Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektu
Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Tradisional
Indonesia dalam Perdagangan Bebas Dunia
Oleh Andri Tri Kuncoro, MA
(Widyaiswara Kemendagri Regional Bukittinggi)
A. Catatan Pembuka
Konsep HaKI pada dasarnya memberikan hak monopoli didasarkan atas kemampuan
individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Dengan begitu,
pemegang HaKI mendapatkan keuntungan ekonomi dari kekayaan intelektual yang dimilikinya.
Dengan begitu , sebenarnya HaKI lahir dalam masyarakat di mana hak kepemilikan dimiliki
oleh individu atau perusahaan. Dalam hal ini adalah masyarakat kapitalis Barat.
Pemberian hak monopoli ini, sering kali merugikan kepentingan umum dan tidak selalu
sama dengan wilayah lain utamanya bagi negara berkembang. Di Indonesia misalnya,
pengetahuan tradisional yang berkembang berorientasi kepada komunitas, bukan individu.
Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan
secara khusus pula.
Dengan perbedaan mendasar seperti di atas , maka penerapan HaKI secara taken from
granted akan banyak menimbulkan permasalahan setidaknya bagi negara-negara sedang
berkembang seperti Indonesia. Secara tradisional sesungguhnya masyarakat Indonesia tidak
memahami filosofi dasar HKI. Dalam penelitian yang dilakukan di beberapa suku di Sasak dan
Lombok (Sardjono: 2006, 119), ditemukan bahwa masyarakat adat ternyata tidak menganggap
pengetahuan tradisional yang mereka praktekan sebagai ”miliknya.” Mereka rela apabila ada
pihak lain yang menggunakan pengetahuan tersebut meskipun tanpa persetujuan terlebih dahulu
karena beranggapan bahwa semakin banyak digunakan maka semakin bermanfaat pula
pengetahuan itu. Dengan demikian, maka dengan sangat mudah produk-produk pengetahuan
tradisional mereka diklaim oleh pihak lain.
Kasus pengklaiman produk budaya Indonesia tidak hanya terjadi sekali, namun
berulangkali. Beberapa kasus di antaranya klaim desain ukir-ukiran kayu tradisional Bali di
USPTO dan desain industri kursi rotan oleh orang Amerika.
Makanan tradisional kita, tempe, juga menjadi korban klaim. Bonnie Setiawan mencatat ada 19
paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L
Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai
alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan
makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten
mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik
menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan
Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat
dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung,
dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Selain mengklaim tempe, Jepang juga sempat mematenkan beberapa jenis rempahrempah asli Indonesia, diantaranya kayu rapet (Parameria laevigata), kemukus (Piper cubeba),
tempuyung (Sonchus arvensis L), belantas (Pluchea indica L), mesoyi (Massoia aromatica
Becc), pule (Alstonia scholaris), pulowaras (Alycia reindwartii Bl), sintok (Cinnamomum sintoc
Bl), kayu legi, kelabet, lempuyang, remujung, dan brotowali adalah nama-nama tumbuhan dan
rempah Indonesia yang akan dipatenkan oleh perusahaan kosmetik Jepang Shiseido. Bahkan
diantaranya nama-nam tumbuhan tersebut ada yang sudah terdaftar pada paten Jepang. Atas
perjuangan beberapa LSM Indonesia pengajuan paten tanaman obat yang sudah berabad-abad
dipergunakan di Indonesia tersebut dibatalkan oleh pihak Shiseido.
Kasus klaim yang terakhir adalah klaim Malaysia terhadap lagu daerah Rasa Sayange dan
Reog Ponorogo yang terjadi pada November lalu. Berawal dari beredarnya kabar dari situs
internet milik Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia yang mengklaim
bahwa tarian Barongan yang mirip dengan kesenian reog Ponorogo tersebut adalah milik
Pemerintah Malaysia. Hal tersebut kemudian memancing protes keras dari sejumlah pihak di
Indonesia. Sedangkan pemerintah kabupaten Ponorogo telah mendaftarkan tarian reog Ponorogo
sebagai hak cipta milik Kabupaten Ponorogo yang tercatat dengan nomor 026377 tertanggal 11
Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan Perundang-Undangan.
Berbagai kasus klaim di atas sungguh ironis karena justru terjadi setelah perlindungan
HaKI diterapkan dalam perdagangan internasional. Dengan latar belakang inilah, tulisan ini
dimaksudkan untuk menjelaskan berbagai permasalahan seputar perlindungan HaKI bagi
pengetahuan tradisional Indonesia. Diawali dengan melacak pengaruh TRIPs terhadap
kemunculan rezim HaKI kemudian mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi dalam
perlindungan HaKI tradisional Indonesia dan diakhiri oleh rumusan langkah perlindungan yang
patut diambil sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an.
B. Beberapa Tinjauan Teori
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
Pemaknaan globalisasi di kalangan ilmuan dan teoritisi sebenarnya masih mengalami
kekaburan. Hal ini tidak lepas dari berbagai pandangan yang bertentangan dalam memahaminya.
Giddens misalnya, ia membagi pengkaji globalisasi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang
skeptis yang menganggap globalisasi tidak akan membawa perubahan apapun, dan yang kedua
kelompok kaum radikal yang menganggap globalisasi akan mewujudkan berkembangnya pasar
global. Tanpa mendefinisikan secara jelas, Giddens hanya mengingatkan bahwa globalisasi tidak
hanya sebagai persoalan ekonomi , tapi menyangkut juga persoalan politik, sosial dan budaya.
Meskipun mendapat kritik yang cukup tajam, tiga argumen dasar James Petras cukup layak
dikemukakan. Menurutnya tiga argumen dasar globalisasi itu adalah, pertama , kemajuan
teknologi atau sering disebut dengan revolusi informasi; kedua, permintaan pasar dunia; dan
ketiga , logika kapitalisme atau logic of capitalism.
Menurut Khor (2001), ciri terpenting dari proses globalisasi adalah ”globalisasi” dalam
kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional. Kebijakan yang semula di bawah
yuridiksi pemerintah bergeser menjadi di bawah pengaruh atau di proses badan-badan
internasional atau perusahaan swasta besar serta pelaku ekonomi/keuangan internasional.
Institusi internasional yang dimaksud Khor adalah Bank Dunia, IMF dan WTO. Institusi inilah
yang memasarkan neoliberalisme ke negara-negara berkembang.
Bello (2004) menyatakan bahwa WTO dan berbagai perjanjiannya tidak melayani
kepentingan negara-negara berkembang, tetapi kepentingan dunia industri maju, khususnya
Amerika Serikat. Adalah bukan kebutuhan masyarakat global yang melahirkan WTO pada 1995,
melainkan penilaian Amerika Serikat bahwa kepentingan berbagai korporasinya tidak lagi
terlayani oleh GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang sangat longgar dan lentur.
Itulah sebabnya mengapa Amerika Serikat membutuhkan kehadiran suatu badan yang sangat
kuat dan luas ruang lingkupnya semacam WTO.
Neoliberal yang dipasarkan WTO yang mengasumsikan bahwa globalisasi ekonomi akan
mendorong kemakmuran dan demokrasi, justru mendapatkan kritik tajam dari World Social
Forum (WSF). Menurut mereka, globalisasi justru menimbulkan persoalan serius dalam
pemerataan kesejahteraan dan demokrasi politik. Globalisasilah yang harus bertanggung jawab
terhadap meluasnya kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga, kehancuran lingkungan hidup,
menciptakan demokrasi poliarkhis dan kehancuran kapital sosial di banyak negara. Sebab,
globalisasi tidak ubahnya seperti sebuah olimpiade yang sama sekali tak seimbang. Dari sisi
kekuatan industri, teknologi, kemampuan sumber daya manusia dan keuanga, negara-negara
miskin di Asia, Afrika, dan Pasifik Selatan jelas kalah kelas sangat jauh dengan negara-negara
maju di belahan bumi utara.
