Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan Agama Medan

(1)

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN

SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

TESIS

Oleh :

ERPI DESRINA HASIBUAN

107005137/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN

SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ERPI DESRINA HASIBUAN

107005137/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

N a m a : ERPI DESRINA HASIBUAN

N I M : 107005137

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum Ketua

)

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.Hum Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 26 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum

3. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Penumpukan perkara di Mahkamah Agung solusi mengatasinya dengan pemberdayaan pasal 130 HIR/ 154 Rbg dan intensifitas Perma No. 2 Tahun 2003 dan telah diperbaharui dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan yang mewajibkan proses mediasi sebelum pemeriksaan perkara. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan serta apa yang menjadi penyebab keberhasilan dan kegagalan mediasi di Pengadilan Agama Medan. Pemecahan masalah tersebut dilakukan penelitian secara yuridis, sosiologis untuk menganalisis pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Medan, persentase keberhasilan mediasi, faktor-faktor penyebab efektifitasnya di Pengadilan Agama Medan dengan melakukan penelitian terhadap hakim/mediator, advokat dan pencari keadilan. Pada pembahasan masalah dalam melakukan analisis dipergunakan teori islah.

Pelaksanaan mediasi di Pengadilan agama Medan, dibagi dalam 4 (empat)

tahapan, yaitu : 1). Tahap pendaftaran Perkara, 2). Tahap penetapan Mediator, 3). Tahap pelaksanaan Mediasi dan 4). Tahap akhir Mediasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Medan adalah asfek Mediator, aspek Perkara, aspek para pihak dan aspek Sarana sedangkan faktor yang menjadi penyebab kegagalan mediasi di Pengadilan agama Medan yaitu: (1) faktor substansi hukum (2 Struktur hukum, dan (3) Cultural hukum (masyarakat/budaya),

Mengatasi ketidakpastian pelaksanaan mediasi diperlukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Agung perlu memaksimalkan fungsi lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan dengan membuat aturan setiap perselisihan/sengketa hendaknya diselesaikan terlebih dahulu pada lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan sebelum akhirnya dibawa penyelesaiannya ke pengadilan dan diharapkan Peradilan Agama dapat dijadikan sebagai peradilan keluarga, sehingga Pengadilan Agama memerlukan bentuk mediasi yang ideal yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Medan, yaitu mendudukkan

mediasi atau specifically mediasi keluarga secara proporsional dalam konteks

penyelesaian sengketa keluarga di Indonesia dengan demikian diharapkan dapat meminimalisir perkara yang menyangkut keluarga.


(6)

ABSTRACT

Stacking cases in the Supreme Court can be solved by empowering Article 130 HIR/154 Rbg and intensifying the Regulation of Supreme Court No.2/2003 which has been amended by the Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Mediation which requires mediation process before the case investigation (proceedings). The problems discussed in this study was how mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court was implemented and what caused the success and failure of mediation in Medan Religious Court. A sociological juridical study was conducted to solve the problem by analyzing the implementation of mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court, the percentage of successful mediation, and the factors causing the effectiveness of mediation in Medan Religious Court by conducting a research on judges/mediators, advocates and litigants. The theory of reconciliation was used to discuss the problem in the analysis.

The implementation of mediation in Medan Religious Court is divided inbto 4 (four) phases: 1) case registration, 2) mediator establishment, 3) implementation of mediation, and 4) final stage of mediation.

The factors influencing the success of mediation in Medan Religious Court were the aspects of mediator, case, parties involved, and facility, while the factors that caused failure of mediation in Medan Religious Court were the factors of legal substance, legal structure, and legal culture (community/culture).

To solve the uncertain mediation implementation, the regulations of Supreme Court need to be reformed, the function of professional mediation institution out side of the court needs to be maximalized by making the rule saying that any dispute should be first settled through the professional mediation institution out side of the court before the case is brough to court of law, and Religious Court can be functioned as family justice that Religious Court needs an ideal form of mediation set forth in the form of lawthat can be used as the legal base for the implementation of mediation in Religious Court, especially Medan Religious Court, to position the mediation or specifically family mediation proportionally in the context of family dispute settlement in Indonesia, and so it is expected to be able to minimize the cases related to family issues.


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih terdapat kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun serta terdapat penelitian-penelitian lain yang lebih baik dan relevan dengan tesis ini pada masa yang akan datang.

Penulis juga menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan karena dukungan dan bantuan berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU juga

selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Penguji.

2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MS, sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum.

3. Prof. Dr.Budiman Ginting,S.H., M.Hum. , selaku Anggota Komisi Pembimbing

dan Penguji.

4. Ibu Dr. T.Kazerina Devi, SH.CN. M.Hum. sebagai Komisi Pembimbing dengan

penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis. 5. Ibu Dr. Idha Aprilia, SH., M.Hum., selaku Anggota Komisi Penguji.

6. Para Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengarahan kepada Penulis selama

menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

7. Seluruh pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala pelayanan dan dorongan kepada Penulis.

8. Ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama Medan, Mediator Pengadilan Agama

Medan serta Hakim Pengadilan dan Panitera Pengadilan Agama Medan.

9. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang,

menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Allah SWT, Semoga amal dan ibadahnya diterima disisiNya.

10.Kepada Suamiku tercinta, anak-anakku Inspirasiku yang membuatku ingin terus

maju dan maju, Adi Perdana Lubis, Nida’ul Haq Lubis, Riedha Rizkiyah Lubis dan Seila El-Saadah Lubis, Saudara-saudaraku, Kakak dan Adik yang penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

11.Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum, dan rekan-rekan yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini, penulisan Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Penulis


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Erpi Desrina Hasibuan

Tempat/Tgl. Lahir : Tapanuli Selatan, 3 Oktober 1968

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

PENDIDIKAN

SD : Hutanopan Tahun 1975 – 1981

SLTP : Hutanopan Tahun 1981 – 1984

SLTA : Padang Sidimpuan Tahun 1984 – 1987

S1 IAIN : Medan Tahun 1993


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19

2. Sumber Data Penelitian ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data ... 22

4. Analisis Data ... 23


(11)

BAB II : PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

A. Pengertian Mediasi ... 25

B. Berbagai Bentuk Mediasi dalam Masyarakat Indonesia ... 30

C. Pelembagaan Mediasi ... 36

D. Keahlian yang harus dimiliki Mediator ... 64

E. Tahapan-tahapan Mediasi ... 67

1. Tahap Pra Mediasi ... 67

2. Tahap-tahap Proses Mediasi ... 68

3. Tahap Akhir Hasil Mediasi ... 76

F. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Medan ... 76

1. Tahap Pendaftaran Perkara ... 76

2. Tahap Penetapan Mediator ... 81

3. Tahap Pelaksanaan Mediasi ... 83

4. Tahap Akhir Pelaksanaan Mediasi ... 87

BAB III : KEBERHASILAN MEDIASI DAN PENYEBAB KEGAGALAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA MEDAN A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Keberhasilan Mediasi .... 92

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kegagalan Mediasi ... 96

1. Faktor Substansi Hukum ... 96

2. Faktor Aparatur Hukum ... 97


(12)

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 103 B. Saran ... 105


(13)

ABSTRAK

Penumpukan perkara di Mahkamah Agung solusi mengatasinya dengan pemberdayaan pasal 130 HIR/ 154 Rbg dan intensifitas Perma No. 2 Tahun 2003 dan telah diperbaharui dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan yang mewajibkan proses mediasi sebelum pemeriksaan perkara. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan serta apa yang menjadi penyebab keberhasilan dan kegagalan mediasi di Pengadilan Agama Medan. Pemecahan masalah tersebut dilakukan penelitian secara yuridis, sosiologis untuk menganalisis pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Medan, persentase keberhasilan mediasi, faktor-faktor penyebab efektifitasnya di Pengadilan Agama Medan dengan melakukan penelitian terhadap hakim/mediator, advokat dan pencari keadilan. Pada pembahasan masalah dalam melakukan analisis dipergunakan teori islah.

