Efektivitas Progressive Muscle Relaxation terhadap Kualitas Tidur Pasien Kanker Payudara

14

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kanker payudara
2.1.1. Definisi kanker payudara
Kanker payudara adalah suatu penyakit pertumbuhan sel, akibat adanya
onkogen yang menyebabkan sel normal menjadi sel kanker pada jaringan payudara
(Bruner & Suddarth, 2001). Kanker payudara adalah tumor ganas yang menyerang
jaringan payudara. Jaringan payudara tersebut terdiri dari kelenjar susu (kelenjar
pembuat air susu), saluran kelenjar (saluran air susu), jaringan penunjang payudara.
Kanker payudara tidak menyerang kulit payudara yang berfungsi sebagai
pembungkus. Kanker payudara menyebabkan sel dan jaringan payudara berubah
bentuk menjadi abnormal dan bertambah banyak secara tidak terkendali. Kanker
payudara adalah gangguan dalam pertumbuhan sel normal dimana sel abnormal
timbul dari sel-sel normal, berkembang cepat dan menginfiltrasikan jaringan limfe
dan pembuluh darah di dalam payudara.
2.1.2. Tanda dan Gejala Kanker Payudara
Adapun tanda dan gejala yang ditemukan yatiu:
a. Adanya benjolan pada payudara

b. Perubahan ukuran atau bentuk payudara
c. Keluar cairan yang abnormal dari puting susu (biasanya berdarah atau
berwarna kuning sampai hijau, mungkin juga bernanah).

14

Universitas Sumatera Utara

15

d. Perubahan pada warna atau tekstur kulit pada payudara, puting susu maupun
aerola (daerah berwarna coklat tua disekeliling puting susu)
e. Payudara tampak kemerahan
f. Kulit disekitar puting susu bersisik
g. Puting susu tertarik kedalam atau terasa gatal
h. Nyeri payudara atau pembengkakan salah satu payudara (Andrews, Gilly,
2010).
2.1.3. Faktor-faktor resiko kanker payudara
Faktor-faktor yang menyebabkan resiko kanker payudara sebagai berikut
(Smeltzer & Bare, 2010).

a. Riwayat pribadi tentang kanker payudara
Resiko mengalami kanker payudara pada payudara sebelahnya meningkat
hampir 1% setiap tahun
b. Hubungan keluarga langsung.
Resiko meningkatnya dua kali jika ibunya terkena kanker sebelum usia 60 tahun.
Resiko meningkat 4 sampai 6 kali jika kanker payudara terjadi pada dua orang
saudara langsung.
c. Menarke dini.
Resiko kanker payudaarmeningkat pada wanita yang mengalami menstruasi
sebelum usia 12 tahun.

Universitas Sumatera Utara

16

d. Nulipara dan usia lanjut saat kelahiran anak pertama.
Wanita yang mempunyai anak pertama setelah usia 30 tahun mempunyai
resiko dua kali lipat untuk mengalami kanker payudara dibanding dengan
wanita yang mempunyai anak pertama mereka pada usia sebelum 20 tahun.
e. Menopause pada usia lanjut.

Menopause setelah usia 50 tahun meningkatkan resiko untuk mengalami
kanker payudara.
f. Riwayat penyakit payudara jinak.
Wanita

yang mempunyai tumor payuadara disertai epitel poliferatif

mempunyai resiko dua kali lipat untuk mengalami kanker payudara.
g. Pemajanan terhadap radiasi ionisasi setelah masa pubertas dan sebelum usia 30
tahun beresiko hampir dua kali lipat.
h. Obesitas.
Resiko terendah diantara wanita pascamenopause. Wanita yang didiagnosa
penyakit ini mempunyai angka kematian lebih tinggi, yang paling sering
berhubungan dengan diagnosis yang lambat.
i. Kontrasepsi oral.
Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral beresiko tinggi untuk mengalami
kanker payudara.
j. Terapi penggantian hormon.
Wanita yang berusia lebih tua yang menggunakan estrogen suplemen dan
menggunakannya dalam jangka panjang (lebih dari 10 sampai 15 tahun) dapat

mengalami peningkatan resiko.

Universitas Sumatera Utara

17

k. Masukan alkohol.
Beberapa temuan riset menunjukka bahwa wanita muda yang yang minum
alkohol lebih rentan untuk mengalami kanker payudara.
2.1.4. Tipe kanker payudara
Karsinoma duktal menginfiltrasi adalah tipe histologis yang paling
umum, merupakan 75% dari semua jenis kanker payudara. Kanker jenis ini
biasanya bermetastasis ke nodus aksila. Prognosisnya lebih buruk dibanding
dengan tipe kanker lainnya (Smeltzer & Bare, 2010).
Karsinoma lobular manginfiltrasi jarang terjadi, merupakan 5%-10%
kanker payudara. Tumor ini biasanya terjadi pada suatu area penebalan yang tidak
baik pada payudara bila dibandingkan dengan tipe duktal menginfiltrasi. Tipe ini
lebih umum multisentris, dengan demikian dapat terjadi penebalan beberapa area
pada salah satu atau kedua payudara. Karsinoma duktal menginfiltrasi dan lobular
menginfiltrasi mempunyai keterlibatan nodus aksilar yang serupa, meskipun tempat

metastasisnya berbeda. Karsinoma duktal biasanya menyebar ke tulang, paru, hepar
atau otak sementara karsinoma lobular biasanya bermetastasis ke permukaan
meningeal atau tempat-tempat tidak lazim lainnya (Smeltzer & Bare, 2010).
Karsinoma medular menempati setiap 6% dari kanker payudara dan
tumbuh dalam kapsul di dalam duktus. Tipe tumor ini dapat menjadi besar tetapi
meluas dengan lambat sehingga kanker, sehingga prognosisnya seringkali lebih
baik (Smeltzer & Bare, 2010).

Universitas Sumatera Utara

18

Kanker musinus menempati sekitar 3% dari kanker payudara. Penghasil
lendir, juga tumbuh dengan lambat sehingga kanker ini mempunyai prognosis yang
lebih baik dari lainnya (Smeltzer & Bare, 2010).
Kanker duktal-tubular jarang terjadi, menempati hanya sekitar 2% dari
kanker. Karena metastasis aksilaris secara histologi tidak lazim, maka prognosisnya
lebih baik (Smeltzer & Bare 2010).
Karsinoma inflamatori adalah tipe kanker payudara yang jarang (1%
sampai 2%) dan menimbulkan gejala-gejala yang berbeda dari kanker payudara

lainnnya. Tumor setempat ini nyeri tekan dan sangat nyeri, payudar secara
abnormal keras dan membesar. Kulit di atas tumor ini merah dan hitam. Sering
terjadi edema dan retraksi puting susu (Smeltzer & Bare 2010).
Karsinoma duktal in situ (DCIS) secara histologis dibagi menjadi dua
subtipe mayor: komedo dan nonkomedo. Pengobatan yang paling umum pada tipe
ini adalah mastektomi dengan angka kesembuhan 98% atau 99% (Smeltzer & Bare,
2010).
Karsinoma lobular in situ (LCIS) ditandai dengan proliferasi sel-sel di
dalam lobulus payudara. LCIS biasanya merupakan temuan insidental, yang
umumnya terletak dalam area multi senter penyakit dan jarang berhubungan dengan
kanker invasif. Penyakit ini lebih sering pada wanita yang berusia lebih muda dan
mungkin dianggap pertanda pramalignan untuk terjadi kanker payudara
(Smeltzer & Bare, 2010).

