Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping Ibu Menjelang Tindakan Kuretase Di Rsud Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

BAB I
PENDAHULUAN
E. Latar Belakang
Mohammad (2009) dalam Heriani (2013) mengatakan bahwa dalam kehidupan
manusia, individu bisa saja merasakan sehat maupun sakit. Sehat adalah keadaan
dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan internal
(psikologis, intelektual, spiritual, dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik,
social dan ekonomi). Sedangkan sakit adalah proses dimana individu mengalami
penurunan fungsi eksternal maupun internal dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Klien yang dirawat di rumah sakit umum dengan masalah fisik juga
mengalami masalah psikososial seperti berdiam diri, tidak ingin bertemu dengan
orang lain, merasa kecewa, putus asa, malu dan tidak berguna disertai keragu-raguan
dan percaya diri kurang (Ermawati, et al. 2009).
Ketika klien mengalami ansietas, individu menggunakan bermacam-macam
mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya. Dalam bentuk ringan ansietas
dapat diatasi dengan menangis, tertawa, tidur, olahraga atau merokok. Bila terjadi
ansietas berat atau sampai panik akan terjadi ketidakmampuan mengatasi ansietas
secara konstruktif merupakan penyebab utama perilaku yang patologis, individu akan
menggunakan energi yang lebih besar untuk dapat mengatasi ancaman tersebut
(Ermawati, et al. 2009).
Menurut Marlindawani, et al (2008) mengatakan bahwa ansietas adalah salah

satu masalah psikososial yang sering dialami oleh setiap orang dalam kehidupannya
sehari-hari.

Pengalaman

persalinan

adalah

saat

yang

menegangkan

dan

mencemaskan bagi ibu hamil dan keluarganya. Begitu juga ketika seorang klien akan
menghadapi operasi. Menurut Wibisono (1990) dalam Apriani (2010) ketakutan


1

2
yang terjadi pada pasien yang akan kuretase dan munculnya rasa sakit sangat
mungkin terjadi. Sebab dari rasa takut akan menambah kuat rasa sakit. Pada wanita
yang pernah menjalani kuretase biasanya memiliki pengalaman tentang kuretase,
sehingga ketakutan sebelum kuretase bisa teratasi dan ibu dapat mempersiapkan
psikisnya dahulu supaya kuretase dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu,
kecemasan timbul pada wanita yang pertama kali menjalani kuretase dibandingkan
dengan wanita yang sudah pernah menjalani kuretase.
Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetrik dan ginekologi yang sering
dilakukan. Baik untuk pengosongan sisa konsepsi dari kavum uteri akibat abortus.
Ataupun untuk mengetahui kelainan perdarahan uterus pada kasus ginekologi.
Prosedur ini berlangsung dalam waktu singkat. Kasus yang membutuhkan tindakan
kuretase bermacam-macam diantaranya, abortus, blighted ovum, plasenta rest dan
hamil anggur. Ada juga kasus kuret yang ditujukan untuk diagnostik seperti biopsi
endometrium (Silaen 2012).
Diantara kasus kebidanan yang paling banyak memerlukan kuret diantaranya
adalah abortus. Menurut data resmi World Health Organitation (WHO) (1994)
mengatakan bahwa abortus terjadi pada 10% dari seluruh kehamilan. Di Inggris

setiap tahunnya ada 185.000 kasus induced abortion setiap tahun dan 11.500 kasus
di Scotlandia. Di Indonesia sendiri diperkirakan ada lima juta kehamilan pertahun,
dimana 10-15% diantaranya atau sekitar 500.000-750.000 mengalami abortus setiap
tahun dan frekuensinya terus meningkat setiap tahun (Silaen, 2012).
Frekuensi abortus sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak
dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus spontan kadang-kadang
hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medis tidak diperlukan
dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid. Diperkirakan frekuensi abortus

