Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan Dan Konsumsi Makanan Berpati (Ubi Kayu Dan Ubi Jalar) Di Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan fenomena yang cukup kompleks karena mencakup
banyak aspek sehingga setiap orang mencoba untuk menterjemahkan sesuai
dengan tujuan dan ketersediaan data. Definisi ketahanan pangan berubah dari
suatu periode ke periode berikutnya. Tahun 1970-an, ketahanan pangan menjadi
isu internasional karena adanya krisis pangan global. Awalnya ketahanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi ketersediaan pangan baik ditingkat internasional
maupun nasional yang terfokus ke pada padi-padian. Hal ini menyebabkan
kebijakan ketahanan pangan yang dikenal dengan Food Availibility Approach
(FFA). Jika persediaan pangan terpenuhi maka para pedagang dapat menyalurkan
pangan secara merata dan efisien sehingga harga pangan akan stabil dan dapat
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun yang terjadi adalah meski
persediaan pangan cukup namun sebagian masyarakat masih menderita kelaparan
karena tidak memilki akses terhadap pangan (Dirhamsyah dkk, 2016).
Ada tiga hal yang menunjukkan arti penting dan strategis pemantapan ketahanan
pangan. Pertama, pangan yang cukup dan bergizi merupakan komponen utama
dalam pembangunan manusia yang sehat, cerdas dan produktif. Kedua,
memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi merupakan hak asasi setiap
orang untuk bebas dari kelaparan. Ketiga, ketahanan pangan merupakan pilar bagi

ketahanan nasional, karena tanpa pangan yang cukup, tidak ada satu bangsa pun
dapat melaksanakan pembangunan politik, ekonomi, sosial, budaya hingga
keamanan negara dengan baik. Ringkasnya, ketahanan pangan merupakan basis
1

Universitas Sumatera Utara

2

bagi pengembangan sumber daya manusia berkualitas dan bagi pengembangan
ketahanan nasional suatu bangsa dan negara yang berdaulat (Suryana, 2013).
Dalam upaya menanggulangi kerawanan pangan pemerintah telah mencanangkan
Program Peningkatan Ketahanan Pangan (BKP), berdasarkan UU No. 7 tahun
1996 tentang Pangan. Kemudian pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden
No.68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, yaitu pengembangan diversifikasi
konsumsi pangan yang bertumpu pada keanekaragaman sumber daya pangan,
kelembagaan, dan budaya lokal. Untuk memenuhi sumber karbohidrat, Indonesia
semakin tergantung pada beras dan gandum (Richana, 2013).
Tak hanya menunjang ketahanan pangan, diversifikasi pangan dengan
memanfaatkan sumber daya hayati lokal juga dapat menunjang pemenuhan gizi

masyarakat karena sumber pangan menjadi lebih beragam. Tidak ada satupun
bahan makanan tunggal di dunia ini yang mengandung semua gizi yang
diperlukan tubuh secara ideal. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan gizi,
masyarakat seharusnya mengkonsumsi sumber karbohidrat lainnya selain beras.
Indonesia memiliki banyak jenis dan ragam umbi-umbian yang potensial sebagai
bahan pangan alternatif pengganti beras. Sayangnya potensi umbi-umbian tersebut
belum dikembangkan sebagaimana mestinya. Hanya singkong, ubi jalar, ganyong,
talas dan kentang yang saat ini sudah banyak dikembangkan itupun belum
maksimal (Wardhana, 2013).
Ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup, merata dan terjangkau
dan setiap orang mampu mengkonsumsi pangan yang aman dan bergizi sesuai
pilihannya guna melayani kehidupan sehat dan produktif. Salah satu kebijakan
ketahanan pangan adalah penganekaragaman konsumsi pangan. Indonesia sudah

