Tinjauan Yuridis Peranan Lembaga Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi Di Indonesia Studi Di Badan Mediasi Asuransi Indonesia (Bmai)

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MEDIASI

A. Definisi Mediasi dan Perkembangan Mediasi 1. Definisi Mediasi

Para penulis dan praktisi yang berusaha menjelaskan pengertian mediasi.Tetapi, upaya untuk mendefinisikan mediasi bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya. Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga. Peranan pihak ketiga tersebut adalah dengan melibatkan diri untuk membantu para pihak mengidentifikasi masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan sebuah proposal.Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa

tersebut.11

Mediasi adalah forum penyelesaian sengketa yang sekarang sudah juga mulai berkembang. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang netral. Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh

mediator.12

Istilah mediasi cukup pesat dipopulerkan oleh para akademisi dan praktisi dengan mencakup secara jelas makna mediasi dalam berbagai literature ilmiah melalui riset dan studi akademik.Para praktisi juga cukup banyak menerapkan mediasi dalam praktek penyelesaian sengketa.Namun, istilah mediasi tidak mudah

11

Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Cetakan I, (Jakarat : PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal.29.

12


(2)

didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh karena cakupannya cukup luas. Mediasi tidak memberikan model yang dapat diuraikan secara terperinci dan

dibedakan proses pengambilan keputusan lainnya.13

Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjembatani dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).Kegiatan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternative penyelesaian sengketa.Posisi mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan persengketaan.

Makna mediasi secara etimologi dan terminology yang diberikan oleh para ahli. Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna itu menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.

14

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia

mengandung 3 (tiga) unsur penting15

a) Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang

terjadi antar dua pihak atau lebih. , yaitu:

b) Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang

berasal dari luar pihak yang bersengketa.

c) Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak

sebagai penasehat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.

13

Nurnaningsih Amriani, Op.Cit.,hal.31.

14Ibid.,

hal. 33.

15

Maria Kaban, Bahan Ajar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Medan : 2011), hal.15.


(3)

Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya.Penjelasan ini amat penting guna membedakan dengan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian lainnya seperti arbitrase, negosiasi, adjudikasi dan lain-lain.Mediator berada pada posisi tengah dan netral antara para pihak yang bersengketa dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum sifatnya dan belum menggambarkan secara kongkrit esensi dan kegiatan mediasi secara menyeluruh.Oleh karena itu, perlu dikemukakan pengertian mediasi secara

terminology yang diungkapkan para ahli resolusi konflik.16

Para ahli resolusi konflik beragam dalam memberikan definisi mediasi sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Lawrence Bolle mengatakan “Mediation is a decision making process in which the parties are assisted by a mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties the reach an outcome to which of them can assent”.17

Sedangkan J. Folberg dan A. Taylor memaknai mediasi dengan “……the

process by which the participants, together with the assistance of a neutral persons, systematically isolate dispute in order to develop options, consider alternative and reach consensual settlement that will accommodate their needs”.18

16

Gatot Soemartono, R.M, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal.44.

17Ibid

.

18Ibid.,

hal.46

Pengertian mediasi yang diberikan dua ahli tersebut lebih menggambarkan esensi kegiatan mediasi dan peran mediator sebagai pihak ketiga. Bolle menekankan bahwa mediasi adalah proses pengambilan keputusan yang dilakukan para pihak dengan dibantu pihak ketiga sebagai mediator.


(4)

Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi, yang dimaksud dengan mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Ada 2 (dua) jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan.Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN) dan dalam asuransi ada dikenal Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan

Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya.19

2. Perkembangan Mediasi

Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu.Masyarakat Indonesia merasakan, penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam masyarakat.Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara cepat dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individual.Masyarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat lainnya di dunia, merasakan bahwa konflik atau sengketa yang muncul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan terus-menerus, tetapi harus diupayakan jalan penyelesaiannya.Dampak dari konflik tidak hanya memperburuk hubungan antar para pihak, tetapi juga dapat

mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat.20

Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak.Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para

19

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi.

20

Rahmadi Takdir, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Edisi I, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 23.


