Krisis Pemilukada Tinjauan Terhadap pole

Krisis Pemilukada : Tinjauan Terhadap polemik
Keabsahan Panwaslu Pada Pemilukada 2010 di
Indnesia
By. M.Rifqinizamy Karsayuda
https://rifq1.wordpress.com/perihal/

Abstract
On 2010 year, Indonesia will held 246 local election for chief and vice chief of
provence, district and city. 192 of 246 local election still probleming in local
election supervisor committee (Panitia Pengawas Pemilihan Umum/Panwaslu)
process making. This article want to explore the basic problem of this, the impact
of this problem to local election and also “the judicial road” to serve this problem.
One solution that give of this article is Precident of Indonesia Republic should be
making a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) to operate
the opinion of Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi) Number 11/PUUVIII/2010.
Keywords : local election, local election supervisor committee, “the judicial
road”.

1. A.

Pendahuluan


Lahirnya mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada)
secara langsung adalah konsekwensi logis dari amandemen UUD 1945. Dalam
pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen dinyatakan “Gubernur, Bupati dan
Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”.
Kendati tidak disebutkan secara implisit tentang tata cara pemilihan langsung,
namun pembuat undang-undang menafsirkan kalimat “dipilih secara demokratis”
tersebut melalui mekanisme pemilihan langsung sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahanperubahannya.[1]
Salah satu instrumen penting dalam penyelenggaraan pemilihan secara langsung
tersebut adalah hadirnya lembaga pengawasan.[2] UU Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan pengawasan pemilihan kepala daerah tersebut diserahkan kepada
Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Panwas
Pilkada).

Setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 072-073/PUU-PUUII/2004[3] yang menyatakan bahwa pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu,
maka pengistilahan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada)
berubah menjadi pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah
(pemilukada).

Seiring hal tersebut dikeluarkanlah regulasi baru terkait penyelenggara
kepemiluan melalui UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu.
Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Badan Pengawas Pemilu beserta Panitia
Pengawas di bawahnya merupakan salah satu penyelenggara pemilu disamping
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri. Lembaga pengawasan demikian-pun
bersifat mandiri dan tidak berada di bawah institusi lain.
Pada tahun 2010 ini, akan digelar 246 pemilukada di Indonesia. Dari jumlah itu,
192 diantaranya sedang mengalami masalah pembentukan panwaslukada-nya[4].
Tulisan ini mencoba memberikan uraian tentang dari perspektif yuridis terkat
beberapa hal. 1). polemik keabsahan tersebut, 2). implikasi yuridis dari polemik
tersebut, 3) mencarikan solusi ketatanegaraan yang paling memungkinkan dari
fenomena ini, termasuk menggagas lahirnya constitutional complaint melalui
Mahkamah Konstitusi atas kasus ini.
1. B.

Mekanisme Pembentukan, Tugas dan Kewajiban Panwaslu

Secara struktural, institusi pengawasan pemilu dibagi dalam lima struktur, yaitu :
1)
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki tugas untuk melakukan

pengawasan dan koordinasi institusi pengawas pemilu di tingkat nasional ;
2)
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat provinsi yang bertugas untuk
melakukan pengawasan pemilu di tingkat provinsi;
3)
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat kabupaten/kota yang bertugas
untuk melakukan pengawasan pemilu di tingkat kabupaten/kota;
4)
Panitia Pengawas Pemilu (Panwasllu) tingkat kecamatan yang bertugas
untuk melakukan pengawasan pemilu di tingkat kecamatan; dan
5)
Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) dan Panitia Pengawas Luar Negeri yang
bertugas melakukan pegawasan di tingkat desa dan di negara tertentu.
Jika Bawaslu memiliki kedudukan yang permanen dengan masa jabatan lima
tahun, maka Panwaslu, baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten dan kota
bersifat ad hock (sementara), demikian pula dengan kedudukan PPL dan PPLN
yang bersifat sementara.[5] Sifat kesementaraan Panwaslu tersebut terkait dengan
beberapa jenis pemilu yang mesti diawasinya. Jenis-jenis pemilu tersebut ialah :
1)
Pemilihan umum legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD

Provinsi, Kabupaten dan Kota;
2)

Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden;dan

3)

Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Terkait dengan sifat kesementaraan Panwaslu tersebut, dalam pasal 71 UU Nomor
22 Tahun 2007 dinyatakan bahwa “Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/
Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawa Pemilu
Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama
penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah
seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai”.
Secara implementatif ketentuan dalam pasal 71 UU Nomor 22 Tahun 2007
tersebut menjadikan pembagian tugas Panwaslu berdasarkan masa kerja pada dua
ranah pemilu, yaitu :
1)


Pemilu legislatif dan Presiden/Wakil Presiden; dan

2)

Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada).

Penggabungan masa kerja Panwaslu pada masa pemilu legislatif dan pemilu
Presiden/Wakil Presiden dikarenakan masa berakhirnya tugas Panwaslu untuk
pemilu legislatif bertepatan dengan keharusan pelaksanaan tahapan pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Sementara untuk Panwaslukada, pembentukannya
mesti mengikuti perintah pasal 71 UU Nomor 22 Tahun 2007 di atas, sebab waktu
pemilukada di Indonesia masih belum serentak (sporadic). Artinya panwaslu pada
masa pemilu legisalatif dan presiden mesti berakhir dan akan dilakukan
pembentukan panwaslu baru pada masa pemilukada.
Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2007, pembentukan panwaslu mesti dilakukan
dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 93, 94 dan 95 UU
di atas, sebagai berikut ;
Pasal 93
Calon anggota Panwaslu Provinsi diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu
sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Bawaslu

sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah
melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 94
(1) Calon anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah” Provinsi diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada
Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya dipilih sebanyak 3
(tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/ Kota setelah melalui uji
kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
(2) Calon anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daera Kabupaten/Kota diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota
kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya dipilih sebanyak 3
(tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji
kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.

Pasal 95
Calon anggota Panwaslu Kecamatan diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada
Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya dipilih
sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan ditetapkan

dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/ Kota.
Terkait dengan tugas, wewenang, serta kewajiban Panwaslu sesuai dengan
tingkatannya (Provinsi sampai dengan Kabupaten/Kota) diatur dalam pasal 76
sampai dengan pasal 79 UU Nomor 22 Tahun 2007 tersebut sebagai berikut :
Pasal 76
(1) Tugas dan wewenang Panwaslu Provinsi adalah:
1. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi yang
meliputi :
2. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan
daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;
3. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan pencalonan
kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi;
4. proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah provinsi;
5. penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi;
6. pelaksanaan kampanye;
7. perlengkapan Pemilu dan pendistribusiannya;
8. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara dan penghitungan suara

hasil Pemilu;
9. pengawasan seluruh proses penghitungan suara di wilayah kerjanya;
10. proses rekapitulasi suara dari seluruh kabupaten/kota yang dilakukan oleh
KPU Provinsi;
11. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan,
dan Pemilu susulan;
12. proses penetapan hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi;
1. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang – undangan mengenai Pemilu;

2. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi untuk
ditindaklanjuti:
3. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya
kepada instansi yang berwenang;
4. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk
mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya
dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaraan Pemilu oleh penyelenggara Pemilu di tingkat provinsi;
5. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang

pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi, sekretaris dan pegawai
sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang
sedang berlangsung;
6. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan
7. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undangundang.
(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu
Provinsi berwenang :
1. memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menon aktifkan sementara
dan / atau; mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f;
2. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan
laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu.
Pasal 77
Panwaslu Provinsi berkewajiban:
1. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
2. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
pengawas Pemilu pada tingkatan di bawahnya:
3. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan
adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan

mengenai Pemilu;
4. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuai dengan
tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan;
5. menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitan dengan
adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Provinsi yang
mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat
provinsi; dan

6. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundangundangan.
Pasal 78
(1) Tugas dan wewenang Panwaslu Kabupaten/ Kota adalah:
1. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/ kota
yang meliputi :
2. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan
daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;
3. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota dan
pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;
4. proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah kabupaten/kota;
5. penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
kabupaten/kota;
6. pelaksanaan kampanye;
7. perlengkapan Pemilu dan pendistribusiannya;
8. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu;
9. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara;
10. pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
11. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota dari
seluruh kecamatan;
12. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara, Pemilu lanjutan, dan
Pemilu susulan; dan
13. proses penetapan hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/ Kota dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten/ Kota;
14. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu;
15. menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan Pemilu
yang tidak mengandung unsur tindak pidana;
16. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Kabupaten / Kota untuk
ditindaklanjuti;

17. meneruskan temuan. dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya
kepada instansi yang benwenang;
18. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk
mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya
dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaraan Pemilu oleh penyelengga Pemilu di tingkat
kabupaten/kota;
19. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang
pengenaan sanksi kepada anggota KPU Kabupaten/ Kota, sekretaris dan
pegawai Sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan
tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan
Pemilu yang sedang berlangsung;
20. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu: dan
21. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undangundang.
(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu
Kabupaten/Kota berwenang :
1. memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara
dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g;
2. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan
laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu.
Pasal 79
Panwaslu Kabupaten/ Kota berkewajiban:
1. bersikap ticlak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
2. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
Panwaslu pada tingkatan di bawahnya;
3. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan
adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
mengenai Pemilu;
4. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Panwaslu Provinsi
sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodic dan/atau berdasarkan
kebutuhan;
5. menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu Provinsi berkaitan
dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU
Kabupaten /Kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan
tahapan Pemilu di tingkat kabupaten/kota; dan

6. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundangundangan.
1. C. Asas Muasal Lahirnya “Polemik Keabsahan” Panwaslukada.
Sesuai dengan ketentuan pasal 93 dan 94 UU Nomor 22 Tahun 2007,
pembentukan panwaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota mesti melaui
tahapan seleksi di tingkat KPUD sebelum dilanjutkan ke Bawaslu untuk
menetapkan 3 dari 6 nama yang diusulkan. Di lain pihak, adanya ketentuan yang
menyatakan pembentukan panwaslu mesti dilakukan 1 bulan sebelum tahapan
pemilu, membuat Bawaslu khawatir akan tidak terbentuknya panwaslu, padahal
waktu tahapan pemilu sudah dekat.
Dalam kondisi itulah, Bawaslu berinisiatif Untuk menjaga jalannya suksesi ini
mengemukakan dalam hal pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Panwaslukada) 2010 ini tidak akan membuka pendaftaran baru
bagi calon pengawas pemilu, melainkan menggunakan nama-nama calon yang
pernah diajukan KPU sebagai pengawas pemilu 2009 (pemilu legislatif dan
pemilu presiden) untuk ditetapkan kembali sebagai panwaslukada[6].
Sikap Bawaslu ini sontak menuai kecaman dari banyak pihak, termasuk KPU
sendiri[7]. Bawaslu pun berusaha mendekati KPU untuk mau membuat peraturan
bersama yang berisi ketentuan yang melegalkan anggota Panwaslu Legislatif dan
Pilpres agar bisa langsung disahkan sebagai anggota Panwaslukada 2010.
Pertemuan yang diadakan beberapa kali tidak berhasil mendapatkan titik temu.
KPU dan Bawaslu kemudian meminta fatwa dari MA mengenai permasalahan ini.
Namun pada 23 November 1009 MA malah mengeluarkan fatwa yang salah satu
butirnya menyebutkan apabila Bawaslu tidak bisa membentuk Panwaslukada,
maka bisa menggunakan pasal peralihan di Pasal 236A UU Nomor 12 Tahun 2008
yang mengatur bahwa DPRD berwenang membentuk Panwas apabila Panwas
tersebut belum dibentuk oleh Bawaslu. Dalam ketentuan tersebut sangat jelas
bahwa kewenangan DPRD membentuk Panwaslukada hanya berlaku sepanjang
Bawaslu belum membentuk Panwaslukada[8]. Dalam kenyataannya Bawaslu
telah membentuk Panwaslukada sehingga kewenangan DPRD dengan sendirinya
telah gugur.
Merasa permasalahan ini sangat urgen dan mendesak, Bawaslu meminta
Kementrian Dalam Negeri untuk dapat menjadi fasilitator dalam polemik ini.
Pada acara Rapat Koordinasi Nasional persiapan Pemilu Kada yang
diselenggarakan Departemen Dalam Negeri serta disaksikan langsung oleh
Mendagri Gamawan Fauzi tanggal 9 Desember 2009 di Jakarta, KPU dan
Bawaslu akhirnya menyepakati mekanisme pembentukan Pengawas Pemilu
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kesepakatan itu tertuang dalam Surat
Edaran
Bersama
(SEB)
Bawaslu
dan
KPU
nomor
1669/KPU/XII/2009/001/SEB/Bawaslu/2009 yang ditandatangani Ketua Bawaslu
Nur Hidayat Sardini dan Ketua KPU Hafiz Anshary. Adapun isi dari Surat Edaran
Bersama[9] itu adalah :
1. Bagi daerah yang kepala daerah dan wakil kepala daerahnya berakhir masa
jabatannya pada bulan Agustus 2010 dan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota
belum melakukan rekrutmen calon anggota Panwaslukada, maka Bawaslu
melantik Panwas Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2009 sebagai anggota Panwaslu Kada 2010.

