Mitos Perkawinan Sumbang Dalam Cerita Rakyat Batak Toba: Analisis Struktur, Makna Dan Fungsi

Lampiran I:
Beberapa istilah dalam bahasa Batak yang digunakan dan artinya
1.

Amang

: Ayah, juga panggilan untuk pria yang sudah menikah

2.

Amang uda

: Adil laki-laki ayah

3.

Babiat

: Harimau

4.


Begu

: Hantu

5.

Boru

: Anak perempuan

6.

Bulu

: Bambu

7.

Datu


: Orang pandai

8.

Dalihan natolu : Tiga tungku, sistim kekerabatan Batak Toba

9.

Gabe

: Punya keturunan putra dan putri

10.

Gondang

: Gendang

11.


Hau

: Pohon

12.

Hula-hula

: Pihak pemberi istri atau saudara istri

13.

Huta

: Kampung

14.

Iboto


: Saudara laki-lai atau saudara perempuan

15.

Ibebere

: Putra putri saudara perempuan seorang laki-laki

Universitas Sumatera Utara

16.

Ilik

: Kadal

17.

Inang


: Ibu

18.

Manuk

: Ayam

19.

Manulangi

: Memberi makan

20.

Mapultak

: Pecah


21.

Maranak

: Mempunyai anak laki-laki

22.

Marboru

: Mempunyai anak perempuan

23.

Marporhas

: Kembar sepasang perempuan laki-laki

24.


Maneat horbo : Memotong kerbau

25.

Mangadati

26.

Manopoti sala : Meminta maaf

27.

Nagogo

: Yang sangat kuat, julukan untuk harimau

28.

Napuran


: Sirih

29.

Ompung

: Kakek atau nenek,harimau juga disebut ompung

30.

Ompunta

: Nenek Moyang

31.

Pariban

: Putra saudara perempuan ayah atau putri saudara laki-laki ibu


32.

Panoroni

: Ibu pengganti (Ibu tiri)

: Melaksanakan pesta adat sepasang suami istri

Universitas Sumatera Utara

33.

Parsili

: Buang sial

34.

Porhas


: Petir

35.

Punjung

: Terpencil

36.

Sabutuha

: Lahir dari perut seorang ibu yang sama (satu marga)

37.

Sahala

: Kemuliaan


38.

Sihahaan

: Anak paling tua

39.

Sipiu-piu

: Nama pohon, saling mengikat

40.

Sumangot

: Roh

41.

Tondi

: Roh laki-laki

42.

Tulang

: Saudara ibu

43.

Ulos

: Selendang

44.

Umpama

: Pantun

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 2:
TRANSKRIP WAWANCARA

I. Wawancara dengan Bonai Hutagaol dan Rusmina Hutagaol, tanggal 19 Agustus
2013
Wawancara yang pertama ini dilakukan dengan pasangan yang terlibat
hubungan sumbang yakni pasangan bermarga Hutagaol: Bonai hutagaol dan Rusmina
Hutagaol. Wawancara dilakukan di tempat tinggal pasangan ini di Huta Lumban
Silintong, Balige. Pasangan ini sudah mempunyai tiga anak. Wawancara dilakukan
pada tanggal 2012 pada pagi hari setelah seminggu sebelumnya sudah melakukan
pendekatan dan menentukan pertemuan.
Wawancara sebenarnya dilakukan dalam bahasa Batak untuk membangun
hubugan yang lebih dekat untuk membangun keterbukaan . Wawancara dilakukan
oleh peneliti sendiri. Setelah memberitahu maksud dan tujuan wawancara pasangan ini
tidak merasa keberatan sama sekali untuk menjawab pertanyaan peneliti sekitar latar
belakan perkawinan mereka dan pengalaman mereka sampai pada hari dilakukannya
wawancara.
Penulis

: Bagaimana bapak dan ibu sampai bisa bertemu.

