Pemindahan Ibukota Dalam Perspektif Admi

Pemindahan Ibukota Dalam Perspektif
Administrasi Negara
PENDAHULUAN
Ibukota memainkan peran yang sangat strategis bagi suatu negara, karena menjadi
pusat dari berkumpulnya kekuasaan politik dan ekonomi, karena menjadi tempat kedudukan
pemerintahan negara dan perwakilan rakyat (parlemen). Pada umumnya, ibukota juga
merupakan salah satu kota terbesar dan seringkali merefleksikan keunikan karakter suatu
bangsa, seperti keberagaman suku bangsa, agama, kebudayaan, haluan politik, sejarah
perjuangan dan pemersatu semangat kebangsaan. Dalam perspektif hubungan internasional,
ibukota juga menjadi gerbang utama dari suatu negara, yang menjadi tempat kedudukan
perwakilan diplomatik negara lain dan organisasi internasional, serta menjadi miniatur suatu
negara.
Dengan predikat tersebut, maka ketika dengan berbagai alasan dan faktor pendorong
tertentu sebuah ibukota dipandang harus dipindahkan ke tempat lain – baik dipindahkan ke
kota besar lain ataupun dipindahkan ke kota lain yang baru dibentuk; baik pemindahan secara
keseluruhan maupun komponen tertentu saja – debat dan diskursus akan pemindahan dan
penentuan ibukota baru menjadi tak terelakkan, seiring dengan tarik menarik kepentingan di
dalamnya.
Hal yang sama terjadi ketika muncul wacana akan adanya pemindahan Ibukota NKRI
ke luar Jakarta. Banyak ide, perdebatan, diskusi yang muaranya adalah pada pemilihan yang
terbaik dari pilihan yang ada, dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang – ekonomi,

politik, kesatuan bangsa, demografi, pertahanan dan keamanan, serta lingkungan yang
semuanya didasarkan pada latar belakang dan tarik ulur kepentingan yang ada.
Ide pemindahan ibukota ke luar Jakarta sendiri sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Dengan pertimbangan keterbatasan yang dimiliki Jakarta, pada era tahun 1950an mantan
Presiden Soekarno pernah melontarkan gagasannya untuk memindahkan ibukota ke
Palangkaraya dengan berbagai alasannya. Selanjutnya, mantan Presiden Soeharto pun pada
sekitar 15 tahun yang lalu pernah mewacanakan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Jonggol.
Dalam konteks kekinian, urgensi pemindahan ibukota yang utama didasari atas
berbagai keterbatasan dan persoalan yang membelit Jakarta sehingga dipandang tidak lagi
ideal dalam menjalankan perannya sebagai pusat ekonomi, politik dan budaya. Dari
perspektif lingkungan, selain memang topografi Jakarta merupakan dataran rendah, saat ini
disadari bahwa kota ini sedang mengalami kemerosotan daya dukung lingkungan yang
ditandai dengan berkurangnya cadangan air tanah, turunnya level permukaan tanah, kecilnya
rasio antara ruang terbuka hijau dan ruang tertutup bangunan, instrusi air laut, banjir,
kekeringan, polusi udara, air dan suara, semakin turunnya luasan daerah resapan, dan
berbagai masalah lingkungan lainnya.
Dilihat dari perspektif manajemen perkotaan, Jakarta merupakan salah satu kota
dengan permasalahan yang sangat kompleks. Dari aspek demografi, over populasi menjadi
permasalahan yang sulit dipecahkan. Salah satu penyebabnya adalah adanya urbanisasi
dalam jumlah yang besar setiap tahunnya. Over populasi ini semakin besar pada jam kerja

dengan kehadirancommuter yang juga menimbulkan permasalahan yang tidak sederhana.
Keadaan ini pada akhirnya dapat memicu tingginya tingkat kriminalitas, pengangguran,

tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, serta permasalahan lain yang diakibatkan
beban populasi yang tinggi.
Sementara itu sisi spasial kota memperlihatkan pola-pola yang tidak beraturan.
Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada hanya sekedar menjadi dokumen; pembangunan
sentra-sentra bisnis besar menggusur hak spasial pelaku ekonomi lemah; arah pembangunan
keruangan tidak jelas dan saling tumpang tindih antara pusat bisnis dan residensial; urban
sprawl, slum area dan keterbatasan ruang publik merupakan sedikit contoh dari semrawutnya
tata ruang Jakarta.
Pada sisi manajemen perkotaan yang lain, terlihat pula adanya kegagalan pemerintah
dalam melakukan pengelolaan sampah. Setali tiga uang, penyedian air bersih yang
berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat pun nampaknya masih menjadi persoalan serius
terkait dengan sumber air yang terbatas dan kesulitan distribusi yang berkeadilan.
Permasalahan utama yang sedang menjadi sorotan adalah sistem transportasi massa
yang memprihatinkan. Dari sisi infrastruktur, terlihat dengan jelas buruknya infrastruktur
transportasi Jakarta. Kecilnya rasio panjang jalan berbanding luas wilayahnya, kualitas jalan
yang buruk, infrastruktur perkeretaapian yang menyedihkan, dan kendaraan umum yang
sangat tidak terawatt, dan masih banyak lagi permasalahan transportasi yang membelit, pada

