Efektivitas Progressive Muscle Relaxation terhadap Kualitas Tidur Pasien Kanker Payudara

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Tidur adalah suatu keadaan atau kondisi istirahat tanpa sadar, tanpa kegiatan
yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dimana perlu adanya
ketenangan untuk merasakan kepuasaan setelah terbangun (Potter & Perry, 2010).
Kualitas tidur adalah suatu keadaan yang dapat dilihat dari kemampuan individu
dalam mempertahankan tidur dan mendapat kebutuhan tidur REM dan NREM
(Kozier,at.,al. 2011). Menurut Buysse et al., (1989) Kualitas tidur meliputi
penilaian kualitas tidur secara subjektif, latency tidur, lama waktu tidur, efisiensi
tidur, gangguan tidur, penggunaan obat - obatan dan disfungsi siang hari. Apabila
kebutuhan tidur tersebut cukup dan kualitas tidurnya baik, maka status kesehatan
meningkat, stamina dan energi terjaga serta dapat terpenuhinya dalam
mempertahankan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari (Potter & Perry, 2005).
Kualitas tidur dapat diketahui dengan melakukan pengkajian yang meliputi
data subjektif dan objektif (Craven & Hirnle, 2000). Data subjektif tidur yang baik
atau buruk dapat dievaluasi dengan persepsi penderita kanker payudara tentang
parameter tidurnya dan data objektif dapat dilihat dari pemeriksaan fisik dan

diagnostik (Tarwoto & Wartonah, 2003). Kesulitan tidur adalah masalah umum dan
signifikan

pada

seseorang

yang mengalami penyakit

kanker

payudara

(Hananta, 2014).
Kanker payudara merupakan salah satu dari jenis kanker dengan
prevalensi yang cukup tinggi dan dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya
1

Universitas Sumatera Utara


2

saja revalensi pada wanita jauh lebih tinggi (Anggraeni & Ekowati, 2010).
Menurut laporan World Cancer 2014 International Agency for Research on Cancer
(IARC) di WHO, pada 2012 ada sekitar 14 juta kasus baru kanker terjadi,
yang paling sering adalah 11,9 persen kanker payudara (Rezkisari, 2015).
Prevalensi kanker payudara hampir 50% dari kasus kanker payudara di negara
maju dan 58% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Tingkat
kelangsungan hidup pasien kanker payudara sangat bervariasi di seluruh dunia,
mulai dari 80% atau lebih di Amerika Utara, Swedia dan Jepang untuk sekitar
60% di negara-negara berpenghasilan menengah dan di bawah 40% di negaranegara berpenghasilan rendah. Tingkat kelangsungan hidup pasien kanker
payudara yang rendah di negara-negara berkembang dapat dijelaskan terutama
oleh kurangnya program deteksi dini, sehingga perempuan dengan penyakit
stadium akhir banyak ditemukan, serta diagnosis yang kurang tepat dan fasilitas
pengobatan yang tidak memadai (WHO, 2014).
Di Indonesia berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)
tahun 2015, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di
seluruh rumah sakit di Indonesia (17,64%), disusul kanker leher rahim (12,28%),
sedangkan pada tahun 2015 jumlah penderita kanker payudara pada perempuan
berdasarkan data dari Yayasan Kanker Indonesia ada sebanyak 4708 orang

(19,38%) dan 62 orang (0,31%) kanker payudara pada laki – laki (Yayasan
Kanker Indonesia, 2015). Prevalensi kanker payudara tertinggi terdapat pada
Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu sebesar 2,4‰, provinsi Jawa Timur (1,1‰) dan
Provinsi Jawa Tengah (1,2‰), sedangkan di Sumatera Utara estimasi jumlah yang

