Oleh Fika Andriyani MAGISTER ILMU AGAMA

MAKALAH
FILSAFAT DAN ETIKA HUKUM ISLAM
KONSEP MASLAHAH MENURUT ULAMA MALIKIYAH

Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Nur Fuad, MA.

Oleh: Fika Andriyani

MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MEI 2014

1

A. Pendahuluan
Perbincangan mengenai pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam
istilah ushul fiqih disebut dengan ijtihad erat kaitannya dengan perubahan-perubahan
sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan secara umum ijtihad
dapat dikatakan sebuah upaya berpikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari

sumber sebenarnya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang
muncul dalam masyarakat.
Antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain
terdapat satu interaksi. Ijtihad baik langsung atau tidak dipengaruhi oleh perubahanperubahan sosial yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Sedangkan disadari atau tidak bahwaperubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah
oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia.
Pada pembahasan kali ini akan dikaji teori kemaslahatan menurut ulama
Malikiyah, dan lebih khususnya lebih pada teori yang digagas oleh Imam Syatibi.
B. Pembahasan
1. Biografi Singkat Ulama Malikiyah
a) Imam Malik
Malik bin Anas bin Abu amir bin 'Amr al- Ashbahi al-Madani, Imam Dar
al-Hijrah, pendiri mazhab fikih Maliki. Malik juga biasa dipanggil dengan Abu
Abdullah dan al-Ashbahi nama julukan kakeknya. Nama sebenarnya adalah alHaris. Sisilahnyya sampai pada Ya'rab bin Qahthan, satu kabilah besar di Yaman
(al-Maraghi, 2001:79).
Malik bin Anas lahir di Madinah tahun 93 H. sejak muda ia sudah hafal
al-Quran dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Sejak kecil
Malik sering menemui Rabiah dan Adurrahman bin Hurmuz untuk
mendengarkan hadis-hadis nabi SAW. Di samping kepada kedua orang itu, ia
juga belajar hadis pada al-Zuhri dan Nafi' maula Ibn Umar. Ia juga belajar ilmu

qiraat kepada Nafi' bin Abi Nuaim. Dari Rabi'ah ia mendapatkan fiqh al-ra'y
(Abu Zahrah, tt.: 225).
Selama menuntut ilmu, Malik dikenal sangat sabar. Tidak jarang ia
menemui

kesulitan

dan

penderitaan.

Ibn

al-Qashim

pernah

mengatakan:"Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa sampai2

sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian

dijual untuk biaya menuntut ilmu. Tetapi setelah itu dunia berpaling kepadanya."
Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai ilmu, khususnya ilmu hadis dan
fikih. Tentang penguasaanya dalam hadis ia sendiri pernah mengatakan:"Aku
telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadis." (al-Maraghi, 2001:79)
Malik mempunyai banyak murid di antaranya adalah ulama. Hampir
tidak seorang pun ulama di zamannya yang tidak belajar kepadanya, baik gurugurunya sendiri maupun teman-temannya. Qadi Iyyad menyebutkan lebih dari
seribu orang ulama terkenal yang menjadi murid Imam Malik. Beberapa di
antaranya adalah; Muhammad bin Muslim al-Zuhri yang meninggal 55 tahun
sebelum Malik wafat, Rabi'ah bin Abd al-Rahman, meninggal 33 tahun sebelum
Malik wafat, Yahya bin Sa'id al-Anshari, 43 tahun sebelumnya. Kemudian Musa
bin Uqbah, Hisyam bin Urwah, nafi' bin Abi Nu'aim al-Anshari, Muhammad bin
Ajlan, Salim bin Abi Umayyah, Muhammad bin Abdurrhman bin Abi Ziab,
Abdul Malik bin Juraij, Muhammad bin Ishaq, pengarang kitab al-maghazi dan
sulaiman bin Mahran al-'Amasi (al-Maraghi, 2001:81).
Imam Malik meninggal tahun 179 H di Madinah al-Munawarah. Karya
Imam Malik yang paling populer adalah al-Muwaththa. Karya-karya Imam
Malik lainnya adalah; Risalah Ila Ibn Wahb fi al-Qadr, Kitab al-nujum, Risalah fi
al-Aqdiyah, Tafsir li al-Gharib al-Quran, Risalah ila Laits bin Sa'id, Risalah ila
Abi Ghassan, Kitab Siyar, dan kitab al-Manasik.
b) Imam Syatibi