Universitas Sumatera Utara

19

2.1.5. Stadium kanker payudara
Stadium kanker payudara mengacu pada ukuran tumor dan seberapa jauh

kanker telah menyebar di dalam payudara, ke jaringan terdekat dan ke organ lain.
Stadium kanker payudara dapat dijabarkan sebagai berikut (Smeltzer & Bare,
2010).
a. Carcinoma in Situ adalah kanker terbatas pada kelenjar atau saluran penghasil
susu (saluran yang menghubungkan kelenjar tersebut ke puting susu) dan belum
menyebar ke jaringan payudara di sekitarnya.
b. Stadium I adalah tumor berdiameter lebih kecil atau sama dengan 2 cm, dengan
hasil negatif untuk pemeriksaan kanker pada kelenjar getah bening di ketiak.
c. Stadium II adalah tumor berdiameter lebih besar dari 2 cm, dengan hasil negatif
untuk pemeriksaan kanker pada kelenjar getah bening atau diameter tumor
kurang dari atau sama dengan 5 cm, dengan hasil positif untuk pemeriksaan
kanker pada kelenjar getah bening.
d. Stadium IIIA adalah tumor berdiameter lebih besar dari 5 cm, dengan hasil
positif untuk pemeriksaan kanker pada kelenjar getah bening, atau tumor dari
ukuran berapapun dengan kelenjar getah bening melekat satu sama lain atau
melekat di jaringan di sekitarnya.
e. Stadium IIIB adalah tumor dari ukuran berapapun, menyebar ke kulit, tulang otot
dada, atau kelenjar getah bening pada payudara, yang terletak di bawah payudara
dan di dalam rongga dada.


Universitas Sumatera Utara

20

f. Stadium IV adalah ketika tumor dari ukuran berapapun menyebar
(bermetastasis) ke tempat yang jauh, seperti ke tulang, paru-paru atau kelenjar
getah bening yang jauh dari payudara.

2.2. Tidur
2.2.1. Pengertian tidur
Tidur merupakan keadaan dimana terjadi perubahan kesadaran atau
ketidaksadaran parsial dimana seorang individu dapat dibangunkan (Tortora dan
Derrickson, 2009). Tidur juga dapat diartikan sebagai periode istirahat untuk tubuh
dan pikiran, yang selama masa ini kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian
atau seluruhnya dan fungsi - fungsi tubuh sebagian dihentikan. Selain itu ,tidur juga
telah dideskripsikan sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak
bergerak yang khas dan sensitivitas reversibel yang menurun, tapi siaga terhadap
rangsangan dari luar (Potter & Perry, 2010).
2.2.2. Fisiologi tidur
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya

hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan
menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktvitas tidur ini
diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang mengatur
seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan
tidur. Pusat pengaturan kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan
bagian atas pons. Selain itu, reticuliar activating system (RAS) dapat memberi
rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima

Universitas Sumatera Utara

21

stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam
keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti
norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum
serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu
bulbar synchronizing regional (BSR), sedangkan bangun tergantung dari
keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem limbik. Dengan
demikian, sistem pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur
adalah RAS dan BSR (Potter & Perry, 2003).

2.2.3. Tahapan tidur
Tahapan tidur dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu Non Rapid
Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Tidur NREM terdiri dari
empat tahapan. Kualitas dari tahap satu sampai tahap empat menjadi semakin dalam.
Tidur yang dangkal merupakan karakteristik dari tahap satu dan tahap dua dan pada
tahap ini seseorang lebih mudah terbangun. Tahap tiga dan empat melibatkan
tidur yang dalam disebut tidur gelombang rendah, dan seseorang sulit terbangun.
Tidur REM merupakan fase terakhir siklus tidur dan terjadi pemulihan psikologis
(Potter & Perry, 2003).
Tahapan tidur memiliki karakteristik tertentu yang dianalisis dengan
bantuan Electroencefalograph yang menerima dan merekam gelombang otak,
electrooculograph yang merekam pergerakan mata dan electromyograph yang
merekam tonus otot (Lilis, Taylor & Lemone, 2001).
a. Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM)
Tahapan tidur NREM dibagi menjadi 4 tahap :

Universitas Sumatera Utara

22


Tahap satu NREM merupakan tahap transisi antara bangun dan tidur
dimana seseorang masih sadar dengan lingkungannya, merasa mengantuk,
frekuensi nadi dan nafas sedikit menurun, dan berlangsung selama lima menit.
Kualitas tidur tahap ini sangat ringan, seseorang dapat mudah terbangun karena
stimulasi sensori seperti suara (Potter & Perry, 2003).
Tahap dua merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun
dengan ciri: tanda - tanda vital menurun, metabolisme menurun dan tahap ini
berlangsung 10 - 20 menit (Hidayat, 2006; Tartowo & Wartonah, 2004). Pada
tahap ini seseorang terbangun masih relatif mudah, dan berlangsung selama 10 - 20
menit (Potter & Perry, 2003). Hubungan dengan dengan lingkungan terputus secara
aktif dan hampir seluruh menusia yang dibangunkan pada tahap ini
mengatakan bahwa mereka benar – benar tertidur (Maas, 2002). Menurut Potter &
Perry (2003), 50% total waktu tidur manusia dewasa normal dihabiskan pada
tahap dua NREM.
Tahap tiga yaitu menunjukkan medium deep sleep yang merupakan tahap
awal dari tidur yang dalam. Orang yang tidur pada tahap ini sulit untuk
dibangunkan dan jarang terjadi pergerakan tubuh dan mata, otot - otot dalam
keadaan relaksasi penuh, adanya dominasi sistem saraf parasimpatis (Hidayat,
2006), tanda - tanda vital menurun namun tetap teratur (Potter & Perry, 2003).
Tahap empat merupakan deep sleep yaitu tahap tidur terdalam yang
biasanya diperlukan rangsangan lebih kuat untuk membangunkan, sehingga ketika
bangun dari tidur yang dalam, seseorang tidak dapat langsung sadar sempurna dan
memerlukan waktu beberapa saat untuk memulihkan dari rasa bingung dan