akhirnya mengakibatkan kemacetan, kesemrawutan dan lebih jauh lagi berimplikasi pada
gangguan pada sektor ekonomi, perusakan lingkungan, pemborosan sumber daya, dan
meningkatnya gangguan kesehatan masyarakat baik fisik maupun psikologis. Inefisiensi
Jakarta pun sangat luar biasa karena kemacetan dan keruwetan tata kotanya.
Di samping alasan-alasan di atas, faktor politis, ekonomis, ketahanan dan
ketatanegaraan pun menjadi hal yang tidak dapat dinegasikan. Posisi geografis Jakarta yang
berada di belahan barat kepulauan Indonesia mengakibatkan ketimpangan pembangunan
yang berat ke barat. Dalam bidang ekonomi, wilayah Indonesia timur menjadi lebih tertinggal
di banding Indonesia bagian barat. Ketertinggalan ini kemudian merembet ke semua indikator
pembangunan. Padahal, dari sudut ketersediaan sumber daya, wilayah Indonesia timur
menyimpan potensi yang besar. Posisi Jakarta yang tidak berada di tengah cakupan wilayah
Indonesia menyebabkan pula kurangnya semangat kebangsaan dari penduduk yang letaknya
sangat jauh dari pusat kekuasaan ini, seperti misalnya yang terjadi pada daerah terdepan,
terluar dan perbatasan. Apabila dibiarkan, hal semacam ini akan sangat berbahaya terutama
bagi persatuan dan kesatuan NKRI.
Dalam berbagai diskursus tentang pemindahan ibukota, beberapa pilihan untuk
memindahkan atau tidak memindahkan telah banyak dilontarkan. Disamping itu telah pula
muncul sejumlah lokasi yang diusulkan menjadi ibukota baru. Namun tulisan ini mencoba
untuk tidak terjebak dalam pusaran perdebatan mengenai teknis penentuan lokasi semata.
Tulisan ini menelaah prospek pemindahan ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia dari Provinsi DKI. Berbagai perspektif perlu dicermati dalam mencari solusi yang
paling memberikan manfaat bagi NKRI, tidak semata bagi penduduk Jakarta. Tanpa disain
kebijakan yang tepat dan implementasi yang baik, pemindahan ibukota barangkali tidak akan
memberikan manfaat yang berarti bagi pemerataan wilayah dan tujuan lainnya. Dalam
upaya memberikan pertimbangan bagi wacana disain kebijakan tersebut tersebut, tulisan ini
juga mencoba menelaah pemindahan ibukota dari perspektif administrasi Negara dengan
memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai aspek yang lain. Namun mengingat
pemindahan ibukota membutuhkan kajian yang matang, telaah ini lebih diupayakan untuk
menstimulasi diskusi dan memperkaya referensi bagi pengkajian yang lebih mendalam

mengenai pemindahan ibukota Negara, khususnya yang berkaitan dengan sisi administrasi
negara.
IBUKOTA DAN PEMINDAHAN IBUKOTA
Ibukota
Ibukota diambil dari bahasa Latin caput yang berarti kepala (head) dan terkait dengan
kata capitol yang terkait dengan bangunan dimana pusat pemerintahan utama dilakukan.
Ibukota (diambil dari terminology a capital; capital city; political capital) adalah kota utama
yang diasosiakan dengan pemerintahan suatu Negara; secara fisik difungsikan sebagai kantor
pusat dan tempat pertemuan dari pimpinan pemerintahan dan ditentukan berdasarkan hukum
(Sutikno , 2007). Terminologi political capital sejalan dengan definisi dalam politik dimana

ibukota secara politik merupakan pusat pemerintahan.Capitol sendiri dalam kamus mengacu
pada bangunan dimana pusat urusan pemerintahan dilaksanakan. Pada umumnya ibukota
ditetapkan melalui peraturan tertentu. Ibukota Negara merupakan merupakan simbolisasi dan
kebanggaan suatu Negara. Ibukota Negara merepresentasikan kejayaan nasionaldan identitas
bangsa yang pada akhirnya akan menggambarkan citra suatu Negara. Pemilihan ibukota
Negara pada umumnya memiliki benang merah dengan sejarah terbentuknya suatu Negara.
Ibukota berbagai Negara secara resmi tercantum dalam konstitusi Negara.
Jika dilihat dari sejarah ibukota-ibukota di dunia, ibukota sebagai pusat ekonomi
utama dari suatu wilayah sering menjadi titik pusat dari kekuatan politik, dan menjadi suatu
ibukota melalui suatu penaklukan atau penggabungan. Ibukota secara alamiah mempunyai
daya tarik tersendiri sehingga lama kelamaan Ibukota bisa menjadi pusat ekonomi, budaya
atau pusat intelektual.
Pada umumnya ibukota Negara memiliki multifungsi. Namun terdapat pula beberapa
Negara memisahkan berbagai fungsi yang biasa dimiliki ibukota dalam kota-kota yang
berbeda. Tidak seperti DKI Jakarta yang memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat
dari kekuatan politik sekaligus pusat bisnis, beberapa negara justru memisahkan atau
mengkonsentrasikan salah satu fungsi pada kota-kota yang berbeda. Oleh karena itu tidak
selalu ibukotanegara menjadi kota utama yang difungsikan sebagai pusat pemerintahan.
Dengan adanya beberapa kota yang menjalankan fungsi ibukota yang berbeda, Negara
tersebut sering dianggap memiliki lebih dari satu Negara. Kota-kota semacam ini dikenal

sebagai split capitals (Rawat,2005). Contoh-contoh ibukota Negara dan keragamannya dapat
dirangkum dalam suatu tipologi berikut.
Tabel1. Contoh Ibukota Negara dan Tipologi Fungsinya
Negara

Ibukota Multifungsi

Indonesia

Jakarta menjadi ibukota Negara
sebagai pusat pemerintahan dimana
lembaga
eksekutif,
legislatif,
maupun yudikatif berkantor. Selain
itu
juga
menjadi
tempat
berkantornya seluruh perwakilan

diplomatik negara lain, pusat bisnis,
keuangan, bahkan juga pusat
pendidikan.