Kritik ini diperkuat oleh temuan laporan UNCTAD (1999) yang menunjukkan bahwa
tidak ada korelasi otomatis antara liberalisasi perdagangan (sebagai konsekuensi dari globalisasi)
dan pertumbuhan. Maka Khor menyimpulkan, jika liberalisasi perdagangan dilaksanakan dengan
cara yang tidak tepat oleh negara-negara yang tidak siap atau mampu menguasai, atau yang
sedang menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menguntuingkan, maka hal tersebut dapat
mengarah pada lingkaran setan defisit perdagangan dan neraca pembayaran, instabilitas moneter,
hutang dan resesi.
Kekayaan Intelektual Tradisional
Menurut Stiglitz (2007), hak kekayaan intelektual memiliki perbedaan mendasar dengan
hak penguasaan lainnya. Jika rambu hak penguasaan lainnya adalah tidak memonopoli,
mengurangi efisiensi ekonomi, dan mengancam kesejahteraan masyarakat, maka hak kekayaan
intelektual pada dasarnya menciptakan monopoli. Kekuatan monopoli menciptakan persewaan
monopoli (laba yang berlebih), dan laba inilah yang seharusnya digunakan untuk melakukan
penelitian. Ketidak efisienan yang berkaitan dengan kekuatan monopoli dalam memanfaatkan
pengetahuan sangatlah penting, karena ilmu pengetahuan dalam ekonomi disebut komoditas
umum.
Di lain sisi, batasan dari kekayaan intelektual sulit ditetapkan, bahkan dalam menetapkan
yang akan dipatenkan. Salah satu sebabnya adalah kekaburan kriteria ”baru” dalam pematenan.
Oleh sebab itu semakin besar cakupan dari kekayaan intelektual (semakin banyak barang yang
dapat dipatenkan dan semakin luas jenis patennya), semakin besarlah manfaat yang didapat oleh
mereka yang mendapatkan hak paten—dan semakin besarlah lingkup monopoli.
Praktik monopoli terlebih dalam hal hak intelektual menjadi suatu yang asing dalam
masyarakat Indonesia yang memiliki kepemilikan bersama. Pemilikan bersama dapat hadir
dalam pasar secara terbatas. Orang-orang dengan hubungan kekerabatan dekat, seperti keluarga
batih, mungkin untuk secara bersama mengatasnamakan hak pemilikin atas suatu benda. Tidak
selalu disahkan menurut hukum, melainkan atas dasar konvensi. Dengan sepengetahuan yang
lain, maing-masing anggota boleh memanfaatkan guna-benda untuk keperluan pribadi atau
bersama. Hal ini dimungkinkan selain akibat anggotanya percaya dan menhormati kebersamaan
yang termaknakan pada benda, juga karena di sini kedekatan hubungan pada umumnya
merupakan jaminan.
C. Melacak Kemunculan Rezim HaKI di Indonesia
Ide awal penerapan HaKI sebenarnya berasal dari Amerika Serikat (AS) yang merasa
sangat
dirugikan oleh praktik pembajakan.
”Komisi perdagangan Internasional AS
memperkirakan bahwa akibat perlindungan HaKI yang tidak optimal di seluruh dunia, industri
AS dirugikan sekitar 23,8 miliar dolar AS” (Jhamtani dan Lutfiyah Hanis, 2002:8). Pada
perundingan multilateral General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), atas desakan
perusahaan-perusahaan farmasi di AS, pemerintah AS bersikeras agar perlindungan HKI
diterapkan seketat mungkin. Perusahaan-perusahaan farmasi itu percaya bahwa makin ketat
perlindungan HKI atas produk mereka, makin tinggi laba mereka, yang pada gilirannya akan
memberikan pemasukan yang tinggi pula bagi pemerintah AS.
Alasan inilah yang membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk WIPO (
World Intellectual Property Organizaton) berkedudukan di Jenewa Swiss. WIPO dibentuk
sebagai sarana untuk merundingkan kesepakatan mengenai perlindungan HaKI secara
internasional. Namun negara-negara maju beranggapan perlindungan HaKI dalam WIPO tidak
cukup kuat dibandingkan dengan WTO (World Trade Organization) di mana Dispute Settlement
Body (DSB) dalam WTO dinilai mampu menegakkan hukum perlindungan HaKI lebih ketat
dibandingkan dengan WIPO. Negara-negara maju ingin menempatkan HaKI dalam rejim
perdagangan bebas, seperti dalam WTO-TRIPs.
Perlindungan Hak Milik Intelektual (HMI) tertuang dalam TRIPS Agreement yang
dihasilkan dalam diskusi tentang General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) di
penghujung tahun 1993 yang memiliki tiga prinsip pokok. Pertama adalah menetapkan standar
minimum perlindungan dan penegakan HMI bagi negara-negara peserta penandatangan TRIPs
Agreement. Termasuk di dalamnya adalah hak cipta (dan hak terkait lainnya), merek, indikasi
geografis, disain industri, paten, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Poin yang penting
untuk diperhatikan ialah bahwa ini merupakan standar minimum. Tidak ada larangan bagi
negara-negara tersebut untuk menetapkan standar yang lebih tinggi.
Kedua ialah bahwa tiap-tiap negara harus saling melindungi HMI warga negara lain,
dengan memberikan mereka hak seperti yang tertuang dalam TRIPs Agreement. Prinsip ini
dikenal dengan prinsip “national treatment “.
Ketiga, negara peserta tidak boleh memberikan perlakuan yang lebih merugikan kepada
warga negara dari negara lain dibandingkan dengan perlakuan pada warga negara sendiri. Lebih
lanjut, prinsip “the most favoured nation” berlaku di sini, yang artinya bahwa hak apapun yang
diberikan kepada warga negara dari suatu negara, harus juga diberikan kepada warga negara dari
negara lain.
Sebagai akibatnya, TRIPS Agreement mensyaratkan negara peserta untuk melindungi
HMI yang pada dasarnya sama dengan yang diatur dalam Berne Convention, The Paris
Convention, The Rome Convention, dan The Washington IPIC Treaty (Treaty on Intellectual
Property in Respect of Integrated Circuits). Hasilnya adalah sebuah sistem perlindungan
internasional dengan berdasar pada prinsip non-diskriminasi dan didukung oleh basis minimum
perlindungan di 117 negara penandatangan.
Kesepakatan mengenai TRIPs yang mengatur perdagangan terkait HAKI ini pada
hakikatnya lebih didasari oleh paham individualisme barat dan proteksionisme teknologi yang
justru anti pasar bebas. Riset yang dilakukan oleh Bank Dunia sendiri menunjukkan bahwa
negeri berkembang pasti mengalami kerugian jika menerapkan peraturan WTO tentang properti
intelektual (yakni: paten dan hak cipta). Kerugian ini lebih besar daripada apa yang mungkin
mereka dapat raih dengan adanya akses pasar eksport ke negeri-negeri kaya. Dengan kata lain,
proteksionisme yang dipastikan oleh adanya perjanjian-perjanjian ini, baik dalam hal farmasi
maupun bidang lain, jauh lebih penting dari sudut pandang yang murni ekonomis ketimbang poin
tentang penghapusan hambatan dagang oleh negeri-negeri maju.