Universitas Sumatera Utara

3

menderita penyakit kanker payudara yaitu sebesar 0,4 ‰ (Data Riset Kesehatan
Dasar, 2013).
Berdasarkan penelitian Hananta, 2014 yaitu gangguan tidur pasien kanker
payudara di Rumah Sakit Dharmais Jakarta dengan hasil penelitiannya diketahui
bahwa nyeri pada pasien diketahui dapat menyebabkan gangguan tidur sebanyak
3,9 kali dibandingkan pasien yang tidak mengalami nyeri (p=0,017). Banyaknya
penderita kanker payudara merasakan beberapa tingkatan nyeri mulai dari ringan
sampai hebat, dari akut sampai kronik yang disebabkan oleh kanker itu sendiri atau
nyeri pasca pembedahan dimana pada penelitian terbaru lainnya melaporkan
kejadian 47 % (13% berat, 39 % sedang dan ringan 48 %) nyeri pasca mastektomi
2-3 tahun setelah operasi (Fine, Burton, & Passik, 2011), kemoterapi juga dapat

menyebabkan nyeri saat pemasangan intrevena dan nyeri pada abdomen saat
pemasangan intraperitonium atau nyeri akibat kemoterapi itu sendiri seperti
mukositis, sakit kepala (Casasola, 2010), terapi radiasi yang menyebabkan nyeri
yang dirasakan panas didaerah kulit yang terkena radiasi (Breast cancer
Organization, 2015) dan pengobatan terkait efek samping, seperti mukositis dan
neuropati perifer, juga dapat menyebabkan nyeri pada pasien kanker payudara
(Meyers, 2012).
Nyeri yang disebabkan oleh kanker itu sendiri biasanya disebabkan oleh 2
hal yaitu (1) tumor pada payudara, nyeri bukanlah tanda yang biasanya muncul
pada tahap awal kanker payudara, tetapi tumor dapat menyebabkan nyeri karena
tumor menekan jaringan terdekat. Pada wanita dengan peradangan kanker
payudara, nyeri merupakan salah satu tanda awal. Kanker payudara yang jarang

Universitas Sumatera Utara

4

terjadi disebut Paget’s, penyakit pada puting dapat menyebabkan nyeri dan rasa
terbakar sebagai tanda awal. (2) penyebaran kanker ke bagian tubuh lain. Nyeri
yang disebabkan oleh kanker itu sendiri biasanya terjadi pada penderita stadium

lanjut karena sel kanker telah menyebar ke bagian lain tubuh . Contohnya jika
kanker telah bermetastase ke tulang, maka akan menyebabkan nyeri pada
punggung, pinggul dan tulang lainnya. Kanker yang telah bermetastase ke otak
akan menyebabkan sakit kepala. Jika kanker telah menyebar ke kelenjar adrenal di
ginjal, penderita akan merasakan nyeri tumpul pada punggung pinggul dan tulang
lainnya. Kanker yang telah bermetastase ke otak akan menyebabkan sakit kepala.
Jika kanker telah menyebar ke kelenjar adrenal di ginjal, penderita akan
merasakan nyeri tumpul pada punggung. Jika menyebar ke hati, penderita akan
merasakan nyeri di bagian kanan atas abdomen (Breastcancer Organization,
2015). Nyeri atau ketidaknyamanan yang disebabkan oleh pengobatan kanker
payudara bisa terjadi pada setiap penderita tanpa memperhatikan stadium dari
kanker itu sendiri (Casasola, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Chakraburtty (2014), kecemasan pada pasien
kanker payudara dapat menyebabkan gangguan tidur meliputi kecemasan ketika
menjalani tes skrining kanker, menunggu hasil tes, menerima diagnosis kanker,
menjalani

pengobatan

kanker,


atau

mengantisipasi

kambuhnya

kanker.

Kecemasan juga dapat dialami pasien yang merasakan nyeri berat, mengalami
cacat, sedikit teman atau anggota keluarga yang peduli dengan mereka, kanker
yang tidak membaik setelah diberi perawatan/terapi, atau memiliki riwayat trauma
fisik atau emosional parah (Chakraburtty, 2014). Tingkat kecemasan pasien

