Tinjauan Yuridis Peranan Lembaga Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi Di Indonesia Studi Di Badan Mediasi Asuransi Indonesia (Bmai)

(1)

OUTLINE SKRIPSI

“Tinjauan Yuridis Peranan Lembaga Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi Di Indonesia”

(Studi di Badan Mediasi Asuransi Indonesia)

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I : PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG B. PERMASALAHAN C. TUJUAN PENELITIAN D. MANFAAT PENELITIAN E. METODE PENELITIAN F. KEASLIAN PENELITIAN G. SISTEMATIKA PENULISAN BAB II : TINJAUAN UMUM MEDIASI

A. DEFINISI MEDIASI DAN PERKEMBANGAN MEDIASI B. UNSUR, TUJUAN DAN JENIS MEDIASI

C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MEDIASI BAB III : TINJAUAN UMUM ASURANSI

A. ISTILAH ASURANSI

B. PENGERTIAN ASURANSI DAN JENIS-JENIS ASURANSI C. TUJUAN, SIFAT, DAN PRINSIP ASURANSI

D. UNSUR ASURANSI

BAB IV : PERANAN LEMBAGA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI DI INDONESIA

A. PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI MENURUT BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

B. PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI PADA BADAN ASURANSI MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)


(2)

C. KEUNGGULAN DAN KEKUATAN HUKUM AKTA KESEPAKATAN MEDIASI MELALUI BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Mengetahui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Muhammad Husni, SH.MH) (Maria Kaban, SH.M.Hum) NIP. 195802021988031004 NIP. 195412101986011001


(3)

TINJAUAN YURIDIS PERANAN LEMBAGA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI DI

INDONESIA

STUDI DI BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk MelengkapiPersyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

SENTANA MANDALA PUTRA NIM : 090200456

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

TINJAUAN YURIDIS PERANAN LEMBAGA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI DI

INDONESIA

STUDI DI BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk MelengkapiPersyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

SENTANA MANDALA PUTRA NIM : 090200456

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/BW Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

(Dr. HASYIM PURBA, SH.,M.HUM. NIP. 19660303 198508 1 001

)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(MUHAMMAD HUSNI, SH.,MH.) (MARIA KABAN, SH.,M.Hum NIP. 19580202 198803 1 004 NIP. 19541210 198601 1 001

)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat Menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Tinjaua Yuridis Peranan Mediasi dalam Menyelesaikan Sengketa Alternatif Asuransi di Indonesia”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,bimbingan dan arahan dari semua pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr Runtung Sitepu SH,Mhum selaku Deka Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting SH,Mhum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr.Hasyim Purba SH,Mhum , selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Muhammad Husni SH,MH, dosen penguji I yang meluangkan waktu serta dengan sabar memberikan saran-saranya.

5. Ibu Maria Kaban Sh,Mhum, selaku dosen penguji II yang meluangkan waktu serta dengan sabar memberikan saran-saranya.

6. Yang terhormat dan yang paling saya sayangi kepada kedua orangtua saya, ayahanda (Sentosa Gurusinga BBA), ibunda Sehati Sembiring), ( adik (Senpen Gurusinga, Samuel Gurusinga,Margaretha Gurusinga), dan teman (David,Remi,Udur,Agus) serta seluruh keluarga yang tidak lelah memberikan dukungan moril maupun material dan dengan penuh kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya mahasiswa stambuk 2009 yang telah mendukung selama penyusunan skripsi ini.


(6)

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.Maka dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2015


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini bahaya, kerusakan dan kerugian adalah kenyataan yangharus dihadapi manusia di dunia.Sehingga kemungkinan terjadi risiko dalamkehidupan khususnya kehidupan ekonomi sangat besar. Tentu saja inimembutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu sejak dini. Oleh karena itubanyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat menghindari risikokerugian dan bahaya tersebut. Diantaranya dengan asuransi yang merupakansebuah sistem untuk mengurangi kehilangan finansial dengan menyalurkanrisiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.“Social insuranceofficers, through their work with rehabilitation, have become an importantpart of the welfare state” yang artinya petugas asuransi sosial melaluirehabilitasi dalam pekerjaannya telah menjadi bagian penting darikesejahteraan negara. 1

Sistem asuransi ini sudah berkembang luas dinegara Indonesia secarakhusus dan dunia secara umumnya.Perjanjian asuransi sebagai lembagapengalihan dan pembagian risiko mempunyai kegunaan yang positif baik bagimasyarakat, perusahaan, maupun bagi pembangunan negara. Mereka yangmenjadi nasabah asuransi akan merasa tenteram karena mendapatperlindungan dari kemungkinan tertimpa suatu kerugian. Suatu perusahaanyang mengalihkan risikonya melalui perjanjian asuransi akan dapatmeningkatkan usahanya dan berani menggalang tujuan yang lebih besar.Demikian pula premi-premi yang terkumpul dalam perusahaan asuransi

Begitu juga dengan usahaperasuransian yang telah menjadi bagian dari perkembangan ekonomi bangsaIndonesia.

1

Muhammad Abdul Kadir, Hukum Asuransi Di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Sakti, 2002), hal. 4.


(8)

dapatdi usahakan dan di gunakan sebagai dana untuk pembangunan.2

Beberapa orang menganggap asuransi sebagai suatu bentuk taruhan yangberlaku selama masa pertanggungan asuransi. Perusahaan asuransi bertaruhbahwa barang pembeli tidak akan hilang ketika pembeli membayarkanuangnya. Perbedaan di biaya yang dibayar kepada perusahaan asuransi denganjumlah yang dapat mereka terima bila kecelakaan terjadi hampir sama denganbila seseorang bertaruh di balap kuda misalnya, 10 banding 1. Karena alasanini, beberapa kelompok agama menghindari asuransi dan bergantung kepada dukungan yang diterima oleh komunitas mereka ketika bencana terjadi. “Themost commonly used method for managing liability is insurance. Insuranceserves three related, but separate, functions. First, insurance transfers riskfrom parties who are comparatively risk averse to enterprises more willing tobear risk. Second, insurance spreads risk by combining individual risks (into ageneral pool). Third, insurance performs a risk-allocation function bycharging premiums that reflect the level of risk posed by each individual”, yang artinya metode yang paling umum digunakanuntuk mengatur kewajiban adalah asuransi.

Hasilnya akandapat dinikmati oleh masyarakat. Di pihak lain, risiko yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan pembangunan juga dapat dialihkan kepada perusahaanasuransi.

Dengan adanya kegunaan positif tersebut, maka keberadaan asuransiperlu di pertahankan dan di kembangkan. Namun untuk mengembangkanusaha ini banyak faktor yang perlu di perhatikan seperti antara lain: peraturanperundang-undangan yang memadai, kesadaran masyarakat, kejujuran parapihak, tingkat pendapatan masyarakat, pemahaman akan kegunaan asuransiserta pemahaman yang baik terhadap ketentuan perudang-undangan yangterkait.

3

2

Ibid.,hal.5-6.

3

Ibid.,hal. 8-9.

Asuransi mempunyai tiga fungsiyang berkaitan tetapi terpisah.Pertama, asuransi mentransfer risiko dari pihakyang menolak untuk menanggung risiko kepada perusahaan yang bersediauntuk menanggung risiko.Kedua, asuransi menyebarkan risiko denganmenggabungkan risiko individu ke dalam risiko


(9)

umum.Ketiga, asuransi melakukan fungsi alokasi risiko dengan membebankan premi yangmencerminkan tingkat risiko yang ditimbulkan oleh setiap individu.

Arus globalisasi telah sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia terutama di bidang hukum dan ekonomi.Setiap waktu, kehidupan hukum dan ekonomi bangsa Indonesia dipaksa berkenalan dengan nilai-nilai baru yang belum pernah dikenal selama ini.Namun, selama ini belum menjadi kebutuhan praktik lalu lintas pergaulan masyarakat. Meningkatnya intensitas perdagangan dan investasi, tidak hanya menimbulkan dinamika ekonomi yang semakin tinggi, tetapi juga akan meningkatkan intensitas konflik antar masyarakat.4

Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi, dalam hubungan bisnis atau suatu perjanjian, masing-masing pihak harus mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat di kemudian hari. Sengketa yang perlu diantisipasi dapat timbul karena perbedaan penafsiran mengenai “bagaimana cara” melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang “apa isi” dari ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal lain.

