Mencari dan menemukan hukum di Indonesia
Mencari dan menemukan hukum di Indonesia
Tristam P. Moeliono
Tulisan ini secara ringkas akan menggambarkan persoalan kegiatan mencari dan menemukan hukum di
Indonesia dan mengidentifikasi sejumlah hambatan yang muncul berkaitan dengannya. Titik tolak
tulisan ini adalah kesadaran bahwa upaya menemukan hukum pada prinsipnya bukan kegiatan yang
melulu ilmiah dan hanya dapat dan harus dilakukan akademisi atau praktisi hukum. Persoalannya di sini
bukanlah ikhtiar menemukan dan mengungkap kebenaran ilmiah (dalam bidang kajian ilmu hukum)
dengan metoda yuridis normatif atau bukan yuridis normatif.
Dengan kata lain, persoalan ini tidak boleh dan lagipula mungkin didominasi akademisi hukum apalagi
filsuf hukum. Satu dan lain karena urusan mencari dan menemukan hukum adalah urusan kita semua
dan tidak melulu teoretis namun sangat praktikal. Semua orang, bahkan anak kecil, dapat segera
merasakan ketidakadilan yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari dan ketika menghadapi
ketidakadilan nyata akan segera berta ya apa ya g seharus ya e jadi huku da sekaligus
mempertanyakan nilai keadilan, kemasuk-akalan (rasionalitas/redelijkheid) atau justru
kepantasan/kelayakan (billijkheid) dari apa yang dinyatakan oleh hukum baik oleh pakar ataupun
penegak hukum. Kedua hal ini bukan kegiatan ilmiah yang bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari.
Akademisi (ilmuwan hukum), penegak hukum (polisi, kejaksaan dan kekuasaan kehakiman + advokat)
bahkan masyarakat awam, baik warganegara sendiri maupun warganegara asing yang bersentuhan dan
berurusan dengan (implementasi dan penegakan) hukum di Indonesia berkepentingan mencari dan
menemukan hukum. Untuk akademisi dan penegak hukum tidaklah cukup menemukan hukum hanya
dengan membaca peraturan perundang-undangan, mencari aturan yang cocok dengan kebutuhan yang
ada saat itu dan menyatakan aturan itulah yang (seharusnya) menjadi hukum. Di samping itu, juga tidak
cukup bagi masyarakat awam untuk mengetahui hukum sekadar melalui kegiatan sosialisasi yang
diselenggarakan pemerintah atau pemrakarsa di ruang-ruang rapat kecamatan-kelurahan atau sekadar
melalui iklan layanan masyarakat.
Tujuan tulisan ini adalah mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang umum dialami tidak saja oleh
akademisi namun juga terutama mereka yang dalam kehidupan sehari-hari berurusan dengan hukum,
penegak hukum maupun masyarakat awam. Diharapkan dengan mengungkap kesulitan dan kerumitan
i i, kita se ua dapat le ih e aha i huku di I do esia sebagai suatu sistem aturan (yang tidak
sertamerta tertata dengan baik – bahkan dapat disebut justru chaotic) serta kerumitan menegakkan
hukum. Di si i juga se agai disclaimer perlu dita ahka ah a tulisa i i tidak aka
e ahas
sejumlah metoda penemuan hukum ataupun hermeneutika. Ini adalah kajian berbeda yang tidak akan
disentuh di sini. Satu hal yang sebaliknya hendak diuangkap adalah kerumitan struktur-sistem dan
jejaring aturan yang dalam dogmatika hukum disebut sebagai sumber hukum formal dan yang
didalamnya tersembunyi sumber hukum materiil –prosesuil (tertulis ataupun tidak).
Pentingnya menemukan dan menegakkan hukum: beranjak dari satu cita hukum-cita Negara yang
niscaya tunggal?
Pada pokoknya tidak ada perbedaan penting antara tugas penegak hukum, praktisi hukum dengan
akademisi ketika ketiga-tiganya dihadapkan pada persoalan konkrit apa yang seharusnya berlaku
sebagai hukum dalam situasi konkrit tertentu (Paul Scholten; R. Dworkin; B. Arief Sidharta). Ketiga
pengemban hukum di atas (penegak hukum, praktisi dan akademisi), setelah mengkategorikan fakta
yang terjadi sebagai fakta hukum (naming) dan selanjutnya menelaah ragam sumber hukum tertulistidak tertulis yang dianggap relevan, dengan penuh keyakinan atau justru sebaliknya keraguan akan
menyatakan inilah (yang seharusnya berlaku sebagai) hukumnya (blaming). Sekaligus mereka dengan
itu menilai keabsahan (legalitas/illegalitas suatu perbuatan) dan (bila menyangkut sengketa atau konflik
hukum) memutuskan upaya hukum apa yang dapat/tidak dapat dilakukan (claiming). Ke dalam
kegiatan ini tersembunyi kegiatan yang dilakukan pengemban hukum untuk mengungkap kebenaran
(factual/empiris) dari apa yang terjadi (koherensi dan konsistensi narasi empiri) dan kemudian memilah
dan memilih dari banyak aturan yang ditemukannya, aturan paling relevan da dari ya ilai (valuenorm) yang dianggap layak menjadi acuan. Di samping itu, baik di eksplisitkan atau tidak, terkandung di
dalam kegiatan ini ikhtiar menilai atau menguji keabsahan aturan-aturan, baik yang disingkirkan maupun
yang dipilih untuk digunakan.
Jarang – mungkin karena argumen non liquet – para pengemban hukum mengakui bahwa dalam suatu
kasus tertentu tidak ada (aturan) hukum yang dapat ditemukan, atau ditunjuk sebagai inilah aturan yang
seharusnya jadi panduan. Itu pula alasannya mengapa dimunculkan konsep (kegiatan) menemukan
hukum. Kegiatan ini tidak dan jangan sekadar dipahami sebagai ikhtiar mencari dan mengidentifikasi
aturan yang berlaku dari cadangan atau pasokan hukum tertulis yang tersedia. Sebaliknya, alasan
ketiadaan aturan (hukum) dan sebab itu tidak dilakukannya kegiatan penemuan hukum baru akan
dimunculkan dan menjadi relevan bilamana legislatif atau pemerintah hendak membuat aturan baru
atau e yataka atura la a uka lagi huku . Untuk selebihnya para pengemban hukum akan
selalu berusaha menyatakan apa yang seharusnya menjadi hukum. Tujuan untuk apa hukum, dicari,
ditemukan, atau justru diungkap dan dirumuskan merupakan factor yang juga akan menentukan
mengapa hukum harus ditemukan dan ditegakkan.
Tentu tidak boleh dibayangkan bahwa kegiatan menemukan dan memberlakukan (implementation)
termasuk menegakkan (enforcement) hukum adalah proses yang sepenuhnya mekanistik. Jika itu yang
terjadi, maka dari sudut pandang ini tidak ada perbedaan bobot antara (dan juga tidak relevan
menjawab) pertanyaan apakah perkelahian dua anak kecil patut di bawa kehadapan pengadilan untuk
diperiksa dan diputus apa hukumnya (dan dalam proses itu menghabiskan sumberdaya negara yang
langka). Sama halnya seperti persoalan apakah layak dan pantas perempuan renta yang mencuri dua
buah kakao atau hakim ditingkat manapun yang menerima suap di bawa kehadapan pengadilan karena
mengambil barang yang bukan hak-nya. Serupa dengan itu juga tidak penting persoalan apakah
koruptor atau mereka yang mencari untung dari jual-beli narkoba patut atau tidak patut dihukum mati.
Semua kasus di atas, singkat kata, melanggar peraturan perundang-undangan (hukum?) dan sebab itu
hukum harus ditegakkan: putusan dijatuhkan dan para pelanggar hukum dihukum sesuai aturan. Dari
sudut pandang ini, aturan sudah tersedia dan tinggal diterapkan.
Apa itu hukum (atau yang seharusnya menjadi hukum) yang terkait atau justru terlepas dari (rasa)
keadilan dalam perkara-perkara konkrit bukan semata-mata persoalan akademis dan teoretis yang jauh
dari kerudinan hidup sehari-hari . Bagi mereka yang langsung bersentuhan dengan masalah hukum
(konkrit), apa yang seharusnya dan diputus menjadi hukum kerap dipersepsikan sebagai urusan hidup
mati dan kadang juga urusan kehormatan yang seketika bersinggungan dengan rasa malu atau harga diri
(institutional, keluarga atau individual). Itu pula alasan mengapa dapat dikatakan urusan hukum dan
keadilan bukanlah semata-mata persoalan mengetahui dan memahami apa yang dikatakan para filsuf
dari dunia barat ( Aristoteles, John Rawls, Amartya Sen, dll) ataupun para pemikir hukum Indonesia (B.
Arief Sidharta, Soetandyo, Satjipto, Mochtar Kusuma Atmadja, Budiono Kusumohamidjojo, Anthon
Susanto, Shidarta dll.) betapapun teori-teori itu penting bagi para sarjana hukum di Indonesia. Pada
ekstrim lain, sebagaimana disinggung di atas, menemukan hukum adalah juga upaya mewujudkan
keadilan. Pengertian keadilan di sini sekaligus menyentuh dan bersinggungan dengan apa yang
dirasakan (tidak sekadar dipikirkan apalagi diangan-angankan) mereka yang bersinggungan dengan
hukum sebagai patut/layak atau baik-buruk (secara etis atau moral).
Bayangan ideal tentang hukum (cita hukum) sebagai titik tolak menemukan-membentuk hukum
Menemukan hukum juga langsung berkaitan dengan kegiatan pembentukan hukum (merumuskan
norma, menuliskan dan menetapkannya sebagai hukum). Artinya menemukan hukum bukan hanya
terbatas pada soal membaca dan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dan masih
tersembunyi di balik sumber-sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau informal
(hukum tidak tertulis). Pembentuk hukum (pembuat undang-undang, otoritas pemegang kekuasaan
resmi atau masyarakat) ketika membentuk aturan sebagai sistem norma (hukum) sudah dipastikan
beranjak dari apa yang mereka bayangkan sebagai ide (cita) tentang hukum atau setidak-tidaknya apa
yang harus diatur dengan hukum dan tidak sekadar dengan norma etika, kebiasaan atau moral.
Berangkat dari itu, dibuat (dibentuk) aturan-aturan baru untuk mengisi kekosongan hukum atau dalam
hal sudah ada aturan: menambah, memperjelas atau memperbaiki .
Selain itu, bayangan ideal tentang hukum yang dibagi bersama (antara pembuat dengan masyarakat)
atau sebaliknya justru berbeda (antara pembentuk hukum dengan masyarakat: addressat aturan bahkan
berbagai kelompok masyarakat) harus ditemukan, diungkap dan menjadi titik tolak kegiatan
menemukan hukum. Di belakang pembentukan hukum, dengan perkataan lain, tersembunyi tidak
hanya satu cita atau gagasan ideal tentang apa itu yang seharusnya menjadi hukum. Bahkan dalam
kegiatan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan, perancang setiap kali diwajibkan
merumuskan dalam naskah akademis: landasan filosofis, empiris dan normative (yuridis). Apakah
la dasa filosofis tiap paket u da g-undang niscaya sama? Tidak terbayangkan bahwa landasan
filosofi paket aturan dalam bidang hukum pidana (pembalasan; prevensi umum-khusus) mesti sama
dengan paket aturan dalam bidang hukum ekonomi (efisiensi-transparansi) atau dengan aturan-aturan
di bidang hukum administrasi (yang berlandaskan asas-asas pemerintahan yang baik).
Persoalannya adalah bahwa (dari sudut pandang Negara) apa yang dibayangkan ideal ternyata dianggap
hanya ada satu (tunggal) dan hanya mereka yang mewakili Negara (parlemen-pemerintah-birokrat) yang
berwenang menetapkannya. Atau sebaliknya dipostulatkan adanya satu gagasan ideal tentang hukum
(cita hukum) maupun Negara (cita Negara). Inilah yang harus menjadi titik tolak pembuat peraturan
perundang-undangan dan sekaligus diejawantahkan ke dalam peraturan perundang-undangan dalam
arti formal. Dalam pengertian ini nilai-nilai Pancasila ditetapkan sebagai landasan kehidupan bernegara
da erhuku da dia ggap se agai su er dari segala su er huku . Beranjak dari titik tolak ini
pula butir-butir atau nilai-nilai Pancasila (yang dapat dipecah namun harus dibaca sebagai satu
kesatuan) dapat atau diharapkan digunakan sebagai norma kritik dan batu ujian atas keabsahan
substantif aturan-aturan perundang-undangan. Ini kiranya pembenaran dari hak uji konstitusional
(constitutional review: undang-undang terhadap Konstitusi [dengan muatan nilai-nilai Pancasila oleh
MK), hak uji materiil (judicial review: peraturan perundang-undangan di bawah UU oleh MA) maupun
hak uji administratif (administrative review: Peraturan Daerah oleh Kementerian Dalam Negeri).
Juga diajukan postulat (sedikit berbeda dari yang di atas) bahwa cita hukum Indonesia harus dilandaskan
pada abstraksi gagasan tentang hukum adat (hukum (tidak tertulis) dari kumpulan masyarakat
bumiputera yang melebur diri menjadi bangsa Indonesia) yang dikontraskan secara karikatural dengan
sistem hukum Barat (yang dianggap mutlak bercirikan atau beranjak dari paham individualis-liberal).
Pendekatan ini diusung, antara lain, oleh Moh. Koesnoe dan masih menjadi titik tolak UUPA (5/1960).
Dibayangkan bahwa gagasan ideal tentang hukum Indonesia harus beranjak dari abstraksi tentang ciri
dan kekhasan masyarakat Indonesia yang masih sangat komunal-religius dan artinya non-sekuler.
Pengaitan hak menguasai Negara (dalam UUD) dengan hak ulayat bangsa dalam UUPA di mana Negara
sebagai lembaga menguasai, mengurus, dan mengelola kekayaan alam bangsa adalah konkritisasi
pandangan ini.