Malaysia

Split Capitals

Putrajaya berfungsi sebagaifederal
administrative centre of Malaysia.
Kuala Lumpur tetap menyandang

Tidak memiliki
ibukota

sebutan ibukota negara, menjadi
tempat
kedudukan
parlemen
sekaligus pusat komersial dan

finansial Malaysia.
Bolivia

La
Paz
merupakan
ibukota
administrative Bolivia semenjak
1989 Kota ini merupakan tempat di
mana pemerintah eksekutif dan
legislative
berkantor.
SementaraSucre merupakan ibukota
konstitutional Bolivia, menjadi
tempat
berkantornya
bagian
Judisial pemerintahan Bolivia, juga
merupakan
tempat

di
mana
Mahkamah Agung Berada.

Afrika
Selatan

Ibukota administratif berada di
Pretoria, Ibukota legislatif berada di
Cape Town, sementara ibukota
judisial berada di Bloemfountein.
Hal ini merupakan hasil kompromi
dalam pembentukan Union of South
Africa pada tahun 1910.

Singapura

Tidak
mempunyai
ibukota, ibukota

berimpit dengan
negara
karena
merupakan
negara kota (city
state)

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Pemindahan ibukota
Pemindahan Ibukota negara bukan merupakan suatu hal yang tidak bisa dilakukan.
Pemindahan ibukota membantu mengatasi ketimpangan demografis di akibat kondisi
geografis tertentu di suatu Negara. Ibukota yang baru juga bisa menjadi motor bagi
pembangunan daerah sekelilingnya (Rawat, 2005).
Ada beberapa negara yang melakukan pemindahan ibukota dengan beragam alasan
yang melatarbelakanginya. Ibukota baru bisa merupakan kota yang telah ada sebelumnya
yang kemudian difungsikan menjadi ibukota (relocated capital) atau kota baru yang dibangun
dari awal untuk menjadi ibukota. Berikut adalah contoh-contoh negara yang telah
memindahkan ibukota negaranya:
Tabel3. Pemindahan Ibukota di Berbagai Negara

Negara

Ibukota
Lama

Ibukota
Baru

Alasan Pemindahan

Keterangan

Kazakhtan

Almaty

Astana

Untuk mengatasi ketimpangan
regional,
menyatukan
masyarakat yang berbeda etnis,
dan mengkonsolidasikan batas
wilayah.

Almaty berada di ujung
selatan
sedang
Astana
posisinya lebih di tengah

Malaysia

Kuala
Lumpur

Putra Jaya

Pusat
dipindahkan

Ibukota tetap kuala Lumpur
secara
konstitusional.

Pemerintahan
dari
Kuala

De

Lumpur akibat terlalu padat
dan
macetnya
Kuala
Lumpur. Pemindahan ibukota
akan sangat menguntungkan di
masa
depan,
terutama
berkembangnya kota-kota baru
dan
mengimbangi
Kuala
Lumpur.

Putrajaya
pemerintahan

menjadi pusat

Brasilia

Memindahkan ibukota Brazil
dari Rio De Janeiro ke lokasi
yang berada di tengah-tengah
negara Brazil

Pemindahan ibukota Brazil ke
Brasillia dianggap kurang
berhasil karena lokasinya yang
terlalu dipelosok, maka hanya
sektor pemerintahan saja yang
dapat hidup dan berkembang
disana, sehingga dinamika
kota disana cenderung statis.
Hal ini bisa menjadi suatu
hambatan
dalam
usaha
mencari solusi pemerataan
penduduk

Brazil

Rio
Janeiro

Bolivia

Sucre

La Paz

La paz memiliki pertumbuhan
bisnis yang paling pesat,
kontribusi kinerja ekonomi
yang lebih besar. Di samping
itu kota ini juga memiliki lokasi
geografis yang lebih baik dan
lebih dekat dengan Bandar
internasional sehingga memiliki
nilai geopolitics yang lebih baik
daripada Sucre.

Sucre tetap menjadi ibukota
konstitusional

New
Zealand

Auckland

Wellington

Dengan
memindahkan
ibukota ke Wellington yang
berlokasi di sebelah selatan
North Island of New
Zealand, lokasi ibukota ini
akan lebih menjangkau
penduduk di South Island
(south inlander)

Ibukota
sebelumnya,
Auckland, terletak di
bagian utara North Island
of New Zealand

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Indonesia bahkan tercatat pernah memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta
dan Bukittinggi sebelum dipindahkan ke Jakarta lagi. Pemindahan yang pernah dilakukan
tersebut banyak dilatarbelakangi alasan kedaulatan dan kedaruratan keamanan Negara pada
masa awal kemerdekaan RI.
Dalam kondisi di luar masa perjuangan kemerdekaan, pemindahan ibukota perlu
dipertimbangkan secara matang dan seyogyanya memiliki visi ke depan, tidak bersifat
darurat. Sebagaimana beberapa contoh di atas, pemindahan ibukota harus dikaitkan dengan
kondisi geografis Indonesia dan kondisi masyarakat lainnya.

Administrasi Pemerintahan Daerah Ibukota

Dari berbagai ibukota yang ada, dapat dilihat bahwa bentuk ibukota administrasi
pemerintahan daerah ibukota suatu Negara bervariasi. Suatu wilayah ibukota dapat
memiliki status kedudukan tertentu dan bentuk administrasi pemerintahan daerah yang
spesifik diatur dalam ketentuan perundangan. Terdapat pula ibukota Negara yang tidak
memiliki bentuk administrasi pemerintahan daerah secara khusus yang diformalkan dalam
ketentuan hukum. Berikut berbagai contoh ibukota Negara dan kekhususan administrasi
pemerintahan daerahnya.
Tabel 3. Contoh Kekhususan Administrasi Pemerintahan Daerah Ibukota
Negara

Ibukota

Keterangan Kekhususan

Australia

Canberra

The Australian Capital Territory (ACT) didirikan secara khusus untuk
tempat berkatornya pemerintah. Meskipun ACT memiliki Chief
Minister dan legislatur sendiri (legislative assembly), namun Parlemen
Federal tetap mengatur legislasi di ACT. Di samping memerintah ACT, the
Legislative Assembly juga bertindak sebagai pemerintah kota Canberra.
Gubernur Jenderal Australia memegang hak-hak tertentu yang pada level
state dilakukan oleh state governor.

