Indonesia Mau Impor Beras Lagi (1)

INDONESIA MAU IMPOR BERAS LAGI? *)
Oleh
Edi, STP, M.Si **)
Beras merupakan pangan pokok strategis bagi masyarakat yang tidak tergantikan
dengan pangan lain khususnya di Asia. Negara penghasil utama beras di Asia adalah Thailand,
Vietnam, India, Pakistan, Indonesia dan China. Beberapa diantaranya menjadi eksportir utama
beras dunia, seperti Thailand, Vietnam, dan India. Permasalahan perberasan di negara-negara
Asia seringkali menimbulkan goncangan dan instabilitas, sehingga lahir berbagai kebijakan
pemerintah dalam rangka melindungi petani produsen dan konsumen. Beras mempunyai peran
strategis dalam pemantapan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan/stabilitas
politik nasional. Sudah cukup banyak pengalaman jatuhnya rezim pemerintahan diberbagai
negara, misalnya di dalam negeri, terjadi kejatuhan rezim pemerintahan Soekarno tahun 1966
dan rezim Soeharto tahun 1998, demikian juga di negara lain, misalnya di negara-negara
semenanjuang Arabia. Kejatuhan rezim dari berbagai negara ini memberikan gambaran bahwa
pangan khususnya beras menjadi sangat strategis dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Perdagangan beras dunia beberapa tahun terakhir semakin dinamis, permintaan dari
Iran, Irak, Uni Eropa (UE). Kecenderungan negara-negara eksportir beras kedepan lebih
mengutamakan kepentingan beras dalam negerinya, baru kemudian sisanya diekspor. Kondisi
demikian menyebabkan terjadinya perdagangan pangan yang tidak fair (Unfair Food Trade)
karena luas lahan pertanian semakin berkurang, sementara kebutuhan beras semakin
meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Menyetir pernyataan Prof. Bustanul Arifin

“Apakah jebakan Thomas Malthus berupa kondisi kekurangan pangan dan bahkan kepunahan
manusia akan menjadi kenyataan jika manusia tidak mampu menggunakan mengembangkan
tekonologi pangan dan pertanian ke depan benar-benar akan terbukti?”.
Kebijakan Perberasan
Kebijakan perberasan atau harga pembelian pemerintah (HPP) bertujuan untuk
melindungi petani produsen dari jatuhnya harga gabah dan beras, sehingga pendapatan mereka
layak. Lebih lanjut, kebijakan HPP diharapkan dapat menjadi insentif bagi petani untuk tetap
memproduksi bahan pangan (khususnya beras) dalam mendukung terwujudnya ketahanan
pangan nasional melalui penggunaan benih padi unggul bersertifikat, pemupukan anorganik
dan organik secara berimbang, dan penerapan teknologi. HPP gabah yang ditetapkan
pemerintah semacam harga minimum (floor price) yang berfungsi sebagai referensi harga
(price reference) bagi petani dan pedagang dalam melakukan transaksi jual dan beli gabah.
Sejarah panjang kebijakan perberasan harus diakui bahwa sedikit banyak berdampak
terhadap perekonomian nasional. Periode sebelum krisis (1970-1996), pemerintah
mengimplementasikan beberapa kebijakan, diantaranya: harga dasar gabah (HDG), subsidi
benih, subsidi pupuk, subsidi kredit usaha tani padi, manajemen stok dan monopoli impor oleh
bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk pengadaan gabah oleh
1
*) Artikel ini Telah dimuat di kolom Opini Harian Waspada.co.id pada tanggal 1 Juni 2015