Dengan mencermati keadaan perasuransian yang semakin berkembang tentunya tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute atau difference) antar pihak yang terlibat di bidang asuransi, secara otomatis setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Membiarkan sengketa dibidang bisni (khususnya usaha perasuransian) terlambat untuk diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan ekonomi tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami keterhambatan dan biaya produksi menjadi meningkat. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan asuransi atau pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian, cara penyelesaian seperti ini tidak diterima didunia bisnis khususnya dibidang asuransi karena tidak sesuai dengan ketentuan zaman.

5

4

Suma Amin, Asuransi Syariah Dan Asuransi Konvensional Teori, Sistem, Aplikasi Dan Pemasaran, (Jakarta : Kholam Publishing, 2006), hal. 44-45.

5


(10)

Untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dipilih. Cara-cara yang dimaksud melalui pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi) seperti arbitrase, mediasi, negosiasi, dan lain-lain. Namun, yang akan menjadi pembahasan dari penulis yaitu peranan lembaga mediasi dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana peranan dari Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) sebagai lembaga penyelesaian sengketa melalui mediasi khusus dibidang perasuransian.Dengan keberadaan lembaga mediasi asuransi yaitu Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) kiranya dapat memberikan kontribusi dibidang asuransi dalam penyelesaian sengketa bagi para pihak yang bersengketa.Untuk itu penulis mengadakan penelitian dalam rangka tugas akhir dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PERANAN LEMBAGA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI DI INDONESIA (STUDI DI BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan untuk diteliti lebih rinci. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana penyelesaian sengketa asuransi menurut Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)?

2. Bagaimana prosedur penyelesaian sengketa asuransi pada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)?

3. Bagaimana keunggulan dan kekuatan hukum akta kesepakatan mediasi melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Peranan Lembaga Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi Di Indonesai (Studi Di Badan Mediasi Asuransi Indonesia) adalah


(11)

sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selain itu, penulisan pembahasan skripsi ini juga bertujuan antara lain: a. Untuk mengetahui bentuk penyelesian sengketa asuransi menurut Badan

Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).

b. Untuk mengetahui prosedur penyelesaian sengketa asuransi pada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).

c. Untuk mengetahui keunggulan dan kekuatan hukum akta kesepakatan mediasi melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan diatas diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan di bidang perasuransian khususnya berkaitan dengan peranan lembaga mediasi asuransi dalam penyelesaian sengketa asuransi melalui mediasi. Selain itu, hasil pemikiran ini juga akan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang perasuransian pada umumnya dan peranan lembaga mediasi pada khususnya, serta dapat dijadikan sebagai bahan yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Pembahasan terhadap permasalahan ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat selaku pemegang polis (tertanggung) dan perusahaan asuransi (penanggung) dalam penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi dalam masalah asuransi seperti klaim asuransi, perpanjangan polis, dan lain-lain.

Selain hal itu, pembahasan terhadap permasalahan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) sebagai


(12)

lembaga mediasi asuransi untuk meningkatkan lagi kinerjanya dalam menyelesaikan segala sengketa yang terjadi antara perusahaan asuransi (penanggung) yang telah terdaftar menjadi anggota Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Karena banyak kasus yang tidak terselesaikan dengan baik dan menempuh proses pengadilan memakan waktu yang sangat lama dan biaya yang mahal. Dengan adanya lembaga mediasi asuransi tersebut, proses penyelesaian sengketa asuransi lebih efisien dan keputusannya tidak menguntungkan salah satu pihak saja.

E. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pembahasan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.6 Metode ini juga digunakan agar dapat melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan usaha perasuransian dan penyelesaian sengketa melalui mediasi yang berlaku, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya.7

6

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.118.

7


(13)

Penelitian hukum normatif merupakan hukum yang dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah yang berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan deskriptif analitis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.8

3. Sumber Data

Dan penelitian ini juga menguraikan ataupun mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa, dan kamus serta data yang terdiri atas9

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : norma-norma atau kaedah-kaedah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri.

:

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku yang menguraikan materi yang tertulis yang dikarang oleh para sarjana, bahan-bahan mengajar dan lain-lain.

8

Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal.38.

9


(14)

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Kamus, Ensklopedia, bahan dari internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-undangan, dan untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan pengambilan data dari Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).

5. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.10

F. Keaslian Penelitian

Maka skripsi ini digunakan metode analisis kualitatif agar lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet, kamus dan lain-lain yang berhubungan dengan judul skripsi yang dapat digunakan untuk menjawab soal yang dihadapi.

Penulisan skripsi ini didasarkan kepada ide, gagasan, maupun pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaian.Ide maupun gagasan yang timbul karena melihat keadaan yang berkembang mengenai bagaimana peranan lembaga mediasi dalam penyelesaian sengketa asuransi di Indonesia. Artinya tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan ataupun penggambaran dari karya tulisan orang lain. Oleh karena itu, keaslian dari penulisan ini terjamin

10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press), 2007), hal.21.


(15)

adanya. Kalaupun ada terdapat judul skripsi yang terdahulu yang menyerupai yaitu yang berjudul “Peran Dan Pelaksanaan Mediasi Dalam Menyelesaikan Sengketa Perdata Di Pengadilan Negeri Medan (Analisis Terhadap Perkara Yang Diselesaikan Melalui Mediasi Di Pengadilan Negeri Medan)” oleh Achmad Fadil, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi, yang menjadi pembahasan dan penelitian antara skripsi tersebut dan skripsi penulis ini sangatlah berbeda dan tidak ada kesamaan mengenai apa yang menjadi pembahasan utama dari skripsi ini. Kalaupun ada pendapat dan kutipan dari penulisan ini, hal tersebut merupakan semata-mata adalah sebagai faktor pendorong dan pelengkap dalam usaha menyusun dan menyelesaikan penulisan ini, karena hal ini memang sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan tulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab yang saling berangkaian satu sama lain. Adapun sistematika penulisan ini adalah:

Bab I berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar didalamnya terurai mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Permasalahan, kemudian dilanjutkan dengan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Peneltian, Keaslian Penulisan, yang kemudian diakhiri oleh Sistematika Penulisan.

Bab II Merupakan bab yang membahas tentang tinjauan umum mengenai mediasi dimana didalamnya diuraikan yaitu Definisi Mediasi dan Perkembangan Mediasi, Unsur, Tujuan dan Jenis Mediasi, Kelebihan dan Kekurangan Mediasi.

Bab III Merupakan bab yang membahas tentang tinjauan umum asuransi dimana didalamnya diuraikan yaitu Istilah Asuransi, Pengertian Asuransi dan Jenis-Jenis Asuransi, Tujuan, Sifat dan Prinsip Asuransi, Unsur Asuransi.

Bab IV Merupakan bab yang membahas tentang Peranan Lembaga Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi Di Indonesia dimana


(16)

didalamnya menguraikan tentang Penyelesaian Sengketa Asuransi Menurut Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Keunggulan dan Kekuatan Hukum Akta Kesepakatan Mediasi Melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).

Bab V ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi lembaga mediasi asuransi dan orang-orang yang akan membacanya.


(17)

BAB II

TINJAUAN UMUM MEDIASI

A. Definisi Mediasi dan Perkembangan Mediasi 1. Definisi Mediasi

Para penulis dan praktisi yang berusaha menjelaskan pengertian mediasi.Tetapi, upaya untuk mendefinisikan mediasi bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya. Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga. Peranan pihak ketiga tersebut adalah dengan melibatkan diri untuk membantu para pihak mengidentifikasi masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan sebuah proposal.Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.11

Mediasi adalah forum penyelesaian sengketa yang sekarang sudah juga mulai berkembang. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang netral. Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh mediator.12

Istilah mediasi cukup pesat dipopulerkan oleh para akademisi dan praktisi dengan mencakup secara jelas makna mediasi dalam berbagai literature ilmiah melalui riset dan studi akademik.Para praktisi juga cukup banyak menerapkan mediasi dalam praktek penyelesaian sengketa.Namun, istilah mediasi tidak mudah

11

Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di

Pengadilan, Cetakan I, (Jakarat : PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal.29.

12


(18)

didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh karena cakupannya cukup luas. Mediasi tidak memberikan model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan proses pengambilan keputusan lainnya.13

Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjembatani dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).Kegiatan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternative penyelesaian sengketa.Posisi mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan persengketaan.

Makna mediasi secara etimologi dan terminology yang diberikan oleh para ahli. Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna itu menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.

14

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung 3 (tiga) unsur penting15

a) Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antar dua pihak atau lebih.

, yaitu:

b) Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa.

c) Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasehat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.