Al-Syatibi merupakan salah seorang pemikir ternama dalam sejarah
intelektual Islam, khususnya dalam bidang fikih. Nama lengkapnya Abu Ishaq
bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi. Tidak ada ahli
sejarah yang mengetahui secara pasti latar belakang kehidupan dan kelahirannya,
hanya saja menurut catatan sejarah ia wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388
M). Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan
ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di
kawasan Spanyol bagian timur. Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini,
Imam al-Syatibi tidak dilahirkan di sana. Menurut catatan sejarah, kota Syatibah
telah jatuh ke tangan Kristen yang mengakibatkan terusirnya seluruh penduduk
3

muslim dari kota itu sejak tahun 645 H (1247), sekitar satu abad sebelum
kelahiran al-Syatibi, dan sebagian besar di antaranya berhijrah ke Granada.
(Asafri, 1996: 21)
Masa muda al-Syatibi dilaluinya bertepatan dengan masa pemerintahan
Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat
Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya
Universitas Granada. Sehingga seluruh pendidikan al-Syatibi diperolehnya di
ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam

di Spanyol ketika itu. Suasana ilmiah dan perkembangan peradaban Islam yang
berkembang dengan baik di kota Granada tersebut memberikan keuntuntungan
tersendiri

bagi

al-Syatibi

dalam

pengembaraan

dan

pengembangan

intelektualnya. Granada menjadi kota pusat perhatian para sarjana yang datang
dari kawasan Afrika Utara. Saat itu, banyak ilmuan yang mengunjungi Granada
atau berada di istana Bani Nashr, di antaranya ibn Khaldum dan ibn al-Khatib.
Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab

Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il
(metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi mendapat
pendidikan baik dari guru-gurunya yang merupakan penduduk asli di Granada
maupun dari para pendatang yang menempuh pendidikan dan menjadi ulama di
Granada. Guru-guru al-Syatibi yang merupakan penduduk asli antara lain:
1. Abu Fakhar al-Biriy, seorang ulama paling ternama di bidang Bahasa Arab
dan Qira’at saat itu. Dari ulama ini al-Syatibi belajar tentang Qira’at dan
Nahwu.
2. Abu Ja’far al-Syaquri, seorang ulama di bidang nahwu.
3. Abu Sa’id bin Lub, seorang mufti di Granada. Dari ulama ini, al-Syatibi
belajar tentang fikih.
4. Abu Abdullah al-Balnisity, seorang mufassir ternama, dan dari beliau alSyatibi menimba ilmu tentang tafsir dan ulmul qur’an lainnya.
Sedangkan guru-guru al-Syatibi yang merupakan pendatang di Granada, antara
lain:
1. Abu Abdullah Syarif al-Tilmisani, seorang ulama ternama di bidang fikih
dan ushul fikih.
2. Abu Abdullah al-Muqiriy, juga seorang ulama dari Tilmisan. Ia
merupakan ulama fikih dengan karyanya Qawa’id al-Fiqh al-Muqiriy.
4


3. Ibn Marzuq al-Khatib, merupakan salah seorang ulama maliki terkemuka
di Granada
4. Abu Ali al-Zawawiy, seorang ulama besar di bidang ushul fiqh dan dari
ulama ini al-Syatibi banyak menimba ilmu ushul fiqh, bahkan al-Syatibi
secara terang-terangan sering menukil pendapatnya. (Asafri, 1996: 2125)
Dari mereka inilah al-Syatibi mempelajari berbagai disiplin ilmu
keagamaan sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa al-Syatibi memiliki
berbagai disiplin ilmu keagamaan. Meskipun mempelajari dan mendalami
berbagai ilmu, al-Syatibi lebih memberikan perhatian utama untuk mempelajari
bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul
fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor
yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi
perubahan sosial.
Setelah memeroleh ilmu pengetahuan yang memadai, al-Syatibi
mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para
generasi berikutnya, di antara murid-murid al-Syatibi, antara lain: Abu Yahya ibn
Asim, Abu Bakar ibn Asim, Syaikh Faqih Abu Abdullah al-Bayani, Abu Jafar alQassar, Abu Abdullah al-Majariy. Kepada mereka, al-Syatibi mengajarkan hasil
karya monumentalnya. Karya-karya al-Syatibi dapat dikelompokkan dalam dua
bagian yaitu: pertama karyakarya al-Syatibi yang telah diterbitkan dan
dipublikasikan, kedua karya-karya yang belum dipublikasikan, baik yang masih