Kesepakatan TRIPs yang ada secara hukum hanya mengikat terhadap subyek perdata
yang adalah individu atau lembaga formal, dan tidak mengenal adanya pengakuan terhadap
pengetahuan atau subyek komunal.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa TRIPs memiliki potensi ancaman terhadap
timbulnya erosi keanekaragaman hayati, menegasikan kearifan tradisional masyarakat adat/lokal,
membuka peluang adanya penjarahan sumberdaya hayati dan konflik dengan peraturan
internasional yang lain, seperti Protokol Keselamatan Hayati. Bagian kontroversial terbesar
dalam kesepakatan TRIPs adalah menyangkut pasal Pematenan, Paten dan secara umum
kesepakatan TRIPs dinilai “bias kota” dimana aspirasi masyarakat kampung/desa (rural) yang
terkait dengan hak komunal kepemilikan lokal seperti pengetahuan, ketrampilan, tata nilai/norma
dalam konteks pelestarian keanekaan hayati, pelestarian lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan; tidak diakomodasi dalam kesepakatan tersebut.
Sebagai negara yang telah meratifikasi TRIPs melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO),
Indonesia memiliki keterikatan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan HMI yang terdapat
dalam TRIPs. Ratifikasi ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian. Langkah terpenting
yaitu dalam hal legislasi dan konvensi internasional dengan merevisi atau mengubah peraturan
perundang-undangan yang telah ada di bidang HMI dan mempersiapkan peraturan perundangundangan baru untuk bidang HMI juga mempersiapkan penyertaan Indonesia dalam konvensikonvensi internasional.
UU HaKI di Indonesia pun sangat dipengaruhi oleh kesepakatan internasional. Hal ini
dapat jelas terlihat dalam UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan UU No. 14 Tahun 2001
tentang Paten. UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara jelas menjadikan Undangundang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang
Hak Kekayaan Intelektual), atau TRIPs, sebagai konsideran.
Dengan begitu dapat dipastikan bahwa isi dari UU tersebut mengakomodasi kepentingan
WTO. Pasal 12 yang menyebutkan jenis-jenis ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: (a) buku, Program Komputer,
pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; (b)
ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; (c) alat peraga yang dibuat
untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; (d) lagu atau musik dengan atau tanpa
teks; (e). drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; (f) seni rupa
dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung,
kolase, dan seni terapan; (g) arsitektur; (h) peta; (i) seni batik; (j) fotografi; (k) sinematografi; (l)
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Dengan begitu maka teknologi tradisional dan aset budaya tradisional Indonesia menjadi salah
satu jenis produk objek paten. Apakah hal ini akan melindungi dari praktik pembajakan atau
justru sebaliknya ?
C. Praktik Perlindungan HaKI Tradisional di Indonesia
Ide pematenan memerlukan waktu yang panjang diterapkan di Indonesia; pertama karena
hukum nasional kita belum mendukung. Seperti belum ada yang mengakomodir apakah
sekelompok kekerabatan bisa memperoleh Hak Cipta dan Hak Paten atau tidak adanya
pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa
menjadi obyek Hak Cipta dan Hak Paten. Kedua, karena belum ada kesepakatan diantara aktivis
pro masyarakat adat mengenai HAKI ini. Para aktivis pro masyarakat adat masih ambigu apakah
perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau tidak. Pandangan bahwa HAKI
adalah bagian dari sisem kapitalis yang menegasikan prinsip religio magis yang banyak dianut
masyarakat adat, serta bersifat individual karena hanya memberi hak pada seseorang atau
sekelompok orang, bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan
kebersamaan. Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa
masyarakat adat. Ini yang melandasi penolakan di atas.
Namun begitu, beberapa langkah penting dalam perlindungan HaKI teknologi tradisional
telah diambil oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada tahun 2002, sebagai pilot
project kegiatan tersebut dilakukan inventarisasi karya pengetahuan tradisional yang ada di
masing-masing daerah. Data yang diperoleh melalui deskripsi-deskripsi tersebut nantinya secara
bertahap akan dimasukkan ke dalam data base untuk memudahkan kepemilikan suatu karya dan
produk pengetahuan teknologi tradisional masuk dalam perlindungan HaKI.
Perlindungan pengetahuan tradisional juga dilakukan Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi sejak 2004, dengan menginventarisasi dan mendokumentasi pengetahuan tradisional
diseluruh wilayah melalui Sentra HKI atau Unit Pengelola Kekayaan Intelektual. Saat ini telah
terinventarisasi 2.000 lebih pengetahuan tradisional yang terdiri dari beberapa kelompok yaitu
tanaman obat dan pengobatan, seni ukir dan pahat tradisional, seni tenunan tradisional, seni
arsitektur tradisional, pangan dan masakan tradisional, kelompok pemuliaan tanaman, bahan
pewarna alami, jenis-jenis kayu, dan pestisida nabati.
Langkah lain yang diambil oleh pemerintah menyikapi pengklaiman adalah dengan
membentuk tim pakar yang bertugas mengkaji kesenian tradisional. Langkah ini diambil dalam
kasus klaim lagu daerah rasa sayange dan Reog Ponorogo. Menurut Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata, Jero Wacik, pemerintah akan membentuk tim pakar untuk mengkaji dan memilah
kesenian tradisional milik Indonesia dan Malaysia sehingga tidak terjadi saling klaim terutama
yang termasuk kategori `grey area` seperti lagu-lagu yang sudah ada sejak dahulu, berkembang
di kedua negara itu namun tidak jelas penggubahnya. Kemiripan budaya dan kesenian antara
Indonesia dan Malaysia, menurut Menbudpar, sangat wajar karena banyak penduduk Malaysia
yang berasal dari Indonesia dan bermukim sejak lama. Meski demikian, kata Jero Wacik,
pemerintah tetap akan meningkatkan perlindungan terhadap seni dan budaya tradisional itu
sehingga tidak diklaim oleh negara lain.
Jadi, perlu disadari bahwa berbagai perundangan HaKI pada kenyataannya tidak dapat
melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge and genius. Beberapa
kasus di atas justru menjelaskan bahwa dengan adanya HaKI justru terjadi ”pembajakan” klaim
hak paten dari sebuah pengetahuan tradisional. Terlihat dari mulai banyak pihak di negaranegara berkembang yang berusaha keras menuduh, upaya individu atau perusahaan negara maju
yang mematenkan ”produk barunya” itu banyak yang berbasis pada pengetahuan tradisional dan
lokal yang berupa ”milik umum” komunitas lokal negara-negara berkembang itu. Negara-negara
maju dengan keras menghendaki agar pengetahuan tradisional, ekspresi budaya, dan sumber
daya genetik itu dibuka sebagai public property atau public domain, bukan sesuatu yang harus
dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum yang mengikat. Negara-negara berkembang,
justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen hukum internasional dapat diwujudkan karena
perlindungan hukum nasional kurang mencukupi.
D. Catatan Penutup
Upaya Perlindungan
Dari berbagai pertemuan WIPO telah dihasilkan beberapa perkembangan dalam hal
upaya global, untuk melindungi pengetahuan tradisional, ekspresi budaya folklore, dan sumber
daya genetik. Namun, untuk sampai kepada keputusan bersama di kalangan negara anggota
WIPO masih ada hambatan karena negara-negara maju menghendaki agar pengetahuan
tradisional, ekspresi budaya, dan sumber daya genetik itu dibuka sebagai public property atau
public domain, bukan sesuatu yang harus dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum
yang mengikat. Negara-negara berkembang, justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen
hukum internasional dapat diwujudkan karena perlindungan hukum nasional kurang mencukupi.
Selain negara-negara berkembang merasa prihatin karena pembahasan tersebut sudah dilakukan
sejak tahun 2001.