Kedua pendekatan di atas yang menekankan pentingnya pencarian dan perumusan pandangan hidup
khas a gsa I do esia se agai la dasa pe e ua -pe uata huku (di Indonesia) pada prinsipnya
akan terbentur (teoretik maupun praktikal) pada persoalan: 1. bagaimana menyelaraskan klaim
partikularistik (khas bangsa Indonesia) yang ternyata juga harus dan akan sekaligus universal (semua
nilai keadaban baik yang mewujudkan manusia paripurna berlaku seolah absolut, universal dan nontemporer); 2. Ketidak o oka ji a-se a gat hukum positif yang untuk sebagian besar atau pada
pokoknya masih merupakan warisan zaman colonial dengan postulat pandangan hidup bangsa
Indonesia yang berbeda; Itu artinya pada aturan-atura la a dipaksaka atau di a gkoka ji a atau
se a gat er eda; da 3. Peru aha -perubahan atau pembaharuan hukum positif yang ada justru
diwarnai ideologi yang tidak ada hubungannya dengan Pancasila (jiwa bangsa yang dipostulatkan tidak
berubah), namun justru mencerminkan pandangan hidup atau filosofi yang berlaku pada periode
tertentu: UUPA 5/1960 misalnya terinspirasi sosialisme; sedangkan regulasi ekonomi yang berkembang
sekarang diwarnai oleh paham neo-liberalisme-kapitalisme. Sedangkan khusus tentang postulasi
hukum adat sebagai suatu ideal dapat ditunjukkan ketidakselarasannya dengan hukum tidak tertulis
(adat) yang, dari sudut pandang pendekatan etnografis, justru menunjukan kebhinekaan dan tumbuh
berkembang di luar lingkup dominasi hukum (formal) Negara.
Mencari dan menemukan hukum: pendekatan teleologis?
Tersembunyi dan besar pengaruhnya di balik kegiatan penemuan hukum adalah bagaimana kita
menjawab pertanyaan tentang tujuan dari kegiatan penemuan dan sekaligus pembentukan hukum.
Untuk apakah hukum harus ditemukan atau sebelum ditemukan harus dibentuk ulang agar dapat
dikonkritkan? Secara umum dengan kesengajaan salah membaca (deliberate misreading) karya Gustaaf
Radbruch: disebutkan bahwa tujuan hukum adalah tiga serangkai: kepastian, keadilan dan kemanfaatan
. Padahal Radbruch sebenarnya berbicara tentang legal certainty, justice, and expediency or suitability
for a purpose. Ketiganya tidak serta merta dapat direduksi menjadi tiga rangkaian tujuan hukum di atas.
Seolah merupakan cerminan (dari tiga tujuan hukum di atas) adalah pedoman yang diberikan pada
perancang peraturan perundang-undangan yang di atas telah disinggung. Setiap naskah akademis harus
memuat landasan filosofis (pembenaran adanya aturan/norma secara falsafati), landasan empirissosiologis (kemanfaatan) dan yang terakhir landasan yuridis-normatif (kepastian-keselarasan dengan
tatanan hukum yang sudah ada). Ketiga landasan pembenaran ini seharusnya menjadi acuan pencari
keadilan ketika membaca dan menafsir aturan-aturan yang di aktu ka ke dala for at peratura
perundang-undangan.
Disebutkan seperti ini (di Indonesia), maka seolah-olah ada tiga tujuan berbeda yang harus diemban
kegiatan penemuan dan penegakan hukum (termasuk pembentukan hukum). Ketiga tujuan ini lagipula
dapat bertabrakan satu sama lain. Salah satu kesalahpahaman berkaitan dengan ini adalah pemaknaan
summum ius, summa iniura. Sebenarnya apa yang dimaksud di sini adalah kekakuan dalam
(memahami) aturan-aturan hukum dapat berujung pada ketidakadilan. Hukum dibuat dan ditegakkan
bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan manusia namun hanya demi ketaatan pada aturan itu sendiri
atau sekadar untuk memiliki aturan karena dipersyaratkan. Inilah yang antara lain dikritik oleh (alm.
Satjipto Rahardjo ketika menyatakan hukum seharusnya untuk manusia bukan manusia untuk hukum.
Pada saat yang sama banyak orang yang terjebak membacanya sebagai berikut: semakin pasti suatu
aturan (rinci dan ketat), otomatis menjadi semakin tidak adil. Maka dalam kepastian (aturan) tidak
mungkin tercermin keadilan dan sebaliknya bila keadilan didahulukan, kepastian (aturan) yang
dikorbankan.
Terkesan di sini bahwa keadilan (berhadapan dengan kekakuan peraturan) dipaha i se agai ke ijaka
atau diskresi u tuk tidak emberlakukan/mengenyampingkan aturan. Dengan kala lain,
mengedepankan kepastian hukum otomatis berarti memilih bersikap kaku dan bertindak tidak
manusiawi alias tidak bijak. Sebaliknya mengenyampingkan aturan yang berlaku umum untuk
kepentingan seseorang (bahkan kelompok orang) atau karena adanya kekhususan (keistimewaan)
seketika dipersamakan dengan bertindak bijak dan sebab itu adil.
Padahal dalam kepastian hukum dan penegakan hukum (sepanjang dilakukan konsisten dan tidak
diskriminatif) sudah termuat keadilan: setiap orang (perempuan-laki; difabel atau normal) dalam situasi
serupa harus mendapat perlakuan sama (dari setiap orang lain atau dari penguasa). Penyetaraan
perlakuan (sikap anti-diskriminasi) sudah sepatutnya menjadi landasani jalinan hubungan antara
pemerintah (penguasa) dengan rakyat dan dalam pergaulan antar manusia satu sama lain. Kiranya
itulah makna dari setiap orang berkedudukan sama (sederajat) dihadapan hukum dan pemerintahan.
Betul bahwa posisi-kedudukan, keadaan tertentu, juga demi keadilan, harus dipertimbangkan. Pejabat
Negara karena tanggungjawab lebih besar mendapat perlakuan istimewa atau penegak hukum
diperkenankan melakukan hal-hal tertentu yang dilarang untuk masyarakat umum. Atau sebaliknya
kaum difabel dan mereka yang berada dalam posisi social-ekonomi tidak menguntungkan (kelompok
rentan dan cenderung termarginalkan) harus mendapat perhatian dan perlakuan istimewa. Begitu juga
dengan kedudukan hukum dari manusia dewasa dan yang oleh hukum dipandang belum cukup umur.
Perlakuan berbeda justru diperlukan demi keadilan. Namun ini tidak menghilangkan keniscayaan
perlunya perlakuan sama. Justru perlakuan khusus diberikan untuk menyeimbangkan posisi sehingga
perlakuan sama dihadapan hukum menjadi masuk akal.
Apa yang harus dihindari sebenarnya adalah ketidakpastian dan perlakuan yang tidak konsisten (dalam
penegakan hukum). Misalnya dalam hal adanya razia kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor,
polisi lalulintas terkesan (tuduhan yang setiap kali harus dibuktikan kebenarannya) melakukan tebang
pilih atau dengan sengaja meloloskan kendaraan dengan plat nomor dari wilayah tertentu sedangkan
terus menilang kendaraan yang datang dari wilayah lain. Atau secara konsisten pengadilan menjatuhkan
hukuman yang sangat ringan pada pejabat Negara yang tertangkap tangan korupsi, misalnya mengingat
jasa-jasa mereka pada Negara.
Selanjutnya tujuan hukum yang dikaitkan dengan kemanfaatan. Hukum sebagai pranata social untuk
mengatur kehidupan manusia betul harus ditujukan untuk memberikan manfaat dan keuntungan bagi
bonum commune (kebaikan bersama) atau diabdikan untuk kepentingan umum (public). Dengan kata
lain, pembuatan aturan termasuk implementasi dan penegakannya harus dilakukan dengan niatan
mencapai tujuan yang legitim. Seberapa jauh tujuan (politik) dan manfaat (social atau justru pribadi)
bersinggungan adalah persoalan lain. Lebih penting di sini adalah premis pembuatan aturan hukum
tidak boleh dilakukan semata-mata berdasarkan selera atau kehendak sesaat penguasa, tanpa tujuan
atau dengan tujuan yang tidak seketika bermanfaat bagi masyarakat. Ini pengertian umum yang kiranya
dapat kita terima. Maka itu pula perintah atau larangan dari penguasa yang dimaknai sebagai hukum
yang selalu dapat diberlakukan di bawah paksaan ancaman penjatuhan sanksi (sebagaimana dimaknai
John Austin) sulit mendapat legitimasi, terkecuali addressat aturan berhasil diyakinkan akan
kemanfaatannya.
Ketika pemerintah atau DPR memutuskan untuk membuat dan memberlakukan suatu peraturan
perundang-undangan tentu sejak semula (seharusnya) mereka sudah membayangkan apa yang hendak
dicapai dengan aturan-aturan. Ini kiranya yang menjadi anjuran umum dari Seidmann & Seidmann:
pembuatan aturan hukum (baru) harus dapat secara efektif-efisien menjawab persoalan sosial yang
muncul. Tujuan social (atau kemanfaatan umum) itulah yang menjadi pembenaran dan alat ukur dibuat
dan diberlakukannya peraturan. Dengan kata lain, pembaca dan addressat hukum harus dapat
mengungkap apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari peraturan dan menggunakannya sebagai ukuran
untuk mengevaluasi seberapa jauh peraturan yang ada berhasil atau tidak berhasil (mencapai
sasaran/tujuan sosial untuk mana aturan ini dibuat). Persoalan yang juga muncul di sini adalah tujuan
atau sasaran mungkin dapat diekplisitkan (fungsi manifest), namun pembuat undang-undang bisa saja
menyembunyikan agenda politik dibaliknya atau ternyata kemudian aturan yang ada digunakan untuk
mewujudkan hal yang sama sekali berbeda dari apa yang dibayangkan pembuat undang-undang (fungsi
laten). Juga dapat terjadi peraturan perundang-undangan sebenarnya sekadar dibuat (bahkan
dinyatakan batal) sebagai simbol niat baik dari pemerintah.
Namun sebenarnya apakah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah satu tujuan hukum dalam
kaitannya dengan implementasi dan penegakan (aturan) hukum? Siapakah yang berwenang
menentukan apa dan bagaimana manfaat hukum? Penguasa , birokrasi pemerintahan (administrasi)
atau justru rakyat yang pada akhirnya mendapat manfaat atau justru mudarat dari pemberlakuan
hukum . Apakah seketika penerapan hukum membuat kita (sebagai perorangan atau anggota
masyarakat) rugi atau hukum yang diberlakukan dirasakan tidak bermanfaat, maka aturan hukum atau
penegakannya harus ditentang dan disebut tidak adil? Maka dapat terjadi eksekusi putusan pengadilan
(berirah-irah Demi Kadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa) yang sudah berkekuatan hukum
atau penegakan aturan Peraturan Daerah dipertanyakan, diprotes bahkan dihalang-halangi sekelompok
masyarakat sekadar karena isi putusan tidak cocok dengan harapan mereka.
Kemanfaatan, sekali lagi, dapat kita duga selalu dikaitkan dengan kepentingan umum (public interest
atau bonum commune). Dimaknai demikian, kepentingan umum menjadi konsep besar (sangat umum
dan kabur) yang setiap kali perlu dibuat rinciannya. Perlu hal ini secara konkrit muncul dari pengaitan
kepentingan umum dengan konsep besar lainnya: tujuan bernegara yang dicanangkan dalam UUD
1945: mencerdaskan bangsa, memajukan kemaslahatan umum dan kesejahteraan rakyat. Selain itu di
dalam UUD 1945 juga diinyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai Negara dan harus dimanfaatkan demi
sebesar-besarnya kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.
Gagasan tentang luas lingkup kesejahteraan-kemakmuran rakyat dan kepentingan umum seketika
menjadi relevan tatkala kita, misalnya, berbicara tentang kepentingan umum dalam kegiatan pengadaan
tanah. Serangkaian peraturan di bidang ini mendefinisikannya , pertama secara sangat kabur:
kepentingan umum dipersamakan dengan kepentingan bangsa-negara atau pembangunan. Dengan
cara ini justru terbuka peluang besar untuk menyalahgunakan gagasan kepentingan umum. Sebagai
respons, gagasan ini kemudian dirumuskan secara terinci dan enumeratif (yang menyulitkan
pemerintah sendiri yang terus menerus dituntut membangun infrastruktur) dan terakhir dengan
mengkombinasikan keduanya.
Apa yang dapat dicermati adalah bahwa kadang dalam proses perancangan aturan (yang kerap tertutup
dari perhatian mass media apalagi masyarakat umum) public interest justru ditangkap-dibajak (captured)
dan diambilalih oleh kepentingan-kepentingan ekonomi-politik sesaat dari penguasa atau justru
pembuat undang-undang (partai politik di dewan perwakilan). Ilustrasi dari yang pertama berkaitan
dengan penetapan tata ruang. Penetapan ini sejatinya menentukan kapan dan di mana perusahaan
pengembang diperkenankan membangun kompleks perumahan komersiil. Melalui lobi-lobi politik,
pembuat undang-undang dapat diminta untuk mengatur penetapan tata ruang untuk membuka peluang
bagi pengembang untuk masuk ke daerah yang sebelumnya tertutup. Sedangkan yang kedua menunjuk
pada fakta bahwa bagaimanapun juga pembahasan peraturan perundang-undangan di parlemen tidak
mungkin kedap terhadap kompromi-kompromi politik.
Kerentantan ini terbuka karena juga ada kecenderungan untuk memanfaatkan hukum sebagai wadah
dari cita-cita masa depan (blue print). Rencana pembangunan (atau janji kampanye) adalah bayangan
ideal yang disusun pemenang – pemegang tampuk kekuasaan tentang kemana dan bagaimana
masyarakat harus dibangun dan ditata. Setidak-tidaknya itu selalu menjadi harapan (ideal) masyarakat
umum atau pengusung partai politik yang bersangkutan. Di sini peraturan perundang-undangan selain
menjadi bungkus luar rencana-rencana sekaligus menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
pembangunan yang dibayangkan.
Di sini muncul kenyataan (dan persoalan besar) bahwa rencana masa depan yang diproyeksikan ke
dalam aturan hukum ternyata terlalu mudah berubah karena terus menerus (harus?) disesuaikan
dengan situasi konkrit yang kadang tidak mungkin dikendalikan oleh hukum, bahkan pemerintah. Maka
perundang-undangan, misalnya tentang rencana pembangunan atau tata ruang, dianggap sebagai cetak
biru dan agenda kerja yang dalam kenyataan hanya menjadi arahan tidak mengikat yang juga terus
berubah-ubah. Hukum seperti ini ternyata mengingkari normativitasnya sendiri. Situasi yang
digambarkan di atas juga menyebabkan kerancuan konseptual antara kebijakan, program kerja dan
peraturan perundang-undangan.