13

Nurnaningsih Amriani, Op.Cit.,hal.31.

14

Ibid.,hal. 33.

15

Maria Kaban, Bahan Ajar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Medan : 2011), hal.15.


(19)

Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya.Penjelasan ini amat penting guna membedakan dengan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian lainnya seperti arbitrase, negosiasi, adjudikasi dan lain-lain.Mediator berada pada posisi tengah dan netral antara para pihak yang bersengketa dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum sifatnya dan belum menggambarkan secara kongkrit esensi dan kegiatan mediasi secara menyeluruh.Oleh karena itu, perlu dikemukakan pengertian mediasi secara terminology yang diungkapkan para ahli resolusi konflik.16

Para ahli resolusi konflik beragam dalam memberikan definisi mediasi sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Lawrence Bolle mengatakan “Mediation is a decision making process in which the parties are assisted by a mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties the reach an outcome to which of them can assent”.17

Sedangkan J. Folberg dan A. Taylor memaknai mediasi dengan “……the process by which the participants, together with the assistance of a neutral persons, systematically isolate dispute in order to develop options, consider alternative and reach consensual settlement that will accommodate their needs”.18

16

Gatot Soemartono, R.M, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal.44.

17

Ibid.

18

Ibid., hal.46

Pengertian mediasi yang diberikan dua ahli tersebut lebih menggambarkan esensi kegiatan mediasi dan peran mediator sebagai pihak ketiga. Bolle menekankan bahwa mediasi adalah proses pengambilan keputusan yang dilakukan para pihak dengan dibantu pihak ketiga sebagai mediator.


(20)

Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi, yang dimaksud dengan mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Ada 2 (dua) jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan.Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN) dan dalam asuransi ada dikenal Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya.19

2. Perkembangan Mediasi

Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu.Masyarakat Indonesia merasakan, penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam masyarakat.Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara cepat dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individual.Masyarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat lainnya di dunia, merasakan bahwa konflik atau sengketa yang muncul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan terus-menerus, tetapi harus diupayakan jalan penyelesaiannya.Dampak dari konflik tidak hanya memperburuk hubungan antar para pihak, tetapi juga dapat mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat.20

Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak.Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para

19

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi.

20

Rahmadi Takdir, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Edisi I, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 23.


(21)

pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah dalam sengketa yang mereka hadapi tetapi mereka cenderung memikirkan penyelesaian untuk masa depan, dengan mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka secara berimbang. Penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak (walaupun tidak 100%) dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.Penerapan prinsip musyawarah ini umumnya dilakukan di luar pengadilan.

Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa.Musyawarah mufakat sebagai nilai filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar negara, yaitu Pancasila.Dalam sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.Nilai tertinggi ini, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan dibawahnya.Prinsip musyawarah merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencapai solusi terutama di luar jalur pengadilan.Nilai musyawarah terkonkritkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, arbitrase, negosiasi, fasilitasi, dan berbagai bentuk penyelesaian sengketa lainnya.21

Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah mufakat yang berujung damai juga digunakan di lingkungan pengadilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata.Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu asas peradilan di Indonesia.Bahkan akhir-akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa. Dorongan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara lain penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang cukup lama, melahirkan pihak menang atau kalah, cenderung mempersulit hubungan para

21


(22)

pihak pasca lahirnya putusan hakim, dan para pihak-pihak leluasa mengupayakan opsi penyelesaian sengketa mereka.

Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 24 mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa terjadi di kalangan masyarakat dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi).Badan peradilan adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan keadilan.Meskipun demikian, sistem hukum Indonesia juga membuka peluang menyelesaiakan sengketa di luar jalur pengadilan (non litigasi). Green menyebutkan dua model penyelesaian sengketa ini dengan metode penyelesaian sengketa dalam bentuk formal dan informal. Dalam peradilan di Indonesia, proses penyelesaian perkara (sengketa) menganut asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.Asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badan peradilan-peradilan di bawahnya.

Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktek peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota.Penumpukan perkara tidak hanya terjadi pada tingkat pertama dan banding, tetapi juga pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik upaya hukum banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali.Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan (acces to justice) guna


(23)

mendapatkan hak-hak secara cepat.Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.22

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa (perkara) dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayang adalah pengadilan. Pengadilan adalah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa, dan masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa mereka. Pandangan ini tidak salah, karena pengadilan memang diberikan otoritas oleh negara untuk menyelesaikan sengketa.Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para Menghadapi tantangan yang begitu berat, sistem hukum Indonesia sebenarnya memiliki aturan hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan. Dilingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui proses mediasi, dimana hakim terlibat untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar pengadilan dapat ditempuh jalur abitrase, mediasi, negosiasi atau fasilitasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa.

Dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa dengan upaya damai ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.Dalam Pasal 56 disebutkan pengadilan tidak boleh menolak untuk memutus atau memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya.Keputusan yang diambila hakim tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.

22

Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase, Cetakan II (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2001), hal. 48.


(24)

pihak yang bersengketa menghadapi persoalan antara lain waktu, biaya, dan mungkin persoalan mereka diketahui publik.Dalam konteks ini, masyarakat berada pada posisi ambivalen. Pada satu sisi, masyarakat ingin perkaranya cepat selesai namun pada sisi lain mereka tidak bersedia berhadapan dengan pengadilan. Adakah cara lain yang dapat ditempuh guna menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yang memiliki landasan yuridis kuat dalam negara hukum Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win solution), dan berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan dimana prinsip yang dianut adalah menang-kalah. Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukkan itikad baik, karena tanpa itikad baik apapun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian sengketa secara cepat telah menjadi pilihan dalam dunia bisnis akhir-akhir ini, sehingga keberadaan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 benar-benar memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang semakin berkembang.23

Posisi mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini berada di bawah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 1 disebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.

23


(25)

payung alternatif penyelesaian sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa terdiri atas sejumlah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Pengaturan mengenai alternatif penyelesaian sengketa cukup terbatas diatur dalam undang-undang ini, yaitu hanya satu pasal yaitu Pasal 6 dengan 9 ayat. Dalam pasal tersebut tidak ditemukan penjelasan mengenai mediasi, persyaratan mediator, pengangkatan mediator, kewenangan dan tugas mediator, keterlibatan pihak ketiga, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses mediasi. Oleh karena itu, sangat tepat bla undang ini disebut sebagai undang arbitrase dan bukan undang-undang mediasi.

Lembaga atau pusat mediasi di Indonesia tumbuh dan berkembang, khususnya setelah diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2003.Meskipun aturan ini jelas mengatur tentang mediasi di peradilan. Jumlah ini akan semakin banyak seiring adanya tuntutan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.

Di Indonesia terdapat 2 (dua) lembaga mediasi yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu The Indonesian Mediation Center (Pusat Mediasi Nasional) dan Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT). Untuk lembaga yang kedua ini lebih tepat disebut lembaga riset karena bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik. Meskipun demikian lembaga ini juga melakukan aktifitas yang hampir sama dilakukan oleh mediasi, seperti menyelenggarakan pelatihan mediator bagi hakim-hakim pengadilan negeri.24

Pusat Mediasi Nasional yang berdiri pada 4 September 2003 menjelang ditetapkannya Perma No. 2 Tahun 2003 merupakan salah satu lembaga mediasi yang telah terakreditasi oleh Pengadilan Tinggi Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. KMA/044/SK/VII/2004 tanggal 6 Juli 2004. Lembaga ini merupakan realisasi kebijakan program-program pimpinan MA dalam upaya meningkatkan upaya damai di luar pengadilan, sebagaimana

24

Anggreany Arief, Skripsi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan, (Surabaya : 2009), hal. 43.


(26)

yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung RI dalam temu karya tentang mediasi pada 7 Januari 2003, yaitu ”Mendorong pembentukan Pusat Mediasi Nasional (National Mediation Center)”.25

Agar program mediasi di Pengadilan Negeri bisa berguna sepenuhnya di seluruh Indonesia, PMN bertujuan untuk lebih lanjut membantu Mahkamah Agung dalam menyediakan pelatihan mediasi untuk para hakim (seluruhnya terdapat 2.800 hakim) diutamakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.Implementasi dari kegiatan ini sepenuhnya tergantung pada donor pendukung.