bersifat manuskrip atau disebutkan dalam kitab lain yang menisbahkan kitab
tersebut kepada al-Syatibi. Karya al-Syatibi dalam kategori pertama: alMuwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, al-I’tisham, dan al-Ifadat wa al-Irsyadat.
Sedangkan karya-karya dalam kategori kedua, antara lain: kitab al-Majalis,
Syarh Alfiah, dan manuskrib penyempurnaan kitab al-Itisam. (Asafri, 1996: 2627)
2. Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Malik
Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah
berpegang pada:
a) Al-Qur'an
5

Dalam memegang Al-Qur'an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas
zahir nash Al-Qur'an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan
mafhum al-Aula dengan memperhatikan 'illatnya.
b) Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik
mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur'an. Apabila
dalil syar'iy menghendaki adanya penta'wilan, maka yang dijadikan pegangan
adalah arti ta'wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir AlQur'an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang
adalah makna zahir Al-Qur'an.Tetapi apabila makna yang dikandung oleh
sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma' ahl Al-Madinah, maka ia lebih

mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur'an
(sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
c) Ijma' Ahl al-Madinah
Ijma' ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma' ahl al-Madinah yang
asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil
ijtihad ahl al-Madinah. Ijma' semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo,
yang dimaksud dengan ijma' ahl al-Madinah tersebut ialah ijma' ahl al-Madinah
pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi
SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali
bukan merupakan hujjah. Ijma' ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah
merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma' ahl al-Madinah lebih diutamakan dari
pada khabar ahad, sebab ijma' ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh
jama'ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.
d) Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat di sini adalah sahabat besar, yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini
berarti bahwa yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud haditshadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak
akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW.

Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh
6

bertentangan dengan hadits marfu' yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang
demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e) Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang
dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah
dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali
khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath'iy. Dalam
menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadangkadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu
tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini
dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari
Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan
sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f) Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: "Menurut hukum dengan
mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully
(menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada
qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada

pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada
maksud pembuat syara' secara keseluruhan".
Dari ta'rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah
juz'iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang
umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah
beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan
syari'at diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas
semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata
akan menghilangkan suatu mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka
ketentuan qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan
membawa kepada akibat negatif.
Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan
sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu
ketentuan hukum harus mendatangkan mashlahat atau menghindarkan madharat.
g) Al-Mashlahah Al-Mursalah
7

Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik
secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian,
maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari'at
diturunkan. Tujuan syari'at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur'an, sunnah
atau ijma'. Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar
hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
1) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian
yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum,
bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
3) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum
dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma'.
h) Sadd Al-Zara'i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara'i sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram
atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang
menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i) Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang
akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.
Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas
hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti
hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.
j) Syar'u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan
kaedah syar'u man qablana syar'un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut
Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam
Malik yang menyatakan demikian.
Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Qur'an dan sunnah shahihah
mengisahkan suatu hukum yang pernah diberlakukan buat umat sebelum kita
melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum tersebut
dinyatakan pula di dalam Al-Qur'an dan sunnah shahihah, maka hukum-hukum
tersebut berlaku pula buat kita.
8