Universitas Sumatera Utara

23

disorientasi. Tahap ini mempunyai nilai dan fungsi perbaikan yang sangat penting
untuk penyembuhan fisik kebanyakan hormon perkembangan manusia diproduksi
malam hari dan puncaknya selama tidur pada tahap ini. Tahap ini jumlahnya 25%
dari total jam tidur anak - anak, menurun pada dewasa muda, lebih menurun pada
dewasa pertengahan dan dapat hilang pada lansia (White, 2003).
b. Tidur Rapid Eye Movement (REM)
Tahap tidur REM terjadi setelah 90-110 menit tertidur ditandai dengan
peningkatan denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah, otot-otot relaksasi (Maas,
2002) serta peningkatan sekresi gaster (Potter & Perry, 2003). Karakteristik tidur
REM adalah pernafasan ireguler, mata cepat tertutup

dan terbuka, sulit

dibangunkan, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat dan biasanya
disertai mimpi aktif (Hidayat, 2006; Tartowo & Wartonah, 2004).
Mimpi terjadi selama tidur baik NREM maupun REM, tetapi mimpi dari
tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi
memori jangka panjang (Potter & Perry, 2003).
2.2.4. Siklus Tidur
Seseorang pada saat tidur akan melewati empat sampai enam siklus tidur
yang lengkap dimana setiap satu siklus terdiri dari empat tahap NREM dan satu
tahapan REM. Siklus tidur biasanya semakin meningkat dari tahap satu sampai
tahap empat, ketahap tiga kemudian ke tahap dua dan diakhiri dengan periode
tahapan tidur REM, dengan satu siklus yang berurutan, tahap tiga dan empat
akan memendek dan tahapan tidur REM memanjang. Siklus tidur pada setiap
orang berbeda karena memiliki total waktu tidur yang berbeda pula (Potter &

Universitas Sumatera Utara

24

Perry, 2003).
Pada satu siklus sampai tiga siklus pertama, tahap tiga dan tahap empat
NREM mendominasi, sementara pada akhir siklus, tahap dua NREM serta
tahapan REM mendominasi dan tahap empat NREM dapat tidak muncul (Craven &
Hirnle, 2001). Jika seseorang terbangun atau dibangunkan oleh tidurnya, maka
individu tersebut akan kembali tidur dengan mengulangi siklus tidur dari tahap satu
NREM (Taylor & Lilis, 2001).
Menurut White (2003), lamanya satu siklus tidur keseluruhan sekitar 70 – 90
menit. Durasi untuk masing - masing tahap tidur berbeda, tahap satu NREM yaitu
5% tidur, tahap dua NREM yaitu 46% tidur, tahap tiga NREM yaitu 12% tidur,
tahap empat NREM yaitu 12% tidur, REM 25% tidur.
Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkardian yang merupakan
siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkardian ini juga
merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologik dan
psikologik dapat terganggu (Potter & Perry, 2003).
2.2.5. Fungsi Tidur
Salah satu teori menyatakan bahwa tidur adalah saat memulihkan dan
mempersiapkan energi untuk periode bangun berikutnya, denyut nadi saat tidur juga
menurun yang dapat memelihara jantung (Mc. Cante & Hueter, 2002 dalam Potter
& Perry, 2003).
Tidur diperlukan untuk memperbaiki proses biologis secara rutin. Selama
tidur gelombang rendah yang dalam (NREM 4), tubuh melepaskan hormon
pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan

Universitas Sumatera Utara

25

khusus seperti sel otak (Home, 1983; Mandleson, 1987; Born, Muth, dan Fehm, 1988
dalam Potter & Perry, 2003).
Tidur REM terlihat penting untuk pemulihan kognitif. Tidur

REM

dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas
kortikal, peningkatan konsumsi oksigen dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini
dapat membantu penyimpanan memori dan pembelajaran (Potter & Perry, 2003).
Secara umum, ada dua efek fisiologis dari tidur yaitu efek pada sistem saraf yang
dapat memulihkan kepekaan dan keseimbangan diantara berbagai susunan saraf
dan efek pada struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran dan fungsi organ
tubuh (Hidayat, 2006).
2.2.6. Parameter tidur
Parameter tidur adalah indikator untuk menentukan bagaimana kualitas
tidur seseorang. Adapun parameter tidur tersebut menurut Buysse et al.,(1989)
adalah:
a. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat tidur
Waktu yang dibutuhkan untuk dapat tidur ( Sleep Latency ) adalah
waktu yang dihabiskan oleh seseorang sejak munculnya keinginan untuk
tidur sampai tercapainya tidur tahap Rapid Eye Movement (Buysse et al.,
1989).
b. Total jam tidur
Total jam tidur (Total Sleep Times) adalah lamanya waktu tidur dikurang
dengan lamanya waktu terbangun saat tidur (Buysse et al., 1989).

Universitas Sumatera Utara

26

c. Frekuensi terbangun
Frekuensi terbangun (Number Of Awakenings) adalah sering atau
tidaknya seseorang terbangun dari tidurnya yang dapat dipengaruhi oleh
lingkungan atau akibat adanya keinginan untuk buang air kecil. Seorang
dewasa muda normal, selama tidur malam akan terbangun sekitar satu
sampai dua kali. Terbangun di malam hari berpengaruh pada
pengurangan total waktu tidur (Buysse et al., 1989; Amir, 2007).
d. Lama waktu tidur siang hari
Individu yang kurang tidur pada malam hari akan menambah jam
tidurnya pada siang/sore hari (Buysse et al., 1989)
e. Perasaan segar saat bangun pagi
Perasaan segar pada saat bangun di pagi hari (Refreshing On Awakenings)
jika

seseorang

tidur

sesuai

dengan

jumlah

tidur

pada

tahap

perkembangannya (Buysse et al., 1989).
f. Kepuasan tidur
Waktu tidur seorang wanita lebih sedikit dibanding waktu tidur seorang
pria. Kepuasan tidur bergantung pada kondisi lingkungan, kesehatan fisik
dan kesehatan jiwa (Buysse et al., 1989).
g. Kedalaman tidur
Kebutuhan tidur yang cukup, ditentukan selain oleh jumlah faktor jam
tidur (kuantitas tidur), juga oleh kedalaman tidur (kualitas tidur) (Buysse
et al., 1989). Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur,
sehingga seseorang tersebut tidak merasa lelah, mudah terangsang dan

Universitas Sumatera Utara

27

gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,
konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan
sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006).
h. Perasaan mengantuk disiang hari
Pada umumnya, perasaan mengantuk di siang hari (Daytimeys Fuctions) terjadi
karena kelelahan di siang hari baik karena aktivitas ataupun kondisi fisik
seseorang ((Buysse et al., 1989).
2.2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur
Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur. Seringkali
faktor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur. Faktor fisiologis,
psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kuantitas dan kualitas tidur ( Potter &
Perry, 2005).
1. Faktor fisiologis
a. Penyakit
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik
(misalnya, kesulitan bernafas), atau masalah lain yang dapat menyebabkan
masalah tidur. Penyakit juga dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi
tidak biasa. Nokturia atau berkemih pada malam hari, mengganggu tidur dan
siklus tidur. Kondisi ini yang paling umum terjadi pada lansia dengan
penurunan tonus kandung kemih atau orang yang berpenyakit jantung,
diabetes, uretritis, atau penyakit prostat. Setelah sesorang terbangun untuk
berkemih menyebabkan sulit untuk tidur kembali (Potter & Perry, 2005)
b. Obat

