Tortor Dalam Pesta Horja Pada Kehidupan Masyarakat Batak Toba: Suatu Kajian Struktur Dan Makna

(1)

TORTOR DALAM PESTA HORJA

PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA

T E S I S Oleh

SANNUR D.F. SINAGA NIM. 097037013

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

TORTOR DALAM PESTA HORJA

PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA

T E S I S

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.)

dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh

SANNUR D.F. SINAGA NIM. 097037013

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

Judul Tesis : TORTOR DALAM PESTA HORJA

PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA Nama : Sannur D.F. Sinaga

Nomor Pokok : 097037013

Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

Dra. Rithaony, M.A. NIP. 196311161997032001

Ketua

Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum.

NIP. 196510211992032003 Anggota

Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001

Fakultas Ilmu Budaya Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001


(4)

Tanggal lulus: Telah diuji pada Tanggal

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (………..)

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu., M.Hum. (..…..………..)

Anggota I : Dra. Rithaony, M.A. (….… ………)

Anggota II : Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum. (...………)


(5)

ABSTRACT

This research discusses about Tortor in Horja ceremony for Batak Toba’s society. How the Tortor presented in Horja ceremony, and what is it mean and the floor’s pattern?

Tortor is a dancing that is moving all body with Gondang Sabangunan music and it is central moving from feet, hand, fingers, feet palm, back and shoulder. Tortor has spirit of togetherness, brotherhood, or solidarity principles to common interest. Tortor is about custom ceremony, ritual ceremony and also entertainment amusement. In this research, researcher focused for Horja ceremony in Rahut Bosi village, Pangaribuan, North Tapanuli.

Tortor is danced equal with the status of Dalihan Na Tolu. From it is moving we will know who is hula-hula, dongan tubu and also boru.

Tortor from Batak Toba’s society are still coherent in their life wherever they live. The activity of manortor is dancing in every activity in Batak Toba’s custom society life. Though, the using of Tortor has many growth after christian’s, but the basic motif of Tortor dancing is still pure, even though the context has changed the limits that is equivalent with the Christian’s religion.

The presented of Tortor that are the basic dancing, danscript of Tortor dancing, the floor’s pattern and also the clothes are focuses of discussed by researcher about the Tortor in Horja ceremony.

Keywords: Tortor, Horja, Batak Toba, Gondang Sabangunan, Dalihan na tolu, hula-hula, dongan tubu, boru


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan bahasan tentang Tortor dalam Pesta Horja pada masyarakat Batak Toba. Bagaimana bentuk penyajian Tortor dalam Pesta Horja, dan bagaimana makna maupun pola lantainya?

Tortor adalah tarian yang menggerakkan seluruh badan dengan iringan Gondang Sabangunan dengan pusat pola gerakan terletak pada kaki, tangan, jari, telapan kaki, punggung dan bahu. Tortor memiliki prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama. Tortor berhubungan dengan upacara adat, upacara ritual, maupun hiburan.

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada Pesta Horja di Desa Rahut Bosi, Pangaribuan, Tapanuli Utara.

Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukannya dalam Dalihan Natolu. Dari gerakan Tortor kita akan mengetahui siapa hula-hula, dongan tubu maupun boru. Tortor bagi masyarakat Batak Toba tetap melekat dalam kehidupannya di manapun mereka berada. Aktivitas manortor dilakukan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba. Meskipun pemakaian/penggunaan Tortor banyak mengalami perkembangan setelah era kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan.

Bentuk penyajian dari gerak Tortor yang meliputi motif gerak dasar, danskrip gerak Tortor, pola lantai maupun busana merupakan pembahasan penulis tentang Tortor dalam Pesta Horja tersebut.

Kata kunci: Tortor, Horja, Batak Toba, Gondang Sabangunan, Dalihan na tolu, hula-hula, dongan tubu, boru


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, rahmat dan karunia-Nya yang membimbing dan menyertai penulis dalam penyelesaian studi di Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan.

Tulisan dalam bentuk tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak A. Sinaga dan Ibu (Oma) R. Napitupulu (alm), nasehatmu ibu senantiasa mengiringi langkahku di manapun aku berada. Segala yang Bapak berikan (doa dan nasehat) membawaku mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya tidak mampu membalasnya dengan apapun.

Kepada suami saya tercinta, Drs. Aipda. Saut Gultom, yang tidak pernah lelah mendukung dan memotivasi saya dengan moril maupun materil dalam perkuliahan hingga selesainya penulisan tesis ini. Hanya tesis ini yang dapat saya persembahkan sebagai tanda terima kasih atas cinta dan kasih sayangmu kepadaku.

Tidak lupa kepada kedua anakku yang sangat kucinta dan kusayangi, Kevin Gultom dan Kenny Gultom. Atas dorongan dan kelucuanmu membuat


(8)

mama termotivasi dalam penyelesaian tesis ini, tanpa kalian mama tidak ada semangat dan kekuatan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya haturkan kepada kedua mertua saya, M. Gultom dan L. Br. Sinaga.

Tidak lupa saya berterima kasih kepada abang, Ir. Mardi Sinaga, MBA, Sahala Adhel Sinaga, SE, dan adik saya, Imelda Sinaga, SP. Atas dorongan, motivasi dan doa kalian mendukung terselesaikannya pembuatan tesis ini. Semoga kalian selalu diberkati Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat kita.

Secara akademik penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu., DTM & H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberi fasilitas, sarana dan prasarana belajar bagi penulis sehingga dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara ini dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Drs. Irwansyah, M.A., dan Sekretaris, Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, atas bimbingan akademis dan arahan yang diberikan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada Ibu Dra. Rithaony, M.A., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dra. Yusnizar Heniwaty, M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II atas semua tuntunan, nasehat serta bimbingannya dan memotivasi penulis supaya tetap semangat dan terus maju


(9)

tidak menyerah. Juga saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Penguji Drs. Kumalo Tarigan, M.A., yang memberikan koreksi dan kritikan demi perbaikan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua dosen Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, antara lain: Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D., Drs. Kumalo Tarigan, MA, Dra. Rithaony, M.A., Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si., Dra. Frida Deliana, M.Si., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., atas ilmu yang telah diberikan selama ini. Begitu juga kepada Bapak Drs. Ponisan sebagai pegawai adminsitrasi, terima kasih atas segala bantuannya selama ini. Penulis berharap kiranya tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Selain itu juga dapat menjadi sumbangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Penciptaan dan Pengkajian Seni, serta Etnomusikologi.

Tentu tesis ini masih jauh dari kesempurnaannya, karena itu kepada semua pihak penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun pada tesis ini.

Medan, Januari 2012 Penulis


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI

1. Nama : Sannur D. F. Sinaga

2. Tempat/Tgl. Lahir : Parapat, 22 Juli 1971 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Kristen Protestan

5. Kewarganegaraan : Indonesia 6. Nomor Telepon : 081361776034

7. Alamat : Villa Mutiara III, Blok H-16 Jl. Bajak II H, Marindal-Medan 8. Pekerjaan : PNS Guru SMK Negeri 11 Medan

PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar Negeri 091463 Parapat lulus tahun 1984

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Parapat lulus tahun 1987 3. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Parapat lulus tahun 1990

4. Sarjana Seni Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara lulus tahun 1997


(11)

5. Akta Mengajar IV Bidang Kependidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan lulus tahun 2003

6. Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni di Fakultas Budaya Universitas Sumatera Utara

PENGALAMAN KERJA

1. Tahun 2004-2009

PNS Guru di SMA Negeri 2 Yayasan Sopo Surung Balige 2. Tahun 2009-sekarang

PNS Guru di SMK Negeri 11 Medan

PENGALAMAN PROFESI

1. Tahun 2005 Juri Festival Tortor Se Kabupaten Toba Samosir

2. Tahun 2009 - Pengurus Lembaga Pengembangan Paduan

Suara Daerah Kabupaten Toba Samosir

- Pengurus Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Toba Samosir

- Juru Festival Paduan Suara Wanita Se Gereja HKBP Distrik Humbang Hasundutan

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se Kabupaten Deli Serdang

- Juri Festival Vocal Group dan Paduan Suara Kabupaten Tapanuli Utara


(12)

- Juri PORSENI SD Tk. Provinsi Sumatera Utara - Juri Festival Paduan Suara TB. Silalahi Center

Toba Samosir

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se Kabupaten Toba Samosir

- Juri PORSENI Tk. I SMP Provinsi Sumatera Utara

- Pengurus Lembaga Pengembangan Musik

Gereja Sumatera Utara

- Juri Festival Vocal Group dan Paduan Suara Se Kabupaten Tapanuli Utara

- Panitia Pagelaran Musik Gereja Bernuansa Etnis Se Sumatera Utara

- Peserta Festival Paduan Suara Gerejawi Tingkat Nasional Utusan Sumatera Utara di Samarinda 3. Tahun 2010-2012 - Juri Tari Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera Utara