Universitas Sumatera Utara

5

kanker dapat meningkat atau menurun di waktu-waktu tertentu (Chakraburtty,
2014). Pasien akan menjadi lebih cemas ketika kanker mulai menyebar atau

peningkatan derajat perawatan; dan akan menurun ketika pasien sudah belajar
banyak mengenai kanker yang dideritanya dan pengobatan yang mereka terima
(Chakraburtty, 2014).
Berdasarkan penelitian Meyers (2012), bahwa gangguan tidur pada pasien
kanker payudara tersebut berupa gangguan pada pemanjangan waktu laten tidur,
yaitu waktu yang dibutuhkan sampai akhirnya tertidur. Dampak dari kekurangan
tidur dapat dibagi menjadi dua yaitu tanda fisik (ekspresi wajah seperti area gelap
di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat
cekung, kantuk yang berlebihan dengan sering menguap, tidak mampu untuk
berkonsentrasi/kurang perhatian, terlihat tanda - tanda keletihan seperti penglihatan
kabur, mual dan pusing) dan tanda psikologis (menarik diri, apatis dan respons
menurun, merasa tidak enak badan, malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung,
timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan
memberikan pertimbangan atau keputusan menurun (Hidayat, 2006).
Terapi farmakologi telah banyak digunakan untuk mengobati gangguan
tidur, tetapi potensi efek samping membatasi intervensi jangka panjang (Cervellin
& Lippi, 2011). Salah satu alternatif selain dengan pengobatan melalui terapi
farmakologi untuk mengatasi gangguan tidur adalah dengan melakukan tindakan
latihan progressive muscle relaxation dimana progressive muscle ralaxation
adalah suatu terapi modalitas guna mendapatkan sensasi rileks dengan


Universitas Sumatera Utara

6

mengkontraksikan suatu kelompok otot dan menghentikan kontraksi menjadi
rileks (Mashudi, 2010).
Gerakan – gerakan otot pada latihan relaksasi progresif sebagai salah satu
relaksasi otot pada prinsipnya adalah merelaksasikan kelompok otot besar secara
bertahap, yaitu kelompok otot pergelangan tangan, otot lengan bawah, otot siku
dan lengan atas. otot bahu, otot kepala dan leher, otot punggung, otot dada, otot
perut, kelompok otot paha dan kaki. Sehingga relaksasi progresif yang diberikan
kepada klien dengan gangguan istirahat tidur mampu meningkatkan relaksasi otototot besar, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kenyamanan pada klien,
kebutuhan istirahat-tidur terpenuhi baik secara kualitas maupun secara kuantitas
(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Mekanisme kerja PMR untuk menurunkan nyeri yang menyebabkan
gangguan tidur pada pasien kanker payudara terletak pada fisiologi sistem saraf
otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan
homeostatis lingkungan internal individu (Smeltzer dan Bare, 2010). Pada saat
terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi,

akan merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan vasokostriksi yang
akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti
spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah
dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman
impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri
(Smeltzer

dan

Bare,

2010).

Dengan

gerakan

mengkontraksikan

dan


merileksasikan sekelompok otot maka tubuh secara fisiologi akan memproduksi

Universitas Sumatera Utara

7

endogen untuk menghambat impuls nyeri dan suasana tubuh menjadi rileks
(Smeltzer dan Bare, 2010). Endogen terdiri dari endorfin dan enkefalin, substansi
ini seperti morfin yang berfungsi menghambat transmisi influs nyeri. Apabila tubuh
mengeluarkan substansi-substansi ini, salah satu efeknya adalah pereda nyeri
(Smeltzer dan Bare, 2010).
Menurut Smeltzer & Bare (2010) menyatakan bahwa endorfin dan
enkefalin ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam sistem saraf pusat.
Endorfin dan enkefalin adalah zat kimiawi endogen (diproduksi oleh tubuh) yang
berstruktur seperti opioid. Morfin dan obat-obatan opioid lainya menghambat
transmisi yang menyakitkan dengan meniru endorfin dan enkefalin. Serabut
interneural inhibitor yang mengandung enkefalin terutama diaktifkan melalui
aktivitas serabut perifer non-nosiseptor (serabut yang normalnya tidak
mentransmisikan stimuli nyeri atau yang menyakitkan) pada tempat reseptor yang

sama dengan reseptor nyeri atau nosiseptor dan serabut desenden, berkumpul
bersama dalam suatu sistem yang disebut descending control. Endorfin dan
enkefalin juga dapat menghambat imfuls nyeri dengan memblok transmisi impuls
ini di dalam otak dan medula spinalis (Smeltzer & Bare, 2010).
Keberadaan