Bonai Hutagaol

: Kami bertemu ketika kami sama-sama bekerja pada

bidang

hiburan yakni menjadi penyanyi pada pesta perkawinan dan
acara-acara lain seperti yang terdapat pada masa masa
sekarang. Pertemuan kami biasa-biasa saja tidak ada hal-hal

Universitas Sumatera Utara

yang istimewa. Dari semula kami sudah saling mengetahui
identitasas masing-masing yakni bahwa kami sebenarnya
mempunyai marga yang sama yakni marga Hutagaol. Kami
menyadari sejak semula bahwa kami mariboto. Lama
kelaman timbul perasaan yang lain dalam dirikami. Kami tak
tahu, mungkin hal ini akibat keadaan dimana kami selalu
bersama.
Rusmina

: Kami berusaha melawan perasaan kami tapi kami tak mampu
sehingga hubungan kami sudah terlalu jauh dan kami
bermakasud kawin lari. Orang tua berusaha memisahkan kami
dengan meminta pertolongan polisi. Kami sempat manopoti
sala (meminta maaf keseluruh jemaat gereja karena menikah
tanpa direstui gereja, karena itu dikeluarkan dari gereja)
karena perkawinan kami tidak diakui Gereja karena tidak
melibatkan Gereja dan kami dikeluarkan dari Gereja.
Perkawinan kami menjadi menciptakan kehebohan

karena

kemudian Kepala desa ikut menolak perkawinan kami dan
berusaha memisahkan kami. Mereka, yakni kepala desa dan
keluarga serta saudara berpendapat bahwa saya diguna-gunai
suami saya karena tidak masuk diakal mereka bahwa saya
mampu melakukan perkawinan ini. Selama setahunkan kami .
merasakan penderitaan karena semua pihak masih tetap
berusaha memisahkan kami sehingga kami melarikan diri ke

Universitas Sumatera Utara

Pakanbaru. (Selanjutnya wawancara ini didominasi Ibu
Rusmina yang sesekali di sela suaminya yakni Bapak Bonai)
Penulis

: Kenapa kemudian kalian kembali ke Balige ini?

Rusmina Hutagaol

: Kami memutuskan kembali karena oang tua saya sakit keras.
Kami memutuskan untuk manopoti sala (meminta maaf)
kepada orang tua. Pada waktu itu kami sudah mempunyai anak.
Karena perkawinan kami belum diadati (dirayakan secara adat)
kami bermaksud melaksakan pangadaiton (memestakan secara
adat). Maksud kami ini tidak bisa langsung terlaksana karena
raja-raja adat belum menerima perkawinan kami. Orang tua
kemudian

mengambil

solusi

dengan

para

raja

yakni

mengundang raja-raja adat untuk membicarakan persoalan
kami. Kemudian diputuskan untuk maneat horbo yakni bahwa
kami harus mempersembahkan seekor kerbau untuk dipotong
untuk

minta maaf kepada seluruh raja adat, keluarga dan

masyarakat. Saya juga harus merobah marga saya menjadi boru
Pohan. Acara minta maaf ini akhirnya dilaksanakan. Kami
minta maaf kepada seluruh keluarga masyarakat dan raja-raja
adat dan saya berganti marga menjadi boru Pohan Hal ini
sangat menguras tenaga dan pikiran kami, disamping keadaan
orangtua yang

menjadi sakit-sakitan karena tidak tahan

menghadapi cemohan masyarakat, terutama ayah saya.

Universitas Sumatera Utara

Penulis

: Setelah minta maaf dengan mempersembahkan seekor kerbau
untuk meminta maaf kepada semua pihak apakah persoalan
sudah selesai bukan?

Rusmi

: Tidak juga. Hal ini menjadi beban

kami selamanya.