- Juri Vocal Group Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera Utara

- Juri Vocal Solo Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera Utara

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se Kabupaten Deli Serdang


(13)

- Juri Festival Paduan Suara HKBP Se Humbang Hasundutan dalam rangka Jubileum HKBP ke 150 tahun

- Tim Kesenian Toba Samosir ke Taman Mini Indonesia Indah

- Juri Vocal Group Perparawi Se Kabupaten Simalungun

- Juri Paduan Suara, Vocal Group, Solo Se Kabupaten/Kota Nias


(14)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

Sannur D.F. Sinaga NIM 097037013


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRACT ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 15

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 15

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 15

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 16

1.3.3 Fokus Penelitian ... 17

1.4 Studi Kepustakaan ... 17

1.5 Landasan Teori ... 19

1.6 Metodologi Penelitian ... 23

1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data ... 25

1.7.1 Observasi ... 25


(16)

1.7.3 Perekaman ... 26

1.7.4 Kerja laboratorium ... 27

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA BATAK TOBA ... 28

2.1 Geografi Batak Toba ... 28

2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba ... 30

2.2.1 Pengertian Batak ... 30

2.2.2 Sejarah Batak ... 31

2.2.3 Mitologi Suku Batak Toba ... 35

2.3 Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara ... 36

2.4 Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Batak Toba ... 44

2.4.1 Hula-hula ... 47

2.4.2 Dongan Sabutuha ... 48

2.4.3 Boru ... 49

2.4.4 Sistem Sapaan ... 50

2.5 Mata Pencaharian ... 54

2.6 Kampung dan Desa ... 54

2.7 Agama dan Kepercayaan ... 56

2.7.1 Islam ... 60

2.7.2 Kristen ... 62

2.7.3 Parmalim ... 64

2.7.4 Siraja Batak ... 67


(17)

2.8.1 Seni Tari dan Seni Suara ... 68

2.8.2 Seni Rupa ... 72

2.8.3 Seni Sastra ... 73

2.8.4 Seni Musik ... 75

BAB III TORTOR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA ... 78

3.1 Tortor Pada Saat Upacara ... 78

3.2 Penggunaan dan Fungsi Tortor ... 93

3.2.1 Penggunaan Tortor ... 93

3.2.2 Fungsi Tortor ... 96

3.3 Busana Tortor dalam Upacara ... 104

3.4 Perkembangan Tortor ... 106

BAB IV TATA CARA PENYELENGGARAAN PESTA HORJA ... 108

4.1 Latar Belakang Pelaksanaan Pesta Horja ... 108

4.2 Tujuan Pelaksanaan Pesta Horja ... 113

4.3 Hal-hal yang Dilaksanakan Sebelum Pesta Horja ... 117

4.3.1 Mamanggil Pargonsi ... 117

4.3.2 Adat Tu Pargonsi ... 118

4.3.3 Maniti Ari ... 120

4.3.4 Menentukan Tempat ... 121

4.4 Tortor yang Disajikan Pada Saat Penyelenggaraan Pesta Horja ... 122 4.5 Penentuan Judul Tortor dan Hubungannya Dengan


(18)

Pihak yang Manortor ... 123

4.6 Hubungan Tortor Dengan Gondang Sebagai Musik Pengiring ... 125

4.7 Tortor Sipitu Gondang Dalam Pesta Horja ... 168

4.7.1 Tortor Mula-mula ... 168

4.7.2 Tortor Somba ... 169

4.7.3 Tortor Mangaliat/Siuk-siuk ... 169

4.7.4 Tortor Sibane-bane ... 170

4.7.5 Tortor Saudara/Parsaoran ... 170

4.7.6 Tortor Simonang-monang ... 171

4.7.7 Tortor Hasahatan-Sitio-tio ... 171

4.8 Mangido Tuani Gondang ... 172

4.9 Pantun (Umpasa) Dalam Meminta Gondang ... 173

BAB V STRUKTUR DAN MAKNA PENYAJIAN TORTOR SIPITU GONDANG ... 182

5.1 Struktur dan Makna ... 182

5.2 Motif dan Makna Gerak Dasar Dalam Tortor ... 183

5.3 Aturan-aturan Dalam Gerakan Tortor ... 194

5.3.1 Pangurdot ... 194

5.3.2 Pangeal ... 194

5.3.3 Pandenggal ... 195

5.3.4 Siangkup na (siakkup na) ... 195


(19)

5.4 Danskrip Tortor Dalam Pesta Horja ... 199

5.5 Pola Lantai ... 203

BAB VI PENUTUP ... 219

6.1 Kesimpulan ... 219

6.2 Saran ... 221

DAFTAR PUSTAKA ... 222

LAMPIRAN: GLOSSARIUM ... 225

DAFTAR INFORMAN ... 231

TAROMBO NI OMPU I GURU TOLOAN GULTOM ... 234


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara ... 29

Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan menurut Desa/Kelurahan ... 33

Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan ... 42

Tabel 2.4 Luas Tanah Desa Rahut Bosi ... 43

Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa rahut Bosi ... 43

Tabel 2.6 Luas Tanaman Palawija ... 43


(21)

ABSTRACT

This research discusses about Tortor in Horja ceremony for Batak Toba’s society. How the Tortor presented in Horja ceremony, and what is it mean and the floor’s pattern?

Tortor is a dancing that is moving all body with Gondang Sabangunan music and it is central moving from feet, hand, fingers, feet palm, back and shoulder. Tortor has spirit of togetherness, brotherhood, or solidarity principles to common interest. Tortor is about custom ceremony, ritual ceremony and also entertainment amusement. In this research, researcher focused for Horja ceremony in Rahut Bosi village, Pangaribuan, North Tapanuli.

Tortor is danced equal with the status of Dalihan Na Tolu. From it is moving we will know who is hula-hula, dongan tubu and also boru.

Tortor from Batak Toba’s society are still coherent in their life wherever they live. The activity of manortor is dancing in every activity in Batak Toba’s custom society life. Though, the using of Tortor has many growth after christian’s, but the basic motif of Tortor dancing is still pure, even though the context has changed the limits that is equivalent with the Christian’s religion.

The presented of Tortor that are the basic dancing, danscript of Tortor dancing, the floor’s pattern and also the clothes are focuses of discussed by researcher about the Tortor in Horja ceremony.

Keywords: Tortor, Horja, Batak Toba, Gondang Sabangunan, Dalihan na tolu, hula-hula, dongan tubu, boru


(22)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan bahasan tentang Tortor dalam Pesta Horja pada masyarakat Batak Toba. Bagaimana bentuk penyajian Tortor dalam Pesta Horja, dan bagaimana makna maupun pola lantainya?

Tortor adalah tarian yang menggerakkan seluruh badan dengan iringan Gondang Sabangunan dengan pusat pola gerakan terletak pada kaki, tangan, jari, telapan kaki, punggung dan bahu. Tortor memiliki prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama. Tortor berhubungan dengan upacara adat, upacara ritual, maupun hiburan.

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada Pesta Horja di Desa Rahut Bosi, Pangaribuan, Tapanuli Utara.

Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukannya dalam Dalihan Natolu. Dari gerakan Tortor kita akan mengetahui siapa hula-hula, dongan tubu maupun boru. Tortor bagi masyarakat Batak Toba tetap melekat dalam kehidupannya di manapun mereka berada. Aktivitas manortor dilakukan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba. Meskipun pemakaian/penggunaan Tortor banyak mengalami perkembangan setelah era kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan.

Bentuk penyajian dari gerak Tortor yang meliputi motif gerak dasar, danskrip gerak Tortor, pola lantai maupun busana merupakan pembahasan penulis tentang Tortor dalam Pesta Horja tersebut.

Kata kunci: Tortor, Horja, Batak Toba, Gondang Sabangunan, Dalihan na tolu, hula-hula, dongan tubu, boru


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari diadakan sesuai dengan kebudayaan setempat dengan cara dalam konteks yang berbeda-beda. Tari diadakan untuk upacara-upacara yang berkaitan dengan adat dan kepercayaan, namun ada juga yang melaksanakannya sebagai hiburan atau rekreasi. Sistem sosial dan lingkungan alam mempengaruhi bentuk dan fungsi tari pada suatu komunitas suku dan budaya.

Tari1

Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, Tortor berhubungan erat dengan upacara adat, upacara ritual, maupun untuk hiburan. Dalam tulisan ini ada beberapa subyek pembahasan yaitu tentang konteks, makna maupun perkembangan Tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.

dalam kehidupan masyarakat Batak Toba disebut Tortor, sedangkan penari biasa disebut dengan Panortor. Tortor memiliki prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama.