Bulog, operasi pasar beras dan tarif impor beras. Periode krisis (1997-1999), pemerintah
menerapkan kebijakan transisi yaitu menghapus semua kebijakan kecuali kebijakan harga
dasar gabah dan melakukan liberalisasi impor beras dengan mencabut monopoli impor pangan
oleh Bulog dan menetapkan tarif bea masuk beras sebesar nol persen. Periode pasca krisis
(2000-2004), pemerintah kembali menerapkan kebijakan harga dasar pembelian gabah oleh
pemerintah (HDPP) yang secara filosofis seluruh surplus gabah dan beras petani harus dibeli
oleh pemerintah. Periode (2005-sekarang), pemerintah mengganti kebijakan harga dasar
menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) semacam harga referensi.
Kebijakan lain yang masih berlaku sampai sekarang adalah kebijakan tarif impor sejak
bulan Januari 2000, pemerintah menetapkan tarif impor beras sebesar Rp 430/kg atau setara
dengan 30 persen ad valorem. Kontrol ketat terhadap impor harus melalui jalur merah guna
mencegah penyelundupan. Selanjutnya, bulan Januari 2007-November 2007 tarif impor beras
dinaikkan menjadi Rp 550/kg. Pengenaan tarif impor yang tinggi ternyata tidak efektif juga
dalam mengatasi penyeludupan beras, terutama di daerah-daerah perbatasan sehingga
diturunkan kembali berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007 per 7
Januari 2004 sampai saat ini menjadi Rp 450/kg.
Pro Kontra Impor Beras
Mengutip analisis Aurelia Britsch (Reuter, 21/5/2015), analis komoditas senior di BMI
Research Singapore Kebijakan pangan Indonesia sangat tidak rasional, saat ini harga beras
internasional cenderung turun, tetapi pada saat yang sama harga beras di Indonesia naik dan

stok beras Indonesia tidak juga ditingkatkan". Selanjutnya, menurut prediksi BMI Research
impor beras Indonesia 1,3-1,6 juta ton, Rabobank 1,5 juta ton, Barclays 1,0-1,5 juta ton dan
The International Grains Council (IGC) 1,3 juta ton.
Apa sebenarnya yang terjadi ditengah-tengah upaya pemerintah dalam mencapai
swasembada beras, muncul hembusan informasi bahwa Indonesia akan melakukan impor
beras. Pro kontra impor beras setiap rezim pemerintahan tetap akan terjadi adanya
kekhawatiran terjadi defisit karena kekurangan supply. Kebijakan impor beras bertujuan untuk
mengatasi adanya kekurangan produksi domestik, pemupukan cadangan beras pemerintah dan
stok pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Raskin dalam kondisi tidak terpenuhi dari
produksi domestik, hal ini kontra produktif dengan upaya pemerintah saat ini dalam mencapai
swasembada beras melalui Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Padi, Jagung dan Kedelai.
Dalam banyak kasus khususnya beras masih banyak perdebatan mengenai dampak impor
terhadap tingkat kesejahteraan petani. Kelompok yang pro mengatakan bahwa kebijakan
impor pada dasarnya justru untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan pertanian.
Sebaliknya, kelompok yang menentang adanya kebijakan impor mengatakan bahwa impor
pangan di negara berkembang yang menjadikan pertanian sebagai basis ekonomi sering
dirugikan atau impor memberikan keuntungan kepada konsumen, namun merugikan petani
2
*) Artikel ini Telah dimuat di kolom Opini Harian Waspada.co.id pada tanggal 1 Juni 2015


produsen. Dengan demikian, dampak impor memiliki dua sisi yang kontra produktif, disatu
sisi menguntungkan konsumen dan disisi lain merugikan petani produsen.
Beberapa alasan mengapa banyak kepentingan dalam impor beras, diantaranya adalah:
a) Potensi ekonomi sangat tinggi karena keunggulan demografi (penduduk) Indonesia sebesar
255 juta perut yang harus diisi, sehingga peluang ini mengundang banyak kelompok untuk
mendapatkan rente yang begitu besar, b) Konsumsi 124,89 kg per kapita/tahun atau lebih dua
kali lipat dari konsumsi beras negara-negara OECD 60 kg per kapita/tahun, dan c) Beras
merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia yang tak tergantikan oleh
pangan lain.
Selain itu, dinamika harga beras di Indonesia dalam 5 tahun terakhir sangat
membingungkan, ditengah-tengah harga beras dunia turun 25 persen, pada saat yang sama
harga beras domestik naik 52 persen, dan bayangan El Nino menurut sebagian ahli
memperkirakan ancaman kekeringan tidak akan sampai ke Indonesia dan tidak akan
mempengaruhi standing crop padi di Indonesia. Hal ini menjadi alasan berbagai kalangan
yang menyarankan pemerintah untuk memperkuat cadangan dan stok berasnya, baik melalui
pengadaan dalam negeri atau dari impor.
Impor Beras, Perlukah?
Ditengah upaya pemerintah untuk mencapai swasembada beras, berhembus kabar
bahwa Indonesia akan melakukan impor beras dengan jumlah yang cukup fantastis sekitar 2
juta ton, jumlah impor beras sebesar ini tentu tidak sedikit dan apabila dikonversikan dengan