3
spontan berkisar 10-15%. Frekuensi ini dapat mencapai angka 50% bila
diperhitungkan mereka yang hamil sangat dini, terlambat haid beberapa hari,
sehingga wanita itu sendiri tidak mengetahui kalau sudah hamil. Menurut Azhar
(2002) dalam Nurliana (2011) WHO mengatakan bahwa diperkiran 4,2 juta abortus
dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, di perkotaan abortus dilakukan 24-57%
oleh dokter, 16-28% oleh bidan/perawat, 19-25% oleh dukun dan 18-24% dilakukan
sendiri. Sedangkan dipedesaan abortus dilakukan 13-26% oleh dokter, 18-26% oleh
bidan/perawat, 31-47% oleh dukun dan 17-22% dilakukan sendiri.
Menurut Azhar (2002) dalam Nurliana (2011) menunjukkan bahwa abortus
yang dilakukan oleh dokter dan bidan/perawat adalah kuret isap (91%), dilatasi dan

kuretase (30%) serta prostaglandin/suntikan (4%). Abortus dilakukan sendiri atau
dukun memakai obat/hormone (8%), jamu/obat tradisional (33%), alat lain (17%)
dan pemijatan (79%). Survey yang dilakukan di beberapa klinik di Jakarta, Medan,
Surabaya, dan Denpasar menunjukkan bahwa abortus dilakukan 89% pada wanita
yang sudah menikah. Berdasarkan golongan umur, mereka yang melakukan abortus
berusia antara 30-46 tahun sebesar 34%, berusia antara 20-29 tahun sebesar 51% dan
sisanya berusia dibawah 20 tahun sebesar 15%.
Berdasarkan survey awal yang peneliti dapatkan dari data rekam medik RSUD
Dr. Pirngadi Medan bahwa jumlah ibu yang mengalami tindakan kuretase pada tahun
2014 sebanyak 116 orang.
Menurut penelitian Apriani (2010) yang berjudul gambaran tingkat kecemasan
ibu menjelang tindakan kuretase di rumah sakit wilayah dinas kabupaten pekalongan
2010, menunjukkan bahwa lebih dari separuh

(51,6%) ibu menjelang tindakan

kuretase mengalami tingkat kecemasan sedang, (32,3%) ibu mengalami tingkat
kecemasan ringan, dan (16,1%) ibu mengalami tingkat kecemasan berat. Tingkat

4

kecemasan yang dialami dapat dilihat pada saat tenaga kesehatan memberikan
komunikasi teraupetik menjelang tindakan kuretase, penjelasan yang diberikan
kurang dipahami oleh responden. Namun dengan kehadiran dan keterlibatan suami
dan keluarga dapat membantu persiapan mental dalam menghadapi tindakan
kuretase, baik dengan mendampingi pasien sebelum dilakukan tindakan kuretase,
memberikan doa, maupun memberikan dukungan pasien dengan kata-kata yang
membuat pasien lebih tenang. Dengan adanya dukungan dari orang terdekat, maka
tingkat kecemasan yang dialami pasien menjadi berkurang.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme koping ibu menjelang tindakan
kuretase di RSUD dr. Pirngadi Medan.
F. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah berupa:
“Apakah ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping ibu
menjelang tindakan kuretase ?”
G. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan
tingkat kecemasan dengan mekanisme koping ibu menjelang tindakan
kuretase.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Mengetahui tingkat kecemasan ibu menjelang tindakan kuretase.
b. Mengetahui mekanisme koping yang berfokus pada masalah (Problem
focused coping) pada ibu menjelang tindakan kuretase

5
c. Mengetahui mekanisme koping yang berfokus pada emosi (Emotion
focused coping) pada ibu menjelang tindakan kuretase
H. Manfaat Penelitian
1. Bagi praktik kebidanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai sadar dalam memberikan
asuhan kepada ibu yang akan menjalani tindakan kuretase, tidak hanya
tindakan medis tetapi juga lebih memperhatikan bagaimana kondisi
psikologis ibu.
2. Bagi perkembangan ilmu kebidanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan
dan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya terkait dengan kecemasan
dan mekanisme koping pada tindakan kuretase.