Pelaksanaan mediasi di Pengadilan agama Medan, dibagi dalam 4 (empat)

tahapan, yaitu : 1). Tahap pendaftaran Perkara, 2). Tahap penetapan Mediator, 3). Tahap pelaksanaan Mediasi dan 4). Tahap akhir Mediasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Medan adalah asfek Mediator, aspek Perkara, aspek para pihak dan aspek Sarana sedangkan faktor yang menjadi penyebab kegagalan mediasi di Pengadilan agama Medan yaitu: (1) faktor substansi hukum (2 Struktur hukum, dan (3) Cultural hukum (masyarakat/budaya),

Mengatasi ketidakpastian pelaksanaan mediasi diperlukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Agung perlu memaksimalkan fungsi lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan dengan membuat aturan setiap perselisihan/sengketa hendaknya diselesaikan terlebih dahulu pada lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan sebelum akhirnya dibawa penyelesaiannya ke pengadilan dan diharapkan Peradilan Agama dapat dijadikan sebagai peradilan keluarga, sehingga Pengadilan Agama memerlukan bentuk mediasi yang ideal yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Medan, yaitu mendudukkan

mediasi atau specifically mediasi keluarga secara proporsional dalam konteks

penyelesaian sengketa keluarga di Indonesia dengan demikian diharapkan dapat meminimalisir perkara yang menyangkut keluarga.


(14)

ABSTRACT

Stacking cases in the Supreme Court can be solved by empowering Article 130 HIR/154 Rbg and intensifying the Regulation of Supreme Court No.2/2003 which has been amended by the Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Mediation which requires mediation process before the case investigation (proceedings). The problems discussed in this study was how mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court was implemented and what caused the success and failure of mediation in Medan Religious Court. A sociological juridical study was conducted to solve the problem by analyzing the implementation of mediation as the alternative to dispute settlement in Medan Religious Court, the percentage of successful mediation, and the factors causing the effectiveness of mediation in Medan Religious Court by conducting a research on judges/mediators, advocates and litigants. The theory of reconciliation was used to discuss the problem in the analysis.

The implementation of mediation in Medan Religious Court is divided inbto 4 (four) phases: 1) case registration, 2) mediator establishment, 3) implementation of mediation, and 4) final stage of mediation.

The factors influencing the success of mediation in Medan Religious Court were the aspects of mediator, case, parties involved, and facility, while the factors that caused failure of mediation in Medan Religious Court were the factors of legal substance, legal structure, and legal culture (community/culture).

To solve the uncertain mediation implementation, the regulations of Supreme Court need to be reformed, the function of professional mediation institution out side of the court needs to be maximalized by making the rule saying that any dispute should be first settled through the professional mediation institution out side of the court before the case is brough to court of law, and Religious Court can be functioned as family justice that Religious Court needs an ideal form of mediation set forth in the form of lawthat can be used as the legal base for the implementation of mediation in Religious Court, especially Medan Religious Court, to position the mediation or specifically family mediation proportionally in the context of family dispute settlement in Indonesia, and so it is expected to be able to minimize the cases related to family issues.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah panjang peradaban manusia selalui diwarnai konflik baik dari level komunitas terkecil seperti rumah tangga hingga ke tingkat menengah seperti antara partai, golongan sampai ke komunitas terbesar antar bangsa, agama dan negara. Konflik tersebut sering dilatarbelakangi oleh berbagai motif dan kepentingan. Salah satu penyebabnya adalah karena hilangnya nilai-nilai kebajikan, kemanusiaan, kedamaian dan persaudaraan antara individu atau kelompok.

Konflik mengandung pengertian1 "benturan", seperti perbedaan pendapat, persaingan, pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.2

1

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), hlm.145.

2

Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, (Jakarta: Indonesian Center Environmental Law, 1977), hlm. 24.


(16)

Kebanyakan dari sengketa yang terjadi, mengambil jalan dengan cara menyelesaikan sengketanya lewat jalur hukum di Pengadilan, untuk dimensi hukum perdata Islam maka arahnya ke Pengadilan Agama. Hampir semua kasus perdata akhirnya diajukan pula ke pengadilan yang tertinggi untuk kasasi karena selalu tidak puasnya para pihak yang kalah. Bahkan ada kecenderungan orang sengaja mengulur waktu dengan selalu mempergunakan upaya hukum, bahkan walaupun kurang beralasan dilanjutkan pula ke Peninjauan Kembali.3

Upaya Penyelesaikan sengketa atau perkara di Pengadilan, maka jalan pertama yang ditempuh di sana akan ditawarkan sebuah bentuk perdamaian yang bernama Mediasi dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau bahkan konflik.

4

Merekonsiliasi dan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak terkait sangat diperlukan demi terciptanya kembali kehidupan yang harmonis, damai dan saling pengertian, para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah SWT ke dunia dengan tujuan menebarkan Rahmat dan Kedamaian di muka bumi sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 70 yang artinya ”Tidak Kami utus Engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadikan rahmat bagi sekalian alam”.

Perdamaian adalah jawaban yang paling lembut sekaligus penyelesaian

yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) dan tidak ada yang merasa

dipecundangi, dan rasa egoisme para pihak akan sirna seiring dengan

3

Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 29.

4

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.22.


(17)

terpenuhinya perdamaian sehingga terbangun nilai-nilai persaudaraan (ukhuwwah) yang lebih kuat. Menciptakan konsep tersebut bukan hal yang mudah, karena masing-masing pihak telah terbius dengan ambisi masing-masing untuk saling ingin menguasai/memenangkan/mengalahkan.

Islam mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah

Shulhu/Ishlah sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 yang artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat”.

Shulhu adalah5 “suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak

mengakhiri perkara mereka secara damai”. Shulhu memberikan kesempatan

kepada para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam dalam menyelesaikan sengketa yang dapat memuaskan para pihak yang dilakukan secara suka rela tanpa

ada paksaan. Sulh menjadi sesuatu yang harus ada diantara kaum muslimin,

kecuali suatu perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.6

Konsep shuhlu dalam Islam tidak berbeda dengan Mediasi yang

dipraktekkan di sejumlah Negara-negara di dunia. Penggunaan Mediasi untuk menyelesaikan sengketa bukan merupakan fenomena baru. Di Amerika Serikat kelompok Imigran Quaker, Cina dan Jahudi mula-mula lebih cenderung menerapkan model-model mediasinya ketimbang mengikuti sistem peradilan

5

Ibid, hlm.159.