Universitas Sumatera Utara

28

Obat-obatan dapat mempengaruhi proses tidur, seperti: Hipnotik dapat
menyebabkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari, bingung dan
penurunan energi. Diuretik dapat menyebabkan nokturia. Antidepresan dan
Stimulan dapat menekan tidur REM dan Menurunkan total waktu tidur.
Alkohol dapat mengganggu tidur REM dan membangunkan tidur pada
malam hari. Kafein dapat mencegah untuk dapat tertidur. dan Penyekat Beta
dapat menyebabkan terbangun dari tidur.
c. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses
tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena
adanya tryptophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna.
Demikian

sebaliknya,

kebutuhan

gizi

yang

kurang

dapat

juga

mempengaruhi proses tidur bahkan terkadang sulit untuk tidur (Potter &
Perry 2005).
2. Faktor Psikologis
Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur.
Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali
mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stress juga menyebabkan seseorang sulit
untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur.
Stress yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter &
Perry 2005).

Universitas Sumatera Utara

29

3. Faktor lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada
kemampuan untuk tertidur. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang
tenang. Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur yang mempengaruhi kualitas
tidur. Tempat tidur rumah sakit seringkali lebih keras daripada dirumah. Jika
seseorang biasanya tidur dengan individu lain, maka tidur sendiri menyebabkan
ia terjaga. Sebaliknya, tidur tanpa ketenangan atau teman tidur yang mengorok
juga mengganggu tidur (Potter & Perry, 2005).
2.2.8. Kualitas tidur pasien kanker payudara
Semua orang membutuhkan tidur untuk bertahan hidup, memperbaiki sistem
kekebalan. Durasi tidur setiap orang berbeda-beda tergantung dari banyak faktor,
termasuk umur. Bayi membutuhkan tidur 16 jam/hari, anak-anak membutuhkan 9
jam/hari, sedangkan orang dewasa mayoritas 7-8 jam/hari. Kurang tidur pada
seseorang dapat menciptakan “utang tidur” yang menuntut tubuh agar utang dilunasi
di hari selanjutnya ((Potter & Perry, 2010).
Gangguan tidur dapat terjadi pada 10-15% populasi umum dan 33-50%
pasien kanker payudara (National Cancer Institute, 2014). Gangguan tersebut
dapat terjadi karena stres, penyakit, penuaan, atau efek mengonsumsi obat
tertentu. Pada populasi umum, kurang tidur dapat mempengaruhi suasana hati dan
kinerja seseorang sepanjang hari, serta dapat meningkatkan risiko mengalami
kecemasan dan depresi (National Cancer Institute, 2014). Pada pasien kanker
payudara, insomnia merupakan gangguan tidur yang umum terjadi (National
Cancer Institute, 2014).

Universitas Sumatera Utara

30

Kualitas tidur merupakan hal yang penting untuk penyembuhan, serta
meningkatkan fungsi imun dan kesehatan mental. Selain itu, kurang tidur diketahui
berhubungan dengan depresi, kecemasan, dan menurunkan fungsi kognitif. Pada
pasien kanker, gangguan tidur dapat memengaruhi kualitas hidup pasien, sistem
kekebalan tubuh, kemampuan kognitif, dan kemampuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari (Delsigne, 2013). Gangguan tidur dapat dicegah jika
diketahui penyebab yang melatarbelakangi gangguan tidur tersebut, sehingga
kualitas hidup dapat terjaga.
Menurut Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila
tidak menunjukkan tanda - tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah
dalam tidurnya. Tanda - tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik
(ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva
kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan (sering menguap),
tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda - tanda
keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing) dan tanda psikologis
(menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas
berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan
atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan
menurun.
Berdasarkan penelitian Hananta, 2014 yaitu gangguan tidur pasien kanker
payudara di Rumah Sakit Dharmais Jakarta dengan hasil penelitiannya diketahui
bahwa nyeri pada pasien diketahui dapat menyebabkan gangguan tidur sebanyak
3,9 kali dibandingkan pasien yang tidak mengalami nyeri (p=0,017) dan gangguan

Universitas Sumatera Utara

31

tidur pada pasien kanker payudara tersebut berupa gangguan pada pemanjangan
waktu laten tidur, yaitu waktu yang dibutuhkan sampai akhirnya tertidur. Dua hal
yang menjadi penyebab utama nyeri adalah perkembangan penyakit dan efek
samping pengobatan (Meyers, 2012). Perkembangan penyakit dapat menyebabkan
nyeri pada tulang dan saraf, sedangkan pengobatan terkait efek samping, seperti
mukositis dan neuropati perifer, juga dapat menyebabkan nyeri pada pasien kanker
payudara (Meyers, 2012). Banyaknya penderita kanker payudara merasakan
beberapa tingkatan nyeri mulai dari ringan sampai hebat, dari akut sampai kronik
yang disebabkan oleh kanker itu sendiri atau nyeri pasca pembedahan dimana pada
penelitian terbaru lainnya melaporkan kejadian 47 % (13% berat, 39 % sedang dan
ringan 48 %) nyeri pasca mastektomi 2-3 tahun setelah operasi (Fine, Burton, &
Passik, 2011), kemoterapi juga dapat menyebabkan nyeri saat pemasangan
intrevena dan nyeri pada abdomen saat pemasangan intraperitonium atau nyeri
akibat kemoterapi itu sendiri seperti mukositis, sakit kepala (Casasola, 2010) dan
terapi radiasi yang menyebabkan nyeri yang dirasakan panas didaerah kulit yang
terkena radiasi (Breastcancer Organization, 2015).
Nyeri yang disebabkan oleh kanker itu sendiri biasanya disebabkan oleh 2
hal yaitu (1) Tumor pada payudara, nyeri bukanlah tanda yang biasanya muncul
pada tahap awal kanker payudara, tetapi tumor dapat menyebabkan nyeri karena
tumor menekan jaringan terdekat. Pada wanita dengan peradangan kanker
payudara, nyeri merupakan salah satu tanda awal. Kanker payudara yang jarang
terjadi disebut Pagets, penyakit pada putting dapat menyebabkan nyeri dan rasa