1

Dalam Diskusi Tari Tradisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 1975, sejumlah ahli tari merumuskan pengertian dasar unsur estetika tari yang meliputi medium (bahan baku), penggarapan, isi, dan penyajian (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157). Medium atau bahan baku tari adalah gerak yang setiap hari kita lakukan. Berdasarkan fungsinya, gerak dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu gerak bermain yang dilakukan untuk kesenangan pelakunya, gerak bekerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil, dan gerak tari yang dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya. Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakan-gerakan yang gemulai, anggun, indah adalah


(24)

Dalam kehidupan masyarakat tradisional Batak Toba, tari (Tortor) mempunyai peranan penting dalam aktivtas kehidupan mereka yang berkaitan dengan kehidupan spiritual mereka dan juga untuk hubungan sosial kemasyarakatannya. Tortor dilakukan dengan berbagai kegiatan ritual maupun upacara keagamaan dan juga dapat dipertunjukkan dalam konteks adat.

Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukan masing-masing warga masyarakat di dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba yang disebut sebagai sistem kekerabatan. Sistem ini disebut dengan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu terdiri dari Hula-hula (pihak pemberi istri), Boru (pihak keluarga istri), Dongan Sabutuha (kerabat semarga).

Adat Batak Toba yang dimaksud ialah rangkaian atau tatanan norma-norma sosial dan religius yang mengatur kehidupan sosial, hubungan manusia dengan leluhurnya, hubungan vertikal kepada Sang Pencipta, serta pelaksanaan upacara-upacara ritual keagamaan (Purba, 2003: 1).

Tortor adalah “seni tari dengan menggerakkan seluruh badan dengan dituntun irama gondang, dengan pusat gerakan pada tangan dan jari, kaki dan telapak kaki/punggung dan bahu.” (Malau, 2000: 215)

“Setiap gerakan pada Tortor Batak yang berekspresi disebut urdot. Mangurdot berarti menggerakkan badan dan anggota tubuh secara ekspresif. Urdot ini dilakukan sesuai dengan iringan gondang. Gondang dan Tortor adalah perpaduan bunyi dan gerak tubuh yang sedang dibawakan.” (Lumbantobing, 1968: 120)


(25)

Tortor dalam upacara ritual maupun adat biasanya diiringi Gondang Sabangunan (musik tradisional masayarakat Batak Toba). Manortor yang dilakukan oleh muda-mudi adalah bentuk penyampaian hasrat hati kepada lawan jenisnya, dan pada dulunya tarian ini dilakukan pada malam bulan purnama.

Artinya aktivitas manortor ini dilakukan sebagai sarana penyampaian isi batin baik kepada roh-roh leluhur maupun kepada orang-orang yang dihormati maupun yang disayangi (sesama manusia) yang ditunjukkan dalam bentuk tarian/Tortor.

Tortor senantiasa diiringi gondang sabangunan. Setelah paminta gondang (orang yang meminta repertoar gondang dimainkan yang sekaligus juga berperan sebagai pemimpin kelompok penari) menyerukan untuk maminta gondang (meminta gondang) dimainkan dimulailah gerakan mangurdot, seiring dengan bunyi ritme dari gong (ogung) dan gendang (taganing). Dalam hitungan 2 x 8 atau 3 x 8 dengan dimulainya bunyi suara sarune (alat tiup berlidang ganda) maka panortor mulai membuka tangan dan melakukan gerak tortor sesuai yang diminta. Urdot selalu dimulai dengan kaki kanan dalam hitungan untuk memulainya. Kaki kanan itu melambangkan keberhasilan dari sesuatu hal yang kita kerjakan. Dalam bahasa Batak biasa disebut dengan parlangka siamun.

Hertz menyatakan bahwa pada berbagai suku bangsa di Indonesia upacara kematian terdiri dari atas tiga tingkat, yaitu: (1) sepelture provisorie; (2) periode intermediaire; dan (3) ceremonie finale. Mula-mula mayat diberi suatu sepulture proisoire yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaire atau masa antara. Setelah masa antara dilewati, diadakan suatu upacara yang


(26)

memberikan suatu kedudukan yang baru untuk roh orang mati dengan jalan ceremonie finale yaitu suatu upacara penggalian tulang belulang dan sisa jasmani dari jenazah, lalu ditempatkan di tempat yang tetap (Koentjaraningrat, 1980:72-73).

Kepercayaan tradisional masyarakat Batak Toba menyatakan bahwa apabila seseorang ingin mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, maka dia harus melakukan berbagai hal dalam kehidupannya, antara lain sebagai berikut: - Harus menghormati, menyembah dan memuja orang tua dan roh nenek

moyang dengan mengadakan upacara-upacara.

- Memberi perhatian yang khusus kepada roh-roh pengetua adat (harajaon) maupun dukun (datu).

- Menyajikan persembahan dalam bentuk sesajen dan memelihara roh. - Menuruti kehendak roh.

- Mentaati tata cara adat di dalam segala aktivitas dalam kehidupan.

Dalam kepercayaan Batak Toba manusia mempunyai tiga unsur yaitu: tondi (jiwa), mudar (darah) dan sibuk (daging). Dalam hal ini tondi akan menyertai manusia selama manusia masih hidup. Tetapi bila manusia meninggal, maka tondi akan meninggalkannya dan tondi akan menjadi penghuni (mempunyai kuasa) dunia tengah yang didiami roh-roh nenek moyang.

Dilihat dari sudut kepercayaan, peristiwa kematian manusia pada masyarakat Batak Toba adalah hal yang sangat penting dan sangat dihargai dari peristiwa-peristiwa dalam siklus kehidupan (life cycle), misalnya kelahiran, perkawinan, kematian dan lain-lain. Hal tersebut disebabkan adanya kepercayaan


(27)

tentang tondi, begu, sahala, sombaon, dan sumangot orang Batak Toba (biasanya untuk nenek moyang). Menurut keyakinan masyarakat mereka, segala aspek-aspek ini selalu berhubungan erat dengan keyakinan terhadap datangnya berkat kebahagiaan (pasu-pasu), maupun keselamatan. Hal ini akan diterima dengan sendirinya apabila seseorang itu hidup dalam ketaatan adat maupun penghormatan kepada seseorang sebelum maupun sesudah kematiannya.

Masyarakat Batak Toba meyakini roh orang yang sudah meninggal dapat melihat keadaan orang-orang yang masing hidup dan keluarga yang ditinggalkannya dan mempunyai hubungan mendatangkan keselamatan dan mendatangkan malapetaka. Ada kepercayaan yang menyatakan bila suatu keluarga atau sekelompok marga dapat melaksanakan upacara atau pesta horja ini maka mereka akan memperoleh keselamatan, dan sebaliknya jika tidak dilaksanakan akan mendatangkan malapetaka. Dengan demikian masyarakat Batak Toba akan berusaha melaksanakan pesta tersebut sebagai tanda penghormatan kepada nenek moyang mereka.

Tingkat ketiga dari upacara kematian tersebut, yakni ceremonie finale terdapat pada masyarakat Batak Toba yang diawali dengan penyatuan tulang belulang nenek moyangnya. Kemudian disatukan ke satu tempat yang dibangun khusus. Upacara ini bermaksud untuk menghormati, memperingati, dan meninggikan roh nenek moyang (leluhur) yang dipandang sebagai penentu adat.

Monang Naipospos selaku pengetua adat menyatakan Tortor Batak yang sangat individual dan merupakan ritual kehidupan persembahan kepada orang


(28)

banyak, lingkungan dan penciptaannya sifatnya bukan sebagai hiburan. Tortor adalah gerakan tubuh mengiringi atau diiringi irama gondang.

Biasanya jenis gondang yang dimainkan adalah sama dengan nama Tortor yang akan ditarikan. Misalnya dalam Gondang Mula-mula yang ditarikan adalah Tortor Mula-mula artinya bahwa semua yang ada di bumi ini pada mulanya ada yang menciptakan (dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dikenal dengan Mula Jadi Na Bolon), dan segala sesuatu yang dimulai dengan baik maka hasilnya akan baik pula. Begitu juga dengan Gondang Somba yang ditarikan adalah Tortor Somba (gerakan menyembah kepada Tuhan dan kepada masyarakat sekeliling), dan masih banyak lagi jenis Tortor yang diiringi Gondang Sabangunan.

Dalam sebuah aktivitas Tortor yang diiringi Gondang Sabangunan biasanya salah satu dari penari (panortor) tersebut akan bertindak sebagai paminta gondang. Paminta Gondang ini adalah orang yang meminta Gondang (lagu) untuk dimainkan dan sekaligus berperan sebagai pemimpin dari kelompok penari (panortor) tersebut. Sebagai seorang paminta gondang, orang tersebut harus punya pengetahuan tentang gondang yang akan dimainkan dan harus mengetahui umpasa (pantun, petatah-petitih) yang selalu mengiringi aktivitas manortor (menari pada kehidupan masyarakat Batak Toba). Jenis-jenis Tortor disesuaikan dengan musik (gondang) yang akan dimainkan.

