ANALISIS BAHASA POLITIK PEJABAT PUBLIK I

ANALISIS BAHASA POLITIK
PEJABAT PUBLIK INDONESIA BERDASARKAN
TINJAUAN FILSAFAT NILAI

Bambang Widiatmoko

ABSTRACT
Political language of Indonesia’s public official have a special characteristics so
it is need more exploration based on philosophy of value’s perspective. In this
paper the writer describe Indonesia’s public official political language based on
philosophy of value. The description is based on two kinds of value ground,
namely aestethics value and social value.
Keywords: political language, public official, philosophy of value, aestethics
value, social value

PENDAHULUAN
Peran strategis dan vital bahasa sebagai alat komunikasi umat manusia
dalam keseluruhan aspek kehidupan membuat bahasa tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Bahkan, bahasa merupakan bagian integral dari keberadaan
manusia karena hanya makhluk berpikir yang diberi kemampuan berbahasa,
sedangkan makhluk hidup lain tidak memilikinya.

Bahasa sangat berguna untuk mendeskripsi pemikiran. Menurut Sutan
Takdir Alisjahbana, bahasa merupakan ”alat pikiran”, “alat pemikiran yang
terbaik dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang empunya bahasa itu”,
dan “alat berpikir” (Alisjahbana, 1980: 48-49). Sehubungan dengan fakta bahwa
bahasa digunakan dalam keseluruhan aspek kehidupan, maka bahasa pun tidak
terlepas dari penggunaannya dalam dunia politik. Di suatu negara dikenal adanya
bahasa politik yang hidup dan berlaku di lingkungan geografis pemerintahan
negara tersebut.

119

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

LANDASAN TEORI
Pengertian Bahasa Politik
Bahasa digunakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk
dalam bidang politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 886)
politik adalah (1) (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan
(seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan), dan (2) segala urusan
dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara

atau terhadap negara lain.
Mengacu kepada definisi mengenai politik dan definisi mengenai bahasa,
pengertian “bahasa politik” dapat dirumuskan sebagai “bahasa yang digunakan
oleh seseorang dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan masalah kenegaraan
dan pemerintahan, termasuk di dalamnya segala macam produk yang dihasilkan
oleh perangkat penyelenggara pemerintahan, meliputi lembaga eksekutif,
judikatif, maupun legislatif.” Secara umum, bahasa politik dapat diartikan sebagai
bahasa yang digunakan oleh warga negara dalam konteks politik, pemerintahan
atau kenegaraan. Dalam pengetian ini, bahasa politik bersifat universal dan
menyeluruh dan digunakan oleh seluruh kalangan, baik rakyat biasa maupun
pejabat pemerintahan.

Pengertian Filsafat Nilai
Filsafat nilai adalah salah satu cabang filsafat yang khusus membahas masalah
nilai. Filsafat ini dirumuskan sebagai cabang tersendiri ilmu filsafat pada
peralihan abad ke-19 ke abad 20 (Yuliang: 2003). Cabang filsafat nilai membahas
nilai secara filosofis/kefilsafatan yaitu mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai
kepada hakikat nilai tersebut untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan
kenyataan.
Istilah lain fisafat nilai adalah aksiologi. Istilah aksiologi berasal dari

bahasa Yunani, terdiri atas kata axia yang berarti nilai dan logia yang berarti ilmu.
Jika diartikan, aksiologi merupakan studi yang berusaha membongkar segala
sesuatu tentang nilai.

120

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

Aksiologi secara mendalam membedakan ada (being [keberadaan])
dengan nilai (value). Hal ini dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang
mengemban. Hal ini dapat dirumuskan dengan: Ada = sesuatu + nilai. Oleh
karena itu, sifat nilai selalu tergantung pada pengembannya, yaitu sesuatu. Hal ini
berarti nilai bersifat parasitis.
Ikhtiar mengembangkan filsafat nilai (aksiologi) terus dilakukan oleh
kalangan cendekiawan, sarjana maupun filsuf di berbagai wilayah dunia, termasuk
di Indonesia. Beberapa tokoh cendekiawan Indonesia yang dapat digolongkan
sebagai tokoh perintis pengembangan ilmu filsafat antara lain adalah Drijarkara
dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Di antara berbagai tokoh perintis filsafat di Indonesia, Sutan Takdir
Alisjahbana memiliki kekhasan karena ia pun dikenal sebagai tokoh sastrawan