(5)

pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah dalam sengketa yang mereka hadapi tetapi mereka cenderung memikirkan penyelesaian untuk masa depan, dengan mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka secara berimbang. Penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak (walaupun tidak 100%) dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.Penerapan prinsip musyawarah ini umumnya dilakukan di luar pengadilan.

Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa.Musyawarah mufakat sebagai nilai filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar negara, yaitu Pancasila.Dalam sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.Nilai tertinggi ini, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan dibawahnya.Prinsip musyawarah merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencapai solusi terutama di luar jalur pengadilan.Nilai musyawarah terkonkritkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, arbitrase, negosiasi,

fasilitasi, dan berbagai bentuk penyelesaian sengketa lainnya.21

Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah mufakat yang berujung damai juga digunakan di lingkungan pengadilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata.Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu asas peradilan di Indonesia.Bahkan akhir-akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa. Dorongan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara lain penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang cukup lama, melahirkan pihak menang atau kalah, cenderung mempersulit hubungan para

21Ibid.,


(6)

pihak pasca lahirnya putusan hakim, dan para pihak-pihak leluasa mengupayakan opsi penyelesaian sengketa mereka.

Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 24 mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa terjadi di kalangan masyarakat dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi).Badan peradilan adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan keadilan.Meskipun demikian, sistem hukum Indonesia juga membuka peluang menyelesaiakan sengketa di luar jalur pengadilan (non litigasi). Green menyebutkan dua model penyelesaian sengketa ini dengan metode penyelesaian sengketa dalam bentuk formal dan informal. Dalam peradilan di Indonesia, proses penyelesaian perkara (sengketa) menganut asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.Asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badan peradilan-peradilan di bawahnya.

Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktek peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota.Penumpukan perkara tidak hanya terjadi pada tingkat pertama dan banding, tetapi juga pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik upaya hukum banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali.Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari


(7)

mendapatkan hak-hak secara cepat.Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena

berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.22

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa (perkara) dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayang adalah pengadilan. Pengadilan adalah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa, dan masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa mereka. Pandangan ini tidak salah, karena pengadilan memang diberikan otoritas oleh negara untuk menyelesaikan sengketa.Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para Menghadapi tantangan yang begitu berat, sistem hukum Indonesia sebenarnya memiliki aturan hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan. Dilingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui proses mediasi, dimana hakim terlibat untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar pengadilan dapat ditempuh jalur abitrase, mediasi, negosiasi atau fasilitasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa.

Dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa dengan upaya damai ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.Dalam Pasal 56 disebutkan pengadilan tidak boleh menolak untuk memutus atau memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya.Keputusan yang diambila hakim tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.

22

Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase, Cetakan II (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2001), hal. 48.


(8)

pihak yang bersengketa menghadapi persoalan antara lain waktu, biaya, dan mungkin persoalan mereka diketahui publik.Dalam konteks ini, masyarakat berada pada posisi ambivalen. Pada satu sisi, masyarakat ingin perkaranya cepat selesai namun pada sisi lain mereka tidak bersedia berhadapan dengan pengadilan. Adakah cara lain yang dapat ditempuh guna menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yang memiliki landasan yuridis kuat dalam negara hukum Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.Penyelesaian sengketa di luar

pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win solution), dan

berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan dimana prinsip yang dianut adalah menang-kalah. Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukkan itikad baik, karena tanpa itikad baik apapun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian sengketa secara cepat telah menjadi pilihan dalam dunia bisnis akhir-akhir ini, sehingga keberadaan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 benar-benar memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang semakin

berkembang.23

Posisi mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini berada di bawah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 1 disebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.

23Ibid.,


(9)

payung alternatif penyelesaian sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa terdiri atas sejumlah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Pengaturan mengenai alternatif penyelesaian sengketa cukup terbatas diatur dalam undang-undang ini, yaitu hanya satu pasal yaitu Pasal 6 dengan 9 ayat. Dalam pasal tersebut tidak ditemukan penjelasan mengenai mediasi, persyaratan mediator, pengangkatan mediator, kewenangan dan tugas mediator, keterlibatan pihak ketiga, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses mediasi. Oleh karena itu, sangat tepat bla undang ini disebut sebagai undang arbitrase dan bukan undang-undang mediasi.