2. Bagi KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang pada saat berlakunya surat
edaran bersama ini telah melakukan rekrutmen calon anggota
Panwaslukada dan telah mengumumkan hasilnya, Bawaslu akan
melakukan uji kelayakan dan kepatutan dan melantik calon Panwaslu
terpilih sesuai ketentuan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum
3. Bagi KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang telah mengirimkan nama-nama
calon anggota Panwaslukada hasil rekrutmen kepada Bawaslu tetapi
jumlahnya kurang dari 6 (enam) nama, maka untuk melengkapinya KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota mengusulkan nama-nama calon anggota
Panwaslu yang berasal dari Panwas Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009.
4. Dalam hal Bawaslu menilai bahwa nama-nama calon anggota Panwaslu
yang diajukan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota tidak memenuhi syarat
sebagai anggota Provinsi/Kabupaten/Kota, Bawaslu akan mengembalikan
nama-nama yang tidak memenuhi syarat tersebut kepada
Provinsi/Kabupaten/Kota dan meminta KPU Provinsi/Kabupaten/Kota
untuk melengkapinya dengan mengirimkan nama-nama anggota Panwas
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden 2009 sebagai calon anggota Panwaslu Kada 2010.
Belum satu bulan pelaksanaan SEB tersebut, awal Januari 2010 KPU meminta
revisi atas Surat Edaran Bersama (SEB) yang dibuat dengan. KPU menganggap di
dalam SEB itu terdapat bagian yang multitafsir. Sesuai UU No 22 Tahun 2007,
KPU berkewajiban melakukan rekrutmen anggota panwas untuk menjaring enam
nama. Kemudian, nama itu diserahkan ke Bawaslu untuk proses fit and proper
test sebagaimana ketentuan dala UU Nomor 22 Tahun 2007 di atas. Namun.
Bawaslu merasa memiliki legitimasi melantik panwas pilpres menjadi panwas
pemilukada tanpa mengindahkan enam nama hasil rekrutmen KPU. Bawaslu
beralasan, pelantikan panwas pilpres menjadi panwaslukada itu sudah tercantum
dalam SEB. KPU menganggap sebanyak 46 daerah yang mengalami
permasalahan dalam pengesahan anggota Panwaslukada karena tidak sesuai
dengan Undang-Undang dan SEB.
Para pihak yang merasa dirugikan dalam proses ini juga mengajukan judicial
review terhadap peraturan Bawaslu yang menjadi dasar hukum SEB tersebut ke
Mahkamah Agung (MA). Mereka meminta MA untuk menilai apakah peraturan
Bawaslu tersebut bertentangan/tidak dengan ketentuan dala UU Nomor 22 Tahun
2007.
1. D.