Follow up kegiatan tersebut di iringi dengan Program Post Monitoring untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, Bandung dan Surabaya. Post Monitoring terdiri dari: Co-mediation mediator hakim dengan pelatih-pelatih PMN dan Refresh Course untuk mediator hakim, seperti diskusi dan pengelolaan materi yang dipandang kurang dipahami. Terdapat program tambahan untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, sekelompok dari 20 mediator PMN yang terdaftar memberikan “jasa mediasi pro-bono” untuk kasus mediasi di Pengadilan

Menurut Direktur Pusat Mediasi Nasional, Ahmad Fahmi Sahab, Pusat Mediasi Nasional ini menangani resolusi sengketa, bukan resolusi konflik. Oleh karena itu bidang garapannya adalah sengketa komersial.Disamping itu, pusat mediasi ini juga melakukan community development, meskipun kegiatan ini belum optimal.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan mediator, Pusat Mediasi Nasional bekerjasama dengan Mahkamah Agung memberikan pelatihan dan pendidikan.Training ini terbuka bagi umum, khususnya bagi hakim untuk menjadi mediator.Tempat pelatihan dilaksanakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.Kegiatan ini dibiayai oleh IALDF-AusAID (Indonesia Australia Legal Development Facility) dan pada fase pertama berlangsung pada bulan Desember 2005 sampai Mei 2006.

25


(27)

Negeri. Kegiatan fase pertama dimulai pada bulan Desember 2005 sampai Mei 2006.

Disamping Pusat Mediasi Nasional, Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) juga merupakan lembaga mediasi (riset) yang telah terakreditasi.Lembaga ini berdiri pada tanggal 11 April 2002, dan bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik.Keberadaan IICT diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang efektif.Sesuai dengan visinya lembaga ini mengembangkan pola-pola resolusi konflik untuk membangun masyarakat demokratis, harmonis, dan menghargai kemajemukan serta kesetaraan. Aktifitasnya terkait dengan mediasi di peradilan, ia melakukan kegiatan penelitian yang mendukung pengembangan resolusi konflik di berbagai wilayah di Indonesia dan penyelesaian sengketa alternatif yang berbasis pada kepentingan dan kebutuhan sebagai upaya pengembangan akses masyarakat terhadap keadilan (access to justice).

Lembaga yang saat ini dipimpin oleh seorang direktur eksekutif, yaitu Fatahillah AS, SH., MLI., M.Si. telah melakukan riset terhadap 4 pengadilan percontohan dalam melaksanakan Perma No. 2 Tahun 2003. Obyek riset ini meliputi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Negeri Batusangkar.Hasil penelitian tersebut kemudian disosialisasikan di beberapa tempat, sekaligus sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 itu sendiri. Kegiatan lain adalah memberikan pelatihan bagi para hakim Jawa Tengah. Jika PMN memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, IICT memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan yang berasal dari Jawa

Tengah. 26

26

Ibid.,hal. 45.

Disamping dua lembaga yang terakreditasi diatas, respon untuk membentuk lembaga mediasi muncul dari kalangan asuransi.Mereka mendirikan “Badan Mediasi Asuransi” pada tanggal 12 Mei 2006.Tujuan lembaga ini didirikan untuk memberikan pelayanan yang professional dan transparan yang


(28)

berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak Tertanggung atau Penanggung Polis/Ahli Waris dan menyelesaikan sengketa antara pengguna asuransi dan lembaga asuransi melalui jalur non litigasi.Cara ini merupakan pilihan karena penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dipandang lebih efektif dan efisien karena mengkedepankan putusan win-win solution.

B. Unsur, Tujuan dan Jenis Mediasi 1. Unsur Mediasi

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif.Mediator dalam mediasi berbeda dengan arbiter atau hakim.Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa.Kelebihan penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian sengketa dilakukan oleh seorang yang benar-benar percaya kemampuannya untuk mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa.Mediator membimbing para pihak untuk melakukan negosiasi sampai terdapat kesepakatan yang memihak para pihak.Kesepakatan ini selanjutnya dituangkan dalam suatu perjanjian.Dalam mediasi tidak ada pihak yang menang atau kalah, karena kesepakatan akhir yang diambil adalah hasil dari kemauan para pihak itu sendiri.27

Dari penjelasan pengertian mediasi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa mediasi mengandung unsur-unsur antara lain28

a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu perundingan.

:

b. Mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa didalam perundingan.

c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.

27

Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

(Yogyakarta : Gama Media, 2008), hal.56.

28


(29)

d. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung.

e. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.

2. Tujuan Mediasi

Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk29

(a) Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan; :

(b) Melenyapkan kesalahpahaman; (c) Menentukan kepentingan yang pokok;

(d) Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan; dan

(e) Menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh para pihak.

3. Jenis Mediasi

Secara umum, mediasi dapat dibagi ke dalam 2 (dua) jenis yakni mediasi dalam sistem peradilan dan mediasi di luar pengadilan. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut sedangkan mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa.30

a. Mediasi dalam Sistem Peradilan

Dalam pasal 130 HIR dijelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan dilaksanakan dalam bentuk perdamaian yang menghasilkan produk berupa akta persetujuan damai (akta perdamaian).

29

Ibid., hal.57.

30


(30)

Hukum di Indonesia mengatur bahwa hasil mediasi harus dalam bentuk tertulis.Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk mediasi dalam lingkup pengadilan tetapi juga bagi mediasi di luar pengadilan.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa: jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib memuat klausul-klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai (Pasal 17 ayat (1) dan (6)).

b. Mediasi di Luar Pengadilan

Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari, mediasi yang berlangsung di luar pengadilan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat.Hal tersebut dapat dilihat dari adanya peraturan hukum adat yang melekat dan mendarah daging pada kebanyakan masyarakat Indonesia.Misalnya seorang kepala adat atau kepala kerabat bertindak sebagai penengah dalam memecahkan sebuah masalah/ sengketa dan memberi putusan terhadap masalah tersebut. Karena mediasi di luar pengadilan ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya daerah tertentu maka penyebutan dan tata cara pelaksanaannya juga berbada-beda sesuai dengan budaya yang berlaku pada masyarakat dan daerah tersebut.

Sampai saat ini, perkembangan mediasi sudah sangat baik.Masyarakat modern yang dulunya cendrung memilih bentuk penyelesaian perkara melalui litigasi, sekarang sudah berubah memilih mediasi. Hal tersebut dapat dilihat dari pengintegrasian proses mediasi kedalam bentuk perundang-undangan. Misalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.

c. Mediasi-Arbitrase

Mediasi-Arbitrase adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan kombinasi antara mediasi dan arbitrase. Dalam bentuk ini, seorang


(31)

yang netral diberi kewenangan untuk mengadakan mediasi, namun demikian ia pun mempunyai kewenangan untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Sedangkan menurut Priyatna Abdurrasyid bahwa mediasi-arbitrae dimulai dengan mediasi, dan jika tidak menghasilkan penyelesaian dilanjutkan dengan arbitrase yang putusannya final mengikat.

d. Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan

Dengan mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi ad-hoc terbentuk dengan adanya kesepakatan para pihak dalam hal menentukan mediator untuk menyelesaikan perselisihannya, yang mempunyai sifat tidak permanen. Jenis ini bersifat sementara atau temporer saja, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu dan ketika selesai maka mediasi ini akan bubar dengan sendirinya. Sebaliknya, mediasi kelembagaan merupakan mediasi yang bersifat permanen atau terbentuk secara institusional/ melembaga, yakni suatu lembaga mediasi yang menyediakan jasa mediator untuk membantu para pihak.

C. Kelebihan dan Kekurangan Mediasi 1. Kelebihan Mediasi

Secara umum pihak yang bersengketa menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa dapat menemukan beberapa keuntungan31

a) Proses cepat. Persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-pusat mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan setiap pemeriksaan atau setiap kali pertemuan hanya berkisar satu sampai satu setengah jam saja. Hal ini sangat berbeda jauh dengan jangka waktu yang digunakan dalam proses arbiterase dan proses litigasi.

, yaitu:

31

Abdul Halim, Kontekstualisasi Mediasi Dalam Perdamaian, diunduh pada situs


(32)

b) Bersifat rahasia. Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses pemeriksaannya tidak dihadiri oleh publik. Hal tersebut sangat berbeda dengan pemeriksaan lewat proses litigasi. Untuk perkara-perkara yang pemeriksaannya atau persidangannya terbuka untuk umum dapat dihadiri oleh publik atau diliputi oleh pers sehingga sebelum pengambilan keputusan dan dapat bermunculan berbagai opini publik yang ada gilirannya dapat berpengaruh pada sikap para pihak yang bersengketa dalam menyikapi putusan majelis hakim.

c) Tidak mahal. Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan pelayanan dengan biaya sangat murah dan juga tidak perlu membayar biaya pengacara karena dalam proses mediasi kehadiran seorang pengacara kurang dibutuhkan.

d) Adil. Solusi bagi suatu persengketaan dapat diserasikan dengan kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan para pihak yang bersengketa dan oleh sebab itu pulalah keputusan yang diambil atau dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak.

e) Pemberdayaan individu. Orang-orang yang menegosiasikan sendiri masalahnya sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang melakukan advokasi melalu wakil seperti pengacara.