Seni tari Batak Toba pada zaman dahulu merupakan sarana utama pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Menari/manortor juga dilakukan dalam acara gembira seperti sehabis panen, perkawinan, yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan yang berbau mistis. Acara pesta adat membunyikan


(29)

Gondang Sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap) sangat erat hubungannya dengan pemujaan para dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur) pada zaman dahulu.

Tata cara memulai tortor dilaksanakan dengan mengikuti persyaratan tertentu. Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (hasuhuton) melakukan acara khusus yang dinamakan mangido tua ni gondang (yang artinya pihak yang punya hajatan/hasuhutan meminta kepada pemain gondang dalam hal ini taganing untuk memainkan gondangnya menggunakan kata-kata yang sopan dan santun. Begini bunyinya:

“Amang Panggual Pargonci …(wahai pemusik...)

- Alualuhon damang majo tu omputta Mula Jadi Nabolon, na jumadihon nasa na adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion (sampaikanlah permohonan kami kepada maha pencipta, yang menjadikan segala yang ada, menjadikan manusia serta seluruh isi dunia ini). Gondang pun dimainkan...

- Alualuhon ma muse tu sumangot ni omputta sijolo-jolo tubu, sumangot ni omputta paisada, omputta paidua sahat tu papituhon (Sampaikan juga kepada roh-roh leluhur, leluhur yang pertama, kedua, hingga leluhur tingkat ke tujuh). Gondang dimainkan...

- Alualuhon majolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo (Mohonkan jugalah kepada hadirin yang terhormat). Lalu gondang pun dimainkan...


(30)

Demikianlah, setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah ketiga permintaan seruan (alu-alu) tersebut dilaksanakan dengan baik, maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan meminta jenis gondang yang harus dilakukan hasuhutan untuk mendapatkan tua ni gondang. Para penari/panortor menari dengan gembira dan sukacita. Jenis permintaan gondang yang dibunyikan adalah permohonan kepada dewa-dewa dan para arwah leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan upacara diberi keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, rejeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan. Gondang terakhir yang dimohonkan adalah Gondang Hasahatan. Artinya selesailah sudah upacara adat yang diharapkan pasti membawa kebahagiaan dan kesejahteraan.

Dalam aktivitas manortor banyak pantangan yang tidak diperbolehkan, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, karena bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu pendukunan, atau adu pencak silat, atau ada tenaga dalam.

Yang umum dilakukan dalam aktivitas dalam manortor adalah: 1. Gondang Mula-mula dengan Tortor Mula-mula

2. Gondang Somba-somba, dengan Tortor Somba-somba

3. Gondang Sampur Marmeme dengan Tortor Sampur Marmeme 4. Gondang Sampur Marorot dengan Tortor Sampur Marorot


(31)

5. Gondang Saudara dengan Tortor Saudara

6. Gondang Sitiotio dengan Tortor Sitio dilanjutkan dengan 7. Gondang Hasahatan dengan Tortor Hasahatan

Atau

1. Gondang Mula-mula 2. Gondang Somba-somba 3. Gondang Sibane-bane

4. Gondang Simonang-simonang 5. Gondang Didang-didang 6. Gondang Hasahatan Sitio-tio

Gerak tari sebagai bagian dari seni budaya refleksi dan perwujudan dari sikap, sifat, perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu sendiri. Tarian atau gerak adalah bahasa tubuh yang menggambarkan identitas bangsa atau daerah. Dalam tarian atau gerak tergambar cita rasa, daya cipta dan karsa dari sekelompok orang. Tortor menggambarkan pengalaman hidup orang Batak dalam kehidupan keseharian, gembira atau senang, bermenung, berdoa, menyembah, menangis, bahkan keinginan dan cita-cita maupun harapan tergambar dalam tortor. Tortor adalah tarian seremonial yang secara fisik merupakan tarian namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, karena melalui media gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara (Purba, 2004:64).


(32)

Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Struktur adalah sifat fundamental bagi setiap sistem. Identifikasi suatu struktur adalah suatu tugas obyektif karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Sifat struktur adalah totalitas, transformatif, dan otoregulatif. Struktur ini dapat kita lihat dalam penyajian tortor pada kehidupan masyarakat Batak Toba yang terdiri dari makna gerakan, motif gerakan, pola lantai, maupun busana yang dipergunakan.

Struktur penyajian tortor ada empat, yaitu: motif dasar gerak, danskrip tortor dalam pesta horja, pola lantai dan busana tortor.

Dalam semantik, juga dikenal teori tiga makna. Odgen and Richards (1923) menyebutkan sebagai symbol, reference, dan referent. Morris Morgan (1955) menyebutkan sign, signal, dan symbol. Brodbeck (1963) menyebutnya sebagai (1) makna referensial, makna suatu istilah mengenai obyek, pikiran, ide atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu sendiri, (2) makna yang menunjukkan arti suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain, dan (3) makna intensional, yakni arti suatu istilah atau lambang tergantung pada apa yang dimaksud oleh si pemakai (dalam Kusuma, 2007).

Coumming (1999) menyatakan teori makna melalui tiga pendekatan. Ketiga bagian itu yaitu simbol dalam bahasa yang dilihat dari:

1. Perspektif referensial (makna dalam dunia) berarti entitas dalam dunia luar 2. Perspektif psikologi (makna dalam pikiran) berarti referensi dalam pikiran 3. Perspektif sosial (makna dalam tindakan) berarti dilakukan melalui bahasa.


(33)

Makna tersebut terlihat dari setiap makna gerak yang terdapat dalam tortor Batak Toba yang terdiri dari gerakan kepala, mata, hidung, wajah, kaki, badan dan tangan, semua itu memiliki makna dan aturan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.

Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. Untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan dari kebudayaan lain, dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984:5).

Selanjutnya dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenis-jenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisik tidak akan dibahas, karena dalam tingkat ini keperluan teknik gerak belum disadari. Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuituf. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam. Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia (Ellfeldt, 1976:160).


(34)

Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh. Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana menggunakan “alat” tersebut. Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual dan estetika. Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang, maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari (Thompson, 1974:262; Snyder, 1974:9).

Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi disebut akulturasi (acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat. (Websteris, 1994:9).

Perkembangan dalam kelangsungan kehidupan tradisi tortor pada masyarakat Batak Toba dimulai dengan masuknya agama Kristen di Tanah Batak. Kedatangan para missionaris Kristen di Tanah Batak telah membuat batasan penggunaan tortor dan gondang Batak Toba, dan dalam beberapa hal ada yang bahkan dilarang untuk dilaksanakan. Hal ini diberlakukan dan dikenakan pada masyarakat Batak Toba yang telah beralih ke agama Kristen.

Gereja membuat batasan bahwa tortor yang diiringi gondang sabangunan hanya boleh dimainkan atau dilakukan pada acara-acara tertentu yang berkaitan dengan kegiatan sosial, misalnya dalam upacara adat, perkawainan dan inipun dilakukan harus seizin pihak gereja atau terlebih dahulu dibuka atau dimulai pihak


(35)

gereja. Artinya kegiatan ini akan terhindar dari kegiatan kepercayaan lama masyarakat Batak Toba yang menurut faham kekristenan bertentangan dengan ajaran kekristenannya.

Dengan kedatangan para missionaris Kristen ke Tanah Batak telah memperkenalkan jenis ensambel musik tiup logam (brass band) dari Barat (Jerman) kepada masyarakat Batak Toba. Jenis musik inipun dibunyikan sesuai dengan perkembangan musik Batak Toba asli yang digabungkan dan dikolaborasikan dengan musik tiup Barat tadi.

Dengan sendirinya musik yang dimainkan seiring dengan dilakukannya gerakan Tortor yang ditarikan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Gondang Sabangunan dan musik tiup dari barat merupakan jenis musik yang memiliki keterikatan yang cukup erat dalam tradisi masyarakat Batak Toba karena karakteristik bunyi yang dihasilkan terdapat penyesuaian satu sama lainnya. Dalam Gondang Sabangunan, Tortor dilakukan sesuai karakteristik bunyi yang dihasilkan, demikian juga dengan brass band.

Lagu-lagu yang dibawakan dalam brass band merupakan lagu-lagu gereja yang dibunyikan sesuai karakteristik musik (Gondang) pada kehidupan masyarakat Batak Toba. Kemudian masyarakat sebagai pelaku aktivitas tersebut juga manortor sesuai bunyi musik yang dimainkan dan tetap masih dalam aturan sistem kekerabatan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. Kadangkala lagu gereja yang dimainkan pemusik Gondang Sabangunan digabung dengan musik brass band tadi, yang hasilnya membuat aktivitas tortor semakin meriah dan dinamis.