“Polemik Keabsahan” Panwaslukada dan Sengketa Pemilu.

Polemik keabsahan Panwaslu akibat lahirnya SEB di atas bermuara pada dualisme
panwaslukada di beberapa daerah. Dari 246 pemilukada yang akan digelar di
Indonesia pada 2010 ini, 192 diantaranya mengalami persolan ini.
Beberapa pihak beranggapan, penyelesaian polemik keabsahan ini semata-mata
terkait dengan legalitas pengangkatan Panwaslu. Padahal persoalan ini juga terkait
dengan telah lampaunya waktu pembentukan panwaslu sebagaimana ditegaskan
pasal 71 UU Nomor 22 Tahun 2007 di atas.

Jika hanya terkait dengan soal legitimasi, maka putusan MA terkait uji materiil
Peraturan Bawaslu terhadap UU No.22 Tahun 2007 akan mengakhiri polemik
berkepanjangan tentang Panwaslukada mana yang sah secara yuridis. Jika MA
menyatakan Peraturan Bawaslu tersebut sesuai dengan UU dimaksud, maka
Panwaslukada yang telah ditetapkan dan dilantik Bawaslu dapat terus
melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, jika MA berpendapat bahwa Peraturan
Bawaslu tersebut bertentangan dengan UU, maka proses seleksi terhadap calon
anggota Panwaslukada mesti dilakukan oleh para pihak, tak terkecuali Bawaslu
sendiri.
Padahal sesungguhnya, putusan MA tersebut tidak akan menyelesaikan “krisis
yuridis” pemilukada itu sendiri. Ia hanya akan menjadi obat penahan rasa sakit.
Sebab, detik ini pemilukada di sebagian wilayah yang bermasalah tersebut telah
memasuki tahapan-tahapan pemilukada[10].
Bagi daerah yang akan menggelar pemilukada pada Juni 2010, tahapan
pemilukada telah dimulai sejak Januari 2010 lalu. Padahal pasal 71 UU No.22
Tahun 2007 diatas menyatakan bahwa Panwaslu mesti terbentuk satu bulan
sebelum tahapan pemilu dimulai. Artinya, kalaupun putusan MA akan keluar esok
hari, maka panwaslu yang legitimate secara yuridis itu akan tetap bertentangan
dengan klausula UU No.22 Tahun 2007, sebab ia (baru) terbentuk pada saat
tahapan pemilu telah berjalan.
Implikasi yuridis dari fenomena ini ialah seluruh tahapan pemilukada di daerahdaerah tersebut cacat hukum. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan
dihasilkan oleh pemilukada demikian akan mengalami krisis legitimasi yuridis.
Bukan tidak mungkin, jika ada para pihak yang membawa persoalan ini ke
Pengadilan di kemudian hari, maka pemilukada di berbagai daerah tersebut harus
di ulang.
Secara substantif, peristiwa pembentukan panwaslukada di tengah jalannya
tahapan yang sudah berjalan akan menyisakan beberapa tahapan sebelumnya
tanpa pengawasan. Akibatnya, jika terjadi complaint terkait tahapan-tahapan
pemilukada sebelum terbentuknya panwaslu, maka complaint itu tidak mendapat
tempat pengaduan yang absah.
Sebagai contoh, pada saat memasuki dua tahapan yang rawan mengundang
complaint publik, yaitu tahapan penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS)
menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT), serta tahapan verifikasi administrasi dan
faktual calon kepala daerah dari jalur perseorangan. Terkait dengan DPT, republik
ini pernah dihebohkan karenanya. Setidaknya peristiwa pemilukada di Jatim tahun
2008, serta pemilu legislatif 2009 lalu cukup menjadi pelajaran berharga bagi
kita[11].
Terkait dengan verifikasi untuk calon perseorangan, hal demikian amat rawan
mengundang konflik. Jika KPUD dan jajaranya tidak secara serius melakukan
proses ini, termasuk memberikan penjelasan yang transparan dan rasional jika
terdapat calon yang tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilkuda.
Persoalan akan muncul, jika tiba-tiba ada pasangan calon perseorangan yang tak
lolos lalu melakukan pengaduan terhadap hasil verifikasi KPUD. Pertanyaannya
kemana mereka harus mengadukan ? Mestinya, pengaduan itu disampaikan ke
panwaslu sebagaimana amanah peraturan perundang-undangan. Persoalnnya