Lembaga atau pusat mediasi di Indonesia tumbuh dan berkembang, khususnya setelah diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2003.Meskipun aturan ini jelas mengatur tentang mediasi di peradilan. Jumlah ini akan semakin banyak seiring adanya tuntutan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.

Di Indonesia terdapat 2 (dua) lembaga mediasi yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu The Indonesian Mediation Center (Pusat Mediasi Nasional) dan Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT). Untuk lembaga yang kedua ini lebih tepat disebut lembaga riset karena bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik. Meskipun demikian lembaga ini juga melakukan aktifitas yang hampir sama dilakukan oleh mediasi, seperti menyelenggarakan pelatihan mediator bagi hakim-hakim

pengadilan negeri.24

Pusat Mediasi Nasional yang berdiri pada 4 September 2003 menjelang ditetapkannya Perma No. 2 Tahun 2003 merupakan salah satu lembaga mediasi yang telah terakreditasi oleh Pengadilan Tinggi Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. KMA/044/SK/VII/2004 tanggal 6 Juli 2004. Lembaga ini merupakan realisasi kebijakan program-program pimpinan MA dalam upaya meningkatkan upaya damai di luar pengadilan, sebagaimana

24

Anggreany Arief, Skripsi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan, (Surabaya : 2009), hal. 43.


(10)

yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung RI dalam temu karya tentang mediasi pada 7 Januari 2003, yaitu ”Mendorong pembentukan Pusat Mediasi Nasional

(National Mediation Center)”.25

Agar program mediasi di Pengadilan Negeri bisa berguna sepenuhnya di seluruh Indonesia, PMN bertujuan untuk lebih lanjut membantu Mahkamah Agung dalam menyediakan pelatihan mediasi untuk para hakim (seluruhnya terdapat 2.800 hakim) diutamakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.Implementasi dari kegiatan ini sepenuhnya tergantung pada donor pendukung.

Follow up kegiatan tersebut di iringi dengan Program Post Monitoring untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, Bandung dan Surabaya. Post Monitoring terdiri dari: Co-mediation mediator hakim dengan pelatih-pelatih PMN dan Refresh Course untuk mediator hakim, seperti diskusi dan pengelolaan materi yang dipandang kurang dipahami. Terdapat program tambahan untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, sekelompok dari 20 mediator PMN yang terdaftar memberikan “jasa mediasi pro-bono” untuk kasus mediasi di Pengadilan

Menurut Direktur Pusat Mediasi Nasional, Ahmad Fahmi Sahab, Pusat Mediasi Nasional ini menangani resolusi sengketa, bukan resolusi konflik. Oleh karena itu bidang garapannya adalah sengketa komersial.Disamping itu, pusat

mediasi ini juga melakukan community development, meskipun kegiatan ini belum

optimal.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan mediator, Pusat Mediasi Nasional bekerjasama dengan Mahkamah Agung memberikan pelatihan dan pendidikan.Training ini terbuka bagi umum, khususnya bagi hakim untuk menjadi mediator.Tempat pelatihan dilaksanakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.Kegiatan ini dibiayai oleh IALDF-AusAID (Indonesia Australia Legal Development Facility) dan pada fase pertama berlangsung pada bulan Desember 2005 sampai Mei 2006.

25Ibid.,


(11)

Negeri. Kegiatan fase pertama dimulai pada bulan Desember 2005 sampai Mei 2006.

