Pengetahuan dan sikap ibu terhadap metode amenorea laktasi di Dusun Mawar Desa Mancang Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat tahun 2014

(1)

2.1 Metode Amenorea Laktasi (MAL) 2.1.1 Pengertian MAL

MAL adalah kontrasepsi yang mengandalkan pemberian ASI secara eksklusif, artinya hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan atau minuman apapun lainnya (Setya & Sujiyatini, 2009).

MAL menggunakan praktik menyusui untuk menghambat ovulasi

sehingga berfungsi sebagai kontrasepsi. Apabila seorang wanita memiliki seorang bayi berusia kurang dari 6 bulan dan amenore serta menyusui penuh, kemungkinan kehamilan terjadi hanya sekitar 2%. Namun, jika tidak menyusui penuh atau tidak amenorea, risiko kehamilan akan lebih besar. Banyak wanita akan memilih bergantung pada metode kontrasepsi lain seperti pil hanya

progesteron serta MAL (Everett, 2007).

Metode amenorea laktasi (MAL) adalah bentuk kontrasepsi yang amenore, karena ASI eksklusif berkepanjangan dan dalam keadaan tertentu, memberikan jangka waktu yang signifikan, perlindungan alami dari kehamilan. Menyusui diperkirakan mengurangi sekresi hormon gonadotropin pelepasan oleh

hipotalamus, yang pada gilirannya mengganggu sekresi luteinizing hormone (LH) dari kelenjar pituitari. Tanpa teratur, pulsasi LH yang memadai, cukup estrogen


(2)

Intervensi positif terhadap MAL dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap(Tazhibayev, dkk, 2004).

Metode amenore laktasi mungkin sangat berharga bagi perempuan dengan sumber daya rendah, karena sangat efektif dalam mencegah kembalinya kehamilan di 6 bulan pertama postpartum. Selain itu, metode kontrasepsi ini murah, aman bagi ibu, dan memberikan nutrisi yang ideal dan pertahanan terhadap penyakit untuk bayi. Penggunaan metode amenorea laktasi yang benar membutuhkan tiga kriteria yang harus dipenuhi, yaitu postpartum amenore, penuh atau hampir penuh menyusui yang berarti bahwa bayi harus menyusui setidaknya setiap 4 jam pada siang hari dan setiap 6 jam pada malam hari dan bayi harus berusia kurang dari 6 bulan. Beberapa studi telah menunjukkan efektivitas LAM pada 98% atau lebih tinggi di antara perempuan yang memenuhi semua kondisi ini (Sipsma, dkk, 2012).

2.1.2 Cara Kerja MAL

Menyusui menyebabkan terhentinya ovulasi (pelepasan sel telur dari

ovarium) karena menyusui menghambat perubahan laju pelepasan hormon alami (Hatcher, 1997). Menyusui selama periode postpartum memperpanjang depresi fungsi ovarium pengisapan bayi dan produksi prolaktin mengganggu pelepasan GnRH sehingga mengganggu pola normal pelepasan LH. Tanpa pelepasan LH yang normal, ovarium tidak terstimulasi untuk menghasilkan folikel (Dutton, dkk, 2010).


(3)

gonadotrofin meningkat pesat. Sebaliknya pada wanita yang menyusui, konsentrasi PRL tetap meninggi selama penghisapan sering terjadi peningkatan sekresi PRL secara akut. Walaupun konsentrasi FSH kembali ke normal dalam beberapa minggu pascapartum, namun konsentrasi LH dalam darah tetap tertekan sepanjang periode menyusui. Pola pulsasi normal pelepasan LH mengalami gangguan dan hal inilah yang merupakan penyebab mendasar terjadinya penekanan fungsi normal ovarium (Glasier, dkk, 2006).