6

Syekh al-Imam Muhammad bin Ismail Al- Kahlani, subulussalam Juz 4 (Mesir: Syarikat Maktabah Mustafa al-Himabi, 1975). hlm.59.


(18)

Amerika. Perhimpunan tenaga kerja juga telah menggunakan Mediasi sejak di keluarkannya Arbitration Act 1888.7

Mediasi adalah:8

Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediasi

merupakan

sebagai Mediator, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

Mediasi di Indonesia merupakan bagian dari tradisi dari masyarakat, oleh karena itu pengembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor budaya, namun seringkali faktor ketidakefisienan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan turut

memperkuat komitmen mereka menggunakan Mediasi.9

Hukum Acara Perdata Indonesia yaitu HIR (Herzien Indonesis Reglement)

dalam Pasal 130 dan R.bg (Rechtsreglement Buitengewesten) Pasal 154 telah

mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi (Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan). Pasal 130 ayat (1) jo. Pasal 131 ayat (1) HIR, berbunyi sebagai berikut: Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan

pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.10

7

Jacqueline M. Nolan – Hlmey, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell (St. Paul – Minnesota: West Publishing Co, 1992), hlm. 54-55.

8

PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 angka 7.

9

Runtung Sitepu, “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Indonesia”, Disampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 25.

10


(19)

Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.11

Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang Mediator harus memahami fungsi apa saja yang harus ia perankan dalam suatu proses Mediasi. Penerapan konsep Mediasi akan membawa hasil maksimal apabila semua pihak mempunyai komitmen yang sama, niat yang sama dan saling memahami draf-draf yang disodorkan oleh semua pihak, termasuk mengutamakan pikiran yang positif (positive thinking) terhadap solusi yang ditawarkan para pihak sebagai mitra runding. Kesamaan ini perlu dibangun agar sejak awal semua pihak tidak terjebak oleh egoisme semu dan saling merasa paling benar.

Mediasi akan berhasil jika semua pihak mempunyai tekat untuk sepakat mengakhiri perselisihan dan mencari solusi jitu yang saling menguntungkan semua pihak. Agar semua pihak terikat dan dapat melaksanakan hasil Mediasi, maka materi perdamaian haruslah dituangkan dalam bentuk tulisan yang transparan, sederhana, riil dan memiliki dasar hukum yang jelas. Perdamaian yang dihasilkan melalui Mediasi akan sangat membantu menyelesaikan konflik dengan lebih singkat, mudah dan memupuk rasa persaudaraan.

11

Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm 15.


(20)

Berbekal berbagai kemampuan tersebut Mediator diharapkan mampu melaksanakan perannya untuk menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa tertentu dan kemudian mendesain serta mengendalikan proses intervensi lain dengan tujuan menuntun para pihak untuk mencapai suatu mufakat yang sehat. Peran penting yang harus dilakukan Mediator dalam suatu Mediasi antara lain adalah: 12

1. Melakukan diagnosa konflik,

2. Mengidentifikasikan masalah serta kepentingan-kepentingan kritis,

3. Menyusun agenda,

4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi,

5. Mengajak para pihak dalam proses ketrampilan tawar menawar,

6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting,

7. Menyelesaikan masalah dan menciptakan pilihan-pilihan,dan

8. Mendiagnosa sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.

Mediasi akan terlaksana secara meyakinkan bila dilaksanakan secara pribadi dan rahasia. Kerahasian akan membantu Mediator untuk membangun kepercayaan dan mengembangkan laporan konstruktif dengan pihak-pihak. Kerahasian juga akan membuat aman bagi pihak-pihak untuk memberikan informasi, juga akan menciptakan kondisi aman di mana pihak-pihak dapat mengemukakan kebutuhan dan kepentingannya tanpa kekhawatiran akan dirugikan. Kerahasian merupakan syarat penting yang harus tetap dijaga dalam Mediasi.

Peluang penerapan Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di pengadilan juga diatur dalam HIR Pasal 130 /154 R.Bg, di mana pada persidangan

12

Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Terjemahan Nagor Simanjuntak (Jakarta: Proyek Ellips, 1999), hlm. 253.


(21)

pertama hakim wajib mendamaikan para pihak yang bersengketa, namun dalam prakteknya belum di dayagunakan secara optimal. Hakim-hakim di pengadilan masih bersifat pasif dan upaya menuju kearah penyelesaian sengketa secara perdamaian diserahkan sepenuhnya kepada inisiatif para pihak yang bersengketa.

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan dan pengintegrasian Mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan dapat menjadi salah satu alat yang efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).

Upaya perdamaian yang tercantum dalam Pasal 130 HIR/154 RBg yang selama ini dilakukan oleh Hakim tingkat pertama secara pasif, perlu diubah menjadi bersifat aktif, dimana untuk mencapai hasil yang optimal Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) merasa sikap aktif Hakim itu perlu dilengkapi dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang cukup.

Perlunya dicarikan penyelesaian yang lebih mendasar yaitu mengurangi lajunya perkara-perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung atau dengan membatasi perkara-perkara yang tidak perlu sampai ke Mahkamah Agung, antara lain dengan sedapat mungkin menyelesaikan perkara di pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding, dengan musyawarah melalui penyelesaian sengketa


(22)

alternatif baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan.13

Bentuk penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi yang sekarang dipraktikkan terintegrasi dengan proses Peradilan.14

Landasan yuridisnya mengenai Mediasi secara tertulis di Indonesia, awalnya terdapat di dalam hukum acara perdata yaitu HIR Pasal 130 dan R.bg 154 telah mengatur tentang lembaga perdamaian, dimana Hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya

diperiksa secara adjudikasi dan untuk memberdayakan pasal tersebut, maka

dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg. Selanjutnya untuk melengkapinya, dikeluarkan pula Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi yang dewasa ini dipraktikkan di pengadilan memiliki kekhasan, yaitu dilakukan ketika perkara sudah di daftar di pengadilan (connected to the court).

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman secara tegas kewenangannya diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.”

13

Runtung Sitepu, Op.Cit.,hlm. 5

14

Mediasi dalam proses hukum acara perdata dilihat dari segi administrasi akan mengurangi tekanan perkara di pengadilan sehingga pemeriksaan perkara dapat dilakukan lebih bermutu (karena tidak ada ketergesa-gesaan), efektif, efisien dan mudah dikontrol. Lihat dalam Bagir Manan, Peran Sosok Hakim Agama sebagai Mediator dan Pemutus Perkara serta Kegamangan masyarakat terhadap Keberadaan lembaga Peradilan, sambutan Ketua Mahkamah Agung RI. Pada Serah Terima Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan. (22 Agustus 2003) hlm. 4.


(23)

Kewenangan Pengadilan Agama dapat diketahui dari ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50 Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 1. Perkawinan, 2. Waris, 3. Wasiat, 4. Hibah, 5.Wakaf, 6. Zakat, 7. Infaq, 8. Shadaqah, dan 9. Ekonomi Syariah.15

Beberapa perkara di Pengadilan Agama yang tidak wajib Mediasi, yaitu.16

“Perkara volunter (perkara yang tidak mengandung sengketa tetapi ada

kepentingan hukum serta diatur dalam Undang-undang) dan perkara yang menyangkut legalitas hukum, seperti Itsbat nikah, pembatalan nikah, hibah dan wasiat serta perkara yang salah satu pihaknya tidak hadir di persidangan”.