dan budayawan. Sebagai sastrawan ia dikenal sebagai tokoh pelopor lahirnya
gerakan Pujangga Baru pada tahun 1933 bersama Amir Hamzah dan Sanusi Pane.
Dalam tulisan ini, filsafat nilai yang menjadi landasan peninjauan bahasa
politik pejabat publik Indonesia dibatasi pada filsafat nilai yang dikembangkan
oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Ada dua dasar pertimbangan mengapa dipilih
filsafat nilai yang dikembangkan oleh Alisjahbana.
Menurut Magnis-Suseno (2002:106-107), pusat pemikiran filosofis Sutan
Takdir Alisjahbana adalah filsafat nilai. Menurut Takdir, manusia dibedakan dari
hewan karena ia dapat memberikan penilaian. Hewan tidak dapat memberikan
penilaian. Hewan adalah satu dengan kegiatannya. Apa yang dilakukan, kelakuan
mana yang “dipilih” oleh hewan, ditentukan oleh tarikan nalurinya dan tidak
ditentukan oleh suatu penilaian tentang apa yang tepat dan apa yang tidak tepat,
apa yang baik dan apa yang tidak baik. Tetapi dalam manusia, kekuatan naluri
sangat

terbatas.

Untuk

menyesuaikan


diri

dengan

lingkungannya

dan

mengembangkan diri, manusia menurut Takdir mengandalkan kemampuan yang
hanya ada padanya, yaitu budi, dalam bahasa Inggris mind.
Menurut Magnis-Suseno (2002), dengan mengikuti filsuf dan pedagog
Jerman Eduard Spranger (1882-1963), Sutan Takdir Alisjahbana bertolak dari
enam gugus nilai, yaitu sebagai berikut:

121

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

1. Nilai-nilai teoritis atau gugus nilai ilmu pengetahuan. Penilaian teoritis

mengikuti tolok ukur benar-salah. Yang bernilai positif adalah kebenaran,
yang bernilai negatif adalah kekeliruan.
2. Nilai-nilai

atau gugus nilai-nilai ekonomi. Sesuatu itu bernilai secara

ekonomis tergantung dari apakah sesuatu itu menguntungkan atau tidak, atau
malahan merugikan. Jadi, kriterianya adalah untung rugi.
3. Nilai-nilai religius atau gugus nilai agama. Nilai religius tertinggi adalah yang
kudus. Lawannya adalah yang profan.
4. Nilai-nilai estetika atau gugus nilai seni. Penilaian estetik adalah mengenai
indah-tidaknya sesuatu. Yang indah bernilai positif, yang jelek negatif.
5. Nilai-nilai politis atau gugus nilai kuasa. Dalam dimensi nilai-nilai politis
yang bernilai positif adalah kekuasaan, yang negatif adalah ketertundukan.
6. Nilai-nilai sosial atau gugus nilai solidaritas. Inilah nilai-nilai yang
menentukan apa yang positif dan apa yang negatif dalam hubungan dengan
orang lain. Kriterianya adalah baik-buruk, juga solider-egois.
Sejak lama Sutan Takdir Alisjahbana menaruh perhatian pada hubungan
antara bahasa dan pikiran. Topik ini menarik sekaligus mengandung muatan
strategis dalam menggerakkan aktivitas manusia. Menurut Alisjahbana, bahasa

sangat berguna untuk mendeskripsi pemikiran. Bahasa adalah “alat pikiran”, “alat
pemikiran yang terbaik dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang
empunya bahasa itu”, dan “alat berpikir” (Alisjahbana, 1980: 48-49)
Lebih jauh, mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran, Sutan Takdir
Alisjahbana menyatakan:
Pendeknya jelas, bahwa antara bahasa dan pikiran itu ada perhubungan yang rapat
sekali. Dengan kata-kata manusia melambangkan, yaitu memberi simbol kepada
konsep-konsepnya yang disusunnya menjadi pikiran. Pikiran-pikiran itu disusun
pula menjadi bermacam-macam sistem, yang merupakan cerita, laporan, perintah
uraian, filsafat dan lain-lain. Demikian antara bahasa dan pikiran terdapat
perhubungan dialektik yang terus-menerus. Segala sesuatu menjadi dinamis oleh
terbentuknya konsep-konsep bahasa yang tumbuh menjadi pikiran, ide-ide,
malahan pemandangan hidup. (Alisjahbana, 1989: 2-3).