Disamping Pusat Mediasi Nasional, Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) juga merupakan lembaga mediasi (riset) yang telah terakreditasi.Lembaga ini berdiri pada tanggal 11 April 2002, dan bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik.Keberadaan IICT diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang efektif.Sesuai dengan visinya lembaga ini mengembangkan pola-pola resolusi konflik untuk membangun masyarakat demokratis, harmonis, dan menghargai kemajemukan serta kesetaraan. Aktifitasnya terkait dengan mediasi di peradilan, ia melakukan kegiatan penelitian yang mendukung pengembangan resolusi konflik di berbagai wilayah di Indonesia dan penyelesaian sengketa alternatif yang berbasis pada kepentingan dan kebutuhan sebagai upaya pengembangan

akses masyarakat terhadap keadilan (access to justice).

Lembaga yang saat ini dipimpin oleh seorang direktur eksekutif, yaitu Fatahillah AS, SH., MLI., M.Si. telah melakukan riset terhadap 4 pengadilan percontohan dalam melaksanakan Perma No. 2 Tahun 2003. Obyek riset ini meliputi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Negeri Batusangkar.Hasil penelitian tersebut kemudian disosialisasikan di beberapa tempat, sekaligus sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 itu sendiri. Kegiatan lain adalah memberikan pelatihan bagi para hakim Jawa Tengah. Jika PMN memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, IICT memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan yang berasal dari Jawa

Tengah. 26

26Ibid.

,hal. 45.

Disamping dua lembaga yang terakreditasi diatas, respon untuk membentuk lembaga mediasi muncul dari kalangan asuransi.Mereka mendirikan “Badan Mediasi Asuransi” pada tanggal 12 Mei 2006.Tujuan lembaga ini didirikan untuk memberikan pelayanan yang professional dan transparan yang


(12)

berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak Tertanggung atau Penanggung Polis/Ahli Waris dan menyelesaikan sengketa antara pengguna asuransi dan lembaga asuransi melalui jalur non litigasi.Cara ini merupakan pilihan karena penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dipandang lebih

efektif dan efisien karena mengkedepankan putusan win-win solution.

B. Unsur, Tujuan dan Jenis Mediasi 1. Unsur Mediasi

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif.Mediator dalam mediasi berbeda dengan arbiter atau hakim.Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa.Kelebihan penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian sengketa dilakukan oleh seorang yang benar-benar percaya kemampuannya untuk mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa.Mediator membimbing para pihak untuk melakukan negosiasi sampai terdapat kesepakatan yang memihak para pihak.Kesepakatan ini selanjutnya dituangkan dalam suatu perjanjian.Dalam mediasi tidak ada pihak yang menang atau kalah, karena

kesepakatan akhir yang diambil adalah hasil dari kemauan para pihak itu sendiri.27

Dari penjelasan pengertian mediasi diatas, dapat diambil kesimpulan

bahwa mediasi mengandung unsur-unsur antara lain28

a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas

kesukarelaan melalui suatu perundingan. :

b. Mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa

didalam perundingan.

c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari

penyelesaian.

27

Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

(Yogyakarta : Gama Media, 2008), hal.56.


(13)

d. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung.

e. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan

yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. 2. Tujuan Mediasi

Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun

lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk29

(a) Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan;

:

(b) Melenyapkan kesalahpahaman;

(c) Menentukan kepentingan yang pokok;

(d) Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan; dan

(e) Menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri

oleh para pihak. 3. Jenis Mediasi

Secara umum, mediasi dapat dibagi ke dalam 2 (dua) jenis yakni mediasi dalam sistem peradilan dan mediasi di luar pengadilan. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut sedangkan mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian

sengketa.30

a. Mediasi dalam Sistem Peradilan

Dalam pasal 130 HIR dijelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan dilaksanakan dalam bentuk perdamaian yang menghasilkan produk berupa akta persetujuan damai (akta perdamaian).

29Ibid.,

hal.57.