Kebijakan, program kerja dan peraturan hukum
Pemerhati hukum (akademisi, mahasiswa) maupun penegak hukum seringkali dalam kegiatan akademik
ataupun di luar itu mencampuradukan (atau memiliki kecenderungan untuk tidak cermat membedakan)
kebijakan (policy), program kerja dan prioritas (work programmes and priorities), termasuk ke dalamnya
agenda politik pemerintah yang berkuasa, dengan peraturan hukum (legal rules) yang dipandang
sebagai pedoman perilaku yang memiliki kekuatan mengikat dan memaksa masyarakat umum.
Persoalannya adalah ketiga-tiganya seringkali bisa kita temukan dirangkum (dan dicampuraduk) dalam
satu dokumen (yang diterbitkan pemerintah) dan memberikan kesan kuat bahwa semua itu bisa dibaca
sebagai aturan hukum yang mengikat dan memaksa. Sebaliknya itu berarti pula hukum (yang tumbuh
kembang dalam semangat hukum tertulis sebagai sarana pembaharu masyarakat) kerap dipahami
se agai desired situation projected into the future se agai a a ditegaska Benda-Beckmann dan
sebab itu begitu mudah dijadikan kambing hitam, dikorbankan dan segera diganti dengan yang baru.
Kerancuan pemahaman yang timbul dari pencampuradukan itu, misalnya dapat kita cermati dari Surat
Edaran Kapolri tentang penanganan kejahatan kebencian. Surat edaran ini di a a se agai tafsira
res i te ta g apa ya g seharus ya e jadi huku
erkaita de ga pe a ga a kejadia -kejadian
yang dikualifikasikan (naming) sebagai kejahatan kebencian. Padahal surat edaran ini sejatinya dimaknai
sebagai perintah/instruksi haria te ta g apa ya g e jadi ke ijaka da progra prioritas kerja
kepolisian dalam penanganan kejahatan tertentu (kejahatan kebencian) yang pada saat tertentu kerap
terjadi di masyarakat. Bukan tentang apa yang seharusnya diyakini sebagai (aturan) hukum yang
bersifat dan memaksa oleh masyarakat.
Bentuk kerancuan lain dapat kita temukan dalam wujud Buku Pedoman yang diterbitkan Mahkamah
Agung tentang bagaimana membaca ketentuan-ketentuan hukum acara perdata di dalam HIR/RbG.
Pedoman inipun pada prinsipnya berlaku sebagai instruksi dari MA kepada hakim-hakim di lingkungan
peradila perdata. Na u pa dua da di alik ya dapat dite uka ke ijaka dan agenda kerja:
untuk menyesuaikan aturan-aturan lama dalam HIR/RbG dengan kebutuhan praktik hukum di Indonesia,
kemudian dimaknai sebagai aturan yang juga berlaku mengikat ke luar. Misal ya te ta g a jura tidak
mengabulkan permohonan uitvoerbaar bij vooraad atau sandera hutang. Dengan kata lain, pedoman-
pedoman MA dimaknai sebagai tafsir res i da
e gikat agai a a e a a da
e erlakuka
hukum acara perdata peninggalan colonial (HIR/RbG) dalam situasi kondisi peradilan Indonesia. Dalam
pola serupa, pedoman tertulis/tidak tertulis yang diterbitkan kejaksaan agung, memiliki pengaruh besar
pada bagaimana jaksa penuntut umum memahami hak untuk mengajukan banding atau kasasi.
Kebijakan yang tersembunyi dalam pedoman adalah dalam hal putusan bebas, jaksa wajib (standing
order) mengajukan banding atau kasasi.
Kebijakan dan prioritas dari pemerintah dan/atau masyarakat tidak selamanya jelas. Di dalam praktik
tidak jelas bagaimana polisi biasa menyikapi pelaporan adanya tindak pidana penipuan/penggelapan,
terutama yang terkait berkelindan dengan persoalan hutang-piutang di lapangan hukum perdata.
Apakah penyidikan akan menghentikan proses pemeriksaan gugatan di pengadilan? Kebijakan yang ada
sekalipun ada pedoman aturan hukumnya (dalam hal ada sengketa tentang kewenangan peradilan
pidana dan perdata (praejudiciel geschil), maka forum atau proses manakah yang harus diprioritaskan?
Apakah pemeriksaan sengketa keperdataan atau justru pidananya terlebih dahulu? Pilihan itu ada
dalam kewenangan pengadilan. Peraturan yang ada hanya memberikan petunjuk. Di tingkat kepolisian,
ke ijaka ya adalah laya i asyarakat pe ari keadila dan kasus-kasus seperti ini (pencampuran
antara perkara pidana dengan gugatan perdata yang mengakibatkan praejudiciel geschil) dapat diputus
berbeda-beda .
Kebijakan kepolisian (lalu lintas) lainnya lebih kasat mata. Setiap petugas memiliki diskresi dan atas
kebijakannya sendiri atau arahan kebijakan komandan dapat memilih menegakan aturan lalulintas
secara ketat: artinya menilang setiap pelanggaran lalulintas atau dengan kesadaran penuh membiarkan
terjadinya pelanggaran lalulintas. Misalnya membiarkan pengemudi angkutan kota berhenti di bawah
tanda larangan berhenti atau parkir ketika mencari calon penumpang, atau pada jam-jam masuk sekolah
membiarkan siswa mengemudikan kendaraan tanpa helm atau orangtua mengantarkan anak usia
sekolah tanpa diperlengkapi helm.
Singkat kata, kebijakan yang dalam dirinya sendiri memuat penetapan prioritas (pilihan) sekalipun
berpengaruh terhadap pemaknaan dan lebih jauh implementasi aturan hukum harus dibedakan darinya.
Pada saat sama harus dicermati bahwa kebijakan (resmi/tidak resmi) bisa sama sekali menyingkirkan
peran hukum. Kebijakan ekonomi untuk memprioritaskan pengembangan perkebunan kelapa sawit
dalam kenyataan meniadakan kekuatan mengikat larangan konversi hutan lindung maupun pembakaran
hutan. Begitu juga kebijakan pengembangan kawasan industry membuat larangan alihfungsi sawah
(dalam pelbagai format aturan) menjadi tidak berdaya. Proses serupa terjadi berkaitan dengan sejumlah
norma hukum yang ditujukan untuk melindungi kelompok agama minoritas. Kebijakan atau lebih tepat
agenda politik justru mendorong diskriminasi dan persekusi kelompok minoritas.
Dalam bahasa awam atau media social kita berbicara tentang pengaruh politik (agenda politik atau
kebijakan pemerintah baik eksplisit maupun implisit) pada pe uata
aupu pe erlakua
huku . Terlepas dari keterpengaruhan ini, bagaimanapun juga dari sudut pandang penegakan hukum
dan penjagaan keadilan, kita tetap harus dapat membedakan kebijakan, agenda/program kerja dan
prioritas dengan aturan-aturan hukum yang bersifat (semi-)otonom. Tanpa pemisahan ini, maka
kebijakan apapun tidak akan mungkin dievaluasi dan dikritisi. Untuk ini kita membutuhkan hukum, yang
sebab itu pula tidak dapat dipahami hanya berwujud aturan: perintah-larangan, namun juga prinsipprinsip yang menjadi landasan tatanan hukum. Hukum di sini harus dipahami sebagai fakta normatif
dan sebab itu memenuhi fungsi evaluatif. Maka itu, ke ijaka pe e aka
isterius tahu 80 a
yang dibenarkan sebagai shock therapy atas menjamurnya kejahatan oleh preman tidak dapat dan boleh
dibenarkan oleh aturan hukum apapun juga. Satu hal yang dilanggar dengan jelas adalah prinsip
praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Tujuan di sini, betapapun dirumuskan sangat mulia,
tidak boleh menghalalkan cara atau. Dengan kata lain, kebijakan yang dipandang perlu sebagai jalan
pintas mencapai tujuan mulia tidak selalu otomasis harus dan dapat diterima sebagai kemaslahatan.
Sekalipun pada saat sama tidak perlu dikatakan bahwa tidak ada serta perlu pemisahan antara hukum
dengan kesusilaan (moral). Tanpa perlu masuk ke dalam perdebatan filsafati tentang keterkaitan dan
keterpisahan hukum dan moralitas di sini cukup dikatakan bahwa hubungan antara keduanya tidaklah
dapat dipandang sederhana. Perdebatan antara penganut teori hukum alam (klasik-modern) dengan
para penganut positivisme hukum merupakan cukup bukti tentang ini.
Sumber hukum (formal dan materiil)
Dalam kenyataan hukum yang tersembunyi di dalam aturan perundang-undangan (sumber hukum
dalam arti formal; hukum tertulis) jarang bahkan tidak pernah dengan mudah dapat dipastikan. Hal ini
jelas ditunjukkan kasus-kasus hukum yang hampir setiap hari diberitakan mass media. Kenyataan ini,
setidak-tidaknya, menunjukkan dua hal: pertama hukum (bahkan norma/kaedah) tidak sama dan
sebangun dengan peraturan perundang-undangan (dalam arti luas) dan kedua, dalam hal
mengimplementasikan dan menegakan peraturan perundang-undangan kita akan menghadapi adanya
perkaitan erat antara kegiatan menemukan (kaedah) hukum serta penerapannya dengan persoalan
keadilan (justice) serta kepatutan/kepantasan (redelijkheid-billijkheid) yang terkait erat dengan
hatinurani (conscience). Tujuan (ideal) hukum itulah yang menyebabkan kegiatan menemukan dan
e egakka huku tidak sekadar eka istis da sekaligus e uka rua g agi ke ijaka da /atau
diskresi . Dalam bahasa lebih sulit, memajukan kepastian hukum melalui pemberlakuan aturan harus
juga dilakukan dengan memperhatikan, tidak saja keadilan (distributive-corrective), namun juga
kepantasan-kepatutan.
Lantas di manakah setidak-tidaknya kita dapat menemukan hukum - tidak sekaligus sama dan sebangun
dengan keadilan (justice) yang pada tataran teori dipersamakan dengan fair ess oleh John Rawls atau
sebagai efisiensi dan bersikap bijak-manusiawi (seperti yang diinginkan Satjipto)? Akademisi dan
penegak hukum (termasuk kepolisian) akan segera menunjuk pada peraturan perundang-undangan
dalam arti formal. Pertanyaan apa hukumnya yang (seharusnya) berlaku dalam situasi konkrit tertentu,
berubah menjadi apa peraturan perundang-undangan yang relevan dan ketentuan manakah yang
berlaku. Apa hukumnya menjadi pertanyaan tentang di mana dapat kita temukan norma yang mengatur
hal tertentu (melarang atau memerintahkan dilakukannya sesuatu secara substantive atau sekadar
procedural).
Di sini kita akan berhadapan dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Tata urutan ini yang
menempatkan konstitusi di puncak tata urutan atau justru sebagai landasan (dan sekaligus membentuk
struktur piramida tatanan hukum) memungkinkan mereka yang mencari hukum, menguji apakah suatu
ketentuan yang ditemukan ditulis di suatu bentuk aturan tertentu selaras atau justru bertentangan
dengan aturan yang berkedudukan lebih tinggi atau pada puncak tertinggi dengan gru d or atau
falsafah (pandangan hidup) bangsa Indonesia (Pancasila).
Hasil membenturkan aturan-aturan yang dituangkan dalam tangga urutan yang berbeda-beda ini dapat
berupa konstatasi (pengamatan dan penegasan) adanya keselarasan atau justru inkonsistensii. Namun
jelas bahwa ini saja tidak serta merta mengindikasikan apa yang seharusnya berlaku sebagai hukum.
Apa yang konkrit diputuskan adalah peraturan perundang-undangan yang diuji (untuk sebahagian atau
seluruhnya) dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi – sekalipun dibuat dan disahkan
oleh lembaga legislatif - dan sebab itu dibatalkan dan kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai hukum.
Kemanfaatan tata urutan secara praktis hanya muncul ketika MK memutus apakah suatu ketentuan di
dalam undang-undang bertentangan atau tidak de ga
or a- or a ya g he dak diusu g Ko stitusi
(hak uji konstitusional) atau ketika MA menjalankan kewenangannya melakukan hak uji materiil (semua
peraturan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Peluang lain ialah ketika Menteri Dalam
Negeri hendak menguji keabsahan peraturan daerah (Propinsi/Kabupaten-Kota dan Desa) terhadap
peraturan yang ditempatkan lebih tinggi, setidak-tidaknya di atas Perda (yang menurut asas demokrasi
merupakan cerminan dan kehendak politik dari masyarakat local) (administrative review). Selain itu,
secara teoretik tata urutan ini juga terkait dengan sejumlah prinsip: lex specialiss derogat legi generali
(khusus mengenyampingkan yang umum) & lex anterior derogat legi posterior (yang belakangan
mengenyampingkan yang terdahulu).
Tata urutan ini beranjak dari asumsi bahwa di dalam wilayah kedaulatan Negara hanya akan berlaku
satu sistem hukum nasional. Namun apakah tata urutan ini dapat diandalkan dan merepresentasikan
sistem hukum yang berlaku di Indonesia? Ada sejumlah masalah terkait dengan itu. Beberapa
diantaranya diurai di bawah ini.
Birokratisi dan penerjemahan peraturan perundang-undangan: fragmentasi sektoral dan horizontal
Sistem hukum yang dibentuk dalam suatu tata urutan hierakhis berarti bahwa peraturan disusun dan
disimpan dari aturan paling umum (prinsip) sampai dengan aturan teknis pelaksanaan (juklak-juknis),
bahkan surat edaran yang memuat petunjuk dan arahan kebijakan. Tata urutan ini secara langsung
berkaitan pula (dan merupakan cerminan) struktur organisasi tata kerja serta pembagian/penyebaran
kewenangan di antara lembaga Negara dan lembaga pemerintahan (pusat sd daerah). Secara ideal
seharusnya tata urutan peraturan perundang-undangan selaras dengan struktur organisasi kelembagaan
Negara (termuat di dalam konstitusi) dan tata organisasi kepemerintahan (termuat di dalam perundangundangan dan pada tingkat cabinet/kementerian dapat berubah sesuai kebutuhan presiden).
