Hubungan Preferensi Makanan Asrama dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi Mahasiswa i di Politeknik Kesehatan Medan Tahun 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi Mahasiswa

Menurut Murniati (1999), status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan, yaitu asupan dan untilisasi zat-zat gizi yang ada dalam makanan kita sehari-hari. Status gizi seseorang ditentukan oleh makanan yang dikonsumsi oleh seseorang dan bagaimana penyerapan dan penggunaan makanan yang dikonsumsi orang tersebut yang dapat dilihat dari keadaan tubuhnya. Status gizi dapat diartikan pula sebagai suatu keadaan seseorang akibat dari keseimbangan antara zat-zat gizi yang masuk kedalam tubuh dan penggunaan zat-zat tubuh untuk pertambahan produksi energi dan proses tubuh.

Mempertahankan berat badan normal akan memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. Berat badan yang kurang dapat meningkatkan resiko penyakit infeksi, sementara berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratitif. Salah satu cara untuk memantau status gizi orang dewasa adalah mengukur indeks massa tubuh dan telah dikembangkan grafik IMT orang dewasa (umur diatas 18 tahun) dengan menggunakan indeks berat badan menurut tinggi badan. (Supariasa, 2008).

Status gizi dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Bahyar Bakri dkk (2002) mengatakan bahwa meskipun sering berkaitan masalah kekurangan pangan, pemecahannya tidak selalu peningkatan produksi dan pengadaan pangan. Pada kasus


(2)

tertentu dalam keadaan krisis (bencana alam, perang, kekacaun sosial dan krisis ekonomi, maslah gizi sering muncul sebagai akibat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tanggga memperoleh makanan untuk semua anggotnya karena peningkatan status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin setiap anggota masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup jumlahnya dan mutunya sehingga penyelenggaraan makanan ditingkat rumah tangga memenuhi standar gizi yang diharapkan. Dalam konteks ini masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah kesehatan tetapi juga maslah kemiskinan, pemerataan dan masalah kesempatan kerja.

Penilaian status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilain status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan empat cara yaitu, antropometri, biokimia, klinis, biofisik. Sedangkan penilain status gizi tidak langsung adalah dengan metode survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2008).

Antropometri sangat penting pada remaja, karena antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Lebih dari itu, karena pertumbuhan cukup sensitive terhadap deficit (kekurangan) dan surfeit (kelebihan) gizi, maka antropometri dapat menjadi indikator status gizi dan resiko kesehatan serta diangnosa adanaya obesitas (Riyadi, 2001).

Masalah pertumbuhan sangat erat kaitanya dengan konsumsi energi dan protein. Oleh karena itu antropometri sebagai refleksi keadaan pertumbuhan dapat


(3)

memberikan gambaran tentang status energi dan protein seseorang. Berdasarkan karakteristik berat badan, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara untuk pengukuran status gizi. Mengingat BB/U lebih mengambarkan status gizi seseorang saat ini. Sedangkan tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan yang normal tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.(Supariasa, Bakri dan Fajar,2001).

Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada pada bayi, anak remaja, ibu hamil dan olahragawan. Disamping itu pula IMT tidak bias diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainya sepertinya adanya edema, ansites dan hepatomegali.

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut : IMT =

tinggi badan (m) x tinggi badan (m) berat badan (kg)

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO yang membedakan batas ambang untuk laki-laki adalah 20,1-25,0 dan untuk perempuan adalah 18,7-23,8. Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat defisiensi energi ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Batas ambang untuk kepentingan Indonesia adalah sebagai berikut (Depkes, 2005).


(4)

Tabel 2.1.Pengukuran Status Gizi untuk Umur Diatas 18 Tahun (IMT)

Status Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0 kg/m² Kekurangan berat badan tingak ringan 17,0-18,5 kg/m²

Normal >18,5-24,99 kg/m²

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0-26,99 kg/m² Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0 kg/m² Sumber : WHO 2005

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indikator overweight dan obesitas yang direkomendasikan secara internasional karena memiliki korelasi yang kuat dengan lemak tubuh. IMT adalah alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.

Faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah masalah sosial ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Status gizi dipengaruhi juga oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup asupan gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.

2.1.1. Penilaian Status Gizi

Status gizi dapat disebut sebagai selisih antara konsumsi zat gizi dengan kebutuhan zat gizi tersebut. Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan menjadi metode secara langsung dan metode tidak langsung.


(5)

2.1.2. Metode Status Gizi secara Langsung

Metode penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.

1. Antropometri

Antropometri secara umum adalah ukuran tubuh manusia, sedangkan ditinjau dari sudut pandang gizi antropometri adalah berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi seseorang. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan tersebut terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Pengukuran antropometri sering digunakan sebagai metode penelitian status gizi secara langsung untuk menilai dua masalah utama gizi, yaitu : Kurang energi protein (KEP), khususnya pada anak dan ibu hamil, obesitas pada semua kelompok umur.

Pengukuran antropometri memiliki beberapa kelebihan, yaitu : a) Alat mudah diperoleh

b) Pengukuran mudah dilakukan c) Biaya murah

d) Hasil pengukuran mudah disimpulkan e) Dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah f) Dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu


(6)

Disamping itu pengukuran antropometri juga memiliki kelemahan, yaitu : a) Kurang sensitif

b) Faktor luar (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi) tidak dapat dikendalikan

c) Kesalahan pengukuran akan mempengaruhi akurasi kesimpulan

d) Kesalahan-kesalahan antara lain pengukuran, perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan, analisis dan asumsi salah. Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar ini ukuran-ukuran dengan menggunakan metode antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi untuk negara. (Almatsier, 2008)

Pengukuran antropometri merupakan cara pengukuran yang sederhana, sehingga pelaksanaannya tidak hanya di rumah sakit atau puskesmas, tetapi dapat dilakukan di posyandu, PKK, atau rumah penduduk. Ukuran antropometri terbagi atas 2 tipe, yaitu ukuran pertumbuhan tubuh dan komposisi tubuh. Ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan meliputi: tinggi badan atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar dada, tinggi lutut. Pengukuran komposisi tubuh dapat dilakukan melalui ukuran: berat badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak di bawah kulit. Ukuran pertumbuhan lebih banyak menggambarkan keadaan gizi masa lampau, sedangkan ukuran komposisi tubuh menggambarkan keadaan gizi masa sekarang atau saat pengukuran.


(7)

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Lingkar Lengan Atas (LILA) merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah.

Pengukuran LILA adalah salah satu cara untuk mengukur komposisi tubuh. Lila dapat digunakan untuk memprediksi perubahan pada status gizi protein. Pengukuran LILA merupakan salah satu cara deteksi dini untuk menentukan wanita usia subur (15-45 tahun) dengan resiko kekurangan energi kronik (KEK). Ambang batas LILA yang dipakai untuk menentukan KEK pada wanita usia subur adalah 23,5 cm. Jika wanita subur denngan LILA kurang dari 23,5 cm memiliki resiko untuk melahirkan bayi dengan berat badan bayi rendah (BBLR). Katagori berdasarkan LILA, buruk <23,5 dan baik >23,5. Alat yang digunakan merupakan suatu pita pengukur yang terbuat dari fiberglass atau jenis ukuran kertas tertentu berlapis plastik. Cara mengukurnya yaitu :

a) Ukur pertengahan lengan atas sebelah kiri (tangan yang tidak aktif).