(36)

Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi disebut akulturasi (acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat (Websteris, 1994:9). Perlahan-lahan Gondang yang mengiringi Tortor berubah menjadi brass band mengiringi Tortor. Hal ini dimulai dari masyarakat yang hidup diperkotaan. Lagu-lagu yang dibawakan sudah lebih banyak diambil dari buku lagu gereja dan lagu-lagu populer. Di sisi lain yang tidak kalah problematis dan nyata adalah ketika kita hendak berbicara yang berkaitan dengan musik di tanah air, namun yang kita miliki justru dasar-dasar pengetahuan dan referensi kita tentang ‘ilmu’ musik, baik dari sudut pandang teoritik analitik, maupun sejarah, sebagian besar berasal dari predominasi pengetahuan Barat – yang/dan belum tentu pas dengan untuk diaplikasikan pada persoalan musik di Indonesia, baik secara pengalaman maupun dalam konteks kajian bangsa. (Hardjana, 2002). Perubahan maupun penyesuaian yang terjadi akibat pengaruh masuknya kekristenan pada masyarakat Batak Toba adalah bahwa masyarakat Batak Toba semakin tidak tahu tentang reportoar gondang yang berkaitan dengan ritual kepercayaan lama, terjadinya pergeseran fungsi tortor dengan iringan Gondang Sabangunan dari kepercayaan lama menjadi lebih sekular seperti penggunaan dalam konteks perayaan dan pesta pembangunan gereja. Akibat larangan dari pihak gereja tentang aktivitas musik gondang mengakibatkan berkurangnya kuantitas penyajian musik tradisi gondang dengan tortor yang mengakibatkan berkurangnya pengetahuan tentang musik gondang dan tortor khususnya bagi generasi muda Batak Toba. Dengan adanya brass band telah memperkenalkan genre musik baru yang telah mampu


(37)

menggeser fungsi maupun penggunaan musik gondang meskipun reportoar lagu yang dibawakan masih memiliki kedekatan yang cukup erat dengan karakteristik musik yang terdapat dalam musik tradisi gondang. Begitu pula dengan gerakan tortor yang pada saat ini sudah banyak menghilangkan unsur-unsur tradisi kepercayaan lama. Seiring dengan perubahan musik tradisi gondang (dari kepercayaan tradisi lama) menjadi jenis musik yang lebih bersifat sekular, demikian pula dengan gerakan tortor yang dilakukan tidak terlalu kaku lagi atau sudah lebih bebas meskipun masih tetap dalam konteks adat yang menganut sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, artinya aturan dalam manortor itu masih tetap dilaksanakan meskipun nilai kesakralannya sudah mulai hilang.

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam tesis nantinya, masalah yang akan dibahas adalah:

(1) bagaimana struktur tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba; (2) sejauh mana fungsi dan makna tortor dalam konteks kebudayaan masyarakat Batak Toba(pesta Horja).

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian


(38)

(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tortor dalam kehidupan sosial adat masyarakat Batak Toba.

(2) Untuk mengetahui dan memahami makna tortor.

(3) Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya dan makna tortor dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya,

(4) Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu yang dipergunakan dalam musik tortor.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam bentuk Tesis ini adalah sebagai berikut:

(1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tortor).

(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tortor dan musik dalam konteks horja.

(3) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan budaya daerah.

(4) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tortor.

(5) Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Sumatera Utara pada khususnya dan Indonesia secara umum.


(39)

1.3.3 Fokus Penelitian

Yang menjadi fokus dan tempat penelitian ialah Tortor dalam pesta Horja2

Acara pesta ini dimulai dari musyawarah keluarga dalam penentuan hari yang disebut dengan maniti ari, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan dana dari seluruh keturunan yang melaksanakan pesta ini.

dari keluarga marga Gultom di Desa Rahut Bosi, Kecamatan Pangaribuan adalah pesta Horja yang dilaksanakan sebagai penghormatan kepada leluhur mereka.

Kemudian mereka mencari pemain musik (pargondang) atau disebut juga pargonsi. Pihak penyelenggara pesta (hasuhuton) melakukan adat kepada pargonsi. Acara ini dilaksanakan selama 3 hari, dari tanggal 7 Juli 2011 sampai dengan 9 Juli 2011.

Di dalam acara ini terdapat acara pembukaan yang disebut mangido tuani gondang kemudian dilanjutkan dengan acara manortor oleh seluruh peserta yang hadir dalam pesta Horja tersebut.

1.4 Studi Kepustakaan

Sebelum penulis mengadakan studi lapangan, terlebih dahulu penulis mengadakan studi kepustakaan antara lain: Skripsi Irwansyah yang berjudul “Analisis Komparatif Bentuk (Penggarapan) dan Teknik Permainan dari sebuah Gondang yang disajikan oleh Tujuh Partaganing”, Skripsi S1 Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, menyatakan salah satu aspek kehidupan tradisi seni masyarakat Batak Toba berkisar pada tradisi margondang,

2

Adat feasts are divided into two categories: horja and pesta bius. In general, a horja is


(40)

yaitu suatu aktifitas masyarakat yang melibatkan tradisi musikal dan aturan-aturan adat di dalam suatu pelaksanaan upacara. Menganalisa hubungan peristiwa musik gondang, memberi makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia, atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung. (Irwansyah, 1990:12), yang disajikan dalam upacara masyarakat Batak dengan kegiatan musikal dalam upacara adat Batak Toba masa sekarang ini, merupakan penelitian cross-disipliner antara musikologi dengan antroplogi kebudayaan/etnologi yang mencermati perubahan struktur, gaya dalam penyajian musiknya.

Mengacu pada pendapat Dibia, tortor merupakan sebuah tari komunal (segala aktivitas tari yang melibatkan instrumen atau struktur sosial kemasyarakatan, baik atas dasar kepentingan bersama dalam komunitas maupun kepentingan individual (dalam buku Tari Komunal oleh I Wayan Dibia, FX. Widaryanto, Endo Suanda, 2006:53).

Dimensi waktu juga telah mengundang seni karawitan ikut serta mengiringi seni tari, dengan peran yang sangat menentukan. Di samping menunjang seni geraknya dalam seni tari dengan menentukan ritme dan tempo yang mewujudkan suasana yang sesuai dengan apa yang ditarikan (Djelantik, 1990:23).

Sumaryono dan Endo Suanda dalam buku Tari Tontonan (2005) mengatakan tradisi mengalami proses keberlangsungan dan perubahan-perubahan di dalam dirinya. Perubahan itu merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan,


(41)

mengingat perubahan adalah hal yang alamiah dan niscaya terjadi di berbagai sisi kehidupan dan kebudayaan manusia. Perubahan yang terjadi dalam kebudayaan pada awalnya berlangsung dalam pertemuan panjang lewat persilangan kebudayaan masa lalu dan berlangsung berabad-abad. Hal inilah yang kemudian melahirkan tradisi-tradisi yang menjadi latar budaya yang berkembang di setiap daerah (Sumaryono dan Suanda, 2005:132).

Hutasoit menulis dalam buku Ende Dohot Uning-uningan yang menjelaskan tentang musik tradisional Batak Toba dan dalam bukunya yang berjudul Gondang Dohot Tortor Batak yang membahas tentang makna-makna gerak dan aturan-aturan gerak dalam tortor.

Batara Sangti dalam bukunya yang berjudul Sejarah Batak juga banyak menjelaskan tentang musik tradisional Batak Toba (Gondang) dan tortor.

1.5 Landasan Teori

Dalam rangka penelitian ini, teori yang peneliti pergunakan adalah sebagai berikut: Untuk mengkaji konteks penulis mengacu pada tulisan Merriam dengan mengacu pada pendapat (1) musik di dalam konteks kebudayaan (Hood, 1969:298) dan (2) musik dalam kebudayaan (Mariam, 1977:202). Dari dua pendapat di atas bahwa penelitian ini berkaitan dengan perilaku musik, pertunjukan musik dan pengalaman terhadap musik serta mempelajari sekaligus menganalisis keberadaan musik tersebut dalam masyarakat pendukungnya.

Sehubungan dengan aktifitas gerak tari (tortor) Anthony V. Shay mengatakan dalam artikelnya yang berjudul “The Function of Dance in Human


(42)

Society” (1971) ada enam fungsi tari yaitu: (1) sebagai refleksi organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi untuk ritual, sekuler dan keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai refleksi ungkapan estetis, (5) sebagai ungkapan serta pengendoran psikologis, (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi (terjemahan R. M. Soedarsono).

Untuk mengkaji perkembangan tortor dengan iringan gondang sabangunan penulis mengacu pada teori Webster yang menyatakan: dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi disebut akulturasi (acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu kelompok masyarakat. (Webster’s, 1994:9) walaupun beberapa di antaranya kebudayaan itu terserap sedikit dan sebagian justru berusaha menolaknya.