Masyarakat, terutama masyrakat bermarga Hutagaol tetap juga
tidak menerima perkawinan kami dan tetap mencemoh keluarga
sehingga orang tua saya semakin parah penyakitnya. Kami
ahkirnya memutusan untuk berpisah. Pada waktu itu kami
sudah mempunyai dua anak. Kami memang betul-betul
berpisah. Namun hal ini tidak bisa berlangsung terus karena
anak-anak kami. Anak-anak merindukan ayak mereka sehingga
kemudian kami memutuskan untuk berkumpul kembali dan
pindah ke tempat ini.
Penulis

: Perkawinan kalian sudah lama, masyarakat mungkin sudah
lupa dan sudah dapat menerima kalian ?

Rusmina

: Itu dia. Kami sudah minta maaf, saya sudah merubah marga
saya tetapi masyarakat umum kenyataannya belum bisa
menerima perkawinan kami. Demikian juga halnya orang tua
kami. Mertua saya kemudian meninggal dan di acara
penguburan mertua saya, saya tidak diperhitungkan artinya
saya dianggap tidak ada. Hal ini yang menjadi persoalan.
Karena saya tidak diperhitungkan, orang tua sayapun tidak
diperhitungkan dalam adat sebagai hula-hula dari mertua

Universitas Sumatera Utara

saya.Orang tua saya bertambah menderita karena kemudian
dia dikeluarkan dari adat artinya orang tua saya tidak
diperkenankan

mengikuti

upacara-upacara

adat

yang

dilaksanakan masyarakat bermarga Hutagaol.
Penulis

: Hal apa yang paling berat ibu hadapi sehubungan dengan
perkawinan anda.

Rusmina Hutagaol

: Hal yang paling berat adalah kenyatan yang terjadi pada
orang tua saya. Mereka sampai sakit-sakitan dan bahkan
keluarga saya saompu (satu kakek) tidak mengikutkan mereka
lagi dalam adat sampai mereka kemudian meninggal.
Kenyataan ini yang membuat saya terus merasa bersalah dan
tidak bisa memaafkan diri saya.

Penulis

: Apakah kalian masih mendapat perlakuan buruk dari
keluarga dan masyarakat?

Rusmina

: Saya sedikit- sedikit sudah dapat bergaul seperti biasa.
Namun saya menyadari bahwa didepan saya orang banyak
tidak lagi mengatakan apa-apa, tapi begitu saya berbalik saya
tahu bahwa mereka masih mempergunjingkan saya. Sehingga
saya memutuskan untuk menjauhkan diri dari orang banyak
bahkan dari masyarakat dikampung ini. Kalau dengan
keluarga saya memang tidak diundang lagi kalau ada acaraacara pesta dalam keluarga dari pihak saya. Kalaupun ada
yang mengundang saya saya memutuskan untuk tidak pergi

Universitas Sumatera Utara

karena saya sudah tahu bahwa sebenarnya mereka tidak
menghendaki kehadiran saya dan disana nanti saya pasti
dikucilkan
Penulis

: Bagaimana dengan bapak Bonai apakah bapak mengalami
seperti pengalaman ibu?

Bonai

: Saya tidak terlalu banyak mengalami penolakan juga dari
keluarga saya dan masyarakat umum. Sepertinya mereka
sudah dapat menerima saya. Hal yang sulit adalah ketika di
acara-acara adat dan pertemuan lain saya merasa sedikit
kesulitan

ketika

ada

yang

bertanya

boru

apa

pardijabu(maksudnya istri). Dan orang menjadi sedikit
bingung ketika saya memjawab boru Pohan. Jawaban ini terus
membuat mereka bertanya lebih jauh dan saya harus
menceritakan hal yang sebenarnya. Kalau masyarakat umum
terutama

para

bapak-bapak

tidak

pernah

lagi

mempersoalkannya. Mungkin beda dengan ibu-ibu yang sulit
menerima hal ini sehingga istri saya lebih menderita dan tidak
pernah

lagi

menghadiri

acara-acara

adat

bahkan

pesta-pesta.
Penulis

: Bagaimana ibu menghadapi semua konflik ini?