2.1.3 Keuntungan Kontrasepsi MAL

Efektivitas tinggi (keberhasilan 98% pada enam bulan pertama pascapersalinan), segera efektif, tidak mengganggu senggama, tidak ada efek samping secara sistemik, tidak perlu pengawasan medis, tidak perlu obat atau alat dan tanpa biaya (Pinem, 2009). Selain itu, dibandingkan dengan bentuk-bentuk kontrasepsi, seperti pil KB atau suntikan, metode amenorea laktasi secara substansial lebih rendah biaya dan tidak memiliki hambatan terhadap akses yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kontrasepsi. Metode amenorea laktasi mungkin bentuk optimal kontrasepsi ketika semua kriteria dapat dipenuhi (Sipsma, dkk, 2012).

Menurut Farrel (1997) keuntungan dari metode amenorea laktasi antara lain: dapat dimulai segera setelah melahirkan, ekonomis dan mudah tersedia, tidak memerlukan resep, tidak ada tindakan yang diperlukan pada saat hubungan seksual, tidak ada efek samping atau tindakan pencegahan untuk penggunaannya, tidak ada komoditas atau persediaan yang diperlukan untuk klien atau untuk


(4)

sebagai jembatan untuk menggunakan metode lain, konsisten dengan praktik agama dan budaya, dan hal ini efektif.

2.1.4 Keuntungan Nonkontrasepsi MAL

Untuk bayi: mendapatkan kekebalan pasif (mendapatkan antibody

perlindungan lewat ASI), sumber asupan gizi yang terbaik dan sempurna untuk tumbuh kembang bayi yang optimal, terhindar dari keterpaparan terhadap kontaminasi dari air, susu formula, dan alat minum yang dipakai. Untuk ibu: mengurangi perdarahan postpartum, mengurangi resiko anemia, dan meningkatkan hubungan psikologik ibu dengan bayi (Hatcher, dkk, 1997).

2.1.5 Keterbatasan MAL

Kunci utama keberhasilan immediate breastfeeding perlu adanya persiapan sejak perawatan kehamilan agar segera menyusui dalam 30 menit pasca persalinan setelah bayi lahir, umumnya peran penolong persalinan masih sangat dominan, bila ibu difasilitasi oleh penolong persalinan (Fikawati, 2003).

Pada negara-negara maju metode amenorea laktasi kurang efektif, dikarenakan durasi rata-rata menyusui yang singkat. Hanya sedikit wanita yang menyusui bayinya secara penuh dan hampir penuh melebihi 4 bulan pascapartum. Dengan pola pemberian makanan bayi seperti ini, metode amenorea laktasi tidak dapat dilakukan lebih dari 4 bulan pascapartum dan banyak wanita yang tidak dapat melakukannya (Glasier, dkk, 2006). Mungkin sulit dilaksanakan karena kondisi sosial, ibu bekerja, efektifitas tinggi hanya sampai kembalinya haid


(5)

dengan 6 bulan, tidak melindungi terhadap IMS termasuk virus hepatitis B/HBV

dan HIV/AIDS (Setya & Sujiyatini, 2009).

2.1.6 Indikasi MAL

Ibu yang dapat menggunakan MAL adalah ibu yang menyusui secara eksklusif, bayinya berumur kurang dari 6 bulan dan belum mendapat haid setelah melahirkan (Hatcher, dkk, 1997).

Dari analisis (Sipsma, dkk, 2012) menganggap penggunaan yang benar sebagai penggunaan metode amenorea laktasi dengan anak berusia kurang dari 6 bulan. Kriteria ini dipilih berdasarkan luas literatur keluarga berencana. Namun, beberapa studi mendukung penggunaan metode amenorea laktasi lebih dari 6 bulan.

2.1.7 Kontraindikasi MAL

Ibu yang seharusnya tidak menggunakan MAL jika : sudah mendapat haid setelah bersalin, tidak menyusui secara eksklusif, bayi sudah berusia lebih dari 6 bulan, bekerja dan terpisah dari bayi lebih dari 6 jam (Affandi, dkk, 2011).

2.2 Pengetahuan

2.2.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia


(6)

diperoleh melalui mata dan telinga. Pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek (Wawan & Dewi, 2011).