Dalam pertemuan itu negara-negara berkembang mengusulkan agar Intergovermental
Committee (IGC) melakukan pendekatan yang holistik dan inklusif agar ada solusi yang
konstruktif bagi semua. Sejalan dengan pandangan itu, Indonesia menegaskan kembali agar
semua delegasi dapat secara kreatif dan fleksibel menjajaki semua kemungkinan yang dapat
mendorong langkah maju IGC secara bertahap menuju pembentukan instrumet yang secara
hukum international mengikat.
Sebaliknya, Uni-Eropa dan beberapa negara Eropa lainnya, menegaskan bahwa
sebaiknya langkah IGC menuju pada pembentukan instrumen yang tidak mengikat ( nonbinding
instrument) melalui pendekatan bertahap dan mengusulkan agar revisi draft objective dan
principle pengetahuan tradisional, ekspresi budaya dan sumber daya genetik dalam bentuk
deklarasi atau rekomendasi alias soft law, saja.
Menurut Dadang Sukandar, pemerintah dapat memanfaatkan perundang-undangan HKI
untuk mengatur perlindungan pengetahuan tradisional. Hal ini karena ketentuan-ketentuan dalam
konsep HKI mengandung gagasan perlindungan pengetahuan tradisional seperti yang sering
dibicarakan WIPO atau CBD yang membahas sistem benefit sharing atas penggunaan sumbersumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.
Namun menurutnya, melindungi pengetahuan tradisional melalui konsep HKI juga
memiliki beberapa kelemahan-kelemahan. Pertama, HaKI menimbulakan perbenturan antara
sistem kepemilikan komunal dan individual; kedua, peraturan HKI mungkin hanya sesuai untuk
melindungi aspek ekonomis dari pengetahuan tradisional, namun kurang dapat melindungi aspek
spiritual dan cultural identity.
Dengan demikian, pemanfaatan konsep HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional
dapat dilakukan dengan beberapa cara alternatif berikut. Pertama, melakukan amandemen
peraturan-peraturan
HKI
yang
ada
saat
ini.
Kedua, pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem Sui Generis
atau mandiri di luar HKI. Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tapi juga
bernilai magis dan kultur. Hal itu yang membuat beberapa negara seperti Thailand, Filipina dan
Costa Rica memilih sistem Sui Generis untuk mengatur pengetahuan tradisional mereka
sehingga dapat memberikan perlindungan secara lebih komprehensif.
Ketiga, pendokumentasian dalam melindungi pengetahuan tradiosional. Hal ini penting
untuk menyelesaikan pertikaian seandainya ada klaim ganda atas suatu pengetahuan tradisional
tertentu. pendokumentasian ini merupakan suatu defensive protection system yang mengandung
dua aspek, hukum dan praktis. Secara hukum, dokumentasi pengetahuan tradisional merupakan
dokumen pembanding dari suatu penemuan. Apakah suatu invensi yang akan didaftarkan paten
memiliki unsur kebaruan (Novelty) yang merupakan syarat patent aplication? Untuk menjawab
ini, Pemeriksa Paten (Patent Examiner) dapat membandingkannya dengan data base tersebut.
Secara praktis, database nasional dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, pemerintah atau LSM
untuk melakukan oposisi paten. Apabila suatu invensi misalnya diklaim oleh pihak asing melalui
paten, database akan berguna sebagai literartur untuk melakukan penolakan terhadap paten yang
akan didaftarkan atau pembatalan paten yang telah didaftarkan. Namun syaratnya, perlu peran
aktif dari masyarakat dan pemerintah serta kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses
dokumen tersebut.
Keempat, mekanisme Benefit Sharing yang tepat antara masyarakat lokal dan pihak
asing. Karena Indonesia belum memiliki pengalaman mengembangkan mekanisme benefit
sharing semodel ini, Agus Sardjono menunjuk sistem yang dikembangkan dalam CBD. Dalam
CBD telah dibentuk suatu working group yang merumuskan draft guidelines on access and
benefit sharing. Langkah yang perlu diambil adalah pertama dengan membangun kemampuan
nasional (capacity building). Hal ini agar Indonesia sebagai pemilik kekayaan sumber daya
hayati dan pengetahuan tradisional siap dalam memanfaatkan sumber daya tersebut untuk pihak
asing. Kelima, dengan memberdayakan LSM sebagai representasi masyarakat lokal dengan
dukungan lembaga internasional semisal WIPO.
Selain melalui langkah-langkah legal di atas, terdapat upaya pematenan tanpa mematikan
budaya yaitu melalui kampanye kebudayaan. Langkah yang dapat diambil adalah dengan
memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia ke dunia internasional melalui berbagai macam
pagelaran, pameran dan promosi. Dengan dikenalnya produk budaya Indonesia di segala penjuru
dunia, berarti kita telah ”mematenkan”nya atas nama Indonesia. Allahu A’lam.
*****
Bacaan Pendamping
Buku
Bello, Walden, WTO : Menghamba Pada Negara Kaya , dalam laporan khusus International
Forum on Globalization, Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta:
Cindelaras, 2004.
Wibowo, Derajad H., Menjadi Pemenang Globalisasi, dalam pengantar Joseph E. Stiglitz,
Making Globalization Work (terj.), Bandung : Mizan, 2007.
Stiglitz, Joseph E., Making Globalization Work (terj.), Bandung : Mizan, 2007.
Khor, Martin, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, 2001, Yogyakarta: Cinderalas
Pustaka Rakyat Cerdas
Nugroho, Ganjar, Ketegangan antara Individualitas dan Sosialitas, dalam Mugasejati (ed),
Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, 2006, Yopgyakarta : Fisipol UGM
Rianto, Puji, Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi dan Krisis Demokrasi , dalam Mugasejati (ed),
Kritik Globalisasidan Neoliberalisme, 2006, Yogyakarta : Fisipol UGM
Web Site
Adimihardja, Kusnaka, HaKI Mengatasi ”Bio-Piracy Global” dalam http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2007/102007/04/cakra wala/lainnya04.htm
Gema, Ari Juliano, Stiglitz, Politik HKI Amerika Serikat dan Posisi Indonesia dalam
http://arijuliano.blogspot.com/2007/02/stiglitz-politik-hki-amerika-serikat.html
Heroepoetri, Arimbi, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan Masyarakat Adat: Prospek
dan tantangan, Jakarta, 1998
Setiawan, Bonnie, Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap Ekonomi Indonesia dan Kritiknya
dalam www.icrp.or.id
Sukandar, Dadang, Melindungi Pengetahuan Tradisional Sistem HKI vs Sistem Sui Generis
dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0606/23/ipt03.html
Weisbro, Mark, Proteksionisme Berkedok Perdagangan Bebas di WTO , dalam
www.focusweb.org
http://leapidea.com/presentation?id= 82
http://www.kompas.co.id/, diakses melalui
http://jibis.pnri.go.id/aktivitas/berita/thn/2007/bln/06/tgl/19/id/1049
http://www.ikastara.org/forums/archive/index.php/t-768.html
http://mapresiden.wordpress.com/2007/10/27/kesenian-tradisional-adalah-kekayaan-intelektualbangsa/
http://johnherf.wordpress.com/2007/07/16/melindungi-kekayaan-warisan-budaya-bangsa/
http://www.antara.co.id/arc/2007/11/23/ri-malaysia-capai-kesepahaman-atasi-isu-klaimbudaya/
http://www.ipcenter-ui.org/artikel.php?artikelid= 12
http://www.antara.co.id/arc/2007/11/24/pemerintah-bentuk-tim-kaji-seni-tradisional-indonesiamalaysia/
http://batikindonesia.info/2003/11/16/budpar-susun-perlindungan-haki-teknologi-tradisional/
http://www.elsppat.or,.id
Kompas, 25 April 2006
Indonesia dalam Perdagangan Bebas Dunia
Oleh Andri Tri Kuncoro, MA
(Widyaiswara Kemendagri Regional Bukittinggi)
A. Catatan Pembuka
Konsep HaKI pada dasarnya memberikan hak monopoli didasarkan atas kemampuan
individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Dengan begitu,
pemegang HaKI mendapatkan keuntungan ekonomi dari kekayaan intelektual yang dimilikinya.