Universitas Sumatera Utara

Rusmina

: Saya sudah memutuskan untuk menjauhkan diri. Saya merasa bebas
ketika saya jauh dari orang-orang. Dengan menjauhkan diri saya
merasa bebas dari ejekan dan cemohan. Dengan menjauhkan diri saya
berusaha melndungi diri saya. Biarpun demikian penderitaan itu tidak
hilang-hilang bahkan semakin menyakitkan karena saya tetap merasa
bahwa sayalah yang membuat kedua orang tua saya meninggal sayalah
yang membuat mereka dicemoh dan diejek dan dikucilkan sehingga
mereka sakit kemudian meninggal. Sayalah yang membunuh orangtua
saya. Kenyataan ini yang paling berat saya tangungung. Saya bisa lari
dari cemohon orang tapi tidak bisa lari dari rasa bersalah saya.
Persoalan yang saya hadapi lebih banyak adalah persoalan dalam diri
saya, penyesalan yang tidak habis-habisnya. Hal in yang membuat saya
menderita dan memutuskan untuk menjauh dari orang. Hal ini yang
paling berat saya tanggung entah sampai kapan. Semoga sayalah
perempuan yang terakhir mengalami seperti apa yang saya alami.

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 3:
Wawancara II : Dengan Bapak Nelson Pardede, tanggal 20 Agustus 2013
Wawancara ini dilakukan dengan nara sumber yakni Bapak Nelson Pardede
yang berdiam di pasar Sipoholon sudah menikah dan memiliki lima putra putri. Ketika
wawancara dilakukan istri dan anak-anaknya ikut mendampingi demikian juga seorang
pura dari tulangnya yang nomor dua.
Wawancara dilakukan dalam bahasa Batak dan dalam transkrip ini
diterljemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bapak Nelson Pardede mempunyai orang
tua yang melakukan sumbang atau dengan kata lain dia adalah hasil perkawinan
sumbang antara Bapak Kalpinus Pardede yang meninggal tahun 1984 dan ibu Sarma
Pardede yang meninggal tahun 2007. Wawancara meliputi peristiwa perkawinan
sumbang antara Kalpinus Pardede dan Sarma Pardede yang diingat Bapak Nelson
berdasarkan penuturan ibunya.
Penulis

: Sejauh mana bapak ketahui mengenai peristiwa

perkawinan

orang tua bapak?
Nelson

: Kami mengetahui dari penuturan ibu kami yang sering
mencertakan kepada kami, ketika kami bertanya. Menurut ibu
kami, ibu dan ayah kami dahulu tinggal di Sitapongan dewasa
bersama dan mereka saling mencintai. Ibu kami mengalami
banyak penderitaan ketika ahirnya orangtuanya mengetahui
bahwa ibu mencintai ayah kami. Orang tua kami berusaha
menutuskan hubungan mereka dengan berbagai cara. Ibu saya

Universitas Sumatera Utara

pernah dikurung bersama sama harimau, tetapi harimau itu tidak
memangsa ibu kami. Hal ini diceritakan ibu kami sambil
menangis. Hal yang lain yang dilakukan orang tua ibu kami
adalah mencoba membunuh ibu kami dengan membenamkam
kesungai tetapi ibu kami selamat.
Penulis

: Apakah kedua orangtua bapak tidak mengetahui bahwa
perkawinan mereka terlarang karena mereka mempunyai marga
yang sama?

Nelson

: Menurut ibu kami mereka tahu bahwa mereka mariboto tetapi
mereka sudah saling mencintai dan sangat berat untuk berpisah.

Penulis

: Bagaimana akhirnya sehinga perkawinan ibu bapak dapat
berlangsung?