2.2.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yaitu tahu (know) diartikan hanya sebagai recall (memanggil) suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya setelah mengamati sesuatu atau merupakan suatu kemampuan mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah (Notoatmodjo, 2003).

Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Contoh: dapat menjelaskan definisi MAL.

Memahami (Comprehension) merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau harus dapat menjelaskan menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari (Wawan & Dewi, 2011). Misalnya dapat menjelaskan cara kerja MAL.

Aplikasi (Aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya) atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Aplikasi


(7)

disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain (Notoatmodjo, 2003).

Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cyclel) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan (Notoatmodjo, 2003).

Analisa (Analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitan satu dan lainnya (Wawan & Dewi, 2011). Atau kemampuan untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui (Notoatmodjo, 2003).

Kemampuan analisis ini dapat dilihat bila seseorang dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokan, menggambarkan (membuat bagan), dan sebagainya terhadap pengetahuan atas objek tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Sintesis (Syntesis), Sintesis yang dimaksud menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk melaksanakan dan menghubungkan bagian-bagian didalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada (Wawan & Dewi, 2011).

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat


(8)

menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).

Evaluasi (Evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak, dapat menafsirkan penyebab ibu tidak mau ikut KB, dan sebagainya (Wawan & Dewi, 2011).

2.2.3 Cara Memperoleh Pengetahuan

Cara memperoleh pengetahuan dapat dilakukan dengan cara kuno (tradisional) dan Modern. Cara memperoleh pengetahuan dengan cara kuno yaitu: cara kekuasaan atau otoritas adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas seperti pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya, tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri (Wawan & Dewi, 2011).

Berdasarkan pengalaman pribadi juga dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu (Wawan & Dewi, 2011).


(9)

Cara coba salah (Trial and Error), cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil maka dicoba kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat terpecahkan (Wawan & Dewi, 2011).

Cara modern dalam memperoleh pengetahuan, cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626) kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Dallen yang mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan obyek yang diamatinya. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan penelitian ilmiah (Wawan & Dewi, 2011).

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor internal yang mempengaruhi pengetahuan yaitu: umur, umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Wawan & Dewi, 2011).

Pekerjaan adalah kegiatan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan keluarganya. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan (Wawan & Dewi, 2011).


(10)

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk berperan serta dalam pembangunan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi (Wawan & Dewi, 2011).

Faktor Eksternal yang mempengaruhi pengetahuan adalah sosial budaya, sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi sikap dalam menerima informasi (Wawan & Dewi, 2011). Faktor Lingkungan, lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok (Wawan & Dewi, 2011).

2.2.5 Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatanya (Notoatmodjo, 2007).


(11)

2.3 Sikap

2.3.1 Definisi Sikap

Sikap menurut Louis Thurstone (1928; salah seorang tokoh terkenal di bidang pengukuran sikap), Rensis Likert (1932; seorang pionir dibidang pengukuran sikap), dan Charles Osgood yang dikutip oleh Azwar (2013) adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.

Sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respon terhadap stimulasi sosial yang telah terkondisikan (Azwar, 2013).

Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowist, 1972 dalam Azwar, 2013).

Secara lebih spesifik, Thurstone sendiri memformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis (Edwards, 1957). Menurut Chave (1928), Bogardus (1931), LaPieree (1934), Mead (1934), dan Gardon Allport (1935; tokoh terkenal di bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian) yang dikutip oleh Azwar (2013) sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud adalah kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.


(12)

Menurut Secord dan Backman (1964) yang dikutip oleh Azwar (2013) sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

Kesimpulannya, sikap adalah suatu respon tertutup terhadap stimulasi obyek tertentu yang berupa perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) pada objek tersebut.

2.3.2 Ciri-ciri Sikap

Ciri-ciri sikap menurut Heri Purwanto (1998) yang dikutip oleh Wawan & Dewi (2011) adalah : 1) sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan dalam hubungan dengan obyeknya. 2) sikap dapat berubah-ubah tergantung keadaan dan syarat tertentu. 3) sikap tidak berdiri sendiri tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. 4) obyek sikap itu merupakan suatu hal tertentu. 5) sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.

