Gambaran Preferensi Pemilihan Pasangan pada Mahasiswa Karo di Universitas Sumatera Utara

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suku Karo adalah salah satu suku bangsa dari banyak etnis yang ada di Kepulauan Nusantara. Masyarakat karo persebarannya dapat dikatakan luas. Daerah suku Karo antara lain, Kabupaten Karo, Langkat, Deli Serdang, Simalungun, dan Dairi. Suku Karo sendiri memiliki lima marga yaitu, Karo-Karo, Ginting, Tarigan, dan Perangin-angin (J.H Neumann, 1972). Apabila masyarakat ingin menjalani tradisi suku Karo, harus mengacu pada tradisi yang ada di kabupaten Karo. Daerah suku Karo identik dengan “Taneh Karo” hal ini dikarenakan suku Karo masih menjalani kebudayaan Karo secara ketat dan menjadi standar/ideal untuk ditiru (Koentjaraningrat, 1984).

Suku Karo umumnya tinggal di kampung, mereka tidak merantau seperti suku batak lainnya. Mereka hidup dengan kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi di lingkungan tradisional tersebut. Masyarakat Karo juga memiliki sifat yang pecaya diri, tidak serakah, sopan, dan mudah menyesuaikan diri (Bangun, 2006). Oleh karena itu segala hal seperti memberi dan menerima dilakukan secara wajar tanpa ada kecurangan. Biasanya jika diketahui ada yang berbuat curang maka akan mendapat hukuman yang berat dari masyarakat (Bangun, 2006). Hal ini mencerminkan suku Karo yang bersifat kolektivistik. Menurut Matsumoto (2008) kolektivistik merupakan kecenderungan yang lebih besar untuk melibatkan


(2)

orang lain dalam proses pengambilan keputusan, menanyakan opini dan nasihat dari teman-teman, keluarga, dan orang yang disayangi.

Budaya Karo dapat bertahan dikarenakan secara terus-menerus diturunkan oleh orang tua, paman, bibi, dan orang dewasa lainnya kepada anak atau keturunannya yang juga berasal dari budaya yang sama yaitu Karo. Pada saat anak-anak Karo masih kecil, mereka sering dibawa oleh orang tuanya untuk mengikuti kegiatan adat atau pesta adat suku Karo, terutama pesta pernikahan. Hal ini dilakukan agar dalam diri anak-anak Karo tertanam nilai-nilai moral budaya karo sehingga dapat terus mewarisi nilai-nilai budaya Karo. Meskipun anak-anak tersebut belum dapat memahami makna yang tersirat dalam setiap bentuk kegiatan budaya Karo, namun semakin seiring berjalannya waktu dan saat anak-anak tersebut beranjak dewasa, maka pemahaman dan kemampuan berpikirnya tentang budaya Karo akan semakin terinternalisasi dalam dirinya (Meliala, 2007).

Pada umumnya masyarakat Karo mempunyai cara mengasuh anak yang berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Anak laki-laki dibiasakan untuk mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan dibiasakan untuk pergi ke ladang, dikarenakan anak laki-laki kelak akan menjadi kepala keluarga. Sedangkan anak perempuan dibiasakan untuk tinggal di rumah untuk mengurus rumah dan memasak. Walaupun sekarang ini banyak anak perempuan Karo yang sudah bekerja, tetapi orang tua tetap menanamkan nilai-nilai untuk tetap menjadi ibu rumah tangga yang baik (Meliala, 2007).

Kebudayaan pada Karo dapat dilihat dari adat istiadatnya, adat istiadat ini juga masih terus dilakukan dan diajarkan tua-tua atau orang tua untuk


(3)

mempertahankan budaya, misalnya dalam adat perkawinan. Pada aturan adat perkawinan suku Karo, terdapat beberapa tahapan dan pada setiap tahapan inilah harus dilakukan runggu (musyawarah mufakat). Runggu menjadi kata kunci dalam penyelesaian adat perkawinan pada suku Karo. Runggu ini akan melahirkan keputusan-keputusan bersama yang disepakati anatara keluarga mempelai pria dan wanita (Tarigan, 2009).