122

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

Dengan mengacu kepada enam gugus nilai tersebut, dalam tulisan ini akan
dianalisis penggunaan bahasa politik pejabat publik berdasarkan tinjauan gugus

nilai estetika (keindahan) dan gugus nilai solidaritas.
Secara ideal, bahasa politik yang digunakan oleh pejabat publik hendaknya
bukan hanya tercermin dari keindahan susunan kata atau keterpeliharaan ejaan
dan tata bahasa, melainkan juga kesantunan isinya. Di samping itu, bahasa politik
yang digunakan oleh pejabat publik idealnya berorientasi kepada pemihakan
terhadap masyarakat banyak, dan tidak mengutamakan kelompok atau golongan
tertentu.
Sebagai alat aktualisasi beragam aktivitas manusia dari berbagai jenis
profesi,

bahasa, termasuk bahasa politik, harus mencerminkan budi pekerti

penuturnya. Dengan kata lain, bahasa harus digunakan dengan tertib. Menurut
Suparno (2003:330), ketertiban penggunaan bahasa dan segi kesantunan dapat
ditandai dengan menggunakan teori nosi muka (face notion) yang dikemukakan
oleh Brown dan Levinson (1987). Menurut teori ini, muka bersifat rawan terhadap
ancaman muka. Maka itu, partisipan komunikasi wajib menjaga muka agar tidak
dipermalukan. Untuk itu, partisipan harus dapat mengukur tingkat keterancaman
muka berdasarkan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, besarnya kekuasaan
antara penutur dan mitra tutur, dan status relatif jenis tindak tutur yang dilakukan

oleh penutur dalam budaya komunikasi yang bersangkutan.

PEMBAHASAN
Perspektif Nilai Estetika
Pejabat pemerintah Negara Indonesia, baik di tingkat pusat maupun
daerah, dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara pemerintahan sering kali
berinteraksi dengan masyarakat luas (publik). Sebagai pejabat publik yang
bertugas melayani publik, idealnya interaksi itu didukung oleh pemakaian bahasa
politik yang indah, santun, dan komunikatif.
Dalam kenyataannya, hal ini belum terlihat. Dari segi gaya, bahasa politik
yang digunakan oleh pejabat publik Indonesia kental dengan nuansa eufemisme
atau penghalusan bahasa atau istilah yang tidak secara langsung mengacu kepada

123

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

fakta. Menurut penjelasan Kamus Linguistik (2001:52) eufemisme adalah
“pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu.”
Ciri manusia Indonesia enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan

keputusannya terwujud dalam berbagai bentuk, di antaranya melalui penggunaan
bahasa yang tidak lugas, cenderung berputar-putar, banyak menggunakan simbol,
bahkan terkesan menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Kecenderungan ini
dijumpai hampir pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk kalangan elit
pemimpin dan pejabat publik.
Dalam batas-batas tertentu, eufemisme dapat memberikan kontribusi
positif, misalnya meredam gejolak sosial sehingga mampu menciptakan dan
menjaga stabilitas yang diperlukan dalam menjalankan program pembangunan
nasional. Namun, di sisi lain, eufemisme yang digunakan secara berlebihan
menunjukkan berkembangnya gejala kurang sehat yaitu semakin mengakarnya
budaya tidak mau berterus terang, sikap tidak jujur, dan cenderung
menyembunyikan masalah alih-alih memecahkannya.
Menurut Muslich (2006), jika eufemisme telah menggeser pengertian
suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru
berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, eufemisme untuk
menutupi kenyataan yang ada, sebagaimana yang sering dilakukan oleh kalangan
pejabat. Di sini terjadi kebohongan terhadap publik dan kebohongan itu termasuk
bagian ketidaksantunan berbahasa.
Pandangan Mochtar Lubis tentang ciri-ciri


manusia Indonesia yang

termuat dalam buku Manusia Indonesia (2001) memiliki relevansi dengan gejala
eufemisme pejabat publik Indonesia. Mochtar Lubis menyebut enam ciri manusia
Indonesia, yaitu: (a) hipokrit alias munafik; (b) enggan bertanggung jawab atas
perbuatan dan keputusannya; (c) berjiwa feodal; (d) percaya tahayul; (e) artistik;
dan (f) berwatak lemah.

Perspektif Nilai Sosial
Dari segi muatan atau substansi, bahasa politik Indonesia sering campur
aduk dengan muatan atau substansi yang bersifat nonpolitik. Wacana politik di

124

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

Indonesia sering kali mencampuradukkan bahasa agama dengan bahasa politik
(Tangkisan Letug: 2002).
Meskipun diakui bahwa agama menjiwai orang yang berpolitik, hal itu
tidak seharusnya menyeret orang mencampuradukkan bahasa agama dan bahasa
politik karena di antara keduanya ada perbedaan yang signifikan. Bahasa agama
dapat diartikan sebagai bahasa mengenai relasi manusia dengan Tuhan sehingga
bersifat transendental, artinya mengatasi kodrat manusia sebagai mahluk ciptaan
Sang Pencipta. Selain itu, dalam bahasa agama manusia menempatkan Tuhan
sebagai yang absolut atau mutlak. Karena Tuhan adalah yang mutlak dan absolut,
manusia tidak bisa meminta pertanggungjawaban pada Tuhan karena segala
sesuatu yang dikenakan pada Tuhan adalah sempurna.
Dalam bahasa agama, orang sering merujuk pada apa yang disebut sebagai
kitab suci yang dianggap absolut karena merupakan "kalimat/firman Allah".
Karena itu pula, referensi kepada kitab suci itu bersifat ideologis, artinya kitab
suci dianggap dan diyakini sebagai sesuatu yang benar tanpa perlu mengkritisinya
terlebih dahulu karena kitab suci adalah sabda atau firman Allah.
Ideologi di balik bahasa agama terletak pada kepercayaan atau
keyakinannya akan Tuhan yang mutlak yang tidak dapat diperdebatkan lagi.
Kalau bahasa religius merupakan bahasa yang mengungkapkan relasi manusia
dengan Yang Mutlak, bahasa politik mengacu kepada relasi manusia dengan
manusia. Sejalan dengan itu, ciri bahasa politik adalah keterbukaannya dalam
memberikan pertanggungjawaban rasional kepada publik atau orang lain. Selain
itu, bahasa politik dengan karakternya sebagai bahasa publik, tidak mengenai
kepentingan pribadi atau individual. Bahasa politik dituntut terbuka dan bersifat
rasional karena landasan bahasa politik bukanlah yang mutlak, melainkan
hubungan antarsesama manusia atau publik.
Kerancuan bahasa politik di Indonesia disebabkan oleh pencampuradukan
bahasa politik yang berciri relatif dengan bahasa agama yang berciri absolut. Para
pejabat publik Indonesia sering kali dengan sengaja menggunakan bahasa agama
untuk menghindari pertanggungjawaban publik. Misalnya, mengaitkan kata dosa
dengan kata “korupsi” yang pada hakikatnya mencerminkan rapuhnya landasan

125

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

argumentasi rasional terhadap persoalan kongkrit hubungan antarmanusia. Dalam
konteks ini, tindak korupsi yang dalam bahasa politik adalah tindak pidana, dikaitkaitkan dengan dosa yang merupakan bahasa agama sehingga terjadi penggeseran
dari tindak pidana (yang harus menerima tuntutan tanggung jawab) kepada urusan
pribadi seseorang dengan Tuhan semata-mata. Ciri pokok bahasa politik Indonesia
yang cenderung rancu ini tidak dapat dilepaskan dari watak bangsa Indonesia
yang enggan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Di sisi lain, kerancuan bahasa politik pejabat publik Indonesia
mencerminkan masih rendahnya kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan
merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu
masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang
disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan

biasa disebut

tatakrama (Muslich, 2006) Menurut Muslich (2006), kesantunan dapat dibagi
tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa.
Kesantunan berbuat dan kesantunan berbuat --berbeda dengan kesantunan
berpakaian-- tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat
digunakan sebagai tolok ukur.
Meskipun demikian, ada beberapa indikasi yang dapat dijadikan pegangan.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda
verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, seseorang sepatutnya
tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang
dipikirkannya. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang
ada. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma
budaya, ia akan dinilai negatif, misalnya dianggap sombong, angkuh, tidak acuh,
egois, bahkan tidak berbudaya.
Kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan
penuturnya. Menurut Leech (dalam Muslich, 2006) kesantunan berbahasa pada
hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip. Pertama, penerapan prinsip
kesopanan dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan rasa
salut, rasa hormat, pujian, dan kesimpatikan kepada orang lain. Kedua,
penghindaran pemakaian kata tabu. Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang

126

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

bernuansa seks, kata-kata yang merujuk kepada organ tubuh yang lazim ditutupi
pakaian, kata-kata yang merujuk pada benda yang menjijikan, dan kata-kata kotor
dan kasar termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam
berkomunikasi sehari-hari.
Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, maka penggunaan
eufemisme (ungkapan penghalus) patut dipertimbangkan. Keempat, penggunaan
pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan menghormat saat berbicara dan menyapa
orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa
yang mengenal tingkatan tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak
mengenal tingkatan.

SIMPULAN
Setidaknya ada dua ciri-ciri menonjol bahasa politik pejabat publik
Indonesia selama kira-kira 32 tahun era pemerintahan orde baru yang hingga kini
masih

berlangsung. Pertama, bahasa politik pejabat publik Indonesia kental

dengan gaya bahasa penghalusan bahasa secara berlebihan atau eufemisme.
Kedua, bahasa politik pejabat publik cenderung dicampuradukkan dengan bahasa
wacana lain yang sifatnya nonpolitik.
Pada umumnya, bahasa politik pejabat publik yang kental dengan
eufemisme mencerminkan aktualisasi sejumlah sikap negatif yang kurang
kondusif bagi penciptaan iklim kehidupan berbangsa dan bernegara yang
demokratis, seperti: sikap kurang terbuka, kurang tegas, cenderung berputarputar, dan bertindak manipulatif.
Bahasa politik pejabat publik Indonesia yang sering bercampur dengan
wacana nonpolitik, mencerminkan aktualisasi sikap lempar batu sembunyi tangan
atau tidak mau memikul tanggung jawab dengan menggunakan berbagai dalih.
Gejala sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa bahasa politik
pejabat publik Indonesia belum sepenuhnya sejalan dengan gugus nilai estetika
maupun gugus nilai sosial sebagaimana dirumuskan dalam filsafat nilai Sutan
Takdir Alisjahbana.

127

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

Sehubungan dengan itu, perlu ditingkatkan dan diterapkan kesantunan
dalam berbahasa bagi seluruh kalangan masyarakat, termasuk kalangan pejabat
publik Indonesia. Sebab, gaya bahasa yang digunakan oleh pejabat publik
memiliki dampak besar terhadap kelompok pemakai bahasa lainnya.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat
tanda verbal atau tata cara berbahasa. Jika masyarakat Indonesia memperhatikan
aspek kesantunan dalam pemakaian bahasa, kepribadian bangsa niscaya akan
berkembang dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Sutan Takdir, 1981. Pembimbing ke Filsafat Metafisika, Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat, cet-5.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Fromkin, Victoria and Robert Rodman. 1983. An Introduction to Languag.. Holt,
Ribehart and Winston.
Letug, Tangkisan. 2002. “Bahasa Religius dan Bahasa Politik.” Sumber:
//www.hamline.edu/apakabar/basisdata; diakses 23 Januari 2006.
Lubis, Mochtar.2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Magnis-Suseno, Franz. 2002. “Sutan Takdir Alisjahbana dan Kebangsawanan
Filsafat.”. Dalam Jurnal Filsafat dan Teologi Sekolah Tinggi Filsafat
Drijarkara, Diskursus. Vol. 1, No. 2, Oktober 2002.
Muslich, Masnur. 2006. “Kesantunan Berbahasa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik”;
http://re-searchengines.com/1006masnur2.html; diakses 19
Sumber:
November 2006
Suparman Abdullah. “Dari Filsafat ke Bahasa Sebuah Refleksi Awal Menuju
Filsafat Bahasa”. Dalam Jurnal Bahasa dan Sastra Sawo Manila, Vol. 1,
Nomor 2, Desember 2006.
Suparno. 2003. “Ketertiban Berbahasa sebagai Jembatan Menuju Peradaban
Baru.” Dalam Dendy Sugono (ed.). Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat
Madani. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

128

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)