endorfin

dan

enkefalin

ini

juga

membantu

dalam

mempengaruhi suasana menjadi rileks sehingga mudah untuk memulai tidur dan
meningkatnya jumlah enkefalin dan serotonin yang dapat menyebabkan tidur dan
relaksasi. Perasaan rileks diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan
Corticotropin Releasing Factor (CRF). CRF merangsang kelenjar Pituitary untuk
meningkatkan Produksi β-Endorphin, Enkefalin dan serotonin yang pada akhirnya

Universitas Sumatera Utara

8

dapat meningkatkn kenyamanan pada klien, kebutuhan tidur terpenuhi (Smeltzer &
Bare, 2010).
Progressive muscle relaxation ini dikembangkan oleh Jacobson dimana
program ekstensifnya disebut relaksasi progresif yang sudah sering diresepkan
sebagai pengobatan untuk insomnia (Jacobson, 1938). Ini melibatkan subyek
pembelajaran untuk rileks dengan sensitasi mereka untuk feedback proprioseptif
dari kelompok otot utama. Beberapa hasil penelitian sudah banyak melakukan
PMR, Sreelekshmi (2015) melakukan penelitian berupa pemberian tindakan latihan
relaksasi progresif

menunjukkan

bahwa

progresif

relaksasi otot dapat

meningkatkan kualitas tidur pada pasien yang menjalani hemodialisis. Berdasarkan
penelitian Wang (2011), intervensi dikombinasikan dengan pendidikan pasien dan
PMR dapat secara signifikan meningkatkan kepatuhan CPAP (Continuous Positive
Airway Pressure) pada pasien OSA (Obstructive Sleep Apnea) paling sedikit 12
minggu. Menurut hasil penelitian Demiralp et al (2009), menunjukkan bahwa
pelatihan relaksasi otot progresif akan meningkatkan kualitas tidur dan kelelahan
pada pasien dengan kanker payudara yang menjalani kemoterapi. Menurut hasil
penelitian Saeedi (2010), relaksasi otot progresif memiliki dampak yang
menguntungkan pada kualitas tidur pada pasien yang menjalani hemodialisis dan
dapat diterapkan dan dilatih sebagai metode yang berguna untuk meningkatkan
kualitas tidur pasien di bangsal hemodialisis.
Di Indonesia penelitian penggunaan progressive muscle relaxation (PMR)
sudah dilakukan beberapa diantaranya Haris & Muhtar (2011) Berdasarkan data
penelitiannya didapatkan pemenuhan kebutuhan istirahat-tidur responden setelah

Universitas Sumatera Utara

9

pemberian tehnik relaksasi progresif, sebanyak 8 orang (40%) responden dengan
tidur baik atau terpenuhi kebutuhan istirahat tidurnya. Nuryanti (2014) dalam
penelitiannya bahwa ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap insomnia pada
lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Dharma Bekasi. Menurut Sriyono
(2015) dengan hasil penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan
antara latihan relaksasi otot progresif terhadap penurunan insomnia klien di Ruang
Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Pada penelitian Azizah & Nyumirah
(2014) bahwa pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sesudah dilaksanakan teknik
relaksasi otot pada pasien rawat inap di Puskesmas Pecangaan Kabupaten Jepara
menunjukkan keberhasilan tindakan dalam memenuhi istirahat tidurnya. Hasil
penelitian Fitrisyia (2012) juga menyebutkan bahwa adanya pengaruh relaksasi otot
progresif dengan pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
Berdasarkan penelitian – penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
PMR mampu mengatasi gangguan tidur pada beberapa penyakit kronis dengan
faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas tidur yang berbeda. Berdasarkan
uraian tersebut peneliti tertarik meneliti tentang efektivitas Progressive Muscle
Relaxation terhadap kualitas tidur pasien kanker payudara.