Bagi orang Karo secara turun-temurun, sistem kekerabatan dan perkawinan begitu menentukan keberlangsungan tatanan adat-istiadat serta struktur sosialnya secara harmonis. Mereka berusaha menjaga perkawinan ideal dalam tradisi Karo, yakni laki-laki atau perempuan wajib menikahi impal-nya sebagai pasangan idealnya (Manalu, 2013). Budaya ini membuat suku Karo menganggap pernikahan ideal jika menikah dengan impal atau yang satu suku dengannya, didukung dengan wawancara peneliti kepada lansia di tanah karo “menikah dengan impal itu bagus, kalau ada harta bibik kita terus kita menikah sama anaknya, harta bibik kita ya sama kita, ga ke orang lain. Jerih payah bibik kita balik ke kita lagi, balik ke keluarga lagi”

(Komunikasi Personal, 2015)

Berdasarkan wawancara di atas terlihat bahwa tua-tua suku Karo masih memegang budaya menikah dengan impal yang terbaik. Suku Karo sendiri khususnya orangtua dan keluarga masih memegang peranan yang besar dalam penentuan pasangan hidup seseorang. Makna perkawinan yang sakral membuat perkawinan pada Karo secara filosofi diadakannya pesta yang dibuat oleh orang tua kedua mempelai. Kedua calon mempelai tidak dibebani tanggung jawab untuk mengadakan pesta, namun yang bertanggung jawab adalah kedua orang tua dari calon mempelai, terutama orang tua pihak laki-laki (Tarigan, 2009).


(4)

Sedangkan menurut Bangun (dalam Tarigan, 2009) makna perkawinan pada Karo merupakan suatu pranata, yaitu tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan perempuan saja, tetapi menyatukan dua keluarga dari pihak laki-laki (“siempoken”) dengan pihak wanita (“sinereh”). Hal inilah yang membuat seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodohnya. Pada perempuan Karo, mereka lebih dibiasakan untuk ‘menunggu’ lamaran dari laki-laki, sehingga jika mereka ‘mengejar’ laki-laki maka dianggap tidak mempunyai harga diri. Jika perempuan tersebut belum juga mendapatkan pasangan hidupnya, maka orang tua dari perempuan tersebut yang akan mencarikan jodoh untuknya yang masih memiliki kekerabatan atau satu suku. Adat ini terus dijalankan sebagai bentuk untuk menghormati tradisi-tradisi yang sudah ada sejak dulu agar pasangan yang menikah diberi keselamatan dan kebahagiaan (Koentjaraningrat, 1985).

Pada penelitian Buss, perbedaan jenis kelamin dalam preferensi pemilihan pasangan, juga memiliki konsekuensi untuk kawin dan untuk seleksi seksual. Perbedaan laki-laki dan perempuan cenderung memiliki lintas karakter yang bermacam-macam. Namun, kesamaan nilai akan menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai sebuah pasangan (Buss, 1985). Hal inilah yang membuat orang tua pada suku Karo menginginkan generasinya menikah dengan impal atau dengan satu sukunya karena adanya kesamaan nilai didalamnya.

Nilai-nilai budaya yang ditanamkan oleh orang tua atau orang dewasa kepada anaknya tidak secara jelas terlihat pada diri generasi muda suku Karo (Meliala, 2007). Adanya perbedaan pemahaman dan nilai-nilai antara orang tua dan generasi muda pada jaman ini, khususnya dalam hal pernikahan sehingga


(5)

membuat generasi muda memiliki pandangan baru dalam hal preferensi pemilihan pasangan sebelum mereka melakukan pernikahan. Preferensi pemilihan pasangan merupakan proses memilih siapa yang akan menjadi teman hidup dan seseorang yang akan memberikan setengah kontribusinya sebagai orang tua dan juga dalam gen untuk melahirkan anak-anak mereka dan kesempatan pada keabadian gen (Lykken, 1993). Menurut Spuhler (dalam Buss, 1985) bahwa memilih pasangan tidak hanya berdasarkan karakteristik fisik, seperti mata, hidung, warna mata, tinggi, dan berat badan, namun individu cenderung melihat dari variabel lainnya, seperti ras. Diantara karakteristik fisik sebagai pertimbangan dalam memilih pasangan, ternyata variabel lain seperti perilaku, nilai-nilai, atau opini menjadi hal yang lebih kuat dalam proses preferensi pemilihan pasangan (Buss, 1985).

