Gambaran Intensitas Nyeri Pada Pasien Karsinoma Nasofaring (KNF) di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Nyeri
2.1.1. Defenisi Nyeri
Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan
sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
baik dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang
dapat menjelaskan dan mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya (Alimul,
2009).
Internasional Association for Study of Pain (IASP), mendefenisikan
nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut
yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter &
Perry, 2005).
Menurut Brunner & Suddarth (2002), nyeri merupakan pengalaman
sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial.
Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat
individual. Secara sederhana nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang
tidak menyenangkan


baik secara sensori

maupun emosional

yang

berhubungan dengan adanya suatu kerusakan jaringan atau faktor lain,
sehingga individu merasa tidak nyaman (Asmadi, 2008).

6
Universitas Sumatera Utara

7

2.1.2. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri merupakan suatu organ tubuh yang berfungsi dalam
penerimaan rangsangan nyeri. Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung saraf
sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak meliliki myelin yang
tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visare, persendihan, dinding
arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat dapat memberikan

respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulus tersebut dapat
berupa zat kimia seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan macammacam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat
kekurangan oksigenasi. Stimulus yang lain dapat berupa termal, listrik, atau
mekanis. Selanjutnya, stimulus yang diterima oleh reseptor tersebut
ditransmisikan berupa impuls-implus nyeri ke sumsum tulang belakang
(Alimul, 2009).
2.1.3

Teori Nyeri
2.1.3.1. Teori Pemisahan (Specivicity Thory)
Teori Spesivitas ini diperkenalkan oleh Descartes, teori ini
menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari resepror-reseptor nyeri yang
spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu kepusat nyeri diotak
(Andarmoyo, 2013). Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke
medulla spinalis (spinal cord) melalui kornu dorsalis yang bersinaps
di daerah posaterior, kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di
garis median ke sisi lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tampat

Universitas Sumatera Utara


8

rangsangan nyeri tersebut diteruskan (Alimul, 2009). Teori spesivitas
ini tidak menunjukkan karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini
hanya melihat nyeri secara sederhana yakni paparan biologis tanpa
melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010).
2.1.3.2. Teori Pola (Pattern Theory)
Teori Pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989,
teori ini menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor
sensori yang dirangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini
merupakan akibat dari stimulasi resepror yang menghasilkan pola dari
implus saraf (Andarmoyo, 2013). Rangsangan nyeri masuk melalui
akar ganglion dorsalke medulla spinalis dan merangsang aktivitas sel
T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang kebagian
yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi menimbulkan
persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Peraepsi
di pengaruhi oleh modalitas respons dari reaksi sel T (Alimul, 2009).

2.1.3.3. Teori Pengontrol Nyeri (Theory Gate Control Theory)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965),

menyatakan bahwa implus nyeri dapat diatur dan dihambat oleh
mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat, dimana implus
nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan implus dihambat
saat sebuah pertahanan tertutup (Andarmoyo, 2013). Menurut Alimul
(2009), nyeri yang terjadi tergantung kerja serat saraf besar dan kecil

Universitas Sumatera Utara

9

yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada
serat saraf besar akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa
yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas
sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut
terhambat, rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks
serebri.

2.1.3.4. Endogenous Opiat Theory
Teori


ini

dikembangkan

oleh

Avron

Goldstein,

ia

mengemukakan bahwa terdapat substansi seperti opiet yang terjadi
selama alami didalam tubuh substansi ini disebut endorphine
(Andarmoyo, 2013). Adanya stimulus pada nociceptor melaui trasmisi
impuls-impuls saraf, sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif
oleh neorotransmiter yang spesifik (Alimul, 2009). Endorphine
mempengaruhi trasmisi implus yang diinterpretasikan sebagai nyeri.
Endorphine kemugkinan bertindak sebagai neurotrasmiter maupun
neoromodulator yang menghambat trasmisi dari pesan nyeri

(Andarmoyo, 2013).

Universitas Sumatera Utara

10

2.1.4 Klasifikasi Nyeri
2.1.4.1. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi
1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang, yang tidak melebihi 6 (enam) bulan dan di tandai adanya
pengingkatan tegangan otot (Alimul, 2009). Nyeri akut timbul secara
mendadak dan lenyap bila penyebabnya hilang. Nyeri akut di tandai
oleh aktivitas sistem saraf otonom berupa takikardia, hipertensi,
hiperhidrosis, midriasis, dan pucat dan terdapat perubahan pada wajah
seperti menyeringai, cemas, atau menangis (Aziz, F, dkk, 2006).
2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap
sepanjan suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan
intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan

(McCaffery, 1986 dalam Potter & Perry, 2005).

Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan,
biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari
6 (enam) bulan (Alimul, 2009).

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.4.2. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Asal
1.

Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat rangsangan pada
eferen serta saraf perifer. Nyeri ini terjadi akibat pengaruh
Prostaglandin E2 sehingga nosiseptor serat saraf perifer menjadi
lebih peka terhadap bahan mediator penyebab nyeri.

2.


Nyeri Neurogenik
Nyeri neurogenik adalah nyeri yang terjadi akibat kerusakan saraf
perifer. Kerusakan ini bisa terjadi akibat terpotongnya serat saraf
misalnya: interkostal akibat mastektomi atau torakotomi; Tekanan
kronis pada saraf-saraf perifer misalnya: invasi tumor yang
menekan pleksus brakhialis atau lumbosakralis.

3.

Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik terjadi akibat faktor non fisik atau lazim disebut
faktor kejiwaan. Faktor kejiwaan dapat mempengaruhi hebatnya
nyeri, terutama pada kanker yang stadium lanjut. Nyeri
psikogenik dapat timbul akibat, Merah (anger), Cemas (anxiety),
Depresi (Aziz, F, dkk, 2006).

2.1.4.3 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi
1.


Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh.
Contohnya pada kulit, mukosa.

Universitas Sumatera Utara

12

2.

Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang
lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.

3.

Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan kerena penyakit
organ atau struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian
tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.

4.


Central pain, yaitu nyeri yang terjadi kerena perangsangan pada
sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain
sebagainya (Asmadi, 2008).

2.1.5

Nyeri Kanker
Nyeri yang dihubungkan dengan penyakit kanker, dapat berarti nyeri

akut maupun kronik. Keluhan nyeri kanker merupakan keluhan yang paling
ditakutkan oleh penderita kanker (Desen, 2008).
Beberapa keadaan yang dapat dihubungkan dengan nyeri pada pasien
kanker yaitu:
1.

Nyeri yang langsung ditimbulkan oleh kanker misalnya infiltrasi kanker,
terkenanya sistem saraf dan organ dalam.

2.


Nyeri kanker juga dapat timbul akibat dari terapi dan pemeriksaan
penunjang kanker misalnya pembedahan, atau radiasi.

2.1.6

Intensitas Nyeri
2.1.6.1 Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat

Universitas Sumatera Utara

13

sabjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh
dua orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013).
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri
itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,
2007).
Beberapa skala intensitas nyeri:
1.

Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS)
merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
objekti. Pendeskripsian VD diranking dari “tidak nyeri” sampai
“nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala
tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru
yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien memilih sebuah
ketegori untuk mendeskripsika nyeri (Andarmoyo, 2013).

Skema 2.1. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana

Universitas Sumatera Utara

14

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,
Jogjakarta: Ar-Ruzz)
2.

Skala Intensitas Nyeri Numerik
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale, NRS) lebih
digunak sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal
ini, klien menila nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala
paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum
dan setelah intervensi (Andarmoyo, 2013).

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,
Jogjakarta: Ar-Ruzz)
Skema 2.2. Skala Intensitas Nyeri Numerik

3.

Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale
Skala analog visual (Visual Analog Scale) merupakan suatu garis
lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
memiliki ala pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya
(Andarmoyo, 2013).

Universitas Sumatera Utara

15

Skema 2.3. Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale
(Andarmoyo, S. (2013), Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,
Jogjakarta: Ar-Ruzz)

2.1.7 Manajemen Penatalaksanaan Nyeri
2.1.7.1. Manajemen Non Farmakologi
Manajemen nyeri non farmakologi merupakan tidakan
menurunkan respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakolgi.
Dalam melakukan intervensi keperawatan/kebidanan, manajemen
nonfarmakologi merupakan tindakan dalam mengatasi respon nyeri
klien (Aziz, F, 2006).
Mendengarkan bunyi-bunyian untuk menurunkan ketegangan,
relaksasi

dengan

menggunakan

imajiner

(imagenery-assisted

relakxation), kompres panas, pijatan di perineum, mandi siram hangat
atau mendengarkan musik santai serta cahaya yang tentram (Bobak,
2005).
2.1.7.2. Manajemen Farmakologi
Manajemen nyeri farmakologi merupakan metode yang
mengunakan obat-obatan dalam praktik penanganannya. Cara dan

Universitas Sumatera Utara

16

metode ini memerlukan instruksi dari medis. Ada beberapa strategi
menggunakan pendekatan farmakologis dengan manajemen nyeri
kanker dengan penggunaan analgesia maupun anastesi. Manajemen
nyeri kanker dengan penggunaan analgesia merupakan penggunaan
atau penghilangan sensasi nyeri, penghilangan sensasi nyeri ini tanpa
disertai dengan hilangnya perasaan total sehingga seseorang yang
mengkonsumsi analgesik tetap ada dalam keadaan sadar. Manajemen
nyeri kanker dengan pengunaan anastesia merupakan menghilangkan
sensasi normal yang di capai dengan memberikan obat-obatan anastesi
baik secara regional maupun umum (Aziz, F, 2006).
2.2. Karsinoma Nasofaring
2.2.1. Defenisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan
leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (Efiaty, 2010).
2.2.2. Histologi
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type.
Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi
menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area
(transition zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma
kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang
reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang
limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern.