1.2. Permasalahan
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan
gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,

Universitas Sumatera Utara

10

konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah -pecah, sakit kepala dan sering
menguap atau mengantuk.
Berdasarkan penelitian Hananta, 2014 yaitu gangguan tidur pasien kanker
payudara di Rumah Sakit Dharmais Jakarta dengan hasil penelitiannya diketahui
bahwa nyeri pada pasien diketahui dapat menyebabkan gangguan tidur. Dua hal
yang menjadi penyebab utama nyeri adalah perkembangan penyakit dan efek
samping pengobatan (Meyers, 2012). Perkembangan penyakit dapat menyebabkan
nyeri pada tulang dan saraf, sedangkan pengobatan terkait efek samping, seperti
mukositis dan neuropati perifer, juga dapat menyebabkan nyeri pada pasien kanker
payudara (Meyers, 2012). Penderita kanker payudara banyak merasakan beberapa
tingkatan nyeri mulai dari ringan sampai hebat, dari akut sampai kronik yang
disebabkan oleh kanker itu sendiri (tumor pada payudara, penyebaran kanker ke
bagian tubuh lain) atau efek dari pengobatan seperti pembedahan, kemoterapi,
terapi radiasi, terapi hormonal, dan obat-obatan anti kanker (Breastcancer
Organization, 2015).
PMR merupakan salah satu intervensi mandiri keperawatan yang dapat
dilakukan pada klien. Hasil penelitian Demiralp et al (2009), menunjukkan bahwa
pelatihan relaksasi otot progresif akan meningkatkan kualitas tidur dan kelelahan
pada pasien dengan kanker payudara yang menjalani kemoterapi. Penelitian yang
dilakukan oleh Azizah & Nyumirah (2014) bahwa pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur sesudah dilaksanakan teknik relaksasi otot (PMR) pada pasien rawat inap di
Puskesmas Pecangaan Kabupaten Jepara menunjukkan keberhasilan tindakan
dalam memenuhi istirahat tidurnya.

Universitas Sumatera Utara

11

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yang
dinyatakan dengan pertanyaan penelitian apakah progressive muscle relaxation
(PMR) dapat memberikan efektivitas terhadap kualitas tidur pasien kanker
payudara ?

1.3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengidentifikasi pengaruh progressive muscle relaxation terhadap
kualitas tidur pasien kanker payudara
b. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi kualitas tidur pasien kanker payudara kelompok
intervensi sebelum latihan PMR dan kelompok kontrol sebelum periode
intervensi
2. Mengidentifikasi kualitas tidur pasien kanker payudara kelompok
intervensi setelah latihan PMR dan kelompok kontrol setelah periode
intervensi
3. Mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur sebelum dan setelah
dilakukan progressive muscle relaxation pada kelompok intervensi
4. Mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur pasien kanker payudara pada
kelompok kontrol sebelum dan setelah periode intervensi
5. Mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur pada kelompok intervensi
setelah dilakukan PMR dan kelompok kontrol yang tidak dilakukan
PMR

Universitas Sumatera Utara

12

1.4. Hipotesis
Ha: adanya efektivitas pemberian latihan progressive muscle relaxation
terhadap kualitas tidur pada pasien kanker payudara.

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi institusi pendidikan kesehatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh institusi pendidikan kesehatan
sebagai dasar dalam pengembangan praktek keilmuan di bidang
kesehatan.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data bagi

penelitian lebih lanjut.
1.5.2. Bagi institusi pelayanan kesehatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi institusi pelayanan
kesehatan untuk mengembangkan dan juga mengaplikasikan terapi
modalitas relaksasi otot progresif non farmakologis ini pada pasien
kanker payudara. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi rujukan dalam
penggunaan terapi modalitas relaksasi otot progresif non farmakologis
pada pasien kanker payudara.
1.5.3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini juga dapat meningkatkan kemandirian masyarakat
dalam mengatasi gangguan pola tidur khususnya gangguan kualitas
tidur pada pasien kanker payudara dimana untuk mengatasi gangguan
kualitas tidur yang mereka alami pasien kanker payudara dapat

Universitas Sumatera Utara

13

mengaplikasikan tehnik ini saat mengalami permasalahan dalam
gangguan kualitas tidurnya tersebut.

Universitas Sumatera Utara