Brazil

Brasília

Didirikan dalam Brazilian Federal District atau Distrito Federal, di mana
beberapa kota lainnya juga berada dalam state tersebut. Federal District
merupakan unit federasi yang khas karena tidak diorganisasikan seperti
halnya municipality. Meskipun memiliki tingkatan yang sama, unit
tersebut tidak memiliki otonomi sebagaimana state lainnya dan sangat
berkaitan dengan pusat kekuasaan.

Kolombia

Bogota

Capital District of Bogota, terdiri dari Kota Bogota dibentuk sebagai
Distrik khusus.

Republik
Dominika

National
District
of
Santo Domingo

Ibukota merupakan distrik khusus. Sebelumnya merupakan Provinsi Santo
Domingo.

India

New Delhi

New Delhi sebagai ibukota India berada dalam The National Capital
Territory of Delhi (NCT) yang merupakan gabungan teritori khusus di
India, tergabung bersama dengan Delhi dan Delhi Cantonement.
Pemerintah pusat memiliki sedikit control atas teritori tersebut dibanding
gabungan teritori lainnya. NCT berbeda karena municipal control ada
pada pemerintahan yang terpilih, namun area seperti kepolisisn dan
administrasi dipegang oleh pemerintah pusat.

Indonesia

DKI Jakarta

DKI Jakarta merupakan provinsi otonom yang dipimpin oleh seorang
gubernur, bukan walikota. Terbagi atas 5 daerah administratif yang tidak
memiliki parlemen daerah seperti daerah otonom.

Malaysia

Kualalumpur

Kuala Lumpur sebagai ibukota Negara Malaysia berada di Federal
Territory of Kuala Lumpur ,sementara The Federal Government
Administrative Centre of Putrajaya berada pada the Federal Territory of
Putrajaya. Keduanya berada di Negara bagian Selangor.

Korea
Selatan

Soul

Seoul merupakan kota khusus, namun walikota Seoul dianggap setara
dengan gubernur.

Amerika
Serikat

Washington DC

Pusat pemerintahan Amerika Serikat merupakan distrik federal yang
dikenal sebagai District of Columbia. Sejak diundangkannya the Home
Rule Act of 1973, District of Columbia dipimpin oleh walikota terpilih dan
dewan kota. Kongress masih memegang otoritas terhadap distrik tersebut
dan mempunyai hak untuk mereview anggaran dan pajak daerah,
menganulir peraturan yang dikeluarkan dewan kota, dan
menghentikan home rule.

Venezuela

Caracas

Sebelumnya memiliki pemerintahan daerah sendiri, namun reformasi

konstitusi pada tahun 1999 menghapuskan pemerintahan distrik tersebut
dan membentuk suatu metropolitan district of caracas, dengan jurisdiksi
mencakup juga beberapa kota di sekelilingnya, berada di Negara bagian
Miranda.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Terkait dengan administrasi pemerintahan daerah ibukota, perlu dipertimbangkan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sistem pemerintahan yang berlaku di
Indonesia. Penerapan konsep ibukota negara di negara kesatuan dengan federal pun bisa berbeda.
Hal ini terjadi karena dalam negara kesatuan, semua kekuasaan prinsipnya merupakan milik
pemerintah pusat. Prinsipnya adalah pemerintah pusat tapi status khusus diberikan pada entitas
tertentu yang mempunyai tanggungjawab atas wilayah yang diberikan berdasarkan statusnya [1]. Di
samping itu dalam menentukan bentuk ibukota baru perlu dicermati bagaimana kondisi wilayah yang
akan menjadi ibukota.
GAGASAN ALTERNATIF PEMINDAHAN IBUKOTA

Saat ini, apakah ibukota Jakarta akan tetap dipertahankan atau perlu dilakukan
pemindahan ke wilayah lain, masih merupakan bahan perdebatan yang belum terselesaikan.
Belum ada keputusan yang jelas mengenai opsi pemindahan ibukota. Setidaknya ada
beberapa skenario yang saat ini berkembang dalam isu pemindahan ibukota negara RI, yaitu:
 Status quo
Status quo, di mana ibu kota tetap di Jakarta, masih dianggap sebagai salah satu skenario
yang cukup realistis. Meskipun demikian, harus ada pilihan kebijakan untuk menata, dan
memperbaiki beberapa persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi
lingkungan, kemiskinan urban, banjir, dan tata ruang wilayah. Argumen yang menyatakan
bahwa pemindahan ibukota dirasa tidak perlu antara lain karena masalah Jakarta saat ini
hanyalah kemacetan yang sebenarnya merupakan masalah infrastruktur[2]. Solusinya,
pemerintah pusat dan daerah harus bersama-sama membereskan segala kesemrawutan di
Jakarta sekarang ini.
Keunggulan dari pilihan ini sebagaimana disampaikan para pendukungnya ini antara lain
dilandasi argumen-argumen bahwa masalah-masalah Jakarta dapat diperbaiki dengan biaya
lebih kecil daripada ongkos memindahkan Ibukota. Di samping itu, memindahkan Ibukota
juga dianggap tidak serta merta menghilangkan segala masalah yang ada di Jakarta saat ini
seperti kemacetan.
Namun jika Ibukota tetap berada di Jakarta ada beberapa kelemahan yang perlu
dipertimbangkan, seperti: kondisi Jakarta yang rentan terhadap berbagai bencana
dikhawatirkan mengurangi efektifitasnya sebagai ibukota. Selain itu dengan tetap
dipertahankannya Jakarta dengan berbagai fungsinya, laju urbanisasi dan ketimpangan
pembangunan yang terlalu terpusat di Jakarta seperti saat ini akan terus berlanjut.