3. Konsep Maslahah Menurut Ulama Malikiyah
Secara etimologi kata mashlahah sama dengan kata manfa'ah baik dari
segi wazan maupun arti. Mashlahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang
memiliki implikasi manfaat. Sebagai contoh bisnis adalah mashlahah, artinya
bahwa bisnis berimplikasi pada manfaat.Secara terminology, terdapat beberapa
definisi yang dikemukakan ulama ushul fikih. Imam Ghazali mengemukakan
bahwa pada asalnya mashlahah memiliki arti sesuatu yang mendatangkan manfaat
dan menolak madlarat (kerusakan), namun hakekat dari mashlahah adalah
memelihara tujuan syara' (al-Ghazali, 1997:413).
Dalam keterkaitan demikianlah tujuan diciptakannya syari’at yakni
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat sebagai aspek inti dapat diwujudkan.
Adapun kemaslahatan itu bisa diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat
diwujudkan dan dipelihara. Lima unsur tersebut menurut Syatibi adalah agama,
jiwa, keturunan, akal dan harta. Sedangkan dalam usaha mewujudkan dan
memelihara lima unsure pokok itu, beliau membagi kepada tiga tingkatan yakni
mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah dan mashlahah tahsiniyah. (Asafri,
1996: 71-72)
1) Mashlahah dharuriyah ( ‫ ) المصلحة الضرورية‬adalah kemaslahatan yang
keberadaannya sangat esensial bagi kehidupan manusia; artinya, kehidupan
manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu
tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada
keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat
dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi
pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan yang
secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu
di antara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah
melarangnya.
Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau
mashlahah dalam tingkat dharuri. Dalam hal ini Allah melarang murtad
untuk memelihara agama; melarang membunuh untuk memelihara jiwa;
melarang minum minuman keras untuk memelihara akal; melarang berzina
9

untuk memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk memelihara
harta.
2) Mashlahah hajiyah ( ‫ ) المسلحة الحاجية‬adalah kemaslahatan yang tingkat
kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri.
yakni segala hal yang menjadi kebutuhan primer manusia agar hidup
bahagia dan sejahtera, dunia dan akhirat, dan terhindar dari berbagai
kesengsaraan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh, kehidupan manusia pasti
mengalami kesulitan (masyaqqah) meski tidak sampai menyebabkan
kepunahan. Contoh mashlahah hajiyah adalah: menuntut ilmu agama untuk
tegaknya agama; makan untuk kelangsungan hidup; mengasah otak untuk
sempurnanya akal; melakukan jual beli untuk mendapatkan harta. Semua itu
merupakan perbuatan baik atau mashlahah dalam tingkat haji.
3) Mashlahah tahsiniyah ( ‫ ) المصلحة التحسينية‬adalah mashlahah yang kebutuhan
hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai
tingkat haji; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka
memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah
dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok
manusia.
Dilihat dari segi keberadaan mashlahah menurut syara' terbagi kepada:
1) al-Maslahah Mu'tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara'.
Atau dengan kata lain mashlahah yang secara tegas diakui syariat dan telah
ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya
diperintahkan berjihad untuk memlihara agama dari serangan musuh,
diwajibakan hukuman qishah untuk menjaga kelestarian jiwa, hukuman bagi
peminum khamr untuk memelihara akal.
2) al-Mashlahah al-Mulghah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal
pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan
ketentuan syariat. Misalnya, al-Laits ibn Sa'ad, seorang ulama Spanyol
menetapakan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang
penguasa saat itu yang telah mngumpuli istrinya di siang hari bulan
Ramadan. Para ulama memandang hukuman ini bertentangan dengan hadis
Rasul yang manyatakan bahwa seseorang melakukan hubungan seks di
10