Keadaan problematik dan nyata ketika pengaruh yang secara sistematis itu berkaitan dengan pemakaian musik di masyarakat Batak Toba, namun yang kita miliki justru dasar-dasar pengetahuan dan referensi kita tentang ‘ilmu’ musik, baik predominasi pengetahuan Barat yang belum dapat diaplikasikan pada persoalan musik di daerah pendukung kebudayaan itu, baik secara pengalaman maupun dalam konteks kajian budaya. (Hardjana, 2002)

Tortor merupakan pertunjukan untuk dinikmati penonton. J. Maquet dalam Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Soedarsono, 1999:56-57) mengemukakan seni yang diciptakan oleh masyarakat bagi kepentingan mereka sendiri disebut sebagai art by destination, sedangkan seni yang dikemas buat masyarakat asing (wisatawan) disebut sebagai art by metamorphosis atau art of acculturation, atau pseudo traditional arts, atau tourist arts.


(43)

Menurut Lorimer, et.al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institus-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan dengan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an. Broinslaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang antroplogi, dengan memusatkan perhatian pada masyarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsional dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer, et.al. 1991:112-113).

Selain itu dalam seni tradisi dipergunakan pula teori evolusi. Pada dasarnya, teori evolusi menyatakan bahwa unsur kebudayaan berkembang sejalan


(44)

dengan perkembangan ruang dan waktu, dari yang berbentuk sederhana menjadi lebih kompleks.

Kesenian sebagai proses kreatif seniman dalam olahan renungan intuisi, kepekaan seni dan nurani kesenimanan ketika berhadapan dengan problematika masyarakat, persoalan hidup ataupun gugatan rasa religiositas serta kejujuran untuk senantiasa setia pada nurani, barang tentu akan berkreasi mengolah inspirasi-inspirasi ini ke bentuk-bentuk pengucapan seni entah itu puisi, drama, lukisan, film atau tari dan sebagainya (Sutrisno, Verhaak, 1993:157).

Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang, sinar, warna dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut “koreografi” (Djelantik, 1990:23)

Fungsi utama tarian komunal pada umumnya untuk keperluan ritus spiritual, sosial, dan kultural dari masyarakat setempat. Tarian komunal merupakan ekspresi komunal, yakni perwujudan rasa kebersamaan (Dibia, Widaryanto Suanda, 2006:52).

Secara terminologis (Burhan, 2007), semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.


(45)

Tanda dan makna memiliki konsep dasar dari semua model makna dan di mana secara lugas memiliki kemiripan. Di mana masing-masing memerhatikan tiga unsur yang selalu ada dalam setiap kajian tentang makna. Ketiga unsur itu adalah (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda.

1.6 Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik penyajian dalam bentuk tulisan adalah deskriptif analitik. Dengan menggunakan metode ini hasil penelitian akan dideskripsikan dan dianalisis, dengan fokus utama pada bidang budaya dan sosialnya.

Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disciplines. In sociology the work of the “Chicago school” in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, … charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. …

Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disciplines, fieldsm and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1994:1).

Sedangkan Nelson menyatakannya sebagai berikut.

Qualitative research is an interdisciplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of


(46)

the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4).

Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kelompok manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin, baik itu dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam. Para penelitinya mempercayakan kepada perspektif naturalistik, serta menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etis posisi politik.

Namun demikian, penelitian ini juga melibatkan data-data yang bersifat kuantitatif, dengan melihat kepada pernyataan Nasution bahwa setiap penelitian (kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan. Untuk itu diperlukan desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data, (e) cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya menggunakan statistik, (g) cara mengambil kesimpulan, dan sebagainya. (Nasution, 1982:29). Karena penelitian yang penulis lakukan bersifat kualitatif, maka fokusnya adalah kepada para seniman tortor (komponis dan pemain) etnis Batak Toba di Sumatera Utara.


(47)

Edi Sedyawati juga mengungkapkan perlunya tahapan-tahapan dalam meneliti seni tari, seperti berikut:

Penelitian seni tari juga dapat kita bagi ke dalam tiga macam atau tahap, yakni (1) pengumpulan; (2) penggolongan; dan (3) penganalisaan dan penulisan. Khusus untuk seni tari, ada satu lagi yang dapat kita sebut sebagai tahap nomor empat, yaitu pengolahan atau pemanggungan. (Sedyawati, 1984:116)

1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data

Untuk mengumpulkan data, dilakukan penelitian lapangan. Penelitian lapangan yang dimaksud di sini adalah kegiatan yang penulis lakukan yang berkaitan dengan pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari observasi, wawancara, dan perekaman.

1.7.1 Observasi

Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung: yaitu melihat langsung pertunjukan tortor. Untuk menjaring data-data yang diperlukan penulis melakukan studi lapangan dengan cara observasi. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan metode lain. Berdasarkan jenisnya, maka observasi yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan partisipasi pengamat sebagai partisipan (insider) yaitu sebagai anggota masyarakat Batak Toba. Keuntungan cara ini adalah peneliti telah merupakan bagian yang integral dari situasi yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi situasi itu dalam kewajarannya.


(48)

1.7.2 Wawancara

Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui observasi tersebut (seperti konsep etnosainsnya tentang estetika dan teknis musikalnya), penulis melakukan wawancara. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu.

Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut: Berdasarkan fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik, (c) penelitian. Berdasarkan jumlah respondennya: (a) individual, (b) kelompok. Berdasarkan lamanya wawancara: (a) singkat, (b) panjang. Berdasarkan pewawancara dan responden: (a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non direktif atau client centered; (b) tertutup, berstruktur.3

Dalam melakukan penelitian ini, berdasarkan fungsinya penulis memakai jenis wawancara penelitian. Berdasarkan jumlah responden adalah wawancara individual dan kelompok. Berdasarkan lamanya adalah wawancara panjang. Berdasarkan peranan peneliti dan nara sumber adalah wawancara terbuka, tak berstruktur, bebas, dan non-direktif. Pada saat wawancara ini penulis melakukan catatan-catatan yang berkaitan dengan penjaringan data, serta merekamnya secara auditif dan audiovisual.

1.7.3 Perekaman

Untuk mendokumentasikan data yang berkaitan dengan struktur umum tari dan musik tortor etnis Batak, maka penulis melakukan perekaman. Perekaman


(49)

musik dan wawancara dilakukan dengan menggunakan tape recorder merk Sony TCM 70, yang diproduksi oleh PT. Sony Amc Graha Jakarta, dengan menggunakan kaset feroksida BASF dengan ukuran waktu 60 menit (C-60). Untuk dokumentasi audiovisual, dipergunakan Handycam Sony.

1.7.4 Kerja Laboratorium

Pada tahapan kerja laboratorium, seluruh hasil kerja yang telah diperoleh dari studi kepustakaan dan dari penelitian lapangan diolah, diseleksi, disaring untuk dijadikan sebagai data dalam penelitian ini. Data mana yang dapat dipergunakan untuk mendukung topik penelitian, data mana yang tak dapat dipergunakan dilakukan dalam kerja laboratorium.

Tortor dan gondang sabangunan (musik) yang dijadikan sampel, dan yang telah direkam di atas pita kaset BASF dan CD handycam, selanjutnya ditranskripsikan dan dianalisis di laboratorium. Kemudian karena pendekatan etnomusikologi untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur musik etnis memakai pendekatan-pendekatan yang ada pada musikologi barat, maka penulis juga mengikuti langkah itu, namun dengan menyertakan konsep-konsep etnosainsnya. Semua ini penulis lakukan di dalam laboratorium (etnomusikologi). Laboratorium di sini berarti khas etnomusikologi, sepert peralatannya: tape rekorder, video, metronome maelzel (MM), peralatan fotografi, peralatan gambar, dan sejenisnya.


(50)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA BATAK TOBA

2.1 Geografi Batak Toba

Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak, meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae, dan Habinsaran. Wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 meter di atas permukaan laut (Siahaan, t.t.)

Dilihat dari segi persebaran penduduk, masyarakat Batak Toba telah tersebar di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, bahkan juga di daerah lain di Nusantara serta mancanegara, jumlah yang pasti masyarakat Batak Toba juga tidak dapat dipastikan, tetapi jumlah masyarakat Batak Toba yang terdapat di Sumatera Utara lebih kurang 2.948.264 jiwa, jadi kira-kira 30% dari jumlah penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 10.250.027 jiwa, berdasarkan sensus penduduk 2001.4

Jumlah masyarakat Batak Toba yang berada di luar wilayah yang disebut Tanah Batak lebih besar lagi, dibanding tanah asal ini. Dengan berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Batak Toba ada suatu kebiasaan untuk merantau (meninggalkan tanah asal). Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, atau pendidikan.