Selain itu, kelebihan dari mediasi antara lain32 a) Keputusan yang hemat;

:

b) Penyelesaian secara cepat;

c) Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak; d) Kesepakatan yang komprehensif;

e) Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan; dan f) Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu. 2. Kekurangan Mediasi

32


(33)

Dalam mediasi terdapat beberapa kekurangan, diantaranya adalah tidak ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat disimpangi oleh para pihak, mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya, mediasi bisa mengalami kegagalan dikarenakan mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung sehingga dimungkinkan para pihak tidak menemui penyelesaian yang sifatnya final dan memaksa secara langsung. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan pengertian yang jelas tentang berbagai bentuk penyelesaian sengketa termasuk mengenai mediasi, kecuali arbitrase. Bahkan proses atau mekanisme masing-masing bentuk lembaganya juga tidak diatur sebagian besar hanya mengatur secara lengkap tentang proses Arbitrase. Dalam Pasal 6 ayat (3) hanya menyebutkan bahwa dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Pada intinya pasal ini memberi peluang kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.33


(34)

BAB III

TINJAUAN UMUM ASURANSI

A. Istilah Asuransi

Awalnya asuransi dikenal di Eropa Barat pada abad pertengahan yaitu asuransi kebakaran dan seiring dengan meningkatnya lalu lintas perhubungan laut antar pulau berkembang asuransi pengangkutan laut pada abad 13-14.Pada awal abad ke-19, muncullah asuransi jiwa.Kodifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte berisi pasal-pasal tentang asuransi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).Kodifikasi tersebut mempengaruhi KUHD Belanda, yang sebagian masih dipakai dan berlaku di Indonesia.34

Di Inggris digunakan istilah insurance dan assurance yang mempunyai pengertian yang sama. Istilah insurance digunakan untuk asuransi kerugian sedangkan istilah assurance digunakan untuk asuransi jiwa.Kedua istilah tersebut mengikuti istilah dalam bahasa Belanda yaitu assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).Asuransi dikenal di Indonesia bermula dari negeri Belanda. 35 Di kalangan perguruan tinggi hukum, istilah-istilah tersebut diterjemahkan dengan “pertanggungan”.Tetapi, di kalangan dunia usaha digunakan istilah serapan “asuransi”.Dewasa ini, baik istilah “pertanggungan” maupun “asuransi” dipakai secara resmi dalam perundang-undangan. Dalam kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia sekarang ada yang menggunakan istilah Hukum Pertanggungan, dan ada pula yang menggunakan istilah Hukum Asuransi, kedua-duanya memiliki makna yang sama.

34

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta : Penerbit Intermasa, 1996), hal. 12.

35


(35)

B. Pengertian Asuransi Dan Jenis-Jenis Asuransi 1. Pengertian Asuransi

Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) “asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”.36

Menurut C. Arthur William Jr dan Richard M. Heins, asuransi berdasarkan dua sudut pandang

Menurut Mehr dan Cammack, asuransi merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara pengumpulan unit-unit dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung.

Menurut Mark R. Green, asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi resiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu.

37

a) Asuransi adalah suatu pengaman terhadap kerugian finansial yang dilakukan oleh seorang penanggung.

, yaitu:

b) Asuransi adalah suatu persetujuan dengan dua atau lebih orang atau badan mengumpulkan dana untuk menanggulangi kerugian finansial.

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana Penanggung mengikatkan diri kepada

36

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal.9.

37


(36)

Tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita Tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Menurut paham ekonomi, asuransi merupakan suatu lembaga keuangan melalui asuransi dapat dihimpun dana besar, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan, disamping bermanfaat bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam bisnis, serta asuransi bertujuan memberikan perlindungan atau proteksi atas kerugian keuangan (financial loss), yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak diduga sebelumnya (fortuitious event).38

Usaha asuransi adalah suatu mekanisme yang memberikan perlindungan pada tertanggung apabila terjadi resiko di masa mendatang. Apabila resiko tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang diperjanjikan antara penanggung dan tertanggung. Mekanisme perlindungan ini sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis yang penuh dengan resiko. Secara rasional para pelaku bisnis akan mempertimbangkan usaha untuk mengurangi resiko yang dihadapi. Pada tingkat kehidupan keluarga atau rumah tangga, asuransi juga dibutuhkan untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang akan dihadapi apabila ada salah satu anggota keluarga menghadapi resiko cacat atau meninggal.39

Berdasarkan pengertian asuransi tersebut, kiranya mengenai pengertian asuransi yang dapat mencakup semua sudut pandang yakni asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi resiko yang melekat pada perekonomian, dengan cara menggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena resiko yang sama atau hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar, agar probabilitas kerugiannya dapat

38

Ibid., hal.13.

39


(37)

diramalkan dan bila kerugian yang diramalkan terjadi akan dibagi secara proporsional oleh semua pihak dalam gabungan itu.40

2. Jenis-Jenis Asuransi

Menurut Pasal 247 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyebutkan tentang 5 (lima) macam asuransi41

a. Asuransi terhadap kebakaran;

, yaitu:

b. Asuransi terhadap bahaya hasil-hasil pertanian; c. Asuransi terhadap kematian orang;

d. Asuransi terhadap bahaya di laut dan perbudakan; dan

e. Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di darat dan di sungai-sungai.

Buku I KUHD mengatur tentang jenis asuransi yang pertama, kedua dan ketiga.Sedangkan jenis asuransi yang keempat dan kelima diatur dalam Buku II KUHD.42

a. Asuransi Kerugian

Asuransi secara yuridis dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu:

Asuransi kerugian adalah suatu perjanjian asuransi yang berisikan ketentuan bahwa penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi berupa ganti kerugian kepada tertanggung seimbang dengan kerugian yang diderita oleh pihak terakhir.Yang termasuk dalam golongan asuransi kerugian adalah semua jenis asuransi yang kepentingannya dapat dinilai dengan uang, misalnya asuransi pencurian, asuransi pembongkaran, asuransi perampokan, asuransi kebakaran, asuransi terhadap bahaya yang mengancam hasil pertanian.

40

Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009), hal.84.

41

Ibid., hal.85.

42


(38)

b. Asuransi Jumlah

Asuransi jumlah adalah suatu perjanjian asuransi yang berisi ketentuan bahwa penanggung terikat untuk melakukan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya sudah ditentukan sebelumnya. Ciri dari asuransi jumlah adalah kepentingan yang tidak dapat dinilai dengan uang, sejumlah uang yang akan dibayarkan oleh penanggung telah ditentukan sebelumnya. Contoh asuransi jumlah adalah asuransi jiwa, asuransi sakit (apabila prestasi penanggung sudah ditentukan sebelumnya), asuransi kecelakaan (apabila prestasi penanggung berupa pembayaran sujumlah uang, besarnya telah ditentukan sebelumnya).43

Menurut sifat pelaksanaannya, asuransi diklasifikasikan44 (a) Asuransi Sukarela

yaitu:

Pada prinsipnya pertanggungan dilakukan dengan cara sukarela dan semata-mata dilakukan atas kesadaran seseorang akan kemungkinan terjadinya resiko kerugian atas sesuatu yang dipertanggungkan tersebut, misalnya asuransi kecelakaan, asuransi kebakaran, asuransi kendaraan bermotor, dan sebagainya.

(b) Asuransi Wajib

Merupakan asuransi yang sifatnya wajib dilakukan oleh pihak-pihak terkait yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah, misalnya asuransi tenaga kerja, asuransi kecelakaan, dan sebagainya.45

43

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal.12.

44

Ibid., hal.14.

45

Ibid.,hal.15.