Maka menetapkan dan mengubah UUD adalah kewenangan MPR (DPR/DPD) sebagai lembaga tinggi
Negara. Sedangkan kewenangan membuat, mengamandemen atau mencabut peraturan perundangundangan ada di tingkat parlemen dan/atau presiden (dengan hak uji konstitusional di tangan MK).
Peraturan perundang-undangan kemudian diterjemahkan ke dalam peraturan pemerintah, peraturankeputusan-instruksi presiden. Pada gilirannya setiap kementerian dapat menerbitkan peraturan-
instruksi-surat menteri dstnya di dalam batasan kewenangan yang diberikan Presiden (yang membentuk
cabinet) dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini MA memiliki hak uji materiil cq. Mengujikan
konsistensi nilai yang diusung peraturan perundang-undangan dengan nilai-nilai yang dicerminkan
Konstitusi. Sedangkan berkaitan dengan tatanan pemerintahan, peraturan di tingkat pusat dianggap
otomatis berlaku di seluruh wilayah NKRI dan sebab itu harus menjadi rujukan ketika gubernur atau
bupati-walikota/DPRD menetapkan peraturan daerah tingkat provinsi/kabupaten-kota. Itu sebabnya di
tingkat kementerian dalam negeri diberikan hak uji administratif.
Persoalannya muncul ketika birokrasi pemerintahan pusat maupun (di-) daerah (dari sudut pandang dan
kepentingan masing-masing sector) mulai memproduksi kebijakan (tertulis) dalam wujud peraturan
perundang-u da ga ataupu doku e lai ya. Hasil akhir ya adalah ri a raya peratura -ke ijaka
dan dengan mudahnya mereka yang mencari jawaban apa hukumnya tersesat di dalamnya. Ketiadaan
atau kurangnya koordinasi-integrasi-sinkronisasi-sinergi, (karena pelbagai sebab: rentang pengawasan
yang lemah, ego-sektoral, dstnya) tidak saja dalam bidang pembuatan kebijakan di setiap sektor (bidang
kegiatan) memunculkan kumpulan peraturan di setiap sector yang kerap bertumpang tindih. Proliferasi
peraturan (dan atau badan pemerintah) pada tingkat ini kemungkinan besar juga disebabkan pula oleh
kemacetan pelaksanaan aturan di tempat lain.
Dalam kaitan ini juga dapat kita sebutkan hukum (yang muncul dari sikap birokrasi). Pembiaran atau
ketidaan reaksi dari Negara atas pelanggaran hukum yang bersifat massal-masif, sikap diam pemerintah
(ketidakhadiran Negara) memunculkan kekosongan hukum yang segera akan diisi oleh masyarakat.
Sikap diam (atau ketidakhadiran Negara) akan ditafsirkan oleh masyarakat sebagai undangan untuk
terus melanggar dan dengan itu mengubah norma. Apa yang dilarang justru menjadi kebolehan.
Misalnya berkaitan dengan pe(-nyalah)gunaan trotoar sebagai tempat berdagang atau alur cepat bagi
pengendara motor dikala lalulintas macet. Dalam skala lebih besar, kegagalan penegakan hukum secara
massif dan konsisten (penebangan-pembakaran hutan/penambangan liar), memunculkan pula
kesadaran hukum (dan pengharapan wajar) dari masyarakat (pelanggar hukum) bahwa apa yang di atas
kertas dilarang justru dalam praktik diperbolehkan.
Alhasil tata urutan peraturan perundang-undangan dalam arti formal yang semula diandaikan (fiksi
hukum) merupakan piramida (dengan konstitusi sebagai puncak atau justru landasan: nilai dasar yang
mewarnai semua aturan yang ada) sebaliknya dapat dipandang sebagai menjadi prisma melalui mana
aturan hukum (Negara) termasuk aturan-aturan dari hukum regional dan internasional kemudian masuk
sebagai cahaya yang menembus prisma akan menghablur dan membentuk spectrum cahaya yang sangat
luas (prismatic society & law; Fred W. Riggs).
Pluralisme hukum dan hukum tidak tertulis
Secara internal Negara Kesatuan Republik Indonesia ,yang niscaya memiliki cita-cita memberlakukan
satu sistem hukum nasional di seluruh wilayah kedaulatan NKRI, menghadapi persoalan pluralisme
hukum. Peraturan perundang-undangan nasional bukanlah satu-satunya sumber hukum (formalmateriil) yang dipandang mengikat oleh masyarakat. Di samping hukum Negara dianggap berlaku hukum
non-negara: hukum Islam (dalam pelbagai variannya: termasuk yang dikompilasi oleh Negara demi
kepentingan pengadilan agama) dan hukum adat (baik dari masyarakat pedesaan maupun dari eks
kesultanan/kerajaan nusantara) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Keberagaman hukum adat di Nusantara dicoba dipecahkan dengan memberikan pengakuan formal
(Pasal 28 UUD 1945) pada masyarakat hukum adat (bukan lagi daerah swatantra : desa atau swapraja:
kesultanan/kerajaan yang masih hidup pada masa pemerintahan Hindia Belanda). Namun sekaligus pada
mereka dituntut pemenuhan persyaratan yang ketat. Pengakuan akan eksistensi masyarakat adat
sebagai masyarakat otonom (di dalam lingkup NKRI) hanya akan diberikan bilamana masyarakat hukum
adat masih dapat mempertahankan sendiri aturan-aturan hukum adat (tidak tertulis) yang menjadi
acuan hidup mereka. Pada saat sama, wilayah hukum masyarakat adat diinkorporasikan ke dalam
wilayah administrasi Negara (kabupaten) dan sumberdaya tempat mereka menggantungkan hidup
(pertanahan, hutan) pada prinsipnya masuk ke dalam lingkup hak menguasai negara yang wajib
dipergunakan Negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat Indonesia. Hasilnya akhirnya adalah
massive dispossession (structural and systematic) dari masyarakat hukum adat (tradisional di Indonesia)
yang menghasilkan ketidak adilan structural. Dalam konteks ini dapat dimengerti pernyataan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 1999: Jika Negara Tidak Mengakui Kami, Maka Kami Tidak
Me gakui Negara
Sedangkan berkaitan dengan hukum Islam perlu disebut berkembangnya hukum Islam dalam lingkup
hukum Negara. Di Indonesia setidak-tidaknya dapat disebut tiga model pemberlakuan hukum Islam:
Pertama adalah melalui seleksi dan kooptasi. Negara mengkompilasikan aturan-aturan (dari pelbagai
sumber hukum Islam) ke dalam satu buku. Buku inilah (Kompilasi hukum Islam) yang digunakan sebagai
acuan hukum materiil (substantive) oleh pihak yang berperkara termasuk hakim dalam memutus
perkara dihadapan pengadilan agama (Islam). Berikutnya kita kenal fatwa-fatwa MUI (Majelis Ulama
Indonesia yang kadang dapat dipandang sebagai mitra pemerintah) yang mengatur banyak hal dari
penetapan makanan apa yang halal/tidak, kebijakan pemerintah mana yang layak/tidak diikuti umat
Islam warganegara Indonesia sampai dengan menjawab persoalan apakah umat Islam boleh/tidak
mengucap selamat Natal pada kaum Nasrani.
Namun juga keliru untuk mengatakan bahwa Negara sepenuhnya berhasil mengendalikan
perkembangan hukum Islam. Di luar itu, pelbagai organisasi massa Islam bahkan pesantren yang
terpusat pada satu dua guru (kiai) mengembangkan tafsiran dan pemahaman sendiri tentang bagian
hukum Islam mana (menyangkut ritual, ibadah atau kehidupan sehari-hari) yang harus berlaku dan
mengatur kehidupan warga masyarakat (atau anggota). Adanya perseteruan tentang siapa yang
memegang hegemoni dalam menentukan tafsiran atas hukum Islam (dalam bidang ibadah, ritual atau
lainnya) misalnya muncul ke permukaan setiap tahun dalam penetapan awal dan akhir ibadah puasa
atau apakah muslim diperkenankan menikah dengan non muslim.
Setelah pemerintahan Orde Baru ada muncul dua pendekatan baru. Bagian-bagian hukum Islam terutama menyangkut apa yang dipercaya sebagai perintah moral: kadang terfokus pada bagaimana
perempuan dewasa harus berpakaian dan berperilaku - diinkorporasikan ke dalam Peraturan Daerah
(perda-perda Syariah). Kecenderungan yang dapat kita temukan misalnya di Sumatera Barat. Model
lainnya muncul dari pemaknaan larangan riba yang mendorong pengembangan hukum perbankan –
asuransi (berdasarkan syariah) dan kemudian hukum ekonomi Syariah. Kewenangan pengadilan agama
dengan perkembangan ini diperluas hingga mencakup pula sengketa yang muncul dari hukum ekonomi
Islam ini
Model lai erkaita de ga oto o i khusus ya g di ik ati Pro i si A eh sekara g Na ggroe A eh
Darussalam. Perda Q a u ya g la gsu g erujuk pada daya berlaku dan kekuatan mengikat Q ura
(dan tidak sertamerta pada UUD 1945) ya g erlaku pe uh di ilayah ad i istrasi Na ggroe A eh
Darussalam. Bagaimana dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan di mana seharusnya berlaku satu
hukum nasional dapat kita temukan NAD yang memberlakukan sistem dan tatanan hukum berbeda
hanya dapat dipahami dari sudut panjang sejarah kelam konflik GAM dengan TNI. Pasca pemerintahan
Orde Baru dan dengan pendekatan berbeda (non-militer), niatan memisahkan diri dari NKRI berhasil
diredam dengan kompromi politik pemberian otonomi khusus dan pemberlakuan syariah secara penuh
di wilayah NAD.
Di samping itu, hukum Islam (agama) juga mempengaruhi masyarakat hukum adat. Maka misalnya di
wilayah Sumatera Barat kita temukan formula adat erse di syara , syara erse di Kita ullah.
Bagaimana hukum adat (sebagai cerminan moral masyarakat matriachat dan the living law) bergabung,
bercampur dan mempengaruhi hukum syariah (bertitik tolak dari Q ura da se ua su er rujuka
lain) atau sebaliknya dapat berubah dari waktu ke waktu. Sebagai perbandingan dari pemberlakuan
pencampuran hukum agama dan hukum adat (dan Negara) adalah penetapan kampong atau desa adat
di wilayah Bali. Pertanyaannya selalu adalah seberapa jauh pencampuran ini terjadi dan pada suatu saat
apakah kita perlu memurnikan misalnya adat dari agama atau sebaliknya.
Keberagaman (hukum) adat ini bagaimanapun juga harus diakomodasikan ke dalam (dalam bentuk
pengakuan-penghormatan), dan sekaligus diselaraskan dengan hukum nasional (terutama dengan
mengujinya terhadap nilai-nilai universal hak asasi manusia). Tidaklah mungkin kita misalnya begitu saja
mengakui dan menghormati hukum adat suatu masyarakat adat tanpa sekaligus menilainya berdasarkan
ukuran keadaban yang dianggap wajar atau pantas berlaku di manapun juga. Lagipula hukum adat
sebagai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat – bila ingin tetap bertahan –
bagaimanapun juga harus merespons perkembangan dunia modern.
Tanpa hendak masuk terlalu jauh ke dalam persoalan di atas apa yang dapat ditengarai adalah adanya
keberagaman sumber hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu hukum masyarakat adat dengan atau
ta pa pe garuh huku Isla .
Keberlakuan Hukum Inter-nasional
Dalam kenyataan mereka yang mencari apa yang menjadi aturan yang berlaku (dan baru kemudian
mencari hukum) di Indonesia tidak hanya dapat mengandalkan sistem hukum nasional dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di dalam batas-batas kedaulatan Negara. Dalam banyak hal juga
harus diperhatikan keberadaan organisasi internasional seperti ASEAN, PBB, dan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) dan banyak lainnya juga yang memfasilitasi pembentukan hukum transnasional atau yang bersifat lintas batas. Kesepakatan di tingkat Negara, terkadang bahkan oleh menteri,
tidak dapat diabaikan begitu saja. Kesepakatan-kesepakata de ikia
e uat eraga ko it e
yang wajib dilakukan Negara baik dalam bentuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Termasuk ke dalamnya adalah, khususnya di bidang hukum ekonomi, menyelaraskan aturan-aturan
hukum nasional (bahkan local) dengan standart yang ditetapkan pada aras regional maupun
internasional. Tujuan membongkar hambatan tariff dan non-tarif dalam rangka mendorong aliran
barang-jasa, orang dan investasi secara bebas di kawasan ASEAN atau bahkan Asia-Pasicif, akan
memaksa Negara-negara anggota untuk menyesuaikan aturan-aturan di tingkat nasional termasuk
kebijakan nasional yang berlaku. Bersamaan dengan ini muncul tekanan untuk menyelaraskan
peraturan perundang-undangan nasional pada standar yang disepakati bersama perihal perlindungan
konsumen, perlindungan lingkungan, aturan-aturan kompetisi di bidang usaha dan perdagangan, hak
atas kekayaan intelektual dstnya.
Tidak boleh dilupakan di sini adalah perkembangan serupa di bidang hukum pidana dan hak asasi
manusia. Konsensus yang mengatur kedudukan hukum serta pertukaran hak-kewajiban antara Negara
dengan warganegara tidak lagi hanya (dapat) dilandaskan pada konstitusi (kontrak social). Di luar itu,
termuat atau tidak ke dalam konstitusi, ada nilai-nilai hak asasi manusia yang (sekalipun masih terus
diperdebatkan) diyakini bersifat universal. Keberlakuan (dan kekuatan mengikat) nilai-nilai universal ini
tidak lagi dikaitkan pada baik kontrak social (konstitusi) atau kehendak Negara (yang diwujudkan dalam
hukum nasional), maupun nilai-nilai kesusilaan local atau budaya. Ini tampak lebih nyata di bidang
hukum pidana maupun hukum acara pidana. Peruluran (perbudakan) yang di dalam beberapa budaya
local dianggap wajar dibenturkan dengan nilai kemanusiaan universal dan sekarang dian
Tristam P. Moeliono
Tulisan ini secara ringkas akan menggambarkan persoalan kegiatan mencari dan menemukan hukum di
Indonesia dan mengidentifikasi sejumlah hambatan yang muncul berkaitan dengannya. Titik tolak
tulisan ini adalah kesadaran bahwa upaya menemukan hukum pada prinsipnya bukan kegiatan yang
melulu ilmiah dan hanya dapat dan harus dilakukan akademisi atau praktisi hukum. Persoalannya di sini
bukanlah ikhtiar menemukan dan mengungkap kebenaran ilmiah (dalam bidang kajian ilmu hukum)
dengan metoda yuridis normatif atau bukan yuridis normatif.