Skenario Pemisahan fungsi Ibukota
Menurut skenario ini, pusat pemerintahan sebaiknya dipisahkan dari ibu kota negara. Artinya,
Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibu kota negara karena faktor historis, sebagai simbol.
Adapun pusat pemerintahan akan dipindahkan ke lokasi lain. Untuk itu skenario ini
membutuhkan kajian yang komprehensif perihal opsi lokasi dari pusat pemerintahan baru ini,
sehingga faktor jarak antara Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan baru tidak
menjadi kendala di masa mendatang.

Salah satu keunggulan yang melandasi pilihan ini adalah bahwa penyelenggaraan
pemerintahan dapat menjangkau daerah dengan lebih baik dan hasil-hasil pembangunan akan
lebih dapat didistribusikan ke daerah-daerah dengan merata.
Namun ada kelemahan dari skenario ini, antara lain karena membangun kota baru akan
membutuhkan dana yang sangat besar. Khususnya terkait dengan penyediaan sarana
pemerintahan dan infrastruktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana
pendukung lainnya. Di samping itu, dengan Jakarta tetap sebagai ibukota secara simbolis
memungkinkan adanya kesulitan dari sisi yuridis terkait dengan beberapa pasal dalam
Undang-Undang Dasar Negara yang menyebutkan kedudukan beberapa lembaga Negara.
Salah satu alternatif solusinya dapat dilakukan dengan menetapkan Jakarta sebagai pusat
bisnis saja. Sementara ibukota Negara ditetapkan di wilayah yang nantinya juga akan
dijadikan pusat pemerintahan yang baru.


Skenario Penyebaran Fungsi-Fungsi Pemerintahan atau Zona-Zona Pemerintahan
Skenario ini kurang begitu diperbincangkan, namun gagasan lain melakukan penyebaran
fungsi pemerintahan dapat dipertimbangkan. Berbagai kementrian yang selama ini berkantor
di Jakarta dapat dipindahkan ke lokasi lain. Misalnya kementrian yang mengurusi bidang
pariwisata berkantor di Bali, kementrian kehutanan berkantor di Kalimantan, dan sebagainya.
Pemikiran lain yang bisa dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan efisiensi adalah
dengan menyelenggarakan membagi wilayah NKRI ke dalam berbagai zona dan mendirikan
Kantor-kantor regional di zona-zona tersebut. Dengan adanya kantor-kantor regional ini
pemerintah daerah cukup berkoordinasi dengan kantor-kantor regional. Rasional dari kedua
gagasan ini adalah, untuk mengurangi konsentrasi pemerintahan di Pusat, mendekatkan
pelayanan dan menurunkan ongkos penyelenggaraan pemerintahan.



Skenario Pemindahan Ibukota Negara
Dalam skenario ini, akan dibentuk suatu Daerah Khusus Ibukota di tempat lain.
Sebagaimana halnya DKI Jakarta, daerah ini akan memiliki berbagai fungsi sebagai ibukota
sekaligus juga menjadi pusat perekonomian. Diharapkan bahwa dengan membangun suatu
ibukota baru, akan dapat terbentuk ibukota yang lebih terencana sekaligus membuka pusat
perekonomian baru.
Namun pilihan ini barangkali paling kurang feasible dibandingkan dengan pilihan
sebelumnya. Terutama dikarenakan biaya yang dibutuhkan akan lebih besar dibandingkan
hanya memindahkan pusat pemerintahan saja.
Pilihan opsi untuk mengatasi persoalan ibukota perlu segera dipertegas, guna
mempersiapkan segala sesuatunya. Pemindahan ibukota Negara akan membawa konsekuensi
politis, administratif pemerintahan, sosial, ekonomi, dan berbagai konsekuensi lainnya. Tanpa
disain kebijakan yang tepat dan implementasi yang baik, pemindahan ibukota barangkali
tidak akan memberikan manfaat yang berarti bagi pemerataan wilayah dan tujuan lainnya.

PERSPEKTIF ADMINISTRASI NEGARA DALAM PEMINDAHAN IBUKOTA
Dalam upaya memberikan pertimbangan bagi wacana disain kebijakan tersebut,
tulisan ini mencoba memposisikan pilihan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari
Jakarta, sementara Jakarta dipertahankan sebagai pusat bisnis sebagai opsi yang

direkomendasikan. Dari sudut pandang administratif, pilihan yang diambil dinilai paling
feasible dan dan dapat meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Namun keputusan pemindahan ibukota tentu tidak berhenti pada pemilihan
ibukotanya. Lebih dari itu diperlukan kebijakan-kebijakan terkait lainnya yang
memungkinkan kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Dari sudut pandang
administrasi Negara, pemindahan ibukota perlu mencermati berbagai hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan administrasi Negara.
-

Segi Kebijakan
Sebagai sebuah kebijakan, pemindahan ibukota tidak boleh bertentangan dengan kebijakan
yang lebih tinggi. Peraturan yang mengatur tentang ibukota harus sejalan dengan UndangUndang Dasar dan peraturan lain yang lebih tinggi dari ketentuan tersebut. Secara yuridis
formal terdapat beberapa Pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan ibu kota. Namun
Pasal 2 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang
sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara”.Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UUD
1945 hanya menyebutkan bahwa sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dilaksanakan di
ibu kota negara, dan tidak disebutkan “dilaksanakan di Jakarta”. Karena hanya menyebutkan
di ibukota Negara, dengan demikian, apabila ibu kota Indonesia dipindahkan maka hal
tersebut tidak menyebabkan perubahan UUD 1945.
Pemindahan ibukota Negara akan membawa konsekuensi yuridis terhadap berbagai ketentuan
yang terkait dengan kedudukan DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Beberapa peraturan yang
perlu dicermati antara lain UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada Pasal 226 dan
Pasal 227. Perpindahan ibu kota Indonesia dari DKI Jakarta ke wilayah lain perlu mengubah
UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merevisi UU No 32 Tahun 2004,
yang di dalamnya terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan kedudukan DKI Jakarta
sebagai ibu kota negara. Antara lain, Pasal 226 UU No 32 Tahun 2004, dan Pasal 227 UU No
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang terkait dengan kedudukan DKI Jakarta
sebagai ibu kota. Perubahan undang-undang tersebut juga harus disertai dengan pembentukan
undang-undang yang menyatakan wilayah yang baru tersebut sebagai ibu kota Indonesia, dan
undang-undang yang mengatur status wilayah ibukota tersebut sebagai daerah khusus ibu
kota.