Buss (1985) melakukan penelitian kepada 37 negara mengenai preferensi pemilihan pasangan terhadap laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian Buss mengenai preferensi pemilihan pasangan bahwa laki-laki lebih menyukai karakteristik seperti: ketertarikan fisik, pandai memasak, dan good looking. Sedangkan, pada perempuan lebih menyukai karakteristik kejujuran, baik, mandiri, pengertian, mempunyai penghasilan yang baik, dan dari latar belakang keluarga yang baik.

Menurut Buss (1985) bahwa variabel terkuat dalam preferensi pemilihan pasangan adalah umur, pendidikan, ras, agama, dan latar belakang budaya yang sama. Penelitian Buss menyatakan dalam 37 negara tersebut terdapat faktor budaya yang sama antara laki-laki dan perempuan, yang mana peranan budaya selalu mempengaruhi seseorang dalam hal preferensi pemilihan pasangan


(6)

(Toro-Morn dan Sprecher dalam Buss, 1985). Namun pada generasi muda sekarang, faktor budaya tidak begitu menjadi prioritas utama dalam memilih pasangan.

Preferensi pemilihan pasangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang mana faktor kecocokan tidak hanya berdasarkan sikap dan nilai atau kesamaan budaya, tapi juga berkaitan dengan perilaku. Pasangan akan lebih merasa puas dan mendapatkan kehidupan pernikahan yang baik apabila pasangannya dapat membagi harapan yang sama mengenai peran gender dan apabila dapat saling bertoleransi mengenai kebiasaan–kebiasaan dari pasangan (DeGenova, 2008). Tidak semua nilai-nilai yang dianut individu memiliki kesamaan karakkteristik dalam hal preferensi pemilihan pasangan, hal ini akan membuat perbedaan dari tiap-tiap individu dalam memilih pasangan (Buss, 1985). Menurut Thiessen dan Gregg (1980) mengatakan bahwa ada kecenderungan dalam memilih pasangan dengan melihat kesamaan genetik yaitu sebagai sebuah strategi reproduksi yang merepresentasikan sebuah kompromi antara pernikahan eksogami dan endogami.

Banyak nilai-nilai baru yang dianut oleh mahasiswa suku Karo. Nilai yang dianut oleh mahasiswa ini dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berasal dari proses transmisi (Berry, 1999). Menurut Berry (1999) salah satu bentuk transmisi tersebut adalah horizontal transmission (teman sebaya). Teman sebaya ini dapat berasal dari satu suku (satu budaya), dapat juga berasal dari suku lainnya, di sinilah terjadi proses enkulturasi, akulturasi, dan sosialisasi. Adanya proses tersebut akan menghasilkan nilai-nilai baru yang menimbulkan sikap atau pandangan yang berbeda dalam hal preferensi pemilihan pasangan. Hal ini


(7)

diperkuat melalui wawancara pada salah satu mahasiwa suku Karo di Universitas Sumatera Utara.

“kalo untuk pasangan hidup, aku terserah mau suku apa aja yang penting saling terbuka satu sama lain, kalo masalah beda suku kan bisa saling belajar, lagian seru juga kok belajar tentang budaya lain. Ga mesti impal juga atau satu suku”

(komunikasi personal, 2015)

Berdasarkan wawancara di atas terlihat pandangan baru yang dianut oleh mahasiswa Karo pada jaman ini, mereka memiliki pandangan sendiri mengenai preferensi pemilihan pasangan. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap mahasiswa Karo tentang preferensi pemilihan pasangan, banyak mahasiswa yang tidak terlalu mementingkan budaya. Namun, peneliti meminta untuk menyebutkan kata yang berhubungan dengan preferensi pemilihan pasangan berdasarkan suku, kalimat-kalimat yang terucap seperti, pandai ertutur, menikah di jambur, dan sebagainya. Begitu juga peneliti melakukan survey terhadap mahasiswa Karo dengan menuliskan kriteria yang diinginkan dalam preferensi pemilihan pasangan yang berkaitan dengan budaya.

Berdasarkan fenomena di atas terlihat ada semacam perbedaan antara keinginan orang tua dengan anak muda itu sendiri. Namun adanya proses sosialisasi seperti penanaman budaya antara anak dan orang tua, maka generasi muda suku Karo tetap mengikuti keinginan orang tuanya. Peneliti menggunakan alat ukur Buss dalam penelitian ini. alat ukur ini terdiri dari tiga bagian, yang pertama data biologis, yang kedua bagian evaluasi preferensi pemilihan pasangan dan pada bagian ketiga memilih karakteristik preferensi pemilihan pasangan yang paling karakteristik yang disukai. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat gambaran preferensi pemilihan pasangan pada mahasiswa suku Karo.