panwaslukada-nya belum final secara hukum . Jika demikian, bisa jadi pengaduan
terhadap hal yang amat penting ini menjadi terabaikan.
Kasus-kasus demikian dan banyak kasus lain akan melahirkan sengketa
pemilukada yang tak dapat terelakkan, akibat ketiadaan panwaslukada di tengah
tahapan yang berjalan. Hanya saja akan muncul satu persoalan. Kemana sengketa
demikian bermuara?
Jika melihat model penyelesaian sengketa pemilu, termasuk pemilukada di
dalamnya, maka penyelesaian sengketa tersebut hanya dapat diselesaikan melalui
tiga mekanisme, yaitu;
1)
Penyelesaian melalui KPU terkait dengan pelanggaran administratif dalam
penyelenggaraan pemilu;
2)
Penyelesaian melalui peradilan umum terkait dengan pelanggaran delikdelik pidana pemilu;dan
3)

Penyelesaian sengketa hasil pemilukada melalui Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan tiga jalur tersebut, penyelesaian sengketa akibat tidak adanya
panwaslu di tengah tahapan pemilukada sulit mendapatkan tempat. Sementara
bukan tidak mungkin hal tersebut akan dijadikan dasar bagi banyak pihak untuk
menggugat pelaksanaan pemilukada itu sendiri.
1. E.
Perppu Tentang Pembentukan Panwaslukada dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010
Salah satu ikhtiar konstitusional yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
persoalan tersebut ialah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) tentang Pementukan Panwaslukada di tengah tahapan
pemilukada.
Ketentuan mengenai pembentukan perppu diatur dalam pasal 22 UUD 1945
sebagai berikut ;
(1). Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
(2). Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3). Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.
Perppu terkait pembentukan panwaslukada dianggap relevan untuk dikeluarkan
disebabkan oleh dua hal. Pertama : secara materiil hal yang diatur dalam perppu
tersebut merupakan kegentingan yang memaksa. Sifat genting dalam materi
perppu tersebut terkait telah berjalannya tahapan pemilukada di 192 daerah di
Indonesia, padahal di saat yang sama panwaslukada-nya belum terbentuk.

Kedua : secara teknis penyusunan perundang-undangan, perppu tersebut relevan
untuk dijadikan solusi, sebab revisi atas ketentuan pembentukan panwaslu dalam
UU Nomor 22 Tahun 2007 hanya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a)
Membuat revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2007 dan/atau membuat UU
baru (pengganti) terkait hal serupa;
b)

Membuat Perppu terkait hal tersebut.