30Ibid.,


(14)

Hukum di Indonesia mengatur bahwa hasil mediasi harus dalam bentuk tertulis.Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk mediasi dalam lingkup pengadilan tetapi juga bagi mediasi di luar pengadilan.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa: jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib memuat klausul-klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai (Pasal 17 ayat (1) dan (6)).

b. Mediasi di Luar Pengadilan

Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari, mediasi yang berlangsung di luar pengadilan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat.Hal tersebut dapat dilihat dari adanya peraturan hukum adat yang melekat dan mendarah daging pada kebanyakan masyarakat Indonesia.Misalnya seorang kepala adat atau kepala kerabat bertindak sebagai penengah dalam memecahkan sebuah masalah/ sengketa dan memberi putusan terhadap masalah tersebut. Karena mediasi di luar pengadilan ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya daerah tertentu maka penyebutan dan tata cara pelaksanaannya juga berbada-beda sesuai dengan budaya yang berlaku pada masyarakat dan daerah tersebut.

Sampai saat ini, perkembangan mediasi sudah sangat baik.Masyarakat modern yang dulunya cendrung memilih bentuk penyelesaian perkara melalui litigasi, sekarang sudah berubah memilih mediasi. Hal tersebut dapat dilihat dari pengintegrasian proses mediasi kedalam bentuk perundang-undangan. Misalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

c. Mediasi-Arbitrase

Mediasi-Arbitrase adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan kombinasi antara mediasi dan arbitrase. Dalam bentuk ini, seorang


(15)

yang netral diberi kewenangan untuk mengadakan mediasi, namun demikian ia pun mempunyai kewenangan untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Sedangkan menurut Priyatna Abdurrasyid bahwa mediasi-arbitrae dimulai dengan mediasi, dan jika tidak menghasilkan penyelesaian dilanjutkan dengan arbitrase yang putusannya final mengikat.

d. Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan

Dengan mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi ad-hoc terbentuk dengan adanya kesepakatan para pihak dalam hal menentukan mediator untuk menyelesaikan perselisihannya, yang mempunyai sifat tidak permanen. Jenis ini bersifat sementara atau temporer saja, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu dan ketika selesai maka mediasi ini akan bubar dengan sendirinya. Sebaliknya, mediasi kelembagaan merupakan mediasi yang bersifat permanen atau terbentuk secara institusional/ melembaga, yakni suatu lembaga mediasi yang menyediakan jasa mediator untuk membantu para pihak.

C. Kelebihan dan Kekurangan Mediasi 1. Kelebihan Mediasi

Secara umum pihak yang bersengketa menggunakan jalur mediasi sebagai

penyelesaian sengketa dapat menemukan beberapa keuntungan31

a) Proses cepat. Persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-pusat

mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan setiap pemeriksaan atau setiap kali pertemuan hanya berkisar satu sampai satu setengah jam saja. Hal ini sangat berbeda jauh dengan jangka waktu yang digunakan dalam proses arbiterase dan proses litigasi.

, yaitu:

31

Abdul Halim, Kontekstualisasi Mediasi Dalam Perdamaian, diunduh pada situs


(16)

b) Bersifat rahasia. Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses pemeriksaannya tidak dihadiri oleh publik. Hal tersebut sangat berbeda dengan pemeriksaan lewat proses litigasi. Untuk perkara-perkara yang pemeriksaannya atau persidangannya terbuka untuk umum dapat dihadiri oleh publik atau diliputi oleh pers sehingga sebelum pengambilan keputusan dan dapat bermunculan berbagai opini publik yang ada gilirannya dapat berpengaruh pada sikap para pihak yang bersengketa dalam menyikapi putusan majelis hakim.

c) Tidak mahal. Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan

pelayanan dengan biaya sangat murah dan juga tidak perlu membayar biaya pengacara karena dalam proses mediasi kehadiran seorang pengacara kurang dibutuhkan.

d) Adil. Solusi bagi suatu persengketaan dapat diserasikan dengan

kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan para pihak yang bersengketa dan oleh sebab itu pulalah keputusan yang diambil atau dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak.

e) Pemberdayaan individu. Orang-orang yang menegosiasikan sendiri

masalahnya sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang melakukan advokasi melalu wakil seperti pengacara.

Selain itu, kelebihan dari mediasi antara lain32

a) Keputusan yang hemat;

:

b) Penyelesaian secara cepat;

c) Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak;

d) Kesepakatan yang komprehensif;

e) Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan; dan

f) Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.