(8)

B. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan “Bagaimana gambaran preferensi pemilihan pasangan pada mahasiswa suku Karo?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat “Gambaran preferensi pemilihan pasangan suku Karo”

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis

a.1 Secara teortitis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu psikologi dan budaya, khususnya dalam bidang Psikologi Sosial.

a.2 Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi peneliti-peneliti lainnya yang berminat untuk mengembangkan penelitian ini karena penelitian tentang suku Karo masih terbatas atau minim sekali. Penelitian ini juga bermanfaat untuk melihat gambaran preferensi pemilihan pasangan secara mendasar dan signifikan tentang suku Karo


(9)

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi penting bagi masyarakat batak, khususnya masyarakat Karo dalam melihat :

1. Untuk menambah informasi bagi masyarakat Suku Karo dalam preferensi pemilihan pasangan bagi generasi muda di jaman ini. 2. Berguna untuk mahasiswa suku Karo untuk menjadi acuan atau

pemikiran dalam proses preferensi pemilihan pasangan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab 1 pada proposal penelitian ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab 2 pada proposal penelitian ini berisi tentang tinjauan teoritis yang digunakan sebagai landasan penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi penjelasan tentang metode penelitian yang berisikan tentang identifikasi dan definisi operasional variabel, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.


(10)

Bab IV : Analisis Data dan Pembahasan

Berisikan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan.


(1)

membuat generasi muda memiliki pandangan baru dalam hal preferensi pemilihan pasangan sebelum mereka melakukan pernikahan. Preferensi pemilihan pasangan merupakan proses memilih siapa yang akan menjadi teman hidup dan seseorang yang akan memberikan setengah kontribusinya sebagai orang tua dan juga dalam gen untuk melahirkan anak-anak mereka dan kesempatan pada keabadian gen (Lykken, 1993). Menurut Spuhler (dalam Buss, 1985) bahwa memilih pasangan tidak hanya berdasarkan karakteristik fisik, seperti mata, hidung, warna mata, tinggi, dan berat badan, namun individu cenderung melihat dari variabel lainnya, seperti ras. Diantara karakteristik fisik sebagai pertimbangan dalam memilih pasangan, ternyata variabel lain seperti perilaku, nilai-nilai, atau opini menjadi hal yang lebih kuat dalam proses preferensi pemilihan pasangan (Buss, 1985).

Buss (1985) melakukan penelitian kepada 37 negara mengenai preferensi pemilihan pasangan terhadap laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian Buss mengenai preferensi pemilihan pasangan bahwa laki-laki lebih menyukai karakteristik seperti: ketertarikan fisik, pandai memasak, dan good looking. Sedangkan, pada perempuan lebih menyukai karakteristik kejujuran, baik, mandiri, pengertian, mempunyai penghasilan yang baik, dan dari latar belakang keluarga yang baik.

Menurut Buss (1985) bahwa variabel terkuat dalam preferensi pemilihan pasangan adalah umur, pendidikan, ras, agama, dan latar belakang budaya yang sama. Penelitian Buss menyatakan dalam 37 negara tersebut terdapat faktor budaya yang sama antara laki-laki dan perempuan, yang mana peranan budaya selalu mempengaruhi seseorang dalam hal preferensi pemilihan pasangan


(2)

(Toro-Morn dan Sprecher dalam Buss, 1985). Namun pada generasi muda sekarang, faktor budaya tidak begitu menjadi prioritas utama dalam memilih pasangan.

Preferensi pemilihan pasangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang mana faktor kecocokan tidak hanya berdasarkan sikap dan nilai atau kesamaan budaya, tapi juga berkaitan dengan perilaku. Pasangan akan lebih merasa puas dan mendapatkan kehidupan pernikahan yang baik apabila pasangannya dapat membagi harapan yang sama mengenai peran gender dan apabila dapat saling bertoleransi mengenai kebiasaan–kebiasaan dari pasangan (DeGenova, 2008). Tidak semua nilai-nilai yang dianut individu memiliki kesamaan karakkteristik dalam hal preferensi pemilihan pasangan, hal ini akan membuat perbedaan dari tiap-tiap individu dalam memilih pasangan (Buss, 1985). Menurut Thiessen dan Gregg (1980) mengatakan bahwa ada kecenderungan dalam memilih pasangan dengan melihat kesamaan genetik yaitu sebagai sebuah strategi reproduksi yang merepresentasikan sebuah kompromi antara pernikahan eksogami dan endogami.