Universitas Sumatera Utara

32

terbakar sebagai tanda awal. (2) Penyebaran kanker ke bagian tubuh lain. Nyeri
yang disebabkan oleh kanker itu sendiri biasanya terjadi pada penderita stadium
lanjut karena sel kanker telah menyebar ke bagian lain tubuh . Contohnya jika
kanker telah bermetastase ke tulang, maka akan menyebabkan nyeri pada
punggung, pinggul dan tulang lainnya. Kanker yang telah bermetastase ke otak akan
menyebabkan sakit kepala. Jika kanker telah menyebar ke kelenjar adrenal di ginjal,
penderita akan merasakan nyeri tumpul pada punggung pinggul dan tulang lainnya.
Kanker yang telah bermetastase ke otak akan menyebabkan sakit kepala. Jika
kanker telah menyebar ke kelenjar adrenal di ginjal, penderita akan merasakan nyeri
tumpul pada punggung. Jika menyebar ke hati , penderita akan merasakan nyeri di
bagian kanan atas abdomen (Breastcancer Organization, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian Chakraburtty (2014), kecemasan pada pasien
kanker payudara dapat menyebabkan gangguan tidur meliputi kecemasan ketika
menjalani tes skrining kanker, menunggu hasil tes, menerima diagnosis kanker,
menjalani

pengobatan

kanker,

atau

mengantisipasi

kambuhnya

kanker.

Kecemasan juga dapat dialami pasien yang merasakan nyeri berat, mengalami
cacat, sedikit teman atau anggota keluarga yang peduli dengan mereka, kanker
yang tidak membaik setelah diberi perawatan/terapi, atau memiliki riwayat trauma
fisik atau emosional parah (Chakraburtty, 2014). Tingkat kecemasan pasien kanker
dapat meningkat atau menurun di waktu-waktu tertentu (Chakraburtty,
2014). Pasien akan menjadi lebih cemas ketika kanker mulai menyebar atau
peningkatan derajat perawatan; dan akan menurun ketika pasien sudah belajar

Universitas Sumatera Utara

33

banyak mengenai kanker yang dideritanya dan pengobatan yang mereka terima
(Chakraburtty, 2014).

2.3. Progressive muscle relaxation (PMR)
2.3.1. Pengertian progressive muscle relaxation (PMR)
Teknik relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang
memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti (Herodes, 2010) dalam (Setyoadi
& Kushariyadi, 2011). Terapi relaksasi otot progresif yaitu terapi dengan cara
kontraksi otot kemudian dilakukan relaksasi otot (Gemilang, 2013).
Mengurangi kontraksi otot merupakan komponen dari terapi komplementer
yang digunakan untuk menurunkan angka kecemasan dan memberikan
kenyamanan (Snyder & Lindquist, 2006). Sebagai contoh, relaksasi otot sering
menjadi bagian dari guided imagery. Banyak teknik yang ditawarkan untuk
memberikan relaksasi otot. Salah satu yang sering digunakan adalah progressive
muscle relaxation yang diperkenalkan oleh Edmund Jacobson pada tahun 1938.
Relaksasi otot memberikan sensasi kesadaran terhadap otot dan ketegangan
yang ada pada diri individu dan menurunkan ketegangan tersebut. Kesadaran
tersebut

dapat

dicapai

dengan

mengkontraksikan

otot

-

otot

dan

merelaksasikannya dengan fokus terhadap otot tersebut dan membayangkan otot
tersebut bebas dari ketegangan yang dirasakan (Snyder & Lindquist, 2006).
progressive muscle relaxation merupakan salah satu teknik untuk mengurangi
ketegangan

otot

dengan

proses

yang

simpel

dan

sistematis

dalam

mengkontraksikan sekelompok otot kemudian merilekskannya kembali (Snyder &

Universitas Sumatera Utara

34

Lindquist, 2006).

Ketika otot tubuh terasa tegang, kita akan merasakan

ketidaknyamanan, seperti sakit pada leher, punggung belakang, serta ketegangan
pada otot wajahpun akan berdampak pada sakit kepala. Jika ketegangan otot ini
dibiarkan akan menganggu aktivitas dan keseimbangan tubuh seseorang (Marck,
2011).
Progressive muscle relaxation merupakan kombinasi latihan pernafasan
yang terkontrol dengan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot. Kegiatan
ini menciptakan sensasi dalam melepaskan ketidaknyamanan dan stress (Potter dan
Perry, 2005). Dengan melakukan tindakan progressive muscle relaxation secara
berkelanjutan, seorang individu dapat merasakan relaksasi otot pada berbagai
kelompok otot yang diinginkan setelah kontraksi otot.
Alat untuk mengukur adanya kontraksi otot dan relaksasi otot yaitu dengan
menggunakan neraca pegas/dinamometer manual yaitu pada kelompok otot
pergelangan tangan (otot extensor carpi radialis longus), kelompok otot lengan bawah
(otot trisep), Kelompok otot siku dan lengan atas (otot bisep), Kelompok otot bahu
(otot deltoid dan otot trapezius), Kelompok otot kepala dan leher (otot
sternokleidomastoid), Kelompok otot punggung (otot latissimus dorsi), Kelompok
otot kaki dan paha (otot quadriceps, otot biceps femoris).
Kelompok otot dada (otot pectoralis major) dan kelompok otot perut (otot
rectus abdominis) mengukur ekspansi dada dengan pita ukur yaitu letakkan pita
mengelilingi dada, melewati papilla mammae. Ukur saat akhir inspirasi &
ekspirasi dalam , instruksikan pada pasien menarik napas dalam untuk mengetahui
penurunan diafragma (normal : 5 cm), simetris. Pernapasan dada jika inspirasi bila

Universitas Sumatera Utara

35

otot antar tulang rusuk berkontraksi, maka tulang rusuk terangkat, volume rongga
dada akan membesar sehingga tekanan udara di dalamnya menjadi lebih kecil
daripada tekanan udara luar, sehingga udara masuk ke paru-paru dan pernafasan
dada jika ekspirasi bila otot antar tulang rusuk relaksasi, maka posisi tulang rusuk
akan menurun, akibatnya volume rongga dada akan mengecil sehingga tekanan
udara membesar, akibatnya udara terdorong ke luar dari paru-paru. Pernapasan
perut jika inspirasi bila otot diafragma berkontraksi, maka posisi diafragma akan
mendatar, akibatnya volume rongga dada bertambah besar, tekanan mengecil,
sehingga udara masuk ke paru-paru dan pernafasan perut jika ekspirasi bila otot
diafragma relaksasi, maka posisi diafragma naik/melengkung, sehingga rongga
dada mengecil, tekanan membesar, akibatnya udara terdorong keluar.
Dalam buku aslinya 'Progressive Relaxation', Dr Jacobson mengembangkan
serangkaian 200 latihan relaksasi otot yang berbeda dan program pelatihan yang
memerlukan waktu berbulan - bulan untuk menyelesaikan. Saat ini serangkaian
teknik tersebut telah disederhanakan menjadi 15 - 20 latihan dasar, yang telah
ditemukan dan memberikan efek yang sama dengan gerakan aslinya jika dilakukan
secara teratur (Jacobson, 1938 dalam Snyder & Lindquist, 2006).
2.3.2. Indikasi terapi progressive muscle relaxation
Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) bahwa indikasi dari terapi
relaksasi otot progresif, yaitu:
1. Klien yang mengalami insomnia.
Pada penelitian Gitanjali (2014), dengan judul relaksasi otot progresif
sebagai teknik psikoterapi multi-pronged untuk insomnia dengan