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, jenis usaha perasuransian dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:


(39)

1. Asuransi Kerugian (Nonlife Insurance)

Asuransi kerugian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian yaitu usaha yang memberikan jasa-jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. Di beberapa negara asuransi kerugian juga disebut sebagai general insurance karena lingkup usahanya yang sangat luas. Usaha asuransi kerugian dapat dibagi sebagai berikut, yaitu:

a. Asuransi Kebakaran adalah asuransi yang menutup resiko kebakaran. Kebakaran adalah sesuatu yang terbakar yang seharusnya tidak terbakar yang diakibatkan karena adanya kejadian yang tiba-tiba dan terlepas dari unsur kesengajaan seperti petir, ledakan, dan kejatuhan pesawat.

b. Asuransi Pengangkutan adalah asuransi pengangkutan (marine insurance) penanggung, atau perusahaan asuransi akan menjamin kerugian yang dialami tertanggung akibat terjadinya kehilangan atau kerusakan pada saat pelayaran.

c. Asuransi Aneka adalah jenis asuransi kerugian yang tidak dapat digolongkan ke dalam asuransi kebakaran dan asuransi pengangkutan. Jenisnya antara lain asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan diri, pencurian uang dalam pengangkutan dan penyimpanan, kecurangan, dan sebagainya.

2. Asuransi Jiwa (Life Insurance)

Asuransi jiwa adalah suatu jasa yang diberikan oleh perusahaan asuransi dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan jiwa atau meninggalnya seorang yang dipertanggungkan.Pada prinsipnya manusia menghadapi resiko berkurang atau hilangnya produktivitas ekonomi yang diakibatkan oleh kematian, mengalami cacat, pemutusan hubungan kerja, dan pengangguran. Asuransi jiwa memberikan:


(40)

2. Santunan bagi tertanggung yang meninggal

3. Bantuan untuk menghindari kerugian yang disebabkan oleh meninggalnya orang kunci

4. Penghimpunan dana untuk persiapan pensiun

Ruang lingkup usaha asuransi jiwa dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. Asuransi jiwa biasa (ordinary life insurance). Biasanya polis asuransi jiwa ini diterbitkan dalam suatu nilai tertentu dengan premi yang dibayar secara periodik (bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan).

2. Asuransi jiwa kelompok (group life insurance). Asuransi jiwa yang biasanya dikeluarkan tanpa ada pemeriksaan medis atas suatu kelompok orang dibawah satu polis induk dimana masing-masing anggota kelompok menerima sertifikat partisipasi.

3. Asuransi jiwa industrial (industrial life insurance). Dalam jenis asuransi ini dibuat dengan jumlah nominal tertentu. Premi umumnya dibayar mingguan yang dibayarkan di rumah pemilik polis kepada agen yang disebut debit agent.

3. Reasuransi (Reinsurance)

Reasuransi adalah pertanggungan ulang atau pertanggungan yang dipertanggungkan atau asuransi dari asuransi. Reasuransi adalah suatu sistem penyebaran resiko dimana penanggung menyebarkan seluruh atau sebagian dari pertanggungan yang ditutupnya kepada penanggung yang lain. Pihak tertanggung biasa disebut sebagai ceding company dan yang menjadi penanggung adalah reasuradur.Dalam menjalankan usahanya, ada kemungkinan perusahaan asuransi menanggung resiko yang lebih besar dari kemampuan finansialnya. Untuk mengatasi kemungkinan kegagalan menanggung klaim dari tertanggung, perusahaan dapat membagi resiko dengan perusahaan lain. Penyebaran resiko


(41)

tersebut dapat dilakukan dengan dua mekanisme yaitu koasuransi dan reasuransi.46

a) Meningkatkan kapasitas akseptasi. Dengan melakukan reasuransi, penanggung akan dapat meningkatkan akseptasi sehingga pemasukan asuransi tersebut dapat memperbesar jumlah nilai pertanggungan.

Koasuransi adalah pertanggungan yang dilakukan secara bersama atas suatu objek asuransi. Biasanya nilai pertanggungannya berjumlah besar sehingga perusahaan asuransi tersebut perlu menawarkan kepada beberapa perusahaan asuransi yang lain. Dalam kerja sama tersebut diperlukan perusahaan asuransi yang berperan sebagai pemimpin. Setelah melakukan koasuransi, gabungan beberapa perusahaan asuransi tersebut dapat mempertimbangkan untuk melakukan reasuransi. Reasuransi adalah proses untuk mengasuransikan kembali pertanggungjawaban pada pihak tertanggung.

Fungsi reasuransi adalah :

b) Alat penyebaran resiko. Penyebaran asuransi pada dasarnya tidak menghendaki pemusatan atau terkonsentrasinya pada suatu jenis resiko atau asuransi. Dengan adanya mekanisme penyebaran resiko ini maka akan tertanggulangi adanya kemungkinan kerugian dalam jumlah yang sangat besar yang tidak mungkin ditanggung sendiri.

c) Meningkatkan stabilitas usaha. Jumlah kerugian yang mungkin timbul karena adanya klaim dari tertanggung sangat sulit untuk diprediksikan secara tepat. Dengan penyebaran resiko ke perusahaan asuransi lain maka kekhawatiran akan adanya kegagalan usaha akan semakin kecil.

d) Meningkatkan kepercayaan. Reasuransi akan menambah kepercayaan bagi tertanggung karena kemungkinan resiko yang akan dialami mendapat jaminan dari perusahaan asuransi. Dengan melakukan pertanggungan ulang atas resiko yang ditutupnya akan memberi peluang perusahaan asuransi melakukan pengembangan bidang usahanya.

46


(42)

Reasuransi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mekanisme untuk reasuransi47

a. Treaty dan Facultative Reinsurance antara lain:

Mekanisme ini disebut juga automatic reinsurance.Dalam model ini, reasuradur memberikan sejumlah pertanggungan yang diinginkan dengan perjanjian kontrak dan reasuradur harus menerima jumlah yang ditawarkan.

b. Reasuransi Proporsional

Pembagian resiko antara ceding company dengan reasuradur dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah retensi yang telah ditetapkan.Retensi adalah jumlah maksimum resiko yang ditahan atau ditanggung oleh ceding company.

C. Tujuan, Sifat, Dan Prinsip Asuransi 1. Tujuan Asuransi

Hidup tak ubahnya seperti permainan dari sebuah ketidakpastian.Secara awam, ketidakpastian itu diterjemahkan sebagai suatu resiko.Sesuatu yang belum pasti terjadi, akibatnya tentu tidak dikehendaki juga.Misalnya resiko kecelakaan, kematian, kerugian, dan lain sebagainya. Tak seorangpun mengetahui secara pasti kapan resiko itu akan terjadi. Berdasarkan uraian tersebut, sejatinya yang menjadi fokus utama adalah resiko dibalik ketidakpastian yang umumnya tidak dikehendaki. Namun, resiko itu dapat dialihkan kepada pihak lain (perusahaan asuransi) bila mereka menjadi anggota asuransi.48

Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, asuransi mempunyai tujuan pertama-tama ialah mengalihkan segala resiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapkan terjadi kepada orang lain yang mengambil resiko untuk mengambil kerugian. Pikiran yang terselip dalam hal ini ialah lebih ringan dan mudah apabila yang menanggung resiko dari kekurangan nilai

47

Ibid, hal.17.

48


(43)

benda itu beberapa orang daripada satu orang saja dan akan memberikan suatu kepastian mengenai kestabilan dari nilai harta bendanya itu jika dia ingin mengalihkan resiko itu pada suatu perusahaan, dimana dia sendiri saja tidak berani menanggungnya.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh A.F.A. Volman bahwa orang-orang lain yang menerima resiko itu, yang disebut penanggung bukanlah semata-mata melakukan itu demi perikemanusiaan saja dan bukanlah pula bahwa dengan tindakan itu kepentingan-kepentingan mereka menjadi korban untuk membayar sejumlah uang yang besar mengganti kerugian-kerugian yang ditimbulkan peristiwa itu.Perjanjian asuransi mempunyai tujuan untuk mengganti kerugian pada tertanggung.Jadi, tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia mengalami kerugian dan benar-benar menderita kerugian.