Pertengahan ini dihitung jarak dari siku sampai batas lengan kemudian dibagi dua b) Lengan dalam keadaan bergantung bebas, tidak tertutup kain atau pakaian


(8)

c) Pita dilingkarkan pada pertengahan lengan tersebut sampai cukup terukur keliling lingkar lengan, tetapi pita jangan terlalu kuat ditarik atau terlalu longgar.

2.1.3. Metode Penilaan Status Gizi secara Tidak Langsung 1. Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan adalah penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penggunaan metode dengan pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi. Metodenya dapat berupa kuantitatif dan metode kwalitatif. Metode kuantitatif terdiri dari Recall 24 jam, pemeriksaan makanan, penimbangan makanan, metode invetaris dan pencatatan. Dan metode kualitatif terdiri dari : frekuensi makan, dietary histori, metode telepon dan pendaftaran makanan. (Almatsier, 2008)

Menurut Supasriasa (2001), Konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan, melihat jumlah dan zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat meberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakatt, keluarga dan individu. Survey konsumsi makanan dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekuranganzat gizi.

(Hartriyanti dan Triyanti (2007) Metode 24 hour recall memiliki kelebihan dan keterbatasan, yaitu :


(9)

a. Kelebihan Metode 24 hour recall

- Mudah dan pencatatan cepat, hanya membutuhkan kurang lebih 20 menit - Murah

- Mendapatkan informasi secara detil tentang jenis bahkan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi

- Beban responden rendah

- Dapat memperkirakan asupan gizi suatu kelompok

- Recall secara beberapa kali dapat digunakan untuk memperkirakan asupan zat gizi tingkat individu. Biasanya 2 atau 3 kali dan dipilih weekday dan weekend

- Tidak mengubah kebiasaan diet - Berguna untuk pasien di klinik b. Keterbatasan 24 hour recall

- Recall sekali tidak dapat mencerminkan secara representative kebiasaan asupan individu

- Kadang terjadi under/over reporting - Bergantung pada memori

- Kadang mengabaikan saus atau minuman ringan yang menyebabkan rendahnya asupan energi

Prinsip dari metode recall 24 jam,dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi pada priode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini enumerator meminta agar responden mengingat-ingat secara terperinci apa yang telah


(10)

dikonsumsi dalam 1-3 hari terakhir tersebut. Untuk keperluan ini digunakan alat bantu misalnya ukuran-ukuran rumah tangga, model makanan, dan sebagainya untuk menentukan perkiraan-perkiraan konsumsi pangan yang lebih mendekati. Cara ini relatif lebih murah dan cepat, tetapi mengandung subyektifitas yang tinggi dan menimbulkan kesalahan sistematik (Suhardjo, 1989).

2.1.4. Klasifikasi Status Gizi

Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi tiga, yaitu :

a. Gizi Lebih

Gizi lebih adalah tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi berlebih. Kondisi ini ternyata mempunyai tingkat kesehatan yang lebih rendah, meskipun berat badan lebih tinggi dibandingkan berat badan ideal. Keadaan demikian, timbul penyakit-penyakit tertentu yang sering dijumpai pada orang kegemukan seperti ; penyakit kardiovaskuler yang menyerang jantung dan sistem pembuluh darah, hipertensi, diabetes mellitus dan lainnya.

b. Gizi Baik

Tingkat kesehatan gizi terbaik yaitu kesehatan gizi optimum (eunutritional state). Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya.


(11)

c. Gizi Kurang

Gizi kurang merupakan tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi defisien. Mengakibatkan terjadi gejala-gejala penyakit defisiensi gizi. Berat badan akan lebih rendah dari berat badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi bagi jaringan tidak mencukupi, sehingga akan menghambat fungsi jaringan tersebut.

Penentuan status gizi berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang menilai status gizi diperlukan standar antropometri yang mengacu pada Standar World Health Organization. Keputusan mentri tersebut juga menyepakati cara penggolongan status gizi khusus untuk indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Keunggulan standar antropometri terbaru WHO lebih baik dibandingkan standar NCHS/WHO oleh karena dibuat berdasarkan data dari berbagai Negara dan etnis, sehingga sesuai untuk negara-negara yang sedang berkembang. (Supariasa,Bachyar Bakri, 2008).

2.2. Preferensi Makanan

Preferensi makanan adalah derajat/tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan. Tingkat kepuasaan atau kesenangan diperoleh berdasarkan pengalaman terhadap pangan tertentu yang memberi pengaruh kuat terhadap rating preferensi makanan.

Pengukuran terhadap preferensi pangan dilakukan dengan menggunakan skala, dimana responden ditanya untuk dapat mengindikasikan seberapa besar dia menyukai pangan berdasarkan kriteria. Skala pengukuran dapat dibedakan menjadi


(12)

sangat tidak suka, tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka. Skala hedonik salah satu cara mengukur derajat suka maupun tidak suka seseorang. Derajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalaman terhadap makanan, yang akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap angka preferensinya (Sanjur, 1982).

Lyman (1989) menyatakan bahwa preferensi dipengaruhi oleh waktu dan kondisi makanan yang disediakan, seperti kondisi lapar, perasaan saat mengkonsumsi terakhir. Suatu makanan tidak akan disukai bila belum pernah dicoba. Selain itu, suatu makanan biasa tidak disukai bila setelah dicoba rasanya membosankan, terlalu biasa dikonsumsi, menyebabkan alergi atau reaksi fisiologis yang menyebabkan timbulnya penyakit. Sikap suka atau tidak suka terhadap pangan adalah salah satu alasan yang membentuk preferensi pangan. Preferensi pangan lebih menunjuk pada keadaan ketika seseorang harus melakukan pilihan terhadap pangan dengan menunjukan reaksi penerimaan hedonik atau rasa makanan yang dapat diukur secara verbal, dengan skala ekspresi wajah (Rozin & Volmecke 1986 dalam Prasatya, 1998). Preferensi terhadap makanan dipengaruhi oleh karakteristik individu, lingkungan dan karakteristik produk pangan (Ellis 1976 dalam Sanjur,1982). Karakteristik Individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan gizi. Karakteristik produk meliputi rasa, warna, aroma dan kemasan. Sedangkan lingkungan meliputi keluarga, tingkat sosial, musim,dan mobilitas. Semua variabel tersebut saling mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain (Sanjur, 1982).

Preferensi memainkan peran yang sangat penting dalam menjelaskan pola makan seseorang, sebagaimana kaitannya dengan penerimaan makanan (Birch, 1999).


(13)

Skinner,et.al,1998) menambahkan anak remaja mempelajarinya dari model atau contoh dalam keluarga , orang tua atau saudara kandung, serta apa yang mereka alami di rumah , di asrama , di sekolah bersama teman –teman mereka.

Menurut Suhardjo (2003), jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selain dipengaruhi oleh hasil budaya setempat, juga dipengaruhi preferensi terhadap makanan tersebut. Makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tidak hanya tergantung pengaruh sosial budaya. Selain pengaruh reaksi indera terhadap pemilihan pangan, kesukaan pangan pribadi mungkin dipengaruhi oleh pendekatan melalui media massa seperti radio, TV, pamphlet dan iklan. Harper, Deaton dan Driskel (1985) juga mengemukakan bahwa preferensi terhadap makanan tidak hanya berpengaruh pada sosial dan budaya, tetapi juga dari sifat fisik makanan itu sendiri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan menurut Bass, Wakalfeld dan Kalosa (1980) dalam Pradayati (1997) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan yaitu : ketersediaan makanan disuatu tempat, pembelian makanan untuk anggota keluarga yang lain khususnya orang tua, pembelian makanan yang mencerminkan hubungan kekeluargaan dan budaya, rasa makanan, tekstur dan tempat, tidak membosankan, berharga murah, enak, dan memberikan status dan mudah didapat.