Nelson

: Banyak

rintangan yang dihadapi kedua orang tua kami. Ibu

kami selalu menceritakan hal ini sambil menangis. Akhirnya
mereka melarikan diri pada tahun 1961 dari Sitapongan. Namun
orang tua kami gabe dan setelah punya anak kembali

ke

Sitapongan. Kedua orang tua kami, setelah ada mufakat adat oleh
raja-raja

Sonakmalela

(kesatuan

marga

Simangunsong,

Marpaung, Napitupulu dan Pardede) di Sitapongan, disuruh
minta maaf kepada masyrakat terutama masyarakat Sonakmalela
dengan memotong seekor kerbau. Acara adat ini berlangsung
dengan baik. Menurut ibu kami ditengah berlangsungnya acara
seekor harimau datang ke acara tersebut tetapi tidak mengganggu

Universitas Sumatera Utara

para pengunjung. Harimau itu datang begitu saja kemudian
pergi.
Penulis

: Apakah setelah acara pemotongan kerbau persolan selesai?

Nelson

: Menurut ibu kami masyarakat dapat menerima perkawinan
mereka apalagi setelah ibu kami mengganti marganya menjadi
Pohan dan kemudian pindah ke sini ke Sipoholon. Ketika kami
bertambah besarpun kami tidak mengalami banyak persoalan.
Ibu saya gabe dan melahirkan kami delapan bersaudara dan
semua gabe punya anak laki-laki dan perempuan. Hal yang
selalu membuat ibu saya sedih adalah sikap dari tulang saya
yang paling besar yang tetap tidak mengakui perkawinan
orangtua saya. Mereka tidak akur. Bahkan tulang menganggap
dia tidak ada sampai

ibu

saya meninggal.

Hal ini yang

membuat ibu selalu menangis dan membuat dia tidak bahagai
karena perlakuan tulang saya selalu mengingat kan dia rintangan
dan penderitaannya ketika dia berjuang untuk bisa menikah
dengan ayah saya. Sehingga kalau dia menceritakan hal tersebut
kepada kami dia selalu menangis. Sayang ayah saya cepat
meninggal pada tahun 1984 dan meninggalkan ibu kami
menghadapi persoalan sampai dia meninggal pada tahun 2007.
Penulis

: Menurut Bapak kan masyarakat sudah menerima perkawinan
tersebut demikian juga keluarga dari orangtua bapak dari kedua
belah pihak. Persoalan apalagi yang muncul?

Universitas Sumatera Utara

Nelson

:

Persoalannya sangat berat. Kami anak-anak orang tua kami

mula-mula tidak terlalu memikirkan apa yang menjadi sumber
penderitaan ibu kami. Tetapi ketika kami sudah tumbuh dewasa
dan satu-satu mulai berkeluarga baru persoalan muncul. Tulang
kami yang paling besar tetap tidak mau menghadiri dan
mencampuri adat perkawinan kami.
Penulis

: Bagaimana persoalan itu muncul dalam perkawinan Bapak
sendiri?

Nelson

: Yah perkawinan sayalah ahirnya yang menunjukkan betapa
besar persoalan yang diakibatkan perkawinan kedua orang tua
kami. Perkawinan sayalah yang membukakan mata saya betapa
menderitanya orang tua saya. Setelah perkawinan saya lah saya
mengerti bahwa persoalan perkawinan semarga ini bukan hanya
membuat

hanya

pelakunya

yang

menderita,

turunannya

mengalami dampak yang sangat besar.
Penulis

: Boleh bapak lebih jelas menerangkan persoalan yang harus

bapak hadapi ketika menikah dengan ibu?
Nelson :

Setelah saya bertambah dewasa saya merantau ke Tanjung Balai.