Dengan begitu , sebenarnya HaKI lahir dalam masyarakat di mana hak kepemilikan dimiliki
oleh individu atau perusahaan. Dalam hal ini adalah masyarakat kapitalis Barat.
Pemberian hak monopoli ini, sering kali merugikan kepentingan umum dan tidak selalu
sama dengan wilayah lain utamanya bagi negara berkembang. Di Indonesia misalnya,
pengetahuan tradisional yang berkembang berorientasi kepada komunitas, bukan individu.
Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan
secara khusus pula.
Dengan perbedaan mendasar seperti di atas , maka penerapan HaKI secara taken from
granted akan banyak menimbulkan permasalahan setidaknya bagi negara-negara sedang
berkembang seperti Indonesia. Secara tradisional sesungguhnya masyarakat Indonesia tidak
memahami filosofi dasar HKI. Dalam penelitian yang dilakukan di beberapa suku di Sasak dan
Lombok (Sardjono: 2006, 119), ditemukan bahwa masyarakat adat ternyata tidak menganggap
pengetahuan tradisional yang mereka praktekan sebagai ”miliknya.” Mereka rela apabila ada
pihak lain yang menggunakan pengetahuan tersebut meskipun tanpa persetujuan terlebih dahulu
karena beranggapan bahwa semakin banyak digunakan maka semakin bermanfaat pula
pengetahuan itu. Dengan demikian, maka dengan sangat mudah produk-produk pengetahuan
tradisional mereka diklaim oleh pihak lain.
Kasus pengklaiman produk budaya Indonesia tidak hanya terjadi sekali, namun
berulangkali. Beberapa kasus di antaranya klaim desain ukir-ukiran kayu tradisional Bali di
USPTO dan desain industri kursi rotan oleh orang Amerika.
Makanan tradisional kita, tempe, juga menjadi korban klaim. Bonnie Setiawan mencatat ada 19
paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L
Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai
alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan
makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten
mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik
menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan
Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat
dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung,
dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Selain mengklaim tempe, Jepang juga sempat mematenkan beberapa jenis rempahrempah asli Indonesia, diantaranya kayu rapet (Parameria laevigata), kemukus (Piper cubeba),
tempuyung (Sonchus arvensis L), belantas (Pluchea indica L), mesoyi (Massoia aromatica
Becc), pule (Alstonia scholaris), pulowaras (Alycia reindwartii Bl), sintok (Cinnamomum sintoc
Bl), kayu legi, kelabet, lempuyang, remujung, dan brotowali adalah nama-nama tumbuhan dan
rempah Indonesia yang akan dipatenkan oleh perusahaan kosmetik Jepang Shiseido. Bahkan
diantaranya nama-nam tumbuhan tersebut ada yang sudah terdaftar pada paten Jepang. Atas
perjuangan beberapa LSM Indonesia pengajuan paten tanaman obat yang sudah berabad-abad
dipergunakan di Indonesia tersebut dibatalkan oleh pihak Shiseido.
Kasus klaim yang terakhir adalah klaim Malaysia terhadap lagu daerah Rasa Sayange dan
Reog Ponorogo yang terjadi pada November lalu. Berawal dari beredarnya kabar dari situs
internet milik Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia yang mengklaim
bahwa tarian Barongan yang mirip dengan kesenian reog Ponorogo tersebut adalah milik
Pemerintah Malaysia. Hal tersebut kemudian memancing protes keras dari sejumlah pihak di
Indonesia. Sedangkan pemerintah kabupaten Ponorogo telah mendaftarkan tarian reog Ponorogo
sebagai hak cipta milik Kabupaten Ponorogo yang tercatat dengan nomor 026377 tertanggal 11
Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan Perundang-Undangan.
Berbagai kasus klaim di atas sungguh ironis karena justru terjadi setelah perlindungan
HaKI diterapkan dalam perdagangan internasional. Dengan latar belakang inilah, tulisan ini
dimaksudkan untuk menjelaskan berbagai permasalahan seputar perlindungan HaKI bagi
pengetahuan tradisional Indonesia. Diawali dengan melacak pengaruh TRIPs terhadap
kemunculan rezim HaKI kemudian mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi dalam
perlindungan HaKI tradisional Indonesia dan diakhiri oleh rumusan langkah perlindungan yang
patut diambil sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an.
B. Beberapa Tinjauan Teori
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
Pemaknaan globalisasi di kalangan ilmuan dan teoritisi sebenarnya masih mengalami
kekaburan. Hal ini tidak lepas dari berbagai pandangan yang bertentangan dalam memahaminya.
Giddens misalnya, ia membagi pengkaji globalisasi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang
skeptis yang menganggap globalisasi tidak akan membawa perubahan apapun, dan yang kedua
kelompok kaum radikal yang menganggap globalisasi akan mewujudkan berkembangnya pasar
global. Tanpa mendefinisikan secara jelas, Giddens hanya mengingatkan bahwa globalisasi tidak
hanya sebagai persoalan ekonomi , tapi menyangkut juga persoalan politik, sosial dan budaya.
Meskipun mendapat kritik yang cukup tajam, tiga argumen dasar James Petras cukup layak
dikemukakan. Menurutnya tiga argumen dasar globalisasi itu adalah, pertama , kemajuan
teknologi atau sering disebut dengan revolusi informasi; kedua, permintaan pasar dunia; dan
ketiga , logika kapitalisme atau logic of capitalism.
Menurut Khor (2001), ciri terpenting dari proses globalisasi adalah ”globalisasi” dalam
kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional. Kebijakan yang semula di bawah
yuridiksi pemerintah bergeser menjadi di bawah pengaruh atau di proses badan-badan
internasional atau perusahaan swasta besar serta pelaku ekonomi/keuangan internasional.
Institusi internasional yang dimaksud Khor adalah Bank Dunia, IMF dan WTO. Institusi inilah
yang memasarkan neoliberalisme ke negara-negara berkembang.
Bello (2004) menyatakan bahwa WTO dan berbagai perjanjiannya tidak melayani
kepentingan negara-negara berkembang, tetapi kepentingan dunia industri maju, khususnya
Amerika Serikat. Adalah bukan kebutuhan masyarakat global yang melahirkan WTO pada 1995,
melainkan penilaian Amerika Serikat bahwa kepentingan berbagai korporasinya tidak lagi
terlayani oleh GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang sangat longgar dan lentur.
Itulah sebabnya mengapa Amerika Serikat membutuhkan kehadiran suatu badan yang sangat
kuat dan luas ruang lingkupnya semacam WTO.
Neoliberal yang dipasarkan WTO yang mengasumsikan bahwa globalisasi ekonomi akan
mendorong kemakmuran dan demokrasi, justru mendapatkan kritik tajam dari World Social
Forum (WSF). Menurut mereka, globalisasi justru menimbulkan persoalan serius dalam
pemerataan kesejahteraan dan demokrasi politik. Globalisasilah yang harus bertanggung jawab
terhadap meluasnya kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga, kehancuran lingkungan hidup,
menciptakan demokrasi poliarkhis dan kehancuran kapital sosial di banyak negara. Sebab,
globalisasi tidak ubahnya seperti sebuah olimpiade yang sama sekali tak seimbang. Dari sisi
kekuatan industri, teknologi, kemampuan sumber daya manusia dan keuanga, negara-negara
miskin di Asia, Afrika, dan Pasifik Selatan jelas kalah kelas sangat jauh dengan negara-negara
maju di belahan bumi utara.