2. Kekurangan Mediasi


(17)

Dalam mediasi terdapat beberapa kekurangan, diantaranya adalah tidak ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat disimpangi oleh para pihak, mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya, mediasi bisa mengalami kegagalan dikarenakan mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung sehingga dimungkinkan para pihak tidak menemui penyelesaian yang sifatnya final dan memaksa secara langsung. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan pengertian yang jelas tentang berbagai bentuk penyelesaian sengketa termasuk mengenai mediasi, kecuali arbitrase. Bahkan proses atau mekanisme masing-masing bentuk lembaganya juga tidak diatur sebagian besar hanya mengatur secara lengkap tentang proses Arbitrase. Dalam Pasal 6 ayat (3) hanya menyebutkan bahwa dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Pada intinya pasal ini memberi peluang kepada masyarakat untuk

menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.33


(1)

berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak Tertanggung atau Penanggung Polis/Ahli Waris dan menyelesaikan sengketa antara pengguna asuransi dan lembaga asuransi melalui jalur non litigasi.Cara ini merupakan pilihan karena penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dipandang lebih efektif dan efisien karena mengkedepankan putusan win-win solution.

B. Unsur, Tujuan dan Jenis Mediasi 1. Unsur Mediasi

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif.Mediator dalam mediasi berbeda dengan arbiter atau hakim.Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa.Kelebihan penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian sengketa dilakukan oleh seorang yang benar-benar percaya kemampuannya untuk mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa.Mediator membimbing para pihak untuk melakukan negosiasi sampai terdapat kesepakatan yang memihak para pihak.Kesepakatan ini selanjutnya dituangkan dalam suatu perjanjian.Dalam mediasi tidak ada pihak yang menang atau kalah, karena kesepakatan akhir yang diambil adalah hasil dari kemauan para pihak itu sendiri.27

Dari penjelasan pengertian mediasi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa mediasi mengandung unsur-unsur antara lain28

a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu perundingan.

:

b. Mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa didalam perundingan.

c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.

27

Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

(Yogyakarta : Gama Media, 2008), hal.56.


(2)

d. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung.

e. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.

2. Tujuan Mediasi

Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk29

(a) Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan; :

(b) Melenyapkan kesalahpahaman; (c) Menentukan kepentingan yang pokok;

(d) Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan; dan

(e) Menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh para pihak.

3. Jenis Mediasi

Secara umum, mediasi dapat dibagi ke dalam 2 (dua) jenis yakni mediasi dalam sistem peradilan dan mediasi di luar pengadilan. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut sedangkan mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa.30

a. Mediasi dalam Sistem Peradilan

Dalam pasal 130 HIR dijelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan dilaksanakan dalam bentuk perdamaian yang menghasilkan produk berupa akta persetujuan damai (akta perdamaian).

29Ibid.,

hal.57.

30Ibid.,


(3)

Hukum di Indonesia mengatur bahwa hasil mediasi harus dalam bentuk tertulis.Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk mediasi dalam lingkup pengadilan tetapi juga bagi mediasi di luar pengadilan.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa: jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib memuat klausul-klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai (Pasal 17 ayat (1) dan (6)).

b. Mediasi di Luar Pengadilan

Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari, mediasi yang berlangsung di luar pengadilan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat.Hal tersebut dapat dilihat dari adanya peraturan hukum adat yang melekat dan mendarah daging pada kebanyakan masyarakat Indonesia.Misalnya seorang kepala adat atau kepala kerabat bertindak sebagai penengah dalam memecahkan sebuah masalah/ sengketa dan memberi putusan terhadap masalah tersebut. Karena mediasi di luar pengadilan ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya daerah tertentu maka penyebutan dan tata cara pelaksanaannya juga berbada-beda sesuai dengan budaya yang berlaku pada masyarakat dan daerah tersebut.

