke angkasa dan berobah menjadi pelangi.
Dari penelitian yang dilakukan didapati bahwa kekeringan dan musim kemarau
merupakan hukuman terhadap

hubungan sumbang dan harus disucikan (purify)

kembali dengan upacara ritual memanggil hujan.
Cerita rakyat yang mempunyai motif sumbang menurut penulis bukan hanya
mengenai hubungan sumbang itu sendiri dan hukuman yang harus ditanggung

Universitas Sumatera Utara

pelakunya, tetapi mitos sumbang mencakup konsep yang lebih luas, perilaku yang
terlalu dekat dalam hubungan yang spesifik, hubungan kekerabatan, harapan-harapan
dalam perkawinan, dan pengasuhan anak. Mitos sumbang memberi gambaran tentang
proses alamiah, hubungan sex, melahirkan anak, pengasuhan anak dan kemudian
mentransformasikan fakta-fakta alam ini ke dalam fakta-fakta sosial. Hubungannya
dengan ritual adalah bahwa ritual bukan hanya usaha meluruskan pandangan terhadap
fakta alam tetapi juga usaha memperbaiki tatanan sosial dari hubungan antar manusia
yang sepantasnya.

2.1.2.6 Parodi Mitos Tradisional Burisrawa Yang Ditulis Oleh Riantiarno oleh
Reny Widjajanti Soedjono Azwar.
Penelitian yang dilakukan Reny Widjajanti ini merupakan penelitian disertasi.
Secara garis besar Reny Widjajanti mencoba melihat bentuk penulisan drama
Konglomerat Burisrawa yang merupakan parodi dari mitos tradisional Sumbadra
Larung.
Sumbadra Larung berkisah tentang kesetiaan Sumbadra terhadap suaminya
Arjuna. Kesetiaannya di uji melalui perbincangan Sumbadra dengan istri Arjuna yang
lain seperti Srikandi dan Larasati dan penolakannya terhadap rayuan Burisrawa yang
merupakan suatu cobaan utama. Sumbadra berhasil mempertahankan kesetiaannya
yang ditunjukkan

pada ahir cerita ketika Sumbadra tewas bunuh diri

dengan

menusukkan tusuk kondenya ke dadanya.
Di dalam Konglomerat Burisrawa digunakan setting dan karakter dari masa
kontemporer dimana Burisrawa digambarkan sebagai seorang putra pengusaha besar
yang terkenal. Kekayaan

Burisrawa sangat besar yakni memiliki perusahaan dan

Universitas Sumatera Utara

pabrik. Dalam pandangannya semua bisa di atur dengan uang , bahkan dalam hal cinta
dia memakai bahasa dagang dengan menjanjikan akan memberikan saham . Burisrawa
merasa mampu membeli segalanya termasuk cinta Sumbadra. Sumbadra dalam drama
ini mempertahankan pendapatnya mengenai cinta dan kesetiaan. Cinta dalam drama ini
menggambarkan cinta sesuai dengan jamannya yang dipengaruhi materi.
Reny Widjajanti mencoba menemukan seberapa dekat drama ini dengan
sumbernya dengan melakukan studi yang teliti terhadap penyimpangan dari mitos
tradisional. Reny Widjajanti juga mencoba membahas kedekatan drama ini dengan
masyarakat lingkungan atau menurut istilah Reny Widjajanti, ‘satire jamannya’.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya penelitian ini mencoba menemukan
pelanggaran konvensi mitos tradisional.
Dengan tujuan seperti diatas, Reny Widjajanti harus menukik lebih dalam untuk
menemukan makna dan fungsi mitos dalam Konglomerat Burisrawa dan dalam
Sumbadra Larung. Untuk pencarian makna dan fungsi ini Widjajanti menggunakan
Teori Viala yang didasarkan pada teori Todorov mengenai tiga aspek sastra yakni
aspek sintaksis, aspek semantik dan aspek pragmatik dan teori Anne Ubesvield yang
didasarkan pada teori Greimas untuk menganlisis sintaksis.
Disamping teori diatas Renny Widjajanti menggunakan beberapa teori yang
berhubungan dengan drama seperti teori Marco de Marinis mengenai aspek drama dan
teori dari Sapardi Joko Damono mengenai unsur drama.
Kesimpulan yang didapati Renny Widjajanti adalah bahwa drama Konglomerat
Buris Rawa yang merupakan adaptasi dari wayang tradisional merupakan parodi yang
mengandung satire atas kemewahan konglomerat jaman orde baru. Untuk

Universitas Sumatera Utara

menyampaikan hal itu Riantiarno melakukan penyimpangan konvensi wayang,
penyimpangan alur dan tokoh.
Penelitian

ini

membantu

penulis

untuk

lebih

faham

memilih

dan

mengaplikasikan teori secara tepat untuk peelitian mitos tertentu.