Kritik ini diperkuat oleh temuan laporan UNCTAD (1999) yang menunjukkan bahwa
tidak ada korelasi otomatis antara liberalisasi perdagangan (sebagai konsekuensi dari globalisasi)
dan pertumbuhan. Maka Khor menyimpulkan, jika liberalisasi perdagangan dilaksanakan dengan
cara yang tidak tepat oleh negara-negara yang tidak siap atau mampu menguasai, atau yang
sedang menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menguntuingkan, maka hal tersebut dapat
mengarah pada lingkaran setan defisit perdagangan dan neraca pembayaran, instabilitas moneter,
hutang dan resesi.
Kekayaan Intelektual Tradisional
Menurut Stiglitz (2007), hak kekayaan intelektual memiliki perbedaan mendasar dengan
hak penguasaan lainnya. Jika rambu hak penguasaan lainnya adalah tidak memonopoli,
mengurangi efisiensi ekonomi, dan mengancam kesejahteraan masyarakat, maka hak kekayaan
intelektual pada dasarnya menciptakan monopoli. Kekuatan monopoli menciptakan persewaan
monopoli (laba yang berlebih), dan laba inilah yang seharusnya digunakan untuk melakukan
penelitian. Ketidak efisienan yang berkaitan dengan kekuatan monopoli dalam memanfaatkan
pengetahuan sangatlah penting, karena ilmu pengetahuan dalam ekonomi disebut komoditas
umum.
Di lain sisi, batasan dari kekayaan intelektual sulit ditetapkan, bahkan dalam menetapkan
yang akan dipatenkan. Salah satu sebabnya adalah kekaburan kriteria ”baru” dalam pematenan.
Oleh sebab itu semakin besar cakupan dari kekayaan intelektual (semakin banyak barang yang
dapat dipatenkan dan semakin luas jenis patennya), semakin besarlah manfaat yang didapat oleh
mereka yang mendapatkan hak paten—dan semakin besarlah lingkup monopoli.
Praktik monopoli terlebih dalam hal hak intelektual menjadi suatu yang asing dalam
masyarakat Indonesia yang memiliki kepemilikan bersama. Pemilikan bersama dapat hadir
dalam pasar secara terbatas. Orang-orang dengan hubungan kekerabatan dekat, seperti keluarga
batih, mungkin untuk secara bersama mengatasnamakan hak pemilikin atas suatu benda. Tidak
selalu disahkan menurut hukum, melainkan atas dasar konvensi. Dengan sepengetahuan yang
lain, maing-masing anggota boleh memanfaatkan guna-benda untuk keperluan pribadi atau
bersama. Hal ini dimungkinkan selain akibat anggotanya percaya dan menhormati kebersamaan
yang termaknakan pada benda, juga karena di sini kedekatan hubungan pada umumnya
merupakan jaminan.
C. Melacak Kemunculan Rezim HaKI di Indonesia
Ide awal penerapan HaKI sebenarnya berasal dari Amerika Serikat (AS) yang merasa
sangat
dirugikan oleh praktik pembajakan.
”Komisi perdagangan Internasional AS
memperkirakan bahwa akibat perlindungan HaKI yang tidak optimal di seluruh dunia, industri
AS dirugikan sekitar 23,8 miliar dolar AS” (Jhamtani dan Lutfiyah Hanis, 2002:8). Pada
perundingan multilateral General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), atas desakan
perusahaan-perusahaan farmasi di AS, pemerintah AS bersikeras agar perlindungan HKI
diterapkan seketat mungkin. Perusahaan-perusahaan farmasi itu percaya bahwa makin ketat
perlindungan HKI atas produk mereka, makin tinggi laba mereka, yang pada gilirannya akan
memberikan pemasukan yang tinggi pula bagi pemerintah AS.
Alasan inilah yang membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk WIPO (
World Intellectual Property Organizaton) berkedudukan di Jenewa Swiss. WIPO dibentuk
sebagai sarana untuk merundingkan kesepakatan mengenai perlindungan HaKI secara
internasional. Namun negara-negara maju beranggapan perlindungan HaKI dalam WIPO tidak
cukup kuat dibandingkan dengan WTO (World Trade Organization) di mana Dispute Settlement
Body (DSB) dalam WTO dinilai mampu menegakkan hukum perlindungan HaKI lebih ketat
dibandingkan dengan WIPO. Negara-negara maju ingin menempatkan HaKI dalam rejim
perdagangan bebas, seperti dalam WTO-TRIPs.
Perlindungan Hak Milik Intelektual (HMI) tertuang dalam TRIPS Agreement yang
dihasilkan dalam diskusi tentang General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) di
penghujung tahun 1993 yang memiliki tiga prinsip pokok. Pertama adalah menetapkan standar
minimum perlindungan dan penegakan HMI bagi negara-negara peserta penandatangan TRIPs
Agreement. Termasuk di dalamnya adalah hak cipta (dan hak terkait lainnya), merek, indikasi
geografis, disain industri, paten, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Poin yang penting
untuk diperhatikan ialah bahwa ini merupakan standar minimum. Tidak ada larangan bagi
negara-negara tersebut untuk menetapkan standar yang lebih tinggi.
Kedua ialah bahwa tiap-tiap negara harus saling melindungi HMI warga negara lain,
dengan memberikan mereka hak seperti yang tertuang dalam TRIPs Agreement. Prinsip ini
dikenal dengan prinsip “national treatment “.
Ketiga, negara peserta tidak boleh memberikan perlakuan yang lebih merugikan kepada
warga negara dari negara lain dibandingkan dengan perlakuan pada warga negara sendiri. Lebih
lanjut, prinsip “the most favoured nation” berlaku di sini, yang artinya bahwa hak apapun yang
diberikan kepada warga negara dari suatu negara, harus juga diberikan kepada warga negara dari
negara lain.
Sebagai akibatnya, TRIPS Agreement mensyaratkan negara peserta untuk melindungi
HMI yang pada dasarnya sama dengan yang diatur dalam Berne Convention, The Paris
Convention, The Rome Convention, dan The Washington IPIC Treaty (Treaty on Intellectual
Property in Respect of Integrated Circuits). Hasilnya adalah sebuah sistem perlindungan
internasional dengan berdasar pada prinsip non-diskriminasi dan didukung oleh basis minimum
perlindungan di 117 negara penandatangan.
Kesepakatan mengenai TRIPs yang mengatur perdagangan terkait HAKI ini pada
hakikatnya lebih didasari oleh paham individualisme barat dan proteksionisme teknologi yang
justru anti pasar bebas. Riset yang dilakukan oleh Bank Dunia sendiri menunjukkan bahwa
negeri berkembang pasti mengalami kerugian jika menerapkan peraturan WTO tentang properti
intelektual (yakni: paten dan hak cipta). Kerugian ini lebih besar daripada apa yang mungkin
mereka dapat raih dengan adanya akses pasar eksport ke negeri-negeri kaya. Dengan kata lain,
proteksionisme yang dipastikan oleh adanya perjanjian-perjanjian ini, baik dalam hal farmasi
maupun bidang lain, jauh lebih penting dari sudut pandang yang murni ekonomis ketimbang poin
tentang penghapusan hambatan dagang oleh negeri-negeri maju.