Secara teoritis, penyelesaian sengketa melalui Mediasi di Pengadilan Agama membawa sejumlah keuntungan, di antaranya perkara dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya ringan dan mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008, menyebutkan bahwa Mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses peradilan formal dalam Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan wajib didahulukan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan Mediator. Tidak menempuh prosedur Mediasi

15

Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama.

16

Keputusan Mahkamah agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006

tentang Pemberlakuan buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, hlm.83.


(24)

berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130

HIR dan atau 154 R.Bg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.17

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi harus memerlukan beberapa tahapan. Persidang pertama yang dihadiri para pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara menempuh Mediasi terlebih dahulu sebelum sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya dan para pihak memilih para Mediator dan hakim menunjuk dan menetapkan Mediator sekaligus menyerahkan fotocopy berkas perkara kepada para Mediator.

Bila tercapai kesepakatan dalam proses Mediasi maka para pihak merumuskan kesepakatan secara tertulis dan memberitahukan hasil kesepakatan itu kepada hakim untuk memenuhi pengukuhan kesepakatan sebagai akta

perdamaian oleh hakim.18 Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan

perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausul pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai .19 Tujuan Mediasi adalah: 20

1. Bagi para pihak yang berperkara Mediasi bertujuan untuk:

a. Tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan

keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi.

17

PERMA No. 1 tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 2 ayat 3.

18

Runtung Sitepu, Op.Cit., hlm. 6.

19

PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 17 angka 6.

20

Tujuan adanya Mediasi yang terintegrasi dalam proses berperkara di pengadilan menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam diktum menimbangnya dikatakan adalah (a) bahwa Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. (b) bahwa pengintegrasian Mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).


(25)

b. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.

c. Hubungan baik para pihak yang bersengketa tetap dapat di jaga.

d. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan

kesepakatan.

2. Bagi Pengadilan Agama, tujuan Mediasi adalah untuk mengurangi

kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan, dan memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut maka Penulis melakukan penelitian dengan judul “Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Medan”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan Permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan Mediasi dalam Menyelesaikan sengketa di

Pengadilan Agama Medan?.

2. Bagaimana keberhasilan dan kegagalan Mediasi sebagai Alternatif

Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan?.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji Pelaksanaan Mediasi dalam

Menyelesaikan Sengketa di Pengadilan Agama Medan.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji Keberhasilan dan Penyebab Kegagalan


(26)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam kasus-kasus sengketa yang diproses di Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Medan. 2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat) serta Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta Mediator, sehingga Aparat Penegak Hukum dan para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama mempunyai persepsi yang sama dalam menyelesaikan masalah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Medan


(27)

belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Sebelumnya pernah dilakukan penelitian oleh Emirza Henderlan Harahap, Magister Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul “Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah” dan penelitian lainnya oleh Nurhilmiyah, Magister Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Mediasi di Pengadilan pasca keluarnya perma nomor 1 tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan”. Jika di konprontir penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah berbeda dalam pembahasannya. jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Ishlah

(mendamaikan). Secara istilah, ishlah dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya dengan perilaku manusia.21

21

E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden E.J. Brill, 1990), Jil. IV, hlm. 141.

Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum, Ishlah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Sementara


(28)

menurut ulama fikih, kata Ishlah diartikan sebagai perdamaian, yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan persengketaan di antara manusia yang bertikai, baik individu maupun kelompok.22

a. Teori Ishlah.

Berdasarkan penjelasan terminologi di atas, studi ini memilih menggunakan beberapa teori yaitu :

Teori Ishlah bersumber dari Al-Quran. Ishlah disebut dalam ayat di dalam Al-Quran sebagai berikut:

1. Ishlah memiliki nilai yang sangat luhur dalam pandangan Allah, yaitu pelakunya memperoleh pahala yang besar (An-Nisa 114). 2. Ishlah antara suami-isteri yang di ambang perceraian; dengan

mengutus al-hakam (juru runding) dari kedua belah pihak; Q.S.

An-Nisa: 35. dan lain-lain.

3. Ishlah itu baik, terutama ishlah dalam sengketa rumah tangga (An-Nisa128).

4. Teori ishlah ini jika diterapkan untuk memahami Mediasi di

pengadilan agama berbunyi sebagai berikut:

a) Para pihak yang bersengketa di pengadilan agama adalah

orang mukmin. Setiap orang mukmin dengan sesama mukmin lainnya adalah bersaudara. Persaudaraan antara orang mumin merupakan persaudaraan seagama yang memiliki konsekuensi hukum yaitu antara orang mukmin

22

Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidyah fi Syarh al-hidyah, (BeirutDar al-Fikr, t,th), Jil. 9, hlm. 3.


(29)

dilarang saling mendhalimi dan membiarkannya didhalimi, perumpaan seorang mukmin dengan mukmin lainnya laksana seperti tubuh tetapi jadilah hamba-hamba

Allah SWT yang bersaudara (wa kunu ibadallahi

ikhwana).23

b) Akibat persaudaraan antara orang mumin, jika mereka

bersengketa di pengadilan agama maka mereka harus

mencari penyelesaian sengketa tersebut dengan ishlah

karena ishlah merupakan perintah Al-Quran yang

ditujukan bagi orang yang beriman fa ashlihu baina

akhawaikum artinya: maka damaikanlah diantara

saudaramu.

c) Pasangan suami isteri yang bersengketa di pengadilan

agama adalah orang mukmin. Jika mereka mengangkat

seorang hakam untuk mengishlahkan mereka di dalam

menghadapi kemelut dalam rumah tangganya Allah akan memberi taufiq kepada suami isteri itu (An-Nisa ayat 35).

d) Para pihak yang bersengketa di pengadilan agama dan

menyelesaikan sengketa dengan ishlah memiliki nilai yang sangat luhur dalam pandangan Allah SWT, yaitu pelakunya memperoleh pahala yang besar (An-Nisa ayat 114).

23

Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adhim. (Beirut: Dar El-Fikr, 1999), juz II hlm. 296-297.


(30)

b. Teori Sistem Hukum (Lawrence M. Friedman).

Teori ini digunakan untuk melihat implementasi Mediasi.

Menurutnya, sistem hukum terdiri atas tiga elemen, yaitu elemen struktur, substansi dan budaya hukum.24

Kelembagaan hukum adalah bagian dari struktur hukum seperti Mahkamah Agung, dan badan-badan peradilan di bawahnya termasuk Pengadilan Agama beserta aparaturnya. Hakim pengadilan sebagai struktur Pengadilan memiliki peran yang penting di dalam meningkatkan keberhasilan Mediasi. Keberhasilan dan kegagalan Mediasi ditopang oleh kemampuan dan kecakapan Mediator di dalam menjalankan perannya.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu elemen substansi hukum. Elemen substansi ini dapat memberikan kepastian kepada para pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar dari sengketa yang sedang dihadapi. Peraturan Mediasi ini paling

tidak berisi mengenai substantif dan prosedural Mediasi.