2.3.3 Karakteristik (Dimensi) Sikap

Karakteristik (dimensi) sikap menurut Sax (1980) yang dikutip oleh Azwar (2013) adalah : sikap memiliki arah artinya sikap terpilah pada dua kesetujuan yaitu setuju atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung, memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai obyek. Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu obyek sikap berarti


(13)

memiliki sikap yang arahnya positif, sebaliknya mereka yang tidak setuju dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya negatif (Azwar, 2013).

Sikap memiliki intensitas artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda. Dua orang yang sama-sama memiliki sikap yang berarah negatif, tetapi intensitasnya berbeda. Contoh orang pertama mungkin tidak setuju tapi orang kedua dapat saja sangat tidak setuju (Azwar, 2013).

Sikap memiliki keluasaan maksudnya kesetujuan atau ketidak setujuan terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada obyek sikap (Azwar, 2013).

Sikap memiliki konsistensi maksudnya kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap obyek sikap tersebut (Azwar, 2013).

Sikap memiliki spontanitas yaitu menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikap secara spontan. Sikap memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih dahulu agar individu mengemukakannya (Azwar, 2013).

2.3.4 Sifat sikap

Sifat sikap menurut (Heri Purwanto, 1998) yang dikutip oleh Wawan & Dewi (2011) sikap dapat bersifat positif yaitu kecenderungan tindakan adalah


(14)

mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sikap negatif kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai obyek tertentu.

2.3.5 Tingkatan sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberi pertanyaan atau mengerjakan tugas adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut (Wawan & Dewi, 2011).

Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu (Wawan & Dewi, 2011).

Bertanggung jawab yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih atau yang telah dinyakini dengan segala risiko. Bertanggung jawab merupakan sikap yang paling tinggi (Wawan & Dewi, 2011).


(15)

2.3.6 Pembentuk Sikap

Faktor internal yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain, pengalaman pribadi yaitu apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Pengetahuan juga memegang peranan penting dalam membentuk sikap. Pengetahuan membuat orang mempunyai sikap tertentu terhadap objek (Azwar, 2013).

Pikiran dan kenyakinan atau kepercayaan, apabila pikiran dan kenyakinan atau kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap sudah berakar sejak lama, maka orang tersebut akan mempunyai sikap yang lebih didasarkan pada predikat yang dilekatkan oleh pola pikirannya dan bukan didasarkan pada objek sikap tertentu. Sikap didasari pola pikiran dan kenyakinan semacam ini biasanya sangat sulit untuk menerima perubahan. Pengaruh faktor emosional, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyalur frustasi atau penyuluhan bentuk mekanisme pertahanan ego (Azwar, 2013).

Faktor eksternal yang mempengaruhi pembentukan sikap yaitu: pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Keinginan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut,diantara orang yang biasanya dianggap penting oleh individu adalah


(16)

orang tua, guru, istri, suami, teman sebaya, teman dekat, orang yang status sosialnya lebih tinggi dll (Azwar, 2013).

Pengaruh kebudayaantanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya (Azwar, 2013).

Media massa, sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain. Mempunyai pengaruh besar dalam menentukan opini dan kepercayaan orang lain. Media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut apabila cukup kuat memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu (Azwar, 2013).

Lembaga pendidikan dan lembaga agama, kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sisitem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal (Azwar, 2013).


(17)

2.3.7 Pengukuran Sikap

Beberapa teknik pengukuran sikap, yaitu : Skala Thurstone (Method of Equel-Appearing Intervals), Skala Likert (Method of Summateds Ratings),

Unobstrusive Measures, Multidimensional Scaling, dan Pengukuran Involuntary Behavior (pengukuran terselubung) (Wawan & Dewi, 2011).