-

Administrasi pemerintahan daerah Ibukota
Bagaimana administrasi pemerintahan daerah Ibukota merupakan konsekuensi lain yang
perlu diperhatikan. Di samping itu, kedudukan Provinsi DKI Jakarta yang bukan lagi
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bagaimana bentuk otonominya
perlu ditata kembali.
Pemerintahan daerah yang akan menjadi ibukota sebagai daerah otonom bisadiberikan status
istimewa karena kedudukannya sebagai ibukota negara namun bisa saja diberikan alternatif
lain seperti halnya dibahas pada bab sebelumnya mengenai ibukota negara. Sebagai daerah
otonom, apakah daerah tersebut memiliki otonomi tunggal pada provinsi atau bentuk otonomi
lainnya. Terdapat beberapa pilihan dalam hal ini yakni:

1. Daerah yang terdapat ibukota di dalamnya tidak diberikan status khusus
Dalam hal ini, daerah yang terdapat ibukota di dalamnya diatur sebagaimana pengaturan
daerah otonom lainnya. Namun kelemahannya, dengan fungsinya sebagai ibukota, daerah

tersebut dimungkinkan akan menghadapi persoalan yang lebih kompleks yang membutuhkan
dukungan sumber daya yang lebih besar. Meskipun jika keberadaan pemerintahan Pusat dan
infrastruktur yang mendukungnya didanai oleh anggaran Pusat, dengan keberadaan
Pendapatan Asli Daerah yang pada umumnya masih tergolong kurang, pemerintah daerah
akan memiliki beban yang cukup berat.
2. Pemberian status khusus bagi daerah yang terdapat ibukota di dalamnya
Daerah yang berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki
kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan
pemerintahan.Posisinya akan berimpitan dengan pusat pemerintahan negara dan pelaksana
kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi sekaligus. Status khusus ini akan berimplikasi
pada masalah finansial dan sumberdaya khusus lainnya yang diperuntukkan bagi daerah
tersebut dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai ibukota.
3. Bentuk Kawasan Khusus Ibukota
Daerah khusus ibukota juga dapat diatur secara berbeda dari daerah lain karena
kekhususannya, sebagaimana dimungkinkan dalam pengaturan tentang kawasan
khusus. Kawasan khusus adalah kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
menyelenggarakan fungsi tertentu pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang bersifat
khusus bagi kepentingan nasional. Suatu ibukota tentu saja mempunyai fungsi yang penting
secara nasional sehingga dapat dijadikan kawasan khusus. Tidak dipungkiri bahwa wacana
pemindahan ibukota dapat diwarnai berbagai kepentingan dan akan ada berbagai daerah yang
berlomba-lomba mengajukan diri menjadi ibukota. Pilihan membentuk kawasan khusus
ibukota yang sama sekali baru ini dapat dianggap sebagai pilihan yang cukup netral untuk
menghadapi berbagai kepentingan tersebut. Administrasi pemerintahan di kawasan khusus ini
sepenuhnya bi bawah Pemerintah Pusat.
Adapun bagi Provinsi DKI Jakarta, dengan berhentinya DKI Jakarta menjadi ibukota, status
DKI dimungkinkan akan berubah. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan
kedudukannya sebagai Ibukota memiliki status khusus sebagaimana dinyatakan dalam UU
No 29 tahun 2007. Setelah tidak menjadi ibukota, kemungkinan pertama, Jakarta tidak lagi
berstatus sebagai daerah khusus sebagaimana dinyatakan dalam peraturan tersebut. Oleh
karena itu, perlu mempertimbangkan kembali ketentuan dalam pasal 18 ayat 1,2, dan 3 UUD
1945 yang menyatakan bahwa propinsidibagi atas kabupaten dan kota otonom, yang tiap-tiap
propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, setiap pemerintahan
kabupaten/kota tersebut memiliki DPRD masing-masing. Di samping itu salah kajian juga
memperlihatkan bahwa terdapat berbagai masalah kelembagaan dalam disain otonomi
tunggal tersebut (P3M STIA LAN-Biro Administrasi Wilayah Jakarta, 2006). Oleh karena itu
dimungkinkan bahwa dengan pemindahan ibukota akan merubah status kabupaten/kota
administratif yang saat ini berada dalam wilayah Propinsi DKI menjadi daerah otonom.
-

Kelembagaan
Secara teori ibukota merupakan tempat pusat pemerintahan utama dilakukan. Namun tidak
selalu ibukotanegara menjadi kota utama yang difungsikan sebagai pusat pemerintahan.
Pertimbangan efisiensi dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pelayanan
harus diperhitungkan. Hal ini terkait dengan ini bagaimana kedudukan lembaga Negara,
perwakilan Negara asing, dan kedudukan lembaga internasional lainnya serta proses
koordinasi antar lembaga Negara tersebut. Di samping itu pengorganisasiaan kelembagaan
ibukota juga merupakan hal yang sangat penting, karena akan menentukan alokasi fungsi
masing-masing lembaga, kualitas komunikasi dan efektivitas hubungan antara instansi Pusat

dan daerah. Cheema and Rondinelli(1983) menekankan bahwa hal-hal
sangat penting dalam menentukan hasil pelaksanaan desentralisasi.