siang hari di bulan Ramadan diberi sangsi memerdekakan budak, jika tidak
mampu maka sangsinya puasa dua bulan berturut-turut.
3) al-Mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak
didukung oleh syara' dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara' melalui dalil
yang rinci.
4. Kehujjahan Mashlahah mursalah
Maslahah mursalah digunakan oleh beberapa ulama ushul fikih dengan
istilah yang berbeda-beda. Sebagian ulama mengunakan istilah al-munasib almursal. Ada juga ulama yang menggunakan istilah istishlah seperti al-Ghazali,
dan ada pula yang menggunakan istidlal al-mursal seperti Izzuddin bin
Abdissalam. Istilah-istilah tersebut meskipun tampak berbeda namun memiliki
satu tujuan. Perbedaan istilah disebabkan cara pandang yang berbeda-beda.
Penggunaan istilah mashalih mursalah jika dilihat dari segi apakah mashlahah
tersebut didasarkan pada dalil atau tidak. Adapun istilah al-munasib al-mursal jika
dilihat dari segi kesesuaiannya dengan tujuan syara'. Sementara istilah istidladlal
digunakan lebih merujuk pada proses penetaapan hukum terhadap suatu
mashlahah yang tidak terdapat dalil khusus dari nash.
Para ulama ushul fikih sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah
menjadi landasan hukum dalam aspek ibadah, karena aspek ibadah bisa dilogika
(ghair ma'qul ma'na), ia harus diamalkan sebagaimana adanya didapatkan dari
Rasulullah SAW.Dalam bidang muamalat mereka berbeda pendapat. Kalangan
Zahiriyah dan sebagian dari kalangan Syafiiyyah tidak mengkui maslahah sebagai
landasan pembentukan hukum, dengan alasan seperti yang dikemukakan Abd alWahhab Khallaf (1972:94) sebagai berikut:
a. Allah SWT dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum
yang menjamin segala bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan
hukum berdasarkan mashlahah mursalah, berarti menganggap syariat Islam
tidak lengkap karena menganggap masih ada mashlahah yang belum
tertampung dalam hukum-hukumnya.
b. Membenarkan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum berari membuka
pintu bagi berbagai pihak untuk menetapkan hukum menurut seleranya
dengan alasan untuk meraih kemaslahatan. Praktik yang demikian akan
11

merusak citra agama.Dengan alasan-alasan tersebut mereka menolak
mashlahah mursalah sebagai landasan hukum.
Sementara Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafiiyyah berpendapat
bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat diajdikan sebagai landasan penetapan
hukum. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah:
a. Syariat Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan
petunjuk-petunjuk al-Quran dan al-Sunnah bertujuan untuk merealisasikan
kemashlahatan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu
lalu berkembang, yang tidak mungkin kesemuanya itu dirinci dalam al-Quran
dan al-sunnah. Namun secara umum syariat Islam telah memberi petunjuk
bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Oleh
karena itu apa yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan deang alQuran dan al-sunnah sah dijadikan landasan hukum.
b. Para sahabat mengakui keberadaan mashlahah mursalah sebagai landasan
penetapan hukum tanpa ada seorangpun yang membantahnya. Abu Bakar
pernah mengumpulkan dan membukukan al-Quran. Umar bin Khattab tidak
menerapkan sangsi potong tangan terhadap pencuri si saat krisis ekonomi.
Praktik ini tidak pernah dicontohkan Nabi SAW.
Berdasarkan alasan di atas kalangan Malikiyah, Hanabilah dan
sebagian Syafiiyah menganggap bahwa mashlahah mursalah bisa dijadikan
landasan penetapan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihakpihak yang tidak menyetujui mashlahah mursalah sebagai landasan hukum
dianggap lemah oleh pihak pendukung mashlahah mursalah. Dalam kenyataanya
tidak semua kebutuhan manusia terdapat rinciannya di dalam al-Quran dan alSunnah. Di sisi lain, penetapan hukum berlandaskan mashlahah mursalah
membutuhkan beberapa persyaratan yang cukup ketat. Dengan persyaratan yang
ada akan terhindar dari penyalahgunaan.
Pandangan al-Syatibi tentang mashalahah mursalah dapat dijumpai
dalam bukunya al-Muwafaqat dan al-I'tisham.dalam kitab al-Muwafaqat, alSyatibi mengemukakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan
dengan mashlahah dan tidak ditunjukkan oleh nash tertentu, tetapi ia sejalan