Universitas Sumatera Utara

36

menunjukkan hasilnya bahwa PMR efektif dapat membantu pasien
mencapai keadaan santai dan bisa tidur dengan baik.
2. Klien sering stres.
Berdasarkan hasil penelitian Patel (2014), menyatakan adanya pengaruh
efektivitas terapi relaksasi otot progresif pada stres antara staf perawat yang
bekerja di Rumah Sakit Kota Vadodara.
3. Klien yang mengalami kecemasan.
Vancamport (2012) meneliti progressive muscle relaxation dalam
menurunkan gejala dan tanda kecemasan, psikologi distres dan untuk
meningkatkan angka kesembuhan pasien dengan penyakit skizofrenia.
4.

Klien yang mengalami depresi.
Hasil penelitian Bommareddi et al (2014), menunjukkan bahwa pelatihan
Jacobson's Progressive Muscle Relaxation (JPMR) memiliki efek positif
dalam mengurangi kecemasan dan depresi dan JPMR dapat digunakan
sebagai terapi alternatif yang efektif.

2.3.3. Kontraindikasi terapi relaksasi otot progresif
Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) Ada beberapa hal yang dapat
menjadi kontraindikasi latihan progressive muscle relaxation antara lain cedera
akut atau ketidaknyamanan musculoskeletal, infeksi atau inflamasi, dan penyakit
jantung berat atau akut. Latihan progressive muscle relaxation juga tidak dilakukan
pada sisi otot yang sakit.
2.3.4. Prinsip kerja progressive muscle relaxation
Dalam melakukan progressive muscle relaxation, hal yang penting dikenali

Universitas Sumatera Utara

37

adalah tegangan otot ketika otot berkontraksi (tegang) maka rangsangan akan
disampaikan ke otot melalui jalur saraf aferent. Tension merupakan kontraksi dari
serat otot rangka yang menghasilkan sensasi tegangan. Relaksasi adalah
pemanjangan dari serat serat otot tersebut yang dapat menghilangkan sensasi
ketegangan setelah memahami dalam mengidentifikasi sensasi tegang, kemudian
dilanjutkan dengan merasakan relaks. Ini merupakan sebuah prosedur umum
untuk mengidentifikasi lokalisasi ketegangan, relaksasi dan merasakan perbedaan
antara keadaan tegang (tension) dan relaksasi yang akan diterapkan pada semua
kelompok otot utama. Dengan demikian, dalam progressive muscle relaxation
diajarkan untuk mengendalikan otot-otot rangka sehingga memungkinkan
setiap bagian merasakan sensasi tegang dan relaks secara sistematis (Mc
Guigan dan Lehrer, 2007).
Teknik kerja progressive muscle relaxation mencakup:
a. Mengisolasi kelompok otot yang terpilih saat fase kontraksi dan otot lain dalam
keadaan rileks.
b. Mengontraksikan kelompok otot yang serupa pada kedua sisi tubuh secara
bersamaam (misalnya: kedua tangan).
c. Memfokuskan perhatian pada intensitas kontraksi, rasakan ketegangan pada
setiap kelompok otot.
d. Selama fase relaksasi, fokuskan pikiran untuk merasakan kondisi relaks tersebut.
Bandingkan kondisi kontraksi (tension) dengan kondisi relaks.

Universitas Sumatera Utara

38

2.3.5. Mekanisme fisiologi progressive muscle relaxation dalam pemenuhan
kebutuhan tidur
Kesulitan tidur adalah masalah umum dan signifikan pada seseorang yang
mengalami penyakit kanker payudara (Hananta, 2014). Berdasarkan penelitian
Hananta, 2014 yaitu gangguan tidur pasien kanker payudara dengan hasil
penelitiannya diketahui bahwa nyeri pada pasien diketahui dapat menyebabkan
gangguan tidur.
Mekanisme kerja PMR untuk menurunkan nyeri yang menyebabkan
gangguan tidur pada pasien kanker payudara terletak pada fisiologi sistem syaraf
otonom yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu (Smeltzer
dan Bare, 2010). Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin,
prostaglandin dan substansi, akan merangsang saraf simpatis sehingga
menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang
menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh
darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot
yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak dan
dipersepsikan sebagai nyeri (Smeltzer dan Bare, 2010). Dengan gerakan
mengkontraksikan dan merileksasikan otot maka tubuh secara fisiologi akan
memproduksi endogen untuk menghambat impuls nyeri tersebut dan suasana tubuh
menjadi rileks (Smeltzer dan Bare, 2010). Endogen terdiri dari endorfin dan
enkefalin, substansi ini seperti morfin yang berfungsi menghambat transmisi influs
nyeri. Apabila tubuh mengeluarkan substansi-substansi ini, salah satu efeknya
adalah pereda nyeri (Smeltzer dan Bare, 2010).

Universitas Sumatera Utara

39

Menurut Smeltzer & Bare (2010) menyatakan bahwa endorfin dan enkefalin
ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam sistem saraf pusat. Endorfin dan
enkefalin adalah zat kimiawi endogen (diprodukasi oleh tubuh) yang berstruktur
seperti opioid. Morfin dan obat-obatan opioid lainya menghambat transmisi yang
menyakitkan dengan meniru endorfin dan enkefalin.
Serabut interneural inhibitor yang mengandung enkefalin terutama
diaktifkan melalui aktivitas serabut perifer non-nosiseptor (serabut yang normalnya
tidak mentransmisikan stimuli nyeri atau yang menyakitkan) pada tempat reseptor
yang sama dengan reseptor nyeri atau nosiseptor dan serabut desenden, berkumpul
bersama dalam suatu sistem yang disebut descending control. Endorfin dan
enkefalin juga dapat menghambat imfuls nyeri dengan memblok transmisi impuls
ini di dalam otak dan medula spinalis (Smeltzer & Bare, 2010).
Keberadaan

endorfin

dan

enkefalin

ini

juga

membantu

dalam

mempengaruhi suasana menjadi rileks sehingga mudah untuk memulai tidur dan
meningkatnya jumlah enkefalin dan serotonin yang dapat menyebabkan tidur dan
relaksasi. Perasaan rileks diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan
Corticotropin Releasing Factor (CRF). CRF merangsang kelenjar Pituitary untuk
meningkatkan Produksi β-Endorphin, Enkefalin dan serotonin yang pada akhirnya
dapat meningkatkn kenyamanan pada klien, kebutuhan tidur terpenuhi (Smeltzer
& Bare, 2010).