semacam

ini

Untuk kepentingan ke depan, ada beberapa model kelembagaan yang dapat dikembangkan.
Masing-masing skenario di atas memiliki kelemahan dan kelebihan yang perlu
dipertimbangkan dengan cermat. Berikut ini akan digambarkan
1. Kelembagaan yang terpusat
Disain ini dimaksudkan bahwa nantinya lembaga pemerintahan seluruhnya (sebagian besar)
akan dipindahkan dan berkantor di ibukota administrasi.
2. Kelembagaan pemerintahan yang tersebar
Disain ini dimaksudkan bahwa nantinya dimungkinkan tempat kedudukan kantor
pemerintahan tersebar di beberapa wilayah. Lembaga-lembaga yang tetap dapat menjalankan
fungsinya di lokasinya saat ini dapat dipertahankan berada di lokasi tersebut.
3. Pembagian zona wilayah NKRI dan mendirikan Kantor-kantor regional di zona-zona tersebut
Pengaturan ini terkait dengan pemikiran untuk membagi wilayah NKRI ke dalam berbagai
zona dan mendirikan Kantor-kantor regional di zona-zona tersebut. Dengan adanya zonazona tersebut, pemerintah daerah cukup berkoordinasi dengan kantor regional.
-

Perencanaan Pembangunan Ibukota
Pemindahan ibukota memerlukan perencanaan yang matang dan waktu yang cukup panjang.
Pemindahan ibukota administratif Malaysia ke putrajaya misalnya, dimulai pada tahun 1995
dan mulai dipindahkan pada tahun 1999 yang selanjutnya menjadi wilayah federal pada tahun
2001. Untuk itu dibutuhkan suatu rencana strategis pemindahan ibukota yang dituangkan
dalam kebijakan khusus. Pemerintah perlu menetapkan suatu perencanaan dalam berbagai
tahapan untuk memindahkan ibukota. Misalnya melalui tahapan persiapan, penyiapan
infrastruktur, selanjutnya pemindahan lembaga-lembaga pemerintahan secara bertahap, dan
pemantapan.

-

Komitmen Politik
Aspek politik juga perlu mendapat perhatian dalam wacana ini. Ibu kota memang identik
dengan politik. Dikarenakan pusat pemerintahan dan pengambilan kebijakan strategis terletak
di kota itu. Faktor politik mengambil peranan dominan dibandingkan faktor lain. Tidak
terealisasinya wacana pemindahan ibukota yang sebelumnya pernah muncul antara lain juga
berkaitan dengan aspek politik, di mana terjadi pergantian pimpinan politik. Hal ini
memberikan pelajaran bahwa jika pilihan pemindahan ibukota telah ditetapkan, tidak
mendapat pertentangan ketika kepemimpinan nasional berganti. Di samping itu, dengan sifat
pelaksanannya yang multiyears dan membutuhkan dukungan dana yang besar, tentu
memerlukan komitmen politik yang kuat. Diharapkan bahwa Presiden memiliki keberanian
yang kuat untuk mengusulkan kebijakan pemindahan ibukota kepada DPR. Berbagai sejarah
pemindahan ibukota memperlihatkan bahwa peran pemimpin yang mengusung gagasan
tersebut memainkan peranan penting (Rawat, 2005). Salah satu contohnya adalah
pemindahan ibukota Kazakhtan dari Almaty ke Astana yang mendapat dukungan kuat dari
Presiden Nursuktan Nazarbayev.
Tidak kalah pentingnya, posisi publik dalam kebijakan ini perlu mendapat tempat. Jangan
sampai keputusan pemindahan ibukota hanya memikirkan sekelompok tertentu. Dengan
terbukanya ruang partisipasi publik, akan memunculkan aspirasi publik yang beragam.
Namun seyogyanya pemilihan ibukota harus dapat menjadi dasar bagi penguatan integrasi
bangsa. Ibukota juga memiliki peran lain yang sangat penting sebagai pemersatu masyarakat