nilai rupiah maka hilanglah peluang pendapatan petani kita setidak-tidaknya 14,6 Trilyun
(HPP beras Rp 7.300 per kg), apalagi dalam berbagai kesempatan pemerintah menyampaikan
bahwa prognosis ketersediaan beras tahun 2015 mencapai 41 juta ton, kebutuhan beras 32
juta ton, sehingga surplus 9 juta ton. Sementara itu, sampai bulan Mei 2015 surplus beras telah
mencapai 8,8 juta ton, bahkan menurut Bulog pada akhir Mei 2015 pengadaan akan
melampaui 1,0 juta ton. Sedangkan cadangan beras pemerintah aman apabila stok beras Bulog
1,5-2,0 juta ton. Untuk mencapai sebesar stok ini, Bulog harus lebih proaktif dan agresif
dalam pengadaan gabah dan beras dalam negeri, apalagi musim panen raya akan terjadi pada
akhir bulan Mei-Juli tahun ini.
Regulasi pemerintah melalui Inpres No. 5 Tahun 2015 telah mengamanatkan kepada
Bulog sebagai operator bahwa Harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP)
di tingkat petani Rp 3.700 per kg, gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp 4.600
per kg di penggilingan dan harga beras Rp 7.300 per kg di penggilingan. Tidak hanya itu, juga
ditetapkan Permentan No. 21/ PERMENTAN/ PP.200/4/2015 tentang Pedoman Harga
Pembelian Gabah dan Beras di Luar Kualitas (GLK). Jadi, tidak ada sebenarnya alasan yang
mendasar Bulog tidak bisa menyerap gabah dan beras petani, mengingat saat panen raya harga
gabah dan beras di lapangan banyak yang berada dibawah HPP.
3
*) Artikel ini Telah dimuat di kolom Opini Harian Waspada.co.id pada tanggal 1 Juni 2015


Terlalu mudah bagi kita untuk menyimpulkan diperlukan impor beras untuk menutupi
defisit produksi domestik. Barangkali kita lupa bahwa alam negeri ini dianugerahi kekayaan
hayati sumber karbohidrat yang tidak terbatas dan sangat beragam dari ujung barat sampai
ujung timur Indonesia. Janganlah bangsa ini menjadi bangsa yang durhaka kepada alam
karena tidak menghargai sumberdaya pangan lokal yang melimpah ruah, kiranya kita harus
selalu ingat lirik lagu Koes Plus “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu
jadi tanaman”.
Sebaiknya pemerintah tidak terburu-buru mengambil kebijakan untuk melakukan
impor beras karena akan membuat petani kita semakin terpuruk. Saat ini momentum terbaik
untuk perbaikan menyeluruh tata niaga pangan kita dan meminjam kata mantan Presiden
Habiebie “Mari Kita Kembalikan Jam Kerja Bangsa ” supaya bangsa ini tidak terus-menerus
memberikan subsidi kepada petani asing.
**) Alumnus FP dan PWD USU Bekerja di Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian

4
*) Artikel ini Telah dimuat di kolom Opini Harian Waspada.co.id pada tanggal 1 Juni 2015

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1