Kesepakatan TRIPs yang ada secara hukum hanya mengikat terhadap subyek perdata
yang adalah individu atau lembaga formal, dan tidak mengenal adanya pengakuan terhadap
pengetahuan atau subyek komunal.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa TRIPs memiliki potensi ancaman terhadap
timbulnya erosi keanekaragaman hayati, menegasikan kearifan tradisional masyarakat adat/lokal,
membuka peluang adanya penjarahan sumberdaya hayati dan konflik dengan peraturan
internasional yang lain, seperti Protokol Keselamatan Hayati. Bagian kontroversial terbesar
dalam kesepakatan TRIPs adalah menyangkut pasal Pematenan, Paten dan secara umum
kesepakatan TRIPs dinilai “bias kota” dimana aspirasi masyarakat kampung/desa (rural) yang
terkait dengan hak komunal kepemilikan lokal seperti pengetahuan, ketrampilan, tata nilai/norma
dalam konteks pelestarian keanekaan hayati, pelestarian lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan; tidak diakomodasi dalam kesepakatan tersebut.
Sebagai negara yang telah meratifikasi TRIPs melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO),
Indonesia memiliki keterikatan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan HMI yang terdapat
dalam TRIPs. Ratifikasi ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian. Langkah terpenting
yaitu dalam hal legislasi dan konvensi internasional dengan merevisi atau mengubah peraturan
perundang-undangan yang telah ada di bidang HMI dan mempersiapkan peraturan perundangundangan baru untuk bidang HMI juga mempersiapkan penyertaan Indonesia dalam konvensikonvensi internasional.
UU HaKI di Indonesia pun sangat dipengaruhi oleh kesepakatan internasional. Hal ini
dapat jelas terlihat dalam UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan UU No. 14 Tahun 2001
tentang Paten. UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara jelas menjadikan Undangundang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang
Hak Kekayaan Intelektual), atau TRIPs, sebagai konsideran.
Dengan begitu dapat dipastikan bahwa isi dari UU tersebut mengakomodasi kepentingan
WTO. Pasal 12 yang menyebutkan jenis-jenis ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: (a) buku, Program Komputer,
pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; (b)
ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; (c) alat peraga yang dibuat
untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; (d) lagu atau musik dengan atau tanpa
teks; (e). drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; (f) seni rupa
dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung,
kolase, dan seni terapan; (g) arsitektur; (h) peta; (i) seni batik; (j) fotografi; (k) sinematografi; (l)
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Dengan begitu maka teknologi tradisional dan aset budaya tradisional Indonesia menjadi salah
satu jenis produk objek paten. Apakah hal ini akan melindungi dari praktik pembajakan atau
justru sebaliknya ?
C. Praktik Perlindungan HaKI Tradisional di Indonesia
Ide pematenan memerlukan waktu yang panjang diterapkan di Indonesia; pertama karena
hukum nasional kita belum mendukung. Seperti belum ada yang mengakomodir apakah
sekelompok kekerabatan bisa memperoleh Hak Cipta dan Hak Paten atau tidak adanya
pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa
menjadi obyek Hak Cipta dan Hak Paten. Kedua, karena belum ada kesepakatan diantara aktivis
pro masyarakat adat mengenai HAKI ini. Para aktivis pro masyarakat adat masih ambigu apakah
perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau tidak. Pandangan bahwa HAKI
adalah bagian dari sisem kapitalis yang menegasikan prinsip religio magis yang banyak dianut
masyarakat adat, serta bersifat individual karena hanya memberi hak pada seseorang atau
sekelompok orang, bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan
kebersamaan. Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa
masyarakat adat. Ini yang melandasi penolakan di atas.
Namun begitu, beberapa langkah penting dalam perlindungan HaKI teknologi tradisional
telah diambil oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada tahun 2002, sebagai pilot
project kegiatan tersebut dilakukan inventarisasi karya pengetahuan tradisional yang ada di
masing-masing daerah. Data yang diperoleh melalui deskripsi-deskripsi tersebut nantinya secara
bertahap akan dimasukkan ke dalam data base untuk memudahkan kepemilikan suatu karya dan
produk pengetahuan teknologi tradisional masuk dalam perlindungan HaKI.
Perlindungan pengetahuan tradisional juga dilakukan Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi sejak 2004, dengan menginventarisasi dan mendokumentasi pengetahuan tradisional
diseluruh wilayah melalui Sentra HKI atau Unit Pengelola Kekayaan Intelektual. Saat ini telah
terinventarisasi 2.000 lebih pengetahuan tradisional yang terdiri dari beberapa kelompok yaitu
tanaman obat dan pengobatan, seni ukir dan pahat tradisional, seni tenunan tradisional, seni
arsitektur tradisional, pangan dan masakan tradisional, kelompok pemuliaan tanaman, bahan
pewarna alami, jenis-jenis kayu, dan pestisida nabati.
Langkah lain yang diambil oleh pemerintah menyikapi pengklaiman adalah dengan
membentuk tim pakar yang bertugas mengkaji kesenian tradisional. Langkah ini diambil dalam
kasus klaim lagu daerah rasa sayange dan Reog Ponorogo. Menurut Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata, Jero Wacik, pemerintah akan membentuk tim pakar untuk mengkaji dan memilah
kesenian tradisional milik Indonesia dan Malaysia sehingga tidak terjadi saling klaim terutama
yang termasuk kategori `grey area` seperti lagu-lagu yang sudah ada sejak dahulu, berkembang
di kedua negara itu namun tidak jelas penggubahnya. Kemiripan budaya dan kesenian antara
Indonesia dan Malaysia, menurut Menbudpar, sangat wajar karena banyak penduduk Malaysia
yang berasal dari Indonesia dan bermukim sejak lama. Meski demikian, kata Jero Wacik,
pemerintah tetap akan meningkatkan perlindungan terhadap seni dan budaya tradisional itu
sehingga tidak diklaim oleh negara lain.
Jadi, perlu disadari bahwa berbagai perundangan HaKI pada kenyataannya tidak dapat
melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge and genius. Beberapa
kasus di atas justru menjelaskan bahwa dengan adanya HaKI justru terjadi ”pembajakan” klaim
hak paten dari sebuah pengetahuan tradisional. Terlihat dari mulai banyak pihak di negaranegara berkembang yang berusaha keras menuduh, upaya individu atau perusahaan negara maju
yang mematenkan ”produk barunya” itu banyak yang berbasis pada pengetahuan tradisional dan
lokal yang berupa ”milik umum” komunitas lokal negara-negara berkembang itu. Negara-negara
maju dengan keras menghendaki agar pengetahuan tradisional, ekspresi budaya, dan sumber
daya genetik itu dibuka sebagai public property atau public domain, bukan sesuatu yang harus
dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum yang mengikat. Negara-negara berkembang,
justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen hukum internasional dapat diwujudkan karena
perlindungan hukum nasional kurang mencukupi.
D. Catatan Penutup
Upaya Perlindungan
Dari berbagai pertemuan WIPO telah dihasilkan beberapa perkembangan dalam hal
upaya global, untuk melindungi pengetahuan tradisional, ekspresi budaya folklore, dan sumber
daya genetik. Namun, untuk sampai kepada keputusan bersama di kalangan negara anggota
WIPO masih ada hambatan karena negara-negara maju menghendaki agar pengetahuan
tradisional, ekspresi budaya, dan sumber daya genetik itu dibuka sebagai public property atau
public domain, bukan sesuatu yang harus dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum
yang mengikat. Negara-negara berkembang, justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen
hukum internasional dapat diwujudkan karena perlindungan hukum nasional kurang mencukupi.
Selain negara-negara berkembang merasa prihatin karena pembahasan tersebut sudah dilakukan
sejak tahun 2001.