Skala Thurstone (Method of Equel-Appearing Intervals), metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada rentangan dari yang sangat

unfavorabel hingga sangat favorabel terhadap suatu obyek sikap. Favorabilitas penilai itu di ekspresikan melalui titik skala ranting yang memiliki rentang sangat tidak setuju, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, sangat setuju. Median dan rerata perbedaan penilain antara penilaian terhadap item ini kemudian dijadikan sebagai skala masing-masing item, kemudian item disusun mulai dari item yang memiliki nilai skala terendah hingga tertinggi, kemudian item dipilih untuk kuesioner skala sikap yang sesungguhnya. Dalam penelitian, skala yang telah dibuat ini kemudian diberikan pada responden. Responden diminta untuk menunjukkan seberapa besar kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada masing-masing aitem sikap tersebut (Wawan & Dewi, 2011).

Skala Likert (Method of Summateds Ratings), Linkert (1932) menyederhanakan skala thurstone menjadi dua kelompok, yaitu yang favorabel

dan unfavorabel, sedangkan yang netral tidak disertakan. Untuk mengatasi hilangnya netral tersebut, Linkert menggunakan teknik konstruksi test lainnya. Masing-masing responden diminta melakukan setuju atau ketidaksetujuannya untuk masing-masing aitem dalam skala yang terdiri dari 5 point (sangat setuju,


(18)

setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju). Semua aitem yang favorabel

diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju nilainya 5, untuk sangat tidak setuju nilainya1 dan untuk aitem unfavorabel nilai skala sangat setuju nilainya 1, untuk tidak setuju nilainya 5 (Wawan & Dewi, 2011).

Unobstrusive Measures, metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam pertanyaan (Wawan & Dewi, 2011).

Multidimensional Scaling, teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat

unidimensional. Namun demikian, pengukuran ini kadanga kala menyebabkan asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur dimensional kurang valid terutama apabila diterapkan pada lain orang, lain isu, dan lain skala aitem (Wawan & Dewi, 2011).

Pengukuran Involuntary Behavior (Pengukuran terselubung): pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden. Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dipengaruhi oleh kerelaan responden. Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Observer dapat menginterpretasikan sikap individu melalui dari

fasial reaction, body gesture, keringat, dilatasi pupil mata, detak jantung, dan beberapa aspek fisiologis lainnya (Wawan & Dewi, 2011).


(1)

memiliki sikap yang arahnya positif, sebaliknya mereka yang tidak setuju dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya negatif (Azwar, 2013).

Sikap memiliki intensitas artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda. Dua orang yang sama-sama memiliki sikap yang berarah negatif, tetapi intensitasnya berbeda. Contoh orang pertama mungkin tidak setuju tapi orang kedua dapat saja sangat tidak setuju (Azwar, 2013).

Sikap memiliki keluasaan maksudnya kesetujuan atau ketidak setujuan terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada obyek sikap (Azwar, 2013).

Sikap memiliki konsistensi maksudnya kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap obyek sikap tersebut (Azwar, 2013).

Sikap memiliki spontanitas yaitu menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikap secara spontan. Sikap memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih dahulu agar individu mengemukakannya (Azwar, 2013).

2.3.4 Sifat sikap


(2)

mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sikap negatif kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai obyek tertentu.

2.3.5 Tingkatan sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberi pertanyaan atau mengerjakan tugas adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut (Wawan & Dewi, 2011).

Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu (Wawan & Dewi, 2011).

Bertanggung jawab yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih atau yang telah dinyakini dengan segala risiko. Bertanggung jawab merupakan sikap yang paling tinggi (Wawan & Dewi, 2011).


(3)

2.3.6 Pembentuk Sikap

Faktor internal yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain, pengalaman pribadi yaitu apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Pengetahuan juga memegang peranan penting dalam membentuk sikap. Pengetahuan membuat orang mempunyai sikap tertentu terhadap objek (Azwar, 2013).