Daya terima terhadap makanan secara umum juga dapat dilihat jumlah makanan yang habis dikonsumsi. Daya terima makanan dapat dinilai dari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan makanan yang dikonsumsi. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya terima seseorang terhadap makanan yang disajikan


(14)

menurut Khumaidi (1994) dalam Ratnasari (2003) adalah faktor internal dan eksternal.

Faktor internal adalah kondisi dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi konsumsi makanan, seperti nafsu makan yang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan psikis seseorang misalnya sedih, dan lelah, kebiasaan makan, dan kebosanan yang muncul karena konsumsi makanan yang kurang bervariasi. Kebosanan juga dapat disebabkan oleh tambahan makanan dari luar yang dikonsumsi dalam jumlah banyak dan dekat dengan waktu makan utama.

Faktor eksternal adalah faktor dari luar individu yang dapat mempengaruhi konsumsi makananya. Faktor-faktor tersebut antara lain cita rasa makanan, penampilan makanan, variasi menu, cara penyajian, kebersihan makanan, alat makan dan pengaturan waktu makan.

Untuk mengetahui tingkat preferensi makanan, dilakukan dengan uji hedonik skala verbal. Uji penerimaan menyangkut penilaan seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Dalam hal ini penalis mengemukakan tangapan suka atau tidak suka terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai pada skala hedonik yaitu suka, biasa dan tidak suka (Hardinsyah et.al, 1989).

2.3. Pengukuran Preferensi Makanan

Skala yang digunakan pada uji kesukaan ini adalah skala hedonik (tingkat kesukaan). Dalam penganalisaan skala hedonik di transformasikan menjadi skala


(15)

numerik. Skala hedonik yang dipakai terdiri atas sangat suka (5), suka (4), agak suka (3), netral (2), tidak suka (1). Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentang yang yang kita kehendaki. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan, penggunaan skala hedonik pada prakteknya untuk mengetahui perbedaan . Sehingga uji hedonik sering digunakan untuk menilai secara organileptik terhadap komoditas sejenis atau produk pengembangan. Uji hedonik banyak digunakan untuk menilai produk akhir. Penilaan dalam uji hedonik ini bersipat spontan. Ini berarti penalis diminta untuk menilai suatu pruduk secara langsung saat ia juga mencoba tanpa membandingkan dengan produk sebelum atau sesudahnya. (Setyaningsih, 2010).

Preferensi makanan ditentukan oleh rangsangan dan indra penglihatan, penciuman, pendengaran. Penilaan cita rasa makanan atau sering dikenal dengan istilah penilaan organoleptik. Faktor utama yang dinilai dari cita rasa diantaranya rupa yang meliputi warna, bentuk, ukuran, aroma, dan rasa. Preferensi terhadap makanan dapat diketahui melalui uji penerimaan, salah satu uji penerimaan yang dilakukan uji hedonik skala verbal . Uji hedonik tersebut mengemukakan tanggapan seseorang tentang suka atau tidaknya terhadap kualitas makanan yang dinilai (Hardinsyah et. al, 1988).

2.4. Faktor-faktor Eksternal yang Memengaruhi Preferensi Makanan

Menurut Moehyl (1992) faktor eksternal yang mempengaruhi preferensi makanan seseorang adalah cita rasa makanan. Cita rasa mencakup penampilan


(16)

makanan sewaktu dihidangkan, rasa makanan waktu dimakan, variasi menu, dan cara penyajian makanan.

Cita rasa makanan ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap berbagai indra dalam tubuh manusia, terutama indra penglihatan, indra penciuman dan indra pengecap. Makanan yang memiliki cita rasa yang tinggi adalah makanan yang disajikan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan rasa yang lezat (Winarno, 1992).

2.4.1. Penampilan Makanan

Komponen-komponen yang berperan dalam penampilan makanan antara lain yaitu :

1. Warna Makanan

Warna makanan adalah warna hidangan yang disajikan. Warna makanan akan memberikan penampilan yang lebih menarik terhadap makanan yang disajikan. Kombinasi warna makanan faktor penting yang mempengaruhi indra penglihatan, karena itu tenaga penyaji makanan harus benar-benar mengerti perbedaan warna makanan sebelum dan sesudah diproses. Kombinasi warna menjadi sangat penting dalam membuat makanan menjadi menarik. Oleh karena itu dalam suatu menu yang baik haruslah mendapat kombinasi lebih dari dua macam ( West dan Wood, 1988).

Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan. Warna yang menarik dan tampak alamiah dapat meningkatkan cita rasa. Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan makanan harus mengetahui prinsip-prinsip dasar untuk mempertahankan warna makanan yang alami, baik dalam bentuk teknik memasak


(17)

maupun dalam penangaanan makanan yang dapat mempengaruhi warna makanan (Arifiati, 2000).

Warna penting bagi banyak makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau, rasa, tekstur, warna memegang peranan penting dalam keterterimaan makanan. Warna merupakan nama umum untuk semua pengindraan yang berasal dari aktivitas retina mata (Deman, 1997). Warna makanan bahkan baik digunakan untuk menyajikan makanan itu harus dipilih sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan menarik dan rasa senang (Moehyi, 1997).

2. Bentuk Makanan

Untuk membuat makanan lebih menarik biasanya dalam bentuk-bentuk makanan tertentu. Bentuk makanan waktu disajikan dapat dibedakan menjadi beberapa sebagai berikut :

a. Bentuk yang sesuai dengan bentuk asli bahan makanan

b. Bentuk yang menyerupai bentu asli, tapi bukan merupakan bahan makanan yang utuh.

c. Bentuk yang diperoleh dengan cara memotong bahan makanan dengan teknik tertentu atau mengiris bahan makanan dengan cara tertentu.

d. Bentuk sajian khusus seperti bentuk nasi tumpeng atau bentuk khas lainya. 3. Konsistensi dan Tekstur

Konsistensi adalah keadaan yang berkaitan dengan tingkat kepadatan dan kekentalan suatu hidangan. Istilah yang mengambarkan konsistensi adalah cair,


(18)

kental, padat. Susunan hidangan yang baik adalah memiliki kombinasi konsistensi. (West Dan Wood, 1988).

Konsistensi makanan juga merupakan komponen yang turut menentukan cita rasa makanan karena sensitivitas indra cita rasa dipengaruhi oleh konsistensi makanan. Makanan yang berkonsistensi padat dan kental akan memberikan rangsangan yang lebih lambat terhadap indra kita.(Moehyi, 1992).

Konsistensi makanan juga mempengaruhi penampilan makanan yang dihidangkan. Cara memasak dan lama waktu memasak makanan akan menentukan pula konsistensi makanan.(Moehyi, 1992).

Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Dari penelitian-penelitian dilakukan diperoleh bahwa perubahan tekstur atau viksositas bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur. Semangkin kental suatu bahan, penerimaan terhadap intensitas rasa ,bau dan cita rasa semangkin berkurang. (Winarno, 1992).