Tujuan asuransi pada pokoknya adalah mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil resiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Pihak yang bersedia menerima resiko itu disebut penanggung. Sebagai perusahaan, pihak penanggung bagaimanapun lebih dapat menilai besarnya resiko itu daripada pihak tertanggung, berdasarkan besar kecilnya resiko yang dihadapi penanggung dan berapa besar persentase kemungkinan klaim yang akan diterimanya. Perusahaan asuransi dapat menghitung besarnya penggantian kerugian dan dari jumlah inilah perusahaan memintakan premi kepada pihak tertanggung.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, asuransi sebenarnya memiliki tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai. Tujuan-tujuan-tujuan tersebut antara lain49

a. Teori Pengalihan Resiko

:

Menurut teori pengalihan resiko (risk transfer theory), tertanggung menyadari bahwa ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya

49


(44)

atau terhadap jiwanya. Jika harta kekayaan atau jiwanya terancam, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raga. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban resiko tersebut, pihak tertanggung berusaha mencari jalan bila ada pihak lain yang bersedia mengambil alih beban resiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut dengan premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan resiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya.Dengan membayar sejumlah premi kepada pihak penanggung.

b. Pembayaran Ganti Kerugian

Dalam hal tidak terjadinya perstiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalahnya terhadap resiko yang ditanggung oleh penanggung. Dalam praktiknya tidak selamanya bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh akan terjadi. Ini merupakan kesempatan kepada penanggumg mengumpulkan premi dari tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. Jika suatu ketika peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi, yang menimbulkan kerugian, maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransi. Dengan demikian, tertangung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang dideritanya.

c. Pembayaran Santunan

Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara penanggung dengan tertanggung (voluntary insurance).Akan tetapi, undang-undang mengatur asuransi yang bersifat wajib (compulsory insurance), artinya, tertanggung terikat dengan penanggung karena undang-undang, bukan karena perjanjian.Asuransi jenis ini disebut dengan jenis asuransi sosial (social security insurance).Asuransi sosial bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau cacat


(45)

tubuh.Tertanggung yang telah membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang-undang, misalnya hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Apabila mereka mendapat musibah kecelakaan dalam pekerjaannya atau selama angkutan berlangsung, mereka atau ahli warisnya akan memperoleh pembayaran santunan dari penanggung (BUMN), yang jumlahnya telah ditetapkan oleh undang-undang. Jadi, tujuan mengadakan asuransi sosial menurut pembentuk undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang.

d. Kesejahteraan Anggota

Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung.Sedangkan anggota pekumpulan bertindak sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan akan membayarkan sejumlah unag kepada anggota (tertanggung) yang bersangkutan. Wirjono Prodjodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan “perkumpulan koperasi”. Asuransi ini merupakan asuransi yang saling menanggung (onderlinge verzekering) atau asuransi usaha bersama (mutual

insurance) yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan angota.50

Setelah ditelaah dengan seksama, asuransi saling menanggung tidak dapat digolongkan ke dalam asuransi murni, tetapi hanya mempunyai unsur – unsur yang mirip dengan asuransi kerugian atau sejumlah uang. Penyetoran uang iuran oleh anggota perkumpulan (seperti premi oleh tertanggung) merupakan pengumpulan dana untuk kesejahteraan anggotanya atau untuk mengurus kepentingan anggotanya.

50


(46)

2. Sifat Asuransi

Menurut Wirjono Prodjokoro, sifat asuransi sebagai gejala hukum adalah sebagai berikut51

a) Sifat persetujuan , yaitu:

Semua asuransi berupa suatu persetujuan tertentu atau bizonder overeenkomst, yaitu suatu pemufakatan antara dua pihak atau leibh dengan maksud akan mencapai suatu tujuan yang dalam persetujuan itu seseorang atau lebih berjanji terhadap orang lain atau lebih.

b) Sifat timbal-balik

Persetujuan asuransi atau pertanggungan merupakan suatu persetujuan timbal-balik atau wederkerig overenkomst, yang berarti masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi pihak lain. Pihak terjamin berjanji akan membayar sejumlah uang asuransi kepada pihak terjamin, apabila suatu peristiwa itu akan terjadi.

c) Sifat konsensual

Persetujuan asuransi merupakan suatu persetujuan yang bersifat konsensual, yaitu sudah dianggap terbentuk dengan adanya kata sepakat belaka antara kedua belah pihak.

d) Sifat perkumpulan

Ada pembagian asruansi secara premi atau premie-verzekering dan asuransi saling menjamin atau onderlingerverzekering.Jenis asuransi yang kedua ini, yaitu asuransi saling menjamin bersifat perkumpulan atau vereniging yang terbentuk diantara para terjamin selaku anggota.

51


(47)

e) Sifat perusahaan

Jenis asuransi secara premi diadakan antara pihak penjamin dengan pihak terjamin tanpa ikatan hukum diantara terjamin ini dengan orang-orang lain yang juga menjadi pihak terjamin terhadap si penjamin tadi.Dalam hal ini pihak-pihak penjamin biasanya bukan seorang individu, melainkan hampir selalu suatu badan yang bersifat perusahaan, yang memperhitungkan untung rugi dalam tindakan-tindakannya.

Sedangkan sifat asuransi sebagai gejala ekonomi dapat dilihat jika seorang manusia dalam suatu pergaulan hidupnya atau masyarakat sering menderita kerugian selaku akibat suatu peristiwa yang tidak tersangka semula seperti misalnya: rumah terbakar, barang-barang dicuri, tabrakan, kecelakaan di darat, laut dan udara, dan lain-lain. Kalau kerugian itu hanya kecil saja, dapatlah ditutup sendiri, tetapi lain halnya bila uang sendiri tidak mencukupi untuk menutup kerugian itu maka orang akan benar-benar menderita. Jalan untuk memperkecil resiko ini yaitu dengan mengadakan perjanjian asuransi. Dan dalam hal asuransi sebagai gejala ekonomi ini ia dapat berfungsi sebagai pembagian resiko dan pemindahan resiko.52

3. Prinsip Asuransi

Asuransi sebagai suatu perjanjian dilengkapi juga dengan beberapa prinsip. Hal tersebut diperlukan agar sistem perjanjian asuransi itu dapat dipelihara dan dipertahankan, sebab suatu norma tanpa dilengkapi dengan prinsip cenderung untuk tidak mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum asuransi antara lain53

a. Prinsip Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest) :

Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 250 KUHD yakni “bila seseorang yang mempertanggungkan untuk dirinya sendiri, atau seseorang yang atas bebannya

52

Ibid., hal.54.

53


(48)

dipertanggungkan oleh pihak ketiga, pada waktu pertanggungan tidak mempunyai kepentingan dalam benda yang dipertanggungkan, maka penanggung tidak wajib mengganti kerugian”.Dalam pasal tersebut yang apabila disimpulkan mensyaratkan adanya kepentingan dalam mengadakan perjanjian asuransi dengan akibat batalnya perjanjian tersebut seandainya kepentingan itu tidak terpenuhi.Pasal 250 KUHD juga digunakan untuk membedakan antara asuransi dengan permainan dengan perjudian.

Menurut Emy Pangaribuan Simanjuntak, bahwa hal kepentingan harus ada pada waktu ditutupnya perjanjian asuransi tidak sepantasnya dan dapat menimbulkan ketidakadilan. Pasal yang lain adalah Pasal 268 KUHD yaitu “pertanggungan dapat menjadikan sebagai pokok yakni semua kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, dapat terancam bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Pasal ini menyimpulkan tentang syarat-syarat kepentingan yang dapat diasuransikan, mempunyai pengertian yang sempit karena harus dapat dinilai dengan uang, sedangkan ada kepentingan yang tidak dapat dinilai dengan uang misalnya hubungan kekeluargaan, jiwa, anak, istri, dan lain-lain.

b. Prinsip Itikad Baik (Utmost Goodfaith)

Dalam perjanjian asuransi banyak pasal-pasal dalam KUHD yang dapat disimpulkan mengandung prinsip itikad baik. Pasal-pasal tersebut antara lain:

a) Pasal 251 “semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun semuanya dilakukan dengan itikad baik, yang sifat sedemikian rupa, sehingga perjanjian itu tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal”.

b) Pasal 252 “kecuali dalam hal yang diuraikan oleh ketentuan undang-undang, tidak telah diadakan pertanggungan kedua untuk waktu yang sama, dan untuk bahaya yang sama atas barang-barang yang telah


(49)

dipertanggungkan untuk nilainya secara penuh, dengan ancaman kebatalan terhadap pertanggungan yang kedua”.

c) Pasal 276 “tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan yang disebabkan oleh tertanggung itu sendiri, dibebankan kepada penanggung. Bahkan ia boleh tetap memegang atau menagih preminya, bila ia sudah mulai memikul bahaya”.

d) Pasal 277 “bila berbagai pertanggung diadakan dengan itikad baik terhadap satu barang saja, dan dengan yang pertama ditanggung nilai yang penuh, hanya inilah yang berlaku dan penanggung berikut dibebaskan. Bila pada penanggung pertama tidak ditanggung nilai penuh, maka yang berikutnya bertanggung jawab untuk nilai selebihnya menurut urutan waktu mengadakan pertanggungan itu”.