12

dengan tindakan syara' dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara' maka
mashlahah itu benar dan dapat dijadikan sebagai hujjah.
Syatibi dalam membangun metode maslahah mursalah beranjak dari
konsep al-munasib (yang sesuai), yakni ada tidaknya persesuaian-persesuaian
antara maslahah yang dipertimbangkan dengan tujuan-tujuan umum syariah yang
tidak ada syahid dan 'illah, suatu indikasi yang membedakannya dari qiyas dan
tidak ditemukan dalil khusus mengenai hukumnya.
Konsep al-munasib itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, almunasib itu memang memiliki dalil khusus yang menyebutkannya. Seperti
disyariatkan qishas yang memiliki tujuan untuk memelihara jiwa manusia
sehingga keberlangsungan hidup terjamin, selain bertujuan untuk memelihara
anggota tubuh manusia. Validitas al-munasib dalam pengertian ini, tidak perlu
diragukan lagi untuk diamalkan. Kedua, al-munasib dalam pengertian adanya
anggapan maslahah dalam pemikiran subjektif manusia, tetapi syariah
menolaknya. Ini berarti maslahah tersebut ditetapkan semata-mata menurut hawa
nafsu, yang bertentangan dengan dalil-dalil syara', sehingga validitasnya tidak
diakui hukum Islam. Ketiga, al-munasib dalam pengertian maslahah yang tidak
disebutkan oleh nash-nash khusus, baik untuk dipegangi atau untuk ditinggalkan.
Artinya tidak ditemukan dalil pertikular yang menunjukkan boleh tidaknya
dilakukan oleh orang-orang yang beriman.
Al-munasib dalam pengertian ini, menurutnya, dapat dibagi kepada dua
kemungkinan: (1) Ada nash yang mengkonfirmasi pengertian munasib itu, seperti
adanya 'illah yang menghalangi pembunuh mendapatkan warisan. (2) al-munasib
tersebut sesuai dengan pandangan syara' secara universal, bukan dengan dalil
partikular. Al-munasib dalam pengertian ini, oleh al-Syatibi, disebut juga dengan
istidlal al-mursal atau al-maslahah al-mursalah.
Di bawah ini beberapa contoh maslahah mursalah menurut Malikiyah
seperti yang ada pada kitab al-I'tisham karya Imam al-Syatibi : Seorang pekerja
yang bekerja di suatu tempat (Perusahaan), ia harus bertanggung jawab membayar
ganti rugi atas kerusakan alat-alat milik perusahaan yang ia pergunakan untuk
bekerja di tempat tersebut. Hal ini diberlakukan untuk menjamin kemaslahatan
umum, yaitu menjaga keutuhan alat-alat kerja. Jika alat-alat kerja tidak dijaga
13

akan berakibat pada macetnya produksi. Di sisi lain jika dibiarkan tanpa sangsi
maka akan tercipta kondisi untuk tidak memiliki tanggung jawab.
Seorang pemimpin yang adil diperbolehkan meminta bantuan orang
kaya untuk membiayai kebutuhan tentara jika kas negara dalam keadaan kosong.
Kemaslahatannya adalah jika pemimpin tidak melakukan hal tersebut, pertahanan
negara akan lemah. Pemerintah boleh menyita barang yang digunakan seseorang
untuk melakukan tindakan kejahatan.
Contoh yang dikemukakan Imam Malik adalah jika seseorang membeli
atau meminum minuman keras, maka minuman keras tersebut boleh disita. Jika
seseorang berada di suatu daerah yang tidak terdapat perkerjaan dan makanan
kecuali pekerjaan dan makanan yang haram sementara ia tidak bisa keluar dari
daerah tersebut, maka ia boleh bekerja dan makan makanan haram sekedar untuk
mempertahankan hidupnya. Walaupun tidak ada nash menyangkut hal tersebut
akan tetapi hal tersebut sesuai (mulaim) dengan tindakan syara'. Dimana syara'
memperbolehkan seseorang makan makanan haram seperti bangakai atau daging
babi jika dalam keadaan darurat.
Menjatuhkan hukuman qishash pada sekelompok orang yang
membunuh seseorang. Pada dasarnya qishash tidak bisa diterapkan pada
sekelompok orang yang telah membunuh. Qishash hanya bisa diberlakukan pada
seseorang saja. Namun jika tidak dilakukan qishash maka akan berakibat pada
peremehan terhadap institusi qishash. Sehingga qishash tetap diberlakukan pada
kelompok, dalam hal ini kelompok menduduki kedudukan seseorang dalam
membunuh.
Diperbolehkan