Sampai saya merantau saya tidak mengenal tulang saya. Beberapa dari kami merantau
ke Tanjung Balai. Disana saya bertemu dengan istri saya ini boru Sianturi. Karena saya
mau menikah ibu saya menyuruh saya untuk menemui tulang saya. Begitulah adat
batak, kalau seorang laki-laki mau menikah dia

harus menemui tulangnya untuk

permisi bahwa dia akan menikahi boru orang lain, bukan boru tulangnya. Begitulah,

Universitas Sumatera Utara

karena saya mematuhi ibu saya dan memang saya ingin mengenal tulang saya, saya
berangkat ke kampung tulang saya. Tetapi apa yang saya temukan? Tulang saya
mengusir saya dan mengatakan bahwa dia tidak mengenal saya. Dia mengatakan bahwa
dia tidak mempunyai adik yang bernama Sarma Pardede dan dia tidak mempunyai
kemenakan.Dia juga mengatakan bahwa dia tidak mengenal saya. Saya bukan siapasiapa. Saya adalah anak yang mapultak sian bulu. Ibu saya masih sempat menyaksikan
hal ini namun dia tidak berusaha lagi untuk menemui tulang saya. Karena dari semula
dia memang sudah tidak mempunyai hubungan dengan tulang saya sejak
parbogasonna (perkawinan) dengan ayah saya, biarpun orangtua saya sudah
melakukan upacara minta maaf.

Penulis :

Apakah semua tulang dari bapak bersikap demikian?

Nelson :

Sebenarnya tidak. Tulang saya dua. Tetapi begitulah. Anak paling besar

mempunyai posisi yang penting seperti halnya tulang saya tersebut. Kami kawin lari
dan kemudian diadatkan. Tulang saya nomor dua datang dan selalu menghibur saya.
Memang bisa saya mengerti apa yang dirasakan tulang saya . Dia anak pertama dan
mempunyai posisi penting. Dia juga pengetua adat. Bagaiman dia bisa memangil saya
berenya sedangkan dia bermarga pardede dan saya pardede. Dia sebagai raja adat harus
teguh memberikan contoh mengenai adat. Tetap dari masa mudanyapun dia sangat
menentang perkawinan ibu saya dan dia yang paling gigih untuk mencegah perkawinan
ibu saya dengan menyakiti ibu saya dengan berbagai cara. Tetapi kan ibu say sudah
melakukan acara minta maaf?

Universitas Sumatera Utara

Penulis :

Apakah hubungan bapak tidak dapat lagi diperbaiki misalnya dengan

bantuan pihak lain misalnya tulang bapak nomor dua?
Nelson :

Saya rasa tidak mungkin lagi. Kami sama sekali tidak mempunyai

hubungan lagi sama sekali dan tulang saya nomor dua jadi ikut dia musuhi.
Penulis : Apakah yang bisa bapak petik dari pengalaman ini
Nelson : Adat Batak ini memang sangat kuat mempengaruhi kehidupan orang Batak.
Sehingga biarpun masyarakat pada ahirnya bisa menerima kawin sumbang karena
semarga setelah melaksanakan adat, bukan berarti tidak ada persoalan dan konflik yang
harus dihadapi orang yang melakukan perkawinan sepertiini yang harus di
keturunannya juga. Saya tidak menghadapi konflik dengan masyarakat terutama di
Sipoholon ini. Mereka tahu kisah orang tua saya tapi mereka dapat menerima, saya
mungkin karena masyrakat disini tidak melihat peristiwa yang terjadi di Sitapongan.
Tetapi mereka tahu tetapi mereka dapat menerima saya demikian juga masyrakat sonak
malela. Tetapi itu dia, penderitaan yang dialami ibu saya mempengaruhi kani secara
kejiwaan karena semasa hidupnya dia sering menangis. Hal itu juga mempengaruhi
kehidupan kami ditambah sikap tulang kami. Tetap juga ada persoalan, dan mungkin
lebih berat bagi kami anak-anak ibu kami biarpun kami semua gabe tidak seperti yang
diramalkan dulu di masa ibu saya. Yah tetap juga kami menderita apalagi kalau kami
mengingat ibu kami.