Menurut Nasoetion (1988) tekstur menggambarkan keadaan struktur makanan. Beberapa hal yang mempengaruhinya yaitu jenis bahan makanan, cara mengolah, dan kontak makanan dengan udara. Menurut Moehyi (1992) yang dimaksud dengan kerenyahan makanan adalah makanan yang dimasak menjadi kering tetapi tidak keras. Kerenyahan makanan memberi pengaruh tersendiri terhadap cita rasa makanan. Untuk mendapat makanan yang renyah juga diperlukan cara masak yang tepat.


(19)

Menurut Khan (1998) tekstur dapat dirasakan ketika dimulut, seperti lunak/lembek, keras/kering, kenyal, krispi, berserat, halus. Hal tersebut beberapa sipat yang digunakan untuk menggambarkan tekstur,( Khan, 1998).

4. Porsi Makanan

Porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan sesuai kebutuhan setiap individu sesuai dengan kebiasaan makan. Porsi yang terlalu besar atau kecil akan mempengaruhi penampilan makanan. Pentingnya porsi makanan tidak hanya berkaitan dengan penerimaan dan perhitungan pemakaian bahan makanan tetapi juga berkaitan erat dengan penampilan makanan waktu makanan disajikan dan kebutuhan gizi (Madjid, 1998 dalam Tatik Hartatik, 2004).

Porsi makanan berkenaan dengan penampilan makanan waktu disajikan juga berkenaan dengan perencanaan dan perhitungan pemakaian bahan makanan, contohnya potongan daging atau ayam yang terlalu kecil atau terlalu besar akan merugikan penampilan makanan. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan makanan institusi dibutuhkan standar porsi yang berguna untuk menjadi acuan dalam menentukan kebutuhan gizi yang dianjurkan (Moehyi, 1992).

2.4.2. Rasa

Komponen-komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan antara lain :

1. Aroma

Aroma atau bau makanan dapat merangsang keluarnya getah lambung dan banyak menentukan kelezatan dari makanan tersebut. Aroma lebih terpaut pada indra penciuman (Arifiati, 2000).


(20)

Aroma yang disebarkan oleh makanan adalah daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indra penciuman sehingga membangkitkan selera. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya suatu senyawa yang menguap. Terbentuknya senyawa yang mudah menguap sebagai reaksi karena pekerjaan enjim, tetapi dapat juga terbentuk tanpa terjadi reaksi enjim. Aroma yang dikeluarkan oleh setiap makanan berbeda-beda (Moehyi, 1992).

Bau dari hidangan merupakan salah satu unsur yang turut menentukan kelejatan makanan tersebut. Bau-bauan dapat dikenal dalam bentuk uap. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Nasoetion, 1988).

2. Rasa Bumbu

Rasa merupakan salah satu komponenn flavor yang terpenting, karena mempunyai pengaruh yang dominan pada cita rasa. Berbeda dengan dengan aroma makanan yang ditimbulkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap, rasa makanan ditimbulkan oleh larutnya senyawa pemberi rasa ke dalam air liur, yang kemudian merangsang saraf pengecap, jadi rasa makanan pada dasarnya adalah perasaan yang timbul setelah menelan makanan (Moehyl, 1992).

Rasa lebih banyak melibatkan indra pengecap (lidah). Pengindraan kecapan dibagi menjadi empat macam rasa utama yaitu asin, manis, pahit dan asam. Makanan yang mempunyai variabel keempat macam rasa tersebut lebih disukai daripada hanya satu macam rasa yang dominan (Winarno, 1996). Rasa makanan sangat berpengaruh terhadap cita rasa makanan beberapa faktor yang berpengaruh adalah aroma


(21)

makanan, bumbu masakan, kerenyahan makanan, tingkat kematangan, serta suhu makanan.

Rasa makanan sangat ditentukan oleh penggunaan bumbu. Bumbu adalah bahan yang ditambahkan pada makanan dengan maksud untuk mendapatkan rasa makanan yang enak dan sama setiap kali pemasakan (Sutiyono, 1996).

3. Kematangan/Keempukan

Tingkat kematangan mempengaruhi cita rasa makanan.Tingkat kematangan makanan dalam masakan di Indonesia umumnya dimasak sampai matang benar. Makanan yang masuk kedalam mulut dan setelah dikunyah akan menyebabkan air liur keluar yang kemudian menimbulkan rangsangan pada syaraf pengecap yang ada di lidah. Makanan yang empuk dapat dikunyah dengan sempurna dan akan menghasilkan senyawa yang lebih banyak yang berarti intensitas rangsangan menjadi lebih tinggi. Kematangan makanan selain ditentukan oleh mutu bahan juga ditentukan oleh cara masak (Moehyi, 1992).

4. Temperatur/Suhu

Temperatur makanan waktu disajikan memegang peranan penting dalam penentuan cita rasa makanan (Moehyi,1992). Suhu adalah tingkat panas dari hidangan yang disajikan. Bila makanan yang disajikan tidak sesuai dengan suhu penyajian yang tepat maka akan menyebabkan makanan tidak enak. Sehingga suhu makanan waktu disajikan merupakan penentu cita rasa makanan. Suhu makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin akan mengurangi sensitifitas syaraf terhadap rasa makanan (Moehyi, 1992).


(22)

Sensitivitas terhadap rasa berkurang bila suhu tubuh kita dibawah 20⁰C atau diatas 30⁰C. Makanan yang panas akan membakar lidah dan merusak kepekaan kuncup cecepan.. Sedangkan makanan yang dingin dapat membius kucup cecepan sehingga tidak peka lagi (Winarno, 1992).

2.4.3. Variasi Menu

Variasi menu yaitu variasi dalam menggunakan bahan makanan, resep makana, dan variasi makanan dalam satu hidangan. Variasi menu akan merangsang selera makan, makanan bervariasi akan menambah gairah untuk makan, akibatnya makanan yang disajikan akan dapat dihabiskan. Satu jenis makanan yang dihidangkan berkali-kali dalam waktu yang singkat akan membosankan konsumen (Moehyi, 1989).

Menurut Moehyi (1992), menu yang dianggap lazim di sumua daerah di Indonesia umumnya terdiri dari susunan hidangan sebagai berikut :

a. Hidanagan makanan pokok umumnya terdiri dari nasi. Disebut makanan pokok karena dari makanan inilah tubuh memperoleh sebagian zat gizi yang diperlukan tubuh.

b. Hidangan lauk pauk yaitu masakan yang terbuat dari bahan makanan hewani atau nabati atau gabungan keduanya. Bahan makanan hewani yang digunakan dapat dapat berupa daging, ayam, ikan atau berbagai jenis hasil laut lainya. Lauk pauk yang berasal dari kacang-kacangan atau hasil olahan seperti tempe dan tahu,


(23)

bahan-bahan makanan itu dimasak dengan cara seperti masakan kuah, masakan tanpa kuah, dibakar, dipanggang, digoreng atau jenis makanan lainya.

c. Hidangan berupa sayur-mayur. Biasanya hidangan ini berupa masakan yang berkuah karena berfungsi sebagai pembasah nasi agar mudah ditelan. Hidangan sayur-mayur dapat lebih dari satu masakan yang biasanya terdiri dari gabungan masakan berkuah dan tidak berkuah.

d. Hidangan yang terdiri dari buah-buahan, baik dalam bentuk buah-buahan segar atau buah-buahan yang sudah dioleh seperti sari buah.

2.4.4. Penyajian Makanan

Perlakuan terakhir dalam penyelenggaraan makanan adalah penyajian makanan untuk dikonsumsi. Penyajian makanan faktor penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan. Jika penyajian tidak dilakukan dengan baik seluruh upaya yang telah dilakukan guna menampilkan makanan dengan cita rasa yang tinggi tidak akan berarti. Penampilan makanan waktu disajikan akan merangsang indra penglihatan yang bertalian dengan cita rasa makanan (Moehyi, 1992).

Ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam penyajian makanan, yaitu : sebagai berikut:

a. Pemilihan alat yang digunakan untuk menyajikan makanan seperti piring, mangkok atau tempat penyajian makanan khusus yang lain. Alat yang digunakan harus sesuai dengan volume makanan yang disajikan. Makanan yang berkuah tidak sesuai dengan disajikan dengan piring ceper. Sebaliknya makanan yang


(24)

tidak berkuah hendaknya tidak disajikan dengan menggunakan tempat cekung dan dalam, tetapi menggunakan wadah wadah yang datar.

b. Cara menyusun makanan dalam tempat penyajian makanan. Hal ini harus dilakukan dengan cermat, sehingga menimbulkan kesan menarik juga harus disajikan sedemikian rupa sehingga masih terlihat berbagai kombinasi warna dari makanan tersebut.

c. Penghias hidanngan, memilih hiasan untuk hidangan agar lebih menarik memerlukan keahlian dan rasa seni tersendiri. Penghias untuk hidangan yang warnanya agak pucat dapat digunakan penghias yang berwarna terang agar dapat menutupi warna yang pucat, demikian sebaliknya.

2.4.5. Konsumsi Pangan

Agar hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatanya manusia memerlukan sejumlah zat gizi. Untuk itu jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh. Sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan disebut kebutuhan gizi. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan terutama apabila berlangsung dalam jangka waktu yang berkesinambungan dapat membahayakan kesehatan. Disamping konsep kebutuhan gizi dikenal juga konsep kecukupan gizi. Kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hidup sehat. Kebutuhan dan kecukupan gizi biasanya disusun untuk kelompok umur dan berat badan tertentu menurut jenis kelamin (Hardinsyah dan Martianto,1998).


(25)

Selama ini ada dua cara yang digunakan untuk menaksir kebutuhan energi melalui penelitian . Pertama diperoleh mengetahui energi yang digunakan oleh tubuh untuk berbagai aktifitas dan kegunaan lainya bagi tubuh seperti untuk pertumbuhan, pencernaan dan metabolisme. Kadang-kadang pengukuran seperti cara pertama sulit dilakukan, maka dapat dilakukan dengan pendekatan cara kedua dengan mengetahui jumlah energi dari seseorang yang sehat dan mampu mempertahankan kesehatanya (Hardinsyah, 1998).

Menurut Hardinsyah dan Martianto (1989) kecukupan energi seseorang pada kelompok umur tertentu sama dengan atau sedikit lebih tinggi dari rata-rata kebutuhan energi kelompok tertentu yaitu ditambah 1-5%. Sedangkan untuk kecukupan protein ditentukan rata-rata. Kebutuhan protein seseorang ditambah dua kali simpangan baku atau kira-kira 20-30%.. Angka kecukupan energi dan protein berguna untuk mengukur tingkat konsumsi pangan, merencanakan konsumsi pangan dan ketersediaan pangan.

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukan bahwa telaah konsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi kedua informasi ini merupakan hal yang penting (Hardinsyah dan Briawan,1994). Tujuan mengkonsumsi pangan untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh.

Secara umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi konsumsi makanan yang berasal dari pangan beragam adalah :


(26)

Keterangan: Kgj = Penjumlahan zat gizi dari setiap bahan makanan atau pangan j yang dikonsumsi.

Bj = berat bahan makanan j (gram )

Gj = kandungan zat gizi dari bahan makanan j BDDj = persen bahan makan j yang dapat dimakan.

Konsumsi pangan tingkat individu atau perorangan dapat dilakukan antara lain dengan metode recall 24 jam dan metode frekuensi makanan (food freguency). Prinsip dasar metode recall, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada priode 24 jam yang lalu. Dengan metode ini enumerator minta agar responden mengingat-ingat secara terperinci apa yang telah dikonsumsi dalam 1-3 hari terakhir tersebut. Untuk keperluan ini digunakan alat bantu misalnya ukuran-ukuran rumah tangga, model makanan, dan sebagainya untuk menentukan perkiraan-perkiraan konsumsi pangan yang mendekati. Cara ini relatif cepat dan murah, tetapi mengandung subyektifitas tinggi dan menimbulkan kesalahan sistematik (Suhardjo, 1989). Beberapa penelitian menunjukan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut , dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu. Sedangkan metode frekuensi makan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan selama priode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun (Supariasa dan Bakri, 2001).


(27)

Protein berguna bagi tubuh sebagai zat pembangun atau pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh seperti penggatur serta mempertahankan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Disamping itu juga sebagai sumber energi dalam keadaan kurang energi dari karbohidrat dan lemak. Karena adanya fungsi yang terakhir ini maka penentuan kecukupan protein dilakukan pada saat kecukupan energi terpenuhi (Hardinsyah dan Martianto,1998).

Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antar konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Secara umum tingkat kecukupan dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah dan Briawan, 1994) :

Tingkat Kecukupan Gizi =Kecukupan Zat Gizi Aktual

AKG x 100%

Angka kecukupan gizi adalah tarap konsumsi zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Namun, kecukupan ini digunakan untuk berbagai keperluan yang sipatnya menyangkut populasi seperti merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk (Almatsier, 2006).

2.4.6. Asupan Energi

Energi bukanlah zat gizi. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi


(28)

disimpan dalam cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah dan Tambunan, 2004).

Energi dibutuhkan tubuh untuk metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total. Kebutuhan energi untuk metabolisme adalah kebutuhan energi minimum dalam keadaan istirahat total tetapi tidur dilingkungan suhu yang nyaman dan suasana tenang. Selain itu energi juga diperlukan untuk fungsi tubuh lain seperti mencerna, mengoleh, dan menyerap makanan dalam alat pencernaan, serta untuk bergerak, berjalan, bekerja, dan beraktivitas lainya. (Suekirman, 2000).

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan Protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan minyak, buah berlemak seperti alpukat, biji berminyak, santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah dan aneka pangan produk turunanya. Pangan Sumber energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, cerelia lainya, umbi-umbian, tepung, gula madu, buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka pruduk turunanya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunanya (Hardinsyah dan Tambunan, 2004). Namun demikian, bukan hanya jumlahnya harus mencukupi, tetapi keanekaragaman pangan sumber energi yang dikonsumsi tidaklah kala pentingnya. Menurut Hardinsyah dalam Tambunan (2004) secara umum pola pangan yang baik adalah bila perbandingan karbohidrat, protein dan lemak adalah 50-60% :10-20% :20-30%.


(29)

Tabel 2.2.Angka Kecukupan Energi dan Protein untuk Umur 18 Tahun Keatas

Umur Jenis kelamin Energi Protein

18-29 tahun Laki-laki 2550 kkal 60 gram

18-29 tahun Perempuan 1900 kkal 50 gram

Sumber : WNPG, 2004

Tingkat kecukupan energi di kategorikan berdasarkan Depkes (1996) menjadi deficit berat (< 70% AKG), Deficit tingkat sedang (70 –79 AKG), Deficit tingkat ringan (80 -89% AKG), normal ( 90 –119% ) dan lebih ( ≥120%. ( Depkes, 1996). 2.4.7. Asupan Protein

Kekurangan protein umumnya banyak terdapat pada masyarakat dengan golongan sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorhor pada anak-anak dibawah lima tahun, namun deficit protein dalam jangka lama dapat mengakibatkan ketidakseimbangan (Almatsier, 2006).

Protein merupakan zat gizi penghasil energi yang tidak berperan sebagai sumber energi, tetapi berfungsi untuk mengganti jaringan dan sel tubuh yang rusak. Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam amino yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. AKP remaja berkisar antara 88,3% - 129,6%, dan remaja yang mengkonsumsi dibawah kebutuhan minimal sebanyak 35,6%. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada asupan dan transportasi zat-zat gizi.


(30)

Asupan protein yang lebih, maka protein akan mengalami deaminase, kemudian nitrogen dikeluarkan dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan disimpan dalam tubuh. Oleh karena itu konsumsi protein secara berlebihan dapat menyebabkan kegemukan.

Ditinjau dari aspek mutu gizi, ketergantungan yang tinggi dari protein nabati kurang baik, karena kurang lengkapnya asam amino esensial protein nabati. Penduduk dengan pola konsumsi pangan tinggi serealla dan kurang beragam, serta konsumsi pangan hewani rendah seperti di Indonesia umumnya mengalami depisit asam amino dalam menu makanannya. Lima asam amino esensial yang sering defisit dalam pola konsumsi di Indonesia adalah adalah : lisin, treonin, triptopan dan asamamino yang mengandung sulfur yaitu sistin. Hal tersebut menjadi masalah karena kurang lengkapan asam amino esensial dalam pangan akan menyebabkan mutu cerna dan daya manfaat protein yang dikonsumsi menjadi rendah (Muhilal et.al. 1993). Disamping itu ,sisa-sisa racun dari protein nabati yang dikeluarkan oleh ginjal lebih banyak daripada protein hewani, sehingga lebih memberatkan kerja ginjal.

Kecukupan protein akan dapat terpenuhi apabila kecukupan energi telah terpenuhi karena sebanyak apapun protein akan dibakar menjadi panas dan tenaga apabila cadangan energi masih di bawah kebutuhan. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental


(31)

lemah dan lain-lain. Tingkat kecukupan asupan protein akan mempengaruhi status gizi. (Almatsier, 2006).

Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutunya, seperti: telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Akan tetapi harga pangan hewani relatif mahal, sehingga hanya 18,4% rata-rata penduduk Indonesia yang mengkonsumsi protein. Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Penyebabnya kemungkinan karena kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, Menstimulasi, dan kaya gizi yang membantu perkembangan optimal. (Almatsier, 2008).

Masalah gizi tersebut dapat menimbulkan masalah pembangunan di masa akan datang. Peningkatan taraf kesehatan dan kecerdasan serta pembangunan dapat tercapai dengan dilakukan partisipasi aktif dari masyarakat dan diarahkan terutama pada golongan masyarakat yang mempunyai status sosial ekonomi rendah.

2.4.8. Faktor-faktor yang Memengaruhi Asupan Energi dan Protein

Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi asupan energi dan protein yaitu : 1. Jumlah (Porsi) Makanan

Jumlah atau porsi merupakan suatu ukuran atau takaran makanan yang dikonsumsi setiap kali makan. Makanan yang dikonsumsi harus seimbang antara jumlah kalori yang masuk dengan jumlah energi yang dikeluarkan.


(32)

Apabila jumlah kalori yang masuk lebih besar dari energi yang kita keluarkan maka akan mengakibatkan kelebihan berat badan. Penyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Padmiari dan Hamam Hadi yang menyatakan bahwa ada hubungan antara jumlah energi makanan cepat saji yang dikonsumsi terhadap terjadinya obesitas. Dan juga sesuai dengan WHO (2000) yang menyatakan bahwa perkembangan food industry yang salah satunya dengan berkembangnya makanan cepat saji merupakan salah satu faktor risiko obesitas. 2. Jenis Makanan

Jenis makanan yang dikonsumsi harus mengandung karbohidrat, protein, lemak dan nutrien spesifik. Karbohidrat komplek bisa didapat dari gandum, beras, terigu, buah dan sayuran. Sebaiknya konsumsi karbohidrat yang berserat tinggi dan kurangi karbohidrat yang berasal dari gula, sirup dan makanan yang manis-manis. Konsumsi makanan yang manis paling banyak 3-5 sendok makan per hari.

Kebutuhan tubuh akan serat sebanyak lebih dari 25 gram per hari. Untuk memenuhi kebutuhan diajurkan untuk mengkonsumsi buah dan sayur. Konsumsi protein harus lengkap antara protein nabati dan hewani. Sumber protein nabati didapat dari kedelai, tempe dan tahu, sedangkan protein hewani berasal dari ikan, daging (sapi, ayam, kerbau, kambing). Sumber vitamin dan mineral terdapat pada vitamin A (hati, susu, wortel, dan sayuran), vitamin D ( ikan, susu, dan kuning telur), vitamin E (minyak, kacang-kacangan, dan kedelai), vitamin K (brokoli, bayam dan wortel), vitamin B (gandum, ikan, susu, dan telur), serta kalsium (susu, ikan, dan kedelai. (Almatsier, 2006).


(33)

3. Frekuensi Makan

Frekuensi makan merupakan berapa kali seseorang melakukan kegiatan makan dalam sehari, baik berupa makanan utama maupun makanan selingan. Frekuensi makan yang baik yaitu harus teratur. Frekuensi makan dikatakan baik, jika frekuensi makan setiap harinya tiga kali makanan utama atau dua kali makanan utama dengan satu kali makanan selingan. Khomsan juga menyatakan bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari untuk menghindarkan kekosongan lambung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rudi hasilnya bahwa kelebihan frekuensi makan makanan utama dan kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian kegemukan. (Khomsan, 2005).

Frekuensi makan kurang, bila frekuensi makan setiap harinya dua kali makanan utama atau kurang. Untuk memperoleh tubuh yang langsing dan menarik banyak remaja putri yang tidak sarapan, mengurangi frekuensi makan, dan melakukan diet yang berlebihan.

Tingkat konsumsi lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan menyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja.


(34)

Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian.

2.4.9. Makanan dari Luar Asrama

Makanan jajanan adalah makanan siap santap untuk dikonsumsi (disantap) yang digunakan untuk selingan atau pelengkap menu utama. Berbagai macam makanan jajanan yang khas di berbagai daerah di Indonesia, khas dalam bahan, pengolahan maupun penyajian (Hardinsyah dan Briawan, 1994).

Jajan adalah hal yang lumrah dilakukan oleh anak-anak. Dalam satu segi jajan mempunyai aspek positif dan dalam segi lain jajan juga bisa bermakna negatif. Rentang waktu antara makan pagi dan makan siang adalah relatif panjang, oleh karena itu anak-anak mahasiswa memerlukan asupan gizi tambahan diantara waktu makan tersebut. Makanan jajanan sering kali lebih banyak mengandung unsur karbohidrat dan hanya sedikit mengandung protein, vitamin dan mineral. Akibat ketidaklengkapan gizi dalam makanan jajanan, maka pada dasarnya makanan jajanan tidak dapat menganti sarapan pagi atau makan siang. Anak-anak yang banyak mengkonsumsi makanan jajanan perutnya akan merasa kenyang karena padatnya kalori yang masuk kedalam tubuhnya. Sementara gizi seperti protein, vitamin, dan mineral sangat kurang (Khomsan, 2005).

Guhardja (1992) menyatakan bahwa yang dimaksud makanan jajanan adalah makanan yang siap dimakan yang didapat dan atau dijual oleh orang yang sama atau


(35)

produksi oleh seseorang dan dijual oleh orang lain. Cara penjualanya dilakukan berkeliling, menetap di perumahan, atau dikeramaian. Selain itu Winarno (1993) makanan jajanan terdiri dari minuman, kudapan dan makanan lengkap, didefinisikan sebagai makanan yang siap untuk dimakan atau terlebih dahulu dimasak ditempat penjualan dan dijual dipingir jalan, atau lokasi yang ramai serta umum.

Makanan jajanan tradisional adalah makanan tradisional yang telah diolah atau dimasak yang diperoleh di tempat-tempat penjualan seperti toko-toko,warung dan rumah makan tradisional. Menurut Hubeis (1993) makanan jajanan tradisional dibedakan atas tiga golongan yaitu makanan lengkap, makanan kudapan dan minuman. Jika dilihat dari kandungan gizinya bahan-bahan yang digunakan dalam makanan tradisional Indonesia jauh lebih aman dan lebih seimbang komposisinya dibandingkan makanan inpor yang umumnya mengandung lemak berlebihan dan rendah serat.

Setiap orang di negara berkembang dan sedang berkembang mengenal makanan jajanan, jika tidak memakan makanan jajanan (street food), setidak-tidaknya pernah melihat dijalan-jalan, di pasar, dan tempat lain (Champman,1984). Di Indonesia secara umum makanan jajanan amat digemari oleh masyarakat baik tua maupun muda, dan sudah menjadi pola makan penduduk Indonesia, (Megawangi, 1984).


(36)

2.4.10. Hasil Penelitian yang Relevan

2.4.10.1. Hubungan Preferensi Makanan Asrama dengan Status Gizi

Dalam memantau status gizi dilingkungan asrama yang konsumsi panganya dari penyelenggaraan makanan terdapat berbagai metode yang digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan dan kepuasaan makanan yang disajikan oleh penyelenggaraan makanan. Dari hasil penelitian Yaniandriyani (2013) dengan judul gambaran pola konsumsi dan tingkat kepuasaan Santri Putri terhadap hidangan di Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Makasar menunjukan bahwa rata-rata 70% responden menilai suka pada warna, menilai cukup empuk pada tekstur, menilai suka pada aroma, hangat pada suhu dan suka pada rasa makanan. Namun pada kategori porsi makanan , terdapat kurang dari 70% yang menyatakan porsi yang disediakan cukup pada beberapa jenis menu makanan, selebihnya menyatakan porsi terlalu kecil. Hal ini sejalan dengan penilaian dari pihak peneliti yang menyatakan bahwa porsi yang disediakan masih terlalu kecil, terutama pada porsi lauk dan sayur. Selain itu, untuk warna, suhu dan tekstur makanan khususnya pada sayuran pada menu makan malam, peneliti penilai bahwa warnanya tidak sesuai, tekstur terlalu empuk, dan suhu dingin berbeda halnya penilaian responden pada umumnya.

Hasil penelitian kepuasaan terhadap hidangan menyatakan: dengan kategori sangat puas, puas dan kurang puas menunjukan tingkat kepuasaan responden terhadap warna, tekstur, aroma, suhu, dan rasa makanan untuk menu makan pagi, menu makan siang, dan menu makan malam pada umumnya menyatakan cukup puas yaitu rata-rata lebih dari 70% responden menyatakan cukup puas. Namun tidak demikian


(37)

untuk kategori porsi, kurang dari 70% menyatakan cukup puas, selebihnya merasa kurang puas.

Berdasarkan penelitian Amelia (2013) di tempat dan waktu yang sama dengan penelitian ini, didapatkan hasil asupan santri putri di yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Makasar tergolong kurang. Hal ini kemungkinan terjadi karena tidak sesuai porsi makanan yang disediakan oleh pihak Yayasan dalam hal ini pihak penyelenggaraan makanan. Dari hasil penelitian Februanti (2009) dengan judul penyelenggaraan makanan, tingkat konsumsi dan analisis preferensi Attlet di SMA Ragunan Jakarta yaitu sebagian besar sumbangan energi dan zat gizi berasal dari makanan dari dalam asrama sebesar 79% dan sumbangan energi dari luar asrama 21%, dan 67,5% responden memiliki tingkat konsumsi energi deficit. Sedangkan yang memiliki tingkat konsumsi normal hanya 30% dan kelebihan sebanyak 2,5%. Rendahnya tingkat konsumsi energi dikarenakan tidak semua responden mengkonsumsi makanan dari dalam asrama dalam jumlah yang cukup dengan alasan menu yang dihidangkan kurang sesuai dengan selera dan menimbulkan kebosanan. Hasil akhir dari penelitian ini kalau mau dilihat status gizinya mungkin mempunyai hubungan yang singnifikan dengan status gizi siswa tersebut.

2.5. Landasan Teori

Krangka teori yang digunakan penelitian ini merupakan teori dari Moehyi dkk (1992) tentang preferensi makanan yang disajikan oleh penyelenggaraan makanan di asrama, dimana makanan yang dikonsumsi mahasiswa berasal dari makanan dari


(38)

dalam asrama dan luar asrama yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan energi dan protein yang pada akhirnya berpengaruh pada status gizi mahasiswa dan prestasi belajar. Berdasarkan teori tersebut yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka diatas maka disusunlah krangka teori penelitian seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Teori Sumber: Moehyi dkk (1992)

Penyelenggaraan Makanandi Asrama

Makanan Asrama

Preferensi Mahasiswa/i terhadap Makanan di

Asrama

Makanan Luar Asrama

Konsumsi pangan Energi dan protein

Status gizi


(39)

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori tersebut, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut. :

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel yang dianalisis adalah variabel independen yaitu preferensi makanan yang dilihat dari aspek penampilan makanan meliputi : warna, bentuk makanan, besar porsi dan tekstur dan aspek rasa makanan meliputi : aroma, suhu, tingkat kematangan, dan rasa, variabel dependen yaitu status gizi mahasiswa/i, serta variabel variabel antara yaitu konsumsi pangan meliputi tingkat kecukupan energi.

Preferensi makanan

- Penampilan makanan : warna, bentuk makanan, besar porsi.tekstur - Cita rasa makanan : Aroma, rasa,

suhu,tingkat kematangan, bumbu

Konsumsi pangan - Tingkat

Kecukupan energi

Status gizi mahasiswa/i


(1)

Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian.

2.4.9. Makanan dari Luar Asrama

Makanan jajanan adalah makanan siap santap untuk dikonsumsi (disantap) yang digunakan untuk selingan atau pelengkap menu utama. Berbagai macam makanan jajanan yang khas di berbagai daerah di Indonesia, khas dalam bahan, pengolahan maupun penyajian (Hardinsyah dan Briawan, 1994).