Diantara pasal-pasal tersebut yang paling popular adalah Pasal 251 KUHD yang dikenal dengan kewajiban memberikan keterangan. Dalam Pasal 251 KUHD tersebut asuransi menjadi batal apabila tertanggung memberikan keterangan yang keliru atau tidak benar atau sama sekali tidak memberikan keterangan. Disamping itu tidak dipersoalkan apakah tertanggung beritikad baik atau buruk.

c. Prinsip Keseimbangan (Idemniteit Principle)

Pasal 246 KUHD “asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, dimana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.

Asuransi sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 246 KUHD merupakan perjanjian penggantian kerugian.Ganti rugi disini mengandung arti bahwa penggantian kerugian dari penanggung harus seimbang dengan kerugian yang benar-benar diderita oleh tertanggung.Keseimbangan yang demikianlah yang dinamakan prinsip keseimbangan.Dalam KUHD tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan tentang prinsip keseimbangan.Akan tetapi, ada juga pasal-pasal


(50)

yang mengandung arti dianutnya prinsip keseimbangan. Pasal-pasal tersebut diantaranya telah dijelaskan sebelumnya antara lain: Pasal 246, 250, 252, dan 277 KUHD. Sedangkan pasal yang lain yaitu:

a) Pasal 253 “pertanggungan yang melampaui jumlah harganya atau kepentingan yang sesungguhnya, hanyalah berlaku sampai jumlah nilainya. Bila nilai barang itu tidak dipertanggungkan sepenuhnya, maka penanggung dalam hal kerugian, hanya terikat menurut perimbangan antara bagian yang dipertanggungkan. Akan tetapi, bagi pihak yang berjanji bebas untuk mempersyaratkan dengan tegas, bahwa tanpa mengingat kelebihan nilai barang yang dipertanggungkan, kerugian yang diderita oleh barang itu akan diganti sampai jumlah penuh yang dipertanggungkan”.

b) Pasal 254 “pelepasan yang diadakan pada waktu mengadakan pertanggungan atau selama berjalannya hal itu, atas hal yang menurut ketentuan undang-undang dipersyaratkan untuk hakekat perjanjian itu, atau hal yang dengan tegas dilarang, adalah batal”.

c) Pasal 271 “penanggung selalu dapat mempertanggungkan lagi hal yang telah ditanggung olehnya”.

d) Pasal 278 “bila pada suatu polis saja, meskipun pada hari yang berlainan oleh berbagai penanggung dipertanggungkan lebih dari nilainya, mereka bersama-sama, menurut perimbangan jumlah yang mereka tanda tangani, hanya memikul nilai sebenarnya yang dipertanggungkan”.

e) Pasal 280 “tak dianggap sebagai perjanjian yang tidak diperkenankan, bila setelah pertanggungan suatu barang untuk nilai penuhnya, yang berkepentingan selanjutnya untuk mempertanggungkannya, untuk seluruhnya atau sebagian, dengan ketentuan tegas, bahwa ia hanya akan dapat melakukan hanya terhadap para penanggung bila dan selama ia tidak akan dapat menagih ganti rugi pada penanggung yang terdahulu”.


(1)

sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.73

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menunjukkan kekuatan kedudukan kreditur dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak.Namun, kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.Hal tersebut memberi perlindungan pada debitur dan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi seimbang.Ini merupakan realisasi dari asas keseimbangan.

Dengan istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah.Pada Pasal 1320 KUHPerdata adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak.Dari hal tersebut terlihat jelas bahwa realisasi asas kepastian hukum benar-benar dijunjung tinggi.

74


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan oleh penulis, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, yaitu:

1. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi pada tanggal 25 September 2006 berdasarkan Surat Keputusan Bersama: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor KEP-45/M.EKON/07/2006, Gubernur Bank Indonesia Nomor 8/50/KEP.GBI/2006, Menteri Keuangan Nomor 357/KMK.012/2006, dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-75/MBU/2006 Tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. Di dalam Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) merupakan tempat penyelesaian sengketa yang mempunyai kontribusi yang sangat penting, terutama dalam penyelesaian sengketa dalam bidang asuransi melalui jalur mediasi asuransi yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 27 dan Pasal 14.

2. Mediasi yang dilakukan oleh Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) melalui suatu proses secara sukarela yang didasarkan pada perjanjian atau pelaksanaan kewajiban. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) memiliki prosedur penyelesaian sengketa asuransi yang diatur Pasal 3 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang hampir sama dengan proses penyelesaian sengketa melalui mediasi di lembaga mediasi lainnya, yaitu mengajukan permohonan dan mengisi formulir kepada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) agar sengketa yang dialami dapat terselesaikan dengan cepat.

3. Mediasi mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang lain antara lain: relatif murah, cepat


(3)

dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa. Mediasi juga dapat menghasilkan putusan yang lebih baik yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersegketa. Pelaksanaan keputusan sesuai dengan akta kesepakatan mediasi yang telah diselesaikan oleh Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) diawasi juga oleh anggota dewan pengawas BMAI sendiri sampai benar-benar tertanggung (pemegang polis) maupun penanggung (perusahaan asuransi). Keputusan dari hasil mediasi bersifat final dan mengikat. Pelaksanaan akta kesepakatan hasil mediasi yang dilakukan oleh Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dilakukan dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan kesepakatan dan sangat bergantung pada itikad baik para pihak dalam mematuhi hasil-hasil perundingan atau kesepakatan tersebut. kesepakatan yang diperoleh tanpa ada paksaan dan didasarkan kepada kesukarelaan para pihak dapat dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik. Apabila dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan kesepakatan belum dilaksanakan maka dapat dikatakan bahwa pihak yang tidak melaksanakan isi kesepakatan telah melakukan wanprestasi.

B. Saran

Maka dari itu, penulis memberikan saran pada penelitian ini yang mana harapannya baik pembaca, perusahaan asuransi, lembaga mediasi maupun pemerintah dapat berusaha lebih baik lagi untuk melindungi hak-hak dari tertanggung (pemegang polis) dan penanggung (perusahaan asuransi). Saran tersebut antara lain:

1. Dalam menyelesaikan sengketa antara tertanggung (pemegang polis) dan penanggung (perusahaan asuransi) melalui mediasi yang dilaksanakan oleh lembaga mediasi baik Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) maupun lembaga mediasi lainnya harus menjunjung tinggi itikad yang baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2. Agar prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi dan jalur penyelesaian sengketa lainnya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku


(4)

dan efisien agar pelaksanaan penyelesaian sengketa mediasi tersebut tidak memakan waktu lama dan biaya yang mahal.

3. Akta keputusan mediasi harus sesuai dengan keputusan para pihak yang bersengketa dan pelaksanaan kesepakatan mediasi yang telah diputuskan bersama oleh para pihak harus dilaksanakan dengan baik dalam kurun waktu yang telah ditentukan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdulkadir, Muhammad, 2002, Hukum Asuransi Di Indonesia, PT. Citra Aditya Sakti, Jakarta.

Amin, Suma, 2006, Asuransi Syariah Dan Asuransi Konvensional Teori,

Sistem, Aplikasi Dan Pemasaran, Kholam Publishing, Jakarta.

Amriani, Nurnaningsih, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perdata Di Pengadilan, Cetakan I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Asikin, Zainal dan Amiruddin, 2003, Pengantar Metode Peneltian Hukum,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hartono, Sri Rejeki, 2001, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi,

Sinar Grafika, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1996, Hukum Asuransi Indonesia, Penerbit Intermasa, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

Soemartono, Gatot, R.M, 2006, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suggono, Bambang, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Sutiyoso, Bambang, 2008, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, Gama Media, Yogyakarta.

Takdir, Rahmadi, 2010, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui


(6)

Wardana, Wahyu, Kun, 2009, Hukum Asuransi, CV. Mandar Maju, Bandung.

Wijaya, Gunawan, 2001, Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase, Cetakan II, PT. Grafindo Persada, Jakarta.

UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi. Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

SKRIPSI/TESIS/BAHAN AJAR

Maria Kaban, 2011, Bahan Ajar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, Medan.Anggreany Arief, 2009, Skripsi Mediasi Sebagai

Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan, Surabaya.

INTERNET

Abdul Halim, Kontekstualisasi Mediasi Dalam Perdamaian, diunduh pada situs