Dengan kata lain, persoalan ini tidak boleh dan lagipula mungkin didominasi akademisi hukum apalagi
filsuf hukum. Satu dan lain karena urusan mencari dan menemukan hukum adalah urusan kita semua
dan tidak melulu teoretis namun sangat praktikal. Semua orang, bahkan anak kecil, dapat segera
merasakan ketidakadilan yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari dan ketika menghadapi
ketidakadilan nyata akan segera berta ya apa ya g seharus ya e jadi huku da sekaligus
mempertanyakan nilai keadilan, kemasuk-akalan (rasionalitas/redelijkheid) atau justru
kepantasan/kelayakan (billijkheid) dari apa yang dinyatakan oleh hukum baik oleh pakar ataupun
penegak hukum. Kedua hal ini bukan kegiatan ilmiah yang bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari.
Akademisi (ilmuwan hukum), penegak hukum (polisi, kejaksaan dan kekuasaan kehakiman + advokat)
bahkan masyarakat awam, baik warganegara sendiri maupun warganegara asing yang bersentuhan dan
berurusan dengan (implementasi dan penegakan) hukum di Indonesia berkepentingan mencari dan
menemukan hukum. Untuk akademisi dan penegak hukum tidaklah cukup menemukan hukum hanya
dengan membaca peraturan perundang-undangan, mencari aturan yang cocok dengan kebutuhan yang
ada saat itu dan menyatakan aturan itulah yang (seharusnya) menjadi hukum. Di samping itu, juga tidak
cukup bagi masyarakat awam untuk mengetahui hukum sekadar melalui kegiatan sosialisasi yang
diselenggarakan pemerintah atau pemrakarsa di ruang-ruang rapat kecamatan-kelurahan atau sekadar
melalui iklan layanan masyarakat.
Tujuan tulisan ini adalah mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang umum dialami tidak saja oleh
akademisi namun juga terutama mereka yang dalam kehidupan sehari-hari berurusan dengan hukum,
penegak hukum maupun masyarakat awam. Diharapkan dengan mengungkap kesulitan dan kerumitan
i i, kita se ua dapat le ih e aha i huku di I do esia sebagai suatu sistem aturan (yang tidak
sertamerta tertata dengan baik – bahkan dapat disebut justru chaotic) serta kerumitan menegakkan
hukum. Di si i juga se agai disclaimer perlu dita ahka ah a tulisa i i tidak aka
e ahas
sejumlah metoda penemuan hukum ataupun hermeneutika. Ini adalah kajian berbeda yang tidak akan
disentuh di sini. Satu hal yang sebaliknya hendak diuangkap adalah kerumitan struktur-sistem dan
jejaring aturan yang dalam dogmatika hukum disebut sebagai sumber hukum formal dan yang
didalamnya tersembunyi sumber hukum materiil –prosesuil (tertulis ataupun tidak).
Pentingnya menemukan dan menegakkan hukum: beranjak dari satu cita hukum-cita Negara yang
niscaya tunggal?
Pada pokoknya tidak ada perbedaan penting antara tugas penegak hukum, praktisi hukum dengan
akademisi ketika ketiga-tiganya dihadapkan pada persoalan konkrit apa yang seharusnya berlaku
sebagai hukum dalam situasi konkrit tertentu (Paul Scholten; R. Dworkin; B. Arief Sidharta). Ketiga
pengemban hukum di atas (penegak hukum, praktisi dan akademisi), setelah mengkategorikan fakta
yang terjadi sebagai fakta hukum (naming) dan selanjutnya menelaah ragam sumber hukum tertulistidak tertulis yang dianggap relevan, dengan penuh keyakinan atau justru sebaliknya keraguan akan
menyatakan inilah (yang seharusnya berlaku sebagai) hukumnya (blaming). Sekaligus mereka dengan
itu menilai keabsahan (legalitas/illegalitas suatu perbuatan) dan (bila menyangkut sengketa atau konflik
hukum) memutuskan upaya hukum apa yang dapat/tidak dapat dilakukan (claiming). Ke dalam
kegiatan ini tersembunyi kegiatan yang dilakukan pengemban hukum untuk mengungkap kebenaran
(factual/empiris) dari apa yang terjadi (koherensi dan konsistensi narasi empiri) dan kemudian memilah
dan memilih dari banyak aturan yang ditemukannya, aturan paling relevan da dari ya ilai (valuenorm) yang dianggap layak menjadi acuan. Di samping itu, baik di eksplisitkan atau tidak, terkandung di
dalam kegiatan ini ikhtiar menilai atau menguji keabsahan aturan-aturan, baik yang disingkirkan maupun
yang dipilih untuk digunakan.
Jarang – mungkin karena argumen non liquet – para pengemban hukum mengakui bahwa dalam suatu
kasus tertentu tidak ada (aturan) hukum yang dapat ditemukan, atau ditunjuk sebagai inilah aturan yang
seharusnya jadi panduan. Itu pula alasannya mengapa dimunculkan konsep (kegiatan) menemukan
hukum. Kegiatan ini tidak dan jangan sekadar dipahami sebagai ikhtiar mencari dan mengidentifikasi
aturan yang berlaku dari cadangan atau pasokan hukum tertulis yang tersedia. Sebaliknya, alasan
ketiadaan aturan (hukum) dan sebab itu tidak dilakukannya kegiatan penemuan hukum baru akan
dimunculkan dan menjadi relevan bilamana legislatif atau pemerintah hendak membuat aturan baru
atau e yataka atura la a uka lagi huku . Untuk selebihnya para pengemban hukum akan
selalu berusaha menyatakan apa yang seharusnya menjadi hukum. Tujuan untuk apa hukum, dicari,
ditemukan, atau justru diungkap dan dirumuskan merupakan factor yang juga akan menentukan
mengapa hukum harus ditemukan dan ditegakkan.
Tentu tidak boleh dibayangkan bahwa kegiatan menemukan dan memberlakukan (implementation)
termasuk menegakkan (enforcement) hukum adalah proses yang sepenuhnya mekanistik. Jika itu yang
terjadi, maka dari sudut pandang ini tidak ada perbedaan bobot antara (dan juga tidak relevan
menjawab) pertanyaan apakah perkelahian dua anak kecil patut di bawa kehadapan pengadilan untuk
diperiksa dan diputus apa hukumnya (dan dalam proses itu menghabiskan sumberdaya negara yang
langka). Sama halnya seperti persoalan apakah layak dan pantas perempuan renta yang mencuri dua
buah kakao atau hakim ditingkat manapun yang menerima suap di bawa kehadapan pengadilan karena
mengambil barang yang bukan hak-nya. Serupa dengan itu juga tidak penting persoalan apakah
koruptor atau mereka yang mencari untung dari jual-beli narkoba patut atau tidak patut dihukum mati.
Semua kasus di atas, singkat kata, melanggar peraturan perundang-undangan (hukum?) dan sebab itu
hukum harus ditegakkan: putusan dijatuhkan dan para pelanggar hukum dihukum sesuai aturan. Dari
sudut pandang ini, aturan sudah tersedia dan tinggal diterapkan.
Apa itu hukum (atau yang seharusnya menjadi hukum) yang terkait atau justru terlepas dari (rasa)
keadilan dalam perkara-perkara konkrit bukan semata-mata persoalan akademis dan teoretis yang jauh
dari kerudinan hidup sehari-hari . Bagi mereka yang langsung bersentuhan dengan masalah hukum
(konkrit), apa yang seharusnya dan diputus menjadi hukum kerap dipersepsikan sebagai urusan hidup
mati dan kadang juga urusan kehormatan yang seketika bersinggungan dengan rasa malu atau harga diri
(institutional, keluarga atau individual). Itu pula alasan mengapa dapat dikatakan urusan hukum dan
keadilan bukanlah semata-mata persoalan mengetahui dan memahami apa yang dikatakan para filsuf
dari dunia barat ( Aristoteles, John Rawls, Amartya Sen, dll) ataupun para pemikir hukum Indonesia (B.
Arief Sidharta, Soetandyo, Satjipto, Mochtar Kusuma Atmadja, Budiono Kusumohamidjojo, Anthon
Susanto, Shidarta dll.) betapapun teori-teori itu penting bagi para sarjana hukum di Indonesia. Pada
ekstrim lain, sebagaimana disinggung di atas, menemukan hukum adalah juga upaya mewujudkan
keadilan. Pengertian keadilan di sini sekaligus menyentuh dan bersinggungan dengan apa yang
dirasakan (tidak sekadar dipikirkan apalagi diangan-angankan) mereka yang bersinggungan dengan
hukum sebagai patut/layak atau baik-buruk (secara etis atau moral).
Bayangan ideal tentang hukum (cita hukum) sebagai titik tolak menemukan-membentuk hukum
Menemukan hukum juga langsung berkaitan dengan kegiatan pembentukan hukum (merumuskan
norma, menuliskan dan menetapkannya sebagai hukum). Artinya menemukan hukum bukan hanya
terbatas pada soal membaca dan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dan masih
tersembunyi di balik sumber-sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau informal
(hukum tidak tertulis). Pembentuk hukum (pembuat undang-undang, otoritas pemegang kekuasaan
resmi atau masyarakat) ketika membentuk aturan sebagai sistem norma (hukum) sudah dipastikan
beranjak dari apa yang mereka bayangkan sebagai ide (cita) tentang hukum atau setidak-tidaknya apa
yang harus diatur dengan hukum dan tidak sekadar dengan norma etika, kebiasaan atau moral.
Berangkat dari itu, dibuat (dibentuk) aturan-aturan baru untuk mengisi kekosongan hukum atau dalam
hal sudah ada aturan: menambah, memperjelas atau memperbaiki .
Selain itu, bayangan ideal tentang hukum yang dibagi bersama (antara pembuat dengan masyarakat)
atau sebaliknya justru berbeda (antara pembentuk hukum dengan masyarakat: addressat aturan bahkan
berbagai kelompok masyarakat) harus ditemukan, diungkap dan menjadi titik tolak kegiatan
menemukan hukum. Di belakang pembentukan hukum, dengan perkataan lain, tersembunyi tidak
hanya satu cita atau gagasan ideal tentang apa itu yang seharusnya menjadi hukum. Bahkan dalam
kegiatan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan, perancang setiap kali diwajibkan
merumuskan dalam naskah akademis: landasan filosofis, empiris dan normative (yuridis). Apakah
la dasa filosofis tiap paket u da g-undang niscaya sama? Tidak terbayangkan bahwa landasan
filosofi paket aturan dalam bidang hukum pidana (pembalasan; prevensi umum-khusus) mesti sama
dengan paket aturan dalam bidang hukum ekonomi (efisiensi-transparansi) atau dengan aturan-aturan
di bidang hukum administrasi (yang berlandaskan asas-asas pemerintahan yang baik).
Persoalannya adalah bahwa (dari sudut pandang Negara) apa yang dibayangkan ideal ternyata dianggap
hanya ada satu (tunggal) dan hanya mereka yang mewakili Negara (parlemen-pemerintah-birokrat) yang
berwenang menetapkannya. Atau sebaliknya dipostulatkan adanya satu gagasan ideal tentang hukum
(cita hukum) maupun Negara (cita Negara). Inilah yang harus menjadi titik tolak pembuat peraturan
perundang-undangan dan sekaligus diejawantahkan ke dalam peraturan perundang-undangan dalam
arti formal. Dalam pengertian ini nilai-nilai Pancasila ditetapkan sebagai landasan kehidupan bernegara
da erhuku da dia ggap se agai su er dari segala su er huku . Beranjak dari titik tolak ini
pula butir-butir atau nilai-nilai Pancasila (yang dapat dipecah namun harus dibaca sebagai satu
kesatuan) dapat atau diharapkan digunakan sebagai norma kritik dan batu ujian atas keabsahan
substantif aturan-aturan perundang-undangan. Ini kiranya pembenaran dari hak uji konstitusional
(constitutional review: undang-undang terhadap Konstitusi [dengan muatan nilai-nilai Pancasila oleh
MK), hak uji materiil (judicial review: peraturan perundang-undangan di bawah UU oleh MA) maupun
hak uji administratif (administrative review: Peraturan Daerah oleh Kementerian Dalam Negeri).
Juga diajukan postulat (sedikit berbeda dari yang di atas) bahwa cita hukum Indonesia harus dilandaskan
pada abstraksi gagasan tentang hukum adat (hukum (tidak tertulis) dari kumpulan masyarakat
bumiputera yang melebur diri menjadi bangsa Indonesia) yang dikontraskan secara karikatural dengan
sistem hukum Barat (yang dianggap mutlak bercirikan atau beranjak dari paham individualis-liberal).
Pendekatan ini diusung, antara lain, oleh Moh. Koesnoe dan masih menjadi titik tolak UUPA (5/1960).
Dibayangkan bahwa gagasan ideal tentang hukum Indonesia harus beranjak dari abstraksi tentang ciri
dan kekhasan masyarakat Indonesia yang masih sangat komunal-religius dan artinya non-sekuler.
Pengaitan hak menguasai Negara (dalam UUD) dengan hak ulayat bangsa dalam UUPA di mana Negara
sebagai lembaga menguasai, mengurus, dan mengelola kekayaan alam bangsa adalah konkritisasi
pandangan ini.