4


(51)

Persebaran masyarakat Batak Tobadi Provinsi Sumatera Utara, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara (Sumber: BPS Sumatera Utara 2001)

No. KABUPATEN/KOTA JUMLAH PENDUDUK

1 Nias 2.423

2 Mandailing Natal 10.880

3 Tapsel 195.309

4 Taput 178.828

5 Tapteng 393.480

6 Tobasa 294.149

7 Labuhan Batu 255.030

8 Asahan 208.261

9 Simalungun 265.984

10 Dairi 195.314

11 Karo 31.433

12 Deli Serdang 259.978

13 Langkat 40.668

14 Sibolga 54.695

15 Tanjung Balai 56.219

16 Pematang Siantar 114.807

17 Tebing Tinggi 18.131

18 Medan 335.758

19 Binjai 15.917

Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. (Siahaan, 1982:48)


(52)

2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba

Dalam mengaji asal-usul masyarakat Batak Toba, dapat ditinjau dari berbagai hal (disebabkan minimnya data-data yang tertulis). Dalam mengaji tentang asal-usul masyarakat Batak Tobadapat dilihat dari tiga hal, yaitu: (1) Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang berkembang di masyarakat, yang dalam penulisan ini disebut mitologi tentang lahirnya suku Batak.

2.2.1 Pengertian Batak

Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck, Batak berarti “penunggang kuda yang lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk batak berarti ‘kafir’, dan ada juga yang mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’ (Lumbantobing, 1996:1).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan arti dari pembatak adalah perampok/penyamun.

Keterangan tersebut di atas tidak memastikan yang mana arti Batak yang sesungguhnya. Jelasnya apabila orang mendengar kata Batak, tanggapannya adalah suatu etnis yang berdiam/berasal dari Sumatera Utara.


(53)

2.2.2 Sejarah Batak

Catatan sejarah mengenai asal-usul suku bangsa Batak tidak banyak ditemukan, sehingga sulit memperkirakan kapan sebenarnya suku bangsa Batak mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Beberapa catatan sejarah yang umumnya telah dikutip berbagai penulis, yang dapat membuat suatu prediksi tentang asal-usul masyarakat Batak akan dikemukakan sebagai berikut.

Sehubungan dengan asal-usul suku bangsa Batak, Brahma Putro mengemukakan bahwa pada zaman batu terjadi perpindahan bangsa dari Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian mereka-mereka ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang. Berdasarkan pendapat dari Brahma Putro tersebut maka suku bangsa Batak adalah berasal dari bangsa-bangsa Hindia Belakang (Putro, 1978:20).

Tentang waktu perpindahan ini Brahma Putro juga mengutip berbagai pendapat, di antaranya pendapat G. Gerrad, V. H. Geldern, Kern, Mhd. Yamin, sebagai berikut:

Menurut G. Gerrad,

perpindahan itu terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Proto Malay (Melayu Tua), dan gelombang kedua terjadi kira-kira 1000 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Deutro Malay (Melayu Muda).


(54)

V.H. Geldern mengatakan,

Perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi. Dr. Kern menyebutkan,

Perpindahan ras Proto Malay terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Deutro Malay, terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Mhd. Yamin, sependapat dengan teori Prof. Dr. Kern, yang menyebutkan bahwa perindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikutip oleh Brahma Putro di atas, maka dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak telah lama mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak adalah termasuk ras Proto Melayu (Melayu Tua), karena desakan dari ras Deutro Melayu maka melakukan migrasi ke daerah pedalaman Sumatera Utara, sehingga suku bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman, sedang wilayah pesisir pantai didiami oleh suku bangsa Melayu yang kemungkinan besar adalah ras Deutro Malay.

Namun seorang putra Batak Toba yang pernah menjadi pendeta di berbagai gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang tertarik juga mendalami sejarah, Andar M. Lumbantobing mengutip pendapat yang mengemukakan sebagai berikut.

Menurut beberapa prasasti peninggalan zaman Adityawarman abad ke-14, sekelompok murid dan pengikut aliran Mahayani telah memasuki daerah pedalaman Sumatera Utara dan mereka menetap di sana, di tengah-tengah daerah pegunungan. Oleh sebab itu, di daerah pedalaman ini terdapat pengaruh agama Mahayana, yang murid-muridnya, oleh dunia ilmu pengetahuan masa kini, diakui


(55)

sebagai nenek moyang suku Batak yang kini mendiami daerah itu. (Lumbantobing, 1996:1)

Berbagai pendapat yang berbeda dilihat berdasarkan tarombo (silsilah tertulis) orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penabalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif lebih banyak. (Schreiner, 2002: 64)

Melihat pendapat di atas maka suku bangsa Batak sebenarnya masih tergolong baru mendiami wilayah Sumatera Utara apabila dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Masehi. Hal ini apabila diurut dari tarombo Batak tersebut, yaitu Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907).

Mendukung pendapat yang berhubungan dengan Si Raja Batak ini, dari kalangan yang sudah mulai meninggalkan mitos, membuat suatu rekayasa sejarah dengan menggabungkan mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada golongan ini mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya data dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan


(56)

menghuni Sianjurmulamula, lebih kurang 8 km arah barat Pangunguran, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba (Sinaga, 1997:13).

Sejarawan Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang terdesak akibat serangan Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan batu tertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Nilakantisasi (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1024 Kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, dan Padang Lawas.

Dilihat dari catatan sejarah bahwa sekitar tahun 1.400 Kerajaan Nagur (Nakur) berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh. Dengan memperhatikan tahun dan kejadian di atas diperkirakan bahwa Si Raja Batak adalah salah seorang yang sudah beberapa generasi berdiam di wilayah timur atau selatan atau barat Danau Toba, namun dia mempunyai kemampuan yang menonjol dalam berbagai hal sehingga mendapat simpati dari rakyat banyak, dan dapat dipastikan Si Raja Batak bukan langsung berasal dari Thailand atau India. Hal ini juga didukung pendapat yang mengatakan:

Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba


(57)

kepadanya. Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku Tarombo Bor-bor Marsada anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu: Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.

2.2.3 Mitologi Suku Batak Toba

Hampir semua suku bahkan marga memiliki kisah tentang asal-usulnya, begitu juga masyarakat Batak Toba, memiliki cerita yang berkembang di masyarakat tentang asal-usulnya. Namun sebagaimana sifat dari tradisi lisan, maka sering suatu cerita memiliki variasi di masyarakat, sehingga semakin lama dan semakin jauh terpisah dari sumber awalnya, semakin berbeda dengan cerita aslinya.

Berikut ini disampaikan salah satu ringkasan cerita tentang asal-usul masyarakat Batak yang dikutip dari tulisan Lumbantobing (1996).

Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam yang bernama Manuk Manuk Hullambujati berbadan besar, mempunyai paruh yang terbuat dari besi dan taji yang terbuat dari tembaga, telurnya sebesar periuk tanah. Manuk Manuk Hulambujati memiliki 3 butir telur. Setelah menetas dia memberi nama yang pertama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu Soripada, dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan, ketiganya adalah lelaki.

Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. Manuk Manuk Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik: Siboru Pareme untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki-laki diberi nama Tuan Sori Muhammad, dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak perempuan kembar bernama Si Boru Sorbajati dan Si Boru Deakparujar. Anak kedua Manuk Manuk Hulambujati, Tuan


(58)

anak laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan.

Si Boru Deakparujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula Mula di kaki Gunung Pusuk Buhit (Pulau Samosir). Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia (laki-laki) dan Boru Itam Manisia (perempuan).

Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tingga di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.

Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang Batak, dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di Kaki Gunung Pusuk Buhit Pulau Samosir.

Cerita di atas hanya merupakan salah satu dari mitologi tentang asal-usul masyarakat Batak Toba, meskipun banyak cerita dengan berbagai versi, tetapi perbedaannya tidak begitu jauh, dan semua cerita mengatakan bahwa Si Raja Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak.

2.3 Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara

Etnografi berasal dari istilah ethnic dan secara harafiah berarti suku bangsa dan graphein artinya menggambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi merupakan jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik.


(59)

Selain mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa, seorang ilmuwan antropologi tentu juga menghadapi soal perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalam kaitan ini, para ilmuwan antropologi, biasaya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup enam macam: (1) masyarakat pemburu dan peramu, atau hunting and gathering societies; (2) masyarakat peternak atau pastoral societies; (3) masyarakat peladang atau societies of shifting cultivators; (4) masyarakat nelayan, atau fishing communities, (5) masyarakat petani pedesaan, atau peasant communities; dan (6) masyarakat perkotaan yang kompleks, atau complex urban societies.