Terkait dengan budaya hukum ini, Mediasi di Pengadilan Agama sesungguhnya merupakan produk dari sistem hukum yang cara pemanfaatan dan penggunaannya sangat tergantung dengan nilai dan keyakinan masyarakat sebagai pengguna Mediasi tersebut. Nilai dan

keyakinan merupakan bagian dari budaya masyarakat.

24

Lawrence M. Friedman, American Law (New Yor: KW.W. Norton and Company, 1984) hlm. 7-12


(31)

Jika masyarakat menilai dan berkeyakinan bahwa Mediasi dapat berperan sebagai sarana penyelesaian masalah sengketa yang dihadapi maka tujuan Mediasi akan tercapai sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya ringan, reputasi para pihak tidak terganggu, dan hubungan baik tetap terjaga.

Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini syarat pokok

(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya

keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.

2. Konsepsional

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan Mediasi adalah proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (Mediator) untuk mendapatkan suatu hasil yang saling menguntungkan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.25

25

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm. 569.


(32)

Mediasi adalah suatu proses dimana pihak netral yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa, bertindak sebagai seorang fasilitator bagi kepentingan negosiasi mereka dan membantu mereka mencapai solusi yang saling

menguntungkan.26

Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang

tidak memiliki kewenangan memutus.27

Alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa melalui jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh melalui cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak.28

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau-beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar Pngadilan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau penilaian ahli.29

G. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang

26

Alternative Dispute Resolution (ADR), http:/www.fmladr.com/services.html. Available, diakses tanggal 2 Juni 2011.

27

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.12.

28

Maria SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, (Jakarta: Kompas, 2008). hlm.4

29

UU RI No. 3 tahun 1999, Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 ayat (10)


(33)

tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.30

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normative, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan

kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Metode penelitian

normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam

buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan

oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process).31 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.32

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan

horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana

30

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hlm.105.

31

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hlm.118.

32


(34)

hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

Penelitian ini bersifat Deskriftif Analitis. Yakni untuk mencari

penyelesaian permasalahan, memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan/ fakta yg ada. Deskriftif Analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang pelaksanaan Mediasi sesuai dengan penggunaan peraturan perundang-undangan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini. Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi Sumber-sumber-Sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan bahan-bahan hukum tersier, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan


(35)

hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara.

b) Bahan Hukum Sekunder

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan Pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.33

c) Bahan hukum Tersier

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus, majalah dan jurnal ilmiah.34

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum Primer, Sekunder dan Tersier sebagai sumber penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan:

a. Library Research yaitu Penelitian Kepustakaan dilaksanakan

dengan cara mempelajari dan mengkaji Peraturan

33

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005), hlm 141.

34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta: Grafitti Press, 1990), hlm. 14.


(36)

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dan peraturan lainnya, buku-buku yang berisi mengenai teori Mediasi atau jenis bacaan lain yang ada hubungannya dengan masalah Mediasi.

b. Deepth interview (wawancara mendalam) dilakukan sebagai sarana untuk mengetahui secara mendalam mengenai pelaksanaan Mediasi. Wawancara dilakukan kepada pejabat, Ketua ketua Pengadilan Agama dan Hakim di Pengadilan Agama serta Mediator. Selain itu juga wawancara dilakukan dengan para pihak mengenai pelaksanaan Mediasi.

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif

dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi dokumen, studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :35

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan

hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan -hukum tersebut.

35

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hlm. 225.


(37)

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama Medan.

c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan

kemudian diolah.

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai

kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan sebagai kesimpulan atas Permasalahan.

5. Teknik Penarikan kesimpulan

Cara penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh penulis adalah pola pikir secara induktif-deduktif yang akan membantu penelitian ini dalam taraf konsistensi serta konseptual dan prosedur tata cara sebagaimana yang diterapkan oleh azas-azas hukum yang berlaku dalam perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan gambaran

terhadap permasalahan yang akan dijawab.36

a) Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan trans ormasi data.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara:

b) Penyajian data, dilakukan secara naratif dari teks yang belum

teratur, atau masih berupa matrik, grafik, bagan guna menggabungkan informasi sehingga padu dan mudah dimengerti.

36

Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi), (Bandung: PT.Remaja, Rosdakarya, 2007), hlm,248.


(38)

c) Penarikan kesimpulan, dari hasil penyajian data dapat dilihat oleh peneliti apa yang sedang terjadi sehingga dapat menentukan penyimpulan secara deskriptif.


(39)

BAB II

PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

A. Pengertian Mediasi

Istilah Mediasi secara etimologi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai Mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa para pihak. “ Berada di tengah” juga bermakna Mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. “Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara

adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang

bersengketa”.37

Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang Mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela.

Dalam Colllins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa “

Mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna

37


(40)

menghasilkan kesepakatan (agreement)”. 38

Penjelasan Mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan

kepada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya, dimana hal ini sangat penting untuk membedakan dengan bentuk-bentuk lainnya seperti Arbitrase, Negosiasi, Adjudikasi dan lain-lain.

Kegiatan ini dilakukan oleh Mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa. Posisi Mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencari kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan persengketaan.

Pengertian Mediasi secara etimologi tersebut diatas masih sangat umum sifatnya, belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan Mediasi secara menyeluruh, untuk itu perlu diuraikan pengertian Mediasi secara terminologi yang diungkapkan para ahli resolusi konplik. Para ahli resolusi konplik beragam dalam memberikan definisi Mediasi sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Christopher W.More menyatakan Mediasi adalah “intervensi dalam sebuah sengketa atau negoisasi oleh pihak ketiga yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak

38

Lorna Gilmour, Penny Hand, Cormac McKeown, Colllins English Dictionary and Thesaurus, Third Edition, (Great Britain, Harper Collins Publishers, 2007), hlm. 510.


(41)

yang bertikai agar sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.39

Menurut Takdir Rahmadi, Mediasi adalah “suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan

bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus”.40

Pengertian Mediasi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah “Sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat”.41 Pengertian dari segi bahasa tersebut mengandung tiga unsur penting, yaitu:42

1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang

terjadi antara dua pihak atau lebih.

2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang

berasal dari luar pihak yang bersengketa.

3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai

penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.

Secara yuridis, pengertian Mediasi lebih konkret ditemukan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan. Dalam PERMA tersebut dinyatakan bahwa “Mediasi adalah43

39

Christopher W.More (selanjutnya disebut Christoper W.More II), Mediasi lingkungan,

(Jakarta:Indonesian Centre for Environmental Law dan CDR Associates,1995), hlm. 18.

“cara

40

Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm.12.

41

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988), hlm. 569.

42

Syahrizal Abbas.Op.Cit., hlm. 3.

43


(42)

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator”.