Pembentukan UU baru, baik UU revisi, maupun UU pengganti diyakini akan
memakan waktu yang lama. Pembentukan UU sebagaimana dimaklumi mesti
melalui proses di dua lembaga negara, eksekutif (baca; lembaga kepresidenan)
dan legislatif (baca: DPR). Sedangkan pembentukan perppu hanya melibatkan
institusi kepresidenan semata.
Dalam perppu tersebut dapat diatur dua alternatif materi utama untuk
menyelesaikan polemik panwaslukada ini. Pertama : pembentukan panwaslu
tetap mengacu kepada ketentuan pasal 71 UU Nomor 22 Tahun 2007 yang
menyatakan pembentukannya harus dilakukan 1 bulan sebelum tahapan pemilu
dilaksanakan. Penetapan ketentuan demikian akan melahirkan konsekwensi
penundaan pemilukada di berbagai tempat yang bermasalah.
Ketentuan demikian, mesti diikuti oleh aturan-aturan terkait dengan bagaimana
perlakuan terhadap tahapan-tahapan yang telah berjalan, seperti pendataan pemilih
dan pengajuan calon. Bagaimanapula solusi untuk mengisi jabatan kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang akan kosong akibat mundurnya waktu pemilukada,
termasuk aspek pendanaannya.
Kedua : pembentukan panwaslukada dapat dilakukan di tengah tahapan
pemilukada dikarenakan kondisi tertentu yang diuraikan dalam perppu ini.
Ketentuan ini mesti diikuti dengan timbulnya hak bagi institusi-institusi negara
dan/atau bukan negara tertentu untuk melakukan berbagai tugas dan wewenang
yang dimiliki panwaslu pada tahapan pemilu, sebelum panwaslu-nya terbentuk.
Sebagai contoh, sebelum panwaslu terbentuk, masyarakat dapat langsung
menyampaikan aduannya kepada pihak kepolisian dan/atau KPUD sesuai dengan
dugaan pelanggaran yang dilakukan. Pihak-pihak tersebut selanjutnya
berkewajiban menindaklanjuti laporan masyarakat sesuai dengan tugas dan
kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
tidak akan terjadi kekosongan fungsi panwaslukada, meski ia belum terbentuk.
Pembentukan Perppu semakin relevan setelah dikeluarkannya putusan MK Nomor
11/PUU-VIII/2010 terkait permohonan judicial review UU Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilu oleh Bawaslu. Dalam judicial review tersebut,
Bawaslu memohonkan kepada MK untuk menilai apakah Pasal 93, Pasal 94 ayat
(1), 95 ayat (2), Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun
2007 bertentangan atau tidak dengan Konstitusi, khususnya Pasal 22E ayat (5) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bawaslu menilai pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tersebut
dapat mengganggu kemandirian Bawaslu (termasuk Panwaslu di daerah) dalam
menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengawas pemilu. Dalam Pasal 93, Pasal
94 ayat (1) dan 95 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2007 diatur tentang mekanisme

pembentukan Panwaslu di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan yang
mengharuskan adanya keterlibatan KPUD dalam tahap seleksi awal sebelum
finalisasinya diserahkan kepada Bawaslu.
Sementara dalam pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) UU No.22 Tahun 2007
ditegaskan tentang komposisi anggota Badan Kehormatan yang dibentuk guna
menangani pelbagai kasus pelanggaran administrasi pemilu berjumlah lima orang
yang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota KPU/D dan 2 (dua) orang anggota
Bawaslu/Panwaslu. Klausula ini dinilai Bawaslu berpotensi sebagai alat proteksi
KPU/D terhadap rekan-rekannya yang diduga melakukan pelanggaran
kepemiluan.
Dalam putusannya, MK menilai Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan Pasal 95 ayat (2)
UU Nomor 22 Tahun 2007 bertentangan dengan asas kemandirian penyelenggara
pemilu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Sementara
terkait dengan komposisi Badan Kehormatan dalam Pasal 111 ayat (3) dan Pasal
112 ayat (3) UU tersebut, MK berpendapat tidak bertentangan dengan Konstitusi.
Putusan MK tersebut bukan hanya menghasilkan pergeseran norma dalam UU
No.22 Tahun 2007 yang mesti segera diubah, namun juga menghasilkan pola
mekanisme baru pembentukan Panwas di daerah yang semata-mata dilakukan
oleh Bawaslu, tanpa keterlibatan KPUD. Putusan ini sekaligus memberi
pernyataan bahwa 192 Panwas pemilukada yang telah dibentuk oleh Bawaslu
beberapa bulan sebelumnya, tanpa proses seleksi oleh KPUD sah secara hukum.
Berdasarkan karakternya, Putusan MK tidak dapat serta merta menggantikan
norma yang ia batalkan. Putusan MK terkait judicial review tersebut mesti
dioperasionalkan dengan pergantian norma UU yang telah ia batalkan, baik
dengan membentuk UU baru atau dengan cara penerbitan Perppu[12].
Dalam kasus Panwaslukada pembatalan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan Pasal 95
ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2007, sekaligus pernyataan MK tentang sahnya
Panwas pemilukada yang dibentuk Bawaslu, tanpa keterlibatan KPUD
sebelumnya hanya dapat dilaksanakan jika terjadi pergeseran norma dalam UU
tersebut.
Jika pergeseran norma itu tidak diformalisasikan melalui perubahan UU atau
pembentukan Perppu, maka dikhawatirkan keberadaan Panwas pemilukada yang
semata-mata mendasarkan keberadaannya pada putusan MK dapat digugat
dikemudian hari, termasuk pada upaya gugatan atas proses pemilukadanya sendiri
yang dianggap tidak sesuai aturan.
1. F.