Kedua pendekatan di atas yang menekankan pentingnya pencarian dan perumusan pandangan hidup
khas a gsa I do esia se agai la dasa pe e ua -pe uata huku (di Indonesia) pada prinsipnya
akan terbentur (teoretik maupun praktikal) pada persoalan: 1. bagaimana menyelaraskan klaim
partikularistik (khas bangsa Indonesia) yang ternyata juga harus dan akan sekaligus universal (semua
nilai keadaban baik yang mewujudkan manusia paripurna berlaku seolah absolut, universal dan nontemporer); 2. Ketidak o oka ji a-se a gat hukum positif yang untuk sebagian besar atau pada
pokoknya masih merupakan warisan zaman colonial dengan postulat pandangan hidup bangsa
Indonesia yang berbeda; Itu artinya pada aturan-atura la a dipaksaka atau di a gkoka ji a atau
se a gat er eda; da 3. Peru aha -perubahan atau pembaharuan hukum positif yang ada justru
diwarnai ideologi yang tidak ada hubungannya dengan Pancasila (jiwa bangsa yang dipostulatkan tidak
berubah), namun justru mencerminkan pandangan hidup atau filosofi yang berlaku pada periode
tertentu: UUPA 5/1960 misalnya terinspirasi sosialisme; sedangkan regulasi ekonomi yang berkembang
sekarang diwarnai oleh paham neo-liberalisme-kapitalisme. Sedangkan khusus tentang postulasi
hukum adat sebagai suatu ideal dapat ditunjukkan ketidakselarasannya dengan hukum tidak tertulis
(adat) yang, dari sudut pandang pendekatan etnografis, justru menunjukan kebhinekaan dan tumbuh
berkembang di luar lingkup dominasi hukum (formal) Negara.
Mencari dan menemukan hukum: pendekatan teleologis?
Tersembunyi dan besar pengaruhnya di balik kegiatan penemuan hukum adalah bagaimana kita
menjawab pertanyaan tentang tujuan dari kegiatan penemuan dan sekaligus pembentukan hukum.
Untuk apakah hukum harus ditemukan atau sebelum ditemukan harus dibentuk ulang agar dapat
dikonkritkan? Secara umum dengan kesengajaan salah membaca (deliberate misreading) karya Gustaaf
Radbruch: disebutkan bahwa tujuan hukum adalah tiga serangkai: kepastian, keadilan dan kemanfaatan
. Padahal Radbruch sebenarnya berbicara tentang legal certainty, justice, and expediency or suitability
for a purpose. Ketiganya tidak serta merta dapat direduksi menjadi tiga rangkaian tujuan hukum di atas.
Seolah merupakan cerminan (dari tiga tujuan hukum di atas) adalah pedoman yang diberikan pada
perancang peraturan perundang-undangan yang di atas telah disinggung. Setiap naskah akademis harus
memuat landasan filosofis (pembenaran adanya aturan/norma secara falsafati), landasan empirissosiologis (kemanfaatan) dan yang terakhir landasan yuridis-normatif (kepastian-keselarasan dengan
tatanan hukum yang sudah ada). Ketiga landasan pembenaran ini seharusnya menjadi acuan pencari
keadilan ketika membaca dan menafsir aturan-aturan yang di aktu ka ke dala for at peratura
perundang-undangan.
Disebutkan seperti ini (di Indonesia), maka seolah-olah ada tiga tujuan berbeda yang harus diemban
kegiatan penemuan dan penegakan hukum (termasuk pembentukan hukum). Ketiga tujuan ini lagipula
dapat bertabrakan satu sama lain. Salah satu kesalahpahaman berkaitan dengan ini adalah pemaknaan
summum ius, summa iniura. Sebenarnya apa yang dimaksud di sini adalah kekakuan dalam
(memahami) aturan-aturan hukum dapat berujung pada ketidakadilan. Hukum dibuat dan ditegakkan
bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan manusia namun hanya demi ketaatan pada aturan itu sendiri
atau sekadar untuk memiliki aturan karena dipersyaratkan. Inilah yang antara lain dikritik oleh (alm.
Satjipto Rahardjo ketika menyatakan hukum seharusnya untuk manusia bukan manusia untuk hukum.
Pada saat yang sama banyak orang yang terjebak membacanya sebagai berikut: semakin pasti suatu
aturan (rinci dan ketat), otomatis menjadi semakin tidak adil. Maka dalam kepastian (aturan) tidak
mungkin tercermin keadilan dan sebaliknya bila keadilan didahulukan, kepastian (aturan) yang
dikorbankan.
Terkesan di sini bahwa keadilan (berhadapan dengan kekakuan peraturan) dipaha i se agai ke ijaka
atau diskresi u tuk tidak emberlakukan/mengenyampingkan aturan. Dengan kala lain,
mengedepankan kepastian hukum otomatis berarti memilih bersikap kaku dan bertindak tidak
manusiawi alias tidak bijak. Sebaliknya mengenyampingkan aturan yang berlaku umum untuk
kepentingan seseorang (bahkan kelompok orang) atau karena adanya kekhususan (keistimewaan)
seketika dipersamakan dengan bertindak bijak dan sebab itu adil.
Padahal dalam kepastian hukum dan penegakan hukum (sepanjang dilakukan konsisten dan tidak
diskriminatif) sudah termuat keadilan: setiap orang (perempuan-laki; difabel atau normal) dalam situasi
serupa harus mendapat perlakuan sama (dari setiap orang lain atau dari penguasa). Penyetaraan
perlakuan (sikap anti-diskriminasi) sudah sepatutnya menjadi landasani jalinan hubungan antara
pemerintah (penguasa) dengan rakyat dan dalam pergaulan antar manusia satu sama lain. Kiranya
itulah makna dari setiap orang berkedudukan sama (sederajat) dihadapan hukum dan pemerintahan.
Betul bahwa posisi-kedudukan, keadaan tertentu, juga demi keadilan, harus dipertimbangkan. Pejabat
Negara karena tanggungjawab lebih besar mendapat perlakuan istimewa atau penegak hukum
diperkenankan melakukan hal-hal tertentu yang dilarang untuk masyarakat umum. Atau sebaliknya
kaum difabel dan mereka yang berada dalam posisi social-ekonomi tidak menguntungkan (kelompok
rentan dan cenderung termarginalkan) harus mendapat perhatian dan perlakuan istimewa. Begitu juga
dengan kedudukan hukum dari manusia dewasa dan yang oleh hukum dipandang belum cukup umur.
Perlakuan berbeda justru diperlukan demi keadilan. Namun ini tidak menghilangkan keniscayaan
perlunya perlakuan sama. Justru perlakuan khusus diberikan untuk menyeimbangkan posisi sehingga
perlakuan sama dihadapan hukum menjadi masuk akal.
Apa yang harus dihindari sebenarnya adalah ketidakpastian dan perlakuan yang tidak konsisten (dalam
penegakan hukum). Misalnya dalam hal adanya razia kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor,
polisi lalulintas terkesan (tuduhan yang setiap kali harus dibuktikan kebenarannya) melakukan tebang
pilih atau dengan sengaja meloloskan kendaraan dengan plat nomor dari wilayah tertentu sedangkan
terus menilang kendaraan yang datang dari wilayah lain. Atau secara konsisten pengadilan menjatuhkan
hukuman yang sangat ringan pada pejabat Negara yang tertangkap tangan korupsi, misalnya mengingat
jasa-jasa mereka pada Negara.
Selanjutnya tujuan hukum yang dikaitkan dengan kemanfaatan. Hukum sebagai pranata social untuk
mengatur kehidupan manusia betul harus ditujukan untuk memberikan manfaat dan keuntungan bagi
bonum commune (kebaikan bersama) atau diabdikan untuk kepentingan umum (public). Dengan kata
lain, pembuatan aturan termasuk implementasi dan penegakannya harus dilakukan dengan niatan
mencapai tujuan yang legitim. Seberapa jauh tujuan (politik) dan manfaat (social atau justru pribadi)
bersinggungan adalah persoalan lain. Lebih penting di sini adalah premis pembuatan aturan hukum
tidak boleh dilakukan semata-mata berdasarkan selera atau kehendak sesaat penguasa, tanpa tujuan
atau dengan tujuan yang tidak seketika bermanfaat bagi masyarakat. Ini pengertian umum yang kiranya
dapat kita terima. Maka itu pula perintah atau larangan dari penguasa yang dimaknai sebagai hukum
yang selalu dapat diberlakukan di bawah paksaan ancaman penjatuhan sanksi (sebagaimana dimaknai
John Austin) sulit mendapat legitimasi, terkecuali addressat aturan berhasil diyakinkan akan
kemanfaatannya.
Ketika pemerintah atau DPR memutuskan untuk membuat dan memberlakukan suatu peraturan
perundang-undangan tentu sejak semula (seharusnya) mereka sudah membayangkan apa yang hendak
dicapai dengan aturan-aturan. Ini kiranya yang menjadi anjuran umum dari Seidmann & Seidmann:
pembuatan aturan hukum (baru) harus dapat secara efektif-efisien menjawab persoalan sosial yang
muncul. Tujuan social (atau kemanfaatan umum) itulah yang menjadi pembenaran dan alat ukur dibuat
dan diberlakukannya peraturan. Dengan kata lain, pembaca dan addressat hukum harus dapat
mengungkap apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari peraturan dan menggunakannya sebagai ukuran
untuk mengevaluasi seberapa jauh peraturan yang ada berhasil atau tidak berhasil (mencapai
sasaran/tujuan sosial untuk mana aturan ini dibuat). Persoalan yang juga muncul di sini adalah tujuan
atau sasaran mungkin dapat diekplisitkan (fungsi manifest), namun pembuat undang-undang bisa saja
menyembunyikan agenda politik dibaliknya atau ternyata kemudian aturan yang ada digunakan untuk
mewujudkan hal yang sama sekali berbeda dari apa yang dibayangkan pembuat undang-undang (fungsi
laten). Juga dapat terjadi peraturan perundang-undangan sebenarnya sekadar dibuat (bahkan
dinyatakan batal) sebagai simbol niat baik dari pemerintah.
Namun sebenarnya apakah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah satu tujuan hukum dalam
kaitannya dengan implementasi dan penegakan (aturan) hukum? Siapakah yang berwenang
menentukan apa dan bagaimana manfaat hukum? Penguasa , birokrasi pemerintahan (administrasi)
atau justru rakyat yang pada akhirnya mendapat manfaat atau justru mudarat dari pemberlakuan
hukum . Apakah seketika penerapan hukum membuat kita (sebagai perorangan atau anggota
masyarakat) rugi atau hukum yang diberlakukan dirasakan tidak bermanfaat, maka aturan hukum atau
penegakannya harus ditentang dan disebut tidak adil? Maka dapat terjadi eksekusi putusan pengadilan
(berirah-irah Demi Kadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa) yang sudah berkekuatan hukum
atau penegakan aturan Peraturan Daerah dipertanyakan, diprotes bahkan dihalang-halangi sekelompok
masyarakat sekadar karena isi putusan tidak cocok dengan harapan mereka.
Kemanfaatan, sekali lagi, dapat kita duga selalu dikaitkan dengan kepentingan umum (public interest
atau bonum commune). Dimaknai demikian, kepentingan umum menjadi konsep besar (sangat umum
dan kabur) yang setiap kali perlu dibuat rinciannya. Perlu hal ini secara konkrit muncul dari pengaitan
kepentingan umum dengan konsep besar lainnya: tujuan bernegara yang dicanangkan dalam UUD
1945: mencerdaskan bangsa, memajukan kemaslahatan umum dan kesejahteraan rakyat. Selain itu di
dalam UUD 1945 juga diinyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai Negara dan harus dimanfaatkan demi
sebesar-besarnya kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.
Gagasan tentang luas lingkup kesejahteraan-kemakmuran rakyat dan kepentingan umum seketika
menjadi relevan tatkala kita, misalnya, berbicara tentang kepentingan umum dalam kegiatan pengadaan
tanah. Serangkaian peraturan di bidang ini mendefinisikannya , pertama secara sangat kabur:
kepentingan umum dipersamakan dengan kepentingan bangsa-negara atau pembangunan. Dengan
cara ini justru terbuka peluang besar untuk menyalahgunakan gagasan kepentingan umum. Sebagai
respons, gagasan ini kemudian dirumuskan secara terinci dan enumeratif (yang menyulitkan
pemerintah sendiri yang terus menerus dituntut membangun infrastruktur) dan terakhir dengan
mengkombinasikan keduanya.
Apa yang dapat dicermati adalah bahwa kadang dalam proses perancangan aturan (yang kerap tertutup
dari perhatian mass media apalagi masyarakat umum) public interest justru ditangkap-dibajak (captured)
dan diambilalih oleh kepentingan-kepentingan ekonomi-politik sesaat dari penguasa atau justru
pembuat undang-undang (partai politik di dewan perwakilan). Ilustrasi dari yang pertama berkaitan
dengan penetapan tata ruang. Penetapan ini sejatinya menentukan kapan dan di mana perusahaan
pengembang diperkenankan membangun kompleks perumahan komersiil. Melalui lobi-lobi politik,
pembuat undang-undang dapat diminta untuk mengatur penetapan tata ruang untuk membuka peluang
bagi pengembang untuk masuk ke daerah yang sebelumnya tertutup. Sedangkan yang kedua menunjuk
pada fakta bahwa bagaimanapun juga pembahasan peraturan perundang-undangan di parlemen tidak
mungkin kedap terhadap kompromi-kompromi politik.
Kerentantan ini terbuka karena juga ada kecenderungan untuk memanfaatkan hukum sebagai wadah
dari cita-cita masa depan (blue print). Rencana pembangunan (atau janji kampanye) adalah bayangan
ideal yang disusun pemenang – pemegang tampuk kekuasaan tentang kemana dan bagaimana
masyarakat harus dibangun dan ditata. Setidak-tidaknya itu selalu menjadi harapan (ideal) masyarakat
umum atau pengusung partai politik yang bersangkutan. Di sini peraturan perundang-undangan selain
menjadi bungkus luar rencana-rencana sekaligus menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
pembangunan yang dibayangkan.
Di sini muncul kenyataan (dan persoalan besar) bahwa rencana masa depan yang diproyeksikan ke
dalam aturan hukum ternyata terlalu mudah berubah karena terus menerus (harus?) disesuaikan
dengan situasi konkrit yang kadang tidak mungkin dikendalikan oleh hukum, bahkan pemerintah. Maka
perundang-undangan, misalnya tentang rencana pembangunan atau tata ruang, dianggap sebagai cetak
biru dan agenda kerja yang dalam kenyataan hanya menjadi arahan tidak mengikat yang juga terus
berubah-ubah. Hukum seperti ini ternyata mengingkari normativitasnya sendiri. Situasi yang
digambarkan di atas juga menyebabkan kerancuan konseptual antara kebijakan, program kerja dan
peraturan perundang-undangan.