Universitas Sumatera Utara

Wawancara III : Dengan Bapak Cronimus Edward Huta gaol atau Ompu
Tongam Hutagaol, tanggal 21 Agustus 2013
Bapak Cronimus seorang pengetua adat yang berumur 80 tahun ketika
wawancara dilakukan. Dia seorang raja adat dan bertempat tinggal di Hutagaol Balige.
Penulis : Bagaiman pendapat Bapak tentang perkawinan semarga yang terjadi terutama
perkawinan bapak Bonai Hutagaol dan Rumina Hutagaol.
Edward

:

Yah, saya terlibat dulu dalam hal tersebut karena memang

mereka bertempat tinggal dosini di Hutagaol ini. Sangat berat dulu kami
menyelesaikanhal tersebut setelah kami berusaha keras untuk menghalanginya sampai
akhirnya dilakukan upacara meneat horbo untuk meminta maaf kepada seluruh
masyarakat terutama masyarakat Hutagaol. Saya secara pribadi tetap tidak bisa
meberima perkawinan sepert itu. Tetapi

saya melihat ada perubahan di kalangan

masyarakat yang masih muda. Dengan mudah mereka dapat menerima acara
tersebut,demikian juga penggantian marga sebagai sebagai salah satu penyelesaian
tetapi tidak semudah itu apalagi karena kita memiliki Dalihan Natolu. Sehingga saya
secara pribadi tidak setuju dengan adanya perkawinan semarga pada masa sekarang
seperti yang kita lihat, marga siahaan dengan boru siahaan dapat berlangsung hanya
dengan syarat berbeda kampung asalnya sehinga Siahaan dari Hinalang boleh menikah
dengan Siahaan dari Aek Bolon misalnya atau perkawinan antara pasangan yang
bermarga Tambunan. Saya tetap pada pendirian saya karena perkawinan akan
mengganggu Dalihan Natolu. Tetapi orang-orang muda sudah dapat menerima apa
yang bisa saya lakukan?

Universitas Sumatera Utara

Penulis :

Apakah boleh dikatakan uacara minta maaf dengan maneat horbo dan

penggantian marga sudah dapat diterima hampir masyarakat secara umum?
Edward

:

Tidak juga. Baru-baru ini, tahun 2009, masyarakat bermarga

Siahan melakukan acara dan dalam adat tersebut yakni martonggo (berikrar) tersebut
ditetapkan kembali bahwa laki-laki bermarga Siahaan tidak bisa menikahi perempuan
bermarga Siahaan dan kalau terjadi akan dikeluarkan dari adat. Demikian juga hal
nyaperkawinan Hutagaol dengan ibotonya lain ibu yang terjadi di Sigumpar, mereka
diusir dan sampai sekarang tidak diketahui dimana berada (dari sinilah informasi
pertama diperoleh penulis mengenai sumbang antara pasangan abang adik yang
bermarga Hutagaol yang terjadi di Sigumpar. Setelah penulis berusaha mengetahui
lebih jauh tidak diperoleh lagi imformasi dimana pasangan ini berada karena mereka
sudah di usir dan tidak ada lagi keluarga kontak dengan mereka).Menurut saya
hukumam bagi pelaku sumbang harus seperti itu, harus dihukum karena sudah merusak
adat. Saya tidak pernah setuju dengan perkawinan semarga apaun alasannya tidak bisa
diterima saya teguh dengan pendirian saya mengenai hal ini. Tetapi saya tidak bisa
berbuat apa-apa. Orang muda sekarang sudah merasa lebih pintar. Mungkin itu salah
satu pengaruh dari zaman modern sekarang seperti kalian bilang. Perkawinan semarga
seharusnya tidak boleh terjadi.