Pengertian Mediasi dalam PERMA No.1 Tahun 2008 tidak jauh berbeda dengan esensi Mediasi yang dikemukakan para ahli resolusi konflik, namun pengertian ini menekankan pada satu aspek penting dimana Mediator proaktif mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediator harus mampu menemukan alternatif-alternatif penyelesaian sengketa. Tidak hanya terikat dan terfokus pada apa yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa mereka. Mediator harus mampu menawarkan solusi lain, ketika para pihak tidak lagi memiliki alternatif penyelesaian sengketa atau para pihak sudah mengalami kesulitan atau bahkan deadlock (jalan buntu) dalam penyelesaian sengketa, oleh karena itu Mediator harus memiliki beragam konsep yang dapat memfasilitasi dan membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.

Berdasarkan beberapa defenisi dan pengertian diatas, dapat diidentifikasikan unsur-unsur esensial Mediasi sebagai berikut:44

1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan

berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak.

2. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak

yang disebut Mediator.

3. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu

para pihak yang bersengketa

44


(43)

Mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah hukum Privat/Perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga, waris, bisnis, kontrak, perbankan dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur Mediasi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disingkat UU Nomor 30 Thn 1999) sebagai dasar pelaksanaan Mediasi diluar pengadilan tidak ditemukan batasan-batasan penyelesaian sengketa melalui Mediasi secara jelas, namun secara implisit batasan Mediasi tertuang dalam UU Nomor 30 Thn 1999, pasal 6 ayat (1) berbunyi:“ Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”. 45

PERMA No.1 Tahun 2008, sebagai aturan pelaksanaan Mediasi yang diintegrasikan di pengadilan (non litigasi) secara tegas menentukan ruang lingkup Mediasi, dimana Mediasi dilakukan terhadap semua sengketa perdata, sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 4 berbunyi.

“ Kecuali perkara yang diselesaikan melalui presedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi pengawas

45

Ketentuan dalam pasal tersebut memberi ruang gerak Mediasi yang cukup luas yaitu seluruh perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup perdata, bahkan undang-undang ini memberikan penegasan ruang lingkup yang berbeda antara arbitrase dengan Mediasi, sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1) :“ Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.


(44)

Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator “.

Ketentuan pasal ini menggambarkan ruang lingkup sengketa yang dapat dimediasi adalah seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan Agama.

Proses Mediasi dimana segala sesuatu yang dihasilkan harus merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak yang terdiri dari dua pihak yang bersengketa maupun lebih dari dua pihak. Adakalanya disebabkan berbagai faktor para pihak bersengketa tidak berhasil mencapai penyelesaian, sehingga Mediasi berakhir dengan jalan buntu. Situasi seperti inilah yang membedakan Mediasi dengan litigasi. Proses litigasi pasti akan berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum berupa putusan hakim, meskipun putusan hakim tidak selalu dapat mengakhiri sengketa.

B. Berbagai Bentuk Mediasi Dalam Masyarakat Indonesia

Penyelesaian sengketa alternatif telah lama digunakan oleh masyarakat tradisional di Indonesia dalam rangka menyelesaikan sengketa di antara mereka. Penyelesaian sengketa alternatif secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup di dalam masyarakat.46

46

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hlm. 247.


(45)

Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah mempraktekkan Mediasi dalam penyelesaian konflik, sebab mereka percaya bahwa dengan melakukan usaha damai maka akan mengantarkan mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terciptanya nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.

Beberapa daerah di Indonesia menganggap bahwa kepala desa atau kepala suku masih dianggap kekuasaan tertinggi dalam memimpin desa, dan sebagai perantara atau memberikan keputusan dalam persengketaan antara rakyat.47

Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata, publik.

48

Setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik

47

Runtung Sitepu, Op.Cit., hlm. 4.

48


(46)

melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.49

Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan Mufakat ini telah tercatat dalam falsafah Bangsa Indonesia pada sila ke-4, dalam

UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.50

Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung menggunakan ‘pola adat’ atau dalam istilah lain sering disebut pola ‘kekeluargaan’. Pola ini diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata tetapi juga pidana. Penyelesaian sengketa dalam pola adat, bukan berarti tidak ada kompensasi atau hukuman apa pun terhadap pelanggar hukum adat. Masyarakat hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah, yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang menguntungkan kedua belah pihak.

Fakta-fakta dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia di dalam menyelesaikan sengketa, beberapa bukti diantaranya :

49

Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tata Nusa, 2004), hlm.18.

50

Sila ke 4 Pancasila yaitu: Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.


(47)

1. Di Minangkabau, dikenal Kerapatan Nagari yang dikepali oleh Wali Nagari. Yang dimaksud dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN) ialah Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Permufakatan Adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang Adat di tengah-tengah Masyarakat Nagari di Sumatera Barat.51 Keputusan dari Kerapatan Adat Nagari selalu didasarkan kepada Musyawarah yang disebut dengan

Rapek (rapat) dan di dalam rapat inilah segala sesuatu dipertimbangkan

semasak-masaknya.52

Kelembagaan adat di Minangkabau ini menggabungkan pendekatan

Mediasi dan pendekatan memutus. Dalam Kerapatan Nagari yang bertindak

sebagai Mediator atau Pemutus adalah Para Penghulu Adat.

Kerapatan adat Nagari ini merupakan lembaga

kerapatan tertinggi yang berada di nagari.

2. Di kalangan masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok ada pula dikenal

suatu lembaga penyelesaian sengketa yang diberi nama Begundem. Suku

Sasak dalam menyelesaikan perselisihan pertama-tama hendaklah didahului dengan memberikan peringatan atau nasehat, dan jika peringatan tidak diindahkan maka diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai

perdamaian. Musyawarah (Begundem) dilaksanakan oleh lembaga Adat

yang disebut Krama Adat sesuai tingkat dan kompetensinya. Untuk tingkat

51

Hakimi, D. Dt. Penghulu Pedoman Ninik Mamak Pemangku Adat. (Sumatera Barat: Penerbit Biro Pembinaan Adat dan Syarak, LKAAM Provinsi Sumatra Barat. hlm. 90.

52

Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 25.


(48)

lingkungan atau Dusun (Gubuk) dilaksanakan oleh Krama Gubuk yang berwenang menyelesaikan masalah antar warga lingkungan atau antar

keluarga di lingkungan tersebut. Karma Gubuk terdiri dari Kepala

Lingkungan (kelian) selaku ketua adat di lingkungan, tokoh

Agama (kiaigubuq) dan pemuka-pemuka masyarakat. Sedangkan di tingkat

desa dilaksanakan oleh Krama Desa yang terdiri dari Kepala Desa selaku

Kepala Adat, Juru Tulis, Penghulu Desa, Pemuka Masyarakat dan Para

Kelian.

3. Masyarakat Batak Karo juga mengenal penyelesaian sengketa melalui

Runggun. Dalam Masyarakat Karo setiap masalah dianggap masalah

keluarga dan masalah kerabat, dengan demikian masalah yang menyangkut keluarga atau kerabat harus dibicarakan secara adat dan dibawa ke suatu

perundingan untuk dicari penyelesaiannya. Runggun artinya

bersidang/berunding dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.53

Runggun dihadiri oleh Sangkep Sitelu yang ada pada masyarakat Karo.