Penutup

Polemik keabsahan panwaslukada di 192 daerah di Indonesia pada tahun 2010 ini
dapat berdampak sistemik pada penyelenggaraan pemilukada sebagai saluran dari
kedaulatan rakyat sebagaimana amanah pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Selain itu,
polemik ini akan menggangu stabilitas pemerintahan, sosial dan politik di
berbagai daerah tersebut.
Penyelesaian terkait keabsahannya semata tidak akan menjadi obat penyembuh,
melainkan penahan rasa sakit dari persoalan pemilukada ini. Perlu langkah

konkret yang mendesak untuk membuat payung hukum atas belum terbentuknya
panwaslukada di tengah tahapan yang telah berjalan.
MK telah membuat ijtihad konstitusional dengan mengeluarkan Putusan Nomor
11/PUU-VIII/2010 Dalam putusan itu MK bukan hanya memberi pernyataan
terkait pasal-pasal yang diujikan, tetapi juga membuat pernyataan tentang
keabsahan 192 Panwas pemilukada yang dibentuk Bawaslu, tanpa keterlibatan
KPUD.
Bagaimanapun putusan MK tidak dapat dioperasionalkan, tanpa lahirnya UU atau
Perppu untuk menggantikan norma yang telah dibatalkan. MK telah menjalankan
tugas konstitusionalnya, kini tinggal menunggu lembaga lain yag berwenang
untuk menindaklanjuti putusan itu, agar Panwas pemilukada, termasuk
Pemilukada di 192 tempat tidak (akan) dipermasalahkan secara yuridis.
Bahan Bacaan
A. Tulisan Ilmiah


Jutta Limbach, On the Role of the Federal Constitutional Court of
Germany dalam http://www.festokyo.com/limbachtext_e.htm.



Leonard W.Levy, Judicial Review and The Supreme Court, Harper
Torchbooks The Academy Library, London, 1967



M.Rifqinizamy Karsayuda, Darurat Pemilukada, Harian Banjarmasinpost,
Selasa 23 Februari 2010.



……………………………,
www.radarbanjarmasin.com .



Pan Mohammad Faiz, Menabur Benih Constitutional Complaint, Makalah,
tt.

Menunda

Pemilukada

dalam

B. Putusan Mahkamah Konstitusi


Putusan MK No.072-073/PUU-PUU-II/2004



Putusan MK No. 001/PUU-IV/2006



Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010

C. Peraturan Perundang-undangan


Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.



……………………, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Mahkamah Konstitusi.



……………………, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.



……………………, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu.



……………………., Undang-Undang Nomo 12 Tahun 2008 Tentang
Perubahan kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.