Universitas Sumatera Utara

Wawancara IV : Hampung Param Pardede, tanggal 22 Agustus 2013
Hampung Param adalah seorang penetua adat di Balige berumur 81 tahun.
Untuk wawancara ini penulis meminta bantuan saudara penulis sendiri untuk dapat
memperoleh imformasi ayng sebih tegas dan jujur. Hal ini dilakukan penulis mengingat
nara sumber ini seorang raja adat dan mengingat penulis seorang perempuan yang
mungkin menjadi suatu hambatan untk memperoleh jawaban yang lebih jujur.
Pewancara

:Kami menemukan perkawinan sumbang di Sipoholon yang melibatkan

marga pardede dan boru pardede dan bisa diselesaikan dengan membuat upacara adat
marsomba raja(menyembah raja) minta maaf dan

juga dengan mengganti marga.

Bagaimana menurut amang ?
Hampung Param
mendengar hal

: (Dengan sangat emosional). Tidak. Saya tidak pernah
tersebut. Hal seperti ini tidak boleh terjadi dalam masyarakat Sonak

Malela. Tidak boleh diselesaikan dengan hanya memotong kerbau dan mengganti
marga.Yang melakukan harus di hukum
Pewancara

:

Tetapi sudah terjadi dan mereka gabe. Kami sudah bertemu

dengan anaknya?
Hampung Param

:

Dimana itu. Saya tidak pernah mendengarnya. Itu tidak

boleh Terjadi .Harus dipaduru dan diusir. Masyarakat Sonakmalela disana sudah
melakukan kesalahan besar menerima somba-somba (persembahan)seperti itu. Hal itu
mesti

ditolak dan yang bersangkutan harus diusir seperti marga Hutagaol yang

mengambil adiknya sebagai istri seperti yang terjadi di Sigumpar. Mereka diusir dan
sampai sekarang tidak diketahui dimana mereka berada.

Universitas Sumatera Utara

Pewancara

:

Jadi bagaiman pendapat Amang dengan adanya perkawinan

semarga yang sekarang ini bertambah banyak Hutagaol dengan Hutagaol atau Siahaan
dengan Siahaan bahkan tambunan dengan tambunan cukup dengan mengganti marga
perempuan dan yang bermarga siahan dan hutagaol cukup menambah nama kampung
pada marganya?
Hampung Param

:

Itu tetap tidak bisa . Kita harus mengikuti adat yang

sudah dibuat sijolojolo tubu nenek moyang kita seperti Dalihan Natolu. Kalau ini
diteruskan akan merusak dalihan natolu. Masyrakat Siahaan pun sudah menguatkannya
dalam acara adat baru-baru ini yang melarang setiap marga siahaan darimana pun dia
untuk melakukan perkawinan dengan boru siahaan yang lain. Itu sudah diputuskan
dalam tonggo raja Tidak peduli marga siahaaan dari manapun dia, pokoknya tidak
bisa. Ikrar raja-raja sudah dikukuhkan tahun 2009 yang menyatakan perkawinan
demikian tidak diperbolehkan. Dengan marah dia mengatakan :
Siahaan, Simanjuntak Hutagaol
Na rintik Siahaan, ibotona dipahaol-haol
Siahaan, Simanjuntak Hutagaol
Gila Siahaan, adeknya dipeluk-peluk

Pewancara

:

Jadi bagaimana dengan yang bermarga Hutagaol yang di

Lumban Silintong?

Universitas Sumatera Utara

Hampung Param

: Ya diselesaikan dengan maneat horbo tapi sampai sekarang

kan dia dipaduru dari adat demikian juga kedua orangtuanya yang kemudian meninggal
Pewancara

:

Jadi bagaimana dengan yang bermarga Pardede tadi, mereka

gabe.
Hampung Param

:

Itu

sangat

disesalkan.

Kami

tidak

pernah

mendengar.Masyarakat Sonakmalela disana sudah melakukan kesalahan besar.
Sebenarnya itu tidak boleh terjadi. Kau pikirkanlah bagaiman yang seharusnya dulu
jadinya, amongna (ayahnya) menjadi tulangnya atau yang seharusnya anaknya menjadi
ibeberenya . Hal ini sudah merusak Dalihan Natolu. Ini tidak boleh terjadi.

Universitas Sumatera Utara