Universitas Sumatera Utara

40

2.3.6. Pelaksanaan dan cara kerja alat dinamometer manual/neraca pegas
terhadap progressive muscle relaxation (PMR)
Davis (2007), progressive muscle relaxation memberikan cara dalam
mengidentifikasi otot dan kumpulan otot tertentu serta membedakan antara
perasaan ketika otot kontraksi dan relaks. Dalam pelaksanaannya, otot akan
mendapatkan kontraksi otot terlebih dahulu kemudian menghentikan kontraksi otot
dan merasakan hilangnya kontraksi otot secara rileks. Untuk hasil yang maksimal,
dianjurkan untuk melakukan latihan progressive muscle relaxation sebanyak 2 kali
sehari selama satu minggu dengan waktu 15 menit (Davis, 2007). Waktu yang
diperlukan untuk melakukan progressive muscle relaxation sehingga dapat
menimbulkan efek yang maksimal adalah selama satu sampai dua minggu dan
dilaksanakan selama satu sampai dua kali 15 menit per hari (Davis, 2007). Dalam
buku aslinya 'Progressive Relaxation', Dr Jacobson mengembangkan serangkaian
200 latihan relaksasi otot yang berbeda dan program pelatihan yang memerlukan
waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan. Saat ini serangkaian teknik tersebut
telah disederhanakan menjadi 15-20 latihan dasar yang telah ditemukan dan
memberikan efek yang sama dengan gerakan aslinya jika dilakukan secara
teratur (Jacobson, 1938 dalam Conrad & Roth, 2007).
Progressive muscle relaxation memberikan kondisi tegang dan relaks,
secara bergantian, enam belas kelompok otot tubuh yang berbeda. Teknik PMR
adalah dengan memberikan ketegangan (sesuai kemampuan individu) kepada otot
selama sekitar 10 detik dan kemudian merileksasikan otot. Setelah itu individu

Universitas Sumatera Utara

41

merasakan perasaan rileks dan santai selama 15-20 detik dan rasakan perubahan
kondisi tegang dan rileks (Jacobson, 1938).
Penelitian ini akan melakukan pemberian latihan progressive muscle
relaxation dengan menggunakan modifikasi oleh Davis (2007) pada kelompok otot
– otot utama yang meliputi kelompok otot pergelangan tangan, kelompok otot
lengan bawah, kelompok otot siku dan lengan atas, kelompok otot bahu,
kelompok otot kepala dan leher, kelompok otot punggung, kelompok otot dada,
kelompok otot perut, kelompok otot kaki dan paha.
Latihan progressive muscle relaxation akan dilakukan kepada kelompok
intervensi dengan latihan panduan secara langsung dan latihan mandiri di rumah
dengan melihat buku panduan dalam durasi waktu 15 menit per latihan dan selama
4 minggu. Relaksasi dilakukan secara bertahap dan dipraktekkan dengan berbaring
atau duduk di kursi dengan kepala di topang dengan bantal. Setiap kelompok otot
di tegangkan

selama 5-7

detik

dan

di

relaksasikan

selama

10-

20 detik, prosedur ini diulang paling tidak satu kali (Setyoadi & Kushariyadi,
2011). Petunjuk progressive muscle relaxation dibagi dalam dua bagian, yaitu
bagian pertama dengan mengulang kembali pada saat praktek sehingga lebih
mengenali bagian otot tubuh yang paling sering tegang, dan bagian kedua dengan
prosedur
simultan

singkat untuk menegangkan merileksasikan beberapa otot secara
sehingga

relaksasi

otot dapat dicapai

dalam

waktu

singkat

(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Universitas Sumatera Utara

42

Adapun

urutan

pelaksanaan

dan

cara

kerja

alat

dinamometer

manual/neraca pegas adalah sebagai berikut:
1. Kelompok otot pergelangan tangan (otot extensor carpi radialis longus)
Merentangkan

lengan

dan

kepalkan

kedua

telapak

tangan

dengan kencang, sekuat dan semampunya lalu berikan tarikan pada neraca
pegas lalu rasakan ketegangan pada kedua pergelangan tangan anda selama 5-7
detik. Melepaskan kepalan tangannya dan rasakan tangan menjadi lemas dan
semua ketegangan pada tangan menjadi hilang. Rasakan hal tersebut selama 1020 detik. Ulangi lagi gerakan mengkontraksikan dan merileksasikan otot
tangan. Rasakan pergelangan tangan menjadi semakin lemas.

2. Kelompok otot lengan bawah (otot trisep)
Menekukkan kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan dengan
menarik neraca pegas. Sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan
bawah menegang, jari-jari terbuka menghadap ke langit-langit. Rasakan
ketegangan pada bagian lengan bawah selama 5-7 detik. Lemaskan dan luruskan
kembali tangan bagian bawah pada posisi yang nyaman. Rasakan lengan

Universitas Sumatera Utara

43

bawah dan telapak tangan menjadi lemas dan ketegangan hilang. Rasakan
hal tersebut selama 10-20 detik. Ulangi lagi gerakan mengkontraksikan dan
merileksasikan otot lengan bawah, rasakan perbedaan pada saat kontraksi dan
rileks serta rasakan lengan bawah menjadi semakin lemas.

3. Kelompok otot siku dan lengan atas (otot bisep)
Menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian bawa
kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot lengan atas terasa kencang dan
tegang dengan menarik neraca pegas dan lakukan selama 5-7 detik. Luruskan
siku dan jari-jari, rasakan lengan atas menjadi lemas dan ketegangan pada
lengan atas sudah hilang. Rasakan hal tersebut 10-20 detik. Ulangi lagi gerakan
mengkontraksikan otot siku dan lengan atas, rasakan perbedaan antara saat
kontraksi dan rileks serta rasakan otot siku dan lengan atas semakin lemas.

Universitas Sumatera Utara

44

4. Kelompok otot bahu (otot deltoid dan otot trapezius)
Mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan dibawa
menyentuh kedua telinga dengan menarik neraca pegas. Rasakan kontraksi
otot pada bahu selama 5-7 detik. Rileksasikan bahu hingga semua kontraksi
otot pada bahu tadi hilang. Rasakan hal tersebut selama 10-20 detik. Mengulangi
gerakan tersebut dan rasakan otot bahu semakin lemas.

5. Kelompok otot kepala dan leher (otot sternokleidomastoid)
Menekuk leher dan kepala kebelakang lalu menekuk leher dan kepala kedepan
hingga menyentuh dada lalu melawan tahanan neraca pegas selama 5-7 detik.
Lemaskan dan luruskan kepala dan leher hingga semua kontraksi otot pada
kepala dan leher anda hilang, rasakan dalam 10-20 detik. Ulangi gerakan dan
rasakan otot semakin lemas.