Runggun pada masyarakat Karo dalam penyelesaian sengketa tidak

memerlukan waktu yang lama, tidak berbelit-belit, murah, kekeluargaan dan

harmonis. Runggun dapat diketegorikan menyelesaiakan sengketa dengan

53

Rehngena Purba, Penyelesaian Sengketa Oleh Runggun pada Masyarakat Karo, Seminar sehari Membangun Masyarakat Karo menuju tahun 2010, diprakarsai Badan Musyawarah Masyarakat Karo (BMMK) di Hotel Sinabung, Berastagi Selasa 19 September 2007.


(49)

mediasi karena dilakukan dengan perantaraan jasa Anak beru, Senina dan

Kalimbubu.54

Kesadaran atas pentingnya Mediasi dapat dilihat dari semakin banyaknya lembaga pemerintah dan swasta yang bekerjasama dengan lembaga yang telah

memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung menyelenggarakan pelatihan

Mediator. Semakin meningkatnya jumlah Mediator yang menjalankan profesinya baik di luar maupun di pengadilan akan meningkatkan keinginan pihak yang bersengketa untuk memilih Mediasi. Dengan demikian harapan penyelesaian sengketa secara damai dapat diwujudkan karena melalui para Meditor tersebut dapat disosialisasikan bahwa memilih Mediasi lebih efektif daripada membawa sengketa ke Pengadilan.

Mahkamah Agung juga telah bekerjasama dengan lembaga-lembaga Mediasi di Indonesia, yaitu dengan Indonesian Institute For Conflict Transformation (IICT) dan Pusat Mediasi Nasional (PMN), dua lembaga pertama yang mendapat akreditasi pada tahun 2003 sebagai lembaga yang melaksanakan pelatihan

sertifikasi Mediator menyusun kurikulum, silabus dan materi yang dipergunakan

dalam pelatihan sertifikasi Mediator. Mahkamah Agung juga membentuk kelompok kerja yang membantu perkembangan Mediasi dan memantau hasil pelaksanaan Mediasi di Indonesia.

54

Mariah Rosalina, Eksistensi Runggun Dalam Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan Pada Masyarakat Karo, Intisari Tesis Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, 2000.


(50)

Selain kedua lembaga yang telah disebutkan di atas, ada beberapa lembaga yang telah diakreditasi dan menyelenggarakan pelatihan sertifikasi Mediator. Mahkamah Agung sendiri telah melaksanakan pelatihan bagi para hakim baik hakim Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama dari seluruh Indonesia, bahkan mulai tahun 2010 dalam kurikulum pendidikan calon hakim diberikan pelatihan sertifikasi mediator. IICT sendiri saat ini telah menghasilkan alumni yang berasal dari berbagai profesi seperti Akademisi, Pengacara, Dokter, Notaris, Pengusaha, Guru, Mahasiswa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan sebagainya. Usaha mendayagunakan Mediasi juga dilaksanakan melalui sosialisasi, seminar, penelitian, diskusi, studi banding dan partisipasi dalam pertemuan internasional.

C. Pelembagaan Mediasi

Perundang-undangan Indonesia mengandung prinsip bahwa Musyawarah dan Mufakat yang berujung damai juga digunakan dalam lingkungan Peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan Perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang.

Mediasi dengan landasan Musyawarah menuju Kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-Belanda maupun dalam produk hukum Indonesia sekarang. Pengaturan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, karena Indonesia merupakan Negara Hukum. Mediasi sebagai Institusi Penyelesaian Sengketa dapat


(51)

dilakukan oleh Hakim di Pengadilan atau pihak lain yang berada di luar Pengadilan, akibat dari itu dalam keberadaan Mediasi diperlukan aturan hukum. Untuk itu Pemerintah Indonesia memberlakukan aturan yang mengatur Mediasi di Indonesia, yaitu:

1. HIR Pasal 130/Rb.g Pasal 154.

Sebenarnya sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi: Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka. Selanjutnya ayat (2) mengatakan : Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa. Dari bunyi pasal diatas dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata menghendaki penyelesaian perkara dengan perdamaian daripada proses putusan biasa.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de

burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv. Pada tahun 1894,

menjelaskan bahwa penyelesaian perkara dengan cara damai sudah diperkenalkan. Bunyi pasal diatas sebagai berikut : (1) jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka, (2) Jika


(52)

perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak di hukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa, (3) Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diijinkan dibanding, (4) Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.

2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Penyelesaian Sengketa .

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disingkat UU No.30 Thn 1999) sebagai dasar pelaksanaan Mediasi diluar Pengadilan tidak ditemukan batasan-batasan penyelesaian sengketa melalui Mediasi secara jelas, namun secara implisit batasan Mediasi tertuang dalam pasal 6 ayat (1) berbunyi: “ Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada i’tikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”.

Ketentuan dalam pasal tersebut memberi ruang gerak Mediasi yang cukup luas yaitu seluruh perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup perdata, bahkan undang-undang ini memberikan penegasan ruang lingkup yang berbeda antara arbitrase dengan Mediasi, sebagaimana yang


(53)

ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1) : Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Ketentuan ini memberikan rincian khusus ruang lingkup sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur Arbitrase, berbeda dengan Mediasi yang kelihatannya lebih luas ruang lingkupnya dalam bidang perdata, sebagaimana yang termuat dalam pasal 1 butir (10) ; “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, Mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

Selain yang diatur dalam undang-undang tersebut, diatur juga penyelesaian sengketa melalui dading dengan berdasarkan Pasal 1338, 1851-1864 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata menjelaskan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara syah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan seperti ini mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak.

Perkembangan dalam undang-undang tersebut secara tegas mengakui ADR sebagai mekanisme dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan.


(54)

Beberapa lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) yang merupakan pilihan penyelesaian sengketa tertentu yang diakui seperti:

1) BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), yang didirikan atas

prakarsa KADIN (Kamar Dagang dan Industri) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan

Industri. BANI merupakan perwujudan Arbitrase yang juridiksinya

(kewenangan) meliputi sengketa-sengketa perdata dalam perdagangan. Penyelesaian Sengketa Konsumen, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.

2) BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). ADR dalam

menyelesaikan restrukturisasi Utang, oleh Satuan Tugas Prakarsa di Jakarta adalah lembaga yang didirikan berdasarkan Keputusan Mentri Negara Kordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Nomor: Kep.04/M.EKUIN/02/2000.

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32 Tahun

2009 melengkapi dari undang-undang sebelumnya, sebagaimana yang tercantum pada Bab XIII UU No 32 Tahun 2009 dikatakan bahwa


(55)

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan (pasal 84 ayat 1). Pada bagian kedua tentang penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup diluar Pengadilan, dikatakan pada pasal 85 (1) bahwa Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar Pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi;

a) Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau peruskan;

b) Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya

pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau

c) Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap

lingkungan hidup.

Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar pengadilan ini

menganut konsep ADR, yang dilakukan dalam wujud Mediasi ataupun Arbritasi. Dan pada bagian inilah peran POLRI dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang Mediator dalam pelaksanaan Mediasi. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang memperkenankan untuk hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu kebijakan. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009 dan terdiri dari : Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan.