Banyak nilai-nilai baru yang dianut oleh mahasiswa suku Karo. Nilai yang dianut oleh mahasiswa ini dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berasal dari proses transmisi (Berry, 1999). Menurut Berry (1999) salah satu bentuk transmisi tersebut adalah horizontal transmission (teman sebaya). Teman sebaya ini dapat berasal dari satu suku (satu budaya), dapat juga berasal dari suku lainnya, di sinilah terjadi proses enkulturasi, akulturasi, dan sosialisasi. Adanya proses tersebut akan menghasilkan nilai-nilai baru yang menimbulkan sikap atau pandangan yang berbeda dalam hal preferensi pemilihan pasangan. Hal ini


(3)

diperkuat melalui wawancara pada salah satu mahasiwa suku Karo di Universitas Sumatera Utara.

“kalo untuk pasangan hidup, aku terserah mau suku apa aja yang penting saling terbuka satu sama lain, kalo masalah beda suku kan bisa saling belajar, lagian seru juga kok belajar tentang budaya lain. Ga mesti impal juga atau satu suku”

(komunikasi personal, 2015)

Berdasarkan wawancara di atas terlihat pandangan baru yang dianut oleh mahasiswa Karo pada jaman ini, mereka memiliki pandangan sendiri mengenai preferensi pemilihan pasangan. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap mahasiswa Karo tentang preferensi pemilihan pasangan, banyak mahasiswa yang tidak terlalu mementingkan budaya. Namun, peneliti meminta untuk menyebutkan kata yang berhubungan dengan preferensi pemilihan pasangan berdasarkan suku, kalimat-kalimat yang terucap seperti, pandai ertutur, menikah di jambur, dan sebagainya. Begitu juga peneliti melakukan survey terhadap mahasiswa Karo dengan menuliskan kriteria yang diinginkan dalam preferensi pemilihan pasangan yang berkaitan dengan budaya.

Berdasarkan fenomena di atas terlihat ada semacam perbedaan antara keinginan orang tua dengan anak muda itu sendiri. Namun adanya proses sosialisasi seperti penanaman budaya antara anak dan orang tua, maka generasi muda suku Karo tetap mengikuti keinginan orang tuanya. Peneliti menggunakan alat ukur Buss dalam penelitian ini. alat ukur ini terdiri dari tiga bagian, yang pertama data biologis, yang kedua bagian evaluasi preferensi pemilihan pasangan dan pada bagian ketiga memilih karakteristik preferensi pemilihan pasangan yang paling karakteristik yang disukai. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat gambaran preferensi pemilihan pasangan pada mahasiswa suku Karo.


(4)

B. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan “Bagaimana gambaran preferensi pemilihan pasangan pada mahasiswa suku Karo?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat “Gambaran preferensi pemilihan pasangan suku Karo”

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis

a.1 Secara teortitis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu psikologi dan budaya, khususnya dalam bidang Psikologi Sosial.

a.2 Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi peneliti-peneliti lainnya yang berminat untuk mengembangkan penelitian ini karena penelitian tentang suku Karo masih terbatas atau minim sekali. Penelitian ini juga bermanfaat untuk melihat gambaran preferensi pemilihan pasangan secara mendasar dan signifikan tentang suku Karo


(5)

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi penting bagi masyarakat batak, khususnya masyarakat Karo dalam melihat :

1. Untuk menambah informasi bagi masyarakat Suku Karo dalam preferensi pemilihan pasangan bagi generasi muda di jaman ini. 2. Berguna untuk mahasiswa suku Karo untuk menjadi acuan atau

pemikiran dalam proses preferensi pemilihan pasangan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab 1 pada proposal penelitian ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab 2 pada proposal penelitian ini berisi tentang tinjauan teoritis yang digunakan sebagai landasan penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi penjelasan tentang metode penelitian yang berisikan tentang identifikasi dan definisi operasional variabel, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.


(6)

Bab IV : Analisis Data dan Pembahasan

Berisikan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan.