Pemikiran Politik Islam Pemikiran Politi (1)

Pemikiran Politik Islam

Pemikiran Politik Masa Empat Khalifah dan Pemikiran Politik
Masa Klassik: Konteks Sejarah dan Dinamika yang berperan
dalam Terbentuknya Pemikiran Politik Islam
Oleh: Nofia Fitri

I.

Pendahuluan

Mengapa Pemikiran Politik Islam begitu kaya? Karena Islam yang berlandaskan
Al-quran dimana Al-quran menyimpan begitu banyak pedoman dalam kehidupan,
mulai dari etika politik, filsafat, ekonomi, kontruksi sosial, hukum, hingga tata
negara. Muhammad Arkoun bahkan menyebut Al-Qur’an sebagai pedoman yang
begitu banyak dipakai oleh kaum mukminin untuk mengabsahkan perilaku,
memperkukuh identitas kolektif, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai
harapan tentang hidup dan mati, melestarikan keyakinan, hingga mendukung
peperangan dalam menghadapi berbagai kekuatan penyerangan dari peradaban
industri (Arkoun, 1997: 9).
Diantara akar sejarah pemikiran politik Islam sesungguhnya adalah Politik

dan Hak Asasi Manusia, dimana kita mengenal konteks negara Madinah dan
toleransi terhadap kaum Kristen dan Yahudi yang diajarkan nabi Muhammad.
Kemudian direalisasikan melalui Piagam Madinah (Naim, 1960). Namun demikian,
Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, persoalan terbesar yang dihadapi umat
Islam adalah siapa yang akan memimpin? Sosok Nabi Muhammad memang tokoh
besar selain sebagai Pemimpin Agama, juga sebagai Pemimpin Politik. Posisi
kepemimpinanya yang begitu krusial tersebut yang kemudian meninggalkan
persoalan tentang siapa yang akan mewarisi. Sebagai pemimpin agama, tentu saja
sebuah jabatan “kenabian” tidak lagi diteruskan, namun jabatan politik jelas harus
dicarikan penggantinya. Perdebatan pun muncul dalam urusan menentukan siapa
yang akan memimpin pasca wafatnya Nabi Muhammad. Perdebatan inilah yang
kemudian mengawali sejarah pemikiran politik dalam Islam.

1

Pemikiran Politik Islam

Makalah ini akan memaparkan bagaimana pemikiran politik Islam dimasa
empat khalifah atau khulafaur rasyiddin dan pemikiran politik Islam di masa klasik,
menemukan persamaan serta perbedaan antara pemikiran politik beda masa

tersebut, serta mencoba untuk menjelaskan bagaimana konteks sejarah dan
dinamikanya yang berperan dalam terbentuknya Pemikiran Politik Islam.

II.

Pemikiran Politik Khulafaur Rasyiddin

Diantara perdebatan pemikiran politik Islam masa empat khalifah atau khulafaur
rasyiddin yang cukup menarik adalah mengenai model kepemimpinan Imamah dan
Khalifah, dimana Imamah adalah model kepemimpinan baik dalam agama dan
politik, sebaliknya khalifah adalah model kepemimpinan politik saja. Dalam
konsep Imamah, pemimpin politik adalah juga pemimpin agama, sebaliknya dalam
khalifah hanya dikenal sebagai pemimpin politik.
Perubahan konsep kepemimpinan Khilafah pasca empat Khalifah adalah
bentuk yang dihasilkan dari pengaruh politik di luar Islam itu sendiri. Berawal dari
system Kekhalifahan hingga monarki pasca runtuhnya kekuasaan Ali yang direbut
kaum Khawarij. Kemudian muncul tokoh Abu Ja’far al-Mansyur yang adalah
pendiri Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil menggulingkan kekhalifahan Bani
Umayah, hingga Mu’tazillah. Mu’tazillah adalah gerakan politik yang lahir pada
masa khalifah Ali, yang dipimpin oleh Zubair dan kawan-kawannya. Mereka adalah

penentang Ali yang kemudian berkhianat kepada Ali. Dalam pemikiran politik
Mu’tazillah kepemimpinan atau Imamah ditentukan oleh rakyat karena Allah tidak
menentukan siapa yang memimpin setelah wafatnya Nabi. Hal ini berbeda dengan
Kepemimpinan dalam Syiah yang berkembang kemudian.
Sejarah politik syiah diawali dengan sengketa pasca wafatnya Nabi
Muhammad, dimana sebagian pengikut Muhammad yang dekat kepada Ali bin Abu
Thalib menyebut bahwa Ali adalah pengganti nabi sesuai dengan amanah Nabi
sendiri. Kelompok ini menjadi kuat Karena kegagalan Usman bin Affan sebagai
khalifah ketiga hingga Ali menjadi penggantinya. Kelompok sSyiah pun semakin

2

Pemikiran Politik Islam

berkembang dimasa Abassiyah hingga menjadi kelompok besar dalam Islam dikala
itu.
Membelotnya kelompok Khawarij dari dukungannya pada Ali adalah awal
perkembangan politik Islam klasik, dimana kekuasaan kemudian mengikuti apa
yang digariskan kaum khawarij sebagai penguasa, yaitu model kerajaan. Dengan
demikian, nuansa demokrasi yang kental diera empat khalifah sontak berubah

menjadi bentuk monarki. Namun demikian, meskipun dibawah model monarki,
Islam terus berkembang dari bidang politik sampai kepada keilmuan. Hingga
melahirkan sebuah keilmuan filsafat Islam.
Diantara kelompok Islam terbesar di dunia adalah Ahlul Sunnah Wal
Jama’ah atau kelompok Islam Sunni. Kelompok ini adalah kelompok Ulamah yang
berpendirian bahwa Syiah, Khawarij, dan Mu’tazillah telah banyak menyeleweng
dari ajaran agama, menyeleweng dari sunah atau perkataan nabi, juga menyeleweng
dari para salaf. Kaum sunni kemudian menegaskan tentang keharusan untuk
berpegang teguh kepada Sunnah-sunnah nabi yang berbeda dengan aliran-aliran
sebelumnya. Mereka sepenuhnya mengacu kepada gagasan-gagasan keislaman
sebatas yang dipraktekan pada masa empat Khalifah. Dalam hal pemikiran politik,
kelompok Sunni ini mengakui system kekhalifahan dimana pemimpin atau Imam
adalah seseorang yang ditunjuk sebagai wakil rakyat dan diberi otoritas oleh orangorang yang telah menunjuknya.
Dalam tradisi pemikiran politik Islam, dinamika pemikiran berangkat dari
perbedaan antara mashab, firqah, partai dan kelompok, sebagaimana disebutkan
diatas. Sebut saja mazhab Hambali, Mazhab Hanafi, mazhab Syafii atau kelompok
seperti kelompok Khawarij, kelompok Quraisy, dan kelompok Syiah. Namun
demikian, dalam perkembangannya, khasanah keilmuan pemikiran politik Islam
semakin diperkaya dengan konsepsi-konsepsi Islam dan Politik di wilayah praktek,
bukan lagi sebatas substansial. Konsepsi-konsepsi ini mencakup pemikiran soal

bentuk negara, prasyarat pemimpin, hingga bagaimana kekuasaan dijalankan.
Tradisi pemikiran politk Islam abad pertengahan pun lahir, dimana tokoh-tokoh
seperti Mawardi, Al Ghazali dan Al Farabi dikenal.

3

Pemikiran Politik Islam

III.

Pemikiran Politik Klasik Abad Pertengahan

Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun adalah
beberapa diantara pemikir Islam yang menawarkan sebuah sistem politik Islam
yang seimbang pada abad pertengahan.
Al-Farabi adalah tokoh penting dalam khasanah pemikiran politik Islam
dimana ia mengkonsepkan masyarakat, negara dan pemimpin. Pemikiran Al-Farabi
tentang negara utama atau negara bahagia adalah ibarat tubuh manusia yang utuh
dan sehat, yang semua organ tubuhnya bekerjasama sesuai dengan tugas masingmasing, yang terkoordinasi rapih demi kesempurnaan hidup tubuh itu dan
penjagaan kesehatannya. Dalam konsepsi Al-Farabi dikenal tentang tiga macam

masyarakat yang sempurna. Menurut Al-Farabi, masyarakat terbagi atas
masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang, dan masyarakat
sempurna kecil yang didasarkan pada kualitas masyarakat tersebut. Pemikiran
politik Al-Farabi adalah pemikiran politik tentang pembagian kelas, dimana
menurutnya, terdapat kelompok warga yang tugasnya mengerjakan hal-hal
membantu kelompok warga elite atau kelas pertama. Karenanya Al-Farabi
menekankan bahwa kepala negara harus berasal dari golongan kelas atas (Iqbal &
Husein, 2010). Berangkat dari keyakinan tersebut, Al-Farabi membuat dua belas
kriteria yang menurutnya harus dipenuhi oleh seorang Pemimpin negara, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Lengkap anggota badannya

Baik daya pemahamannya
Tinggi intelektualitasnya
Pancai mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya
Pencinta pendidikan dan gemar mengajar
Tidak rakus dalam makanan dan wanita
Pecinta kejujuran dan pembenti kebohonan
Berjiwa besar dan berbudi luhur.
Tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan kesenangan duniawi
yang lain
10. Pecinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim
11. Tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan sebaliknya sulit
untuk melalukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor, serta terakhir
12. Kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh
keberanian, tinggi antusiasme, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah dan
kerdil.

4

Pemikiran Politik Islam


Tokoh lain yang juga menjadi pelopor dalam pemikiran politik Islam adalah AlGhazali. Al-Ghazali mendefinisikan kepala negara sebagai bayang-bayang Tuhan
dibumi dan jabatannya adalah sesuatu yang suci. Diantara gagasan Al-Ghazali yang
menjadi perhatian dikalangan pemikir adalah sepuluh kriteria kepemimpinanya.
Menurutnya kepala negara adalah Imam juga khalifah yang harus memenuhi
kriteria laki-laki baligh keturunan Quraisy, sehat otak juga pendengaran dan
penglihatan, merdeka (bukan Budak) dengan kekuasaan yang jelas. Yang dimaksud
kekuasaan yang jelas ini adalah perangkat kekuasaan yang memadai seperti
pasukan bersenjata. Kriteria kepemimpinan selanjutnya menurut Al-Ghazali adalah
seseorang yang mendapat hidayah dan berpengetahuan, serta terakhir tidak
memiliki prilaku yang tercela (Hatta, 1980: 116).
Al-Mawardi adalah pemikir yang berbeda dari Al-Farabi dan Al-Ghazali,
Karena menurut Al- Farabi kepala negara adalah seseorang yang mempunyai
kredibilitas dalam bernegara dan agama. Dalam pemikiran politiknya, Al Mawardi
menyebutkan tentang tujuh kriteria pemimpin atau Imam atau yang ia sebut dengan
ahl-imamah, yaitu sikap adil dengan segala persyaratannya; ilmu pengetahuan yang
memadai untuk ijitihad, sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya, utuh anggota
tubuhnya, wawasan yang memadai untuk mengatur kepentingan rakyat dan
mengelola kepentingan umum, serta terakhir adalah keturunan Quraisy. Negara
menurut Mawardi harus memiliki enam sendi utama, yaitu: agama yang dihayati,
penguasaa yang berwibawa, keadilan yang menyeluruh, keamanan yang merata,

kesuburan tanah yang berkesinambungan, hingga adanya harapan tentang
kelangsungan hidup.
Ibnu Khaldun adalah pemikir yang menjalani sebuah sistem pemerintahan dan
merasakan langsung, sehingga apa yang menjadi pemikirannya berangkat dari
tambal sulam sistem yang ia alami sendiri, Karena ia adalah seorang Politisi.
Namun, Karena kekecewaannya pada politik, ia kemudian memutuskan untuk
menjadi seorang Sufi. Ibnu Khaldun dalam pemikiran politiknya menegaskan
tentang perlunya pemimpin untuk membimbing manusia dibumi, karenanya
menjadi pemimpin adalah sesuatu yang alamiah. Dalam prasyarat yang
digariskannya terkait kriteria pemimpin, Ibnu Khaldun menyebutkan beberapa hal,
5

Pemikiran Politik Islam

antara lain: seseorang yang berpengetahuan, memiliki rasa keadilan, mampu secara
fisik yang juga ditandai dengan kelengkapan panca Indra.

IV.

Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Politik Masa Khulafaur

Rasyidin dengan Pemikiran Politik Klasik

Kayanya kahasanah keilmuan Islam tentang konsepsi-konsepsi politik tentu saja
varian dan beragam dalam perkembangannya. Yang kemudian menjadi pembeda
yang jelas antara era Khulafaur Rasyiddin dengan masa klasik adalah kepentingankepentingan para penguasa dibalik aturan-aturan yang diberlakukan. Selain itu, di
masa empat khalifah, Karena belum memiliki sebuah sistem politik yang stabil,
kepemimpinan masing-masing khalifah mengalami pasang surut

karena

pengkhianatan dan kegagalan dalam membangun masyarakat Islam itu sendiri.
Sementara itu, persamaan yang paling kentara antara pemikiran pada masa
empat khalifah dengan masa klasik adalah sama-sama mengembangkan gagasan
tentang sistem politik untuk membangun sebuah negara yang mapan, dimana
mereka konsisten pada gagasan tentang pemimpin yang tepat serta bentuk
pemerintahan yang ideal.

V.

Kesimpulan


Islam adalah agama yang paling kaya dengan pemikiran politik, karenanya
pemikiran politik Islam menjadi bidang kajian cukup banyak di minati dalam dunia
pendidikan tinggi khususnya di negara-negara barat. Barat berkepentingan untuk
mempelajari bagaimana pemikiran politik tumbuh dan berkembang dalam Islam,
Karena dengan pengetahuan ini mereka dapat memahami fenomena di negaranegara Islam yang memiliki potensi-potensi sumber saya alam melimpah hingga
mampu menggerakan dunia.
Dari serangkaian paparan diatas, kita melihat bagaimana Islam sesungguhnya
dinamis mengikuti perkembangan zaman, dan hal inilah yang kemudian melahirkan

6

Pemikiran Politik Islam

ragamnya konsepsi-konsepsi politik dalam pemikiran Islam. Sejarah yang
menunjukan permasalahan, solusi atau jalan keluar dari persoalan ketika Ilmu
Pengetahuan ditentang misalnya menjadi bukti bahwa Islam menerima perubahan.
Sejarah yang berkembang, berawal dari wafatnya Nabi Muhammad yang
berkapasitas sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin politik adalah gambaran
Islam yang dinamis dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada akhirnya kita
menemukan sebuah tali yang menguhubungkan fase-fase yang berbeda dalam
perkembangan pemikiran politik Islam, yaitu pemikiran yang bermuara pada
hubungan antara agama dan negara.

Referensi:
Black Antony, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini,
(Jakarta: Penerbit Serambi, 2001).
Iqbal, Muhammad & Nasution, Amin, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Prenada Media Group, 2010).
Effendy, Bachtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek
Politik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit
Mizan, 1987.

7