Pikiran dan kenyakinan atau kepercayaan, apabila pikiran dan kenyakinan atau kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap sudah berakar sejak lama, maka orang tersebut akan mempunyai sikap yang lebih didasarkan pada predikat yang dilekatkan oleh pola pikirannya dan bukan didasarkan pada objek sikap tertentu. Sikap didasari pola pikiran dan kenyakinan semacam ini biasanya sangat sulit untuk menerima perubahan. Pengaruh faktor emosional, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyalur frustasi atau penyuluhan bentuk mekanisme pertahanan ego (Azwar, 2013).

Faktor eksternal yang mempengaruhi pembentukan sikap yaitu: pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Keinginan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut,diantara orang yang biasanya dianggap penting oleh individu adalah


(4)

orang tua, guru, istri, suami, teman sebaya, teman dekat, orang yang status sosialnya lebih tinggi dll (Azwar, 2013).

Pengaruh kebudayaantanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya (Azwar, 2013).

Media massa, sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain. Mempunyai pengaruh besar dalam menentukan opini dan kepercayaan orang lain. Media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut apabila cukup kuat memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu (Azwar, 2013).

Lembaga pendidikan dan lembaga agama, kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sisitem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal (Azwar, 2013).


(5)

2.3.7 Pengukuran Sikap

Beberapa teknik pengukuran sikap, yaitu : Skala Thurstone (Method of

Equel-Appearing Intervals), Skala Likert (Method of Summateds Ratings),

Unobstrusive Measures, Multidimensional Scaling, dan Pengukuran Involuntary

Behavior (pengukuran terselubung) (Wawan & Dewi, 2011).

Skala Thurstone (Method of Equel-Appearing Intervals), metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada rentangan dari yang sangat

unfavorabel hingga sangat favorabel terhadap suatu obyek sikap. Favorabilitas

penilai itu di ekspresikan melalui titik skala ranting yang memiliki rentang sangat tidak setuju, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, sangat setuju. Median dan rerata perbedaan penilain antara penilaian terhadap item ini kemudian dijadikan sebagai skala masing-masing item, kemudian item disusun mulai dari item yang memiliki nilai skala terendah hingga tertinggi, kemudian item dipilih untuk kuesioner skala sikap yang sesungguhnya. Dalam penelitian, skala yang telah dibuat ini kemudian diberikan pada responden. Responden diminta untuk menunjukkan seberapa besar kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada masing-masing aitem sikap tersebut (Wawan & Dewi, 2011).

Skala Likert (Method of Summateds Ratings), Linkert (1932) menyederhanakan skala thurstone menjadi dua kelompok, yaitu yang favorabel

dan unfavorabel, sedangkan yang netral tidak disertakan. Untuk mengatasi

hilangnya netral tersebut, Linkert menggunakan teknik konstruksi test lainnya. Masing-masing responden diminta melakukan setuju atau ketidaksetujuannya


(6)

setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju). Semua aitem yang favorabel diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju nilainya 5, untuk sangat tidak setuju nilainya1 dan untuk aitem unfavorabel nilai skala sangat setuju nilainya 1, untuk tidak setuju nilainya 5 (Wawan & Dewi, 2011).

Unobstrusive Measures, metode ini berakar dari suatu situasi dimana

seseorang dapat mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam pertanyaan (Wawan & Dewi, 2011).

Multidimensional Scaling, teknik ini memberikan deskripsi seseorang

lebih kaya bila dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat

unidimensional. Namun demikian, pengukuran ini kadanga kala menyebabkan

asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur dimensional kurang valid terutama apabila diterapkan pada lain orang, lain isu, dan lain skala aitem (Wawan & Dewi, 2011).

Pengukuran Involuntary Behavior (Pengukuran terselubung): pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden. Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dipengaruhi oleh kerelaan responden. Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Observer dapat menginterpretasikan sikap individu melalui dari

fasial reaction, body gesture, keringat, dilatasi pupil mata, detak jantung, dan

beberapa aspek fisiologis lainnya (Wawan & Dewi, 2011).