2.2 Konsep
2.2.1 Sastra Batak
Secara umum, bentuk sastra Batak yang lebih dikenal adalah umpama atau
umpasa karena kedua bentuk sastra ini selalu digunakan dalam upacara adat
masyarakat Batak. Dimana ada upacara adat, disana akan terdengar umpama atau
umpasa. Kadang-kadang dalam pergaulan sehari-hari umpama dan umpasa sering
dibacakan dalam percakapan.
Sebenarnya masyarakat Batak sudah lama mempunyai tulisan sendiri, namun
masyarakat Batak lebih mengenal seni sastra yang sifatnya lisan yang bernilai tinggi
untuk dipelajari. Sastra lisan tersebut meliputi cerita rakyat seperti turi-turian, sastra
yang bersifat agama, dan pantun yang lebih dikenal dengan umpama atau umpasa dan
andung-andung.
Cerita rakyat atau turi-turian terdiri dari cerita binatang, pelipur lara, nasehat
dan keyakinan. Terdapat juga mitos yang menggambarkan keyakinan mereka, sesuai
dengan pemahaman mereka, yaitu alam pemikiran primitif mereka mengenai
penciptaan, terjadinya bumi dan segala isinya, mengenai debata mula jadi nabolon
yang menjadi keyakinan mereka sebagai yang maha kuasa yang menciptakan bumi dan
manusia terdapat dalam sastra lisan seperti cerita rakyat Si Boru Deak Parujar.

Universitas Sumatera Utara

Turi-turian megandung pelukisan tingkah laku manusia kehidupan masyarakat,
tentang watak manusia seperti cerita orang yang bodoh, pemalas yang berfungsi
memberi ajaran dan nasehat. Turi-turian

merupakan sastra Batak yang sering

dilisankan kepada anak-anak menjelang tidur atau ketika sedang berkumpul di malam
hari di tengah halaman dibawah terang bulan. Turi-turian dalam bentuk cerita dongeng
tentang bintang merupakan alat pendidikan mental. Salah satu turi-turian yang sering
di tuturkan adalah cerita Si Jonaha. Namun terdapat juga cerita yang mengandung
sejarah seperti tarombo yang berisikan silsilah kekerabatan, cerita tentang alam dan
tentang kehidupan.
Sastra yang bersifat agama terdapat pada mantera dan bait sajak yang dihapal
oleh datu (magician) yang diangap mempunyai hubungan dengan pencipta. Datu
seperti ini sangat dihormati karena dapat menghafal mantera-mantera dalam melakukan
pegobatan.

Doa

yang

dipanjatkan datu yang disebut tonggo-tonggo merupakan

bentuk sastra yang sudah dikenal sejak dahulu kala. Dalam bukunya yang berjudul
The Structure of Batak Belief yang merupakan hasil desertasinya, Ph.O.L.Tobing
(1963:93) mengutip bahagian dari Tonggo-tongo atau doa seperti di bawah ini:
Hutonggo, hupio, hupangalu-alui ompunami, sumangot ni Ompu Boru,
sumangot ni ompunami, sumangot ni Ompu Doli, sumangot ruma-ruma ni
jumaida silaon, na maniti na manggabe di hasuhuton on. Ho do na hundul
di raga-raga na bolak, manguntean di pamoltok ni ruma, na martagaung di
tali siariman; na marhalinuhon di guri-guri sijonggi; na mangan di pinggan
limar, na marsiruho di pinggan pasu; na manggagat di bulung motung,
minum bagot raja ni tuak, aek raja ni tapian; pardemban na lompu-lompu
junjungon, parpiring tinikil-tinikilan; na mart