memilih/mengangkat

seorang

pemimpin

mafdlul

(utama/cakap) walaupun sebenarnya masih ada calon yang afdlal (lebih
utama/lebih cakap).
Dengan demikian penetapan hukum melalui mashlahah mursalah
menurut al-syatibi bukanlah penetapan hukum keluar dari nash, akan tetapi masih
dalam ruang lingkup nash, dimana menurut Syatibi, penetapan hukum bisa
melalui tiga cara:
1. Melalui lafadz yang ada pada nash. Cara ini lazim dikenal dengan istidlal bi
al-Nash. Seperti ayat :‫ ول تقتوا النفس التي حرم الله إل بالحق‬Menujukkan larangan
membunuh.
14

2. Melalui pemahaman satu nash. Biasanya menggunakan qiyas atau mashlahah
al-Mu'tabarah. Seperti penentuan tentang keharaman narkoba dan sangsi bagi
peminum khamr dapat disimpukan dari ayat berikut;‫ الية‬..... ‫إنما الخمر و الميسر‬.
3. Melalui penetapan hukum dengan tidak tergantung kepada hanya satu dalil
atau nash saja, tetapi dengan menghimpun semua dalil dari berbagai
bentuknya yang relevan dengan permasalahan yang akan dicari jawabannya
supaya di dapatkan suatu kepastian hukum, dengan tetap memerankan akal.
Mashlahah mursalah termasuk dalam kategori yang ketiga ini.
Dalam mengaplikasikan maslahah mursalah, Imam

al-Syatibi

mengemukakan tiga persyaratan yaitu: pertama; bahwa kemaslahatan itu harus
logis, bisa dicerna dengan akal sehat. Dengan persyaratan ini maka masalahmasalah yang berkaitan dengan ibadah tidak bisa dipecahkan dengan metode
mashlahah mursalah karena aspek ibadah tidak bisa dijangkau oleh akal (ghair
ma'qul al-ma'na); kedua, kemaslahatan tersebut harus sesuai dengan tujuan syara',
tidak bertentangan dengan nash; ketiga, kemaslahatan tersebut merupakan dalam
kerangka menjaga kemaslahatan dlaruri dan menolak kesusahan dalam agama.
5. Penutup
Maslahah dan maqashid al-Syari’ah dalam pandangan al-Syatibi
merupakan dua hal penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam.
Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh
akal yang sehat. Diterima akal, mengandung makna bahwa akal dapat mengetahui
dengan jelas kemaslahatan tersebut.
Penetapan hukum melalui mashlahah mursalah menurut Ulama
Malikiyah (al-syatibi) bukanlah penetapan hukum keluar dari nash, akan tetapi
masih dalam ruang lingkup nash, yaitu dengan menghimpun semua dalil dari
berbagai bentuknya yang relevan dengan permasalahan yang akan dicari
jawabannya supaya di dapatkan suatu kepastian hukum, dengan tetap
memerankan akal. Dalam mengaplikasikan maslahah mursalah, Imam al-Syatibi
mensyaratkan tiga hal yaitu: pertama, bahwa kemaslahatan itu harus logis, bisa
dicerna dengan akal sehat. kedua, kemaslahatan tersebut harus sesuai dengan
tujuan syara', tidak bertentangan dengan nash. Ketiga, kemaslahatan tersebut

15

merupakan dalam kerangka menjaga kemaslahatan dharuri dan menolak
kesusahan dalam agama
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, tt., Muhadlarah fi Tarikh al-Mazahib al-Fqhiyyah, kairo:
maktabah al-Madani.
Al-Ghazali, 1997, al-Mushtashfa min Ilm al-Ushul, Beirut: Muassah al-Risalah.
Al-Maraghi, 2001,Abdullah Mustafa, Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin, alih bahasa
Husein Muhammad, Yogyakarta:LKPSM.
Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Khalaf, Abd al-Wahhab, 1972, Mashadir al-Tasyri' al-Islami fima la Nashsha fih, Kuwait: Dar
al-Qalam.

16