Kebijakan, program kerja dan peraturan hukum
Pemerhati hukum (akademisi, mahasiswa) maupun penegak hukum seringkali dalam kegiatan akademik
ataupun di luar itu mencampuradukan (atau memiliki kecenderungan untuk tidak cermat membedakan)
kebijakan (policy), program kerja dan prioritas (work programmes and priorities), termasuk ke dalamnya
agenda politik pemerintah yang berkuasa, dengan peraturan hukum (legal rules) yang dipandang
sebagai pedoman perilaku yang memiliki kekuatan mengikat dan memaksa masyarakat umum.
Persoalannya adalah ketiga-tiganya seringkali bisa kita temukan dirangkum (dan dicampuraduk) dalam
satu dokumen (yang diterbitkan pemerintah) dan memberikan kesan kuat bahwa semua itu bisa dibaca
sebagai aturan hukum yang mengikat dan memaksa. Sebaliknya itu berarti pula hukum (yang tumbuh
kembang dalam semangat hukum tertulis sebagai sarana pembaharu masyarakat) kerap dipahami
se agai desired situation projected into the future se agai a a ditegaska Benda-Beckmann dan
sebab itu begitu mudah dijadikan kambing hitam, dikorbankan dan segera diganti dengan yang baru.
Kerancuan pemahaman yang timbul dari pencampuradukan itu, misalnya dapat kita cermati dari Surat
Edaran Kapolri tentang penanganan kejahatan kebencian. Surat edaran ini di a a se agai tafsira
res i te ta g apa ya g seharus ya e jadi huku
erkaita de ga pe a ga a kejadia -kejadian
yang dikualifikasikan (naming) sebagai kejahatan kebencian. Padahal surat edaran ini sejatinya dimaknai
sebagai perintah/instruksi haria te ta g apa ya g e jadi ke ijaka da progra prioritas kerja
kepolisian dalam penanganan kejahatan tertentu (kejahatan kebencian) yang pada saat tertentu kerap
terjadi di masyarakat. Bukan tentang apa yang seharusnya diyakini sebagai (aturan) hukum yang
bersifat dan memaksa oleh masyarakat.
Bentuk kerancuan lain dapat kita temukan dalam wujud Buku Pedoman yang diterbitkan Mahkamah
Agung tentang bagaimana membaca ketentuan-ketentuan hukum acara perdata di dalam HIR/RbG.
Pedoman inipun pada prinsipnya berlaku sebagai instruksi dari MA kepada hakim-hakim di lingkungan
peradila perdata. Na u pa dua da di alik ya dapat dite uka ke ijaka dan agenda kerja:
untuk menyesuaikan aturan-aturan lama dalam HIR/RbG dengan kebutuhan praktik hukum di Indonesia,
kemudian dimaknai sebagai aturan yang juga berlaku mengikat ke luar. Misal ya te ta g a jura tidak
mengabulkan permohonan uitvoerbaar bij vooraad atau sandera hutang. Dengan kata lain, pedoman-
pedoman MA dimaknai sebagai tafsir res i da
e gikat agai a a e a a da
e erlakuka
hukum acara perdata peninggalan colonial (HIR/RbG) dalam situasi kondisi peradilan Indonesia. Dalam
pola serupa, pedoman tertulis/tidak tertulis yang diterbitkan kejaksaan agung, memiliki pengaruh besar
pada bagaimana jaksa penuntut umum memahami hak untuk mengajukan banding atau kasasi.
Kebijakan yang tersembunyi dalam pedoman adalah dalam hal putusan bebas, jaksa wajib (standing
order) mengajukan banding atau kasasi.
Kebijakan dan prioritas dari pemerintah dan/atau masyarakat tidak selamanya jelas. Di dalam praktik
tidak jelas bagaimana polisi biasa menyikapi pelaporan adanya tindak pidana penipuan/penggelapan,
terutama yang terkait berkelindan dengan persoalan hutang-piutang di lapangan hukum perdata.
Apakah penyidikan akan menghentikan proses pemeriksaan gugatan di pengadilan? Kebijakan yang ada
sekalipun ada pedoman aturan hukumnya (dalam hal ada sengketa tentang kewenangan peradilan
pidana dan perdata (praejudiciel geschil), maka forum atau proses manakah yang harus diprioritaskan?
Apakah pemeriksaan sengketa keperdataan atau justru pidananya terlebih dahulu? Pilihan itu ada
dalam kewenangan pengadilan. Peraturan yang ada hanya memberikan petunjuk. Di tingkat kepolisian,
ke ijaka ya adalah laya i asyarakat pe ari keadila dan kasus-kasus seperti ini (pencampuran
antara perkara pidana dengan gugatan perdata yang mengakibatkan praejudiciel geschil) dapat diputus
berbeda-beda .
Kebijakan kepolisian (lalu lintas) lainnya lebih kasat mata. Setiap petugas memiliki diskresi dan atas
kebijakannya sendiri atau arahan kebijakan komandan dapat memilih menegakan aturan lalulintas
secara ketat: artinya menilang setiap pelanggaran lalulintas atau dengan kesadaran penuh membiarkan
terjadinya pelanggaran lalulintas. Misalnya membiarkan pengemudi angkutan kota berhenti di bawah
tanda larangan berhenti atau parkir ketika mencari calon penumpang, atau pada jam-jam masuk sekolah
membiarkan siswa mengemudikan kendaraan tanpa helm atau orangtua mengantarkan anak usia
sekolah tanpa diperlengkapi helm.
Singkat kata, kebijakan yang dalam dirinya sendiri memuat penetapan prioritas (pilihan) sekalipun
berpengaruh terhadap pemaknaan dan lebih jauh implementasi aturan hukum harus dibedakan darinya.
Pada saat sama harus dicermati bahwa kebijakan (resmi/tidak resmi) bisa sama sekali menyingkirkan
peran hukum. Kebijakan ekonomi untuk memprioritaskan pengembangan perkebunan kelapa sawit
dalam kenyataan meniadakan kekuatan mengikat larangan konversi hutan lindung maupun pembakaran
hutan. Begitu juga kebijakan pengembangan kawasan industry membuat larangan alihfungsi sawah
(dalam pelbagai format aturan) menjadi tidak berdaya. Proses serupa terjadi berkaitan dengan sejumlah
norma hukum yang ditujukan untuk melindungi kelompok agama minoritas. Kebijakan atau lebih tepat
agenda politik justru mendorong diskriminasi dan persekusi kelompok minoritas.
Dalam bahasa awam atau media social kita berbicara tentang pengaruh politik (agenda politik atau
kebijakan pemerintah baik eksplisit maupun implisit) pada pe uata
aupu pe erlakua
huku . Terlepas dari keterpengaruhan ini, bagaimanapun juga dari sudut pandang penegakan hukum
dan penjagaan keadilan, kita tetap harus dapat membedakan kebijakan, agenda/program kerja dan
prioritas dengan aturan-aturan hukum yang bersifat (semi-)otonom. Tanpa pemisahan ini, maka
kebijakan apapun tidak akan mungkin dievaluasi dan dikritisi. Untuk ini kita membutuhkan hukum, yang
sebab itu pula tidak dapat dipahami hanya berwujud aturan: perintah-larangan, namun juga prinsipprinsip yang menjadi landasan tatanan hukum. Hukum di sini harus dipahami sebagai fakta normatif
dan sebab itu memenuhi fungsi evaluatif. Maka itu, ke ijaka pe e aka
isterius tahu 80 a
yang dibenarkan sebagai shock therapy atas menjamurnya kejahatan oleh preman tidak dapat dan boleh
dibenarkan oleh aturan hukum apapun juga. Satu hal yang dilanggar dengan jelas adalah prinsip
praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Tujuan di sini, betapapun dirumuskan sangat mulia,
tidak boleh menghalalkan cara atau. Dengan kata lain, kebijakan yang dipandang perlu sebagai jalan
pintas mencapai tujuan mulia tidak selalu otomasis harus dan dapat diterima sebagai kemaslahatan.
Sekalipun pada saat sama tidak perlu dikatakan bahwa tidak ada serta perlu pemisahan antara hukum
dengan kesusilaan (moral). Tanpa perlu masuk ke dalam perdebatan filsafati tentang keterkaitan dan
keterpisahan hukum dan moralitas di sini cukup dikatakan bahwa hubungan antara keduanya tidaklah
dapat dipandang sederhana. Perdebatan antara penganut teori hukum alam (klasik-modern) dengan
para penganut positivisme hukum merupakan cukup bukti tentang ini.
Sumber hukum (formal dan materiil)
Dalam kenyataan hukum yang tersembunyi di dalam aturan perundang-undangan (sumber hukum
dalam arti formal; hukum tertulis) jarang bahkan tidak pernah dengan mudah dapat dipastikan. Hal ini
jelas ditunjukkan kasus-kasus hukum yang hampir setiap hari diberitakan mass media. Kenyataan ini,
setidak-tidaknya, menunjukkan dua hal: pertama hukum (bahkan norma/kaedah) tidak sama dan
sebangun dengan peraturan perundang-undangan (dalam arti luas) dan kedua, dalam hal
mengimplementasikan dan menegakan peraturan perundang-undangan kita akan menghadapi adanya
perkaitan erat antara kegiatan menemukan (kaedah) hukum serta penerapannya dengan persoalan
keadilan (justice) serta kepatutan/kepantasan (redelijkheid-billijkheid) yang terkait erat dengan
hatinurani (conscience). Tujuan (ideal) hukum itulah yang menyebabkan kegiatan menemukan dan
e egakka huku tidak sekadar eka istis da sekaligus e uka rua g agi ke ijaka da /atau
diskresi . Dalam bahasa lebih sulit, memajukan kepastian hukum melalui pemberlakuan aturan harus
juga dilakukan dengan memperhatikan, tidak saja keadilan (distributive-corrective), namun juga
kepantasan-kepatutan.
Lantas di manakah setidak-tidaknya kita dapat menemukan hukum - tidak sekaligus sama dan sebangun
dengan keadilan (justice) yang pada tataran teori dipersamakan dengan fair ess oleh John Rawls atau
sebagai efisiensi dan bersikap bijak-manusiawi (seperti yang diinginkan Satjipto)? Akademisi dan
penegak hukum (termasuk kepolisian) akan segera menunjuk pada peraturan perundang-undangan
dalam arti formal. Pertanyaan apa hukumnya yang (seharusnya) berlaku dalam situasi konkrit tertentu,
berubah menjadi apa peraturan perundang-undangan yang relevan dan ketentuan manakah yang
berlaku. Apa hukumnya menjadi pertanyaan tentang di mana dapat kita temukan norma yang mengatur
hal tertentu (melarang atau memerintahkan dilakukannya sesuatu secara substantive atau sekadar
procedural).
Di sini kita akan berhadapan dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Tata urutan ini yang
menempatkan konstitusi di puncak tata urutan atau justru sebagai landasan (dan sekaligus membentuk
struktur piramida tatanan hukum) memungkinkan mereka yang mencari hukum, menguji apakah suatu
ketentuan yang ditemukan ditulis di suatu bentuk aturan tertentu selaras atau justru bertentangan
dengan aturan yang berkedudukan lebih tinggi atau pada puncak tertinggi dengan gru d or atau
falsafah (pandangan hidup) bangsa Indonesia (Pancasila).
Hasil membenturkan aturan-aturan yang dituangkan dalam tangga urutan yang berbeda-beda ini dapat
berupa konstatasi (pengamatan dan penegasan) adanya keselarasan atau justru inkonsistensii. Namun
jelas bahwa ini saja tidak serta merta mengindikasikan apa yang seharusnya berlaku sebagai hukum.
Apa yang konkrit diputuskan adalah peraturan perundang-undangan yang diuji (untuk sebahagian atau
seluruhnya) dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi – sekalipun dibuat dan disahkan
oleh lembaga legislatif - dan sebab itu dibatalkan dan kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai hukum.
Kemanfaatan tata urutan secara praktis hanya muncul ketika MK memutus apakah suatu ketentuan di
dalam undang-undang bertentangan atau tidak de ga
or a- or a ya g he dak diusu g Ko stitusi
(hak uji konstitusional) atau ketika MA menjalankan kewenangannya melakukan hak uji materiil (semua
peraturan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Peluang lain ialah ketika Menteri Dalam
Negeri hendak menguji keabsahan peraturan daerah (Propinsi/Kabupaten-Kota dan Desa) terhadap
peraturan yang ditempatkan lebih tinggi, setidak-tidaknya di atas Perda (yang menurut asas demokrasi
merupakan cerminan dan kehendak politik dari masyarakat local) (administrative review). Selain itu,
secara teoretik tata urutan ini juga terkait dengan sejumlah prinsip: lex specialiss derogat legi generali
(khusus mengenyampingkan yang umum) & lex anterior derogat legi posterior (yang belakangan
mengenyampingkan yang terdahulu).
Tata urutan ini beranjak dari asumsi bahwa di dalam wilayah kedaulatan Negara hanya akan berlaku
satu sistem hukum nasional. Namun apakah tata urutan ini dapat diandalkan dan merepresentasikan
sistem hukum yang berlaku di Indonesia? Ada sejumlah masalah terkait dengan itu. Beberapa
diantaranya diurai di bawah ini.
Birokratisi dan penerjemahan peraturan perundang-undangan: fragmentasi sektoral dan horizontal
Sistem hukum yang dibentuk dalam suatu tata urutan hierakhis berarti bahwa peraturan disusun dan
disimpan dari aturan paling umum (prinsip) sampai dengan aturan teknis pelaksanaan (juklak-juknis),
bahkan surat edaran yang memuat petunjuk dan arahan kebijakan. Tata urutan ini secara langsung
berkaitan pula (dan merupakan cerminan) struktur organisasi tata kerja serta pembagian/penyebaran
kewenangan di antara lembaga Negara dan lembaga pemerintahan (pusat sd daerah). Secara ideal
seharusnya tata urutan peraturan perundang-undangan selaras dengan struktur organisasi kelembagaan
Negara (termuat di dalam konstitusi) dan tata organisasi kepemerintahan (termuat di dalam perundangundangan dan pada tingkat cabinet/kementerian dapat berubah sesuai kebutuhan presiden).