(56)

4. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39, Tentang Perkawinan, UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 65, KHI Pasal 115, 131 (2), 143 (1-2), 144, dan PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 32.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 39 Tentang Perkawinan menyebutkan Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Peraturan Pemerintah, dan Pasal 143 (1-2), Kompilasi Hukum Islam sebagaimana diatas menyebutkan bahwa hakim harus mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha untuk mendamaikan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada setiap pemeriksaan. Agar upaya damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula menghadirkan keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak yang berperkara untuk di dengar keterangannya, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga agar mereka dapat berdamai. Jika upaya ini tetap gagal maka barulah dilakukan penyelesaian hukum secara litigasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 31 ayat (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. Ayat (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal 32 yaitu Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 33 berbunyi


(57)

Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

5. SEMA No. 1 Tahun 2002, tentang Pemberdayaan Pengadilan

Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2002 merupakan tindak lanjut hasil Rapat Kerja Nasional I Mahkamah Agung yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 24 sampai dengan tanggal 27 September 2001. Surat Edaran ini menekankan kembali pemberdayaan

pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya damai (lembaga

dading) sebagaimana ditentuan dalam pasal 130 HIR/pasal 154 RBg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, khususnya pasal 132 HIR/pasal 154 RBg. Hasil Rakernas ini pada dasarnya merupakan penjabaran rekomendasi Sidang Tahunan MPR tahun 2000, agar Mahkamah Agung mengatasi tunggakan perkara.

Isi SEMA No. 1 tahun 2002 ini mencakup:

a. Upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan

sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekedar formalitas,

b. Melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai

fasilitator dan atau Mediator, tetapi bukan hakim majelis (namun hasil Rakernas membolehkan dari hakim majlis


(58)

dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih mengetahui permasalahan),

c. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun

Mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila terdapat alasan untuk itu dengan persetujuan ketua Pengadilan, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 tahun 1992,

d. Persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte

perdamaian (dading), dan para pihak dihukum untuk

mentaati apa yang telah disepakati,

e. Apabila Mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus

melaporkan kepada ketua Pengadilan/ketua Majelis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung, dan

f. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian,

dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang


(1)

pertemuan secara langsung antara para pihak menghilangkan kesempatan bagi para pihak untuk saling terbuka dalam penyampaian kepentingan tersembunyi para pihak berperkara. Serta tidak adanya pertemuan secara langsung antara para pihak dengan Mediator membuat mediator tidak dapat mengungkap kepentingan tersembunyi para pihak berperkara.. c). Faktor Budaya Hukum. Jumlah terbesar perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah perkara perceraian yang telah sebelumnya telah diupayakan damai oleh para pihak secara langsung maupun menggunakan pihak lain yang berasal dari kalangan keluarga kedua belah pihak maupun seseorang yang ditokohkan dan para pihak tidak menginginkan sidang, apalagi Mediasi, Jadi ke Pengadilan Agama hanya untuk mencari surat cerai saja.

B. Saran-saran

1. Mahkamah Agung perlu memaksimalkan fungsi lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan dengan membuat aturan setiap perselisihan/sengketa hendaknya diselesaikan terlebih dahulu pada lembaga Mediasi profesional di luar pengadilan sebelum akhirnya dibawa penyelesaiannya ke pengadilan.


(2)

2. Diharapkan Peradilan Agama dapat dijadikan sebagai peradilan keluarga, sehingga Pengadilan Agama memerlukan bentuk mediasi yang ideal yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Medan, yaitu mendudukkan mediasi atau specifically mediasi keluarga secara proporsional dalam konteks penyelesaian sengketa keluarga di Indonesia sehingga diharapkan dapat meminimalisir perkara yang menyangkut keluarga.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta, Kencana, 2009.

Adam , Siti Megadianty dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Jakarta, Indonesian Center Environmental Law, 1977.

Allan J. Stitt. (2004). Mediation A Practical Guide. London Routledge Cavendish. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta,

Grafitti Press, 2006.

Anonimous. (2008). Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Dibuat atas kerjasama MARI, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute for Conflikct Transformation (IICT).

Baruch Bush, Robert A dan P. Folger, Josef (2004). The Promise of MediationTransformative Approach to Conflict. USA, Willey, 2004.

E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, Leiden, E.J. Brill. Jil. IV, 1990.

Friedman Lawrence M, American Law and Introduction, 2nd Edition, Penerjemah Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta, Pattatanusa, 2001.

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, CV. Mandar Maju, 1992.

Hakimi, D. Dt. Penghulu Pedoman Ninik Mamak Pemangku Adat. Sumatera Barat, Penerbit Biro Pembinaan Adat dan Syarak, LKAAM Provinsi Sumatra Barat, 1990.

Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta, Sinar Grafika, 2005. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2011.


(4)

--- Ruang Lingkup permasalahan dan eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, Gramedia,1995.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, Rineka Cipta, 1994.

Ibnu Katsir. Tafsir al-Quran al-Adhim. Beirutdar El-Fikr, juz II, 1999.

Ibrahim, Jhohny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007.

Kabul, Imam, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Yogyakarta, Kurnia Kalam, 2005.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Laurence Boulle, Mediation Principle, process, practice, Sydney, Butterworths, 1996.

Lucy V. Kazt, Enforcing an ADR Clause-Are Good Intention All You Have, American Bussiness Law Journal, 1988.

Mahendra, A.A. Oka, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi dan Pertanahan, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Mamudji, Sri, Materi Pelatihan Sertifikasi Mediator, Jakarta,Indonesian Institute for conflict Tranformation, 2012.

Manan, Bagir. Peran Sosok Hakim Agama sebagai Mediator dan Pemutus Perkara serta Kegamangan masyarakat terhadap Keberadaan lembaga Peradilan, sambutan Ketua Mahkamah Agung RI. Pada Serah Terima Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan. (22 Agustus 2003). Tidak diterbitkan, 2003.

Moleong, Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi), Bandung, PT.Remaja, Rosdakarya, 2007.

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Jakarta, Mahkamah Agung RI Direktotar Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang


(5)

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Pradnya Paramitha, 2005. ---Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum.

Jakarta, Grafindo Persada, 1996.

R. Soesilo, RBG/HIR Dengan Penjelasan, Bogor, Politea, 1985.

Rahmadi, Takdir, Mediasi Penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010.

Riduan, Metode Teknik Menyusun Tesis, Bandung, Bina Cipta, 2004.

Ronal S. Kraybill, Alice Frazer Evans dan Robert A. Evans Peace Skill, Panduan Mediator terampil Membangun Perdamaian. Yogyakarta, Kanisius, 2006. Saleh, Wantjik, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta, Ghalia Indonesia,

1990.

Sitepu, Runtung, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa AlternatifStudi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo Di Kabanjahe Dan Brastagi, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2002.

---Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Grafindo, 2006.

---dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Grafitti Press, 1990.

---Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta, Rajawali Press,1999.

Sumartono, Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka, 2006.

Suparman, Eman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta, Tata Nusa, 2004.

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, Pradnya Paramitha, 2003.


(6)

Surbakti Ramelan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.

Sumartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka, 2006.

Strauss, Anselmus, dan Juliat Corbin, Basic of Qualitative Research, Grounded Theory Procedure and Technique, Newbury, Park London, New Delhi Sage Publication, 1979.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

www.badilag.net., Ruang Mediasi Yang Refresentatif Perlu Disiapkan di Pengadilan Agama.