Universitas Sumatera Utara

45

6. Kelompok otot punggung (otot latissimus dorsi)
Melengkungkan punggung dan busungkan dada dengan menarik neraca pegas,
rasakan kontraksi otot pada punggung selama 5-7 detik. Rileksasikan
punggung sehingga kontraksinya hilang dan rasakan melemasnya punggung
10-20 detik. Ulangi gerakan dan rasakan lemasnya punggung.

7. Kelompok otot dada (otot pectoralis major) dan kelompok otot perut (otot rectus
abdominis)
Mengukur ekspansi dada yaitu letakkan pita mengelilingi dada, melewati papilla
mammae. Ukur saat akhir inspirasi & ekspirasi dalam, Suruh pasien menarik
napas dalam untuk mengetahui penurunan diafragma (normal : 3 – 5 cm),
simetris. Rasakan kontraksi pada dada selama 5-7 detik. Rileksasikan otot dada
sambil mengeluarkan nafas secara perlahan-lahan rasakan hilangnya kontraksi
otot pada dada dalam 10-20 detik. Mengulangi gerakan kembali dan rasakan dada
semakin lemas.
Menarik perut ke bagian dalam dan bernafaslah secara perlahan-lahan,
rasakan kontraksi pada perut selama 5-7 detik. Lemaskan otot perut, dan

Universitas Sumatera Utara

46

hilangkan kontraksi otot serta rasakan rileksasiotot perut dalam 10-20 detik.
Ulangi gerakan dan rasakan otot perut yang semakin lemas.
8. Kelompok otot kaki dan paha (otot quadriceps, otot biceps femoris)
Menekuk telapak kaki ke arah atas (dorso fleksi) dan ke arah bawah
(plantar fleksi) dengan menahan tarikan neraca pegas, tekuk sebisa
mungkin, dan rasakan ketegangannya selama 5-7 detik. Lemaskan otot-otot
kaki dan paha, hilangkan ketegangannya dan rasakan selama 10-20 detik

2.4. Dinamometer Manual (Neraca Pegas)
Neraca pegas (dinamometer) adalah timbangan sederhana yang
menggunakan pegas sebagai alat untuk menentukan massa benda yang diukurnya
(Halliday, 2004). Penemu alat dinamometer adalah Gaspard de Porny di Paris
Prancis dan alat ini diproduksi oleh Union Hanging Scale. Alat dinamometer
manual ini dimodifikasi peneliti untuk mengukur kekuatan otot pada tindakan
progressive muscle relaxation (PMR). Alat dinamometer manual mempunyai
satuan ukuran yaitu kilogram (kg).
Komponen alat dinamometer manual yaitu 1) gantungan sebagai tempat

Universitas Sumatera Utara

47

untuk memegang dinamometer tersebut agar tidak mengganggu proses
pengukuran, 2) penunjuk skala bagian yang berfungsi untuk menunjukkan skala
(hasil pengukuran), 3) pegas bagian dari dinamometer (neraca pegas) yang sangat
vital, 4) skala sebagai angka yang tertera dalam dinamometer yang menunjukkan
hasil pengukuran dan pengait sebagai tempat dimana benda diletakkan.
Kalibrasi adalah kegiatan untuk menentukan kebenaran konvensional nilai
penunjukkan alat ukur dan bahan ukur dengan cara membandingkan terhadap
standar ukur yang mampu ditelusur (traceable) ke standar nasional maupun
internasional untuk satuan ukuran internasional dan bahan-bahan acuan
tersertifikasi (Morris, 2001). Kalibrasi alat ukur neraca pegas (timbangan
gantung) dengan menggunakan standar ISO 9000 dan ISO 17025 (Morris, 2001).
Dalam penelitian ini alat neraca pegas tidak dilakukan kalibrasi untuk
memastikan ketelitian suatu alat ukur sebelum digunakan agar hasil pengukuran
akurat, tetapi hanya melakukan pemutaran sekrup yang ada dibagian atas
dinamometer tanpa beban hingga garis penunjuk skala menunjukkan pada titik
nol (Giancolly, 2004). Pada setiap satu responden penunjuk skala harus berada
pada titik nol sebelum dilakukan pada responden lain.
Cara kerja alat dinamometer yaitu pastikan penunjuk skala pada titik nol
dengan cara memutar sekrup yang ada dibagian atas dinamometer tanpa beban,
meletakkan pengait dinamometer pada setiap kelompok otot yang akan diukur
dan peserta responden manarik tahanan dari peneliti kemudian hasil yang tertera
pada skala dicatat

sebagai skor kekuatan otot.

Penilaian kekuatan otot

Universitas Sumatera Utara

48

yang dikategorikan baik bila beban yang ditarik setiap orang 5 kg pada setiap
kelompok otot dimana nilai dari dinamometer manual telah dikonversi dengan
alat dinamometer digital oleh pakar fisioterapi olahraga yang telah dilakukan di
Poltekkes Yayasan Rumah Sakit Umum Dr. Rusdi Medan.

2.5. Aplikasi teori adapatasi Callista Roy
Menurut teori adaptasi Callista Roy bahwa suatu sitem memiliki
keseluruhan bagian – bagian yang saling berhubungan, sistem juga memiliki input,
output, control dan proses feedback. Suatu sistem dapat digambarkan sebagai satu
kesatuan yang mempunyai input (masukan), kontrol dan proses feedback
(mekanisme koping) dan output (keluaran/hasil) (Tomey & Aligood, 2006).
Input sebagai stimulus yang merupakan satu kesatuan informasi bahan –
bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon. Ada tiga
tingkatan stimulus yang ada dilingkungan berdasarkan Callista Roy meliputi
stimulus fokal, kontekstual dan residual. Stimulus fokal yaitu stimulus yang
langsung berhadapan dengan seseorang dan efeknya segera terhadap sistem tubuh
manusia. Stimulus kontekstual adalah semua stimulus yang ada dalam situasi yang
berkontribusi dan mempengaruhi stimulus fokal sedangkan stimulus residual
adalah stimulus (faktor lingkungan) didalam atau diluar sistem tubuh seseorang
yang mempengaruhi situasi sekarang dan belum jelas. Kualitas tidur yang buruk
diderita klien merupakan stimulus fokal karena langsung terjadi pada diri klien,
stimulus kontekstual meliputi faktor fisiologis (nyeri dan obat-obatan), faktor

Universitas Sumatera Utara

49

psikologis (stress emosional) dan faktor lingkungan sedangkan stimulus residual
adalah tingkat pengetahuan karena belum jelas apakah tingkat pengetahuan
mempengaruhi gangguan tidur. Adanya input berupa stimulus – stimulus tersebut
klien berusaha melakukan proses kontrol melalui mekanisme koping untuk
mempertahankan kondisi tubuh serta berinteraksi dengan perubahan – perubahan
yang terjadi.
Mekanisme

koping

adalah

setiap

upaya

yang

diarahkan

pada

penatalaksanaan terhadap stressor, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung
dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. Mekanisme
koping dalam berinteraksi terhadap perubahan tersebut meliputi regulator dan
kogna