Universitas Sumatera Utara

17

Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang
terdapat pada rongga hidung (Herza, 2010).

2.2.3. Epidemiologi
Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumya
menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90% yaitu:
1. Sifat endemis menonjol
Kanker nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika,
maupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/ 100.000. Namun
relative sering ditemukan di berbagai Negara Asia Tenggara dan China.
2. Kerentanan suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Insiden
kanker nasofaring menunjukkan perbedaan ras yang mencolok. Dari
ketiga ras besar di dunia, sebagian ras mongoloid merupakan
kelompok insiden tinggi kanker nasofaring, di antaranya mencakup
orang China di kawasan Selatan China dan di wilayah Asia Tenggara.
3. Fenomena aregasi familial
Keluarga tingkat I kanker nasofaring memiliki insiden kumulatif
kanker nasofaring yang jelas lebih tinggi daripada silsilah pasangannya,
sedangkan tumor tidak tampak perbedaan (Cyntia, 2012).

2.2.4. Etiologi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring disebabkan oleh virus Epstein-Barr, karena
pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup
tinggi. Titer ini lebih tinggi dari orang sehat, pasien tumor ganas leher dan

Universitas Sumatera Utara

18

kepala lainnya,tumor tubuh organ lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring
yang lain sekalipun.
Banyak penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan,
tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang
sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak
geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan
hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit.
Letak geografis sudah disebutkan diatas, demikian pula faktor rasial.
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum
dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor
genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain (Efiaty, 2010).
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,
asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu
masak tertentu, dan kebiasaan makan-makanan terlalu panas. Terdapat
hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan
mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan
keganasan lain tidak jelas.

2.2.5. Tanda Dan Gejala Karsinoma Nasofaring
2.2.5.1. Gejala Dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka
diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan
penting (Roezin & Anida, 2007). Gejala pada telinga dapat dijumpai
sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa

Universitas Sumatera Utara

19

dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.
Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah
sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan
lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga
telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama
makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga
dengan akibat gangguan pendengaran (National Cancer Institute,
2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor
biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi
pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya
berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan
ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung
yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga
hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadangkadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas
untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya
pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi
pada anak yang sedang menderita radang (Roezin & Anida, 2007).
2.2.5.2. Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah
samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri.

Universitas Sumatera Utara

20

Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai
pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih
jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan
oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya
menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini
merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe
leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter (Nurlita, 2009).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke
atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot
dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan ialah penglihatan ganda
(diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya
timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta
gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala
hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat
dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja
(unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke
dua sisi tubuh (Arima, 2006).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut
mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang
letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh.

Universitas Sumatera Utara

21

Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Arima,
2006).
2.2.6. Terapi
Radiologi masih merupakan pengobatan utama dan diletakkan pada
penggunaan mengavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan
tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin,
faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus
(Azwar, 2012).
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan,
sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan).
Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik saat ini adalah
kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.
Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil
sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian
pemberian kemoterapi paradiasi dengan epirubicin dan cis-patinum,
meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan
kesembuhan lebih baik.
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas
terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada
paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal
lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal

Universitas Sumatera Utara

22

ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping
pemberian kemoterapi (Azwar, 2012).
2.2.7. Gambaran Klinis
Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari
nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke
dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau
posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung atau
orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase
jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala
yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena. Sekitar separuh
pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik.
Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan
gejala yang paling sering dijumpai (Herza, 2010).
Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip
dengan infeksi saluran nafas atas. Gejala klinik pada stadium dini meliputi
gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada
mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di fossa rosenmuller di
dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap
nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor
biasanya rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul
keluhan pilek berulang dengan ingus yang bercampur darah. Kadang-kadang
dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba
eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa

Universitas Sumatera Utara

23

berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma
nasofaring. Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak
diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring.
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas
sehingga pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan
karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau
mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada
stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak karena
pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjar leher. Tumor
yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai
grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang
paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan keluhan
berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Penekanan
pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi
dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf
penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan
tekanan intracranial (Herza, 2010).
Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan
timbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian samping ( limfadenopati
servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi menembus
kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan

Universitas Sumatera Utara

24

sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang
dikeluhkan oleh pasien (Herza, 2010).
2.2.8. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi. Memindah
kan (migrasi) penduduk dari daerah dengan risiko tinggi ke tempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara
memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan
yang berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,
meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan
dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes
serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan
datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih
dini.

Universitas Sumatera Utara