Dalam pertemuan itu negara-negara berkembang mengusulkan agar Intergovermental
Committee (IGC) melakukan pendekatan yang holistik dan inklusif agar ada solusi yang
konstruktif bagi semua. Sejalan dengan pandangan itu, Indonesia menegaskan kembali agar
semua delegasi dapat secara kreatif dan fleksibel menjajaki semua kemungkinan yang dapat
mendorong langkah maju IGC secara bertahap menuju pembentukan instrumet yang secara
hukum international mengikat.
Sebaliknya, Uni-Eropa dan beberapa negara Eropa lainnya, menegaskan bahwa
sebaiknya langkah IGC menuju pada pembentukan instrumen yang tidak mengikat ( nonbinding
instrument) melalui pendekatan bertahap dan mengusulkan agar revisi draft objective dan
principle pengetahuan tradisional, ekspresi budaya dan sumber daya genetik dalam bentuk
deklarasi atau rekomendasi alias soft law, saja.
Menurut Dadang Sukandar, pemerintah dapat memanfaatkan perundang-undangan HKI
untuk mengatur perlindungan pengetahuan tradisional. Hal ini karena ketentuan-ketentuan dalam
konsep HKI mengandung gagasan perlindungan pengetahuan tradisional seperti yang sering
dibicarakan WIPO atau CBD yang membahas sistem benefit sharing atas penggunaan sumbersumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.
Namun menurutnya, melindungi pengetahuan tradisional melalui konsep HKI juga
memiliki beberapa kelemahan-kelemahan. Pertama, HaKI menimbulakan perbenturan antara
sistem kepemilikan komunal dan individual; kedua, peraturan HKI mungkin hanya sesuai untuk
melindungi aspek ekonomis dari pengetahuan tradisional, namun kurang dapat melindungi aspek
spiritual dan cultural identity.
Dengan demikian, pemanfaatan konsep HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional
dapat dilakukan dengan beberapa cara alternatif berikut. Pertama, melakukan amandemen
peraturan-peraturan
HKI
yang
ada
saat
ini.
Kedua, pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem Sui Generis
atau mandiri di luar HKI. Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tapi juga
bernilai magis dan kultur. Hal itu yang membuat beberapa negara seperti Thailand, Filipina dan
Costa Rica memilih sistem Sui Generis untuk mengatur pengetahuan tradisional mereka
sehingga dapat memberikan perlindungan secara lebih komprehensif.
Ketiga, pendokumentasian dalam melindungi pengetahuan tradiosional. Hal ini penting
untuk menyelesaikan pertikaian seandainya ada klaim ganda atas suatu pengetahuan tradisional
tertentu. pendokumentasian ini merupakan suatu defensive protection system yang mengandung
dua aspek, hukum dan praktis. Secara hukum, dokumentasi pengetahuan tradisional merupakan
dokumen pembanding dari suatu penemuan. Apakah suatu invensi yang akan didaftarkan paten
memiliki unsur kebaruan (Novelty) yang merupakan syarat patent aplication? Untuk menjawab
ini, Pemeriksa Paten (Patent Examiner) dapat membandingkannya dengan data base tersebut.
Secara praktis, database nasional dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, pemerintah atau LSM
untuk melakukan oposisi paten. Apabila suatu invensi misalnya diklaim oleh pihak asing melalui
paten, database akan berguna sebagai literartur untuk melakukan penolakan terhadap paten yang
akan didaftarkan atau pembatalan paten yang telah didaftarkan. Namun syaratnya, perlu peran
aktif dari masyarakat dan pemerintah serta kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses
dokumen tersebut.
Keempat, mekanisme Benefit Sharing yang tepat antara masyarakat lokal dan pihak
asing. Karena Indonesia belum memiliki pengalaman mengembangkan mekanisme benefit
sharing semodel ini, Agus Sardjono menunjuk sistem yang dikembangkan dalam CBD. Dalam
CBD telah dibentuk suatu working group yang merumuskan draft guidelines on access and
benefit sharing. Langkah yang perlu diambil adalah pertama dengan membangun kemampuan
nasional (capacity building). Hal ini agar Indonesia sebagai pemilik kekayaan sumber daya
hayati dan pengetahuan tradisional siap dalam memanfaatkan sumber daya tersebut untuk pihak
asing. Kelima, dengan memberdayakan LSM sebagai representasi masyarakat lokal dengan
dukungan lembaga internasional semisal WIPO.
Selain melalui langkah-langkah legal di atas, terdapat upaya pematenan tanpa mematikan
budaya yaitu melalui kampanye kebudayaan. Langkah yang dapat diambil adalah dengan
memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia ke dunia internasional melalui berbagai macam
pagelaran, pameran dan promosi. Dengan dikenalnya produk budaya Indonesia di segala penjuru
dunia, berarti kita telah ”mematenkan”nya atas nama Indonesia. Allahu A’lam.
*****
Bacaan Pendamping
Buku
Bello, Walden, WTO : Menghamba Pada Negara Kaya , dalam laporan khusus International
Forum on Globalization, Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta:
Cindelaras, 2004.
Wibowo, Derajad H., Menjadi Pemenang Globalisasi, dalam pengantar Joseph E. Stiglitz,
Making Globalization Work (terj.), Bandung : Mizan, 2007.
Stiglitz, Joseph E., Making Globalization Work (terj.), Bandung : Mizan, 2007.
Khor, Martin, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, 2001, Yogyakarta: Cinderalas
Pustaka Rakyat Cerdas
Nugroho, Ganjar, Ketegangan antara Individualitas dan Sosialitas, dalam Mugasejati (ed),
Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, 2006, Yopgyakarta : Fisipol UGM
Rianto, Puji, Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi dan Krisis Demokrasi , dalam Mugasejati (ed),
Kritik Globalisasidan Neoliberalisme, 2006, Yogyakarta : Fisipol UGM
Web Site
Adimihardja, Kusnaka, HaKI Mengatasi ”Bio-Piracy Global” dalam http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2007/102007/04/cakra wala/lainnya04.htm
Gema, Ari Juliano, Stiglitz, Politik HKI Amerika Serikat dan Posisi Indonesia dalam
http://arijuliano.blogspot.com/2007/02/stiglitz-politik-hki-amerika-serikat.html
Heroepoetri, Arimbi, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan Masyarakat Adat: Prospek
dan tantangan, Jakarta, 1998
Setiawan, Bonnie, Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap Ekonomi Indonesia dan Kritiknya
dalam www.icrp.or.id
Sukandar, Dadang, Melindungi Pengetahuan Tradisional Sistem HKI vs Sistem Sui Generis
dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0606/23/ipt03.html
Weisbro, Mark, Proteksionisme Berkedok Perdagangan Bebas di WTO , dalam
www.focusweb.org
http://leapidea.com/presentation?id= 82
http://www.kompas.co.id/, diakses melalui
http://jibis.pnri.go.id/aktivitas/berita/thn/2007/bln/06/tgl/19/id/1049
http://www.ikastara.org/forums/archive/index.php/t-768.html
http://mapresiden.wordpress.com/2007/10/27/kesenian-tradisional-adalah-kekayaan-intelektualbangsa/
http://johnherf.wordpress.com/2007/07/16/melindungi-kekayaan-warisan-budaya-bangsa/
http://www.antara.co.id/arc/2007/11/23/ri-malaysia-capai-kesepahaman-atasi-isu-klaimbudaya/
http://www.ipcenter-ui.org/artikel.php?artikelid= 12
http://www.antara.co.id/arc/2007/11/24/pemerintah-bentuk-tim-kaji-seni-tradisional-indonesiamalaysia/
http://batikindonesia.info/2003/11/16/budpar-susun-perlindungan-haki-teknologi-tradisional/
http://www.elsppat.or,.id
Kompas, 25 April 2006