Maka menetapkan dan mengubah UUD adalah kewenangan MPR (DPR/DPD) sebagai lembaga tinggi
Negara. Sedangkan kewenangan membuat, mengamandemen atau mencabut peraturan perundangundangan ada di tingkat parlemen dan/atau presiden (dengan hak uji konstitusional di tangan MK).
Peraturan perundang-undangan kemudian diterjemahkan ke dalam peraturan pemerintah, peraturankeputusan-instruksi presiden. Pada gilirannya setiap kementerian dapat menerbitkan peraturan-
instruksi-surat menteri dstnya di dalam batasan kewenangan yang diberikan Presiden (yang membentuk
cabinet) dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini MA memiliki hak uji materiil cq. Mengujikan
konsistensi nilai yang diusung peraturan perundang-undangan dengan nilai-nilai yang dicerminkan
Konstitusi. Sedangkan berkaitan dengan tatanan pemerintahan, peraturan di tingkat pusat dianggap
otomatis berlaku di seluruh wilayah NKRI dan sebab itu harus menjadi rujukan ketika gubernur atau
bupati-walikota/DPRD menetapkan peraturan daerah tingkat provinsi/kabupaten-kota. Itu sebabnya di
tingkat kementerian dalam negeri diberikan hak uji administratif.
Persoalannya muncul ketika birokrasi pemerintahan pusat maupun (di-) daerah (dari sudut pandang dan
kepentingan masing-masing sector) mulai memproduksi kebijakan (tertulis) dalam wujud peraturan
perundang-u da ga ataupu doku e lai ya. Hasil akhir ya adalah ri a raya peratura -ke ijaka
dan dengan mudahnya mereka yang mencari jawaban apa hukumnya tersesat di dalamnya. Ketiadaan
atau kurangnya koordinasi-integrasi-sinkronisasi-sinergi, (karena pelbagai sebab: rentang pengawasan
yang lemah, ego-sektoral, dstnya) tidak saja dalam bidang pembuatan kebijakan di setiap sektor (bidang
kegiatan) memunculkan kumpulan peraturan di setiap sector yang kerap bertumpang tindih. Proliferasi
peraturan (dan atau badan pemerintah) pada tingkat ini kemungkinan besar juga disebabkan pula oleh
kemacetan pelaksanaan aturan di tempat lain.
Dalam kaitan ini juga dapat kita sebutkan hukum (yang muncul dari sikap birokrasi). Pembiaran atau
ketidaan reaksi dari Negara atas pelanggaran hukum yang bersifat massal-masif, sikap diam pemerintah
(ketidakhadiran Negara) memunculkan kekosongan hukum yang segera akan diisi oleh masyarakat.
Sikap diam (atau ketidakhadiran Negara) akan ditafsirkan oleh masyarakat sebagai undangan untuk
terus melanggar dan dengan itu mengubah norma. Apa yang dilarang justru menjadi kebolehan.
Misalnya berkaitan dengan pe(-nyalah)gunaan trotoar sebagai tempat berdagang atau alur cepat bagi
pengendara motor dikala lalulintas macet. Dalam skala lebih besar, kegagalan penegakan hukum secara
massif dan konsisten (penebangan-pembakaran hutan/penambangan liar), memunculkan pula
kesadaran hukum (dan pengharapan wajar) dari masyarakat (pelanggar hukum) bahwa apa yang di atas
kertas dilarang justru dalam praktik diperbolehkan.
Alhasil tata urutan peraturan perundang-undangan dalam arti formal yang semula diandaikan (fiksi
hukum) merupakan piramida (dengan konstitusi sebagai puncak atau justru landasan: nilai dasar yang
mewarnai semua aturan yang ada) sebaliknya dapat dipandang sebagai menjadi prisma melalui mana
aturan hukum (Negara) termasuk aturan-aturan dari hukum regional dan internasional kemudian masuk
sebagai cahaya yang menembus prisma akan menghablur dan membentuk spectrum cahaya yang sangat
luas (prismatic society & law; Fred W. Riggs).
Pluralisme hukum dan hukum tidak tertulis
Secara internal Negara Kesatuan Republik Indonesia ,yang niscaya memiliki cita-cita memberlakukan
satu sistem hukum nasional di seluruh wilayah kedaulatan NKRI, menghadapi persoalan pluralisme
hukum. Peraturan perundang-undangan nasional bukanlah satu-satunya sumber hukum (formalmateriil) yang dipandang mengikat oleh masyarakat. Di samping hukum Negara dianggap berlaku hukum
non-negara: hukum Islam (dalam pelbagai variannya: termasuk yang dikompilasi oleh Negara demi
kepentingan pengadilan agama) dan hukum adat (baik dari masyarakat pedesaan maupun dari eks
kesultanan/kerajaan nusantara) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Keberagaman hukum adat di Nusantara dicoba dipecahkan dengan memberikan pengakuan formal
(Pasal 28 UUD 1945) pada masyarakat hukum adat (bukan lagi daerah swatantra : desa atau swapraja:
kesultanan/kerajaan yang masih hidup pada masa pemerintahan Hindia Belanda). Namun sekaligus pada
mereka dituntut pemenuhan persyaratan yang ketat. Pengakuan akan eksistensi masyarakat adat
sebagai masyarakat otonom (di dalam lingkup NKRI) hanya akan diberikan bilamana masyarakat hukum
adat masih dapat mempertahankan sendiri aturan-aturan hukum adat (tidak tertulis) yang menjadi
acuan hidup mereka. Pada saat sama, wilayah hukum masyarakat adat diinkorporasikan ke dalam
wilayah administrasi Negara (kabupaten) dan sumberdaya tempat mereka menggantungkan hidup
(pertanahan, hutan) pada prinsipnya masuk ke dalam lingkup hak menguasai negara yang wajib
dipergunakan Negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat Indonesia. Hasilnya akhirnya adalah
massive dispossession (structural and systematic) dari masyarakat hukum adat (tradisional di Indonesia)
yang menghasilkan ketidak adilan structural. Dalam konteks ini dapat dimengerti pernyataan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 1999: Jika Negara Tidak Mengakui Kami, Maka Kami Tidak
Me gakui Negara
Sedangkan berkaitan dengan hukum Islam perlu disebut berkembangnya hukum Islam dalam lingkup
hukum Negara. Di Indonesia setidak-tidaknya dapat disebut tiga model pemberlakuan hukum Islam:
Pertama adalah melalui seleksi dan kooptasi. Negara mengkompilasikan aturan-aturan (dari pelbagai
sumber hukum Islam) ke dalam satu buku. Buku inilah (Kompilasi hukum Islam) yang digunakan sebagai
acuan hukum materiil (substantive) oleh pihak yang berperkara termasuk hakim dalam memutus
perkara dihadapan pengadilan agama (Islam). Berikutnya kita kenal fatwa-fatwa MUI (Majelis Ulama
Indonesia yang kadang dapat dipandang sebagai mitra pemerintah) yang mengatur banyak hal dari
penetapan makanan apa yang halal/tidak, kebijakan pemerintah mana yang layak/tidak diikuti umat
Islam warganegara Indonesia sampai dengan menjawab persoalan apakah umat Islam boleh/tidak
mengucap selamat Natal pada kaum Nasrani.
Namun juga keliru untuk mengatakan bahwa Negara sepenuhnya berhasil mengendalikan
perkembangan hukum Islam. Di luar itu, pelbagai organisasi massa Islam bahkan pesantren yang
terpusat pada satu dua guru (kiai) mengembangkan tafsiran dan pemahaman sendiri tentang bagian
hukum Islam mana (menyangkut ritual, ibadah atau kehidupan sehari-hari) yang harus berlaku dan
mengatur kehidupan warga masyarakat (atau anggota). Adanya perseteruan tentang siapa yang
memegang hegemoni dalam menentukan tafsiran atas hukum Islam (dalam bidang ibadah, ritual atau
lainnya) misalnya muncul ke permukaan setiap tahun dalam penetapan awal dan akhir ibadah puasa
atau apakah muslim diperkenankan menikah dengan non muslim.
Setelah pemerintahan Orde Baru ada muncul dua pendekatan baru. Bagian-bagian hukum Islam terutama menyangkut apa yang dipercaya sebagai perintah moral: kadang terfokus pada bagaimana
perempuan dewasa harus berpakaian dan berperilaku - diinkorporasikan ke dalam Peraturan Daerah
(perda-perda Syariah). Kecenderungan yang dapat kita temukan misalnya di Sumatera Barat. Model
lainnya muncul dari pemaknaan larangan riba yang mendorong pengembangan hukum perbankan –
asuransi (berdasarkan syariah) dan kemudian hukum ekonomi Syariah. Kewenangan pengadilan agama
dengan perkembangan ini diperluas hingga mencakup pula sengketa yang muncul dari hukum ekonomi
Islam ini
Model lai erkaita de ga oto o i khusus ya g di ik ati Pro i si A eh sekara g Na ggroe A eh
Darussalam. Perda Q a u ya g la gsu g erujuk pada daya berlaku dan kekuatan mengikat Q ura
(dan tidak sertamerta pada UUD 1945) ya g erlaku pe uh di ilayah ad i istrasi Na ggroe A eh
Darussalam. Bagaimana dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan di mana seharusnya berlaku satu
hukum nasional dapat kita temukan NAD yang memberlakukan sistem dan tatanan hukum berbeda
hanya dapat dipahami dari sudut panjang sejarah kelam konflik GAM dengan TNI. Pasca pemerintahan
Orde Baru dan dengan pendekatan berbeda (non-militer), niatan memisahkan diri dari NKRI berhasil
diredam dengan kompromi politik pemberian otonomi khusus dan pemberlakuan syariah secara penuh
di wilayah NAD.
Di samping itu, hukum Islam (agama) juga mempengaruhi masyarakat hukum adat. Maka misalnya di
wilayah Sumatera Barat kita temukan formula adat erse di syara , syara erse di Kita ullah.
Bagaimana hukum adat (sebagai cerminan moral masyarakat matriachat dan the living law) bergabung,
bercampur dan mempengaruhi hukum syariah (bertitik tolak dari Q ura da se ua su er rujuka
lain) atau sebaliknya dapat berubah dari waktu ke waktu. Sebagai perbandingan dari pemberlakuan
pencampuran hukum agama dan hukum adat (dan Negara) adalah penetapan kampong atau desa adat
di wilayah Bali. Pertanyaannya selalu adalah seberapa jauh pencampuran ini terjadi dan pada suatu saat
apakah kita perlu memurnikan misalnya adat dari agama atau sebaliknya.
Keberagaman (hukum) adat ini bagaimanapun juga harus diakomodasikan ke dalam (dalam bentuk
pengakuan-penghormatan), dan sekaligus diselaraskan dengan hukum nasional (terutama dengan
mengujinya terhadap nilai-nilai universal hak asasi manusia). Tidaklah mungkin kita misalnya begitu saja
mengakui dan menghormati hukum adat suatu masyarakat adat tanpa sekaligus menilainya berdasarkan
ukuran keadaban yang dianggap wajar atau pantas berlaku di manapun juga. Lagipula hukum adat
sebagai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat – bila ingin tetap bertahan –
bagaimanapun juga harus merespons perkembangan dunia modern.
Tanpa hendak masuk terlalu jauh ke dalam persoalan di atas apa yang dapat ditengarai adalah adanya
keberagaman sumber hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu hukum masyarakat adat dengan atau
ta pa pe garuh huku Isla .
Keberlakuan Hukum Inter-nasional
Dalam kenyataan mereka yang mencari apa yang menjadi aturan yang berlaku (dan baru kemudian
mencari hukum) di Indonesia tidak hanya dapat mengandalkan sistem hukum nasional dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di dalam batas-batas kedaulatan Negara. Dalam banyak hal juga
harus diperhatikan keberadaan organisasi internasional seperti ASEAN, PBB, dan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) dan banyak lainnya juga yang memfasilitasi pembentukan hukum transnasional atau yang bersifat lintas batas. Kesepakatan di tingkat Negara, terkadang bahkan oleh menteri,
tidak dapat diabaikan begitu saja. Kesepakatan-kesepakata de ikia
e uat eraga ko it e
yang wajib dilakukan Negara baik dalam bentuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Termasuk ke dalamnya adalah, khususnya di bidang hukum ekonomi, menyelaraskan aturan-aturan
hukum nasional (bahkan local) dengan standart yang ditetapkan pada aras regional maupun
internasional. Tujuan membongkar hambatan tariff dan non-tarif dalam rangka mendorong aliran
barang-jasa, orang dan investasi secara bebas di kawasan ASEAN atau bahkan Asia-Pasicif, akan
memaksa Negara-negara anggota untuk menyesuaikan aturan-aturan di tingkat nasional termasuk
kebijakan nasional yang berlaku. Bersamaan dengan ini muncul tekanan untuk menyelaraskan
peraturan perundang-undangan nasional pada standar yang disepakati bersama perihal perlindungan
konsumen, perlindungan lingkungan, aturan-aturan kompetisi di bidang usaha dan perdagangan, hak
atas kekayaan intelektual dstnya.
Tidak boleh dilupakan di sini adalah perkembangan serupa di bidang hukum pidana dan hak asasi
manusia. Konsensus yang mengatur kedudukan hukum serta pertukaran hak-kewajiban antara Negara
dengan warganegara tidak lagi hanya (dapat) dilandaskan pada konstitusi (kontrak social). Di luar itu,
termuat atau tidak ke dalam konstitusi, ada nilai-nilai hak asasi manusia yang (sekalipun masih terus
diperdebatkan) diyakini bersifat universal. Keberlakuan (dan kekuatan mengikat) nilai-nilai universal ini
tidak lagi dikaitkan pada baik kontrak social (konstitusi) atau kehendak Negara (yang diwujudkan dalam
hukum nasional), maupun nilai-nilai kesusilaan local atau budaya. Ini tampak lebih nyata di bidang
hukum pidana maupun hukum acara pidana. Peruluran (perbudakan) yang di dalam beberapa budaya
local dianggap wajar dibenturkan dengan nilai kemanusiaan universal dan sekarang dian