Universitas Sumatera Utara

3

melakukan diversifikasi sejak 2010 lalu. Diharapkan ditahun yang akan datang
masyarakat bisa menganggap bahwa bahan pokok tak hanya nasi, diversifikasi

pangan bisa dilakukan karena Indonesia kaya akan bahan pokok selain beras
(Setiawan, 2015).
Realitas menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu bangsa Indonesia tidak pernah
lepas dengan kerawanan masalah pangan. Masalah utama pada ketersediaan
pangan nasional dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Pada
tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia menurut sensus yang dilakukan BPS
menunjukkan lebih dari 237 juta jiwa. Diperkira pada tahun 2020 angka tersebut
akan mencapai 274 juta jiwa. Jika pertambahan populasi dihitung secara linier
sebesar 1,6% per tahun, maka dibutuhkannya persediaan pangan yang cukup
besar. Kebutuhan pangan yang terbesar yang dimaksudkan disini adalah pangan
sumber karbohidrat, yaitu sekitar separuh lebih (>50%) dari kebutuhan energi per
orang per hari (Gardjito dkk, 2013).
Memang tidak ada orang yang bisa mengetahui persis berapa banyak pangan yang
dibutuhkan dunia di tahun-tahun mendatang, apalagi untuk suatu periode jangka
panjang. Oleh karena itu, orang hanya bisa memprediksi dan risiko kesalahan
prediksi selalu ada. Prediksi-prediksi yang dibuat bisa jauh lebih besar atau lebih
kecil daripada kenyataannya nanti. Namun, dengan meningkatnya pendidikan,
pengetahuan akan gizi, dan kesejahteraan masyarakat, ditambah dengan
pertumbuhan penduduk setiap tahun, konsumsi masyarakat Indonesia terhadap
produk-produk pangan tersebut sangat berpotensi meningkat (Tambunan, 2003).


Universitas Sumatera Utara

4

Perlu dipahami dan diketahui oleh bangsa Indonesia yang sedang menuju era
ekonomi perdagangan bebas adalah pasar komoditas pangan yang semakin
terbuka terhadap pengaruh pasar nasional. Persaingan diantara produk pangan
dalam negeri dengan komoditas pangan sejenis di pasar internasional tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu, perlu diciptakan upaya meningkatkan kapasitas
produksi melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berbasis
komoditas pertanian dan pangan dengan melakukan diversifikasi pangan,
mengoptimalkan pemanfaatan SDA nasional, efisiensi penerapan teknologi
spesifik lokasi, mengembangkan manajemen, dan prasarana ekonomi untuk
menghasilkan produk-produk pertanian dan pangan yang berdaya saing tinggi
(Herdiawan, 2012).
Sudah saatnya sekarang pemerintah meninjau kembali kebijakan pangan yang
selama ini ternyata tidak berfungsi baik. Melihat kondisi saat ini dan dengan
harapan yang lebih baik ke depan, pemerintah harus mempunyai dua kebijakan
yang saling mendukung, yakni kebijakan stabilisasi harga yang merupakan

kebijakan jangka pendek, dan kebijakan produksi yang merupakan kebijakan
jangka panjang (Tambunan, 2003).
Berbagai perubahan pada cara-cara produksi, distribusi, dan penjualan makanan
memunculkan banyak perdebatan. Namun, permasalahan etik berkaitan dengan
pangan telah jauh melebihi kekhawatiran akan kesejahteraan hidup, perusakan
lingkungan, dan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan pangan di
sejumlah belahan dunia. Saat makanan sampai di tangan konsumen, berbagai
persoalan etik menjadi hal yang sangat pribadi, yang akan mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

5

kesehatan dan gaya hidup. Kita perlu menentukan bagaimana dan apa yang akan
kita konsumsi (Kerr, 2009).
Pemerintah selalu mengupayakan peningkatan ubi kayu dan ubi jalar baik dari
kuantitas maupun kualitas di Sumatera Utara. Hingga saat ini masih terjadi
kesenjangan yang cukup besar antara ketersediaan dan konsumsi ubi kayu serta
ubi jalar. Ketersedian ubi kayu dan ubi jalar didapatkan dari data produksinya,
produksi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara sangat mampu memenuhi

kebutuhan konsumsinya. Seperti yang di tampilkan oleh tabel berikut ini:
Tabel 1.1. Ketersediaan dan Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera
Utara Tahun 2001-2015
Ketersediaan
Konsumsi
Ketersediaan
Konsumsi
*
**
*
Tahun
Ubi Kayu
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Ubi Jalar**
(Ton)
(Ton)
(Ton)
(Ton)
2001