Jajan adalah hal yang lumrah dilakukan oleh anak-anak. Dalam satu segi jajan mempunyai aspek positif dan dalam segi lain jajan juga bisa bermakna negatif. Rentang waktu antara makan pagi dan makan siang adalah relatif panjang, oleh karena itu anak-anak mahasiswa memerlukan asupan gizi tambahan diantara waktu makan tersebut. Makanan jajanan sering kali lebih banyak mengandung unsur karbohidrat dan hanya sedikit mengandung protein, vitamin dan mineral. Akibat ketidaklengkapan gizi dalam makanan jajanan, maka pada dasarnya makanan jajanan tidak dapat menganti sarapan pagi atau makan siang. Anak-anak yang banyak mengkonsumsi makanan jajanan perutnya akan merasa kenyang karena padatnya kalori yang masuk kedalam tubuhnya. Sementara gizi seperti protein, vitamin, dan mineral sangat kurang (Khomsan, 2005).

Guhardja (1992) menyatakan bahwa yang dimaksud makanan jajanan adalah makanan yang siap dimakan yang didapat dan atau dijual oleh orang yang sama atau


(2)

produksi oleh seseorang dan dijual oleh orang lain. Cara penjualanya dilakukan berkeliling, menetap di perumahan, atau dikeramaian. Selain itu Winarno (1993) makanan jajanan terdiri dari minuman, kudapan dan makanan lengkap, didefinisikan sebagai makanan yang siap untuk dimakan atau terlebih dahulu dimasak ditempat penjualan dan dijual dipingir jalan, atau lokasi yang ramai serta umum.

Makanan jajanan tradisional adalah makanan tradisional yang telah diolah atau dimasak yang diperoleh di tempat-tempat penjualan seperti toko-toko,warung dan rumah makan tradisional. Menurut Hubeis (1993) makanan jajanan tradisional dibedakan atas tiga golongan yaitu makanan lengkap, makanan kudapan dan minuman. Jika dilihat dari kandungan gizinya bahan-bahan yang digunakan dalam makanan tradisional Indonesia jauh lebih aman dan lebih seimbang komposisinya dibandingkan makanan inpor yang umumnya mengandung lemak berlebihan dan rendah serat.

Setiap orang di negara berkembang dan sedang berkembang mengenal makanan jajanan, jika tidak memakan makanan jajanan (street food), setidak-tidaknya pernah melihat dijalan-jalan, di pasar, dan tempat lain (Champman,1984). Di Indonesia secara umum makanan jajanan amat digemari oleh masyarakat baik tua maupun muda, dan sudah menjadi pola makan penduduk Indonesia, (Megawangi, 1984).


(3)

2.4.10. Hasil Penelitian yang Relevan

2.4.10.1. Hubungan Preferensi Makanan Asrama dengan Status Gizi

Dalam memantau status gizi dilingkungan asrama yang konsumsi panganya dari penyelenggaraan makanan terdapat berbagai metode yang digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan dan kepuasaan makanan yang disajikan oleh penyelenggaraan makanan. Dari hasil penelitian Yaniandriyani (2013) dengan judul gambaran pola konsumsi dan tingkat kepuasaan Santri Putri terhadap hidangan di Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Makasar menunjukan bahwa rata-rata 70% responden menilai suka pada warna, menilai cukup empuk pada tekstur, menilai suka pada aroma, hangat pada suhu dan suka pada rasa makanan. Namun pada kategori porsi makanan , terdapat kurang dari 70% yang menyatakan porsi yang disediakan cukup pada beberapa jenis menu makanan, selebihnya menyatakan porsi terlalu kecil. Hal ini sejalan dengan penilaian dari pihak peneliti yang menyatakan bahwa porsi yang disediakan masih terlalu kecil, terutama pada porsi lauk dan sayur. Selain itu, untuk warna, suhu dan tekstur makanan khususnya pada sayuran pada menu makan malam, peneliti penilai bahwa warnanya tidak sesuai, tekstur terlalu empuk, dan suhu dingin berbeda halnya penilaian responden pada umumnya.

Hasil penelitian kepuasaan terhadap hidangan menyatakan: dengan kategori sangat puas, puas dan kurang puas menunjukan tingkat kepuasaan responden terhadap warna, tekstur, aroma, suhu, dan rasa makanan untuk menu makan pagi, menu makan siang, dan menu makan malam pada umumnya menyatakan cukup puas yaitu rata-rata lebih dari 70% responden menyatakan cukup puas. Namun tidak demikian


(4)

untuk kategori porsi, kurang dari 70% menyatakan cukup puas, selebihnya merasa kurang puas.

Berdasarkan penelitian Amelia (2013) di tempat dan waktu yang sama dengan penelitian ini, didapatkan hasil asupan santri putri di yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Makasar tergolong kurang. Hal ini kemungkinan terjadi karena tidak sesuai porsi makanan yang disediakan oleh pihak Yayasan dalam hal ini pihak penyelenggaraan makanan. Dari hasil penelitian Februanti (2009) dengan judul penyelenggaraan makanan, tingkat konsumsi dan analisis preferensi Attlet di SMA Ragunan Jakarta yaitu sebagian besar sumbangan energi dan zat gizi berasal dari makanan dari dalam asrama sebesar 79% dan sumbangan energi dari luar asrama 21%, dan 67,5% responden memiliki tingkat konsumsi energi deficit. Sedangkan yang memiliki tingkat konsumsi normal hanya 30% dan kelebihan sebanyak 2,5%. Rendahnya tingkat konsumsi energi dikarenakan tidak semua responden mengkonsumsi makanan dari dalam asrama dalam jumlah yang cukup dengan alasan menu yang dihidangkan kurang sesuai dengan selera dan menimbulkan kebosanan. Hasil akhir dari penelitian ini kalau mau dilihat status gizinya mungkin mempunyai hubungan yang singnifikan dengan status gizi siswa tersebut.

2.5. Landasan Teori

Krangka teori yang digunakan penelitian ini merupakan teori dari Moehyi dkk (1992) tentang preferensi makanan yang disajikan oleh penyelenggaraan makanan di asrama, dimana makanan yang dikonsumsi mahasiswa berasal dari makanan dari


(5)

dalam asrama dan luar asrama yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan energi dan protein yang pada akhirnya berpengaruh pada status gizi mahasiswa dan prestasi belajar. Berdasarkan teori tersebut yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka diatas maka disusunlah krangka teori penelitian seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Teori Sumber: Moehyi dkk (1992)

Penyelenggaraan Makanandi Asrama

Makanan Asrama

Preferensi Mahasiswa/i terhadap Makanan di

Asrama

Makanan Luar Asrama

Konsumsi pangan Energi dan protein

Status gizi


(6)

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori tersebut, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut. :

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel yang dianalisis adalah variabel independen yaitu preferensi makanan yang dilihat dari aspek penampilan makanan meliputi : warna, bentuk makanan, besar porsi dan tekstur dan aspek rasa makanan meliputi : aroma, suhu, tingkat kematangan, dan rasa, variabel dependen yaitu status gizi mahasiswa/i, serta variabel variabel antara yaitu konsumsi pangan meliputi tingkat kecukupan energi.

Preferensi makanan

- Penampilan makanan : warna, bentuk makanan, besar porsi.tekstur - Cita rasa makanan : Aroma, rasa,

suhu,tingkat kematangan, bumbu

Konsumsi pangan - Tingkat

Kecukupan energi

Status gizi mahasiswa/i