multikultural Indonesia. Penentuan suatu ibukota tidak hanya dimaksudkan untuk
kepentingan kelompok masyarakat tertentu, namun ibukota adalah untuk kepentingan
Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi masyarakat diharapkan dapat
menjembatani aspirasi masyarakat yang mencerminkan kepentingan nasional.
Pemindahan Ibukota dan Penguatan Proses Desentralisasi
Pemindahan ibukota akan mempengaruhi pelaksanaan proses desentralisasi. Hal ini erat
kaitannya dengan perubahan hubungan antar organisasi pemerintahan yang dapat berubah
dengan diterapkannya kebijakan tersebut. Cheema and Rondinelli(1983) berpendapat bahwa
hubungan antar organisasi pemerintahan (intergovernmental relationship) dapat berdampak
pada kebijakan desentralisasi dalam hal-hal seperti hasil-hasil kebijakan, dampak bagi
kapasitas dan institusi pemerintah daerah dalam perencanaan, mobilisasi sumber daya,
implementasi, di samping juga pada akses terhadap fasilitas pemerintahan.
Tujuan pemindahan ibukota sangat mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dalam
pengambilan keputusan. Oleh karena itu pemindahan ibukota harus dipandang sebagai suatu
instrumen untuk meperkuat proses desentralisasi. Dengan kata lain bahwa pemindahan
ibukota perlu ditujukan untuk memperkuat upaya-upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, meningkatkan pelayanan publik, dan memperkuat daya saing daerah.
PENUTUP
Berbagai masalah yang terjadi di Jakarta menjadikan wilayah ini dianggap sudah tidak
mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai ibukota Negara RI. Hal ini mendorong
munculnya kembali pemikiran untuk melakukan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke
tempat lain.Memindahkan ibukota Negara dari suatu wilayah ke wilayah lain tentu bukan
merupakan persoalan yang mudah. Terlebih bagi Negara kesatuan seperti Republik Indonesia
yang memiliki kondisi geografis yang unik berupa Negara kepulaun. Jika pun ibukota Negara
dipindahkan, seyogyanya tidak sekedar ditujukan untuk mengatasi permasalahan kepadatan
dan kemacetan Jakarta. Jika pemindahan ibukota jadi dilakukan, Ibukota yang baru akan
memiliki peranan yang penting sebagaimana DKI Jakarta dalam mendukung
penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Diperlukan kesiapan dari berbagai aspek, termasuk diantaranya penyiapan kebijakan,
disain administrasi pemerintahan, pengorganisasian kelembagaan, perencanaan secara
bertahap dalam pembangunan ibukota, dan didukung oleh komitmen politik yang kuat. Tidak
kalah pentingnya dalam merumuskan kebijakan pemindahan ibukota adalah bahwa tujuan
pemindahan ibukota perlu diletakkan dalam kerangka penguatan proses pelaksanaan
desentralisasi.
Penulis menyadari bahwa paparan dalam tulisan ini masih memiliki banyak
kekurangan. Saran dan masukan yang bersifat membangun sangat diharapkan sehingga ke
depan dapat bermanfaat bagi telaah pemindahan ibukota yang lebih mendalam. Sejalan
dengan tujuan tulisan ini, kiranya hasil dari diskusi yang dilakukan pada hari ini juga dapat
memberikan perbaikan positif guna penyempurnaan rekomendasi kebijakan yang disusun.
Daftar Referensi

Cheema, G. Shabir dan Dennis Rondinelli, Decentralization and Development Policy Implementation in Developing
Country, 1983, Sage Publication, New Delhi
P3M STIA LAN, Biro Administrasi Wilayah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Otonomi Tunggal Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta,2007,Jakarta
PKKOD-LAN, Administrasi Pemerintahan Daerah yang Memiliki Otonomi Khusus, 2008, Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta
Rawat, Rajiv, Capital City Relocation: Global Perspectives in The Search for An Alternative Modernity, 2005,
Department of Geography York University, Toronto
Rosenberg, Countries With Multiple Capital City,http://geography.about.com/od/political geography/a/multiple
capital.htm
Sutikno (2007), Perpindahan Ibukota Negara Suatu Keharusan atau Wacana, makalah disampaikan dalam diskusi
“Sejarah, Kota, dan Perubahan Sosial dalam Perspektif Sejarah”, 11-12 April 2007, Balai Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Situs internet
http://sites.google.com/site/boliviacapital/facts-la-paz
http: //www.perlukah ibukota dipindahkan
http://sites.google.com/site/boliviacapital/the-answer-to-why-bolivia-has-two-capital-cities
http://wapedia.mobi/en/Capital_districts_and_territories
http://www.babylon.com/definition/capital_city/
http://www.politik.vivanews.com
http://www.memkokesra.go.id/context/view/7146/1/

, Pusat Pemerintahan Sebaiknya dipindah ke Jonggo

Kedutaan besar Kazakhtan, http:// www.kazakhembus.com/index.php?page=astana
Rosenberg, Countries With Multiple Capital City,http://geography.about.com/od/political geography/a/multiple
capital.htm
The Jakarta Post, SBY:New Capital City Needs Consideration,12 April 2009

[1] Dikutip dari situs http://wapedia.mobi/en/Capital_districts_and_territories
[2] Dikutip dari situs vivanews.com
Diposkan oleh DR. ADI SURYANTO di 21.54
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Entri Populer

Pemindahan Ibukota Dalam Perspektif Administrasi Negara
PENDAHULUAN Ibukota memainkan peran yang sangat strategis bagi suatu negara, karena menjadi
pusat dari berkumpulnya kekuasaan politik dan...


Upaya Pemerintah Kota Mewujudkan GLG di Era Otda

Governance means there is no one centre but multiple centres; there is no sovereign authority ... ” (Rhodes
1997: 109) Governance is “ the ...


Hakekat Pemerintah Daerah Dalam Kerangka NKRI

Pendahuluan Sejarah bangsa Indonesia telah memberikan pelajaran bagi kita betapa sulitnya para pendiri
bangsa ini memikirkan dan memutuskan...

Pengikut
Arsip Blog

o

▼ 2011 (3)
▼ Januari (3)



Pemindahan Ibukota Dalam Perspektif Administrasi N...



Upaya Pemerintah Kota Mewujudkan GLG di Era Otda



Hakekat Pemerintah Daerah Dalam Kerangka NKRI

Mengenai Saya

DR. ADI SURYANTO
bekasi, Jawa Barat, Indonesia
Dr. Adi Suryanto, dilahirkan di KEBUMEN Jawa tengah (1969, adalah Kepala Pusat Kajian
Kinerja Otonomi Daerah di Lembaga Administrasi Negara; selain itu juga sebagai Dosen di
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi pada Program Magister...Mengajar di berbagai Diklat PNS,
baik Pim Tk II, III maupun IV. Aktivitas lainnya juga menjadi Pengajar di Sespim POLRI untuk
mata ajar OTONOMI DAN PEMBANGUNAN DAERAH, menjadi narasumber di berbagai
seminar dan diskusi, baik lokal, nasional maupun internasional. Adi Suryanto juga aktif menjadi
anggota Tim Teknis Nasional Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemda, Tim Nasional Penilaian
Citra Pelayanan Publik (CPP).
Lihat profil lengkapku
Tema Tanda Air. Gambar tema oleh compassandcamera. Diberdayakan oleh Blogger.