507.519
90.966,97
118.183
34.347,07
2002
441.819
187.183,78
118.170
40.280,05
2003
411.995
187.868,30
135.660
40.427,36
2004
464.961
191.549.09
117.295
41.219,42
2005

509.796
239.137,55
115.728
23.420,69
2006
452.450
245.283,78
102.712
24.022,64
2007
438.573
141.178,08
117.641
20.534,99
2008
736.771
112.424,77
114.188
17.085,43
2009

1.007.284
99.192,96
140.140
10.462,27
2010
905.571
228.616,61
179.389
16.617,22
2011
1.091.711
82.552,65
191.103
13.103,59
2012
1.171.520
165.588,97
186.583
21.937,56
2013

1.518.221
143.924,11
116.671
23.987,35
2014
1.383.346
132.161,76
146.622
126.655,02
2015
1.619.495
202.098,05
122.362
34.347,07
*
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2016
**Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, 2016
Berdasarkan Tabel 1.1. dalam kurun waktu 15 tahun terakhir yakni 2001-2015
dapat dilihat bahwa ketersediaan ubi kayu tertinggi di Sumatera Utara terjadi pada
tahun 2015 yaitu sebanyak


1.619.495 ton sedangkan ketersediaan ubi jalar

tertinggi pada tahun 2011 yaitu sebanyak 191.103 ton dan ketersediaan terendah

Universitas Sumatera Utara

6

ubi kayu pada tahun 2003 yaitu sebanyak 411.996 ton sedangkan pada ubi jalar
ketersediaan terendah pada tahun 2006 sebanyak 102.712 ton. Namun pada
tingkat konsumsi

paling tinggi pada ubi kayu yaitu tahun 2006 sebanyak

245.283,78 ton dan konsumsi paling tinggi ubi jalar pada tahun 2014 sebanyak
126.655,02 ton sedangkan tingkat konsumsi ubi kayu paling rendah pada tahun
2011 sebanyak 82.552,65 ton dan konsumsi paling rendah ubi jalar pada tahun
yang sama yaitu 2011 sebanyak 13.103,59 ton.
Pada tingkatan ketersediaan dan konsumsi yang sangat berbeda pada
kenyataannya, sangat berpengaruh pada ketersediaan dan jumlah yang akan di
konsumsi oleh masyarakat. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan makanan berpati
yang menmjadi salah satu jenis umbi-umbian yang mengalami diversifikasi
pangan. Karena ketahanan pangan sangat diindikasikan oleh terpenuhinya pangan
bagi masyarakat secara kualitas, kuantitas, aman, merata, dan terjangkau.
Ketahanan

pangan

merupakan

suatu

sistem

maka

faktor-faktor

yang

mempengaruhinya perlu diketahui dan dikendalikan. Untuk itulah peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan dan konsumsi makanan berpati (ubi kayu dan ubi
jalar) di Sumatera Utara.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi ketersediaan ubi kayu dan ubi
jalar di Sumatera Utara?

Universitas Sumatera Utara

7

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi konsumsi ubi kayu dan ubi jalar
di Sumatera Utara?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan ubi
kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara.
2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi ubi
kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat berguna antara lain sebagai berikut:
1. Bagi penulis, menambah wawasan dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera
Utara.
2. Bagi akademis, sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang akan melakukan
penelitian yang sama.
3. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah dan lembaga terkait lainnya dalam
pengambilan keputusan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
ketersediaan dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara.
.

Universitas Sumatera Utara