Sampai saat ini, perkembangan mediasi sudah sangat baik.Masyarakat modern yang dulunya cendrung memilih bentuk penyelesaian perkara melalui litigasi, sekarang sudah berubah memilih mediasi. Hal tersebut dapat dilihat dari pengintegrasian proses mediasi kedalam bentuk perundang-undangan. Misalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

c. Mediasi-Arbitrase

Mediasi-Arbitrase adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan kombinasi antara mediasi dan arbitrase. Dalam bentuk ini, seorang


(4)

yang netral diberi kewenangan untuk mengadakan mediasi, namun demikian ia pun mempunyai kewenangan untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Sedangkan menurut Priyatna Abdurrasyid bahwa mediasi-arbitrae dimulai dengan mediasi, dan jika tidak menghasilkan penyelesaian dilanjutkan dengan arbitrase yang putusannya final mengikat.

d. Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan

Dengan mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi ad-hoc terbentuk dengan adanya kesepakatan para pihak dalam hal menentukan mediator untuk menyelesaikan perselisihannya, yang mempunyai sifat tidak permanen. Jenis ini bersifat sementara atau temporer saja, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu dan ketika selesai maka mediasi ini akan bubar dengan sendirinya. Sebaliknya, mediasi kelembagaan merupakan mediasi yang bersifat permanen atau terbentuk secara institusional/ melembaga, yakni suatu lembaga mediasi yang menyediakan jasa mediator untuk membantu para pihak.

C. Kelebihan dan Kekurangan Mediasi 1. Kelebihan Mediasi

Secara umum pihak yang bersengketa menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa dapat menemukan beberapa keuntungan31

a) Proses cepat. Persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-pusat mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan setiap pemeriksaan atau setiap kali pertemuan hanya berkisar satu sampai satu setengah jam saja. Hal ini sangat berbeda jauh dengan jangka waktu yang digunakan dalam proses arbiterase dan proses litigasi.

, yaitu:

31

Abdul Halim, Kontekstualisasi Mediasi Dalam Perdamaian, diunduh pada situs


(5)

b) Bersifat rahasia. Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses pemeriksaannya tidak dihadiri oleh publik. Hal tersebut sangat berbeda dengan pemeriksaan lewat proses litigasi. Untuk perkara-perkara yang pemeriksaannya atau persidangannya terbuka untuk umum dapat dihadiri oleh publik atau diliputi oleh pers sehingga sebelum pengambilan keputusan dan dapat bermunculan berbagai opini publik yang ada gilirannya dapat berpengaruh pada sikap para pihak yang bersengketa dalam menyikapi putusan majelis hakim.

c) Tidak mahal. Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan pelayanan dengan biaya sangat murah dan juga tidak perlu membayar biaya pengacara karena dalam proses mediasi kehadiran seorang pengacara kurang dibutuhkan.

d) Adil. Solusi bagi suatu persengketaan dapat diserasikan dengan kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan para pihak yang bersengketa dan oleh sebab itu pulalah keputusan yang diambil atau dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak.

e) Pemberdayaan individu. Orang-orang yang menegosiasikan sendiri masalahnya sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang melakukan advokasi melalu wakil seperti pengacara.

Selain itu, kelebihan dari mediasi antara lain32 a) Keputusan yang hemat;

:

b) Penyelesaian secara cepat;

c) Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak; d) Kesepakatan yang komprehensif;

e) Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan; dan f) Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu. 2. Kekurangan Mediasi


(6)

Dalam mediasi terdapat beberapa kekurangan, diantaranya adalah tidak ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat disimpangi oleh para pihak, mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya, mediasi bisa mengalami kegagalan dikarenakan mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung sehingga dimungkinkan para pihak tidak menemui penyelesaian yang sifatnya final dan memaksa secara langsung. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan pengertian yang jelas tentang berbagai bentuk penyelesaian sengketa termasuk mengenai mediasi, kecuali arbitrase. Bahkan proses atau mekanisme masing-masing bentuk lembaganya juga tidak diatur sebagian besar hanya mengatur secara lengkap tentang proses Arbitrase. Dalam Pasal 6 ayat (3) hanya menyebutkan bahwa dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Pada intinya pasal ini memberi peluang kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.33