Pembatasan deskripsi tentang sebuah kebudayaan suku bangsa dalam satu karya etnografi, memerlukan metode dalam menentukan asas-asas pembatasan. Selain itu, dibicarakan bagaimana unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur-unsur sejenis dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain. Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan lain. Perlu membuat suatu konsep yang mencakup persamaan unsur-unsur kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep “daerah kebudayaan” atau culture area.

Sebuah “daerah kebudayaan” atau culture area merupakan penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna. Namun


(60)

mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Satu sistem penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang mengelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau benua besar, ke dalam golongan-golongan berdasarkan atas beberapa persamaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam rangka penelitian analisis atau penelitian komparatif terhadap suku-suku bangsa di daerah atau benua tertentu.

Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari seorang pelopor ilmu antropologi Amerika, Frans Boas. Namun demikian, para pengarang tentang kebudayaan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika abad ke-19 telah mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan daerah-daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang. Walaupun benih-benih untuk sistem klasifikasi culture area itu sudah lama ada pada para pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas, bernama Clark Wissler (Koentjaraningrat, 1980: 127-128), seorang ahli museum, adalah yang membat konsep itu populer, terutama karena bukungan The American Indian (1920). Dalam karya ini Wissler membicarakan berbagai kebudayaan suku bangsa Indian Amerika Utara dalam sembilan buah culture area.

Suatu daerah kebudayaan terbentuk berdasarkan atas persamaan dengan sejumlah ciri mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan yang membentuknya. Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik saja, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transpor,


(1)

No Pukul Materi Kegiatan

Petugas/Pelaksana/

Peserta Tempat Keterangan 43.Rajai Tampubolon

sian Binjai, Pomparan Ni Op. …. suhut ni si Erwin Gultom 9

13.30-14.30

Manortor hula-hula nami:

44.Rajai Marbun sian Dolok Sanggul Pomparan Ni Op. …. suhut ni Ama Ardiano (Andi Gultom)

45.Rajai Dongoran sian Rahutbosi

Pomparan Ni Op. Hotma Dongoran suhut ni Ama Aderai (Beresman Gultom)

Alaman jabu hundulan

Suhut ni Pahompu ni Nahinorjahon

46.Rajai Pasaribu sian Garoga Pomparan Ni Op. Nurli suhut ni Ama Sannawati (Leo Gultom) 47.Rajai Simanjuntak

sian Sigotom, Pomparan Ni Op. Dondris, suhut ni Ama Rippun (Folmer Gultom) 48.Rajai Sitorus sian

Kisaran Pomparan Ni Op. …. suhut ni si: Bahari Gultom 49.Rajai Aritonang

sian Dumai, suhut ni Ama Alvin (Pdt. Radot Gultom)


(2)

No Pukul Materi Kegiatan

Petugas/Pelaksana/ Peserta

Tempat Keterangan

50.Rajai Sinaga sian Parapat Pomparan Ni Op. Audrey suhut ni Ama Kevin (Saut Gultom)

51.Rajai Sihombing sian Siborong-borong Pomparan Ni Op. Nunut suhut ni Ama Ipen (Hikmar Gultom) 52.Rajai Siahaan sian Kota

Pinang, Pomparan Ni Op. …. suhut ni si: Octa Pantas Gultom 10

14.30-15.30

Manortor hula-hula nami:

53.Rajai Pasaribu sian …. Pomparan ni …. suhut ni: Ama Inggrid Gultom (Donny Gultom)

54.Rajai Sirait sian Porsea, Pomparan ni …. Suhut ni si: Benni Gultom 55.Rajai Tambunan sian

Sigotom, Pomparan Ni Op. Joy suhut ni Ama Andra (Mangisi Gultom)

Alaman jabu hundulan

Suhut ni Anak Mangulahi (Nini) ni Nahinorjahon

56.Rajai malau sian Tebing Tinggi,

Pomparan Ni …. Suhut ni Ama Rizky (Darwin Gultom)

57.Rajai Manullang sian Dolok Sanggul, Pomparan Ni Op. Herlon, suhut ni Ama Hansen (Rasman Gultom)

58.Rajai …. sian …. Pomparan ni …., suhut ni si: Crismas Gultom


(3)

No Pukul Materi Kegiatan

Petugas/Pelaksana/

Peserta Tempat Keterangan 59.Rajai Manurung

sian tanah jawa, Pomparan Ni Op. Suryani, suhut ni Ama Sariayu (Pengihutan Gultom)

60.Rajai Siregar sian Aek Kanopan, Pomparan Ni Op. Hotlan, suhut ni Ama Hezkiel (Rintar Gultom) 61.Rajai Nainggolan

sian Pansurnatolu, Pomparan Ni Op. Bunga, suhut ni Ama Cinta (Binter Gultom)

62.Punguanni Pomparan Oppu Honi Gultom 63.Punguanni

Pomparan Oppu Tarianus Gultom 64.Punguanni

Pomparan Oppu Rani Gultom 65.Punguanni

Pomparan Oppu Soaduon Gultom 11

15.30-16.30

Tor-tor Hasuhuton

SUDE HASUHUTON Alaman jabu hundulan

Sude Asa renta 12

16.30-17.30

Makan

Umum/Bersama

Sude Hasuhuton dohot Boru, Hula-hula, Ale-ale, dohot na niontang

Alaman jabu hundulan

Selesai mangan ditutup dohot tanggiang


(4)

No Pukul Materi Kegiatan

Petugas/Pelaksana/

Peserta Tempat Keterangan 13

17.30-selesai

Manaringoti - - Sude panitia

kumpul di jabu hundulan dohot namtua


(5)

ARI PATOLUHON

SABTU TANGGAL: 09 JULI 2011

No Pukul Materi Kegiatan

Petugas/Pelaksana/

Peserta Tempat Keterangan 1

07.00-08.00

Sarapan Sude hasuhuton, boru, hula-hula, pargonsi

Alaman jabu hundulan

-

2 08.00-08.30

Tor-tor hasuhuton (Mambuat Tua ni Godang)

Sude hasuhuton bolon Alaman jabu hundulan

Sude jala renta

3 08.30-09.30

Manortor hahanggi suhut paidua

1. Pomparan Ni Op. Honni

2. Pomparan Ni Op. Tarianus

3. Pomparan Ni Op. Rani

4. Pomparan Ni Op. Soaduon

Alaman jabu hundulan

-

4 09.30-10.30

1.

Manorto r Panamboli/ Sijalo soit 2. Hula-hula nasa narojolo

1. Pomparan Ni Op. Humala

2. Pomparan Ni Op. Ambe

3. Pomparan Ni Op. Pandaman

4. Pomparan Ni Op. Ria

Alaman jabu hundulan

-

5 10.30-11.30

Manortor Boru ni suhut

paidua/bere, ibebere

Cukup jelas Alaman

jabu hundulan

-

6 11.30-12.30

Manortor ale-ale dohot huria nadi Rahutbosi

Cukup jelas Alaman

jabu hundulan

-

7 12.30-13.30

Manortor Muspia dohot Dinas Jabatan Kecamatan Pangaribuan

Cukup jelas Alaman

jabu hundulan


(6)

No Pukul Materi Kegiatan

Petugas/Pelaksana/

Peserta Tempat Keterangan 8

13.30-14.30

Manortor Boru ni Hasuhuton Bolon, Bere dohot Ibebere

• Boru napinaborhat ni Op. Uluan dohot;

• Boru napinaborhat ni anakna, dohot; • Boru napinaborhat

ni Pahompuna, dohot • Bere/ibebere Alaman jabu hundulan -

9 14.30-15.00

Manortor Partuaek/ Naposo Bulung

Cukup jelas Alaman

jabu hundulan

-

10 15.00-16.30

Manortor Hahanggi Harajaon

• Hahanggi na di Rahutbosi • Harajaon sian

pomparan ni Raja sila

Alaman jabu hundulan

-

11 15.30-16.30

Manortor: Bona ni Ari nami

• Pasaribu sian Garoga • Panjaitan sian

Botung/Lbn Sormin Alaman jabu hundulan Ditutup Bona ni Ari

12 16.30-17.30

Manortor suhut (Panakkok Tuan i Godang

Sude hasuhuton asa renta Alaman jabu hundulan Diadopi Bona ni ari

13 17.30-18.00

Di tutup Huria - - GKPI/HKBP

Rahutbosi 14

18.00-18.30

Marsipanganon huhut pasahat parjambaran

Cukup jelas Alaman

jabu hundulan

-

15 18.30-18.45

Selesai ulaon - Alaman

jabu hundulan

Ditutup dohot ende dohot tangiang 16

18.45-selesai

Panokkok hula-hula (Pamuli tondong/Hula-hula)

- Alaman

jabu hundulan

Dijabu

Nb. Molo adong nahurang lobi di Acara on, lumobima diangka goar-goar, marga dohot huta, masimaafan ma hita, mauliate.